Anda di halaman 1dari 11

1

PENDAHULUAN
Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) adalah kelainan serius sistem saraf pusat yang
disebabkan virus campak. Istilah SSPE dikenalkan oleh Greenfield pertama kali pada tahun
1960 yang disebabkan infeksi persisten yang melibatkan materi abu-abu maupun putih dari
susunan saraf pusat. SSPE sebenarnya dideskripsikan sebagai 3 kelainan neuropatologi. Pada
tahun 1933, menurut Dawson, seorang anak dengan mental deteriorasi dan gerakan
involunter dimana dari hasil necropsy didapatkan keterlibatan area abu-abu sususan saraf
dengan sejumlah inclusion bodies. Menurut Dawson juga etiologi SSPE adalah virus, tetapi
pada tahun 1965 Bouteille dkk menunjukkan keberadaan struktur virus campak di otak.
Tahun 1969, virus campak benar-benar ditemukan pada pasien SSPE.
1, 2

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika didapatkan data sekitar 1 per sejuta anak menderita SSPE sejak tahun 1960-
1970.
3
Insidennya menurun setelah ditemukan vaksin campak. Di negara berkembang insiden
SSPE cukup tinggi meskipun bervariasi antara negara 1 dengan lainnya. Di India, dilaporkan
oleh Shaha, didapatkan 21 per sejuta populasi di India menderita SSPE sedangkan di Timur
Tengah 2,4 per sejuta.
3, 4

Sebagian besar pasien SSPE memiliki riwayat infeksi campak pada usia awal (< 2 tahun)
yang diikuti periode laten 6-8 tahun, lalu diikuti onset kelainan neurologi progresif. Anak
yang terkena campak di bawah usia 1 tahun memiliki risiko 16 kali terkena SSPE
dibandingkan yang terinfeksi di usia 5 tahun atau lebih. Masa inkubasi SSPE kurang dari 1
dekade sehingga sering terjadi pada masa anak-anak. Perbandingan insiden SSPE antara laki-
laki dan perempuan adalah 3:1, lebih sering pada anak di pedesaan, dengan saudara kandung
2 atau lebih dan pada anak retardasi mental, yang diindikasikan sebagai faktor risiko. Faktor
risiko lainnya antara lain infeksi virus lain seperti infeksi Epstein-Barr virus atau
parainfluenza virus tipe 1.
Dengan ditemukannya vaksin campak menurunkan insiden SSPE hingga 90% di negara-
negara maju. Apabila SSPE terjadi pada anak yang mendapat imunisasi campak, maka infeksi
campak terjadi pada usia kurang dari setahun sebelum anak mendapat imunisasi. Tidak
terdapat bukti mengenai attenuated vaccine virus sebagai penyebab kasus SSPE sporadik.
2


Sumber : Garg RK. Subacute sclerosing panencephalitis. Postgrad Med J. 2001;78:63-70.



PATOGENESIS
Campak disebabkan virus RNA yang termasuk subgrup moribillivirus dari paramyxoviruse.
Infeksi virus campak pada otak terjadi segera setelah infeksi akut virus campak menyebar
termasuk ke otak.
5
Virus campak mencapai otak melalui sel endotel, yang diduga selama
eksantem akut dimana sel endotel lainnya juga terinfeksi. Penyebaran ke otak melalui sel
inflamasi juga dapat terjadi. Virus campak berbentuk pleomorfik, sferis dengan diameter 100
hingga 250 nm dan terdiri dari 6 protein. Lapisan luar terdiri dari RNA berbentuk helix dan 3
protein. Lapisan luar amplop terdiri dari protein matriks yang tersuisun dari glikoprotein
peplomer. Satu peplomer terdiri dari a conical hemagglutinin (H) dan dumbbell shaped
fusion (F) protein. Protein M (matriks) terdapat di antara membran amplop dan berinteraksi
dengan protein H dan F. Infeksi virus campak pada sel di luar sel saraf bersifat sitopatik dan
menyebar melalui ekstraseluler maupun fusi yang menghasilkan multinucleated syncitia.
Pada penderita SSPE ditemukan netralisir antibodi yang tinggi di dalam serum dan cairan
LCS, sehingga diduga virus ekstraseluler bukan penyebab penyebaran virus pada susunan
saraf pusat.
Virus yang diisolasi dapat merupakan virus liar yang masih asli maupun yang sudah
bermutasi yang menyebabkan infeksi persisten. Infeksi virus dimediasi oleh protein H virus
yang menempel pada CD46 sel target (reseptor virus campak). Perubahan protein H dan F
dapat berhubungan dengan infeksi persisten meskipun protein M tidak berubah. Faktor yang
mempengaruhi persistensi adalah faktor imunologis. Saat usia awal, maternal antibodi
terhadap campak masih ada dalam darah bayi, sehingga berisiko terhadap kejadian SSPE.
Penelitian terbaru mengunkapkan adanya peran apoptosis berbagai tipe sel dalam
neuropatogenesis infeksi virus campak pada SSP, baik efek secara langsung maupun
dimediasi oleh sitokin yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel neuronal dan
oligodendroglial.
3

PATOLOGI
Pada SSPE ditemukan inflamasi meninges dan keterlibatan prenkim korteks dan subkorteks
substansi abu-abu maupun putih. Terdapat bukti bahwa ditemukan juga degenerasi neuronal,
gliosis, proliferasi astrosit, perivascular cuffing, infiltrasi limfosit dan plasma, serta
demielinisasi. Pada pasien SSPE juga sering didapatkan infeksi oligodendrosit, pada tahap
lanjut dapat terjadi atrofi korteks serebri derajat ringan hingga sedang. Lobus yang paling
sering terkena adalah parieto-oksipital lalu dapat juga mengenai bagian anterior hemisfer
serebri, struktur subkortikal, batang otak, dan medula spinalis. Infiltrat perivaskuler terdiri
dari limfosit, sel plasma, dan fagosit di meninges maupun parenkim otak. Didapatkan juga
inclusion bodies di dalam nukleus dan sitoplasma sel glia. Inclusion bodies terdiri dari tipe A
yang terdiri dari material eosinofilik dan secara difus terdapat pada neuron dan
oligodendroglia pada pasien dengan penyakit berat. Sedangkan tipe B , kecil dan multipel,
hampir selalu ada di dalam batang otak. Beberapa penelitian membuktikan bahwa nuclear
inclusion tersebut berespon terhadap partikel virus dan mengandung antigen virus.
Neurofibrillary tangles juga didapatkan pada ologodendrosit. Metode hibrididasi
menunjukkan sel yang mengandung tangles sering mengandung genom virus sehingga
dianggap infeksi virus yang menyebabkan terbentuknya tangles . akan tetapi kadang-kadang
sulit menemukan area inflamasi dan inclusion bodies, perubahan histopatologis yang terjadi
hanya nekrosis parenkim dan gliosis. Berdasarkan penelitian, pada peradangan jaringan otak
akibat SSPE sel yang dominan pada area perivaskuler adalah CD4+ dan yang dominan di
area inflamasi infiltrat parenkim adalah sel B. Virus dapat ditemukan dalam jaringan otak
tetapi antigen ditemukan dengan pemeriksaan imunositokimia dan genom virus dideteksi
dengan metode hibridisasi in situ atau metode PCR.
6

MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal biasanya ringan dan mencakup deteriorasi ringan perubahan intelektual dan
perilaku tanpa kelainan neurologis. Dalam perkembangannya dapat muncul gangguan fungsi
motorik dan stereotyped myoclonic jerks yaitu gerakan yang melibatkan kepala, badan dan
anggota gerak, kontraksi otot diikuti 1-2 detik relaksasi karena menurunnya potesial aksi.
Myoclonic jerk tidak diikuti oleh gangguan kesadaran, dapat dipicu oleh eksitasi dan dapat
hilang saat tidur. Mioklonus dapat bermanifestasi dalam gangguan gait, kepala mengangguk-
angguk, atau jatuh. Selain itu penderita juga dapat menunjukkan gejala piramidal dan
ekstrapiramidal, ataksia, distonia, dan diskinesia, serta kejang tonik klonik dan parsial.
4

Manifestasi okuler dapat ditemukan pada 10%-50% penderita, yang terdiri dari cortical
blindess, korioretinitis, dan atrofi optik. Gejala visual dapat muncul bersamaan dengan gejala
neurologis ataupun sebelum muncul gejala neurologis. Pada korioretinitis, berdasarkan
penelitian Park dkk didapatkan viral inclusion dalam lapisan nuklear retina yang merupakan
virus campak.
7


Pada tahap penyakit berat, dapat terjadi kuadriparesis, meningkatnya spastisitas sedangkan
mioklonus menghilang. Fluktuasi temperatur yang diakibatkan gangguan termoregulasi,
deteriorasi sensoris progresif hingga kondisi koma. Muncul deserebrasi dan dekortikasi,
pernapasan ireguler, dan dapat terjadi kematian akibat hiperpireksia, gangguan
kardiovaskuler dan hipotalamus.
DIAGNOSIS
Menurut Dyken diagnosis SSPE dapat berdasarkan 3 dari kriteria pada tabel berikut :

Sumber
8
: Dyken P. Subacute sclerosing panecephalitis. Neurol Clin. 1985;3
5

Kelainan neurodegeneratif dapat juga ditemukan pada beberapa penyakit selain SSPE
sebagaimana tabel berikut
1


Cairan serebrospinal
LCS biasanya normal, aseluler dengan peningkatan protein ringan hingga sedang. Kelainan
yang sering terjadi adalah peningkatan gammaglobulin, biasanya lebih dari 20% dari total
protein LCS. Karena terjadi peningkatan sintesis Ig G, konsentrasi Ig G LCS berkisar 10-54
g/dl dibandingkan konsentrasi anak normal (5-10 g/dl). Peningkatan gammaglobulin
mengindikasikan infeksi atau inflamasi lainnya pada SSP. Saat LCS diperiksa dengan
elektroforesis, akan didapatkan oligoclonal band dari imunoglobulin, yang merupakan kelas
imunoglobulin yang jarang dan menandakan sel B yang berdiferensiasi menjadi sel plasma
pada SSP.
1

6

Pada SSPE, Ig G sebagian besar di dalam LCS untuk melawan virus campak dan oligoclonal
band dapat diabsorbsi oleh virus campak. Sehingga peningkatan titer antibodi campak dalam
LCS merupakan diagnosis SSPE. Peningkatan titer juga terjadi di dalam serum. Peningkatan
titer antibodi 1:256 atau lebih di dalam serum, dan 1:4 atau lebih di dalam LCS
dipertimbangkan sebagai SSPE. Karakteristik rasio titer LCS berkisar antara 1:4 hingga 1:128
(kurang dari 200), dimana rasio ini tergolong rendah dibandingkan normal rasio (1:200
1:500). Rasio serum dan LCS lainnya normal untuk antibodi virus lainnya dan albumin,
sehingga peningkatan antibodi terhadap campak disebabkan oleh virus campak hanya pada
LCS. Metode pemeriksaan serologis yang dilakukan antara lain fiksasi komplemen, inhibisi
hemaglutinasi, netralisasi virus, dan ELISA. ELISA sangat sensitif mendeteksi spesifik Ig G
dan Ig M terhadap virus campak. Selain itu, diagnosis SSPE juga dapat dilakukan dengan
menemukan genom virus dalam LCS. Virus campak dapat dideteksi dengan pemeriksaan
PCR.
1

Elektroensefalografi
Pada awal penyakit, elektroensefalogram dapat normal atau perlambatan general ringan
hingga sedang dan tidak spesifik. EEG yang khas tampak pada fase mioklonik dengan
gambaran kompleks periodik yang terdiri dari simetris bilateral, sinkron, voltase tinggi (200-
500 mv) dengan gelombang polifasik, delta stereotipe. Kompleks periodik ini berulang antara
4-10 detik sekali dan berhubungan dengan perbandingan 1:1 dengan myoclonik jerk (gambar
1)
1


7

Akan terdapat pemendekan interval waktu kompleks periodik seriring progresivitas penyakit.
Kompleks periodik pertama kali saat tidur tanpa disertai spasme mioklonik tetapi sering
berlanjut hingga penderita bangun. Lalu EEG dapat berubah saat penyakit berlangsung yaitu
tidak beraturan dan amplitudo tinggi dan perlambatan disritmik. Pada tahap terminal penyakit
amplitudo turun.
Selain kompleks periodik di atas, dapat muncul berbagai tipe kompleks periodik yang
berhubungan dengan prognosis penyakit. Tipe II ditandai dengan gelombang delta raksasa
bercampur dengan spike cepat, latar belakang EEG bisanya lambat. Tipe III ditandai dengan
gelombang spike panjang diinterupsi dengan gelombang delta raksasa. Menurut Yakub, EEG
dapat mendeteksi dini atonia atau mioklonus. Menurutnya, tipe III kompleks periodik
berhubungan dengan prignosis buruk dan tipe II dengan prognosis paling baik.
1

Pencitraan
Pencitraan tidak banyak berperan dalam diagnosis dini SSPE. CT scan di awal penyakit
normal dan pada tahap lanjut menunjukkan ventrikel yang kecil dan obliterasi dari sulkus
hemisfer dan fisur interhemisfer akibat edema serebral difus. Atrofi serebral fokal atau
general dan dilatasi ventrikel didapatkan setelah perjalanan lama penyakit tetapi dapat juga
normal selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit.
1

MRI lebih sensitif untuk mengdeteksi abnormalitas area putih. Perubahan awal adalah adanya
T2-weighted images (gambar 2) yang sering didapatkan di substansi putih regio subkortikal
oksipital dibandingkan regio frontal. Susbtansi abu-abu biasanya normal. Lesi asimetris dan
predileksi di bagian posterior hemisfer serebri (gambar 3).
1

8





9

Acute fulminant SSPE
Sebagian besar pasien dengan SSPE bertahan hidup 1-3 tahun setelah diagnosis SSPE dengan
rata-rata 18 bulan. Pada acute fulminant SSPE penyakit berjalan sangat cepat dan
menyebabkan kematian dalam waktu 3 bulan. Menurut Haddad, sekitar 10% pasien yang
menderita penyakit fulminan. Mekanisme penyakit fulminan nelum dapat dijelaskan,
beberapa faktir yang dipercayai berperan antara lain virulensi virus, paparan pada usia dini,
daya tahan tubuh rendah, dan infeksi bersamaan dengan virus lainnya.
1

Pengobatan
Terapi adekuat SSPE belum ditemukan. Beberapa non-randomised trial menunjukkan peran
antivirus dan imunomodulator (tabel 3)
1


Isoprenosin
Merupakan obat antivirus dengan mengaktivasi imun penderita melawan virus campak. Obat
ini meningkatkan CD4+, fungsi sel natural killer, potensiasi interferon, dan meningkatkan
produksi IL-1 dan IL-2. Tetapi pengobatan dengan isoprenosin masih kontroversial. Menurut
Nune dkk kombinasi isoprenosin dan triheksilpenidil dapat mengontrol refraktori mioklonus
dibandingkan sodium valproat. Dosis yang digunakan adalah 100 mg/kg/hari. Kekambuham
sering terjadi, pengobatan dilanjutkan meskipun telah remisi kemungkinan dapat seumur
hidup. Monitor efek samping dengan pemeriksaan asam urat karena isoprenosisn dapat
menyebabkan hiperurisemia dan batu ginjal.
1


10

Interferon alfa
Patofisiologi remisi dan kambuh pada SSPE belum diketahui secara jelas. Kondisi stabil
tergantung replikasi virus dan respon imun. Kadar interferon LCS rendah pada SSPE
sehingga pemberian interferon diduga dapat menekan replikasi virus. Interferon alfa dapat
diberikan secara intravena maupun intratekal dalam 6 minggu, dimulai dari dosis 100.000
unit/mm
2
hingga 1.000.000 unit/m
2
selama 5 hari dalam seminggu, pengobatan dapat diulang
6 kali dengan interval 2-6 bulan.
1

Penelitian terbaru menunjukkan hasil yang lebih baik dengan kombinasi insoprenosin dan
interferon alfa intraventrikuler. Monitoring efek samping dengan pemeriksaan antibodi
campak dalam LCS, fungsi ginjal dan hati. Secara laboratoris, target pengobatan adalah
eradikasi antibodi campak dalam LCS. Untuk virus campak di perifer dan limfoid serta
kelenjar digunakan interferon alfa intratekal 5 juta unit/hari. Efek samping interferon alfa
antara lain demam, letargi, anoreksia, meningitis. Jika terdapat peningkatan fungsi hepar
maka pengobatan dihentikan. Interferon alfa juga dapat menginduksi ensefalopati, toksisitas
UMN dan LMN.
1

Ribavirin
Ribavirin telah digunakan bersamaan dengan interferon alfa pada penderita SSPE.
1

Obat lain
Amantadine, anti RNA untuk mencegah maturasi virus sehingga tidak dapat bereplikasi. Obat
ini diabsorpsi dengan sangat baik dan dapat menembus sawar darah ota. Cimetidine,
antagonis reseptor H2 juga digunakan untuk SSPE.
1

Pengobatan simtomatis
Antikonvulsan seperti sodium valproat untuk mengontrol mioklonus, jika terdapat spastisitas
dapat digunakan baclofen dan obat anti spastisitas lainnya.
1

PROGNOSIS
SSPE merupakan penyakit progresif dan kematian dapat terjadi pada 1-3 tahun.
1



11

Referensi
1. Garg RK. Subacute sclerosing panencephalitis. Postgrad Med J. 2001;78:63-70.
2. Gutierrez J, Issacon R, Koppel B. Subacute sclerosing panencephalitis : an update.
Dev Med Child Neurol Suppl. 2010;52:901-07.
3. Swoveland P, Johnson K. Subacute sclerosing panencephalitis and other
paramixovirus infection. In: Mckendall R, editor. Handbook of clinical neurology.
Amsterdam: North Holland; 1989. p. 417-37.
4. Yakub B. Subacute sclerosing pancephalitis (SSPE): early diagnosis, prognostic
factors and natural history. J Neurol Sci. 1996;139 (227-34).
5. Baczko K, Lampe J, Liebert U. Clonal expansion of hypermutated measles virus in a
SSPE brain. Virology. 1993;197:188-85.
6. Allen I, McQuaid S, McMahon J, Herron B. The significance of measles virus antigen
and genome distribution in the CNS in SSPE for mechanisms of viral spread and
demyelination J Neurolpathol Exp. 1996;55:471-80.
7. Caruso J, Robbins-Tien D, Brown W. Atypical chorioretinitis as the very first
presentation of subacute sclerosing pancephalitis. Neurology. 1997;48:286-7.
8. Dyken P. Subacute sclerosing panecephalitis. Neurol Clin. 1985;3.

Anda mungkin juga menyukai