Anda di halaman 1dari 25

1

BAB 1
PENDAHULUAN


Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo dan Herpes Simplex-virus)
pada wanita hamil sering kali tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik, tetapi
dampak serius bagi janin yang dikandungnya. Toxoplasmosis pada wanita hamil
dapat menyebabkan berbagai kelainan pada fetus. Pada infeksi rubella, penelitian
epidemiologi di India, menunjukan bahwa wanita usia subur rentan untuk terkena
infeksi ini. Infeksi pada saat hamil dapat menyebabkan kelainan kongenital pada
10-54% kasus. Virus sitomegalo (CMV) pada individu dewasa sering kali
asimtomatik, tetapi pada kehamilan gejala klinis yang timbul menjadi lebih berat.
Infeksi oleh CMV berkaitan dengan keadaan sosioekonomi yang rendah.
Sedangkan virus herpes pada saluran reproduksi wanita hamil menjadi sumber
transmisi HSV ke janin pada trimester pertama kehamilan berkaitan dengan
peningkatan kejadian abortus spontan dan malformasi kongenital.

Infeksi maternal oleh organisme yang menyebabkan TORCH seringkali sulit
didiagnosis akibat gejala klinis yang seringkali tidak muncul. Oleh karena itu,
pemahaman penegakan diagnosis infeksi akut TORCH pada kehamilan yang
didasari pada hasil pemeriksaan serologi harus dipahami agar tidak terjadi over
diagnosis pada pasien. Pada tulisan ini akan dijelaskan tenang infeksi herpes
simpleks pada kehamilan. Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes
simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis.
Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau
sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi. Di antara kedua tipe herpes
simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu infeksi menular seksual yang
perlu mendapat perhatian karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan
sering rekuren, transmisi virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap
kehamilan/janin dalam kandungan dan pasien imunokompromais, dampak
psikologis, serta kemungkinan timbulnya resistensi virus

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Infeksi HSV
Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus
paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret
genital/oral dari individu yang terinfeksi (Marquez & Straus, 2008)

Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu
infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat
penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari
pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan
dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan
timbulnya resistensi virus (Daili, 2002).

1. Etiologi
Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang primer
menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-
1) dan HSV-2 termasuk sub family alphaherpesvirinae dengan ciri-ciri
spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang relatif cepat,
mudahnya infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel
yang cepat, dan kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada
ganglion sensorik (Sjahjurachman, 2002).

Struktur, Komposisi, dan Sifat
Virus herpes berukuran besar dibandingkan dengan virus lain. Struktur
virus herpes dari dalam ke luar terdiri dari genom DNA untai ganda liniar
berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen, dan selubung. Dari selubung
keluar tonjolan- tonjolan (spike), tersusun atas glikoprotein. Terdapat 10
glikoprotein untuk HSV-1 yaitu glikoprotein (g)B, gC, gD, gE, gH, gI, gK,
3

gL, dan M. Glikoprotein D dan glikoprotein B merupakan bagian penting
untuk infektivitas virus. Glikoprotein G HSV-1 berbeda dengan HSV-2
sehingga antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk membedakan kedua
spesies tersebut. Virus herpes humanus relatif tidak stabil pada suhu kamar
dan dapat dirusakkan dengan perebusan, alkohol, dan pelarut lipid seperti
eter atau kloroform (Sjajurachman, 2002).
























Gambar 1 : Virus Herpes Simplex


4

2. Replikasi virus

Virus masuk ke dalam sel melalui fusi antara glikoprotein selubung virus
dengan reseptornya yang terdapat di membran plasma. Selanjutnya
nukleokapsid pindah dari sitoplasma ke inti sel. Setelah kapsid rusak,
genom virus dilepas di dalam inti sel, berubah dari liniar menjadi sirkular.
Sebagian gen langsung ditranskripsikan dan produk RNA-nya
dipindahkan ke sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein
beta, terjadi transkripsi dan translasi late genes menjadi protein gamma
(Sjajurachman, 2002; Pertel & Spear, 2007).

Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel
dengan bantuan enzim RNA polimerase sel pejamu dan protein virus
lain. Transkrip dalam bentuk DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion
pada membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke luar inti sel
melalui proses eksositosis. Satu kali siklus replikasi berlangsung sekitar 18
jam untuk herpes simpleks (Sjajurachman, 2002).

Replikasi HSV di dalam sel akan menghambat sintesis DNA dan protein
selular sejak fase dini replikasi. Virus baru yang terbentuk akan dilepaskan
dari sel dan menginfeksi sel lain (Sjajurachman, 2002; Pertel & Spear,
2007).










5













Gambar 2 : Replikasi HSV

Infeksi Laten
Infeksi laten oleh sel virus merupakan infeksi yang tidak disertai
pembentukan virion. Infeksi dimulai pada epitel orolabial atau genital,
selanjutnya infeksi menyebar ke akson terminal syaraf sensorik dan
terjadi translokasi retrograd virus ke akson. Pada sel neuron, infeksi dapat
bersifat produktif maupun laten (Sjajurachman, 2002)

Latensi tersering terjadi pada ganglion trigeminus. Jika ada stimulus,
infeksi laten pada neuron berubah menjadi infeksi produksi terbatas
dan selanjutnya menyebar ke jaringan yang dipersyarafinya (Sjajurachman,
2002).

3. Patogenesis
Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang
rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara
meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi
yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel.

Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi
6

ke inti sel neuron di ganglia sensorik (Sarsito, 2002; Makes 2002).

Virion dalam neuron yang terinfeksi akan bereplikasi menghasilkan
progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak bereplikasi. Neuron
yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke lokasi kulit tempat
dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang
berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas
sel.
I
nfeksi oleh HSV-1 dan HSV-2 akan menginduksi glikoprotein yang
berhubungan pada permukaan sel- sel yang terinfeksi. Setelah terjadi
infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh
glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun
dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik.
Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap
dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata tidak
menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi
sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat
menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens
atau pelepasan virus asimtomatik (Makes, 2002). Reaktivasi HSV-1
sering terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari
ganglion sakralis (Marquez & Straus, 2008)

Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar
ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan
seksual, stres emosional dan keadaan imunokompromised (Marquez &
Straus, 2008; Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung
dengan lesi atau saliva yang mengandung virus.

Penularan lesi genital
dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan
virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi.
Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan
herpes genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2
7

dapat mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV-1 dapat
menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual secara
orogenital (Sarsito, 2002).

Semua individu seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi
HSV di saluran genitourin selama hidupnya, baik sebagai infeksi
simtomatik, infeksi simtomatik namun tidak dikenal sebagai herpes, atau
sebagai infeksi subklinis (Makes, 2002).


4. Manifestasi Klinis

a. Herpes Orofasial
Infeksi primer
Infeksi primer dapat bersifat subklinis, tetapi pada beberapa keadaan
menimbulkan manifestasi berat di daerah oral disebut
gingivostomatitis herpetika primer.

Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1
orofasial primer yang tersering, ditandai lesi khas vesikoulseratif oral
dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun
(Marquez & Straus, 2008; Fatahzadeh & Schwartz, 2007). Gejala
prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan muntah-
muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari
setelah gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil
(Fatahzadeh & Schwartz, 2007). berkelompok di mukosa mulut,
berdinding tipis dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah
meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga
mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut. Selama
perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih
besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah ginggivitis
marginalis akut, generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadang-
kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Pada pemeriksaan,
8

faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran kelenjar
getah bening submandibular dan servikal (Sarsito, 2002).

Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit
di sekitar sirkum oral. Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi
krusta kekuningan. Stomatitis herpetika akut pada anak-anak yang
sehat bersifat swasirna. Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari
dan lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan
masih dapat ditemukan virus dalam saliva (Sarsito, 2002).

Infeksi rekuren
Herpes simpleks labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk
herpes orofasial rekuren yang paling sering terjadi, berupa vesikel-
vesikel pada batas luar vermilion dan kulit sekitarnya.

Gejala dimulai
dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok dalam
24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi
krusta. Nyeri dan rasa tidak nyaman terjadi pada beberapa hari
pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa
jaringan parut. Pelepasan virus terus berlansung 35 hari setelah lesi
sembuh. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu
yang terkena infeksi HSV di mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada
pasien dengan demam dibandingkan pasien tanpa demam (Fatahzadeh
& Schwartz, 2007).

Herpes intra oral rekuren merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada
intra oral khususnya daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada
palatum durum regio premolar dan molar, dapat juga timbul pada
bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak
unilateral, tidak melewati garis tengah (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).



9














Gambar 3 : Herpes Orofasial

b. Herpes Genitalis

Herpes genitalis primer episode pertama
Episode pertama akan tampak secara klinis dalam waktu 2-21
hari setelah inokulasi. Bila seseorang belum pernah terpajan HSV
sebelumnya (seronegatif) maka akan disebut sebagai infeksi primer.
Episode pertama seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan
pelepasan virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di
genital maupun di luar genital. Pasien dengan infeksi primer (infeksi
pertama kali dengan HSV-2 maupun HSV-1) umumnya mengalami
penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien yang telah mengalami
infeksi HSV-1 sebelumnya (Makes, 2002).

Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital ditandai dengan gejala
sitemik dan lokal yang lama. Gejala sistemik muncul dini berupa
demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal utama berupa
nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta
10

pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi
kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem di labia
minora, introitus, meatus uretra, serviks pada wanita; batang dan
glans penis pada pria atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan
wanita (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa
pelepasan virus berlangsung kurang lebih 12 hari. Tanpa infeksi
sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam waktu kurang
lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan
memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut
(Leone, 2007).

Herpes genitalis non-primer episode pertama
Sebagian besar populasi pernah terpajan oleh HSV-1 maupun HSV-2
sebelumnya. Individu demikian telah seropositif pada saat episode
pertama, sehingga disebut non-primer.

Diagnosis klinis episode
pertama non-primer sukar dibedakan dengan episode rekuren.

Secara
umum, episode pertama non- primer menyerupai rekurensi yaitu
lebih ringan daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih
panjang (Makes, 2002).










Gambar 54 : Herpes Genital
11

Herpes genitalis rekuren
Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu. Rekurensi cenderung
lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah
infeksi awal. Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan
gejala klinis yang ringan. Lamanya pelepasan virus berlangsung
kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat (Fatahzadeh &
Schwartz, 2007).


Herpes genitalis atipikal
Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura,
furunkel, ekskoriasi, dan eritema vulva nonspesifik disetai rasa
nyeri dan gatal pada wanita. Pada pasien pria berupa fisura linier
pada preputium, dan bercak merah pada glans penis. Lesi ekstragenital
umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha (Makes, 2002).

Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV
Pelepasan virus (viral shedding) subklinis menjadi masalah serius
pada herpes genitalis karena berpotensi tinggi dalam transmisi virus.
Lokasi viral shedding pada keadaan asimtomatik umumnya di kulit
penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta
perineum pada wanita (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

5. Diagnosis
Diagnosis klinis
Tipe awitan, gejala konstitusional yang klasik, distribusi dan gambaran
lesi yang khas berupa ulserasi oral superfisial, bentuk bulat, multipel,
bersifat akut dan adanya gingivitis marginal generalisata pada pemeriksaan
fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode herpes sebelumnya, serta
adanya riwayat terpajan HSV-1 membantu menegakkan diagnosis
gingivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe ini perlu
dibedakan dengan hand-foot-mouth disease, herpangina, eritema
multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing ulcerative gingivitis
12

(Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren
dan herpes zoster intraoral. Infeksi HSV genital perlu didiagnosis banding
dengan penyebab ulkus genital lain baik berupa infeksi maupun bukan
infeksi. Bila terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila terdapat
riwayat lesi sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan
sifatnya sama maka kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV.
Diagnosis banding HSV genital adalah ulkus pada sifilis, chancroid,
limfogranuloma venerum, donovanosis, non infeksi penyakit Crohn,
ulserasi mukosa yang dihubungkan dengan sindrom Behcet (Makes, 2002;
Leone, 2007)

Diagnosis laboratorium

1. Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright,
terlihat sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif
dan tidak spesifisik.
2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat
saat lesi menyembuh.
3. Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR),
lebih sensitif dibandingkan kultur virus.
4. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi
setelah 47 hari infeksi, mencapai puncak setelah 24 minggu, dan
menetap selama 23 bulan, bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan,
IgG baru dapat dideteksi setelah 23 minggu infeksi, mencapai
puncak setelah 46 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat
seumur hidup (CDC, 2006).

Antibodi IgM dan IgG hanya memberi gambaran keadaan infeksi akut
atau kronik dari penyakit herpes genitalis. Tidak ditemukannya antibodi
HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik HSV
13

atau peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan
menunjukkan diagnosis HSV primer. Ditemukannya IgG antiHSV
pada serum akut, IgM spesifik HSV dan peningkatan IgG anti-HSV
selama fase penyembuhan merupakan diagnostik infeksi HSV rekuren
(CDC, 2006)

B. Infeksi HSV Pada Kehamilan
Herpes simplex virus (HSV) adalah virus DNA doublestranded, memiliki
envelope dan termasuk dalam famili herpesviridae. HSV ditransmisikan
melintasi membran mukosa dan kulit nonintact yang dapat bermigrasi ke
jaringan saraf di mana pada saat ini virus dapat bertahan dalam keadaan laten
(Gupta et all., 2007).

HSV-1 dominan pada lesi orofacial, dan biasanya ditemukan di ganglia
trigeminal, sedangkan HSV-2 yang paling sering ditemukan dalam ganglia
lumbosakral (Gupta et all., 2007). Namun demikian virus ini dapat
menginfeksi kedua daerah orofacial dan saluran kelamin. Di beberapa negara
maju HSV tipe 1, baru-baru ini muncul sebagai agen penyebab lesi pada
genital. Perubahan perilaku seksual orang dewasa dapat menjalaskan insiden
yang lebih tinggi (Bailey et all., 2007; Robertz et all, 2003).

Infeksi primer pertama terjadi ketika seseorang yang rentan (tidak adanya
antibodi HSV-1 dan HSV-2) terkena HSV. Episode non primer pertama
terjadi ketika seseorang dengan antibodi HSV tipe 1 atau 2 yang sudah ada
sebelumnya terkena infeksi dari tipe yang berlawanan. Infeksi berulang terjadi
pada orang dengan antibodi terhadap HSV mengalami infeksi dengan tipe
HSV yang sama. Infeksi selama kehamilan dapat ditularkan kepada bayi yang
baru lahir: HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan mata atau lesi kulit,
meningoencephalitis, infeksi disebarluaskan, atau malformasi janin (Gupta et
all., 2007).


14

1. Epidemiologi
Dalam beberapa tahun terakhir, herpes genital telah meningakat
kerjadiaanya diantara penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Dari tahun 1970, infeksi virus HSV-2 meningkat 30% dan telah
menjadi satu dari 5 infeksi yang paling banyak terkena pada orang dewasa
(Cussini & Ghislanzoni, 2001; Weiss, 2004).

Prevalensi infeksi HSV diantara infeksi STD juga meningkat dari 17-40%.
Diantara prevalensi tersebut prevalensi HSV lebih banyak terjadi pada
wanita hamil yaitu sebesar 14% jika dibandingkan dengan populasi umum
yang hanya sebesar 6% (Cusini et all., 2000).

Usia dan jenis kelamin menjadi faktor resiko yang pening yang
berhubungan dengan infeksi HSV genital. Prevalensi infeksi HSV
meningka dengan usia dan insidennya meningkat pada usia sekitar 40
tahun(Cussini & Ghislanzoni, 2001). Infeksi ini berkaian dengan pasangan
seksual dan menurut usia lebih dominan pada wanita jika dibandingkan
dengan pria (Smith and Robinson, 2002; Suligoi et all., 2000)

Kemudian, resiko etnik, kemiskinan, penyalahgunaan kokain, onset
berhubungan seksual yang lebih mudan dan bacterial vaginosis dapat
memfasilitasi resiko wanita terkena infeksi HSV sebelum kehamilan
(Cherpes et all., 2003; Gottlieb et all., 2002).

Dari populasi wanita hamil, juga ditemukan peningkaan terjadi herpes
genital. Di Italia terdapat peningkatan dari 7,6-8,4% wanita hamil dengan
herpese genital. Di USA, terdapat 22% wanita hamil yang terinfeksi HSV-
2 dan 2% nya akan menularkan infeksi herpes pad anaknya (Cherpes et
all., 2003).

Resiko infeksi HSV pada neonatus bervariasi dari 30-50 % pada trimester
3, dimana infeksi pada trimester awal resikonya hanya sekitar 1%. Ketika
15

infeksi primer HSV terjadi pada trimester ketiga, idak terdapat waktu yang
cukup untuk pembentukan antibodi yang berfungsi untuk mensupresi
replikasi virus sebelum persalinan. Sekitar 85% transmisi HSV terjadi pada
saat intrapartus, sedangkan transmisi HSV dari ibu ke fetus selama
kehamilan cukup sedikit. Dari hasil penelitian menunjukkan ibu dengan
HIV menunjukkan koinfeksi yang tinggi dengan infeksi HSV (Cherpes et
all., 2003).

2. Diagnosis
Infeksi herpes genital primer memiliki masa inkubasi 2-20 hari bahkan
dapat sampai 21 hari. Diantara wania herpes akan menyebabkan timbulnya
bintik-bintik dan ulserasi pada organ genitalia eksterna dan serviks. Gejala
yang biasa dialami adalah nyeri pada vulva, dysuria, adanya discharge
pada vagina dan lymphadenopathy (Cusini & Ghislanzoni, 2001).

Lesi vesikular dan ulseratif pada lipat paha, pantat, perineum atau kulit
perianal juga dapat diamati. Infeksi primer pada baik wanita maupun pria
dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam , sakit kepala , mialgia
( 38 % pada pria , 68 % pada wanita), meningitis dan neuropati otonom
yang dapat menyebabkan retensi urin terutama pada wanita (Suligoi et all.,
2000; Cherpes et all, 2003)

Semua penderita yang dicurigai mengalami infeksi herpes virus harus
ikonfirmasi melalui pengujian serologis atau viral. Diagnosis herpes genital
berdasarkan manifestasi klinis saja memiliki sensitivitas 40 % dan
spesifisitas 99 % dan tingkat positif palsu sebesar 20 % (Sauerbrei &
Wutzler, 2007).

Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi HSV
dapat dibagi menjadi dua kelompok dasar : ( 1 ) teknik deteksi virus dan ( 2
) teknik deteksi antibodi. Teknik deeksi virus dapat dilakukan dengan
kultur virus dan deteksi HSV antigen oleh polymerase chain reaction (
16

PCR ). Teknik deteksi antibodi didasarkan pada dasar laboraorium dan test
serologis untuk mendeteksi keberadaan antibodi baik HSV - 1 atau HSV
2. Dengan deteksi virus dapat mengurangi hasil ngatif dalam
mengidentifikasi keberadaan infeksi herpes (CDC, 2006).

Pada kunjungan prenatal pertama harus ditanyakan tentang riwayat
pasangannya. Pada kasus dimana partner laki-laki memiliki riwayat yang
positif herpes. Harus dianjurkan tifak melakukan hubungan oral dan
seksual untuk menghindari infeksi (terutama selama trimester ketiga
kehamilan). Selain itu, penggunaan kondom selama kehamilan harus
direkomendasikan untuk meminimalkan risiko transmisi virus meskipun
pasangan laki-laki tidak memiliki lesi aktif (Buchner et all., 2004).

3. Efek Infeksi HSV pada Kehamilan
Hal ini diperlukan untuk membedakan antara infeksi kongenital dan
infeksi neonatal dengan HSV. Bahkan, infeksi HSV dari bayi baru lahir
dapat diperoleh selama kehamilan, intrapartum dan postnatal. Ibu adalah
sumber infeksi yang paling utama terutama untuk dua rute pertama
penularan virus. Infeksi kongenital sangat jarang karena akuisisi virus di
dalam rahim. Infeksi neonatal HSV terjadi jika lesi timbul lebih dari 48 jam
setelah kelahiran (Money & Steben, 2009; Whitley & Gnan, 2002).

Transmisi infeksi HSV intrauterine merupakan 5% dari kasus HSV infeksi
pada neonatus. Risiko tertinggi infeksi intrauterin telah diamati pada ibu
hamil dan 90% dari mereka adalah terkait dengan infeksi HSV-2. Baik
infeksi primer maupun infeksi rekuren dapat menyebabkan penyakit
bawaan. Penularan virus intrauterin tertinggi selama kehamilan 20 minggu
pertama yang dapat menyebabkan abortus, lahir mati, dan kelainan
kongenital. Angka kematian perinatal adalah 50% (Money & Steben,
2009).

Pada 85-90% dari infeksi HSV neonatal, HSV diperoleh pada saat
17

persalinan dan 5-10% disebabkan oleh infeksi virus postnatal. Berdasarkan
virusnya, sebesar 70-85% dari infeksi HSV neonatal disebabkan oleh HSV-
2, sedangkan sisanya disebabkan oleh HSV-1. Infeksi HSV-2 membawa
prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan infeksi oleh HSV-1 (Avgil &
Onoy, 2006).

Transmisi penyakit pada bayi baru lahir tergantung pada jenis infeksi
genital ibu pada saat persalinan. Bahkan, herpes neonatal jauh lebih sering
(50%) terjadi pada bayi dari ibu dengan infeksi HSV primer dengan ibu
dari infeksi HSV rekuren (<3%). (ACOG, 2007).











Gambar 5: Congenital Herpes

Ketuban pecah dini merupakan faktor risiko untuk infeksi HSV pada
neonatal. Infeksi kongenital intrauterin ditandai dengan vesikel kulit atau
jaringan parut, adanya lesi pada mata (korioretinitis, microphthalmia dan
katarak), kerusakan neurologis (kalsifikasi intrakranial, mikrosefali,
kejang, dan encephalomalacia), pertumbuhan terhambat, dan
Terhambatnya pengembangan psikomotor. Bayi yang terinfeksi HSV
secara intrapartum atau postnatal dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:
1. penyakit HSV lokal pada kulit, mata, dan atau mulut (SEM);
Sindrom ini dikaitkan dengan angka kematian yang rendah tetapi
18

memiliki morbiditas yang tinggi, dan hal ini dapat berkembang
menjadi ensefalitis atau penyakit yang meluas jika tidak diobati;
2. Ensefalitis HSV dengan atau tanpa kulit, mata, dan atau keterlibatan
mulut yang menyebabkan morbiditas neurologis diantara penderita;
3. HSV yang menyebar yang dapat bermanifestasi pada kerusakan
multiorgan (termasuk sistem saraf pusat, hati, paru-paru, otak,
adrenal, kulit, mata, dan / atau mulut) dan memiliki risiko kematian
yang melebihi 80% jika tidak diobati (Anzivino et all., 2009).

Pada diagnosis, gejala yang dapat ditemukan antara lain: timbulnya vesikel
pada kulit (68%), demam (39%), letargi (38%), kejang (27%),
konjungtivitis (19%), pneumonia (13%), dan DIC (11%). Gejala mungkin
hadir pada saat lahir, tetapi pada 60% pasien terjadi 5 hari setelah lahir dan
kadang-kadang hadir setelah 4-6 minggu kehidupan (Berardi et all., 2011).

Infeksi lokal telah ditemukan pada 50% dari neonatus yang terkena infeksi
HSV dimana terdapat keterlibatan sistem saraf pusat (CNS) pada 33%, dan
infeksi yang meluas yang ditemukan pada 17% dari kasus [19, 23].
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa infeksi HSV yang meluas
ditandai oleh infeksi pada hepar dan gangguan adrenal dengan gejala shock
dan DIC. Gejala HSV yang menyebar lainnya lain termasuk kejang,
gangguan pernapasan, ikterus, dan exanthem vesikuler. Namun, lebih dari
20% bayi dengan infeksi HSV yang menyebar tidak menunjukkan
timbulnya vesikel pada kulit selama perjalanan penyakitnya. Ensefalitis
tampaknya merupakan gejala umum dari bentuk infeksi ini, dimana gejala
ini terjadi pada 60-75% bayi dengan infeksi HSV yang meluas (Anzivino et
all., 2009).

Angka kematian dalam kasus ketiadaan terapi melebihi 80% [29].
Prognosis bayi dengan penyakit HSV yang meluas atau dengan manifestasi
kelainan neurologis adalah buruk. Angka kematian dimana terdapat
keterlibatan neurologis adalah sekitar 5% dengan 50% anak-anak
19

mengalami gejala neurologis sekuele. Sementara angka kematian dalam
kasus dengan keterlibatan multiorgan adalah 30% dengan gejala sisa
sebesar 20% (Whitley, 2004).

Gambar 6 : Presentation of Congenital HSV

4. Management Infeksi Primer HSV Pada Kehamilan
Pada tahun 2008, Canada Society of Obstetricians dan Gynaecologists
menerbitkan pedoman tentang pengelolaan HSV dalam kehamilan [33].
Risiko infeksi pada bayi tampaknya lebih tinggi ketika infeksi pertama
terjadi selama trimester ketiga kehamilan. Dalam hal ini mungkin tidak ada
waktu yang cukup untuk pengembangan IgG maternal sehingga risiko
infeksi neonatal adalah 30 sampai 50% (Gardella & Brown, 2011).

Jika infeksi terjadi pada trimester pertama kehamilan, hal ini tampaknya
terkait dengan peningkatan aborsi spontan dan kasus IUGR. Hanya sedikit
kasus dimana terjadi transmisi virus secara transplasenta yang dapat
menyebabkan infeksi kongenital yang parah dan dapat terjadi mikrosefali,
hepatosplenomegali, IUFD dan IUGR. Penggunaan antivirus juga diizinkan
20

dalam trimester pertama kehamilan jika infeksi ibu yang sangat serius.
Pada saat ini ada sudah terdapat banyak data yang cukup untuk
menjelaskan keamanan penggunaan acyclovir selama kehamilan (Gardella
& Brown, 2011).

Ketika infeksi primer diperoleh selama trimester pertama hingga kedua
kehamilan, disarankan untuk melakukan kultur virus serial pada lendir
vagina mulai dari kehamilan 32 minggu. kultur virus dengan teknik tes
amplifikasi asam nukleat (NAATs) dianggap sebagai tes pilihan pada ibu
dengan manifestasi klinis infeksi HSV. Seperti di Eropa Barat dan Amerika
Serikat, tidak terdapat data komprehensif yang divalidasi dan Disetujui
tentang penggunaan uji NAATs. Namun, test NAATs untuk deteksi HSV
telah dikembangkan dan tersedia di Eropa Timur, tetapi belum divalidasi
dan diakui secara internasional (Ciavattini et all, 2007).

Namun, jika dari hasil dua kultur negative dan tidak terdapat lesi aktif
herpes genital herpes aktif, maka dapat dilakukan persalinan pervaginam.
Jika serokonversi terjadi mendekati persalinan, opearasi sectio caesar tidak
diperlukan karena risiko penularan HSV ke janin rendah, dan neonatus
telah dilindungi oleh kekebaalan maternal (Rudnick & Hoekzema, 2002).

Jika infeksi primer genital primer diperoleh selama trimester ketiga
kehamilan. Kebanyakan pedoman mengusulkan operasi caesar untuk
terminasi kehamilan karena pada saat ini belum terjadi serokonversi
sehingga dapat menginfeksi neonatus. Ketika dilakukan persalinan
pervaginam pada kasus seperti ini resiko transmisi vertikal tinggi (41%).
Terapi asiklovir IV dibutuhkan untuk ibu dan neonatus pada kasus seperti
ini (Rudnick & Hoekzema, 2002).

5. Management Infeksi Rekuren HSV Pada Kehamilan
Infeksi rekurent HSV terjadi pada seorang wanita hamil dengan lesi HSV
yang lampau dengan IgG yang telah beredar di sirkulasi yang kemudian
21

mampu melewati plasenta dan mencapai janin. Pada kasus ini sangat jarang
fetus yang mendapatkan infeksi HSV. Jika terdapat lesi pada genital ibu
pada saat melahirkan, resiko infeksi bagi bayi akan 2-5% (Anzivino et all,
2009).

Penelitian acak menunjukkan penggunaan obat antivirus dari minggu ke-36
kehamilan dapat mengurangi risiko penyebaran virus dalam keadaan lesi
kulit yang tidak terlihat dan penurunan risiko reaktivasi virus. Penggunaan
obat antivirus diperbolehkan sebelum minggu ke-36 dalam kasus infeksi
yang berat pada ibu, atau jika terdapat peningkatan risiko kelahiran
prematur (Berardi et all, 2011).

Terapi meliputi penggunaan tablet acyclovir 400 mg 3 kali sehari atau
tablet asiklovir 200 mg 4 kali sehari dari minggu 36 sampai melahirkan,
dan kultur virus pada sekret vagina dari minggu ke 36 kehamilan
dibutuhkan. Penelitian terbaru juga menyarankan penggunaan valacyclovir
dengan dosis 200 mg 2 kali sehari (Berardi et all, 2011).

Pada keadaan dimana tidak terdapat lesi klinis herpes tetapi hasil kultur
positif, sectio caesarea dibutuhkan untuk terminasi kehamilan. Pada
keadaan semua kultur vurus negatif dan tidak adanya lesi klinis, persalinan
pervaginam diindikasikan. Akhirnya, pada keadaan timbulnya lesi klinik
HSV genital pada saat onset persalinan, jika paru-paru janin telah matang
disarankan sectio caesarea harus segera dilakukan setelah 4-6 jam setelah
pecah ketuban (Gardella & Brown, 2011).



22

Tabel 1: Rekomendasi Dosis Obat Antiviral Untuk Terapi Herpes Dalam
Kehamilan (CDC, 2006).






















23

BAB III
KESIMPULAN


Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 1
dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling
sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari
individu yang terinfeksi, Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis
merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian
karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi
virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam
kandungan dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan
timbulnya resistensi virus.

Saat ini, prevalensi infeksi HSV diantara infeksi STD juga meningkat dari 17-
40%. Diantara prevalensi tersebut prevalensi HSV lebih banyak terjadi pada
wanita hamil yaitu sebesar 14% jika dibandingkan dengan populasi umum yang
hanya sebesar 6%. Infeksi herpes pada kehamilan akan menyebabkan efeknya
sesuai dengan waktu penularan virus baik itu pada trimester pertama, kedua dan
ketiga. Pengobatan pada kasus infeksi herpes pada kehamilan juga dibagi
berdasaran infeksi primer HSV dan infeksi rekurren HSV.











24

DAFTAR PUSTAKA

ACOG Practice Bulletin, Clinical management guidelines for obstetrician-gynecologists.
No. 82 June 2007. Management of herpes in pregnancy, Obstetrics and
Gynecology, vol. 109, no.6, pp. 14891498, 2007.
Anzivino, D. Fioriti, M. Mischitelli et al., Herpes simplex virus infection in pregnancy
and in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention,
Virology
B. Suligoi, M. Cusan, P. Santopadre et al., HSV-2 specific seroprevalence among
various populations in Rome, Italy. The Italian herpes management forum,
Sexually Transmitted Infections, vol. 76, no. 3, pp. 213214, 2000.
Berardi, L. Lugli, C. Rossi et al., Neonatal herpes simplex virus, Journal of Maternal-
Fetal and Neonatal Medicine, vol. 24, supplement 1, pp. 8890, 2011.
C. Gardella and Z. Brown, Prevention of neonatal herpes, Journal of Obstetrics and
Gynaecology, vol. 118, no. 2, pp. 187192, 2011.
CDC. Sexually transmitted diseases. Treatment guidelines 2006. MMWR 2006; 16-20
(RR-11)
Centers for Disease Control and Prevention, Sexually transmitted diseases treatment
guidelines,Morbidity andMortality Weekly Report, vol. 55, no. RR-11, pp. 194,
2006, Published erratum appears in Morbidity and Mortality Weekly Report, vol.
55, pp. 997, 2006.
Ciavattini, M. Vichi, A. Rinci, and D. Tsiroglou, Infezioni virali in gravidanza: gestione
e raccomandazioni, La Colposcopia in Italia, vol. 2, pp. 1116, 2007.
Daili SF. Herpes genitalis pada imunokompromais. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor.
Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 89-99.
Diseases, vol. 37, no. 3, pp. 319325, 2003.
Fatahzadeh M, Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections: epidemiology,
pathogenesis, symptomatology, diagnosis, and management. J Am Acad
Dermatol 2007; 57: 737-63.
G. Paz-Bailey, M. Ramaswamy, S. J.Hawkes, and A. M. Geretti, Herpes simplex virus
type 2: epidemiology and management options in developing countries, Sexually
Transmitted Infections, vol. 83, no. 1, pp. 1622, 2007.
H. Weiss, Epidemiology of herpes simplex virus Type 2 infection in the developing
world, Herpes, vol. 11, supplement 1, pp. 24A35A, 2004.
J. S. Smith and N. J. Robinson, Age-specific prevalence of infection with herpes simplex
virus types 2 and 1: a global review, Journal of Infectious Diseases, vol. 186,
supplement 1, Journal, vol. 6, no. 6, article 40, 2009.
Leone P. Genital herpes. Dalam: Klausner JD, Hook EW. Current diagnosis and
treatment. Sexually transmitted diseases. New York: McGraw Hill
International Edition, 2007; 84-91.
M. Avgil and A. Ornoy, Herpes simplex virus and Epstein- Barr virus infections in
pregnancy: consequences of neonatalor intrauterine infection, Reproductive
Toxicology, vol. 21, no. 4, pp. 436445, 2006.
M. Cusini and M. Ghislanzoni, The importance of diagnosing genital herpes, Journal of
Antimicrobial Chemotherapy, vol. 47, no. 1, pp. 916, 2001.
25

M. Cusini, M. Cusan, C. Parolin et al., Seroprevalence of herpes simplex virus type 2
infection among attendees of asexually transmitted disease clinic in Italy,
Sexually Transmitted Diseases, vol. 27, no. 5, pp. 292295, 2000
M. Roberts, J. R. Pfister, and S. J. Spear, Increasing proportion of herpes simplex virus
type 1 as a cause of genital herpes infection in college students, Sexually
Transmitted Diseases, vol. 30, no. 10, pp. 797800, 2003.
M. Rudnick and G. S. Hoekzema, Neonatal herpes simplex virus infections, American
Family Physician, vol. 65, no. 6, pp. 11381142, 2002.
Makes WI. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam:Daili SF, Makes WI
Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 74-88.
Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Editor. Fitzpatricks Dermatology in general
medicine. 7
th ed.
New York: Mc-Graw Hill Companies, 2008; 1873-85.
Money and M. Steben, Guidelines for the management ofherpes simplex virus in
pregnancy, International Journal of Gynecology & Obstetrics, vol. 104, no. 2,
pp. 167171, 2009. of Infectious Diseases, vol. 186, no. 10, pp. 13811389, 2002.
Pertel PE, Spear PG. Biology of Herpesviruses. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm
WE, Piot P, Wasserheit JN, Core L. eds. Sexually transmitted diseases, edisi ke-4.
New York:Mc Graw Hill. 2007. Hal. 381 97 pp. S3S28, 2002.
R. Gupta, T. Warren, and A. Wald, Genital herpes, The Lancet, vol. 370, no. 9605, pp.
21272137, 2007.
R.Whitley, Neonatal herpes simplex virus infection, Current Opinion in Infectious
Diseases,vol. 17, no. 3, pp. 243246, 2004.
S. Buchner, P. Erni, J. Garweg et al., Swiss recommendations for the management of
genital herpes and herpes simplex virus infection of the neonate, Swiss Medical
Weekly, vol. 134, no. 15-16, pp. 205214, 2004.
S. L. Gottlieb, J. M. Douglas Jr., D. S. Schmid et al., Seroprevalence and correlates of
herpes simplex virus type 2 infection in five sexually transmitted-disease clinics,
Journal
Sarsito AS. Stomatitis herpetika. Dalam:Daili SF, Makes WI. Editor. Infeksi virus
herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 65-73.
Sauerbrei and P. Wutzler, Herpes simplex and varicellazoster virus infections during
pregnancy: current concepts of prevention, diagnosis and therapy. Part 1: herpes
simplex virus infections, Medical Microbiology and Immunology, vol. 196, no.
2, pp. 8994, 2007.
Sjahjurachman A. Biologi virus herpes. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus
herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 3-21.
T. L. Cherpes, L. A. Meyn, M. A. Krohn, J. G. Lurie, and S. L. Hillier, Association
between acquisition of herpes simplex virus type 2 in women and bacterial
vaginosis, Clinical Infectious

Anda mungkin juga menyukai