Anda di halaman 1dari 27

REFERAT HEMATOLOGI

Kepada Yth :
Rencana Baca : Selasa,23 Oktober 2018 jam 08.00
Tempat : Ruang Pertemuan Lt.4 RSP
Gedung A

ASPEK LABORATORIUM MULTIPEL MIELOMA


Febrina Rovani, Darwati Muhadi, Mansyur Arif
Program Studi Ilmu Patologi Klinik FKUH-RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

I. PENDAHULUAN
Multipel mieloma (MM) adalah keganasan sel plasma yang merupakan 1%
dari semua keganasan dan keganasan hematologik kedua terbanyak. Karakteristik
keganasan ini ditandai dengan adanya proliferasi klonal dan akumulasi sel-sel
plasma ganas pada sumsum tulang serta dihubungkan dengan disfungsi organ.
Gambaran klinis MM berupa gangguan fungsi sumsum tulang, kerusakan dan
invasi tulang, produksi dan sekresi protein monoklonal serta penurunan fungsi
sistem imun yang terjadi akibat akumulasi abnormal dari sel-sel mieloma 1,2
Dokter Samuel Solly pertama kali mendokumentasikan penyakit ini pada
tahun 1844, ia mendeskripsikan kasus yang menyerang seorang wanita dengan
gejala mudah lelah dan nyeri tulang akibat multipel fraktur. Dr. Henry Bence
Jones (1848) merupakan orang pertama yang meneliti protein abnormal pada
pasien dengan mieloma. Istilah multipel mieloma diperkenalkan oleh Rustizky
pada tahun 1873 dan kemudian pada tahun 1900 Wright menemukan bahwa sel
mieloma ini merupakan sel plasma yang bertransformasi.2,3
Keganasan ini sensitif terhadap berbagai obat sitotoksik, akan tetapi
responnya bersifat transien, sehingga multipel mieloma dianggap sebagai penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. Pengobatan MM membutuhkan biaya yang cukup
besar karena membutuhkan transplantasi sumsum tulang dan mempunyai stadium
relaps serta sering menyebabkan komplikasi.4-6

II. EPIDEMIOLOGI
Multipel mieloma merupakan 10-15% dari seluruh keganasan hematologik
dengan insidens kejadian 1-9 per 100.000 di seluruh dunia. Insidens penyakit
meningkat seiring umur dengan rata-rata pasien berusia 66 tahun, hanya 10%
yang didapatkan pada usia <50 tahun dan 2% pada usia 40 tahun serta sangat
jarang ditemukan pada anak-anak. Multipel mieloma dapat mengenai semua ras di
seluruh dunia, tetapi insidens lebih tinggi ditemukan pada kulit hitam daripada

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 1


kulit putih. Laki-laki lebih sering terserang dibanding wanita dengan
perbandingan 1,4 : 1. Risiko menderita MM lebih besar pada orang dengan
riwayat keluarga menderita penyakit yang sama (penyakit diskariasis sel plasma
yaitu Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance, Multipel Mieloma,
Solitary Plasmasitoma, Plasma Cell Leukemia). Multipel mieloma paling sering
ditemukan di Afrika dan Amerika tetapi jarang ditemukan di Asia.3,6,7
Faktor predisposisi MM yaitu ras Afrika Amerika, laki-laki, usia tua,
Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS), rangsangan
imun kronik, paparan radiasi, paparan terhadap pestisida, industri cat, metal, kayu,
kulit, tekstil, asbestos, bensin dan pelarut serta predisposisi genetik.4,8

III. FISIOLOGI
Sel plasma mensekresi immunoglobulin yang tersusun dari heavy chain dan
light chain (Gambar 1). Heavy chain terdiri dari lima tipe yaitu gamma (γ), alpha
(α), mu (µ), delta (Δ) dan epsilon (ε) sedangkan light chain terdiri dari kappa (κ)
dan lambda (λ). Heavy chain dan light chain diproduksi secara terpisah oleh sel
plasma dan kemudian disusun menjadi immunoglobulin yang terdiri dari lima
kelas yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Sel plasma normal memproduksi light
chain yang jumlahnya melebihi jumlah yang diperlukan untuk pembentukan
imunoglobulin sehingga light chain dapat ditemukan dalam bentuk bebas dan
bentuk terikat (bersama heavy chain & membentuk imunoglobulin). Normalnya
terdapat ratusan klon sel plasma yang menghasilkan immunoglobulin poliklonal.
Kelainan proliferatif sel plasma menyebabkan terbentuknya satu klon sel plasma
yang memproduksi satu jenis immunoglobulin yang dideteksi sebagai protein
monoklonal (protein M).2,9,10

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 2


Gambar 1. Struktur immunoglobulin
(Sumber: Durie BG. Concise Review of the Disease and Treatment Options
Multipel Myeloma Cancer of the Bone Marrow)
Keterangan: Fab: Fragment antigen binding; Fc: fragment crystalline

IV. ETIOPATOGENESIS
Penyebab MM hingga saat ini belum diketahui pasti. Beberapa perubahan
kromosomal dihubungkan dengan penyakit ini yaitu hiperdiploidy, delesi 13q14,
delesi 17p13, abnormalitas pada kromosom 11q, translokasi (11;14), translokasi
(4;14), translokasi (14;16) dan translokasi (6;14).7,8
Multipel mieloma diawali oleh Monoclonal Gammopathy of Undetermined
Significance (MGUS) yang kemudian berkembang menjadi Smoldering Multipel
Myeloma dan berakhir dengan Symptomatic Multiple Myeloma. Risiko
perkembangan MGUS menjadi MM adalah sebesar 1% per tahun. 3,11,12
Smoldering Multiple Myeloma mempunyai risiko transformasi sebesar 10% setiap
tahunnya dalam lima tahun pertama, 3% per tahun selama lima tahun berikut dan
1% per tahun sepuluh tahun berikutnya. International Myeloma Working Group
Diagnostic membuat kriteria diagnostik untuk simptomatik MM, asimptomatik
MM dan MGUS (Gambar 2).11,13,14

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 3


Gambar 2. Progesifitas Multipel mieloma dan karakteristiknya
(Sumber: Kurtin SE. Relapsed or Relapsed/Refractory Multiple Myeloma)
Keterangan: IL-6: Interleukin-6; MM: Multipel mieloma; MGUS: Monoclonal
Gammopathy of Undetermined Significance; M protein: myeloma
protein; BMPCs: bone marrow plasma cells; MM: multiple
myeloma; ULN: upper limit of normal; Hb: hemoglobin.

Multipel mieloma merupakan keganasan klonal sel plasma yang terjadi


akibat interaksi antara sel-sel progenitor maligna, sel stroma sumsum tulang dan
microenvironment sumsum tulang. Faktor yang diduga berperan pada proses
transformasi maligna sel plasma yaitu perubahan kromosom, karakteristik
molekuler dan elemen-elemen yang mempengaruhi microenvironment sumsum
tulang. 14
Penderita MM mengalami kerusakan genetik dari perkembangan sel limfosit
B pada saat perubahan isotipe sehingga terjadi perubahan bentuk sel plasma
normal menjadi sel MM ganas. Sel ini berasal dari klon tunggal, bermultiplikasi
dalam sumsum tulang dan mengerumuni sel-sel normal sumsum tulang serta
memproduksi immunoglobulin monoklonal (M) dalam jumlah besar.6
Perkembangan sel plasma maligna merupakan suatu proses bertahap yang
diawali oleh adanya perubahan serial gen sehingga mengakibatkan penumpukan
sel plasma maligna, perubahan pada microenvironment sumsum tulang dan
kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit. Proses ini melibatkan aktivasi
onkogen seluler, hilangnya atau inaktivasi gen supressor tumor dan gangguan

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 4


regulasi sitokin sehingga menyebabkan sel mengalami proliferasi yang tidak
terkontrol, kegagalan apoptosis dan kegagalan sistem imun mengontrol penyakit.
Multipel mieloma dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada berbagai organ
yang sering disebut CRAB yaitu hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia dan lesi
litik pada tulang (Gambar 3).4,11

Gambar 3. Patogenesis Multipel mieloma


(Sumber: Farsi KA. Multiple Myeloma: An Update)
Keterangan: PCs: plasma cells, RANKL: receptor activator of nuclear factor
Kappa B ligand; OPG: osteoprotegrin; MIP-1: macrophage
inflammatory protein-1 alpha; IL: inter-leukine; Igs:
immunoglogulins.

Klon sel abnormal ini menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang


sehingga menyebabkan pasien mengalami anemia dan kadang-kadang juga dapat
ditemukan leukopenia dan trombositopenia.11 Anemia juga dapat disebabkan
karena inhibisi langsung terhadap proses hematopoeisis oleh sel mieloma atau
akibat perubahan megaloblastik sehingga akan menurunkan produksi vitamin B12
dan asam folat. Pasien MM juga dapat mengalami gangguan berupa perdarahan
maupun trombosis. Perdarahan dipicu karena trombositopenia, abnormalitas
fungsi platelet atau abnormalitas retraksi bekuan. Abnormalitas pembekuan darah
juga dapat terjadi karena komponen M berinteraksi dengan faktor-faktor
pembekuan darah seperti faktor I, II, V, VII dan VIII. 4,7,15

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 5


Perlekatan sel mieloma pada sel-sel stromal dalam sumsum tulang akan
menginduksi produk sitokin dan protein inflamasi yang disebut osteoclast-
activating factors (OAFs) yaitu interleukin 6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF),
interleukin 11 (IL-11), macrophag inflamatory protein-1 (MIP-1), hepatocyte
growth factor (HGF) dan parathyroid hormone related peptide (PTHrP). Sitokin-
sitokin ini menyebabkan stimulasi osteoklas dan menghambat osteoblas yang
diperantarai oleh Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa β Ligand (RANKL)
dan penurunan osteoprotegrin sehingga terjadi destruksi pada tulang berupa lesi
litik. Lisis pada tulang menyebabkan keluarnya kalsium dari tulang masuk ke
peredaran darah sehingga terjadi hiperkalsemia pada pasien. Hiperkalsemia
menyebabkan pasien mengalami letargi, kelemahan, poliuria, polidipsi,
konstipasi, anoreksia, nausea, depresi dan confusion.7,11,15
Insufisiensi renal terjadi akibat amyloidosis, infiltrasi sel-sel mieloma, nefritis
intersisiel, deplesi volume cairan, hiperkalsemia, hiperviskositas, penggunaan
obat-obat nefrotoksik seperti NSAID (non steroid antiinflamatry drugs), infeksi
rekuren pada saluran kemih dan hiperurisemia. Kerusakan tubuler ginjal juga
disebabkan karena eksresi light chain. Eksresi light chain yang berlebihan
menyebabkan overload pada tubulus. Kerusakan pada ginjal terjadi secara
langsung akibat efek toksik light chain dan secara tidak langsung akibat
pengeluaran enzim lisosim intraseluler. Insufisiensi renal pada pasien MM paling
sering disebabkan karena cast nephropathy menyebabkan kerusakan tubulus ginjal
dan obstruksi.7,11
Infeksi merupakan salah satu masalah klinis yang sering dialami oleh pasien
dengan MM. Infeksi yang paling umum terjadi adalah pneumonia dan
pielonefritis. Suspeksibilitas pasien MM mengalami infeksi disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain berkurangnya produksi imunoglobulin normal serta
peningkatan destruksi imunoglobulin normal, produksi imunoglobulin
disfungsional serta leukopenia yang disebabkan gangguan pada sumsum tulang.
Fungsi sel T pada pasien MM normal tetapi jumlah sel CD4 + berkurang, enzim
lisosim pada leukosit sedikit, migrasi leukosit lebih lambat serta abnormalitas
fungsi komplemen. Gabungan faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 6


mengalami defisiensi imun serta infeksi rekuren. Penggunaan obat deksametason
sebagai terapi juga menyebabkan supresi sistem imun dan meningkatkan resiko
infeksi pada pasien. Peningkatan kadar imunoglobulin abnormal menyebabkan
terjadinya hiperviskositas yang menyebabkan pasien mengalami sakit kepala,
gangguan penglihatan dan koma. Gejala neurologik juga dapat dialami oleh pasien
MM yang disebabkan karena kompresi medulla spinalis atau saraf kepala akibat
kerusakan tulang dan infiltrasi amiloid di saraf perifer serta akibat osteosklerotik
mieloma.4,7,11

V. DIAGNOSIS
Evaluasi penderita yang dicurigai menderita MM meliputi anamnesa,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang laboratorium dan radiologi.
Evaluasi diagnostik awal meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk
digunakan mengkonfirmasi diagnosa, menentukan subtipe dan staging serta
mengindetifikasi pasien-pasien yang membutuhkan intervensi dini.6,14

A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisis


Manifestasi klinis MM heterogen oleh karena adanya massa tumor, produksi
imunoglobulin monoklonal, penurunan sekresi imunoglobulin oleh sel plasma
normal mengakibatkan terjadinya hipogammaglobulinemia, gangguan
hematopoesis dan penyakit osteolitik pada tulang, hiperkalsemia dan disfungsi
ginjal. Keluhan dan gejala yang dialami pasien berhubungan dengan ukuran
massa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisiokimia, imunologik dan
humoral produk yang dihasilkan oleh sel plasma.4
Pasien MM umumnya datang dengan keluhan nyeri tulang, cepat lelah,
penurunan berat badan, fraktur patologis, parastesia dan gejala neurologi lainnya,
demam dan infeksi rekuren (terutama infeksi saluran napas dan saluran kemih).
Anamnesa dan pemeriksaan fisis harus dilakukan secara menyeluruh. Anamnesa
juga harus difokuskan pada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama,
mengevaluasi riwayat medis sebelumnya untuk menilai riwayat komorbid yang
dapat mempengaruhi pilihan terapi seperti riwayat penyakit koroner, gagal
jantung, hipertensi, gangguan ginjal, gangguan hati dan paru. Pemeriksaan fisis

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 7


pada pasien dapat ditemukan pasien pucat, deformitas skeletal, fraktur patologis,
localized bone tenderness atau purpura.9,11,15

B. Tes Laboratorium
Tes laboratorium berperan untuk membantu menegakkan diagnosa MM dan
juga membantu follow up pasien selama terapi. Tes laboratorium pada pasien MM
meliputi:
1. Hematologi:
a. Darah rutin, pasien mengalami anemia normositik normokrom atau
dapat juga ditemukan anemia makrositik. Netropenia dan
trombositopenia dapat terjadi pada stadium lanjut.4,9
b. Laju endap darah (LED) tinggi, pada pasien-pasien MM umumnya
nilainya > 50 mm. 4,9
c. Analisa darah tepi: anemia normositik normokrom dengan
gambaran rouleaux formation dan juga dapat ditemukan adanya sel
plasma abnormal (Gambar 4). Gambaran leukoeritroblastik juga
dapat ditemukan pada apusan darah tepi.4,8,15

a. b.
.. .

Gambar 4. Apusan darah tepi pada pasien dengan Multipel mieloma


a. Rouleaux formation b. Sel plasma
(Sumber: Rodak BF and Carr JH. Mature Lymphoproliferative Disorders
in Clinical Hematology Atlas)

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 8


d. Aspirasi sumsum tulang: digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan sumsum tulang pasien MM ditemukan
peningkatan jumlah sel plasma >10% (Gambar 5).6,11,16

Gambar 5. Gambaran aspirasi susmsum tulang pasien Multipel mieloma


(Sumber: Rodak BF and Carr JH. Mature Lymphoproliferative
Disorders in Clinical Hematology Atlas)

2. Urin
a. Urinalisis. Hasil urinalisis rutin pada umumnya normal kecuali jika
pasien mengalami amiloidosis atau akumulasi light chain yang
dapat menyebabkan terjadinya albuminuria. Pemeriksaan urine
dipstick tidak sensitif untuk mendeteksi protein light chain.9,11,15
b. Protein Bence Jones
Protein Bence Jones merupakan imunoglobulin monoklonal yaitu
free monoclonal light chain yang disintesis oleh sel B monoklonal.
Protein ini secara normal tidak ditemukan di dalam urin karena
ukurannya sangat kecil sehingga mudah difiltrasi oleh ginjal.
Produksi protein ini pada pasien MM berlebihan akibatnya tidak
dapat diabsorbsi seluruhnya oleh ginjal sehingga protein ini dapat
keluar bersama urin. Pemeriksaan protein Bence Jones dapat
dilakukan dengan cara pemanasan atau dengan menggunakan
toluene sulfonic acid test. Pemeriksaan protein Bence Jones dengan

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 9


cara pemanasan didasarkan pada karakteristik protein Bence Jones
yang akan membentuk presipitasi pada suhu 40-60oC dan akan
kembali larut pada suhu 100oC. Penambahan toluene sulfonic acid
pada urin yang mengandung protein Bence Jones juga dapat
menyebabkan presipitasi protein ini. 17,18
3. Kimia4,5,7
a. Fungsi ginjal: dapat terjadi peninggian kadar ureum dan kreatinin.
b. Kadar asam urat meninggi.
c. Albumin serum rendah pada penyakit lanjut.
d. Kadar kalsium meningkat.
e. Laktat Dehidrogenase (LDH), pemeriksaan ini dapat membantu
menilai tumor cell burden. Kadar LDH pasien MM umumnya
meninggi.
4. β2 mikroglobulin merefleksikan massa tumor dan merupakan kriteria
standar menilai tumor burden dan gangguan fungsi ginjal. β2
mikroglobulin merupakan komponen protein serum yang ditemukan
pada permukaan sel-sel berinti di seluruh tubuh dan terbanyak
ditemukan pada sel-sel limfosit. Produksi β2 mikroglobulin meningkat
bila sel bereproduksi atau bila sel tersbut mengalami kerusakan. Nilai
normal β2 mikroglobulin pada darah < 2 µg/ml dan pada urin < 120
µg/ml. Tes β2 mikroglobulin dapat digunakan untuk mengetahui
aktivitas penyakit, staging penyakit, penanda prognosis dan sebagai
tumor marker. Kadar mikroglobulin β-2 serum merupakan faktor
prediktor yang paling baik untuk menentukan masa ketahanan hidup
pasien.2,5,9
5. Elektroforesis dan Immunofixation electrophoresis
Elektroforesis dan immunofixation electrophoresis
direkomendasikan pada semua pasien dengan diskariasis sel plasma.
Elektroforesis protein digunakan untuk mengindentifikasi adanya spike
immunoglobulin abnormal (M-spike atau M-protein) dan mengukur
kuantitas peningkatan kadar protein tersebut. Immunofixation
electrophoresis dilakukan untuk mengetahui karakteristik tipe protein
monoklonal (gamma, alpha, mu, delta atau epsilon serta kappa dan
lambda). Immunofixation electrophoresis lebih sensitif daripada

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 10


elektroforesis protein untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak terlalu
berat. Protein M dan atau light chain dapat terdeteksi pada serum dan
atau urin pasien MM. Protein M ini ditemukan pada ± 97% pasien. Tes
elektroforesis pada penderita MM dapat digunakan untuk evaluasi awal
jumlah protein monoklonal, untuk monitoring serial terhadap respon
terapi serta untuk evaluasi kemungkinan progresifitas penyakit atau
relaps. 9-11
Serum protein elektroforesis merupakan tes untuk menghitung
jumlah total imunoglobulin dalam darah dan imunoglobulin
monoklonal. Serum protein elektroforesis tidak dapat mengidentifikasi
golongan immunoglobulin tetapi dapat menginsyaratkan presentasi
relatif protein yang terpisah-pisah. Nilai normalnya yaitu albumin 3,4-
4,7 g/dL, alpha-1-globulin 0,1-0,3 g/dL, alpha-2-globulin 0,6-1,0 g/dL,
beta globulin 0,7-1,2 g/dL, gamma globulin 0,6-1,6 g/dL (Gambar 6).
Alpha-1-globulin yang terdiri dari alpha-1-acid glycoprotein, alpha-2-
globulin yang terdiri dari alpha-2-macroglobulin dan haptoglobulin,
beta-globulin yang terdiri dari transferin dan C3. Protein M ini
terdeteksi sebagai daerah single narrow peak di daerah gamma pada
pemeriksaan elektroforesis. Mieloma diklasifikasikan menjadi beberapa
tipe berbeda berdasarkan jenis immunoglobulin yang dihasilkan yaitu
IgG (52%), IgA (21%), light chain (16%), Bi-clonal (2%) dan IgM
(0,5%).11,15

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 11


a. b.

Gambar 6. Elektroforesis dan immunofixation test


a.Normal b.Monoklonal gammopathy
(Sumber: Gertz MA and Rajkumar SV. Multiple Myeloma Diagnosis and
Treatment)
Keterangan: PEL: protein electrophoresis; IFE: immunofixation
electrophoresis

6. Serum free light chain (FLC).


Free light chain assay merupakan metode nephelometric assay yang
mengidentifikasi dan mengukur kadar light chain immunoglobulin lambda
dan kappa yang berada dalam sirkulasi tanpa terikat pada heavy chain
imunoglobulin. Sel plasma tipikal memproduksi light chain yang lebih
banyak daripada jumlah yang diperlukan untuk membentuk whole
immunoglobulin sehingga free light chain juga bisa dideteksi pada keadaan

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 12


normal. Kadar normal serum free light chain kappa adalah 3,3-19,4 mg/L dan
lambda 5,71-26,3 mg/L dengan rasio normal FLC kappa/lambda adalah 0,26-
1,65. Pada penyakit sel plasma terjadi kelebihan produksi salah satu free light
chain sehingga menyebabkan rasio FLC abnormal. Jumlah free light chain
berhubungan dengan aktivitas sel mieloma dan pertumbuhan sel plasma.
Abnormalitas rasio FLC ditemukan pada 90% pasien MM. Tes ini merupakan
tes diagnostik yang sangat sensitif untuk penyakit sel plasma. Mayo Clinic
merekomendasikan pemeriksaan ini sebagai skrining awal yang dilakukan
pada pasien dengan kecurigaan gammopathies. Tes FLC sangat berguna pada
pasien MM yang hasil pemeriksaan serum dan urin immunofixation negatif
(nonsekretori) atau pada pasien yang oligosekretori. Abnormalitas FLC pada
pasien dengan MGUS, SMM atau solitary plasmacytoma dihubungkan
dengan risiko tinggi progresifitas menjadi simptomatik MM. Tes free light
chain pada pasien MM dapat digunakan untuk evaluasi awal respon terhadap
pengobatan dan deteksi dini relaps (free light chain difiltrasi oleh ginjal lebih
cepat sehingga perubahan kadarnya dapat dideteksi dalam beberapa jam-
beberapa hari sedangkan bila menggunakan pemeriksaan elektroforesis
perubahan kadar baru dapat terdeteksi setelah 1-3 minggu), untuk monitoring
pasien dengan kadar protein M yang rendah, untuk kepentingan clinical trial
terapi, sebagai indikator aktivitas penyakit dan penilaian dan evaluasi apakah
pasien mengalami complete remission. 10,13,15
7. Immunophenotyping
Pemeriksaan immunophenotyping dengan menggunakan flow-cytometry
dan immunohistochemistry penting dilakukan untuk membuktikan clonality
dan juga berguna sebagai marker prognostik pasien. Sel mieloma tipikal
adalah CD791, VS38c, CD138 dan CD 38 positif.11,15
8. Sitogenetik.
Pemeriksaan sitogenetik berguna untuk melihat ada tidaknya kelainan
genetik yang dihubungkan dengan MM. Abnormalitas sitogenetik dapat
dideteksi melalui pemeriksaan Flourescence in situ hybridization (FISH).
Pasien dengan delesi 17p, t(14;16) atau t(14,20) dikelompokkan sebagai high
risk myeloma. Transversi (4,14) dianggap intermediet risk sedangkan pasien

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 13


dengan t(11,14), t(6,14) dan hyperdiploidy dikelompokkan sebagai standard
risk. Abnormalitas sitogenetik berupa delesi pada kromosom 13
dikelompokkan sebagai intermediet risk group.1,11,15

C. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan skeletal survey pasien MM menunjukkan adanya lesi litik,
osteopenia difus, osteoporosis atau fraktur. Gambaran hasil pemeriksaan foto
polos menunjukkan “punch out lesion” yang terjadi akibat lisisnya tulang
(Gambar 7). Lesi tulang paling sering mengenai daerah hematopoeisis seperti
tulang vertebra, tulang rusuk, pelvis, humerus, femur dan tengkorak. Pemeriksaan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi lesi fokal dan diffus di
sumsum tulang pada pasien dengan skeletal survey normal. Pemeriksaan MRI
juga digunakan pada pasien yang dicurigai mengalami kompresi medulla
spinalis.3,11,15

Gambar 7. Lateral X-ray tulang tengkorak dengan multipel lesi litik


(Sumber: Farsi KA. Multiple Myeloma: An Update)

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 14


Diagnosis MM dapat ditegakkan berdasarkan kriteria klinik, kriteria
Wintrobe, Durie and Salmon atau menurut kriteria International Myeloma
Working Group.15,19

Kriteria klinik:
1. Sel plasma sumsum tulang > 10% dengan “malignant looking plasma
cell”.
2. Jika sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal, untuk
diagnosis diperlukan tambahan:
a. Hipergammaglobulinemia (>2g/dl) dengan spike pada daerah
gamma.
b. Protein Bence Jones urin positif.
c. Lesi osteolitik pada tulang.19

Kriteria menurut Wintrobe:


1. Kriteria sitologik:
a. Sumsum tulang: sel plasma/sel mieloma >10%.
b. Biopsi sumsum tulang/jaringan lain menunjukkan plasmacytoma.
2. Kriteria klinik dan laboratorik:
a. Protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam
plasma.
b. Protein mieloma yang dibuktikan secara elektroforesis dalam urin.
c. Lesi osteolitik pada tulang.
d. Ditemukan sel plasma dari dua apusan darah tepi.

Diagnosis dibuat jika:


a. 1a dan 1b positif.
b. 1a atau 1b positif ditambah salah satu dari poin dua positif.
c. Sel plasma/mieloma tulang > 30% yang disertai lesi osteolitik.19

Kriteria menurut Durie and Salmon:


Kriteria mayor:
1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan.
2. Plamasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma > 30%.

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 15


3. Spike dari globulin monoklonal pada elektroforesis: IgG >35 g/l, IgA
>20 g/l, ekskresi light chain urine (elektroforesis ) > 1g/24 jam tanpa
adanya amiloidosis.

Kriteria minor:
1. Plasmasitosis sumsum tulang dengan sel plasma 10-30%.
2. Terdapat spike globulin monoklonal tetapi nilainya kurang dari kriteria
mayor.
3. Lesi osteolitik.
4. IgM normal < 0,5 g/l, IgA < 1 g/dl atau IgG < 6 g/l.

Diagnosis ditegakkan jika ditemukan 1 mayor dan 1 minor (diagnosis


tidak boleh ditegakkan dengan menggunakan kriteria mayor [2] dan
minor [1]) atau 3 minor positif termasuk 1+2.19
International Myeloma Working Group membuat kriteria diagnosis dengan
menitikberatkan kerusakan end organ yaitu harus memenuhi semua kriteria:
1. Klon sel plasma di sumsum tulang ≥10% atau hasil biopsi menunjukkan
plasmasitoma.
2. Bukti adanya kerusakan end organ:
a. Hiperkalsemia dengan kalsium serum ≥ 11,5 mg/dl.
b. Insufisiensi renal dengan kreatinin ≥ 2 g/dL atau kreatinin klirens kurang
dari 40 mL/menit.
c. Anemia normositik normokrom dengan kadar hemoglobin < 10g/dL.
d. Lesi tulang: lesi litik, osteopenia berat atau fraktur patologis.
3. Jika tidak ada kerusakan end organ maka klon sel plasma di sumsum tulang
≥60%.15

VI. DIAGNOSIS BANDING


Multipel mieloma harus dibedakan dengan MGUS, Makroglobulinemia
Wandenstrom, Plasma Cell Leukemia dan Solitary Plasmacytoma (Tabel 1).
Tabel 1. Diagnosis banding MM
Penyakit Hasil Hasil pemeriksaan Tanda klinis

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 16


Pemeriksaan sumsum tulang
Serum
MGUS Protein M < Sel plasma < 10% Tidak ada
3 g/dL gambaran klinis
CRAB
Smoldering Protein M > Sel plasma > 10% Tidak ada
Myeloma 3 g/dL pada gambaran klinis
serum atau CRAB
> 1 g/24 jam
pada urin
Symptomatic Kadar Sel plasma > 10% Ada disfungsi
Myeloma protein Matau organ (CRAB)
bervariasi
< 10% jika
memenuhi kriteria
lain
Makroglobulinemia Protein M ≥ Hiperseluler Epistaksis,
Waldenstrom 3 g/dL dengan limfosit, gangguan
sel plasma dan sel neurologik dan
limfoplasmasitoid. penglihatan
Plasma Cell Kadar > 10% sel Limfadenopati,
Leukemia protein M plasma hepatosplenomegali
rendah,
tetapi
ditemukan >
20% sel
plasma pada
apusan
darah tepi
Solitary Memenuhi semua kriteria:
Plasmacytoma Biopsi menunjukkan lesi soliter
Tidak ada ekspansi sel plasma pada sumsum tulang
Tidak ada kerusakan end organ
Skeletal survey normal
(Sumber: Rajakumar SV et al. International Myeloma Working Group Updated Criteria for the
Diagnosis of Multiple Myeloma; Nau KC and Lewis WD. Multiple Myeloma:
Diagnosis and Treatment)
Keterangan: MGUS: Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance, CRAB: Hyper-
Calcemia, Renal insufficiency, Anemia, dan Lytic Bone lesion.

VII. TERAPI
Terapi bertujuan untuk memperpanjang survival pasien dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Penentuan pengobatan MM tergantung pada kriteria
diagnostik, stratifikasi dan gejala awal. Penderita asimptomatik tidak memerlukan
pengobatan. Pasien-pasien ini hanya perlu dilakukan monitoring progresifitas

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 17


penyakit dengan melakukan evaluasi setiap 3-6 bulan. Intervensi terapi secara dini
pada pasien asimptomatik tidak berefek terhadap tingkat mortalitas dan dapat
meningkatkan resiko mengalami leukemia akut.7,9
Penderita MM simptomatik membutuhkan intervensi terapi. Pengobatan
pada pasien MM simptomatik meliputi pengobatan spesifik sistemik untuk
mengontrol progresifitas mieloma dan pengobatan suportif simptomatik untuk
mencegah morbiditas akibat komplikasi penyakit serta memperbaki kualitas hidup
pasien.6,7 Penentuan jenis terapi yang diberikan kepada pasien MM simptomatik
harus dimulai dengan menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk
menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi stem sel autologus atau
tidak (Gambar 8). Pasien dianggap sebagai kandidat untuk menerima transplantasi
jika usia < 65 tahun dengan status klinis baik. Pasien > 65 tahun, status klinis
buruk dan disfungsi organ yang signifikan (penyakit hati, penyakit ginjal dengan
kreatinin > 220umol/L, pasien yang menjalani dialisis dan pasien CHF NYHA III-
IV) dianggap tidak memenuhi kriteria untuk menjalani transplantasi sumsum
tulang.3,7,11

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 18


Gambar 8. Terapi penderita MM
(Sumber: Gupta M, Pal RA, Tikoo D. Multiple Myeloma: The Disease and Its
Treatment)

Terapi spesifik untuk membunuh sel mieloma merupakan kombinasi dari


beberapa obat. Regimen terapi yang umum dipakai, mekanisme kerja serta jadwal
dan dosis terapi pada pasien MM tercantum Tabel 2.

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 19


Tabel 2. Regimen terapi yang umum dipakai pada MM
Regimen Mekanisme kerja
Melphalan Melphalan merupakan alkylating agent yang bekerja
melalui cross linking DNA strands pada fase pembelahan
sel.
Thalidomide Thalidomide bekerja sebagai immunomodulator, anti
inflamasi dan anti angiogenik sehingga mencegah adhesi
dan proliferasi sel-sel mieloma.
Bortezomib Bortezomib bekerja sebagai antiproliferatif, proapoptotik,
anti angiogenik dan antitumor.
Prednisone Prednison meningkatkan apoptosis sel mieloma.
Dexamethasone Dexamethasone meningkatkan apoptosis sel mieloma.
Cyclophosphamide Cyclophosphamide merupakan alkylating agent yang
bekerja melalui cross linking DNA strands pada fase
pembelahan sel.
Lenalidomide Lenalidomide mempunyai efek antiangiogenik,
menghambat sekresi sitokin anti inflamasi dari sel-sel
mononuklear darah tepi, menghambat proliferasi sel,
menghamabt ekspresi cyclooxigenase-2 (COX-2) sehingga
menyebabkan apoptosis dan menurunkan ikatan sel-sel
mieloma dengan stroma sumsum tulang, meningkatkan
efek sitotoksik melalui sel-sel Natural Killer.
(Sumber: Rajakumar SV. Multiple Myeloma: 2013 Update on Diagnosis, Risk Stratification and
Management; Davies FE and Anderson KC. Abnormalities in Immunoglobulin
Synthesizing Cells in Blood and Bone Marrow Patology; Suega K, Sjah YS.Terapi
Terkini Multiple Myeloma)

Pasien MM hampir semuanya akan mengalami relaps setelah pengobatan


dan ini merupakan salah satu permasalahan dalam terapi MM. Terapi pada kasus
relaps tergantung pada terapi awal yang diberikan, durasi respon pasien dan
toksisitas yang dialami pasien, umur pasien pada saat terjadinya relaps, tipe
relaps, ada tidaknya penyakit komorbid dan ada tidaknya gambaran risiko
sitogenetik.3
Pengobatan suportif sama pentingnya dengan terapi keganasan primer.
Terapi ini bertujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit pada tulang dan
komplikasinya, mencegah dan mengobati kejadian tromboemboli, kerusakan
ginjal, hiperviskositas, infeksi dan anemia serta penatalaksanaan nyeri. Penyakit
tulang diterapi dengan pemberian bisphosphonate, kyphoplasty, vertebroplasty
dan radiasi. Penatalaksanaan untuk anemia meliputi pemberian eritropoietin dan
transfusi bila perlu. Kejadian hiperkalsemia diatasi dengan hidrasi, biphosphonate,

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 20


prednison serta kalsitonin. Pasien dengan infeksi serius dapat diberikan
pengobatan dengan pemberian immunoglobulin. Pencegahan kejadian
tromboemboli dengan pemberian antikoagulan dan untuk mengurangi risiko gagal
ginjal pada pasien ini penggunaan obat-obatan nefrotoksik dan NSAID harus
dihindari. Penatalaksanaan pada sindrom hiperviskositas yaitu dengan
plasmaferesis. Penatalaksaan nyeri dapat meliputi pemberian analgetik, tindakan
ortopedik dan radioterapi lokal.3,4

VIII. PROGNOSIS
Durie and Salmon mengembangkan sistem staging untuk membantu
stratifikasi pasien dengan MM. Greipp et al kemudian mengembangkan
International Staging System, mereka membagi pasien berdasarkan kadar
mikroglobulin β-2 serum dan albumin (Tabel 3).2

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 21


Tabel 3. Prognostic staging
Stadium Kriteria Durie-Salmon Kriteria Median
International overall
Staging System survival
(month)
I Memenuhi semua kriteria Mikroglobulin β-2 62
dibawah ini: serum <3,5 mg/dl,
a. Foto Rontgen normal atau albumin serum ≥3,5
dijumpai lesi osteolitik soliter g/dl
b.Laboratorium:
i. Kadar Hb > 10 g/dl
ii. Kalsium serum ≤ 12 mg/ dl
iii. IgG < 5 g/dl atau IgA < 3
g/dl dalam serum atau light
chain dalam urin < 4
g/24jam
II Tidak termasuk stadium I atau Tidak termasuk 44
III stadium I atau III:
a. Mikroglobulin β-
2 serum <3,5
mg/dl, tapi
albumin serum
<3,5 g/dl.
b. Mikroglobulin β-
2 serum 3,5 -
<5,5 mg/dl.
III Memenuhi satu atau lebih Mikroglobulin β-2 29
kriteria dibawah ini: serum ≥5,5 mg/dl,
a. Pada foto Rontgen tulang berapapun kadar
dijumpai lesi osteolitik luas albumin serumnya.
b. Laboratorium:
i. Kadar Hb < 8,5 g/dl
ii. Kalsium serum > 12 mg/dl
iv. IgG > 7 g/dl atau IgA > 5
g/dl atau light chain
dalam urin > 12 g/24 jam

Subklasifikasi:
A: jika kreatinin serum < 2
mg/dl
B: jika kreatinin serum > 2
mg/dl
(Sumber: Durie BG. Concise Review of the Disease and Treatment Options Multipel Myeloma
Cancer of the Bone Marrow)

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 22


Analisis sitogenetik sel mieloma mempunyai nilai prognostik. Delesi
kromosom 13, translokasi t (14;16), t (14:20) dan t (4;14) mempunyai prognosis
buruk sedangkan pasien MM dengan translokasi (11:14), t (6:14) atau hiperploid
mempunyai prognosis yang lebih baik. Median overall survival rate pasien adalah
5-6 tahun. Penyebab utama kematian pasien adalah progresifitas mieloma, gagal
ginjal, sepsis.3,6,7

IX. RINGKASAN
Multipel mieloma merupakan penyakit keganasan sel plasma yang
dikarakteristikkan dengan adanya proliferasi klonal dan akumulasi dari sel-sel
plasma ganas (sel mieloma) pada sumsum tulang dan dihubungkan dengan
disfungsi organ. Gambaran klinis MM akibat akumulasi abnormal dari sel-sel
mieloma menyebabkan terjadinya gangguan fungsi sumsum, kerusakan dan invasi
tulang, produksi dan sekresi protein monoklonal, penurunan fungsi sistem imun.
Multipel mieloma dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada berbagai organ
yang sering disebut CRAB yaitu hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia dan lesi
litik pada tulang.
Multipel mieloma diawali oleh Monoclonal Gammopathy of Undetermined
Significance (MGUS), yang kemudian berkembang menjadi Smoldering Multipel
Myeloma dan berakhir dengan Symptomatic Multiple Myeloma. Pendekatan
diagnosa pasien MM meliputi anamnesa, pemeriksaan fisis, tes laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. Tes laboratorium meliputi pemeriksaan darah rutin, LED,
apusan darah tepi, aspirasi sumsum tulang, urin rutin, protein Bence Jones,
pemeriksaan kimia (fungsi ginjal, asam urat, albumin, elektrolit, LDH), β-2
mikroglobulin, elektroforesis dan immunofixation electrophoresis, serum free
light chain, immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Pemeriksaan radiologi
dilakukan dengan modalitas X-ray konvensional dan pada beberapa kasus dengan
menggunakan MRI.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria yakni kriteria klinis,
menurut Wintrobe, Durie and Salmon atau menggunakan kriteria oleh
International Myeloma Working Group yang didasarkan pada adanya klon sel-sel

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 23


plasma disertai bukti adanya kerusakan end organ. Diagnosis banding MM yaitu
MGUS, Makroglobulinemia Wandenstrom, Plasma Cell Leukemia dan Solitary
Plasmacytoma.
Terapi bertujuan untuk memperpanjang survival pasien dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Penentuan pengobatan MM tergantung pada kriteria
diagnostik, stratifikasi dan gejala awal. Pengobatan pada pasien MM simptomatik
meliputi pengobatan spesifik sistemik untuk mengontrol progresifitas mieloma
dan pengobatan suportif simptomatik untuk mencegah morbiditas akibat
komplikasi penyakit serta memperbaki kualitas hidup pasien. Prognosis penderita
MM dapat diperkirakan dengan pengelompokkan pasien baik menggunakan
kriteria Durie and Salmon maupun dengan International Staging System serta
dengan melihat hasil analisis sitogenetik.

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 24


ALGORTIMA

Suspek Multipel mieloma

Darah rutin

Normal Sitopenia

Bukan MM Apusan darah tepi:


Rouleaux formation dan
ditemukan sel plasma

Elektroforesis

Protein M < 3 gr/dL Protein M > 3 gr/dL

BMP

Sel plasma >10% Sel plasma > 60%


Plasma Cell Leukemia

Survey Skeletal

Normal Lesi litik

Makroglobulinemia Insufisiensi Renalis


Waldenstrom Hiperkalsemia

Multipel mieloma
Keterangan:
ADT : Apusan darah tepi
BMP : Bone marrow punction
MGUS : Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 25


DAFTAR PUSTAKA
1. Palumbo A and Anderson K. Multiple Myeloma. The New England Journal of
Medicine, 2011; 364: 1046-60.
2. Durie BG. Concise Review of the Disease and Treatment Options Multipel
Myeloma Cancer of the Bone Marrow. International Myeloma Foundation,
2011; 1-24.
3. Gupta M, Pal RA, Tikoo D. Multiple Myeloma: The Disease and Its
Treatment. International Journal of Basic & Clinical Pharmacology, 2013; 2
(2): 103-14.
4. Syahrir M. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati lain. Dalam Buku Ajar
Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta, Interna Publishing, 2009:
1283-9.
5. Shead DA, Hanisch LJ, Marlow L. Multiple Myeloma. National
Comprehensive Cancer Network. 2014. http://www.nccn.org/clinical.asp.
(accessed May, 2015).
6. Suega K, Sjah YS.Terapi Terkini Multiple Myeloma. J Penya Dalam, 2009;
10 (3): 226-39.
7. Munshi NC, Longo DL and Anderson KC. Plasma Cell Disorder in Harrison’s
Hematology and Oncology. 17th edition. United States, Mc Graw Hill, 2010:
205-14.
8. Davies FE and Anderson KC. Abnormalities in Immunoglobulin Synthesizing
Cells in Blood and Bone Marrow Patology. 2nd edition. United States,
Churcill Livingstone Elsevier, 2011: 443-52.
9. Nau KC and Lewis WD. Multiple Myeloma: Diagnosis and Treatment.
American Family Physician, 2008; 78 (7): 853-9.
10. Katzmann JA, Lockington KS, Otterbein S, Patel R. Laboratory Analysis for
Monoclonal Gammopathies. Mayo Medical Laboratories, 2007; 32(8): 1-8.
11. Farsi KA. Multiple Myeloma: An Update. Oman Medical Journal, 2013; 28
(1): 3-11.

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 26


12. Ghobrial IM and Landgren O. How I Treat Smoldering Multiple Myeloma.
Blood Journal, 2014; 124 (23): 3380-6.
13. Rajakumar SV et al. International Myeloma Working Group Updated Criteria
for the Diagnosis of Multiple Myeloma. Lancet Oncology Journal, 2014; 15:
538-546.
14. Kurtin SE. Relapsed or Relapsed/Refractory Multiple Myeloma. J Advanced
Practitioner Oncology, 2013; 4 (6): 5-13.
15. Gertz MA and Rajkumar SV. Multiple Myeloma Diagnosis and Treatment.
London, Spinger, 2014: 1-25.
16. Rodak BF and Carr JH. Mature Lymphoproliferative Disorders in Clinical
Hematology Atlas. 4th edition. Canada, Elsevier Saunders, 2013: 192-193.
17. McPherson RA, Ben J. Basix Examination of Urine in Henry’s Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22nd editions. Unites
States, Elsevier Saunders, 2011: 1659-63.
18. Mundt LA and Shanahan K. Bence Jones Protein in Graff’s Textbook of
Urinalysis and Body Fluids. 2nd editions. United States, Lippincott Williams
& Wilkins, 2011: 310-11.
19. Bakta IM. Gamopati Monoklonal dalam Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta,
ECG, 2013: 220-9.
20. Rajakumar SV. Multiple Myeloma: 2013 Update on Diagnosis, Risk
Stratification and Management. American Journal of Hematology, 2012; 87:
79-88.

Refarat Hematologi-Multipel Mieloma-2018 27

Anda mungkin juga menyukai