Anda di halaman 1dari 20

Kepada Yth :

TINJAUAN PUSTAKA
dr. Imam Budiwijono, Sp.PK(K)

HYPEREOSINOPHILIC SYNDROME (HES)

Oleh :
dr. Emelia Wijayanti

Pembimbing :
dr. Imam Budiwijono, Sp.PK(K)

PROGAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN MAKALAH
TINJAUAN PUSTAKA HEMATOLOGI

“HYPEREOSINOPHILIC SYNDROME (HES)”

Penyusun :
dr. Emelia Wijayanti
(NIM. 22180116320006)

Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing :

Tanggal : …………………………………………

Pembimbing

dr. Imam Budiwijono, Sp.PK(K)

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB. I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB. II. HYPEREOSINOPHILIC SYNDROME ........................................... 2
II.1. Definisi ........................................................................................... 2
II.2. Epidemiologi .................................................................................. 2
II.3. Etiologi ........................................................................................... 3
II.4. Patofisiologi .................................................................................... 4
II.5. Klasifikasi ....................................................................................... 6
II.6. Gejala Klinik ................................................................................... 6
II.7. Diagnosis ........................................................................................ 8
II.8. Diagnosis Banding .......................................................................... 13
II.9. Terapi ............................................................................................. 14
II.10. Prognosis ........................................................................................ 14
BAB. III. SIMPULAN .................................................................................... 15
Daftar Pustaka ................................................................................................. 16

iii
BAB. I
PENDAHULUAN

Hypereosinophilic Syndrome (HES) awalnya diusulkan pada tahun 1975,


mengkategorikan pasien dengan sedang atau berat eosinophilia darah. 1
Hypereosinophilic Syndrome adalah gangguan akibat produksi eosinofil yang
berlebih ditandai dengan menggunakan kriteria Chusid dkk yaitu : (1)
Peningkatan eosinofil sebesar 1500/μl yang menetap selama 6 bulan; (2) tidak ada
keterlibatan parasit, alergi atau penyakit keganasan yang meningkatkan eosinofil;
(3) Adanya tanda dan gejala keterlibatan organ. Penyakit ini ditandai dengan
kerusakan pada berbagai organ akibat infiltrasi eosinofil dan pelepasan mediator.
Sindrom ini dapat menyerang jantung, kulit, sistem saraf, paru, hati, lien, sistem
pencernaan, jaringan ikat pada mata.2,3
Eosinofilia yang dimaksud pada HES adalah eosinofilia perifer sesuai
dengan kriteria klasifikasi eosinofil oleh Brito-Babapulle yang dibagi atas tiga
kelompok yaitu:4
1. Eosinofilia reaktif ditandai dengan adanya eosinofilia nonklonal dan tidak
ditemukannya kelainan klonal dalam sumsum tulang.
2. Eosinofilia dengan kelainan klonal dalam sumsum tulang.
3. Sindrom eosinofilik tanpa eosinofilia reaktif dan kelainan klonal.
Seiring berjalannya waktu, para ahli telah menganjurkan untuk tidak
menegakkan diagnosis dengan memperhatikan keadaan eosinofil selama 6 bulan.
Cara yang dianjurkan adalah penegakkan diagnostik dalam mengidentifikasi
apakah terdapat penyebab lain dari hypereosinophilic karena sangat penting untuk
menurunkan jumlah eosinofil secara cepat khususnya pada pasien dengan
kemungkinan komplikasi yang tinggi.5

1
BAB. II
HYPEREOSINOPHILIC SYNDROME

II.1. Definisi
Hypereosinophilic Syndrome (HES) adalah gangguan proliferasi myeloid
dimana terdapat eosinofilia persisten yang berhubungan dengan kerusakan banyak
organ. Eosinofilia perifer dengan kerusakan jaringan telah dikenal selama 80
tahun, tapi Hardy dan Anderson baru menjelaskan tentang sindrom ini pertama
kali pada tahun 1968. Pada tahun 1975, Chusid mengusulkan defenisi HES berupa
keadaan hipereosinofilia pada darah perifer dengan penyebab yang tidak
diketahui, melebihi 1500/µL selama lebih dari 6 bulan berturut-turut atau pasien
meninggal sebelum 6 bulan dengan gejala hipereosinofilia yang jelas dan
bertanggung jawab dalam terjadinya disfungsi atau kerusakan organ. 2,6
Istilah idiopatik mengacu pada HES dengan patogenesis yang sama sekali
tidak dikenal. Namun terminologi Hypereosinophilic Syndrome digunakan untuk
kelompok penyakit heterogen yang ditandai dengan adanya hipereosinofilia dan
infiltrasi eosinofil pada jaringan, meliputi variasi idiopatik HES, HES familial,
dan berbagai kelainan organ yang diperantarai oleh eosinofil.7

II.2. Epidemiologi
Hypereosinophilic Syndrome merupakan penyakit langka dan jarang
terdiagnosis, sehingga sulit untuk memperkirakan prevalensinya secara
keseluruhan. Penyakit ini dominan mengenai laki-laki (rasio laki-perempuan,
9:1)5, biasanya didiagnosis pada usia 20-50 tahun. Dalam satu penelitian yang
melibatkan sekitar 50 orang pasien diperoleh usia rata-rata 33 tahun dan lama
menderita rata-rata 4,8 tahun (1-24 tahun). Insiden HES di Amerika sekitar
1/1.000.000 orang/tahun.8

2
II.3. Etiologi
Penyebab pasti HES hingga saat ini masih belum diketahui, meskipun
demikian ada dugaan bahwa granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF), IL-3 dan IL-5 berperan dalam proses disregulasi yang mengakibatkan
produksi eosinofil yang berlebihan.9
Eosinofil merupakan keturunan myeloid yang berdiferensiasi dari progenitor
myeloid (GEMM-CFU) di sum-sum tulang.5 Dari ketiga sitokin yang terdiri atas
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), IL-3, dan IL-5,
hanya IL-5 yang berperan sebagai faktor pertumbuhan dan menghambat apoptosis
spesifik untuk eosinofil. Mayoritas IL-5 berasal dari sel T-helper tipe 2.
Mekanisme yang dianggap berperan terhadap hipereosinofilia kronik yang tidak
dapat dijelaskan meliputi adanya mutasi sporadik pada stem-cell yang
memprakarsai ekspansi sel klonal primitive, termasuk keturunan myeloid dengan
kekhususan pada diferensiasi eosinofil (contohnya pada keadaan gangguan
myeloproliferasi kronik). Teori kedua menyebutkan bahwa produksi berlebihan
dari sitokin yang diaktifkan oleh sel T-helper tipe 2 mempengaruhi pertumbuhan
berlebihan dari eosinofil (pada varians limfositik HES atau L-HES).5,10
Terdapat penemuan adanya fusi gen FIP-1 like 1-plateled derived growth
factor α (FIP1L1-PDGFRA) oleh Colls dkk pada 9 dari 16 pasien dengan HES
yang terbentuk akibat delesi interstitial pada kromosom 4q12 dan hubungannya
dengan respon terhadap terapi imatinib.6,11 Delesi pada kromosom 4q12 yang
menghasilkan fusi pada gen FIP1L1 dan PDGFRA merupakan manifestasi
terbentuknya mutasi pada eosinofil. Gen ini menyandikan protein FIP1L1-
PDGFRA (F/P) yang menunjukkan aktivitas tirosin kinase, dimana perannya pada
induksi penyakit menghilang pada pasien yang diberikan terapi inhibitor tirosin
kinase (imatinib).12

3
II.4. Patofisiologi
Produksi eosinofil dalam keadaan normal diatur oleh beberapa sitokin,
diantaranya IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5 merupakan sitokin yang
bertanggung jawab terhadap proliferasi, maturasi dan diferensiasi eosinofil.
(gambar 1).13

Gambar 1. Proses Pembentukan Eosinofilia


Diambil dari Rothenberg. 1998.13

Eosinofil dalam jaringan dapat hidup selama beberapa minggu tergantung


pada produksi sitokin. Tanpa sitokin eosinofil hanya bertahan hidup selama
kurang dari 48 jam.14 Hypereosinophilic Syndrome, eosinofil menginfiltrasi
multipel organ di mana eosinofil menyebabkan kerusakan jaringan melalui
pelepasan granul di antaranya eosinofil peroksidase, major basic protein,
neurotoksin derivate eosinofil, protein kation eosinofil yang merupakan mediator
4
primer terhadap kerusakan jaringan dan juga melepaskan sitokin proinflamasi
(seperti Interleukin-1α, tumor nekrosis factor α, IL-6, IL-8, IL-3, IL-5, GM-CSF,
protein inflamasi makrofag) untuk dapat merekrut lebih banyak eosinofil dan sel-
sel inflamasi lainnya ke target organ.15
Eosinofil merupakan leukosit predominan di darah dan jaringan pada
pasien dengan fusi F/P. Kerusakan organ pada HES terjadi akibat pelepasan
substansi toksik eosinofil, seperti eosinophil cationic protein (ECP), major basic
protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase
(EPO), serta beberapa enzim seperti elastase dan kolagenase. Eosinofil juga
mampu memproduksi mediator lipid, seperti leukotrin dan prostaglandin yang
berperan dalam menimbulkan efek pada pembuluh darah dan otot polos bronchial.
Inflamasi eosinofil berhubungan dengan pelepasan TGF-β yang menyebabkan
meningkatnya sintesis kolagen dan deposisi matriks ekstraseluler. 10
Walaupun HES dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ,
manifestasi klinis dengan frekuensi terbanyak ditemukan di jantung, paru-paru,
kulit dan sistem saraf. Kerusakan pada jantung biasanya terdiri atas 3 tahapan.
Tahap nekrosis yang menyerang endo-miokardium dan biasanya asimptomatis,
atau pada beberapa kasus menunjukkan gejala gagal jantung akut. Tahap ini lalu
diikuti oleh pembentukan trombus pada endokardium yang mengalami gangguan
di dalam ruang jantung dan apabila lepas akan menyebabkan emboli perifer. Pada
tahap akhir, terjadi fibrosis yang akan berlangsung menjadi gagal jantung
kongestif. Infiltrasi eosinofil pada jantung memegang peranan penting terhadap
munculnya kerusakan jaringan. Pada paru-paru, fibrosis yang terjadi biasanya
terbentuk setelah penyakit berlangsung lama dengan manifestasi mulai dari
hiperreaktivitas bronkial tanpa ditemukan abnormalitas pada hasil pemeriksaan
radiologis hingga terbentuknya infiltrat restriktif pada paru. Manifestasi pada
sistem saraf dapat melibatkan baik sentral (ensefalopati difus) maupun perifer
(polineuropati).5,7,10,13,14

5
II.5. Klasifikasi
Atas dasar menifestasi yang ditimbulkan dan varian patogenesis, maka
HES dibedakan dalam subgroup berikut ini: 10
a. HES dengan FIP1L1-PDGFRA(F/P) atau F/P+ HES dengan klonal
Pasien dengan hipereosinofilia klonal. Manifestasi klinis yang banyak
dijumpai berupa gangguan pada jantung dan ulkus mukosa, dan mayoritas
berlanjut pada penyakit dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi
b. Chronic Eosinophilic Leukemia (CEL)
Pasien dengan eosinofil klonal, termasuk salah satunya terdapat fusi FIP1L1-
PDGFRA, dengan manifestasi myeloid akut atau leukemia eosinofilik.
c. Limphocytic-HES (L-HES)
Produksi berlebihan faktor pertumbuhan eosinofil oleh IL-5 yang dihasilkan
oleh sel T-helper tipe 2 mengakibatkan peningkatan siklus diferensiasi dan
maturasi prekursor eosinofil. Manifestasi klinis yang sering dijumpai berupa
manifestasi kulit
d. Myeloproliferative-HES (M-HES)
Didefenisikankan pada pasien dengan gangguan myeloproliferatif dan
bertanggung jawab atas terjadinya hipereosinofilia, walaupun defek
molekular tidak dapat dideteksi.
e. Idiopathic Hypereosinophilic Syndrome
Digunakan pada pasien yang patogenesisnya tidak diketahui
f. Organ-restricted Eosinophilic Disease
Termasuk didalam ini esofagitis eosinofilik, gastro-enteritis eosinofilik,
dermatitis eosinofilik, pneumonia eosinofilik, penyakit Kimura, dan lain-lain.

II.6. Gejala Klinik


Manifestasi klinik HES umumnya berhubungan langsung dengan derajat
infiltrasi eosinofil terhadap organ-organ tertentu dan kerusakan jaringan yang
diindikasi oleh eosinofil.16 Hypereosinophilic Syndrome bersifat multi sistem,
oleh karena itu, gejala klinik HES bervariasi tergantung organ yang terlibat.
Tanda dan gejala yang umum ditemukan di antaranya: lemah lesu (26%), batuk
6
(24%), sesak (16%), myalgia atau angioedema (14%), rash atau demam (12%)
dan rhinitis (10%). Eosinofilia biasanya dideteksi secara insidentil pada sekitar
12% pasien.15 Manifestasi lain berdasarkan frekuensi kumulatif keterlibatan
system organ akibat HES dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Keterlibatan Sistem Organ pada Hypereosinophilic Syndrome.


Sistem Organ Frekuensi Contoh Manifestasi Organ Spesifik
Kumulatif
Hematologi 100 Leukositosis dengan eosinofilia, netrofilia,
basofilia, immatur myeloid, eosinofil immatur
dan/atau displastik, anemia, trombositopenia atau
trombositosis, peningkatan sel blast SST,
mielofibrosis.
Kardiovaskular 58 Kardiomiopati, perikarditis konstriktif,
endomiokarditis, mural trombi, disfungsi katup,
fibrosis endomiokardial, infark miokardial.
Kulit 56 Angioedema, urtikaria, papul/nodul, plaques,
pruritus aquagenik, eritroderma, ulkus mukosa,
lesi vesikobullosa, mikrotrombus, vaskulitis,
sindrom Wells.
Saraf 54 Tromboembolisme, neuropati perifer,
ensefalopati, demensia, epilepsi, penyakit
serebellum, meningitis eosinofilik.
Paru – paru 49 Infiltrat paru, efusi, fibrosis, emboli, nodul/focal
ground glass attenuation, acute respiratory
distress syndrome (ARDS).
Limfa 43 Hipersplenisme, infark lien.
Hati/ kandung 30 Hepatomegali, focal or diffuse hepatic lesions on
empedu imaging, hepatitis kronik aktif, necrosis hepatis,
Budd-Chiari Syndrome, Sclerosing cholangitis,
kolesistitis, kolestasis.
Mata 23 Mikrotrombi, infark koroidal, arteritis retina,
episkleritis, keratokonjunktivitis sikka, sindrom
Adie (pupillotonia).
Saluran Cerna 23 Asites, diare, gastritis, colitis, pancreatitis.
Musculoskeletal N/ A Artritis, efusi, bursitis, sinovitis, fenomena
Raynaund, nekrosis jari, polimiositis/miopati.
Ginjal N/ A GGA dengan Kristal uria Charcot- Leyden,
sindrom nefrotik, immunotactoid glomerulopathy,
crescentic glomerulonephritis.
Diambil dari Gotlib, et al. 2004.9

7
II.7. Diagnosis
Diagnosis HES dibuat atas dasar diagnosis eksklusi oleh karena tidak ada
tes diagnostik yang spesifik untuk HES. Alur diagnostik hipereosinofili dari
Rothernberg ada pada gambar 2. Diagnosis eksklusi yang dimaksud adalah
diagnosis yang diperoleh dengan mengeksklusi semua penyebab eosinofilia
reaktif,1,3 termasuk diantaranya penyebab eosinofilia sekunder dan klonal. Hal ini
sesuai dengan tiga kriteria diagnostik Chusid yang telah digunakan sejak tahun
1975 sebagai berikut: 2
1. Eosinofilia persisten : >1,5x109/L (1500/mm3) selama lebih dari enam bulan.
2. Tidak didapatkan parasit, alergi atau penyebab lain dari eosinofilia.
3. Tanda dan gejala keterlibatan organ-organ tertentu (seperti: jantung, paru,
saluran cerna, otak, kulit dan lain-lain yang diinfiltrasi/diinvasi oleh eosinofil).

Gambar 2. Algoritme Diagnostik Hiperosinofilia


Diambil dari Rothenberg. 1998.13

8
Selain kriteria tersebut diatas, Word Health Organization (WHO) juga
menambahkan kriteria diagnosis untuk HES yaitu tidak disertai dengan kromosom
abnormal (Tabel 2).14

Tabel 2. Diagnosis leukemia kronis eosinophilic (CEL) dan sindrom


hypereosinophilic idiopatik (HES), dimodifikasi dari WHO-kriteria (2008)
Diperlukan:
 Eosinofilia Persistent> 1,5 x 109/L dalam darah
 Peningkatan jumlah sumsum tulang eosinofilia
 Myeloblast <20% dalam darah atau sumsum
1. Singkirkan semua penyebab eosinofilia reaktif sekunder:
a. Alergi.
b. Penyakit parasit.
c. Penyakit menular.
d. Penyakit paru (pneumonitis hipersensitif, Loeffler's dll).
e. Penyakit pembuluh darah kolagen.
2. Kecualikan semua gangguan neoplastik dengan sekunder, eosinofilia reaktif:
a. Limfoma sel T, termasuk mikosis fungoides, sindrom Sezary.
b. Limfoma Hodgkin.
c. Akut lymphoblastic leukemia / limfoma
3. Singkirkan gangguan neoplastik lain di mana eosinofil merupakan bagian dari
klon neoplastik:
a. Kronis myelogenous leukemia (Ph kromosom atau BCR / ABL gen fusi
positif) dan lainnya neoplasma mieloproliferatif atau myelodysplastic
neoplasma / myeloproliferative.
b. Neoplasma dengan t (5; 12) (q31-35; p13) atau penyusunan ulang lain
PDGFRB.
c. Neoplasma dengan gen fusi FIP1L1-PDGFRA atau penyusunan ulang lain
PDGFRA.
d. Neoplasma dengan penyusunan ulang dari FGFR1.
e. Leukemia myeloid akut, termasuk mereka yang inv (16) (p13q22), t (16;
16) (p13; Q22).
4. Kecualikan populasi sel T dengan fenotip menyimpang dan produksi sitokin
yang abnormal.
5. Jika ada sitogenetika klonal atau kelainan genetika molekuler, atau sel-sel blast
lebih dari 2% dalam darah perifer (> 2%) atau lebih dari 5% di sumsum tulang,
mendiagnosa leukemia eosinofilik kronik, tidak disebutkan secara spesifik (CEL
, NOS).
6. Jika tidak ada penyakit dibuktikan yang dapat menyebabkan eosinofilia, tidak
ada populasi sel-T yang abnormal, dan tidak ada bukti gangguan myeloid klonal,
mendiagnosa hiperpigmentasi idiopatik.
Diambil dari WHO. 2008.14

9
Langkah pertama untuk menegakkan diagnosis adalah dengan
menyingkirkan kondisi lain dengan gejala yang sama, seperti infeksi parasit,
alergi, kanker, penyakit autoimun, dan reaksi obat. Kedua, penanganan
komplikasi harus menjadi perhatian pada pasien dengan hipereosinofilia kronik.
Ketiga, harus ditentukan apakah eosinofilia terjadi dalam konteks myeloid primitif
atau gangguan limfoid untuk mengelompokkan pasien pada varian penyakit. 10
Evaluasi mengenai komplikasi harus diperiksa dengan menilai gejala yang
timbul dan dengan pemeriksaan fisik, dengan penekanan pada penilaian organ
target yang paling memungkinkan untuk terserang, seperti kardiovaskular, sistem
saraf, sistem respirasi, sistem pencernaan, dan kulit. Pemeriksaan penunjang yang
dapat digunakan meliputi EKG, echocardiogram, tes fungsi pernafasan, dan foto
rontgen. Prosedur imaging lainnya dan/atau biopsy sebaiknya dilakukan jika
ditemukan adanya gejala.10,17
Perhitungan leukosit total dapat normal atau mengalami peningkatan, dan
jumlah eosinofil lebih dari 1500/µL. Abnormalitas darah dapat ditemukan pada
darah perifer, seperti terdapatnya sel mielosit, trombositopenia atau trombositosis
dan anemia.17 Peningkatan level marker serum vitamin B12 dapat diobservasi
pada pasien HES dengan FIP1L1-PDGFRA(F/P) dan dipertimbangkan sebagai
indikasi Myeloproliferative-HES (M-HES) karena ditemukannya defek molekular
yang tidak teridentifikasi. Peningkatan level serum IgE dan
hipergammaglubulinemia poliklonal identik tetapi tidak hanya terbatas pada
Limphocytic-HES (L-HES).10,12,18
Secara klinis, manifestasi predominan pada kulit tanpa gangguan
kardiovaskular dihubungkan dengan serum IgE yang meningkat dan/atau
poliklonal hipergamnaglobulinemia dapat menjadi pertimbangan klasifikasi untuk
tipe Limphocytic-HES (L-HES). Gejala seperti splenomegali, keterlibatan
kardiovaskular, ulserasi mukosa, peningkatan level vitamin B12, anemia dan/atau
trombositopenia, dan ditemukannya precursor myeloid pada darah perifer
mengindikasikan tipe HES dengan FIP1L1-PDGFRA(F/P).10,17
Baru-baru ini, dianjurkan untuk melakukan ketiga tes berikut pada darah
perifer dan/atau sum-sum tulang untuk semua pasien, meliputi RT-PCR (reverse
10
transcription polymerase chain reaction) untuk mengidentifikasi fusi gen F/P
dan/atau FISH (fluorescent in situ hybridization) untuk mengidentifikasi lokus
CHIC2, dimana ketiadaan lokus CHIC2 akan digantikan oleh fusi F/P, dan
analisis bentuk pengulangan gen TCR (T cell receptors).10

II.6.1. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


1. Gambaran hematologi bervariasi:
a. Darah lengkap dan apusan darah tepi :
1. Eosinofil darah lebih dari 1500/mm3 atau sekitar 30%-70% dari
lekosit, umumnya dalam bentuk matur (Gambar 3).14,20
2. Morfologi abnormal eosinofil kadang-kadang ditemukan pada apusan
darah tepi seperti: vakuolisasi, hipersegmentasi dan hipogranuler.15
3. Leukosit meningkat sedang: 20-30x109/L (20.000-30.000/μl).19
4. Anemia pada 53% penderita HES, akibat anemia penyakit kronik.14,20
5. Trombositopenia lebih sering dari trombositosis (31% vs 16%). 15
6. Laju endap darah meningkat.15

Gambar 3. Gambaran hypereosinophilic pada apusan darah tepi.


Diambil dari Sitohang. 2014.20

11
b. Sumsum Tulang :
1. Biopsi sumsum tulang direkomendasikan pada pasien suspek HES. 14
2. Eosinofil sumsum tulang antara 7% - 57% (rata-rata 33%) (Gambar
4).19
3. Peningkatan mieloblast dan mielofibrosis jarang ditemukan. 9
4. Kristal Charcot-Leyden sering ditemukan dalam sumsum tulang
(SST).14
Kristal Charcot-Leyden merupakan fragmen yang berasal dari
enzim lysophospholipase (sekitar 10% dari protein eosinofil) yang
dilepaskan akibat kerusakan/pecahnya sel eosinofil dan justru
ditemukan dalam jumlah besar pada basofil. Kristal Charcot-Leyden
diperkirakan memiliki aktivitas lysophospholipase namun fungsi
sebenarnya tidak diketahui. Ukuran bervariasi, panjang hingga 50 μm,
berbentuk dua pyramid dengan dasar berbentuk heksagonal atau
berbentuk ramping yang tajam seperti tombak pada ke-2 ujungnya
(bipiramid) dan tidak berwarna namun dengan trichrom akan
memberikan warna merah keunguan.21

Gambar 3. Eosinofil dominan pada gambaran hasil biopsi sumsum tulang.


Diambil dari Sitohang. 2014.15

12
2. Imunologi
Kadar IgE meningkat (38% pasien), peningkatan IgA, IgM, IgG jarang
meningkat.15

3. Analisis kromosom
Kromosom pada HES umumnya normal. Analisis kromosum ditujukan untuk
melihat adanya kelainan kromosom dalam menegakkan diagnosis eksklusi
HES sebagai berikut:14
a. Kelainan kromosom beragam, paling sering ditemukan adalah aneuploidi.
b. Kromosom Philadelpia
c. Observasi klonalitas eosinophil

4. RT-PCR
Reverse transcription polymerase chain reaction dilakukan dengan tujuan
untuk mengidentifikasi fusi gen FIP1L1-PDGFRA.14

II.6.2. PEMERIKSAAN RADIOLOGI


1. Evaluasi jantung
2. Paru
Foto toraks dan CT scan toraks untuk pleural efusi, infiltrate paru, fibrosis
dan kardiomegali.
3. Saraf
CT scan kepala dan MRI: dapat menunjukkan strok, peningkatan tekanan
serebrospinal terutama inflamasi jaringan saraf pusat.12

II.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari HES yaitu Leukemia eosinofilik kronik. Perbedaan
antara HES dan leukemia eosinofilik kronik adalah ada/tidak adanya klonalitas
eosinofil. Leukemia eosinofilia kronik dibedakan dari HES dengan adanya
peningkatan sel blast darah perifer (lebih dari 2%) atau sumsum tulang (5-19%).9

13
II.9. Terapi
Saat ini belum ada pengobatan tertentu untuk mengobati HES yang
asimtomatik. Target terapi HES ditujukan untuk mencegah/ mengontrol kerusakan
organ dengan menekan jumlah eosinofil dan memperbaiki penyebab kerusakan
organ. Terapi HES diberikan berdasarkan gambaran klinis dan hasil laboratorium.
Kortikosteroid (1 mg/KgBB/hari) merupakan terapi yang efektif pada
penderita HES dan disarankan untuk dihentikan bila didapatkan peningkatan
disfungsi sistem organ atau bila jumlah eosinofil sudah mendekati normal. Sekitar
sepertiga pasien tidak berespon terhadap kortikosteroid.
Pilihan lini kedua adalah interferon alfa dan hidroksiurea. Bila respon
terapi lini pertama dan kedua tidak berhasil maka dapat diberikan imatinib dosis
tinggi (400 mg) sebagai pilihan terapi yang diketahui memberikan respon sangat
baik dengan keberhasilan 100%, sebagaimana dilaporkan dalam berbagai
penelitian. Remisi komplit dapat dicapai rata-rata setelah 7 bulan terapi.
Antibodi monoclonal yaitu anti IL-5 (mepolizumab) untuk mengontrol
eosinofil simptomatik dengan dosis pemeliharaan 1 mg/kgBB. Bedah jantung
untuk fibrosis endomiokarditis, thrombosis mural dan insufisiensi katub.
Transplantasi allogenik stem sel untuk penyakit HES yang progresif. 12

II.10. Prognosis
Prognosis HES sangat buruk saat pertama kali dideskripsikan (88%
mortalitas dalam jangka 3 tahun), peningkatan signifikan dari waktu ke waktu
seperti deteksi dini komplikasi, manajemen pembedahan yang lebih baik pada
penyakit jantung, dan penggunaan spektrum molekular terapi yang lebih luas
untuk mengontrol hipereosinofilia telah meningkatkan harapan hidup pasien.7,10
Penetapan prognosis dinilai berdasarkan dua aspek utama, meliputi
keterlibatan sistem kardiovaskuler dan keadaan malignansi hematologi. Semakin
kompleks sistem kardiovaskular dan keadaan malignansi hematologi. Semakin
kompleks sistem kardiovaskuler yang terserang dan semakin dominannya gejala
malignansi yang ditemukan pada darah, maka semakin buruk prognosis,
begitupun sebaliknya.7
14
BAB. III
SIMPULAN

Hypereosinophilic Syndrome (HES) awalnya diusulkan pada tahun 1975,


mengkategorikan pasien dengan sedang atau berat eosinophilia darah. Eosinofilia
yang dimaksud pada HES adalah eosinofilia perifer sesuai dengan kriteria
berdasarkan klasifikasi eosinofil oleh Brito-Babapulle, yaitu :
1. Eosinofilia reaktif ditandai dengan adanya eosinofilia nonklonal dan tidak
ditemukannya kelainan klonal dalam sumsum tulang.
2. Eosinofilia dengan kelainan klonal dalam sumsum tulang.
3. Sindrom eosinofilik tanpa eosinofilia reaktif dan kelainan klonal.
Penyakit ini predominan mengenai laki-laki (rasio laki-perempuan, (9:1),
biasanya didiagnosis pada usia 20-50 tahun. Penyebab pasti HES hingga saat ini
masih belum diketahui, meskipun demikian ada dugaan bahwa granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GMCSF), IL-3 dan IL-5 berperan dalam
proses disregulasi yang mengakibatkan produksi eosinofil yang berlebihan.
Manifestasi klinik HES umumnya berhubungan langsung dengan derajat infiltrasi
eosinofil terhadap organ-organ tertentu dan kerusakan jaringan yang diindikasi
oleh eosinofil. Pemeriksaan laboratorium terdiri dari: darah lengkap dan apusan
darah tepi, sumsum tulang, imunologi, analisis kromosom.
Diagnosis HES dibuat dari diagnosis eksklusi oleh karena tidak ada tes
diagnostik yang spesifik untuk HES. Diagnosis eksklusi adalah diagnosis yang
diperoleh dengan mengeksklusi semua penyebab eosinofilia reaktif, termasuk
penyebab eosinofilia sekunder dan klonal sesuai kriteria diagnostik Chusid 1975
Saat ini tidak ada pengobatan tertentu untuk mengobati sindrom
hypereosinofilik yang asimtomatik. Target terapi pada penderita HES ditujukan
untuk mencegah atau mengontrol kerusakan organ dengan menekan jumlah
eosinofil dan memperbaiki faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan
organ. Terapi penderita HES diberikan berdasarkan gambaran klinis dan hasil
laboratorium.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Bjerrum O.W, Pelliniemi T.T, Wadenvik Hans. Guidelines for the diagnosis and
treatment of eosinophilia. Nordic MPN Study Group. 2nd version. 2012:1-13.
September 2012.
2. Chusid, M.J., Dale, D.C., West, B.C., Wolf, S.M. 1975. The Hypereosinophilic
Syndrome: Analysis of Fourteen Cases with Review of the Literature. Medicine.
54(1):1-27p
3. Hseun T-W, Chen D-Y, Hsieh T-Y, Huang W-N, Chen Y-H, Lan J-L.
Hipereosinophilic syndrome in a medical center in Taiwan-an analysis of fourteen
cases. Formosan Journal of Rheumatology. 2008;22:60-7. Epub July 01, 2008.
4. Haider S, Farhangi M.Hypereosinophilic syndromes. 2004. Diakses dari
http://www.medscape.com/viewarticle/489459
5. Crowther, M.A., Ginsberg, J., Schunemann, H.J., Meyer, R.M., Lottenberg, R. 2008.
Evidence-Besed Hematology. Singapore : Blackwell Publishing. 221-5.
6. Cools J, DeAngelo DJ, Gotlib J, Stover EH, Phil M. A Tyrosine Kinase Created by
Fusion of the PDGFRA and FIP1L1 Genes as a Therapeutic Target of Imatinib in
Idiopathic Hypereosinophilic Syndrome. n engl j med.2003, 248;13: 1201-14.
7. Melo, J.V and Goldman, J.M. 2007. Myeloproliferative Disorders. Berlin: Springer
Berlin Heidelberg.236.
8. Wardlaw A. Eosinophil and their disorder. In: William hematologi. 7th ed. 2007,
pp:872-3.
9. Gotlib CJ, Cools J, Malone JM, Schrier SL, Gilliland DG and Steven E. Diagnosis,
classifications for The FIP1L1-PDGFR α fusion tyrosine kinase in
hypereosinophilic. Blood.2004,103(8),P:2879-87.
10. Roufosse, F.E., Goldman, M., Cogan, E. 2007. Hypereosinophilic Syndromes.
Orphanet Journal of Rare Diseases. 2:37 1-12 p
11. SPardanani A, Reeder T, Porrata LF, Li CY, Tazelaar HD, Tefferi A. Imatinib
therapy for hypereosinophilic syndrome and other eosinophilic disorders. Blood.
2003, 101(9):3391-7.
12. Klion AD, Bochner BS, Gleich GJ. 2006. The Hypereosinophilic Syndromes
Working Group. Approaches to the treatment of hypereosinophilic syndromes: a
workshop summary report. Journal of Allergy Clinical Immunology. 117(6):1292-
302p
13. Rothenberg ME. Eosinophilia. n engl j med. 1998.338(22):1592-9.
14. Samavedi V. Hypereosinophilic Syndrome. Updated: Oct 4, 2009. Available on
http://emedicine.medscape.com/article/202030
15. Scheinfeld NS, Urman F. Hypereosinophilic Syndrome.
http://emedicine.medscape.com. Update: Feb1, 2010
16. Waller PF and Bubley GJ. The Idiopathic Hypereosinophilic Syndrome. Blood.
1994, 83(10): 2759-2779.
17. Klion AD, Bochner BS, Gleich GJ, Nutman TB, Rothenberg ME, Simon HU, et al.
Approaches to the treatment of hypereosinophilic syndromes: a workshop summary
report. Journal of Allergy Clinical Immunology. 2006 jun;117(6):1292-302p.
18. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. 2013. Hypereosinophilic
Syndrome (HES). [cited 2013 18 October]. Available from:
http://www.aaaai.org/conditions-and-treatments/related-
conditions/hypereosinophilic-syndrome.aspx
19. Rothschild BM. Hypereosinophilic Syndrome. http://emedicine.medscape.com.
Update: Aug 15, 2008.
16
20. Sitohang D. Abdullah A.A., Arif Mansyur. Laporan Kasus Hypereosinophilic
Syndrome. Jurnal kedokteran dan kesehatan Wadi Husada. Vol.1 no.3. Juli-
September 2014.
21. Hilliard NJ, Warraich IA, Kruspe R, Hyche B, James Foran J, Reddy VVB.
Idiopathic Eosinophilia Associated CMML-2 With Overexpression of the ETV6
Gene. Laboratory medicine. 2007;38(2):101-104.

17

Anda mungkin juga menyukai