Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes labialis rekuren timbul akibat reaktivasi herpes simpleks virus tipe 1
(HSV-1). HSV-1 menyebar terutama melalui kontak langsung dengan saliva atau lesi
aktif perioral. Paparan pertama dari individu tanpa antibodi terhadap virus dinamakan
infeksi primer. Infeksi ini biasanya timbul pada individu muda, namun 80% remaja
telah memiliki antibodi terhadap virus ini.1
Infeksi primer HSV sering kali asimptomatik. Namun beberapa sering kali
berkembang menjadi gingivostomatitis herpetik. Kondisi ini ditandai dengan adanya
demam dan vesikel yang diikuti dengan ulkus pada mukosa mulut, lidah dan bibir.
Setelah kontak pertama, virus ini hidup laten pada ganglia nervus sensori, tersering
pada ganglion trigeminus. Beberapa macam faktor seperti paparan terhadap cahaya
matahari, kelelahan, stres psikologis dan immunosupresi, dapat mempercepat
rekurensi, dengan reaktivasi virus bermigrasi ke sel-sel epitel melalui nervus yang
terkena menyebabkan herpes rekuren. 98 % dari lesi terkait HSV disebabkan oleh
reaktivasi penyakit dan cenderung ditandai dengan lesi ulseratif besar dan sangat
nyeri seluruh mulut.1,2
Tingkat rata-rata HSV 1 dan atau HsV 2 antara 60% dan 95% pada orang
dewasa. hsV 1 lebih umum daripada HSV 2. Angka kejadian HSV 1 dan HSV 2
meningkat sesuai dengan pertambahan usia. HSV 1 70-80% terjadi pada populasi
sosio ekonomi rendah, dan 40-60% terjadi pada populasi siso ekonomo menengah ke
atas. Diperkirakan 536 juta populasi di dunia telah terinfeksi HSV tipe 2 sejak tahun
2003, terutama pada wanita. Tingkat kekambuhan HSV-1 setelah terinfeksi herpes
primer adalah 20% sampai 40%, sedangkan tingkat kekambuhan HSV-2 jauh lebih
tinggi pada 80%.17
Diagnosis dari infeksi HSV 1 biasanya didapatkan lesi berupa vesikel atau
ulkus berkelompok dengan dasar eritema dan juga dari riwayat pasien. Namun, jika
tidak pasti, diagnosis herpes labialis dapat dibuat dari kultur virus, PCR, tes serologi,
tes antibodi fluorescent atau tes tzanck.3
Herpes labialis rekuren dapat sembuh dengan asiklovir atau valasiklovir
harian. Asiklovir atau pensiklovir topikal merupakan pengobatan opsional untuk

1
herpes labialis rekuren tetapi mereka memiliki efektifitas lebih rendah daripada
pengobatan oral.4
Kombinasi obat antivirus topikal dan sistemik saat ini diberikan untuk
pengobatan pasien. Rejimen ini terbukti telah berhasil digunakan untuk mengobati
banyak pasien dengan herpes labialis rekuren.1,2
Maka pada referat kali ini akan dibahas secara keseluruhan tentang herpes
simpleks tipe 1 rekuren.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh HSV tipe 1 (HSV-
1) dan HSV tipe 2 (HSV-2) yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok
di atas kulit yang sembap dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan. Infeksi ini
dapat berlangsung infeksi primer ataupun rekuren.5

II. 2 Epidemiologi
Sekitar 1% dari konsultasi primer adalah masalah herpes labialis. 56-85% dari
populasi terkena infeksi HSV-1 sejak dewasa muda dari hasil tes serologi. Prevalensi
tergantung dari penduduk di negara masing-masing. 20-40% dari dewasa muda yang
terbukti positif pada tes serologik mengalami herpes labialis rekuren. Rekurensi
herpes labialis umumnya muncul antara 2 sampai 6 kali dalam setahun. Berdasarkan
salah satu penelitian di Amsterdam, prevalensi serologikan HSV-1 bervariasi
berdasarkan suku bangsa dan lebih sering muncul pada kelompok usia lanjut dan
status ekonomi rendah. 98 % dari lesi terkait HSV-1 disebabkan oleh reaktivasi
penyakit.

II. 3 Etiologi
Saat ini telah ditemukan 8 jenis herpes virus pada manusia : herpes simpleks
virus type 1 (HSV-1), herpes simpleks virus type 2 (HSV-2), varicella-zoster virus
(VZV), cytomegalovirus (CMV), eipstein-barr virus (EBV), human herpes virus 6
(HHV-6), human herpes virus 7 (HHV-7), dan human herpes virus 8 (HHV-8).

II. 4 Faktor Resiko


Infeksi HSV menyebar melalui kontak langsung dengan permukaan mukosa
atau kulit yang menjalar dari ujung saraf tepi ke ganglion, virus dapat bertahan dalam
periode laten untuk waktu yang tidak dapat ditentukan, dan tidak infeksius pada
periode laten.
Setelah infeksi primer, virus kemudian berpindah ke axon saraf sensorik dan
menetap diganglia saraf trigerminal, vagus, dan facialis sebagai virus non-reaktif.

3
Faktor yang dapat memicu reaktivasi virus dan menyebabkan rekurensi herpes
simpleks labialis antara lain : stres emosional, paparan sinar ultraviolet (UV), trauma
fisik jaringan mukosa rongga mulut, kondisi imunosupresi, dan gangguan hormon.

II. 5 Patomekanisme
Transmisi dari infeksi herpes simpleks virus tergantung dari
kontak intim, kontak personal antara seseorang yang dianggap
seronegatif dengan seseorang yang dalam sekretnya mengandung
HSV. Virus harus masuk melalui kontak dengan permukaan mukosa
atau kulit yang mengelupas untuk dapat menimbulkan infeksi.
Dengan replikasi virus pada permukaan infeksi primer, baik virion
yang utuh maupun hanya kapsid yang ditransport balik oleh neuron
ke akar ganglia dorsal, setelah tahap lain dari replikasi virus, virus
kemudian mengalami periode laten. Semakin berat infeksi primer
seperti yang digambarkan melalui ukuran, jumlah, dan perluasan
lesi, semakin mungkin terjadi rekurensi. Walaupun frekuensinya
jarang, terkadang replikasi mengarah pada penyakit yang
menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa (enchephalitis),
interaksi antara host dan virus lebih mengarah ke periode laten dari
virus. Setelah periode laten tercapai, stimulus yang tepat dapat
menyebabkan reaktivasi; virus menjadi jelas pada permukaan
mukakutaneus yang digambarkan dengan vesikel pada kulit atau
ulkus pada mukosa.
Infeksi pada HSV-1 secara umum terjadi pada mukosa orofaring. Ganglia
trigerminal menjadi tempat berkolonisasi dan menetap. Namun deteksi HSV-1
meningkat pada traktus genitalia, biasa nya konsekuensi dari orogenital sex.
Rekurensi HSV-1 pada genitalia jarang terjadi. Suspektibel individu (yaitu individu
yang tidak memiliki antibodi HSV) menderita infeksi primer setelah paparan pertama
HSV-1 maupun HSV-2. Infeksi inisial adalah saat individu yang memiliki antibodi
terhadap salah satu tipe HSV dapat menderita infeksi primer dengan tipe virus yang
berbeda. Belakangan ini infeksi primer dikenal sebagai episode pertama dari penyakit
karena beberapa individu menggambarkan gejala klinis infeksi primer yang berat
tetapi memiliki antibodi terhadap virus penyebabnya. Penelitian ini mengindikasikan

4
bahwa individu mungkin memiliki infeksi laten sebelum episode pertama dari gejala
klinis dari penyakit muncul.
Preinfeksi oleh tipe lain HSV dapat terjadi, sekalipun sangat jarang terjadi
pada individu normal dan hal ini disebut sebagai reinfeksi eksogen. Pembelahan DNA
dari HSV yang diisolasi oleh enzim endonuclease. Enzim endonuclease memiliki
karakteristik yang khas dari produk subgenom. Analisis HSV-1 dan HSV-2 yang
terisolasi dari berbagai macam situasi klinis dan dari berbagai belahan dunia telah
didemonstrasikan secara epidemis tidak berhubungan dengan perbedaan pola DNA
HSV. Pada kontras fragmen dari DNA HSV diambil beberapa tahun sebelumnya dari
individu yang sama, dari 1partner pasangan seksual atau mengikuti short and long
passage invitro memiliki fragmen yang identic setelah pembelahan restriksi
endonuclease. Setelah adanya teknologi endonukleasi, reinfeksi eksogen menurun
pada individu yang imunokompeten.6

II.6 Pengaruh Infeksi Herpes Terhadap Pasien Imunokompromais

II.6.1 Infeksi HSV Pada Pengobatan Imunosupresif

Virus herpes simpleks (HSV) menjadi laten di ganglia sensoris setelah infeksi
primer. Pada manusia, penyakit klinis berulang muncul di dekat lokasi infeksi primer.
Pada Jurnal Effect of Immunosuppression on Recurrent Herpes Simplex in Mice
dilakukan penelitian pada tikus untuk mengetahui efek imunosupresan terhadap
Herpes simpleks rekuren. Telah diusulkan bahwa infeksi laten dan reaktivasi HSV
dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh. Imunosupresi adalah faktor pencetus
infeksi virus herpes laten manusia seperti cytomegalovirus (CMV) dan virus varicella-
zoster(VZV) dan, herpes simpleks berulang telah dicetuskan oleh imunosupresi pada
tikus, baik sendiri atau dikombinasikan dengan rangsangan lainnya.
Peneliti menggabungkan rangsangan pada kulit dengan perawatan yang
mempengaruhi berbagai aspek kekebalan, seperti : siklofosfamid (CPA) sangat
mempengaruhi sistem sel B , tetapi bisa juga mempengaruhi sel T; antithymocyte
serum (ATS) terutama membunuh thymocytes; dan prednisolon dan azathioprine (P +
A), kombinasi obat yang biasa digunakan dengan sukses pada pasien transplantasi
untuk mencegah penolakan cangkokan, menghambat respon baik humoral dan seluler.
Selain itu, digunakan silika karena diketahui mempengaruhi infeksi HSV primer dan
mungkin mengubah respon imun melalui aksinya pada makrofag.

5
Obat imunosupresif diuji terpengaruh hanya beberapa mekanisme kontrol,
sehingga bahwa sebagian besar hewan tetap bebas dari penyakit. Karena hampir 10%
dari normal secara klinis tikus yang terinfeksi memiliki virus di kulit mereka setiap
saat, mungkin hewan ini yang mengembangkan penyakit klinis setelah pengobatan
dengan P + A atau ATS . Imunosupresan yang yang digunakan dalam penelitian ini
jangka pendek dan tidak akan mempengaruhi antibodi. Insiden penyakit yang rendah
terjadi ketika imunosupresi digunakan sendiri menunjukkan bahwa obat melepaskan
infeksi dari kontrol kurang efisien daripada trauma. Pengobatan dengan CPA dapat
mengubah infeksi laten di ganglion sehingga HSV dapat diisolasi dengan inokulasi
terganggu jaringan ke kultur sel. Sedangkan, pengobatan dengan silika tidak
menyebabkan lesi berulang, namun meningkatkan durasi dan keparahan lesi di infeksi
HSV primer. Pengobatan dengan silika sebelum infeksi primer juga meningkat
proporsi tikus yang menjadi terinfeksi HSV laten, mungkin dikarenakan makrofag
rusak dan dengan demikian memungkinkan lebih banyak virus replikasi di kulit dan
akibatnya meningkat pasokan virus di ganglion. Peneliti menyimpulkan bahwa
mekanisme kekebalan mungkin terlibat dalam penyembuhan herpes simpleks rekuren
tapi mungkin bukan satu-satunya faktor yang mengendalikan infeksi laten.7

II.6.2 Infeksi HSV Pada Pasien HIV/AIDS

Pada pasien HIV positif, Herpes labialis merupakan infeksi oral tersering ke 3
dan episode infeksi lebih lama dan lebih parah, berpotensi menyerang dibeberapa area
mukosa mulut dan meluas hingga kulit dan muka.
Infeksi HIV biasanya dikaitkan dengan aktivasi dan penyebaran beberapa
patogen virus lainnya, termasuk HSV, CMV, HHV8, EBV, VZV, dan HPV, yang
bertindak sebagai agen oportunistik dan menimbulkan berbagai penyakit pada pasien
imunosupresi. Frekuensi dan tingkat keparahan penyakit yang disebabkan oleh virus
pada pasien dengan infeksi HIV biasanya lebih parah. Hal ini terutama karena
gangguan fungsi dari kedua respon imun adaptif dan bawaan untuk virus patogen.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, lesi herpes labialis lebih diperburuk,
menyakitkan dan menyembuhkan lebih lambat. HIV menghancurkan limfosit CD4
secara bertahap dan CD4+ count berhubungan terbalik dengan tingkat keparahan
penyakit. Pasien dengan viral load secara signifikan lebih tinggi dan CD4+ count
yang lebih rendah lebih mungkin untuk mengembangkan lesi oral.

6
HSV juga memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit infeksi
HIV. Infeksi kronis dari HSV-1 telah dianggap oleh WHO sebagai faktor penting yang
mempengaruhi perkembangan penyakit HIV / AIDS.

Faktor Resiko pada Pasien HIV/ AIDS terhadap infeksi HSV


Frekuensi dan durasi peningkatan tajam jumlah CD4 + T jatuh ke <50 / uL.
1. Mengurangi efektivitas obat ART (Anti Retroviral Therapy) pada orang yang
diobati
2. Dalam kebanyakan orang yang terinfeksi HIV, frekuensi, durasi, dan tingkat
keparahan HSV wabah serupa dengan yang pada individu imunokompeten; Namun,
Virus shedding/ penyebaran virus secara asimtomatik meningkat.
3. infeksi HSV diseminata kulit dan visceral kurang menonjol daripada kondisi
immunocompromised lainnya.
4. CDC Surveillance case definition untuk AIDS: infeksi HSV pada pasien berdurasi
lebih dari 1 bulan terdefinisi AIDS jika pasien tidak memiliki penyebab lain dari
immunocompromais dan tanpa pengetahuan status antibodi HIV.
5. infeksi HSV menyebabkan ulkus mucocutaneous yang berlangsung lebih dari 1
bulan
6. infeksi HSV menyebabkan bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis Pemulihan
kekebalan dengan ART yang sangat aktif telah nyata mengurangi kejadian infeksi
HSV serius.1,2

II.7 Pengaruh Infeksi HSVterhadap Stres Psikologis


Penelitian yang sudah dilakukan menemukan bukti bahwa adanya hubungan
antara stress dan atau mood state dengan rekurensi dari HSV1 seperti pada contoh
Lubor-Sky Brightman dan Katcher (1976), yaitu pada ketidakbahagiaan umum
berhubungan dengan muncul kembalinya lenting-lenting pada HSV1, sebagaimana
semakin parahnya atau semakin seringnya tekanan yang ada akan mempengaruhi
rekurensi. Goldmeier and Johnson (1982) membuktikan dengan 28 minggu survey
bahwa ditemukan pasien dengan skor yang tinggi pada kuisioner kesehatan, pasien
dengan skor tinggi akan mengalami rekurensi lebih cepat dibandingkan dengan pasien
yang memiliki skor rendah.

7
Hoon (1986) diikuti 122 peserta dalam 6 bulan menggunakan evaluasi bulanan
terhadap event besar dan kecil, dan tidak ditemukan bukti yang berhubungan dengan
lenting yang meradang pada area oral karena HSV 1 yang berulang dan tidak ada
bukti untuk kenaikan persentase kemungkinan terjadinya rekurensi karena stress 2
minggu pertama. Namun studi ini, berdasarkan laporan retrospektif dari kejadian yang
dahulu dan tidak menilai pencetus stress secara subjektif
Suatu studi berikutnya oleh Kemeny , Cohen , Zegans dan Conant ( 1989 )
diukur dalam even besar utama , stres pekerjaan sehari hari , suasana hati negatif , Sel
T helper inducer CD4 + dan Sel T Suppressor cytotoxic CD8 + , perilaku kesehatan
( tidur , latihan , alkohol ) dan kelelahan , adanya infeksi lain dan HSV rekuren. 36
peserta dengan herpes oral di pantau selama 6 bulan. Sebuah subsample 19 peserta
diambil sampel darah untuk mengetahui tingkat imunitas. Mereka menemukan bahwa
orang-orang dengan tingkat kecemasan tinggi, depresi dan permusuhan memilki sel
CD8+ yang lebih rendah secara signifikan, dan penurunan dari tingkat sel CD8+ yang
telah ada sebelumnya dan di dapat, keduanya memicu terjadinya rekurensi HSV.
Tingginya tingkat pemicu stress berhubungan dengan rendahnya sel CD4+.
Infeksi lain secara signifikan berhubungan dengan tingkat rekurensi. Mereka
menunjukkan infeksi yang dapat memicu kembali rekurensi pada beberapa orang
walaupun beberapa orang lainnya mengalami rekurensi yang disebabkan karena
pemicu psikologis. Ketika melakukan control terhadap infeksi lain, mereka
menemukan keadaan depresi kronik (tetapi tidak harus terdapat score total dan tidak
pada perubahan keadaan depressive yang akut) mempengaruhi rekurensi HSV.
Mereka menemukan bahwa keadaan depresi yang lama akan menurunkan sel CD8+
dan rekurensi dari HSV.
Namun ini berdasarkan dari score rata-rata bulanan selama periode 6 bulan
dan frekuensi dimana setiap pengukuran diambil dapat merupakan factor yang
penting. Pengukuran tiap minggu mungkin lebih tepat daripada pengukuran setiap
bulan untuk memahami hubungan sementara. Pada studi tentang Herpes secara
berturut-turut, Cohen et al (1999) menyertakan 58 perempuan dalam periode 6 bulan
dan menemukan bahwa stress terus menerus , dan stres jangka pendek, diprediksi
menimbulkan rekurensi HSV. Tingkat yang lebih tinggi dari kegelisahan secara terus
menerus berdampak pada meningkatnya peluang rekurensi tapi tidak pada perubahan
suasana hati sementara dan kejadian.

8
Dalam sebuah tinjauan meta-analytic dari hubungan pemicu stress dan gejala
depresi dengan terjadinya 2 penyakit imunologi (HSV & HIV), bahwa baik itu yang
dari gejala depresi dan pemicu stress sangat terkait dengan rekurensi HSV. Zorilla,
McKay , Luborsky & Schmidt (1996) meninjau ulang 15 studi (11 studi Herpes
Genital dan 3 studi tentang Herpes Oral) dan ditemukan bahwa kebanyakan studi
adalah cross-sectional dan mengandalkan laporan subjektif pasien tentang kejadian
rekurensi dari HSV.
Studi prospektif menunjukan lebih sedikit korelasi dibandingkan dengan
cross-sectional desain dan memiliki lebih sedikit bukti hubungan antara stres
psikologis dan rekurensi daripada gejala depresi dan rekurensi. Mereka
menyimpulkan bahwa bukti tersebut itu kurang kuat untuk memberikan hasil yang
sama pada penelitian yang akan dilakukan selanjutnya. dan bahwa lebih banyak lagi
penelitian yang menggunakan prospective desain sangat dibutuhkan.
Orang-orang yang mengalami rekurensi dari lenting yang meradang pada area
oral karena HSV 1 yang sering memiliki score yang tinggi dalam pengukuran stress
dan suasana hati yang negative daripada mereka yang tidak terkena dan mereka yang
hanya sesekali timbul rekurensi. Penelitian ini didukung temuan yang menunjukkan
bahwa orang yang menderita penyakit menular yang lebih parah, lebih rawan terhadap
penekanan fungsi kekebalan tubuh karena stress. Kedua, ada hubungan sejajar antara
tingginya tingkat stress dan kemungkinan menderita lenting karena HSV 1
sehubungan dengan Stress psikologi yang tinggi yang menimbulkan rekurensi infeksi
HSV 1 yang telah ada sebelumnya.8

II.8 Infeksi HSV pada Ibu Hamil dan Neonatus


Infeksi HSV pada Ibu Hamil
Infeksi HSV tipe 1 biasanya menginfeksi anak-anak melalui kontak non-
seksual. Insiden infeksi HSV paling banyak terjadi pada wanita usia subur, sehingga
resiko transmisi Maternal oleh virus ke fetus ataupun neonatus menjadi kekhawatiran
kesehatan yang cukup besar. Menurut penelitian terkini, infeksi pertama pada seorang
ibu merupakan faktor terpenting dari penularan infeksi herpes genital pada seorang
ibu terhadap fetus atau bayi baru lahir. Usia kehamilan tua, penggunaan fetal-scalp
elektrode, dan usia ibu kurang dari 21 tahun merupakan faktor resiko tambahan untuk
neonatus terhadap infeksi HSV.

9
Bayi baru lahir juga dapat terinfeksi HSV-1 walaupun HSV-1 hanya berperan
pada 1/3 kasus herpes genital. Meningkatnya kasus herpes genital oleh HSV-1
terutama terjadi pada usia 16-21 tahun di wilayah Amerika bagian tengah, dimana
pada tahun 2001 mencapai 78% (pada dekade sebelumnya hanya 31%). Hal ini akan
berpengaruh pada saat wanita yang terinfeksi HSV-1 akibat kontak oral-genital
mengalami kehamilan, akan beresiko menularkan HSV- kepada bayinya nanti. Tetapi
pada bayi yang terinfeksi HSV pada saat remaja nanti akan menjadi HSV seronegatif.
Episode infeksi HSV rekuren memiliki ciri dimana terdapatnya antibodi
terhadap tipe HSV yang sama dan lesinya biasanya lebih ringan dan singkat (7-10
hari) dibandingkan episode serangan yang pertama. Gejala prodormal (gatal, nyeri)
dapat timbul berjam-jam bahkan berhari-hari sebelum timbul lesi kulit. Rekurensi
lebih sering terjadi pada HSV-2 dibandingkan HSV-1 karena HSV-2 lebih mudah
tereaktivasi.
Komplikasi dapat berupa meningitis sebanyak 12% infeksi HSV-1 yang dapat
menyebabkan retensi urin pada wanita, umumnya terjadi pada wanita, sedangkan pada
kasus rekurensi hanya sebesar 1%. Tetapi, adanya antibodi dari HSV-1 dapat
meminimalisir gejala dari infeksi HSV-2.
Apabila infeksi primer pada genital didapat saat trimester ketiga dari
kehamilan, cara yang optimal untuk melahirkan tidak dapat ditentukan. Kebanyakan
guideline menyarankan section caesarea untuk wanita yang menderita infeksi primer
pada 4-6 minggu terakhir dari gestasi, karena mereka tidak dapat memenuhi
serokonversi terutama hingga waktunya melahirkan, maka dari itu dapat menginfeksi
neonatus. Apabila kelahiran pervaginam tidak dapat disingkirkan, karena resiko
transmis vertical sangat tinggi (41%) pada maternal dan neonatal disarankan untuk
mendapat terapi asiklovir IV.
Wanita hamil dengan episode klinis pertama atau kambuh dapat diobati
dengan asiklovir atau valasiklovir pada dosis yang dianjurkan (Tabel 2). Sejak
acyclovir dan valacyclovir tidak resmi disetujui untuk pengobatan wanita hamil,
pasien harus diberitahu untuk memberikan persetujuan sebelum pengobatan. Namun,
tidak ada peningkatan kelainan yang terjadi pada janin itu berasal dari pengobatan
tersebut, meskipun hasil jangka panjang tidak dievaluasi.16

Tabel 1. Tatalaksana HSV pada kehamilan *


Kehamilan Obat Dosis harian Lama Obat Dosis harian Lama

10
Antivirus direkomendasikan terapi antivirus direkomendasikan terapi
episode awal episode rekuren
infeksi
Pengobatan Asiklovir 5 200mg Peroral 10 hari Asiklovir 5 200mg peroral 5hari
episodik Valasiklovir 2 500mg Peroral 10 hari Valasiklovir 2 500mg peroral 5hari

Pengobatan Asiklovir 3 400mg Peroral Dari Asiklovir 3 400mg peroral Dari


supresif Valasiklovir 2 250mg Peroral minggu Valasiklovir 2 250mg peroral minggu
ke 36 ke 36
kehamilan kehamilan
sampai sampai
persalinan persalinan

* Dikutip sesuai aslinya : Jurnal Herpes simplex virus infection in pregnancy and in
neonates status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention.16

II.9 Gejala Klinis


Infeksi mulut rekuren lebih sering pada HSV-1 dibanding HSV-2.
Progresitivitas gejala dibagi menjadi 8 stadium.9
1. Stadium laten (minggu - bulan kejadian sampai bebas infeksi) :
periode remisi ; setelah inisial infeksi virus bergerak ke ganglia
nervus sensoris (ganglion trigerminal) dimana mereka menetap
seumur hidup sebagai virus laten. Didalam stadium ini, partikel
virus yang infeksius dan asimptomatikdapat menular.
2. Stadium prodromal : gejala yang biasa timbul terlebih dahulu
sebelum rekurensi. Gejala biasanya dimulai dengan gatal dan kulit
yang memerah disekitar tempat infeksi. Stadium ini bisa
berlangsung beberapa hari sampai beberapa jam mendahului
manifestasi fisik dari infeksi dan merupakan saat yang terbaik untuk
memulai pengobatan.
3. Stadium inflamasi (hari pertama) : virus mulai berkembangbiak dan
meinfeksi sel di ujung saraf. Sel-sel sehat bereaksi terhadap invasi
virus dengan edema dan eritema sebagai gejala infeksi.
4. Stadium prevesikel : stadium ini ditandai dengan munculnya papul
kecil, keras yang meradang dan vesikel yang mungkin gatal dan
sangat nyeri jika disentuh. Pada saatnya bula berisi cairan akan
berkelompok pada area labia. Daerah diantara labia dan kulit sekitar
mulut bisa juga muncul pada hidung, dagu dan pipi.

11
5. Stadium lesi terbuka : stadium yang paling nyeri dan menular.
Semua vesikel-vesikel kecil akan pecah dan bergabung membentuk
sebuah ulkus terbuka yang besar. Jaringan yang meradang dan
pembuluh darah secara perlahan mengeluarkan cairan. Secret cair
padat dengan virus aktif dan sangat menular. Tergantung dari
keparahan, mungkin dapat menyebabkan demam dan pembesaran
kelenjar getah bening submandibula.
6. Stadium krusta (hari ke 5 8) : muncul krusta dari eksudat cair yang
berwarna keemasan/ seperti madu. Krusta kekuningan/ kecoklatan
ini tidak terbentuk dari virus aktif tetapi dari plasma darah yang
mengandung protein yang berguna sebagai immunoglobulin. Hal ini
muncul sebagai permulaan dari proses penyembuhan. Lesi masih
terasa nyeri pada stadium ini. Terjadi retakan karena peregangan dari
labia pada saat tersenyum atau makan. Cairan berisi virus masih
tetap keluar melalui retakan-retakan ini.
7. Stadium penyembuhan ( 9 14 hari) : kulit baru mulai terbentuk di
bawah krusta yang mongering dan virus mulai memasukin periode
laten. Krusta-krusta yang mongering ini terbentuk diatas lesi, dengan
ukuran yang semakin kecil. Selama fase ini iritasi, gatal dan nyeri
biasanya terjadi.
8. Stadium post scab (12 14 hari) : daerah kemerahan mungkin
menetap pada tempat infeksi virus sampai sel normal yang rusak
beregenerasi. Penyebaran virus masih mungkin terjadi di stadium
ini.

Tabel 2. Perbandingan Infeksi Primer dan Rekuren Herpes Simpleks **


Perbedaan Infeksi Primer Infeksi Sekunder
Lokasi Muka, perioral, orofaring, Perioral, muka
gingiva, mata, jari
efloresensi Papulovesikel Papulovesikel
berkelompok, pustul, erosi, berkelompok, pustul, erosi,
krusta, krusta. krusta, krusta.
warna Eritematosa, eritematosa
hipopigmentasi,

12
hiperpigmentasi
jumlah multipel Multipel ( lesi < dari
primer)
Gejala sistemik (demam) + -
Gejala prodromal (Sakit ++ - (asimptomatik) +
kepala, nyeri lokal, gatal,
rasa terbakar)
limfadenopati + -
Faktor pemicu - Trauma kulit sekitar,
paparan UV, stress,
perubahan sistemik

**Dikutip sesuai aslinya : Habif TP. Habif: Clinical dermatology. 4th Ed.
Pennsylvania:Mosby; 2004

II.10 Pemeriksaan
Sensitivitas dari semua metode laboratorium tergantung pada tahap lesi
(sensitivitas lebih tinggi pada vesikular dari pada lesi ulseratif), apakah pasien
memiliki episode pertama (inisial) atau episode berulang (rekuren)dari penyakit (lebih
tinggi di episode pertama), dan apakah sampel adalah dari imunosupresi atau pasien
imunokompeten (lebih antigen ditemukan pada pasien imunosupresi). Akibatnya,
dalam hal ini, lesi vesikel dan tererosi yang mencurigakan harus dibiakkan. Dalam
semua bentuk lain presentasi klinis biasanya sehingga karakteristik yang diagnosis
yang akurat dapat dilakukan dengan inspeksi. Sejumlah prosedur laboratorium yang
tersedia jika konfirmasi diinginkan.10,11

1. Kultur
Biakan HSV positif berasal dari lesi mukokutaneous atau biopsi jaringan
spesimen yang terinfeksi, yang dapat membedakan antara HSV-1 dan HSV-2.
Spesimen biakan harus diperoleh dari lesi aktif selama viral shedding, yang rata-rata,
berlangsung 4 hari. Lima puluh persen dari hasil kultur negatif pada lesi rekuren.
Vesikel dan erosi basah memberikan hasil yang lebih tinggi dari erosi kering atau
kerak. Vesikel yang tertusuk dan cairan yang diserap ke dalam swab, yang kemudian
digosok dengan keras ke dasar lesi.

13
Spesimen diinokulasi ke dalam tabung biakan sel dan dipantau secara mikroskopis
terhadap perubahan karakteristik morfologi (efek sitopatik hingga 5 sampai 7 hari
setelah inokulasi untuk sensitivitas maksimum). Hasil mungkin didapat dalam 1 atau
2 hari.

2. Tes Tzanck
Secara optimal, cairan dari vesikel utuh dioleskan tipis pada slide mikroskop,
dikeringkan, dan diwarnai dengan baik secara pewarnaan Wright atau Giemsa. Positif,
jika keratinosit acantholytic atau keratinosit acantholytic berinti raksasa terdeteksi.
Positif pada 75% kasus awal, baik primer atau rekuren.

3. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Tes Polymerase chain reaction (PCR) untuk HSV yang tersedia di beberapa
laboratorium dan tes pilihan untuk mendeteksi HSV dalam cairan tulang belakang
untuk diagnosis infeksi HSV dari sistem saraf pusat.

4. Tes Serologi
Ada dua serotipe HSV. HSV-1 infeksi terutama orofaringeal; infeksi genital juga
bisa disebabkan oleh serotipe ini. HSV-2 infeksi terutama kelamin, tetapi juga
terdeteksi di mulut.
HSV-1 seropositif biasanya berhubungan dengan infeksi orolabial. Herpes
simplex virus tipe-2 seropositif biasanya berhubungan dengan infeksi genital. HSV-1
sekarang menjadi penyebab signifikan herpes genital dan terlibat dalam 5% sampai
30% dari semua kasus episode pertama. Proporsi HSV-1 di antara infeksi herpes
genital awal adalah lebih tinggi di antara pria yang berhubungan seks dengan laki-laki
(46,9%) dibandingkan perempuan (21,4%) dan terendah di antara laki-laki
heteroseksual (14,6%). Menerima oral seks secara signifikan meningkatkan
kemungkinan bahwa infeksi awal adalah HSV-1 daripada HSV-2. HSV-1 genital
mungkin sering diperoleh melalui kontak dengan mulut pasangannya. 10,11

II.11 Tatalaksana
Tidak ada metode yang dapat meng-eradikasi virus herpes dari tubuh, namun
obat antivirus dapat mengurangi frekuensi, durasi, dan keparahan dari rekurensi.
Analgesik seperti ibuprofen dan paracetamol (asetaminofen) dapat mengurangi rasa

14
sakit dan demam.Topikal anestesi seperti prilokain, lidokain, benzokain, tetrakain
juga dapat menghentikan rasa gatal dan sakit.12

Antivirus
Beberapa obat antivirus yang efektif untuk herpes, antara lain asiklovir,
valasiklovir, famsiklovir, dan penisiklovir. Asiklovir adalah yang pertama ditemukan
dan sekarang tersedia dalam bentuk generic, begitupula dengan valasiklovir.
Berdasarkan pengamatan, terbukti bahwa penggunaan asiklovir dan valasiklovir pada
pasien herpes labialis sama dengan pengobatan pada pasien kanker yang mempunyai
infeksi herpes.12

Topikal
Beberapa antivirus topikal yang efektif untuk herpes labialis adalah asiklovir,
penisiklovir dan dokosanol.13

II.10.1 Tatalaksana Infeksi Rekuren


Rekurensi dari herpes sering tidak terlalu parah dan dengan frekuensi yang
tidak tetap, banyak pasien yang tidak langsung mencari pengobatan. Terapi yang
digunakan untuk mencegah rekurensi sebenarnya tersedia dan cukup efektif, namun
karena biaya dan pemakaian yang kurang nyaman, obat obat ini lebih diperuntukan
untuk pasien yang mempunyai lebih dari 6 rekurensi pertahun. Terapi supresif untuk
pasien pasien ini ditujukan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan dari gejala
herpes, mengurangi transmisi HSV kepada pasangan dan bayi dari ibu yang terinfeksi,
dan mengurangi transmisi dari penyakit lain yang berhubungan (ex: Human
Immunodeficieny Virus/HIV).14
Asiklovir telah digunakan untuk mensupresi rekurensi dari herpes genital,
mengurangi frekuensi sampai 80% dan mencegah rekurensi dari 45% pasien. Obat ini
dititrasi mulai dari 400 mg 2 kali sehari untuk mencapai efikasi maksimal dengan
dosis terkecil. Terapi ini harus dihentikan sekali dalam setahun untuk menilai apakah
perlu dilanjutkan. Resistensi asiklovir belum menjadi masalah pada pasien
imunokompeten, namun telah dilaporkan bahwa ada 4% dari penderita HIV.15

15
Tabel 3. Tatalaksana infeksi rekuren ***

DIPERBOLEHKAN
ANGKA DIBERIKAN KE PASIEN
PENURUNAN UNTUK REKURENSI 6 KALI
OBAT DOSIS REKURENSI (%) PERTAHUN

Acyclovir 400 mg 2 78 79 Ya
(Zovirax) kali sehari

Famciclovir 250 mg 2 79 Ya
(Famvir) kali sehari

Valacyclovir 1 gr 1 kali 78 79 Ya
(Valtrex) sehari

500 mg 71 Tidak
1 kali
sehari

*** Dikutip sesuai aslinya : Whitley RJ, Kimberlin DW, Roizman B. Herpes simplex
viruses. Clin Infect Dis. 1998;26:54155. Reitano M, Tyring S, Lang W, Thoming C,
Worm AM, Borelli S, et al. Valaciclovir for the suppression of recurrent genital herpes
simplex virus infection: a large-scale dose range-finding study. J Infect Dis.
1998;178:60310. Diaz-Mitoma F, Sibbald RG, Shafran SD, Boon R, Saltzman RL. Oral
famciclovir for the suppression of recurrent genital herpes: a randomized controlled
trial. JAMA. 1998;280:88792.

16
II.11 Diagnosis Banding
Hand, foot and mouth disease pada umumnya disebabkan oleh
coxsackievirus. Lesi berupa makula yang muncul pada mukosa mulut, lidah dan
palatum durum yang kemudian berubah dengan progresivitas yang cepat menjadi
vesikel dengan sekeliling yang eritematosa. Lesi dapat terlihat juga pada tangan dan
kaki. Demam juga dapat muncul hingga 38-39C selama 2-3 hari.

Herpes zooster yang mengenai nervus trigerminal

Candidosis disebabkan oleh jamur Candida albicans. Lesi berupa bercak


kemerahan pada mukosa mulut, lidah, dan palatum durum dan palatum molle.

Angular cheilitis peradangan pada daerah sekitar mulut dengan gejala nyeri,
kemerahan, dan fissura pada sudut mulut.10,11

II.12 Komplikasi
Infeksi sekunder oleh bakteri melalui vesikel yang telah pecah dapat terjadi,
contohnya impetigo.
Rekurensi lesi pada tempat yang sama dapat menyebabkan atrophy dan scar
pada lokasi tersebut.
Herpes simpleks encephalitis dapat terjadi hingga 10-20% dari kasus infeksi
HSV-1 dengan gejala berupa sakit kepala, halusinasi, hingga kejang.
Herpetic whitlow sering terjadi pada pelayan kesahatan dan pada anak-anak
akibat pajanan terhadap saliva yang tinggi.10,11

17
BAB III
KESIMPULAN

Hasil dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa faktor predisposisi dari HSV 1 rekuren diantaranya adalah stress, faktor
imunitas (imunokompromais dan efek dari imunosupresan), dan kehamilan.
Jadi pada rekurensi yang disebabkan oleh kehamilan dapat dicegah dengan
menghindari faktor resiko seperti usia kehamilan tua, penggunaan fetal-scalp
electrode, usia kehamilan ibu kurang dari 21 tahun, karena jika ibu hamil terkena
HSV maka virus tersebut juga dapat menular kepada fetus atau bayi baru lahir.
Apabila wanita hamil terlanjur terkena HSV rekuren dapat diberikan asiklovir atau
valasiklovir sesuai dosis yang dianjurkan, meskipun obat ini tidak secara resmi
disetujui untuk pengobatan pada wanita hamil sehingga diperlukan inform consent.
Pada infeksi rekuren yang diderita oleh pasien HIV biasanya gejala klinis
lebih berat dan proses penyembuhannya lebih lambat dikarenakan perkembangan
virus lebih cepat tetapi CD4+ count lebih rendah dikarenakan virus HIV
menghancurkan limfosit.
Pada uji efek imunosupresan (siklofosfamid, azathioprine dan prednisolon)
terhadap rekurensi HSV 1 diketahui bahwa mekanisme imunitas mungkin terlibat
dalam proses penyembuhan herpes simpleks rekuren namun bukan satu-satunya
faktor yang mengendalikan infeksi laten.
Pada infeksi rekuren yang disebabkan oleh stress psikologis pada penelitian
telah dibuktikan adanya peningkatan insiden rekurensi pada individu yang memiliki
tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi. Mekanisme pasti dari hal ini belum
dapat dipastikan, namun diduga karena adanya penurunan kadar CD8+ dan CD4+
pada individu yang memiliki tingkat depresi tinggi.
Penatalaksanaan pada HSV tipe 1 rekuren dinyatakan bahwa tidak ada metode yang
dapat meng-eradikasi virus herpes dari tubuh, namun obat antivirus dapat mengurangi
frekuensi, durasi, dan keparahan dari rekurensi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Melo JR, Pivovar L, Cossul MF, Lima AAS. Exuberant recurrent herpes
labialis in immunocompromised patient. A case report. RSBO. 2015 Apr-
Jun;12(2):216-9.

2. Bohn JC, Teixeira L, Chaiben CL, Kuczynski A, Gil FBD, Lima AAS.
Management of reccurent herpes labialis in immunosuppressed patient. A case
report. J Intern Dental Med Res. 2011;4:70-3.

3. Raborn GW, Grace MGA. Recurrent herpes simplex labialis: selected


therapeutic options. J Can Dent Assoc. 2003;69(8):498-503.

4. Usatine RP, Tinitigan R. Nongenital herpes simplex virus. Am Fam


Physician.2010 Nov;82(9):1075-82.

5. Fancher W, Marsch A, Landers J, Scribner J. Disseminated herpes simplex


virus preseting as crusted ppules on the palms and soles of immunosuppressed
patient. Dermatology Online Journal. 2014 Sept;20(9):6.

6. Arvin A, Fiume GC, Mocarski, Moore PS, Roizman B, Whitley R, Yamanishi


K, editors. Human herpesviruses. Cambridge: Cambridge University Press;
2007.

7. Blyth AW, Harbour DA, Hill TJ. Effect of immunosupression on recurrent


herpes simplex in mice. Infection and immunity. 1980;27:902-7.

8. Faulkner S, Smith A. A prospective diary study of the role of psychological


stress and negative mood in the recurrence of herpes simplex virus (HSV1).
Wales : University of Glamorgan; 2008. Available from:
http://www.interscience.wiley.com

9. Opstelten W, Neven AK, Eekhof J. Treatment and prevention of herpes


labialis. Canadian Family Physician Medecin De Famille Canadien. 2008
Dec;54(12):1683-7.

19
10. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical
dermatology. 6th Ed. New York: McGraw-Hill; 2009.

11. Habif TP. Habif: Clinical dermatology. 4th Ed. Pennsylvania:Mosby; 2004.

12. Glenny AM, Fernandez MLM, Pavitt S, Walsh T. Interventions for the
prevention and treatment of herpes simplex virus in patients being treated for
cancer. Cochrane Database Syst Rev. 2009.

13. Whitley RJ, Kimberlin DW, Roizman B. Herpes simplex viruses. Clin Infect
Dis. 1998;26:54155.

14. Reitano M, Tyring S, Lang W, Thoming C, Worm AM, Borelli S, et al.


Valaciclovir for the suppression of recurrent genital herpes simplex virus
infection: a large-scale dose range-finding study. J Infect Dis. 1998;178:603
10.

15. Diaz-Mitoma F, Sibbald RG, Shafran SD, Boon R, Saltzman RL. Oral
famciclovir for the suppression of recurrent genital herpes: a randomized
controlled trial. JAMA. 1998;280:88792.

16. Anzivino E, Fioriti D, Mischitelli M, Bellizzi A, Barucca V, Chiarini F,


Pietropaolo V. Herpes simplex virus infection in pregnancy and in neonate:
status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention. Virology
Journal. 2009;6:40.

17. Stancik LM. Antiviral therapy resistance of herpes simplex virus 1 and 2.
Biology 238: Microbiology Dr. Joan Slonczewski. 2001 May.

20

Anda mungkin juga menyukai