DISUSUN OLEH:
Penguji:
Dr. Wistiani, Sp.A(K), Msi.Med.
Pembimbing:
Dr. Roro Rukmi Windi Perdani
HALAMAN PENGESAHAN
Bagian
Pembimbing
Penguji
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kasih dan karunia- Nya, sehingga Laporan Kasus Seorang Anak Laki-Laki 1 tahun 10 bulan
dengan Demam dengan Tonsilofaringitis Akut, Kejang Demam Simpleks dan Gizi Kurang
Perawakan Pendek ini dapat penulis selesaikan.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh kepaniteraan
senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Wistiani, SpA(K), Msi.Med. selaku penguji.
2. dr. Roro Rukmi Windi Perdani, selaku pembimbing.
3. Keluarga Bapak Eko Nandang.
4. Keluarga dan Teman-teman Co-Ass dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukan.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
33
55
61
BAGAN PERMASALAHAN........................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
64
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranial.1,2 Kejang demam merupakan kelainan
neurologis yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak (umur 3 bulan 5 tahun). Sebanyak 2-5
% anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang pada saat demam. Umur
tersebut berkait dengan fase perkembangan otak yaitu masa developmental window.3
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak bersamaan dengan kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya Shigellosis
(19,79%), faringitis (38%), otitis media (23%), pneumonia (15%), gastroenteritis (7%), roseola
infantum (5%). Demam bukan akibat infeksi tetapi pasca imunisasi dapat pula mengakibatkan
kejang demam. 3
Pada saat kejang terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
skelet dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 10 menit), akan mengakibatkan hipoksia serebral dan menghasilkan kerusakan neuron
otak anak,bahkan dapat menimbulkan perubahan otak secara anatomik, sehingga berpengaruh pada
perkembangan mental dan neurologis anak. Perkembangan mental dan neurologis anak umumnya
tetap pada pasien yang sebelumnya normal. 4,5
Beberapa hal yang harus dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental dan neurologis,
berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko terjadinya
epilepsi meningkat bila terdapat kelainan neurologis yang nyata selama kejang demam pertama,
kejang demam kompleks, dan adanya riwayat anggota keluarga yang menderita epilepsi 1,2,3
Pencarian fokal infeksi ekstrakranial penting dicari supaya dapat mengatasi etiologi dari
demam yang terjadi. Dengan dapat mengatasi demam, maka dapat mencegah terjadinya kejang
demam. Penatalaksanaan yang baik untuk fokal infeksi juga mengurangi faktor yang dapat
memperberat kondisi gizi kurang seorang anak.
Pada tulisan ini akan disajikan kasus anak dengan demam dengan tonsilofaringitis akut,
kejang demam simpleks, dan gizi kurang perawakan pendek yang mendapatkan perawatan rawat
inap di RS Dr. Kariadi Semarang.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis,
melakukan pengelolaan penderita demam dengan tonsilofaringitis, kejang demam simpleks, dan
gizi kurang perawakan pendek serta tindakan pengobatan yang diberikan sesuai dengan penulisan
ilmiah berdasar kepustakaan atau prosedur yang ada.
Tujuan umum
Untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola pasien dengan demam dengan tonsilofaringitis
akut, kejang demam simpleks, dan gizi perawakan pendek sesuai kepustakaan yang ada.
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan autoanamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang kepada pasien dengan demam dengan tonsilofaringitis akut.
2. Mahasiswa mampu melakukan autoanamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang kepada pasien dengan kejang demam simpleks.
3. Mahasiswa mampu melakukan autoanamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang kepada pasien dengan gizi kurang perawakan pendek.
4. Mahasiswa mampu menilai status pertumbuhan dan perkembangan anak.
5. Mahasiswa mampu melakukan pengelolaan secara komprehensif dan holistik pada kasus ini.
C. MANFAAT
1. Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar
menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan pada pasien tonsilofaringitis akut.
6
2. Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar
menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan pada pasien demam dengan kejang
demam simpleks.
3. Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar
menegakkan diagnosis dan melakukan pengelolaan pada pasien gizi kurang perawakan
pendek.
BAB II
PENYAJIAN KASUS
: Ny.H
Umur
: 23 tahun
7
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA (lulus)
Nama Ayah
: Tn. EN
Umur
: 25 tahun
Pekerjaan
: Buruh Pabrik
Pendidikan
: STM (lulus)
6 hari sebelum masuk rumah sakit anak demam tinggi, mendadak, terus menerus, suhu
38oC (axiller) diukur sendiri oleh Ibu. Ibu merasa demam anak semakin hari semakin
tinggi. Demam tidak turun dengan penurun panas. Demam anak lebih tinggi pada sore
atau malam hari dibanding pada pagi hari. Anak mengeluhkan nyeri kepala saat panas
(+). Mata kemerahan (-), batuk (+) berdahak (+), dahak sulit keluar (+) sehingga
warna sulit diketahui, suara grok-grok (+), sesak (-), pilek (+) berwarna bening. Nyeri
telinga (-), keluar cairan dari telinga (-), bintik-bintik merah seperti digigit nyamuk (-).
Selama sakit nafsu makan berkurang, mual (+), muntah (-), dan anak lemas (+).nyeri
perut (-), menggigil (-), kejang (-). Anak tidak menangis saat BAK (-), kecing
berwarna jernih, volumenya berkurang dari biasanya, jumlah gelas belimbing,
frekuensi 5x sehari, lebih jarang dari biasanya. BAB tidak ada keluhan. Anak lalu
dibawa berobat ke dokter umum dan diberi satu macam puyer. Orang tua tidak tahu
apa nama obatnya. Setelah diberi puyer, panas berkurang, tetapi kemudian naik lagi.
5 hari sebelum masuk rumah sakit, anak masih demam, suhu 39,6 oC (axiller) anak
masih merasakan keluhan yang sama seperti sebelumnya. Malam hari anak kejang.
Kejang seluruh tubuh berlangsung selama 2 menit, saat kejang seluruh tubuh kaku,
mata mendelik ke atas, gigi dan mulut terkunci, saat kejang anak tidak sadar, sebelum
dan sesudah kejang sadar, kejang berhenti sendiri. Karena khawatir anak dibawa ke
UGD RSDK. Di IGD anak diberi penurun panas dan ambroxol, lalu anak dibolehkan
rawat jalan.
2 hari sebelum masuk rumah sakit anak masih demam tetapi tidak tinggi, batuk (+),
berdahak (+), suaranya grok-grok, muntah bila batuk. Bintik merah seperti digigit
nyamuk (-), gusi berdarah (-), BAK tidak ada kelainan, BAB cair 1x, warna kuning,
jumlah gelas belimbing, lendir (-), darah (-), ampas (+), buih (-), bau asam. Anak
tidak kejang.
Karena panas tidak kunjung reda, orang tua membawa anak ke IGD RSDK, anak
bersih tetapi tidak/ jarang terjadi banjir di lingkungan tempat tinggal anak.
Anak dikatakan memiliki kebiasaan jajan bakwan malang dari pedagang keliling untuk
makanan selingan. Makanan rumah yang dimakan sehari-hari sering tidak ditutup
Saat berusia satu tahun anak pernah kejang disertai demam sebelumnya.
Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya disangkal.
Riwayat trauma kepala disangkal.
Anggota keluarga yang sakit batuk lama dengan pengobatan memakai obat berwarna
merah disangkal.
Ayah Pasien memiliki riwayat kejang dengan demam sebelumnya pada saat berusia satu
tahun.
Nenek dan Paman Penderita juga pernah mengalami kejang yang disertai demam
sebelumnya.
I
II
III
Keterangan:
: laki-laki
: laki-laki
Anak ARN,
1th dengan riwayat kejang dengan demam
: perempuan
: perempuan dengan riwayat kejang dengan demam
: pasien
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah bekerja sebagai karyawan pabrik, Ibu sebagai ibu rumah tangga. Berpenghasilan Rp.
1.100.000,- setiap bulannya. Menanggung satu anak belum mandiri. Pengobatan
menggunakan BPJS kelas III.
Kesan: sosial ekonomi kurang
B. DATA KHUSUS
Riwayat pemeliharaan prenatal :
ANC (+) di bidan, teratur, dilakukan lebih dari 4 kali selama masa kehamilan, mendapat
imunisasi TT 2 kali. Riwayat penyakit selama kehamilan seperti sakit panas selama hamil,
darah tinggi, kejang, sakit gula selama hamil disangkal. Riwayat trauma dan perdarahan selama
kehamilan disangkal. Selama hamil ibu mendapat vitamin dan tablet penambah darah. Riwayat
minum jamu-jamuan disangkal. Kehamilan lewat bulan/serotinus (-).
Riwayat kelahiran :
Lahir bayi laki-laki dari ibu G1P1A0 usia 21 tahun, hamil 38 minggu. Pasien lahir ditolong oleh
dokter di RS.Dokter Kariadi, lahir dengan sectio caesaria karena bayi sungsang dan terlilit tali
pusat, langsung menangis, riwayat biru-biru disangkal, riwayat trauma kelahiran disangkal,
10
ketuban jernih dan jumlahnya banyak, riwayat kuning disangkal. Berat badan lahir 2900 gram,
panjang badan ibu lupa, lingkar kepala lahir ibu lupa.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal :
Anak kontrol kesehatan, imunisasi, dan perkembangan pertumbuhan di bidan dan dinyatakan
sehat.
Riwayat Imunisasi :
BCG
: 1 x ( 2 bulan, scar + )
DPT
: 3 x ( 2, 3, 4 bulan )
Polio
: 4 x ( 0, 2, 3, 4 bulan )
Hepatitis B
: 3 x ( 0, 1, 6 bulan )
Campak
: 1 x ( 9 bulan)
: Anak hanya diberi ASI, semau anak, setiap menetek 20-30 menit,
kedua payudara mau bergantian, 8x sehari.
: susu formula 2-3 gelas (100cc air + 2 sendok takar) /hari habis.
4 bulan 9 bulan
9 bulan sekarang
3 bulan sekarang
================================================================
100 g
30 g
30 g
11
73.0 kcal
46.5 kcal
31.8 kcal
16.0 g
0.3 g
1.4 g
teh manis
tepung susu sgm 2
Breastmilk (> 10 days post partum)
tepung susu sgm 2
250 g
20 g
200 g
10 g
32.5 kcal
92.8 kcal
137.7 kcal
46.4 kcal
8.0
10.3
14.0
5.2
g
g
g
g
Meal analysis: energy 460.7 kcal (11 %), carbohydrate 55.2 g (10 %)
Snack SIANG
chiki
Breastmilk (> 10 days post partum)
30 g
200 g
153.0 kcal
137.7 kcal
18.9 g
14.0 g
100 g
30 g
30 g
100 g
73.0 kcal
46.5 kcal
31.8 kcal
68.8 kcal
16.0
0.3
1.4
7.0
g
g
g
g
200 g
137.7 kcal
14.0 g
130.0 kcal
111.0 kcal
92.8 kcal
68.8 kcal
28.6
0.0
10.3
7.0
g
g
g
g
130.0 kcal
63.5 kcal
92.8 kcal
137.7 kcal
28.6
5.3
10.3
14.0
g
g
g
g
100 g
30 g
20 g
100 g
100 g
50 g
20 g
200 g
Meal analysis: energy 424.0 kcal (10 %), carbohydrate 58.2 g (11 %)
Snack SIANG
Breastmilk (> 10 days post partum)
200 g
137.7 kcal
14.0 g
MAKAN SIANG
nasi putih
sayur sop macaroni
100 g
50 g
130.0 kcal
63.5 kcal
28.6 g
5.3 g
68.8 kcal
7.0 g
137.7 kcal
14.0 g
130.0 kcal
63.5 kcal
92.8 kcal
68.8 kcal
28.6
5.3
10.3
7.0
g
g
g
g
130.0 kcal
63.5 kcal
92.8 kcal
137.7 kcal
28.6
5.3
10.3
14.0
g
g
g
g
100 g
200 g
100 g
50 g
20 g
100 g
100 g
50 g
20 g
200 g
Meal analysis: energy 424.0 kcal (10 %), carbohydrate 58.2 g (11 %)
Snack SIANG
Breastmilk (> 10 days post partum)
200 g
137.7 kcal
14.0 g
130.0 kcal
63.5 kcal
68.8 kcal
28.6 g
5.3 g
7.0 g
100 g
50 g
100 g
13
Snack SORE
Breastmilk (> 10 days post partum)
200 g
137.7 kcal
14.0 g
130.0 kcal
63.5 kcal
92.8 kcal
68.8 kcal
28.6
5.3
10.3
7.0
100 g
50 g
20 g
100 g
g
g
g
g
================================================================
HASIL PERHITUNGAN
================================================================
Zat Gizi
hasil analisis
rekomendasi
persentase
nilai
nilai/hari
pemenuhan
_________________________________________________________________________
energy
1381.8 kcal
1050.0 kcal
132 %
water
0.0 g
1300.0 g
0%
protein
37.0 g(11%)
13.5 g(12 %)
274 %
fat
57.7 g(37%)
41.0 g(< 30 %)
141 %
carbohydr.
176.4 g(52%)
155.0 g(> 55 %)
114 %
dietary fiber
3.2 g
alcohol
0.0 g
PUFA
4.5 g
9.0 g
50 %
cholesterol
114.0 mg
Vit. A
971.0 g
600.0 g
162 %
carotene
0.0 mg
Vit. E
2.2 mg
Vit. B1
0.4 mg
0.6 mg
64 %
Vit. B2
0.8 mg
0.7 mg
113 %
Vit. B6
0.6 mg
0.4 mg
139 %
folic acid eq.
64.0 g
Vit. C
70.2 mg
60.0 mg
117 %
sodium
292.7 mg
potassium
1133.5 mg
1500.0 mg
76 %
calcium
603.9 mg
600.0 mg
101 %
magnesium
127.4 mg
80.0 mg
159 %
phosphorus
623.4 mg
500.0 mg
125 %
iron
5.9 mg
8.0 mg
73 %
zinc
5.1 mg
3.0 mg
170 %
14
Kesan : ASI tidak eksklusif, kualitas makanan kurang, kuantitas makanan cukup. Makanan tidak
bervariasi.
WAZ= -2,46 SD
15
HAZ= -2,18 SD
WHZ= -1,74 SD
16
Perkembangan:
-
Pertanyaan
Tanpa berpegangan atau menyentuh lantai, apakah anak
Ya
Tidak
3.
4.
5.
anda?
Apakah anak dapat memegang sendiri cangkir/ gelas dan
7.
8.
9.
10.
Pertumbuhan: gizi kurang, perawakan pendek, kepala mesosefal, garis pertumbuhan loss of
growth (T3).
Saat ini ibu pasien menggunakan KB IUD sejak melahirkan anak ARN.
B. OBYEKTIF (13 Februari 2014, di C1L2 pukul 14.15 WIB/ hari perawatan ketiga)
Keadaan umum
Kesadaran
Status Gizi
Tanda vital
:T
N
: 100/60 mmHg
: 100 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
RR : 28x/ menit
t
: 36,9o C
Keadaan Tubuh :
Anemi (-), sianotik (-), ikterik (-), turgor kembali cepat, normotonus, rambut: hitam, mudah dipilah,
tidak mudah dicabut, kulit: turgor kembali cepat, ptechiae (-), edema (-), kejang (-), dispneu (-).
Kepala :
Lingkar kepala 47,5cm (kesan: mesosefal), UUB sudah menutup, mata: konjungtiva anemis (-/-),
telinga: discharge (-/-), hidung: discharge (-), nafas cuping hidung (-), bibir: sianosis (-), stomatitis
(-), mulut: sianosis (-), lidah: makroglosi (-), gigi: nyeri (-), tenggorok: T1-T1 dengan tonsil
hiperemis, faring hiperemis (+), leher: pembesaran nnll (-), tekanan vena tidak meningkat.
Toraks:
Paru- paru: inspeksi: simetris, retraksi (-)
Palpasi: stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : depan: suara dasar vesikuler
suara tambahan: ronkhi (-), hantaran (-), wheezing (-)
19
Vesikuler
Vesikuler
Paru depan
Vesikuler
Paru belakang
Cor
Inspeksi
Palpasi
: sulit dinilai
Perkusi
: sulit dinilai
Auskultasi
: suara jantung I dan II normal, irama reguler, bising (-), gallop (-).
M1>M2, A1<A2, P1<P2
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
: bising usus
Perkusi
Palpasi
: supel, lemas, nyeri tekan (-), turgor kulit baik (kembali cepat)
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba
Ekstremitas
Sianosis
superior
inferior
-/-
-/20
Akral dingin
-/-
-/-
Pucat
-/-
-/-
<2/<2
<2/<2
Reflek fisiologis
+N/+N
+N/+N
-/-
-/-
Reflek patologis
Genital
Perianal
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan Motorik
Pergerakan
+/+
+/+
5-5-5/5-5-5
5-5-5/5-5-5
Tonus
N/N
N/N
Trofi
Eutrofi/Eutrofi
Eutrofi/Eutrofi
Reflek fisiologis
+N/+N
+N/+N
Reflek patologis
-/ -
-/-
Kekuatan
Klonus
-/-
(-)
Brudzinki I dan II
(-)
Tanda Kernig
(-)
: Sulit dinilai
Nervus Ocullomotorius (N.III): pergerakan mata normal, reflek cahaya +N/+N Nervus
Troklearis (N.IV) : pergerakan mata ke medial bawah normal
21
Nervus Trigeminus (N.V) : reflek kornea +N/+N, reflek bulu mata +N/+N
Nervus Abdusen (N.VI) : pergerakan mata ke lateral normal
Nervus Fasialis (N.VII) : tersenyum simetris, kelopak mata menutup secara sempurna
Nervus Vestibulokoklear (N.VII) : sulit dinilai
Nervus Glosofaringeus (N.IX): deviasi uvula (-)
Nervus Vagus (N.X)
STATUS ANTROPOMETRI
Anak laki-laki, BB = 8,5 kg, PB = 82 cm, LK = 47,5 cm.
WHZ = -1,74 SD
WAZ = -2,46 SD
HAZ = -2,18 SD
Kesan: gizi kurang perawakan pendek
(170 + 155) + 13
=
169
=
Kalori
Protein
Kebutuhan 24 jam
Infus D5 NS
(100cc)
850
480
(100kkal)
1200
81,6
(1,23gr)
14,76
-
3 x diet lunak
350
925,67
37
22
3 x 200 cc SGM II
600
Total
1430
AKG (%)
168.23%
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
301,6
1308,87
109,07%
14,3
51,3
347,56%
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Keterangan
Hemoglobin
10,7
gr%
11-13
Hematokrit
31,5
36 44
Eritrosit
4,3
juta/mmk
3,6 5,0
MCH
22,8
Pg
23-31
MCV
73,2
fL
77-101
MCHC
33,8
g/dL
29-36
Leukosit
13
ribu/mmk
6 18
Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Lain-lain
1
0
1
54
37
7
%
%
%
%
%
%
2-5
0
2-5
25-70
50-70
5-15
L
N
L
N
N
N
Trombosit
359
ribu/mmk
150-400
RDW
16,80
11,6-14,8
MPV
9,3
fL
4-11
Berat jenis
: 1,015
pH
: 6,50
Protein
: NEG mg/dL
( N : negatif )
Reduksi
: NEG mg/dL
( N : negatif )
Urobilinogen
: NEG mg/dL
( N : negatif )
23
Bilirubin
: NEG mg/dL
( N : negatif )
Aseton
: NEG mg/dL
( N : negatif )
Nitrit
: NEG
Sed : epitel
: 2.1/ uL
(N : 0,00 40,00)
Lekosit
: 4,1/ uL
(N : 0,0 20,00)
Eritrosit
: 5.8/ uL
(N : 0,0 25,00)
Kristal
: 0,2/ uL
(N : 0,0 10,0)
(N : 0,0 0,5)
Sil. hyalin
(N : 0,00 1,20)
: 0,26/ uL
( N : negatif )
( N : negatif )
Sil. epitel
: NEG LPK
( N : negatif )
Sil. eritrosit
: NEG LPK
( N : negatif )
Sil. leukosit
: NEG LPK
( N : negatif )
Bakteri
: 14,3/ uL
(N : 0,0 100,0)
: negatif
: borderline
4-5
>=6
Masalah Aktif
Febris 6 hari 6
Tgl
13/02/2014
No
.
1.
24
Masalah Pasif
Sosial ekonomi kurang
2.
3.
Batuk
4.
5.
6.
13/02/2014
Initial Dx
: S: O: -
Rx
Mx
: Keadaan umum,
kesadaran , tanda
tanda vital,
kejang berulang ,
:
-
Menjelaskan kepada orang tua supaya lapor kepada petugas kesehatan bila
kejang berulang (pada saat dirawat di RS)
25
Bila anak panas segera kompres pada dahi, leher, ketiak, dan lipat paha, serta
memberi penurun panas bila panas tinggi, sehingga langsung memutus
kemungkinan terjadinya kejang.
Setelah
anak
pulang,
orang
tua
disarankan
untuk
membawa ke
terdekat.
2. Assesment
Diagnosis
Terapi
:-
Monitoring
Edukasi
Assesment
Diagnosis
Terapi
:-
Monitoring
Edukasi
27
Keadaan
Umum
Pemeriksaan fisik
Assessment
Pemeriksaan
Laboratorium
Terapi
Tanda Vital
11/2/14
Anak
sadar, Mata: anemis
Hidung: discharge -, nafas cuping
demam
BB: 8,5kg
TB: 79cm
Nafas spontan,
HR: 110x/ mnt
RR: 26x/mnt
Suhu: 37,1oC
Nadi: reg
Hb:10,7
Ht: 31,5
Leukosit: 13.000
Trombosit: 359.000
Tubex positif 4
Infus D5 NS
480/20/5 tpm
-inj.ampisilin
250mg/6jam iv(H1)
Po:
-Paracetamol 1cth /4-6
jam (kalau t38oC)
Diet 3x nasi, 3x 200cc
sus
28
12/2/14
Hb: 10,7
dd./ TFA
Ht: 31,5
Mulut: sianosis
O: sadar,
kurang aktif
tifoid fever
pasca KDS
RR: 24x/mnt
Suhu: 37,6oC
Trombosit: 359.000
HR: 110x/mnt
Leukosit: 13.000
Inf D5 NS 480/20/5
tpm
Inj ampisilin 250mg/6
jam
Inj diazepam 8 mg IV
pelan kala kejang
Tubex positif 4
Cor/pulmo: dbn
PO:
13/2/14
S: demam (-)
Mata: anemis -/Hidung: nafas cuping -/O: sadar, nafas Mulut: sianosis (-)
spontan
Thorax: simetris, retraksi (-)
Cor/pulmo: dbn
HR: 108x/mnt
Abdomen: BU (+) N, datar, supel
Hepar: tidak teraba
RR: 36x/mnt
Lien: S0
TFA,
Hb: 10,7
Demam tifoid
Ht: 31,5
KDS
Leukosit: 13.000
Trombosit: 359.000
Inj D5 NS 480/20/5
tpm
Inj. Ampicilin 250mg/
6 jam
Inj diazepam 3 mg IV
pelan bila kejang
PO:
29
Suhu: 36,7oC
Nadi: reg, tek
ckup
Tubex positif 4
30
TV,
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang Demam Simpleks
1. Definisi Kejang Demam Simpleks
Kejang demam simpleks (KDS) merupakan bagian dari Kejang Demam. Kejang
demam sendiri adalah bangkitan kejang yang disebabkan oleh demam di atas suhu 38 oC
rectal tanpa disertai infeksi pada sistem saraf pusat atau gangguan keseimbangan elektrolit
akut pada anak berumur lebih dari 1 bulan, tanpa ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya (The International League Against Epilepsy (ILAE), 1993).
Sedangkan kejang demam simpleks (KDS) adalah kejang demam yang berlangsung
singkat, <15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berupa kejang umum tonik
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang demam tidak berulang dalam 24 jam. Kejang jenis
ini merupakan 80% dari seluruh kejang demam.
Pada kasus ini anak kejang selama 2 menit, seluruh badan kaku, mata mendelik ke
atas, saat kejang anak tidak sadar, gigi/ mulut terkunci, sebelum dan sesudah kejang anak
sadar, kejang diprovokasi oleh demam sebelumnya, kejang berhenti sendiri. Keadaan ini
sesuai dengan definisi kejang demam simpleks.
2. Etiologi dan Patofisiologi Kejang Demam Simpleks
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Unit dasar sistem saraf adalah sel khusus yang dinamakan neuron. Neuron memiliki
perbedaan sangat jelas dalam ukuran dan penampilannya, tetapi memiliki karakteristik
tertentu. Neuron memiliki dendrit dan badan sel yang berfungsi menerima impuls saraf dari
neuron di dekatnya dan selanjutnya ditransferkan ke akson. Pada ujung akson terdapat
sejumlah kolateral yang berakhir dalam sinap terminal. Sinap terminal ini tidak menempel
pada neuron yang akan distimulasi melainkan pada celah sinaptik. Jika suatu impuls saraf
berjalan melalui akson dan sampai di sinap terminal makan akan memicu sekresi
31
32
b) Perubahan
permeabilitas
membran
sel
saraf,
misalnya
hipokalsemia
dan
hipomagnesemia.
c) Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang.
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,
otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Pireksia akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan
terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas
motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak. Timbulnya kejang demam juga berhubungan dengan
kecepatan peningkatan suhu, tingginya suhu, dan anatomi bagian otak subkorteks yang
peka terhadap perubahan metabolisme yang terjadi pada peningkatan suhu.
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a) Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/ imatur.
b) Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permeabilitas membran sel.
c) Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan
merusak neuron.
d) Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen
dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan meninggalkan
gejala sisa. Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan anatomi
otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah yang peka seperti
hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini merupakan prekursor timbulnya
epilepsi lobus temporalis yang berlatar belakang kejang demam.
33
35
Faktor natal yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya kejang demam antara
lain adalah prematuritas, asfiksia, berat badan lahir rendah, dan partus lama. Hipoksia
dan iskemia di jaringan otak dapat terjadi pada asfiksia perinatal. Hipoksia dan
iskemia di jaringan otak dapat terjadi pada asfiksia perinatal. Hipoksia dan iskemia
akan menyebabkan peningkatan cairan dan natrium intraseluler sehingga terjadi edema
otak. Daerah yang sensitive terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak,
thalamus, dan kolikulus inferior. Daerah yang sensitive terhadap iskemia adalah
watershead area yaitu daerah parasagital hemisfer dengan vaskularisasi paling
sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan kerusakan factor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitator sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai.
Perkembangan alat-alat tubuh pada bayi premature kurang sempurna sehingga
belum berfungsi dengan baik. Hal ini menyebabkan bayi sering mengalami apneu,
asfiksia berat, dan sindrom gangguan nafas hingga hipoksia. Semakin lama terjadi
hipoksia, semakin berat kerusakan otak yang terjadi dan semakin besar kemungkinan
terjadi kejang. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain adalah hipotalamus.
Serangan kejang berulang menyebabkan kerusakan otak semakin luas. Infeksi susunan
saraf pusat, trauma kepala, dan gangguan toksik metabolik pada masa pascanatal dapat
menjadi faktor risiko terjadinya kejang demam di kemudian hari.
d) Gangguan Perkembangan Otak
Tahap perkembangan otak dibagi enam fase, yaitu neurulasi, perkembangan
prosensefali, proliferasi neuron, migrasi neural, organisasi, dan mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase rawan apabila mengalami gangguan, terutama
pada fase organisasi, dimana dapat terjadi gangguan perkembangan dan bangkitan
kejang. Gangguan perkembangan, riwayat keluarga pernah menderita kejang demam,
dan riwayat sering dititipkan pada day care merupakan faktor risiko terjadi kejang
36
demam. Gangguan perkembangan disertai dua atau lebih faktor risiko di atas
mempunyai risiko 28%-30% untuk terjadi kejang demam.
e) Infeksi Berulang
Seringnya mengalami infeksi merupakan faktor risiko untuk terjadi kejang
demam. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa anak yang sehari-hari dirawat di
tempat penitipan anak memiliki risiko terkena infeksi lebih besar sehingga lebih sering
menderita demam dan meningkatkan risiko terjadinya kejang demam. Infeksi dengan
panas lebih dari empat kali dalam setahun bermakna merupakan faktor risiko
timbulnya bangkitan kejang demam. Didapatkan bahwa infeksi yang paling sering
adalah infeksi saluran nafas dan gastroenteritis dimana virus lebih banyak
menyebabkan infeki dibandingkan bakteri.
f) Faktor Genetik
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor genetic merupakan faktor
penting dalam terjadinya bangkitan kejang demam. Pada anak dengan kejang demam
pertama, risiko untuk terjadi kejang pada saudara kandungnya berkisar 10%-45%.
Hasil pemetaan terhadap beberapa keluarga dengan riwayat kejang demam
menunjukkan bahwa kejang demam berhubungan dengan mutasi gen pada kromosom
19p dan 8q13-21; di antaranya pola autosal dominan.
Menurut penelitian Bahtera T (2007) terhadapt 148 anak yang menderita
kejang demam, didapatkan adanya hubungan mutasi gen pintu kanal voltase ion
Natrium (channelopathy) dengan umur, suhu, jarak waktu antara mulai demam sampai
timbul bangkitan kejang, jenis kejang demam saat bangkitan kejang demam pertama,
dan riwayat keluarga (first degree relative) pernah menderita kejang demam. Mutasi
gen pintu kanal voltase ion Natrium subunit (SCNIA) mengakibatkan terjadi
pergantian asam amino argenin bersifat polar oleh asam amino alanin yang bersifat
nonpolar dan terjadi kodon stop. Adanya kodon stop mengakibatkan deretan asam
amino penyusun pintu kanal voltase ion natrium lebih pendek. Pergantian asam amino
argenin bersifat polar oleh asam amino alanin bersifat nonpolar dan kodon stop
mengakibatkan fungsi pintu voltase kanal ion natrium terganggu. Mutasi gen pintu
37
kanal voltase ion natrium subunit (SCNIA) mempunyai risiko 3,5 kali terjadi kejang
demam berulang sedangkan mutasi gen pintu kanal voltase ion natrium subunit
(SCNIB) mempunyai risiko 2,8 terjadi kejang demam berulang.3
Faktor risiko yang didapat pada Anak ARN adalah ia masih berada pada usia 1
tahun 10 bulan, saat demam didaptkan suhu lebih dari 38oC, dengan didapati fokal
infeksi pada tonsil dan faring, serta memiliki riwayat keluarga ayah, om (adik dari
ayah) dan nenek (ibu dari ayah) pernah kejang demam sebelumnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain yang dapat menjadi penyebab kejang. Misalnya
pemeriksaan darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Punksi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Jika yakin klinis bukan meningitis, maka punksi lumbal tidak perlu dilakukan.
Mengingat manifestasi klinis meningitis sering tidak jelas pada bayi, maka punksi
lumbal pada bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan, pada bayi usia 12-18 bulan
dianjurkan, dan bayi usia lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan.
EEG tidak direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan risiko epilepsi di kemudian hari. Pemeriksaan EEG dapat dilakukan
pada kejang demam tak khas; misalnya pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang demam dapat
abnormal, biasanya berupa perlambatan di posterior. Sembilan puluh lima persen kasus
kejang demam EEGnya abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam. Kira-kira
30% penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan akan menghilang 7
sampai 10 hari kemudian. Walaupun ada abnormalitas gambaran EEG yang tinggi pada
anak dengan kejang demam, namun EEG tidak dapat memprediksi rekurensi atau riisko
untuk terjadinya epilepsy di kemudian hari. AAP (American Academy of Paediatric) tidak
menganjurkan untuk melakukan EEG pada penderita dengan kejang demam sederhana atau
kompleks.
38
Foto x-ray kepala dan neuropencitraan seperti computed tomography (CT) atau
magnetic resonance imaging (MRI) tidak rutin dilakukan. Pencitraan seperti x ray, CT scan,
atau MRI kepala hanya dilakukan jika ada indikasi, seperti kelainan neurologic fokal
menetap (missal hemiparesis), paresis n.VI (n.abdusens) bola mata tidak dapat melirik ke
lateral, dan adanya papil edema.
5. Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu: (1)
pengobatan pada fase akut; (2) mencari dan mengobati penyebab; (3) pengobatan
profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
a) Fase Akut/ Saat Kejang
Tujuan pengelolaan pada fase ini adalah untuk mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari
factor penyebab.
Pengelolaan umum: menjaga fungsi vital tetap baik agar oksigenasi otak tetap adekuat.
Pengelolaan khusus: menghentikan kejang dan mencegah timbulnya kejang berulang,
koreksi kelainan elektrolit dan metabolit bila ada, mencari dan mengobati penyakit yang
mendasari, dan mencegah komplikasi.
2.2.
BB/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetil salisilat tidak dianjurkan terutama pada usia < 18
bulan karena risiko sindrom Reye.
Diazepam oral 0,3 mg/kg BB tiap 8 jam saat demam dapat menurunkan risiko
berulangnya kejang demam pada 30-60% kasus, begitu pula diazepam rectal 0,5
mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC. hati-hati dengan efek samping ataksia,
iritabel dan sedasi berat yang terjadi pada 25-39% kasus. Fenobarbital, fenitoin dan
karbamazepin saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
c) Pengobatan Rumatan/ Pencegahan/ Profilaksis
Pengobatan rumat dibeirkan jika: kejang lama > 15 menit, ada kelainan neurologis nyata
sebelum atau sesudah kejang misalnya paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus, dan adanya kejang fokal.
Pengobatan rumat dipertimbangkan jika ada kejang berulang dua kali atau lebih dalam
24 jam, terjadi pada bayi < 12 bulan, kejang demam 4 kali/ tahun.
Pilihan pertama saat ini ialah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kg BB/hari dibagi
2-3 dosis; atau fenobarbital 3-4 mg/kg BB/hari dibagi dalam 1-2 dosis. Asam valproat
dapat menyebabkan gangguan fungsi hati pada sebagian kecil kasus terutama pada usia
< 2 tahun; fenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar
pada 40-50% kasus. Pengobatan diberikan sampai satu tahun bebas kejang; kemudian
dihentikan bertahap dalam 1-2 bulan.
TONSILOFARINGITIS AKUT
Faringitis adalah infeksi akut faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya
yang sangat berdekatan jarang terjadi infeksi lokal tonsil saja atau faring saja. Dengan
demikian pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis dan
tonsilofaringitis.6
Sebagian besar tonsilofaringitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab tersering
adalah adenovirus, virus influenza dan virus parainfluenza. Walaupun penyebab terbanyak
adalah virus namun ada bakteri penyebab yang memerlukan perhatian khusus karena dapat
40
Skor
-1
41
Mc Issac Score
1
2
3
4
5
2-3%
4-6%
10-12%
27-28%
38-63%
Tatalaksana
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
diberikan.
Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenger (obat hisap) pada anak yang
cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang
letaknya sangat berdekatan sehingga pada umumnya didapatkan infeksi keduanya yaitu
tonsilofaringitis. Pada pasien ini didapatkan faring yang hiperemis tetapi tonsilnya belum
membesar karena infeksinya bersifat akut, jadi tidak menutup kemungkinan untuk infeksi
keduanya.
Pengelolaan
Tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh virus bersifat Self Limiting Disease,
sehingga yang perlu kita lakukan adalah mengedukasi supaya makan tertaur dan bergizi dan
mengambil waktu untuk istirahat. Pada tonsilofaringitis bakteri akut, penggunaan anti
42
mikroba dapat memperpendek perjalanan penyakit dan insiden komplikasi menurun. Pada
pasien ini diberikan diet cairan dan diet makanan yg cukup.
Gizi Buruk
(BB/UU)
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
(Z-Score)
< -3 SD
-3 SD sampai dengan < -2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
Sangat Pendek
Pendek
Normal
-2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi
43
<-3 SD
>2 SD
Sangat Kurus
<-3 SD
Kurus
Normal
-2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk
>2 SD
Anak dengan gizi kurang termasuk dalam penyakit kurang energi dan protein (KEP). KEP
merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi Indonesia maupun banyak Negara
yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada penyakit
KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun
protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat
gangguan pertumbuhan di samping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khasa bagi tipe
penyakitnya.11
Klasifikasi KEP menurut Gomez
Gomez (1956) merupakan orang pertama yang mempublikasikan cara pengelompokan kasus
KEP. Klasifikasi KEP menurut Gomez didasarkan pada berat badan menurut usia (BB/U). Berat
anak yang diperiksa dinyatakan sebagai persentase dari berat anak seusia yang diharapkan pada
baku acuan dengan menggunakan persentil ke 50 baku acuan Harvard. Berdasarkan sistem ini, KEP
diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu: derajat I, II, dan III.11
Derajat KEP
I (ringan)
II (sedang)
III (berat)
44
Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang
bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain: faktor diet, faktor sosial,
kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain-lain.
Peranan Diet:
Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderita kwarshiorkor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat
gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi dalam
penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang
kurang lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwarshiorkor, sedangkan pada
beberapa anak-anak yang lain timbul gejala marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet
bukan merupakan faktor yang penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat
menjelaskan timbulnya gejala tersebut.
45
ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian
dan pengobatan semestinya.
d. Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian bayi tersebut tidak
mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan
tidak dilakukan dengan semestinya.
Peranan Kepadatan Penduduk
Dalam World Food Conference di Roma pada tahun 1974 telah dikemukakan bahwa
meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambah persediaan bahan
makanan setempat yang memadahi merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan
penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi
baik di samping kuantitasnya.
Peranan Infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi
derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergistis, sebab malnutrisi
disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada sendiri-sendiri.
Peranan Kemiskinan
Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama merupakan problema
bagi golongan miskin dalam masyarakat negara tersebut. Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam
laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun 1974. Mereka menganggap kemiskinan
merupakan dasar penyakit KEP. Tidak jarang terjadi bahwa petani miskin harus menjual tanah
miliknya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap yang menurunkan lagi
penghasilannya atau ia meninggalkan desa untuk mencari nafkah di kota besar. Dengan penghasilan
yang tetap rendah, ketidakmampuan menanam bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan
46
timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal. Timbulnya gejala KEP lebih
dipercepat.11
Gejala Klinis KEP
Gejala Klinis KEP Ringan
Penyakit KEP ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2 tahun, akan
tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar. Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat
dari:
1. Pertumbuhan linier mengurang atau terhenti
2. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, dan ada kalanya beratnya bahkan menurun.
3. Ukuran lingkar lengan atas menurun.
4. Maturasi tulang terhambat.
5. Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun.
6. Tebal lipat kulit normal atau mengurang.11
Pencegahan KEP
Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih
dari satu faktor dasar penyebab KEP:
1. Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan menjadi lebih
banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.
2. Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi energi untuk
anak-anak yang disapih.
3. Memperbaiki infrastruktur pemasaran. Infrastruktur pemasaran yang tidak baik akan
berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan.
4. Subsidi harga bahan makanan.
47
48
BAB IV
HASIL KUNJUNGAN RUMAH
Ukuran
: 13,5 x 8 m
Penghuni
: 8 orang
Halaman rumah
: tidak ada
Teras rumah
: ada
Dinding rumah
Lantai rumah
: keramik
Ruangan
Kamar mandi
: 2 buah, milik sendiri, ukuran 1,5 m x 1,5 m, air ditampung dalam bak
mandi, dibersihkan tidak setiap hari, terdapat jentik nyamuk, jamban
ada (1), selokan ada mengalir lancar.
Ventilasi
Pencahayaan
: pencahayaan kurang
Tempat sampah
Selokan
: ada
50
Kebiasaan sehari-hari
Asuh
Pasien tinggal bersama ibu, ayah, dan nenek, kakek dan pamannya. Ayah penderita seorang
lulusan STM. Ayah bekerja sebagai pegawai swasta, Ibu sebagai Ibu Rumah Tangga. Pasien sehariharinya diasuh oleh ibunya. Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai sekarang, tidak eksklusif
karena pada usia 1,5 bulan juga diberikan susu formula. Jika sakit pasien dibawa ke dokter dekat
rumah. Makanan sehari-hari: susu SGM II @ 3 sendok takar dalam 120 cc air, 8-10 x/hari, anak
telah
makan
makanan
keluarga
berupa
nasi,
sayur
(wortel/bayam),
lauk
Asih
Kasih sayang diberikan terutama oleh ibu dan ayah. Ayah bekerja sebagai pegawai swasta.
Jam kerja mulai dari jam 7 pagi hingga 5 sore. Selama ayah bekerja anak bersama ibunya. Ketika
sore dan malam anak bersama orang tua.
51
Asah
Stimulasi mental terutama diberikan oleh ibu dan ayahnya, yang masing-masing lulusan
SMA, dan STM. Biasa bermain dengan ibunya selama di rumah. Mainan yang biasa dimainkan
berupa bola-bola, mobil-mobilan, dan puzzle.
Lingkungan
Rumah pasien terletak di kawasan Talang Barat II, dekat Tugu Suharto, Sampangan. Rumah
ukuran kecil, bersebelahan dengan rumah lainnya. Rumah yang satu dengan yang lain berdempetan
dalam lingkungan yang padat penduduk.
Rumah pasien berdinding tembok, lantai memakai keramik, 2 jendela di bagian depan ruang
tamu serta 2 ventilasi kecil, pertukaran udara di rumah kurang, pencahayaan kurang.
Terdapat barang-barang berserakan di dalam rumah, di dapur banyak terdapat tumpukan
peralatan masak sampah. Jalan di depan rumah berupa jalan plester semen dengan lebar 2 meter,
dapat dilalui 1 mobil.
DENAH RUMAH
Luas rumah : 9 x 6 m2
K.Mand
Pintu
Dapu
Dapu
52
K.Tidu
Gudan
K.Tidur
R.Tamu
R.Tam
Pintu
K.Mand
Teras
K.Tidu
Warun
Kamar tidur
53
Kamar tidur
Jendela depan
54
Dapur
Kamar mandi
BAB V.
RINGKASAN
Seorang anak laki-laki berumur 1 tahun 10 bulan dibawa orang tuanya ke RSUD
Kariadi dengan keluhan demam, batuk (+), pilek (+). 6 hari panas bertambah tinggi, terus menerus,
tidak menggigil, batuk, pilek, tidak sesak. 5 hari sebelum masuk rumah sakit, anak demam
kemudian anak kejang, kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku, selama 2 menit, selama
55
kejang anak tidak sadar, sebelum dan sesudah kejang anak sadar. Anak dibawa berobat ke dokter
umum, lalu diberi obat penurun panas, panas reda tapi setelah itu naik lagi. Karena panas tidak
kunjung turun, anak dibawa berobat ke RSUD Kariadi.
Riwayat kejang sewaktu demam sebelumnya tidak ada. Riwayat anggota keluarga ada
yang mengalami kejang sewaktu demam ada, riwayat kejang tanpa demam sebelumnya disangkal,
riwayat trauma kepala dan penurunan kesadaran sebelumnya disangkal. Anak sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap sesuai usia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak sadar, kurang aktif, dan tidak kejang. Secara
umum, anak demam, tanda vital lain dalam batas normal, tidak didapatkan tanda-tanda defisit
neurologik. Didapatkan batuk, discharge encer jernih pada hidung, tonsil dan faring hiperemis.
Status internus, dula darah sewaktu, dan elektrolit anak dalam batas normal. Pada pemeriksaan
darah didapatkan anak anemia mikrositik. Antropometri menurut WHO, WAZ = -2,46 (berat badan
kurang), HAZ = - 2,18 (perawakan pendek), WHZ = - 1,74, Anak gizi kurang perawakan pendek.
Perkembangan anak sesuai umur, penghitungan KPSP = 10.
Penderita didiagnosis dengan kejang demam simpleks, febris 6 hari (tonsilofaringitis
akut), gizi kurang perawakan pendek, dirawat di bangsal anak selama 3 hari. Selama perawatan
tidak terjadi kejang berulang. Tonsilofaringitis akut sebagai penyebab timbulnya panas yang
mencetuskan kejang sudah mengalami perbaikan. Penderita pulang dalam keadaan baik, tidak
demam. Ibu disarankan untuk menyediakan obat penurun panas dan memeriksakan ke dokter bila
terjadi infeksi yang akan menyebabkan suhu tubuh meningkat sehingga mencetuskan terjadinya
kejang, serta menjamin anaknya agar terus mendapat asupan makanan yang bergizi dan cukup, dan
menjaga kebersihan pribadi maupun lingkungan.
56
BAGAN PERMASALAHAN
FAKTOR
RISIKO
Pola asuh ortu:
demokratis
Tipe anak
Riwayat
Prenatal (-)
Natal (-)
Postnatal (-)
Genetik (+)
Kebutuhan Dasar
Anak
Asuh
Diasuh oleh ibu ayah.
Makanan kurang
berkualitas. Pengobatan
sederhana sewaktu sakit.
Sarana Pengobatan
terjangkau
Deteksi dini:
1. Anamnesis: Febris 6 hari
Kejang Demam
Pemeriksaan Fisik:
Internus :dbn.
Tonsil dan faring
hiperemis.
Pemeriksaan neurologis:
tidak ada kelainan.
Pemeriksaan penunjang:
Darah: anemia mikrositik
hipokromik. Urin rutin
dbn; serologi: Tubex pos 4
2. KPSP anak :10 sesuai
tahapan perkembangan
3. Pemeriksaan
Antropometri: Berat
badan kurang, perawakan
pendek
4. Garis Pertumbuhan: T3
(loss of growth)
5. Status Gizi : kurang
6. Imunisasi sesuai umur
Kuratif
Preventif
Promotif
Rehabilitatif
Medikamentosa:
Pemutus Kejang
Pengobatan
suportif.
Cegah infeksi,
pantau gizi anak,
dan peningkatan
suhu anak.
Turunkan panas,
cegah kejang.
Pengetahuan
kejang demam,
demam dg TFA
dan gizi kurang
Memberikan
makanan seimbang
agar kebutuhan gizi
anak tetap terpenuhi,
Penatalaksanaan Komprehensif
Diagnosis
Diagnosis Utama: Demam dg TFA dan
Kejang Demam Simpleks
Diagnosis Comorbid: Diagnosis Komplikasi: Gizi Kurang
Diagnosis Pertumbuhan: Perawakan
pendek, berat badan kurang, garis
pertumbuhan T3
Diagnosis Gizi: Gizi kurang
Diagnosis Perkembangan:
perkembangan sesuai umur
Diagnosis Imunisasi: imunisasi dasar
lengkap sesuai usia
Diagnosis Sosial-Ekonomi: sosial
ekonomi kurang
TUMBUH
KEMBANG
ANAK
OPTIMAL
Penatalaksanaan Holistik
Asih
Asah
Kualitas dan
kuantitas waktu
bersama
keluarga : Baik
Stimulasi oleh
ibu ayah
Mikrosistem
Minisistem
Mesosistem
Makrosistem
informasi infeksi,
penanganan kejang
demam,
tonsilofaringitis, dan
gizi kurang
Program imunisasi
pemerintah, sosial
budaya masyarakat.
Tata kota dan
pemukiman.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Ismael S. KPPIK-XI, 1983, Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak.1999.
2. Puspanegoro HD. Konsensus penganganan kejang demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta :IDAI. 2005 : 1-14
3. Bahtera, Tjipta. Kejang demam edisi 9. Semarang : Badan penerbit Universitas Diponegoro
Semarang.2009.
4. Sadleir LG, Scheffer IE. Febrile Seizures: a clinical review. BMJ 2007; 334: 307 11
5. Soetomenggolo TS et.al. Kejang Demam. Buku Ajar Neurologi Anak. Ikatan Dokter
Anak
Indonesia.
6. Adams, G.L. Boies. Buku Ajar Penyakit THT . Ed.6. EGC. Jakarta, 1997.
7. Soepardi E.Arsyad, Iskandar Nurbaiti, editor. Penyakit serta kelainan faring dan tonsil. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5, Gaya Baru. Jakarta:
2001.
8. McIssac WJ et al. CMAJ 2000; 163; 811-5. Rhinotonsilifaringitis Akut dalam Modul
Respirologi. Kolegium IKA. 2008.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ed.1. Badan
Penerbit IDAI. 2005 : 109-113.
10. Nelson, Behrman, Kliegman, Arvin. Alih bahasa : Wahab A. Samik. Nelson Textbooks of
Pediatrics, Ilmu Kesehatan Anak volume 2 edisi 15. Jakarta. EGC, 2000: 970 3.
11. Solihin Pudjiadi. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi 4. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2001.
58