Kepada Yth :
Rencana Baca : Selasa,23 Oktober 2018 jam 08.00
Tempat : Ruang Pertemuan Lt.4 RSP
Gedung A
I. PENDAHULUAN
Multipel mieloma (MM) adalah keganasan sel plasma yang merupakan 1%
dari semua keganasan dan keganasan hematologik kedua terbanyak. Karakteristik
keganasan ini ditandai dengan adanya proliferasi klonal dan akumulasi sel-sel
plasma ganas pada sumsum tulang serta dihubungkan dengan disfungsi organ.
Gambaran klinis MM berupa gangguan fungsi sumsum tulang, kerusakan dan
invasi tulang, produksi dan sekresi protein monoklonal serta penurunan fungsi
sistem imun yang terjadi akibat akumulasi abnormal dari sel-sel mieloma 1,2
Dokter Samuel Solly pertama kali mendokumentasikan penyakit ini pada
tahun 1844, ia mendeskripsikan kasus yang menyerang seorang wanita dengan
gejala mudah lelah dan nyeri tulang akibat multipel fraktur. Dr. Henry Bence
Jones (1848) merupakan orang pertama yang meneliti protein abnormal pada
pasien dengan mieloma. Istilah multipel mieloma diperkenalkan oleh Rustizky
pada tahun 1873 dan kemudian pada tahun 1900 Wright menemukan bahwa sel
mieloma ini merupakan sel plasma yang bertransformasi.2,3
Keganasan ini sensitif terhadap berbagai obat sitotoksik, akan tetapi
responnya bersifat transien, sehingga multipel mieloma dianggap sebagai penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. Pengobatan MM membutuhkan biaya yang cukup
besar karena membutuhkan transplantasi sumsum tulang dan mempunyai stadium
relaps serta sering menyebabkan komplikasi.4-6
II. EPIDEMIOLOGI
Multipel mieloma merupakan 10-15% dari seluruh keganasan hematologik
dengan insidens kejadian 1-9 per 100.000 di seluruh dunia. Insidens penyakit
meningkat seiring umur dengan rata-rata pasien berusia 66 tahun, hanya 10%
yang didapatkan pada usia <50 tahun dan 2% pada usia 40 tahun serta sangat
jarang ditemukan pada anak-anak. Multipel mieloma dapat mengenai semua ras di
seluruh dunia, tetapi insidens lebih tinggi ditemukan pada kulit hitam daripada
III. FISIOLOGI
Sel plasma mensekresi immunoglobulin yang tersusun dari heavy chain dan
light chain (Gambar 1). Heavy chain terdiri dari lima tipe yaitu gamma (γ), alpha
(α), mu (µ), delta (Δ) dan epsilon (ε) sedangkan light chain terdiri dari kappa (κ)
dan lambda (λ). Heavy chain dan light chain diproduksi secara terpisah oleh sel
plasma dan kemudian disusun menjadi immunoglobulin yang terdiri dari lima
kelas yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Sel plasma normal memproduksi light
chain yang jumlahnya melebihi jumlah yang diperlukan untuk pembentukan
imunoglobulin sehingga light chain dapat ditemukan dalam bentuk bebas dan
bentuk terikat (bersama heavy chain & membentuk imunoglobulin). Normalnya
terdapat ratusan klon sel plasma yang menghasilkan immunoglobulin poliklonal.
Kelainan proliferatif sel plasma menyebabkan terbentuknya satu klon sel plasma
yang memproduksi satu jenis immunoglobulin yang dideteksi sebagai protein
monoklonal (protein M).2,9,10
IV. ETIOPATOGENESIS
Penyebab MM hingga saat ini belum diketahui pasti. Beberapa perubahan
kromosomal dihubungkan dengan penyakit ini yaitu hiperdiploidy, delesi 13q14,
delesi 17p13, abnormalitas pada kromosom 11q, translokasi (11;14), translokasi
(4;14), translokasi (14;16) dan translokasi (6;14).7,8
Multipel mieloma diawali oleh Monoclonal Gammopathy of Undetermined
Significance (MGUS) yang kemudian berkembang menjadi Smoldering Multipel
Myeloma dan berakhir dengan Symptomatic Multiple Myeloma. Risiko
perkembangan MGUS menjadi MM adalah sebesar 1% per tahun. 3,11,12
Smoldering Multiple Myeloma mempunyai risiko transformasi sebesar 10% setiap
tahunnya dalam lima tahun pertama, 3% per tahun selama lima tahun berikut dan
1% per tahun sepuluh tahun berikutnya. International Myeloma Working Group
Diagnostic membuat kriteria diagnostik untuk simptomatik MM, asimptomatik
MM dan MGUS (Gambar 2).11,13,14
V. DIAGNOSIS
Evaluasi penderita yang dicurigai menderita MM meliputi anamnesa,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi.
Evaluasi diagnostik awal meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk
digunakan mengkonfirmasi diagnosa, menentukan subtipe dan staging serta
mengindetifikasi pasien-pasien yang membutuhkan intervensi dini.6,14
B. Tes Laboratorium
Tes laboratorium berperan untuk membantu menegakkan diagnosa MM dan
juga membantu follow up pasien selama terapi. Tes laboratorium pada pasien MM
meliputi:
1. Hematologi:
a. Darah rutin, pasien mengalami anemia normositik normokrom atau
dapat juga ditemukan anemia makrositik. Netropenia dan
trombositopenia dapat terjadi pada stadium lanjut.4,9
b. Laju endap darah (LED) tinggi, pada pasien-pasien MM umumnya
nilainya > 50 mm. 4,9
c. Analisa darah tepi: anemia normositik normokrom dengan
gambaran rouleaux formation dan juga dapat ditemukan adanya sel
plasma abnormal (Gambar 4). Gambaran leukoeritroblastik juga
dapat ditemukan pada apusan darah tepi.4,8,15
a. b.
.. .
2. Urin
a. Urinalisis. Hasil urinalisis rutin pada umumnya normal kecuali jika
pasien mengalami amiloidosis atau akumulasi light chain yang
dapat menyebabkan terjadinya albuminuria. Pemeriksaan urine
dipstick tidak sensitif untuk mendeteksi protein light chain.9,11,15
b. Protein Bence Jones
Protein Bence Jones merupakan imunoglobulin monoklonal yaitu
free monoclonal light chain yang disintesis oleh sel B monoklonal.
Protein ini secara normal tidak ditemukan di dalam urin karena
ukurannya sangat kecil sehingga mudah difiltrasi oleh ginjal.
Produksi protein ini pada pasien MM berlebihan akibatnya tidak
dapat diabsorbsi seluruhnya oleh ginjal sehingga protein ini dapat
keluar bersama urin. Pemeriksaan protein Bence Jones dapat
dilakukan dengan cara pemanasan atau dengan menggunakan
toluene sulfonic acid test. Pemeriksaan protein Bence Jones dengan
C. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan skeletal survey pasien MM menunjukkan adanya lesi litik,
osteopenia difus, osteoporosis atau fraktur. Gambaran hasil pemeriksaan foto
polos menunjukkan “punch out lesion” yang terjadi akibat lisisnya tulang
(Gambar 7). Lesi tulang paling sering mengenai daerah hematopoeisis seperti
tulang vertebra, tulang rusuk, pelvis, humerus, femur dan tengkorak. Pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi lesi fokal dan diffus di
sumsum tulang pada pasien dengan skeletal survey normal. Pemeriksaan MRI
juga digunakan pada pasien yang dicurigai mengalami kompresi medulla
spinalis.3,11,15
Kriteria klinik:
1. Sel plasma sumsum tulang > 10% dengan “malignant looking plasma
cell”.
2. Jika sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal, untuk
diagnosis diperlukan tambahan:
a. Hipergammaglobulinemia (>2g/dl) dengan spike pada daerah
gamma.
b. Protein Bence Jones urin positif.
c. Lesi osteolitik pada tulang.19
Kriteria minor:
1. Plasmasitosis sumsum tulang dengan sel plasma 10-30%.
2. Terdapat spike globulin monoklonal tetapi nilainya kurang dari kriteria
mayor.
3. Lesi osteolitik.
4. IgM normal < 0,5 g/l, IgA < 1 g/dl atau IgG < 6 g/l.
VII. TERAPI
Terapi bertujuan untuk memperpanjang survival pasien dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Penentuan pengobatan MM tergantung pada kriteria
diagnostik, stratifikasi dan gejala awal. Penderita asimptomatik tidak memerlukan
pengobatan. Pasien-pasien ini hanya perlu dilakukan monitoring progresifitas
VIII. PROGNOSIS
Durie and Salmon mengembangkan sistem staging untuk membantu
stratifikasi pasien dengan MM. Greipp et al kemudian mengembangkan
International Staging System, mereka membagi pasien berdasarkan kadar
mikroglobulin β-2 serum dan albumin (Tabel 3).2
Subklasifikasi:
A: jika kreatinin serum < 2
mg/dl
B: jika kreatinin serum > 2
mg/dl
(Sumber: Durie BG. Concise Review of the Disease and Treatment Options Multipel Myeloma
Cancer of the Bone Marrow)
IX. RINGKASAN
Multipel mieloma merupakan penyakit keganasan sel plasma yang
dikarakteristikkan dengan adanya proliferasi klonal dan akumulasi dari sel-sel
plasma ganas (sel mieloma) pada sumsum tulang dan dihubungkan dengan
disfungsi organ. Gambaran klinis MM akibat akumulasi abnormal dari sel-sel
mieloma menyebabkan terjadinya gangguan fungsi sumsum, kerusakan dan invasi
tulang, produksi dan sekresi protein monoklonal, penurunan fungsi sistem imun.
Multipel mieloma dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada berbagai organ
yang sering disebut CRAB yaitu hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia dan lesi
litik pada tulang.
Multipel mieloma diawali oleh Monoclonal Gammopathy of Undetermined
Significance (MGUS), yang kemudian berkembang menjadi Smoldering Multipel
Myeloma dan berakhir dengan Symptomatic Multiple Myeloma. Pendekatan
diagnosa pasien MM meliputi anamnesa, pemeriksaan fisis, tes laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. Tes laboratorium meliputi pemeriksaan darah rutin, LED,
apusan darah tepi, aspirasi sumsum tulang, urin rutin, protein Bence Jones,
pemeriksaan kimia (fungsi ginjal, asam urat, albumin, elektrolit, LDH), β-2
mikroglobulin, elektroforesis dan immunofixation electrophoresis, serum free
light chain, immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Pemeriksaan radiologi
dilakukan dengan modalitas X-ray konvensional dan pada beberapa kasus dengan
menggunakan MRI.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria yakni kriteria klinis,
menurut Wintrobe, Durie and Salmon atau menggunakan kriteria oleh
International Myeloma Working Group yang didasarkan pada adanya klon sel-sel
Darah rutin
Normal Sitopenia
Elektroforesis
BMP
Survey Skeletal
Multipel mieloma
Keterangan:
ADT : Apusan darah tepi
BMP : Bone marrow punction
MGUS : Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance