Anda di halaman 1dari 17

Kepada Yth : dr.

Rencana Baca : Jumat, 24/11/2017. PKL: 09.00 WITA


Tempat : RSP Gedung A Lantai 4

Referat Imunologi

Aspek Imunologis pada Infeksi Virus Herpes Simpleks


Bachtiar Syamsir, Asvin Nurulita, Uleng Bahrun
Program Studi Patologi Klinis FK-UNHAS RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar

I. PENDAHULUAN
Virus herpes simpleks (VHS) adalah virus deoxyribonucleic acid (DNA)
yang merupakan anggota dari human herpes virus (HHV) atau Herpetoviridae.
Terdapat dua tipe virus herpes simpleks yaitu VHS-1 dan VHS-2. Mayoritas populasi
sekitar 90% memiliki antibodi terhadap VHS dan sebanyak 40% dari kelompok ini
mengalami infeksi herpes sekunder. Pada individu yang sistem imunnya baik, ulserasi
infeksi herpes simpleks sekunder akan sembuh dalam 1-2 minggu tanpa jaringan
parut, biasa tidak terlalu sakit, kebanyakan tidak perlu pengobatan, dan tidak selalu
muncul sebagai lesi rekuren yang memerlukan perhatian khusus. Tanpa fungsi imun
yang baik, herpes rekuren dapat terus bertahan dan menyebar sampai infeksi diobati
dengan obat anti virus, hal ini dapat memberikan perbaikan. Virus herpes simpleks
merupakan penyebab dari sebagian besar infeksi virus oral pada pasien
imunodefisiensi.1
Infeksi virus herpes simpleks dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan pada pasien imunodefisiensi. Meskipun infeksi akibat virus herpes simpleks
biasanya tidak menyebabkan kematian namun telah dilaporkan terjadinya esophagitis,
pneumonia, encephalitis yang disebabkan oleh VHS. Insiden infeksi VHS cukup
tinggi pada pasien imunodefisiensi seropositif (hasil penelitian bervariasi antara 50%-
59%). Infeksi oral VHS-1 juga dilaporkan merupakan variabel prognostik negatif
pada kelangsungan hidup pasien transplantasi sumsum tulang. Reiz MA et al. (1991)
melaporkan terjadi kegagalan setelah transplantasi ginjal sebesar 6,2% disebabkan
oleh virus dan VHS bertanggung jawab sebesar 60 % kematian yang terkait dengan
virus. Reaktivasi VHS pada pasien imunodefisiensi dapat membahayakan maka
diperlukan tindakan pencegahan yang memadai.1,2

1 Referat Imunologi
Infeksi virus herpes simpleks umumnya tidak bergejala. Infeksi ditandai
dengan lesi primer lokal, laten dan cenderung untuk kambuh kembali. Pada umumnya
lesi primer pada wanita berada pada serviks uteri dan vulva sedangkan pada pria lesi
muncul pada glans penis atau preputium, ditemukan daerah anus biasanya pada
mereka yang melakukan seks anal. Penyakit ini tergolong berat untuk bayi, karena
dapat mengakibatkan malformasi janin, keterbelakangan mental yang parah,
kerusakan otak atau kematian bayi. Bagi wanita hamil yang terinfeksi dapat terjadi
aborsi spontan atau kelahiran prematur.2

II. EPIDEMIOLOGI
Hampir setiap orang yang menderita infeksi VHS-1, infeksi pertama 90%
tidak bergejala, 9% bersifat tidak spesifik dan yang nyata secara klinis hanya sekitar
1%. Insiden infeksi primer VHS-1 pada umumnya menyebabkan kejadian herpes
labial berulang paling banyak pada usia 2-3 tahun, yakni sekitar 30-60% terpapar oleh
virus. Kecepatan infeksi VHS-1 meningkat seiring umur dan kebanyakan orang yang
berumur 30 tahun ke atas memiliki hasil seropositif untuk VHS-1.1,3
Reaktivasi infeksi genital VHS-2 lebih banyak dibandingkan VHS-1.
Diperkirakan 30% pasien mengalami kekambuhan lebih dari 8-9 kali tiap tahun.
Herpes neonatal terjadi sekitar 1 dalam 5000 kelahiran di Amerika, sebagian besar
anak (75%) terinfeksi dalam proses persalinan selama melewati traktur genitalis.
Tingkat beratnya penyakit tidak bergantung dari jenis VHS tetapi tergantung pada
keadaan prematuritas dan persalinan intervensi instrumen. Pada umumnya infeksi
VHS 1 lebih sering dan lebih awal didapatkan dibandingkan dengan infeksi VHS-2.
Lebih dari 90% orang dewasa memiliki antibodi terhadap VHS-1 pada usia 50 tahun,
sedangkan pada populasi dengan status sosial ekonomi rendah kebanyakan
mendapatkan infeksi sebelumnya usia sampai 30 tahun. Survei serologi menunjukkan
bahwa 20% populasi di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap VHS-2,
walaupun hanya 10% melaporkan adanya riwayat lesi genital. Berbagai survei
serologi telah menunjukkan seroprevalensi serupa disebagian besar Eropa Tengah,
Amerika serikat dan Afrika. Prevalensi antibodi tersebut rata-rata 5% lebih tinggi
pada wanita dibandingkan dengan pria dan kebanyakan tanpa gejala atau
asimptomatik.4

2 Referat Imunologi
Adanya virus herpes simpleks 2 dapat digunakan penanda tidak langsung
terhadap aktivitas seksual pada beberapa kasus. Namun pada kebanyakan penelitian,
Adanya infeksi VHS-2 berhubungan dengan kebiasaan seksual dan prevalensi infeksi
pada pasangan seks dengan infeksi tersebut. Virus dapat ditularkan oleh pasien yang
terinfeksi dan tidak menunjukkan gejala sehingga hal itu mempermudah transmisi.3,5

III. ETIOLOGI
Virus herpes dari family herpesviridae virion yang memiliki core
mengandung DNA linier rantai ganda, dengan kapsid berbentuk icosapentahedral
berdiameter 100-110 nm terdiri dari 162 capsomer, memiliki envelope yang
mengandung glikoprotein virus pada permukaannya.3

Gambar 1 : Virus herpes simpleks


(Sumber: Marques AR. Amerika. 2008)

Virus herpes berukuran besar dibandingkan dengan virus lain. Struktur virus
herpes dari dalam ke luar terdiri dari genom DNA untai ganda linier berbentuk toroid,
kapsid, lapisan tegumen, dan selubung. Dari selubung keluar tonjolan-tonjolan (spike),
tersusun atas glikoprotein. Terdapat 10 glikoprotein untuk VHS-1 yaitu glikoprotein
(g)B, gC, gD, gE, gG, gH, gI, gK, gL, dan gM. Glikoprotein G VHS-1 berbeda
dengan VHS-2 sehingga antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk membedakan
kedua spesies tersebut.3

3 Referat Imunologi
IV. ASPEK IMUNOLOGIS INFEKSI VHS
Infeksi primer virus herpes simpleks terjadi melalui kontak langsung
dengan penderita VHS melalui permukaan mukosa. Virus ini tidak aktif pada suhu
kamar sehingga penyebaran secara aerosol dan fomitik tidak mungkin terjadi. Infeksi
terjadi melalui inokulasi ke permukaan mukosa yang rentan terhadap infeksi. Setelah
paparan VHS, virus bereplikasi di sel epitel menyebabkan lisis pada sel yang
terinfeksi, pembentukan vesikel, dan peradangan lokal. Setelah infeksi primer di
tempat terjadinya inokulasi, VHS menuju ke saraf-saraf perifer dan masuk ke akar
ganglia saraf otonom atau saraf sensoris, lalu berlangsung latensi di tempat yang
sama. Pada infeksi VHS orofasial, ganglia trigeminal yang paling sering terkena
sedangkan pada infeksi VHS genital, ganglia sakralis (S2-S5) yang paling sering
terlibat. Secara berkala, VHS dapat mengaktifkan diri kembali dari fase laten dan
virus kemudian menginfeksi saraf sensorik pada kulit dan daerah mukosa yang
menyebabkan episode penyakit berulang. Penularan mukokutan berulang dapat terjadi
dengan atau tanpa lesi, virus dapat ditularkan ke host baru saat fase penularan terjadi.
Kekambuhan biasanya terjadi di lokasi terjadinya infeksi primer dapat bergejala atau
tanpa gejala.3
Siklus infeksi dari VHS melibatkan kontrol imun, penjelasan tentang
mekanisme imun dapat menjadi dasar dalam perkembangan terapi dan profilaksis
dengan vaksin. Dalam jalur transmisi mekanisme respon imun innate dan imun
adaptive yang mengontrol replikasi di mukosa serta menjadi faktor penentu terhadap
jumlah virus yang masuk kedalam neuron, menjadi laten dan reaktivasi dari dorsal
root ganglion (DRG) neuron. Setelah penyebaran anterograde virus menuju terminal
axon, respon imun adaptive berlangsung dan menentukan tingkat replikasi dan gejala
klinis dari infeksi ini. 6-8

A. Infeksi VHS pada Kulit/Mukosa


Virus herpes simpleks 1 dan 2 mempunyai kesulitan dalam melakukan
invasi ke dalam stratum korneum kecuali pada kondisi luka robek atau abrasi,
sangat mudah menginfeksi lapisan tipis seperti labium minor dan vagina pada
wanita, preputium pada pria. Virus ini menginvasi ke reseptor permukaan dari
keratinosit epidermis dan sel langerhans yang menyebabkan infeksi. Keratinosit
epidermis dan sel dendrit/dendritic cell (DCs) berperan dalam mengekspresikan
reseptor VHS nektin 1 dan herpes entry mediator (HVEM), selain itu keratinosit

4 Referat Imunologi
epidermis bisa juga terinfeksi melalui endositosis (juga melalui fusi netral di
permukaan sel). Infeksi VHS pada keratinosit menstimulasi dihasilkannya sitokin
interleukin (IL) -1 dan IL-6 oleh makrofag yang merupakan sitokin proinflamasi,
interferon alfa (IFN-α) dan interferon beta (IFN-β) menghambat replikasi sel, dan
β-kemokin, begitu pula pada infeksi sel langerhans di dalam epidermis.6,7

B. Transpor Retrograde dari VHS dalam Neuron


Pada hewan percobaan, ditemukan bahwa virus herpes simpleks tersebar
melalui sel neuron dari mukosa atau kulit. Sejumlah virus masuk ke neuron
sensorik terminal. Setelah masuk ke sel neuron, permukaan glikoprotein virus
tertinggal di membran sel sebagai akibat dari fusi membran sel-virus. Banyak dari
lapisan luar tegument protein virus mengalami pemisahan. Sebagian besar lapisan
luar tegument protein terlepas dari internal core atau nukleokapsid virus. Proses
ini memungkinkan komplemen kapsid dengan sejumlah tegument protein
memiliki peran untuk mengikat molekuler penyusun mikrotubulus dan
mengangkut secara retrograde ke badan sel. Berdasarkan penelitian dijelaskan
bahwa adanya hubungan antara prinsip jalur molekular retrograde dynein dengan
keterlibatan dynactin dalam pengangkutan ini. Kemungkinan bahwa protein virus
yang mengikat dynein adalah bagian dalam tegument protein atau bagian luar
kapsid protein. Protein kapsid VP26 (protein 12 kDa) terdapat di luar kapsid yang
mengikat protein kapsid utama dalam konfigurasi hekson, juga mengikat dynein
sebagai protein rekombinan. Selanjutnya, saat kapsul VHS dirakit secara in vitro
dari protein penyusunnya dengan VP26, kapsid dengan kandungan VP26 di
permukaannya akan diangkut ke membran nukleus setelah pengendapan kedua
jenis kapsid ke dalam sitoplasma dengan mikroinjeksi. Ada kemungkinan
eksternal posisi VP26 mengikat dynein selama transport retrograde in vivo jika
tidak ditutupi oleh tegument protein bagian dalam.6,8

5 Referat Imunologi
Gambar 2. Diagram skematik infeksi primer VHS
(sumber : Goldman L, Philadelphia, 2012)

Gambar 3. Diagram skematik infeksi laten dari reaktivasi VHS


(sumber : Goldman L, Philadelphia, 2012)

C. Peran Interferon (IFN) dan Innate Imunity dalam Respon Awal Infeksi VHS

Interferon, makrofag, natural killer sel memiliki peran penting dalam


respon innate imunity. Toll-like reseptors (TLRs) merupakan mediator yang
penting dalam respon innate imunity pada infeksi VHS dalam saluran genitalia
ataupun sistemik. Virus herpes simpleks berinteraksi dengan TLR-2 dan TLR-9.
Interaksi VHS-1 dan 2 dengan TLR-2 berlangsung di permukaan, sedangkan
interaksi VHS-2 dengan TLR-9 melalui DNA virus dalam endosom partikular
plasmacytoid DCs. Interaksi ini menstimulasi dihasilkannya IFNα dari sel
mononuklear.6

6 Referat Imunologi
Gambar 4 : Mekanisme innate imunity yang terinduksi oleh infeksi VHS;
(Sumber : Cunningham AL. The Cycle of Human VHS Infection. 2006)

Replikasi VHS merupakan proses yang bertahap (Gambar 5). Setelah onset
infeksi, DNA virus dilepaskan dan diangkut ke inti sel host. Proses ini kemudian
diikuti oleh transkripsi gen dini-segera (immediate-early genes), yang mengkode
protein regulator. Ekspresi protein regulator ini akan mengkode gen dini (early genes)
dan gen lambat (late genes) yang diperlukan untuk replikasi virus. Perakitan inti dan
capsid virus terjadi di dalam inti sel host. Proses pembentukan envelope pada
membran inti dan transportasi keluar dari inti sel melalui retikulum endoplasma dan
badan golgi. Virus yang matur diangkut ke membran luar sel host di dalam vesikel.
Pelepasan progeni virus terjadi bersamaan dengan kematian sel.9

Gambar 5. Diagram Skematik Replikasi VHS


(Sumber: Goldman L,Philadephia, 2012)

Immunopatogenesis infeksi VHS diawali dengan respon innate imunity.


Virus masuk menembus lapisan epitel kulit kemudian leukosit akan bergerak ke

7 Referat Imunologi
tempat infeksi untuk membatasi penyebaran virus segera setelah terjadi infeksi.
Makrofag akan menfagosit partikel virus dan mensekresikan Interleukin-12 (IL- 12),
Tumor Necrosis Factor-alfa (TNF-α), Interferon alfa (IFN-α), dan Interleukin-1 (IL-
1). Interferon gamma (IFN-γ) bekerja pada sel natural killer (NK) menghambat
replikasi virus. Respon imunitas adaptive humoral dan selular dimediasi oleh antibodi
dan sel T. Target utama antibodi adalah glikoprotein pada envelope virus dan protein
capsid VHS. Pengikatan antibodi dengan glikoprotein mencegah virus melekat dan
menginfeksi sel host. Fungsi utama sel T adalah pengenalan dan eliminasi sel yang
terinfeksi virus. Sel T CD8+, yang mengenali antigen virus melalui molekul Major
Histocompability Complex (MHC) I. Pada sel yang terinfeksi VHS, protein virus
terdegradasi menjadi peptida-peptida yang akan terikat pada molekul MHC .
Kompleks ini kemudian akan ditranslokasi ke permukaan sel untuk pengenalan oleh
sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ dan CD8+ berperan penting dalam imunitas, baik
melalui efek sitolitiknya maupun melalui sekresi sitokin oleh sel T CD4+ yang
merangsang respon imunitas humoral spesifik.10
Kontak dengan VHS-1 dalam air liur penderita terinfeksi merupakan
penyebab penyebaran VHS-1. Kedua jenis virus ini yaitu VHS-1 dan 2 dapat
ditularkan ke berbagai daerah secara oral-genital, kontak oral-anal atau anal-genital.
Penularan pada bayi baru lahir biasanya terjadi melalui jalan lahir yang terinfeksi,
tetapi jarang terjadi dalam rahim atau postpartum.2

V. GAMBARAN KLINIS
Sindrom klinis akibat infeksi VHS-1 (orofasial), terdiri dari
gingivostomatitis (vesikel dan ulkus disekitar gusi dan mulut), herpes okular, keratitis,
keratokunjungtivitis (vesikel dan ulkus pada kornea dan konjuntiva). Sindrom klinis
akibat infeksi VHS-2 (anal-genital), bentuknya berupa balanophosthitis (vesikel dan
ulkus pada ujung gland penis), vulvovaginitis (vesikel dan ulkus pada mukosa vulva
dan vagina), anoproctitis (vesikel dan ulkus pada sekitar kulit anus).3,4
Gingivostomatitis dan faringitis adalah manifestasi klinis yang paling sering
pada infeksi pertama VHS-1, gejala dan tanda klinis yang meliputi demam, malaise,
mialgia, berlangsung selama 3-14 hari, biasanya menghasilkan lesi yang eksudatif atau
ulseratif. Infeksi herpes genital primer ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise,
mialgia, nyeri, gatal, disuria, dan limfadenopati inguinal. Luasnya lesi bersifat bilateral

8 Referat Imunologi
pada genitalia eksterna merupakan tanda yang spesifik. Lesi mungkin dapat dalam
berbagai fase seperti vesikel, pustul, atau ulkus eritematosus yang terasa nyeri.
Gangguan pada serviks dan uretra saat infeksi primer pada wanita terjadi hampir 80%.
Kekambuhan VHS-2 lebih sering dibandingkan dengan infeksi VHS-1 dengan
perbandingan 4:1. Herpes okular merupakan infeksi VHS-1 pada mata yang sering
menyebabkan kebutaan, banyak ditemukan di Amerika. Pada herpes okular terjadi
keratitis dengan onset rasa nyeri akut, mata kabur, konjungtivitis dan lesi kornea.3,4

Gambar 6. A. Infeksi Virus Herpes Simpleks Orofacial;


B. Infeksi Virus Herpes Simpleks Genital
(Sumber : Marques AR, Amerika. 2008)

9 Referat Imunologi
VI. DIAGNOSIS
1. Kriteria Diagnosis secara klinis
Temuan klinis biasanya kelihatan khas yaitu kondisi yang ditandai dengan
adanya lesi daerah genital atau anal yang disertai nyeri.2,3

2. Kriteria Diagnosis secara Laboratorium


Perbedaan antara jenis serotipe VHS mempengaruhi prognosis dan
konseling, VHS harus dikonfirmasi melalui tes laboratorium (tes virologi atau tes
serologis spesifik).2
A. Tzanck Smear
Secara optimal, cairan dari vesikel utuh dioleskan tipis pada slide
mikroskop dikeringkan dan diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau wright.
Tes tzanck positif, jika ditemukan sel acantholytic keratinosit atau sel raksasa
multinuklear acantholytic keratinosit. Tzanck smear bukan merupakan baku
emas untuk mendeteksi infeksi VHS. 2,3

Gambar 7. Multinucleated keratinosit giant cell pada Tzanck smear


(Sumber: Marques AR, Amerika. 2008)

B. Kultur.
Isolasi VHS pada kultur sel adalah tes virologi pilihan pada pasien dengan
ulkus kelamin atau lesi mukokutan lainnya. Isolasi VHS menggunakan kultur
sel merupakan baku emas. Spesifisitas kultur 100%, tetapi sensitivitasnya
tergantung pada klinis lesi, dimana sensitivitas lebih dari 90% pada lesi
vesikular atau pustular, 70% pada lesi ulseratif, dan hanya 27% pada lesi
dengan krusta. Hasil positif dilaporkan dalam 2-5 hari, tetapi dapat pula
membutuhkan waktu hingga 2 minggu. Namun, sensitivitasnya menurun

10 Referat Imunologi
dengan cepat seiring dengan penyembuhan luka. Kultur isolasi harus
diklasifikasikan untuk menentukan serotipe VHS yang menyebabkan
infeksi.2,12,13

C. Serologi
Mendeteksi antibodi terhadap glikoprotein (g) G1 dan (g) G2 dan
membedakan infeksi lama VHS-1 dan VHS-2. Infeksi primer VHS dapat
diketahui dengan adanya serokonversi. Herpes ulangan dapat disingkirkan jika
seronegatif antibodi terhadap VHS. Hasil negatif palsu dapat terjadi, terutama
pada tahap awal infeksi. Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama pada pasien
dengan risiko rendah terhadap infeksi VHS. Oleh karena itu, tes pengulangan
atau konfirmasi dapat disarankan dalam beberapa kasus.2,3
1. Tes serologi VHS type-specific
Tes serologi VHS type-specific berdasarkan pada pemeriksaan
glikoprotein G dengan metode Enzyme-linked Immunosorbent Assays
(ELISA). Deteksi antibodi terhadap protein tipe spesifik gG-1 dan gG-2
untuk membedakan infeksi VHS tipe 1 dan VHS tipe 2. Sensitivitas dan
spesifisitas untuk mendeteksi infeksi VHS tipe 1 adalah 91-96% dan 96-
97%, sedangkan untuk infeksi VHS tipe 2 adalah 96-100% dan 92-95%.14,15
2. Anti VHS IgG dan IgM
Antibodi IgG VHS biasanya meningkat 1-2 minggu setelah infeksi
primer dan mencapai puncaknya 6-8 minggu setelah infeksi. Peningkatan
antibodi IgM VHS muncul beberapa hari setelah infeksi awal VHS. Anti
VHS IgM tidak dapat membedakan antara infeksi primer dan reaktivasi.
Deteksi anti VHS IgG dan IgM menggunakan metode ELISA dengan
sensitifitas 93-100% dan spesifisitas 95-100%. Nilai indeks VHS ELISA jika
> 1.10 (positif ), indeks VHS jika 0.9- 1.10 (equivocal), dan Indeks VHS
<0.9 (negatif). Nilai IgG VHS aviditas titer antibodi <8 merupakan infeksi
primer sedangkan jika nilai IgG aviditas > 8 merupakan reinfeksi.16-19

11 Referat Imunologi
Gambar 8. Pola Serologi Infeksi VHS
(Sumber: http://viomecum.viollier.ch/fileadmin/viollier/INF)

3. Western blot
Hasil Pemeriksaan metode ELISA dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan western blot, berdasarkan penelitian di the seattle king country
sexually transmitted disease (STD) dari 252 klien diperoleh HSV-1
seroprevalence 57%, dan HSV-2 seroprevalence 33% dengan menggunakan
western blot.8

D. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Polymerase Chain Reaction untuk mendeteksi DNA VHS, lebih sensitif
dan semakin banyak digunakan. Selain itu, PCR adalah tes pilihan untuk
mengetahui VHS dalam cairan serebrospinal untuk mendeteksi penyakit sistem
saraf pusat.3

12 Referat Imunologi
VII. DIAGNOSIS BANDING
Herpes simpleks di daerah orofacial harus dibedakan dengan impetigo vesiko
bulosa, sedangkan pada daerah genital harus dibedakan dengan ulkus durum dan
ulkus mole.20

Diagnosis Herpes Impetigo Ulkus durum Ulkus mole


Banding simpleks vesiko-bulosa
Etiologi VHS tipe 1 Staphyloccus Treponema Hemophilus
dan 2 aureus pallidum ducreyi
Kelainan Vesikel Eritema, bula, Ulkus bulat, Ulkus kecil,
kulit berkelompok bula hipopion Soliter, lunak,
diatas kulit Indurasi (+), indurasi (-),
yang sembab erimatosa (-) halo
dan erimatosa erimatosa (+)
Pemeriksaan Tzanck smear, Kultur bakteri Tes Kultur bakteri
Laboratorium kultur virus, treponemal
VHS type dan non-
specific, anti treponemal
VHS IgG/IgM,
PCR
Tabel 1. Diagnosis Banding Herpes Simpleks
(Sumber: Djuanda A, 2007)

VIII. PENATALAKSANAAN
Semua orang yang memiliki aktivitas seksual aktif sebaiknya diedukasi
dikarenakan risiko untuk mendapatkan dan menularkan infeksi menular secara
seksual, termasuk VHS. Juga pasien sebaiknya dikonseling dalam melakukan praktek
seks yang lebih aman.3
Mengingat dampak psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan
konseling sebagai bagian integral keberhasilan manajemen herpes genitalis dengan
harapan tercapainya beberapa tujuan yang jelas. Pada dasarnya konseling IMS
bertujuan:3

13 Referat Imunologi
1. Pasien patuh minum obat/mengobati sesuai ketentuan
2. Kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal.
3. Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar mitra
tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu.
4. Mengurangi risiko penularan dengan:
a. Abstinensia dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir selesai
b. Abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simtom atau gejala kambuh
c. Menggunakan kondom bila meragukan adanya risiko
5. Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang
mencurigakan setelah hubungan seks.
Pengobatan terhadap lesi yang timbul:
1. Herpes Bibir:11
a. Kumur-kumur dengan antiseptik misalnya klorheksidin 3-4 kali/hari.
b. Pemberian asiklovir topikal 5 kali sehari.
2. Herpes genital:11
a. Larutan betadin atau kalium-permanganat untuk rendam duduk 3 kali sehari
b. Asiklovir oral: Lesi primer: 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari selama 7 hari;
Lesi rekuren: 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari selama 5 hari.

IX. PROGNOSIS
Infeksi VHS berulang cenderung menjadi kurang seiring waktu. Eksema
Herpetikum dapat berkomplikasi menjadi berbagai dermatosis. Pasien dengan
imunodefisiensi bisa mengalami penyebaran VHS kutaneous, penyebaran VHS ke
sistemik, Herpes ulser kronis, eritema multiforme dapat menjadi komplikasi pada
setiap episode herpes berulang terjadi 1-2 minggu setelah infeksi.3

14 Referat Imunologi
Algoritma Laboratorium Diagnosis Herpes Simpleks (modifikasi) 3,8, 15,19,21

Suspek Herpes Simpleks


(Riwayat, Pemeriksaan, Tzanck smear)

Kultur VHS
IgM & IgG VHS
(Jika fasilitas tersedia)

Positif Equivocal Negatif Positif Negatif

  Infeksi VHS dapat


Infeksi VHS Western blot Infeksi primer: tes Infeksi VHS
ulang 3-4 bulan disingkirkan.
 Faktor risiko (+) :  Dapat dilakukan
tes ulang kultur ulang ketika lesi
muncul kembali.

Infeksi primer VHS pada LCS


atau Reaktivasi

Aviditas IgG PCR

15 Referat Imunologi
DAFTAR PUSTAKA

1. Margaretha N, Pradono SA. Pencegahan Reaktivasi Infeksi Virus Herpes Simpleks


pada Pasien Kompromis Imun. Kedokteran Gigi. Universitas Indonesia. 2003. 913-
17.
2. Washington State Department of Health. Herpes Simpleks, Genital & Neonatal.
Updated : 2011.Available from:http://www.doh.wa.gov/herpes.pdf. Accessed April
10,2017.
3. Marques A.R, Straus S.E. Herpes Simpleks. In Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Seventh Edition. Vol 1 & 2. New York, Amerika. 2008. P.1873-
1884.
4. Hadisaputro S. Herpes Simpleks. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6.
Jilid 1. Interna Publishing. Jakarta. 2014. Hal. 739-45
5. Wald A, Zeh J, Selke S, Warren T, Ryncarz A.J, Ashley R, et al. Reactivation Of
Genital Virus herpes simpleks Type 2 Infection In Asymptomatic Seropositve
Persons.Updated:2000.Avaiblefrom:URL:http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/N
EJM200003233421203. Accessed April 10,2017.
6. Cunningham AL, Diefenbach RJ, Saksena MM, et all. The Cycle of Human Virus
herpes simpleks Infection: Virus Transport and Immune Control. J Infect Dis 2006;
194: S11-18
7. Smith JS, Robinson NJ. Age-specific prevalence of infection with Virus herpes
simpleks types 2 and 1: a global review. J Infect Dis 2002; 186(1):S3–28.
8. Wald A, Link K. Risk of human immunodeficiency virus infection in Virus herpes
simpleks type 2–seropositive persons: a meta-analysis. J Infect Dis 2002; 185:45–
52.
9. Goldman L, Schafer AI. Virus herpes simpleks Infections in: Goldman’s Cecil
Medicine. 24th Ed. Elsevier Saunders, Philadelphia, 2012: 2125-8.
10. Bemmel JH. Pathogenesis of Virus herpes simpleks Infections of the Cornea.
Erasmus Universiteit Rotterdam, 2002: 1-10.
11. Daily E.S.S, Menaldi S.M, Wisnu I.M. Infeksi Virus. Dalam : Penyakit Kulit Yang
Umum Di Indonesia. Jakarta : PT. Medical Multimedia Indonesia. 2005. h 62 – 63

16 Referat Imunologi
12. New Zealand Herpes Foundation. Guidelines for the Management of Genital
Herpes in New Zealand. 10th Ed. The Professional Advisory Board (PAB) of the
Sexually Transmitted Infection Education Foundation. New Zealand, 2013: 6-16.
13. McPherson RA, Pincus MR. Viral Infections in: Henry’s Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. 22nd Ed. Saunders Elsevier, Philadelphia,
2011: 1037-44.
14. Guerry S, Allen B, Branagan B et al. Guidelines for the Use of Virus herpes
simpleks (VHS) Type 2 Serologies: Recommendations from the California
Sexually Transmitted Diseases (STD) Controllers Association and the California
Department of Health Services (CA DHS). California, 2003: 2-11.
15. Villa A, Berman B. Genital Herpes Infection: Beyond a Clinical Diagnosis.
Available at www.medscape.com. Last updated 2003. Accessed on April 10,2017
16. Bannister B, Gillespie S, Jones J. Infections with Skin, Mucosal and Soft-tissue
Disorders in: Infection Microbiology and Management, 3rd Ed. Blackwell
Publishing Ltd., Massachusetts, 2006: 87-90
17. Wilson DD. Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. McGraw-Hill, New York,
2008: 316-7.
18. McPherson RA, Pincus MR. Viral Infections in: Henry’s Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. 22nd Ed. Saunders Elsevier, Philadelphia,
2011: 1037-44.
19. Hashido M, Inouye S, Kawana T. Differentiation of Primary from Nonprimary
Genital Herpes Infections by a Herpes Simplex Virus-Spesific Immunoglobulin G
Avidity Assay. Journal of Clinical Microbiology Vol 35, No.7. Department of
Epidemiology. Tokyo University Branch Hospital. Japan. 1997: 1766-68
20. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Herpes Simpleks dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007:
381-3.
21. Kasper DL, Fauci AS. Virus herpes simpleks in: Harrison’s Infectious Diseases.
17th Ed. McGraw Hill, New York, 2010: 730-40.

17 Referat Imunologi

Anda mungkin juga menyukai