Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

Chronic Myeloid Leukemia merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. CML
adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak
terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di
sirkulasi darah. CML merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal, dimana
ditemukan proliferasi dari sel-sel granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan
prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan kelainan
sitogenetik khas berupa translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom
Philadelphia.1
Kejadian CML mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua
terbanyak setelah leukemia limfositik kronik. Pada umumnya menyerang usia 40-50
tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di
Jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima,
demikian juga di Rusia setelah reaktor Chernobyl meledak.2
Dalam perjalanan penyakitnya,CML dibagi menjadi 3 fase, yaitu: fase kronik,
fase akselerasi, dan fase krisis blast. Pada umumnya, saat pertama kali diagnosis
ditegakkan, pasien masih dalam fase kronik, bahkan seringkali diagnosis leukemia
mielositik kronik ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan pra-operasi,
dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi.3 Selanjutnya untuk
penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan sumsum tulang serta sitogenetik.1,3
Pada tahun 1845, Bennett in Scotland dan Virchow di Jerman mendeskripsikan
pasien dengan pembesaran limpa, anemia berat, dan konsentrasi yang sangat besar
dari leukosit dalam darah mereka yang di otopsi. Nowell dan Hungerford pada tahun
1960 telah menggambarkan adanya kelainan molekular di sel-sel hematopoetik yang
secara konstan muncul pada penderita CML. Mereka mengetahui terjadinya kelainan
pada kromosom penderita, namun belum mengetahui apakah kelainan itu terjadi karena
proses delesi ataupun translokasi. Kromosom tersebut kemudian diberi nama
Philadelphia Chromosome.
Pada tahun 1973, Janet Rowley merupakan ilmuwan pertama yang berhasil
membuktikan kromosom Ph terbentuk oleh fenomena translokasi, dan bukan delesi,
antara kromosom 9q34 dan 22q11 dengan menggunakan metode pewarnaan Giemsa
dan Quinacrine. Pada tahun 1984 barulah diidentifikasi lokasi breakpoint cluster region
(BCR) dan fusi BCR-Abl1 terjadi.

1
BAB 2
CHRONIC MYELOID LEUKEMIA

2.1 Definisi

Chronic Myeloid Leukemia (CML) merupakan kelainan myeloproliferative yang


ditandai dengan peningkatan proliferasi dari seri sel granulosit tanpa disertai gangguan
diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat ditemukan berbagai tingkatan
diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit,
mielosit, sampai granulosit.2

2.2 Epidemiologi
CML adalah salah satu dari beberapa kanker yang diketahui disebabkan oleh
mutasi tunggal genetik tertentu. Lebih dari 90% kasus dihasilkan dari kelainan
sitogenetika dikenal sebagai kromosom Philadelphia.4
CML menyumbang 20% dari semua leukemia yang terjadi pada orang dewasa.
Leukemia jenis ini sering menyerang individu pada usia setengah baya. Penyakit ini
jarang terjadi pada individu yang lebih muda. Pasien yang lebih muda mungkin
mengalami bentuk yang lebih agresif dari CML, seperti pada fase akselerasi atau krisis
blast. Leukemia jenis ini dapat muncul sebagai penyakit onset baru pada orang usia
tua.

2.3. Etiologi dan Patogenesis


2.3.1. Philadelphia Chromosome
Philadelphia Chromosome adalah kelainan pembentukan kromosom yang terjadi
pada kromosom 9q34 dan 22q11, melalui proses translokasi resiprokal dimana ujung 3’
gen Abl terlepas dari kromosom 9, dan menempel pada ujung 5’ BCR dari kromosom
22 (head to tail). Pertukaran terjadi secara resiprokal sehingga terbentuklah Altered
Chromosome 22 (Philadelphia Cr) yang merupakan fusi gen BCR-Abl, dan Abl-BCR
pada 9q+. Sesuai dengan penamaannya, proses t(9;22)(q34;q11) memiliki arti, bahwa
proses translokasi terjadi antara lengan panjang (q) lokus 34 dari kromosom 9, dan
lengan panjang (q) lokus 11 dari kromosom 22. Adapun morfologi dari kromosom-
kromosom bersangkutan adalah:

2
• Kromosom 9:
Panjang : +/- 138 Mbp
Posisi sentromer: submetasentrik
Gen Abl terdapat pada subtelomer lengan panjang

• Kromosom 22:
Panjang: +/- 50 Mbp (salah satu Cr terpendek)
Posisi sentromer: akrosentrik
Gen BCR terletak tidak jauh dari sentromer lengan panjang.

Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan


gen hybrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom
9. Gabungan kedua gen sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai
penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada CML. Akibatnya terjadi gabungan
onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bcr-abl oncogen. Lokasi patahan pada
kromosom 22 memiliki beberapa variasi seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1
sehingga membentuk berbagai region yang dikenal sebagai Major (M) region, minor (m)
region, dan mu (µ) region. Variasi potongan BCR pada kromosom 22 tersebutlah yang
menyebabkan variasi gen BCR-Abl. Fusi antara M-BCR dengan Abl (b2-a2 atau b3-a2)
akan membentuk protein seberat 210 kDa yang disebut p210BCR-ABL yang paling sering
menyebabkan CML. Fusi antara µ-BCR dengan Abl (e19-a2) akan membentuk protein
seberat 230 kDa yang disebut p230BCR-ABL yang sering menyebabkan CML neutrofilia.
Fusi antara m-BCR dengan Abl (e1-a2) akan membentuk protein seberat 190 kDa yang
disebut p190BCR-ABL yang sering menyebabkan ALL. 6
• Abl protein:
Abl adalah nonreceptor tyrosine kinase enzyme yang terdapat baik di sitoplasma
dimana Abl dapat berikatan dengan sitoskeleton actin, maupun di dalam nukleus
dimana Abl dapat secara langsung mengikat DNA.
Abl berfungsi untuk signaling, pencetakan sitoskeleton, pengaturan siklus sel dan kerja
DNA, serta genotoxicity.
• BCR:
Sama seperti Abl, BCR juga terdapat di sitoplasma dan nukleus.

3
BCR memiliki kedua enzim GTPase dan Guanine nucleotide exchange factor yang
menjadi regulator protein G, yang menunjukkan BCR berfungsi dalam proses signaling
seluler yang diperantarai G-protein. BCR juga berfungsi dalam proses DNA repair,
pengaturan sitoskeleton, pertumbuhan dan perkembangan sel.

Gambar 2.1 Kromosom Philadelphia

2.3.2. Etiologi
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki
serta kebocoran Chernobil di Rusia, diduga ionized radiation adalah factor resiko
terjadinya mutasi spontan tersebut. Salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan
mengapa terjadi translokasi antara kedua kromosom tersebut adalah “closer proximity
of the affected alleles during mitosis that able to cause a phenotype”

4
Gambar. 2.2 Teori Tubrukan

Distribusi jarak kromosom di dalam sel yang ≤2 μm selama masa siklus sel.
Dapat dilihat pada gambar diatas. Dalam dilihat pada metaphase dimana seluruh
sentromer kromosom membentuk jajaran bidang datar sehingga kromosom 15 dan 17,
serta kromosom 9 dan 22, lengan-lengannya mendekat dan dapat saling bertubrukan.
Gambaran metaphase pada sel dapat dilihat dibawah ini. Bisa ditunjukkan bahwa pada
metaphase, titik hijau (kromosom 22) dan titik merah (kromosom 9) menjadi saling
berdekatan, dan begitu pula dengan jarak lengan-lengan nya.sehingga pada fase-fase
tersebut, tubrukan dianggap paling dapat terjadi.

5
2.3.2. Patofisiologi

CML adalah kelainan yang terjadi pada tingkat sel punca hematopoietik. Hal ini
ditandai oleh kelainan sitogenetika terdiri dari translokasi resiprokal antara lengan
panjang kromosom 22 dan 9 [t (9; 22)]. Hasil translokasi dalam kromosom 22 ini
pertama kali dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford di Philladelphia dan kemudian
disebut kromosom Philadelphia (Ph1).5
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph
menyebabkan proliferasi yang berlebihan dari sel induk pluripoten pada system
hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan, juga dapat bertahan hidup
lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis.
Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang
akhirnya mendesak system hematopoiesis lainnya.6

Protein 210 kD yang merupakan chimeric protein berperan dalam lekemogenesis,


Potensi leukomogenic dari p210BCR-ABL didasarkan dengan kenyataan bahwa aktifitas
tyrosin kinase yang diaktifkan oleh adanya BCR sebagai benda asing pada ABL
protein. BCR bertindak dengan melakukan dimerisasi onkoprotein, seperti gen BCR-
ABL yang mengaktifkan tirosin kinase. Aktivitas kinase yang tidak terkendali BCR-ABL,
menggantikan fungsi fisiologis enzym ABL normal dengan berinteraksi dengan second
messenger JAK-STAT yang berpindah ke dalam ke inti sel sehingga terjadi kelebihan
dorongan proliferasi yang menyebabkan proliferasi terus menerus yang bersifat ligand-
independen pada seri mieloid (sel induk pluripoten) pada sistem hematopoiesis,
gangguan perlekatan sel leukemia pada stroma sumsum tulang dan terjadinya
penurunan respon apoptosis yang menyebabkan rangsangan mutagenic. Sedangkan
peran gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui. Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada
kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien CML, tetapi gen BCR-ABL
pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. 6

Gambar 2.4. Genomic Instability

6
BCR-Abl secara langsung mengaktivasi jalur JAK-STAT yang berfungsi
intranuklear untuk mengatur transkripsi gen- gen yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan. Abl mengikat beberapa protein adaptor, yang berakibat rekrutmen
terhadap RAS dan mengaktifkannya. Setelah melalui beberapa proses, maka akan
teraktifkan enzim PI3K/AKT yang memfosforilasi BAD (regulator apoptosis) sehingga
jumlah free BAD sedikit. Selain itu, G-CSF dan GM-CSF, yang dihasilkan oleh BCR-Abl
adalah pengaktif STAT 5 yang mengakibatkan peningkatan transkripsi BCL-XL (anti
apoptosis)
Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya
kelainan kromosom tambahan, Semakin banyaknya chimeric protein yang menumpuk
diantara sel-sel, makan akan menimbulkan radikal bebas yang medorong terjadinya
mutasi-mutasi lain, kondisi ini disebut sebagai genomic instability. Pada awalnya,
mutasi pro-proliferasi pada CML terjadi di tingkat sel punca hematopoetik. Namun bila
mutasi-mutasi tambahan terjadi pada level sel dengan maturasi lebih dewasa,
sehinggal sel-sel tersebut memiliki kemampuan self-renewal dan membelah lebih cepat,
maka jumlah sel yang terbentuk akan jauh lebih banyak. Hal ini terbukti pada 60-80%
pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19,
dan isokromosom lengan panjang kromosom 17i (17)q. dengan kata lain selain gen
BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau
terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan genRb. 6

Gambar 2.5. Mutasi yang dapat ditemukan pada pasien CML

7
2.4 Diagnosis
2.4.1 Anamnesis dan Gejala Klinis
Penyakit ini sering ditemukan secara kebetulan dalam fase kronis, ketika
didapatkan hitung leukosit meningkat pada pemeriksaan darah rutin atau adanya
splenomegali pada pemeriksaan fisik umum. Gejala nonspesifik meliputi kelelahan dan
penurunan berat badan dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan
energi dan penurunan toleransi latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah
beberapa bulan.7

CML merupakan penyakit biphasic atau triphasic yang selalu terdiagnosis menjadi
‘chronic’ atau ‘indolent’ atau ‘stable’ phase dan kemudian berkembang setelah
beberapa tahun menjadi advanced phase. Advanced phase ini dibagi menjadi dua,
yaitu accelerated phase (awal) and blast phase atau blast transformation (terakhir) 7
1. Fase kronik.
Fase yang berjalan selama 3-4 tahun dan responsif terhadap kemoterapi. Karakteristik
pada fase ini, ialah massive expansion dari seri granulosit. Pada fase ini, terdapat
beberapa blast (kurang dari 5%) di darah dan sumsum tulang 9.
Kemungkinan gejala yang timbul, antara lain 1:
a. Gejala hiperkatabolik : Berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat
malam
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan
d. Gejala gout, gangguan penglihatan dan priapismus
e. Anemia pada fase awal sering hanya ringan
f. Kadang-kadang asimptomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check
up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.

2. Fase akselerasi atau transformasi akut.


Pada fase ini, sel blast meningkat sebanyak 15%. Fase ini dapat berjalan beberapa
minggu sampai bulan. Pada fase ini juga, dapat terjadi anemia, jumlah sel darah putih
dapat meningkat atau menurun dan trombosit mengalami penurunan. Dalam fase ini,
jumlah sel blast mengalami peningkatan dan disertai dengan adanya pembesaran
spleen. Pasien CML yang berada pada fase ini, dapat mengeluhkan rasa sakit pada
tubuhnya., seperti : demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. 1

3. Fase blastik atau krisis blast.


Lebih dari 30% sel blast pada fase ini. Pasien CML pada fase ini, akan terjadi
peningkatan sel blast dalam sumsum tulang dan darah. Hal ini terjadi karena, sebagian
besar pasien mengalami akumulasi pada myeloid dan sisanya mengalami akumulasi
pada sel blast lympoid. Jumlah sel darah merah dan trombosit mengalami penurunan.

8
Kemungkinan, pasien akan mengalami infeksi dan perdarahan. Pasien juga dapat
merasa kelelahan dan sulit bernafas, nyeri abdomen atau nyeri tulang. Pada fase ini
juga biasanya, sel blast akan mendesak ke sumsum tulang atau limfonodi. Fase ini
dapat menjadi aggressive acute leukemia. 1,10

Tabel.2.1. Defenisi fase CML


Fase CML Definisi WHO
Fase Kronik Jumlah sel blast darah perifer kurang dari 10% pada darah dan
Stabil sumsum tulang
Fase Akselerasi Jumlah sel blasts 10-19% dari jumlah leukosit pada sel sumsum
tulang nucleated dan atau perifer; trombositopenia persisten (< 100
× 109/L) tidak terkait dengan terapi atau trombositosis persisten (>
1000 × 109/L) tidak responsive terhadap terapi; peningkatan jumlah
leukosit dan ukuran limpa tidak responsive terhadap terapi; bukti
sitogenetik adanya clonal evolution
Krisis Blast Jumlah sel blast perifer ≥ 20% dari leukosit darah tepi atau sel
sumsum tulang nucleated; proliferasi blast ekstrameduler; dan focus
atau kluster besar blast pada biopsy sumsum tulang

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien dengan
leukemia myelogenous kronis (CML). Dalam lebih dari 50% pasien dengan CML, limpa
berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas kosta kiri pada saat penemuan. Ukuran limpa
berkorelasi dengan hitungan granulocyte darah perifer, dengan limpa terbesar yang
diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Sebuah limpa sangat besar
biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari penyakit.5
Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada splenomegali.
Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedullary terjadi di limpa.
Temuan fisik leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi pada beberapa pasien,
dengan ketinggian luar biasa leukosit mereka penting, lebih dari 300,000-600,000
sel/uL. Setelah funduscopy, retina dapat menunjukkan papilledema, obstruksi vena, dan
perdarahan.8
Krisis blast ditandai oleh peningkatan dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah
darah perifer atau oleh perkembangan leukemia infiltrat jaringan lunak atau kulit. Gejala
khas adalah karena trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar,
dan kegagalan obat yang biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.9,10

9
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk leukemia myelogenous kronis (CML) terdiri dari jumlah darah
lengkap dengan hitung diferensial, apusan darah tepi, dan analisis sumsum tulang.
Meskipun khas hepatomegali dan splenomegali dapat dicitrakan dengan menggunakan
scan hati/limpa, kelainan ini sering begitu jelas secara klinis sehingga pencitraan
radiologis tidak diperlukan. Diagnosis CML didasarkan pada temuan histopatologi
dalam darah perifer dan Philadelphia (Ph) kromosom dalam sel sumsum tulang.11
Kelainan laboratorium lainnya termasuk hiperurisemia, yang merupakan refleksi
dari peningkatan selularitas sumsum tulang, dan peningkatan nyata serum vitamin B-
12-binding protein (TC-I). Yang terakhir ini disintesis oleh granulosit dan mencerminkan
tingkat leukositosis.13

 Hematologi Rutin
Pada fase kronis, Terdapat gambaran darah tepi dan sumsum tulang yang di
dominasi myelosit dan neutrophil. Kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun,
dengan morfologi normokrom normositer, leukosit antara 20.000-60.000/mm3..
Persentasi eosinofil dan basofil mengalami peningkatan. Trombosit biasanya meningkat
antara 500.000-600.000/mm3.. Walaupun sangat jarang, beberapa kasus dapat normal
atau trombositopenia 4 Saat Chronic Phase ini, jumlah myeloid progenitor sangat
meningkat di sumsum tulang dan darah. Fase CP ini, berlangsung lama sekitar 20
tahun dan akan sampai pada Blast Phase. Pada Blast Phase, terjadi peningkatan
proporsi sel blast di sumsum tulang dan drah tepi. Sebagian pasien pada fase kronik
dapat langsung menjadi fase blast dan sebagiannya lagi melewati fase akselerasi 7,8.
Jumlah trombosit dapat > 1.000.000 / μl dengan morfologi yang abnormal. Trombosit
dengan ukuran besar tanpa ada granula dan dapat dijumpai megakariosit pada ¼ kasus
CML.

 Hapusan Darah Tepi


Pada CML, peningkatan granulosit matang dan jumlah limfosit normal (persentase
rendah karena dilusi dalam hitungan diferensial) menghasilkan jumlah leukosit total
20,000-60,000 sel/uL. Kenaikan ringan pada basofil dan eosinofil terjadi dan menjadi
lebih menonjol selama masa transisi ke leukemia akut.11
Proses apoptosis neutrofil matang/granulosit mengalami penurunan (kematian sel
terprogram), mengakibatkan akumulasi sel berumur panjang dengan enzim yang
rendah atau tidak ada, seperti alkalin fosfatase (ALP). Akibatnya, pada pengecatan
alkali fosfatase leukosit sangat rendah bahkan tidak ada pada sebagian besar sel,
menghasilkan skor rendah.
Ditandai granulocytic Leukocytosis 20.000 – 500.000 / μL, didominasi oleh
seluruh spektrum granulocyte termasuk myeloblast jarang dan suatu invariable
basophilia. Leukositosis didominasi oleh neutrophil dari mieloblast sampai neutrophil
10
segmen, tetapi peningkatan persentase mieloblast biasanya tidak melebihi 3% dari
total jumlah leukosit. Banyak pasien juga menunjukkan eosinophilia. Tidak ada
dysgranulopoiesis signifikan yang diobservasi, meskipun hal ini dapat dilihat
belakangan dalam perjalanan penyakit. Mungkin ada peningkatan absolut dalam jumlah
monocyte, mereka umumnya terdiri dari <3% dari total nucleated cells. Trombosit
cenderung normal atau meningkat jumlahnya dan kadang-kadang dapat melebihi 1
juta/μl. Mungkin ada anemia ringan.2
Darah perifer pada pasien dengan CML menunjukkan gambaran darah khas
leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari sumsum tulang (Gambar 2.5).
Fase transisi atau akselerasi CML ditandai dengan penurunan respon terhadap
terapi obat myelosuppressive, munculnya sel-sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes
(≥ 30%), basofil (≥ 20%), dan penurunan trombosit jumlah sampai kurang dari 100.000
sel/uL. Promyelocytes dan basofil ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi pada pasien dengan CML adalah
penurunan respon terhadap obat-obatan myelosupresi atau interferon, meningkatnya
sel blast dalam darah tepi dengan basophilia dan trombositopenia tidak berhubungan
dengan terapi, kelainan sitogenetika baru, dan meningkatnya splenomegali dan
myelofibrosis.10
Di sekitar dua pertiga kasus, sel blast yang ditemukan adalah myeloid. Namun,
pada sepertiga kasus sisanya, sel blast yang ditemukan memperlihatkan fenotipe
limfoid, bukti lebih lanjut dari sifat sel induk penyakit asli. Kelainan kromosom tambahan
biasanya ditemukan pada saat fase blast krisis, termasuk tambahan Ph translokasi
kromosom atau lainnya.
Sel myeloid awal seperti myeloblasts, mielosit, metamyelocytes, dan berinti sel
darah merah yang biasa hadir dalam hapusan darah, meniru temuan di sumsum tulang.
Kehadiran sel-sel progenitor yang berbeda midstage membedakan CML dari leukemia
myelogenous akut, di mana leukemic gap (maturation arrest) atau hiatus ada dan
menunjukkan adanya sel-sel ini.
Anemia ringan sampai anemia sedang sangat umum pada saat diagnosis dan
biasanya normokromik normositik dan. Jumlah trombosit pada diagnosis bisa rendah,
normal, atau bahkan meningkat pada beberapa pasien (> 1 juta pada beberapa).

 Analisis Sumsum Tulang


Pada sumsum tulang terjadi hiperselular dengan selularitas sekitar 75% sampai
90% dan dengan perluasan lini sel myeloid (misalnya, neutrofil, eosinofil, basofil) dan
sel progenitornya. akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid
dan eritroid meningkat, sekitar 10:1 sampai 30:1. Semua tahapan maturasi seri WBC

selalu terlihat tetapi myelosit lebih dominan. Megakariosit nampak meningkat lebih
dulu pada fase awal penyakit ini kemudian terlihat gambaran displasia. Pada tahap
ini, megakariosit nampak lebih banyak dan lebih kecil ukurannya dibandingkan
11
normal megakariosit. Dengan pewarnaan retikulin, nampak bahwa stroma sumsum
tulang mengalami fibrosis.

Table 2.2. Kriteria laboratoris untuk Fase CML (22)


Peripheral blood
Leukocytosis (white blood cell count usually >50 × 109/L, range 20 to >500 × 109/L)
Full spectrum of granulocytes and precursors with rare blasts <(5%)
Absolute basophilia
Bone marrow
Hypercellular (usually 100%)
Granulocytic predominance (M:E ratio >10:1) with spectrum similar to blood
Characteristic small, hypolobated megakaryocytes
Blasts <5%
Accelerated phase

Blasts 10–19% in the peripheral blood and/or bone marrow

Basophils ≥20% in the peripheral blood

Persistent thrombocytopenia

Increasing spleen size and white blood cell count despite therapy

Cytogenetic evidence of clonal evolution

Blast phase

Blasts ≥20%

Extramedullary blast proliferation

Large aggregates or clusters of blasts in the bone marrow

 Sitogenetik
o Conventional Cytogenetics karyotyping
Pemeriksaan sitogenetik pada sel sumsum tulang, dan darah bahkan perifer,
harus mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang merupakan translokasi resiprokal
antara kromosom dari bahan kromosom 9 dan 22 (lihat gambar di bawah). Ini adalah
ciri khas CML, ditemukan di hampir semua pasien dengan penyakit dan terdapat
sepanjang perjalanan klinis seluruh CML.12

12
Gambar 2.9 Philadelphia kromosom. Kromosom Philadelphia, yang merupakan
kelainan karyotypic diagnostik untuk leukemia myelogenous kronis, akan ditampilkan
dalam gambar ini dari kromosom banded 9 dan 22. Yang ditampilkan adalah hasil dari
translokasi resiprokal 22q ke lengan bawah 9 dan 9q (c-ABL pada wilayah klaster
breakpoint tertentu [bcr] kromosom 22 ditandai dengan panah). Courtesy of Peter C.
Nowell, MD, Departemen Laboratorium Patologi dan Klinik dari University of
Pennsylvania School of Medicine

Selain itu, BCR chimeric / ABL messenger RNA (mRNA) yang menjadi ciri khas
CML dapat dideteksi oleh polymerase chain reaction (PCR). Ini adalah tes sensitif yang
hanya memerlukan beberapa sel dan berguna dalam memantau penyakit sisa minimal
(MRD) untuk menentukan efektivitas terapi. BCR-ABL transkrip mRNA juga dapat
diukur dalam darah perifer
Analisis karyotypic sel sumsum tulang memerlukan keberadaan sel yang
membelah tanpa kehilangan viabilitas karena bahan mensyaratkan bahwa sel masuk ke
mitosis untuk mendapatkan kromosom individu untuk identifikasi setelah banding.
Proses pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang memerlukan keahlian analis.
o Fluorescence in Situ Hybridization (FISH)
Dua bentuk mutasi BCR / ABL telah diidentifikasi. Ini bervariasi sesuai dengan lokasi
dari daerah mereka bergabung pada domain bcr 3 '. Sekitar 70% pasien yang memiliki
5 'breakpoint DNA memiliki pesan RNA b2a2, dan 30% pasien memiliki 3' breakpoint
DNA dan pesan RNA b3a2. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fase kronis lebih pendek,
kelangsungan hidup lebih pendek, dan trombositosis.
CML harus dibedakan dari Ph1-negatif dengan hasil PCR negatif untuk BCR / ABL
mRNA. Penyakit ini termasuk gangguan myeloproliferative lain dan leukemia
myelomonocytic kronis, yang sekarang diklasifikasikan dengan sindrom
myelodysplastic. Kelainan kromosom tambahan, seperti kromosom Ph1-positif
tambahan atau ganda atau trisomi 8, 9, 19, atau 21, 17 isochromosome, atau
penghapusan kromosom Y, telah digambarkan sebagai pasien memasuki sebuah
bentuk transisi atau fase percepatan krisis blast.

13
Gambar 2.10. Fluoresensi hibridisasi in situ menggunakan unik-urutan, DNA probe
ganda fusi untuk bcr (22q11.2) dengan warna merah dan c-ABL (9q34) gen daerah di
hijau. Para bcr normal / ABL fusi hadir di Philadelphia kromosom-positif sel-sel dalam
kuning (kanan panel) dibandingkan dengan kontrol (panel kiri). Courtesy of Emmanuel
C. Besa, MD.

Pasien dengan kondisi selain CML, seperti yang baru didiagnosis leukemia
limfositik akut (ALL) atau leukemia nonlymphocytic, mungkin juga mempunyai
kromosom Ph1. Beberapa menganggap pasien ini ada dalam fase blastic CML tanpa
fase kronis. Kromosom ini jarang ditemukan pada pasien dengan gangguan
myeloproliferative lain, seperti polisitemia vera atau thrombocythemia esensial, tetapi ini
mungkin kondisi misdiagnosis leukemia myelogenous kronis (CML). Hal ini jarang
diamati dalam sindrom myelodysplastic.
o RT-PCR Analysis
RT-PCR mendeteksi produk panjang yang berbeda sesuai dengan chimeric
protein BCR-ABL dari 190, 210, dan 230 kDa. Breakpoint yang dideteksi oleh RT-PCR
dapat membantu dalam membedakan CML dan ALL. Dalam sebagian besar kasus
CML pada orang dewasa dan hampir semua kasus pada anak-anak, ada p210 fusion
protein. Kasus Ph+ ALL berhubungan dengan p190 protein, meskipun kasus yang
jarang terjadi dari CML dan AML dengan fusion protein yang lebih kecil telah
dilaporkan. Kadang, temuan p230 fusion protein dapat menunjukkan neutrofilia darah
perifer menonjol, tetapi kasus-kasus tersebut harus didiagnosis sebagai CML, bukan
chronic neutrophilic leukemia.2

2.5 Penatalaksanaan

CML memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal, selama proses penyakit mudah
dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak stabil (fase akselerasi), dan, akhirnya, tentu
saja lebih agresif (blast krisis), yang biasanya berakibat fatal. Dalam semua 3 fase,
terapi suportif dengan transfusi sel darah merah atau platelet dapat digunakan untuk
meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Di negara-negara Barat, 90%
pasien dengan CML didiagnosis dalam tahap kronis. Jumlah sel darah putih pasien
(WBC) biasanya dikontrol dengan obat-obatan (remisi hematologi). Tujuan utama dari
pengobatan selama fase kronis adalah untuk mengendalikan gejala dan komplikasi
akibat anemia, trombositopenia, leukositosis, dan splenomegali serta menghilangkan
14
gen yang dapat memunculkan BCR-ABL. Pengobatan standar pilihan sekarang
mesylate imatinib (Gleevec), yang merupakan molekul kecil inhibitor spesifik BCR / ABL
dalam semua tahap CML.
Fase kronis bervariasi dalam durasi, tergantung pada terapi pemeliharaan yang
digunakan, biasanya berlangsung 2-3 tahun dengan terapi HU (Hydrea) atau busulfan,
tetapi dapat berlangsung selama lebih dari 9,5 tahun pada pasien yang merespon
dengan baik untuk terapi interferon-alfa. Selain itu, munculnya mesylate imatinib telah
secara dramatis meningkatkan durasi hematologi dan, memang, remisi sitogenetik.
Pada fase transisi atau krisis tujuan dari pengobatan adalah menghilangkan gen
yang dapat memunculkan BCR-ABL serta mengembalikan fase ini menjadi fase kronik.
Kelangsungan hidup pasien yang didiagnosis pada tahap ini adalah 1-1,5 tahun. Fase
ini ditandai dengan penurunan respon remisi dari jumlah darah dengan obat
myelosuppressive dan munculnya sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥ 30%),
basofil (≥ 20%), dan jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel / uL tidak berhubungan
dengan terapi. Untuk mencapai remisi hematologis diperlukan obat mielosupresif.
Begitu tercapai remisi hematologis dilanjutkan dengan terapi interferon dan cangkok
sumsum tulang. Adapun indikasi transplantasi sumsum tulang, yakni :13
1. Usia tidak lebih dari 60 tahun
2. Ada donor yang cocok
3. Termasuk golongan resiko rendah menurut perhitungan Sokal, yakni berdasar
pada :
a. Umur
b. Ukuran pembesaran ginjal
c. Jumlah platelet
d. Persentasi sel blasts yang ada di dalam darah

Terapi myelosuppressive dulunya adalah andalan pengobatan untuk


mengkonversi pasien dengan CML dari presentasi awal yang tidak terkendali untuk satu
dengan remisi hematologi dan normalisasi dari pemeriksaan fisik dan penemuan
laboratorium. Namun, agen baru terbukti lebih efektif, dengan efek samping yang lebih
sedikit dan kelangsungan hidup lebih lama.
 HU13
HU (Hydrea), penghambat sintesis deoksinukleotida, adalah agen
myelosuppressive paling umum digunakan untuk mencapai remisi hematologi.
Hitungan darah awal sel dimonitor setiap 2-4 minggu, dan dosis disesuaikan
tergantung pada jumlah WBC dan platelet. Kebanyakan pasien mencapai remisi
hematologi dalam waktu 1-2 bulan. Obat ini hanya menyebabkan durasi singkat
myelosupresi, dengan demikian, bahkan jika jumlah sel lebih rendah daripada
yang dimaksudkan, menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis biasanya

15
mengontrol jumlah darah. Dosis terapi pemeliharaan dengan HU jarang
menghasilkan remisi sitogenetik.

 Busulfan
Busulfan (Myleran) merupakan agen alkylating yang secara tradisional
telah digunakan untuk menjaga jumlah WBC di bawah 15.000 sel / uL. Namun,
efek myelosuppressive dapat terjadi jauh di kemudian hari dan bertahan lama,
yang membuat mempertahankan angka dalam batas normal lebih sulit.
Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan fibrosis paru, hiperpigmentasi,
dan penekanan sumsum berkepanjangan yang berlangsung berbulan-bulan.

 Imatinib mesylate (Gleevec)9


Mesylate imatinib (Gleevec) adalah inhibitor tirosin kinase yang
menghambat tirosin kinase bcr-abl yang dihasilkan oleh Philadelphia (Ph1)
kromosom. Imatinib menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel
positif BCR / ABL. Dengan imatinib pada 400 mg / hari secara oral pada pasien
dengan yang baru didiagnosis Ph1-positif CML dalam tahap kronis, tingkat
respon sitogenetika lengkap adalah 70% dan tingkat kelangsungan hidup 3-
tahun diperkirakan adalah 94%. Dengan dosis tinggi 800 mg / hari, tingkat
sitogenetika lengkap respon meningkat menjadi 98%, tingkat respons utama
molekul adalah 70%, dan tingkat respon lengkap molekuler adalah 40-50%.

Gambar 2.9 Mekanisme Kerja Gleevec

16
Mekanisme molekuler untuk resistensi imatinib primer tidak diketahui.
Mutasi kinase-domain BCR / ABL merupakan mekanisme yang paling umum dari
resistensi sekunder atau diperoleh untuk imatinib, terhitung 50-90% kasus, 40
mutasi yang berbeda saat ini telah dijelaskan. Karena imatinib mengikat ke
domain kinase ABL di konformasi tertutup atau tidak aktif untuk menginduksi
perubahan konformasi, resistensi terjadi ketika mutasi mencegah domain kinase
dari mengadopsi konformasi spesifik terhadap ikatan.

 Transplantasi
Sumsum tulang alogenik transplantasi (BMT) atau transplantasi sel induk
saat ini satu-satunya obat yang telah terbukti untuk CML. Idealnya, harus
dilakukan dalam tahap kronis dari penyakit daripada pada fase transformasi atau
krisis blast. Calon pasien harus ditawarkan prosedur ini jika mereka memiliki
donor terkait cocok atau single-antigen-cocok tersedia. Secara umum, pasien
yang lebih muda umum lebih baik daripada pasien yang lebih tua. BMT harus
dipertimbangkan dini pada pasien muda (<55 y) yang memiliki donor saudara
kandung yang cocok. Semua saudara harus bertipe untuk antigen leukosit
manusia (HLA)-A, HLA-B, dan HLA-DR. Jika tidak cocok, jenis HLA dapat
dimasukkan ke dalam register sumsum tulang untuk donor yang tidak
sepenuhnya cocok.
BMT alogenik dengan donor yang cocok tidak berhubungan telah
menghasilkan hasil yang sangat menggembirakan dalam penyakit ini. Prosedur
ini memiliki tingkat yang lebih tinggi dari kegagalan graft awal dan akhir (16%),
penyakit host graft akut kelas III-IV (50%), dan extensive chronic graft versus
host disease (55%). Tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan berkisar
dari 31% menjadi 43% untuk pasien yang lebih muda dari 30 tahun dan dari
14% menjadi 27% untuk pasien yang lebih tua.
Manfaat dan risiko harus dinilai dengan hati-hati dengan setiap pasien.
Angka kematian yang terkait dengan BMT adalah 10-20% atau kurang dengan
saudara cocok dan 30-40% dengan donor yang tidak berhubungan. Registri
sumsum tulang mendekati angka kesembuhan untuk pasien dengan CML pada
50%. Transplantasi telah ditujunkan ke pasien yang tidak mencapai remisi
molekular atau menunjukkan resistensi terhadap imatinib dan kegagalan
generasi kedua bcr-abl inhibitor kinase seperti dasatinib. Paparan sebelumnya
untuk imatinib sebelum transplantasi tidak mempengaruhi hasil posttransplant
seperti kelangsungan hidup secara keseluruhan dan kelangsungan hidup bebas
perkembangan.
Sebuah analisis retrospektif yang mencakup 70 pasien dengan CML (44%
pada fase akselerasi atau krisis blast) yang telah menerima imatinib sebelum

17
transplantasi sel induk menunjukkan engraftment 90% dan diperkirakan
transplantasi terkait kematian 44% dan mortalitas kambuh diperkirakan 24%
pada 24 bulan . Graft versus host tingkat penyakit adalah 42% untuk% akut dan
17 untuk kronis. 17Sebagian besar data berasal dari transplantasi alogenik dari
donor yang cocok HLA-saudara dan transplantasi syngeneic beberapa dari
saudara kembar identik. Data menunjukkan bahwa transplantasi alogenik
memiliki hasil lebih baik dibandingkan transplantasi syngeneic karena beberapa
efek graft versus leukemia.
BMT adalah autologous yang diteliti, tetapi, relatif baru-baru ini, kemoterapi
kombinasi atau interferon telah ditemukan untuk menginduksi remisi sitogenetik
dan memungkinkan pemanenan Ph-negatif CD34 sel induk hematopoietik dari
darah perifer pasien.
Munculnya terapi imatinib telah dibayangi transplantasi sel induk alogenik
hematopoietik di CML baru didiagnosa. Namun, telah menyarankan bahwa
pasien dengan skor Sokal miskin berisiko (lihat Prognosis), tetapi risiko yang
baik untuk transplantasi sel induk alogenik hematopoietik ditransplantasikan awal
atau dimuka. Tidak ada konsensus saat ini ada pada masalah ini. Namun,
konsensus secara luas diterima adalah bahwa pasien yang kemajuan luar fase
kronis pada imatinib harus ditawarkan transplantasi sel induk hematopoietik jika
ini adalah pilihan.
Dengan pasien dalam krisis ledakan yang belum terpapar imatinib, obat
ini digunakan dalam kombinasi dengan rejimen induksi sama dengan yang
digunakan di myelogenous akut atau leukemia limfoblastik. Namun, karena
persentase yang tinggi dari imatinib-tahan mutasi ada pada pasien, kambuh lebih
sering terjadi dan pada waktu sebelumnya dari induksi. Dengan demikian, semua
upaya yang dilakukan untuk melakukan transplantasi sel induk alogenik
hematopoietik sesegera mungkin. Kebanyakan pasien dengan penyakit sisa
minimal (MRD) setelah transplantasi membutuhkan terapi pemeliharaan
interferon. Atau, mereka mungkin memerlukan reinfusion sel T yang dikumpulkan
dari donor.

 Splenektomi15
Splenektomi dan radiasi limpa telah digunakan pada pasien dengan
splenomegali, biasanya dalam tahap akhir dari CML. Ini jarang diperlukan pada
pasien dengan CML yang terjaga. Beberapa penulis percaya bahwa splenektomi
mempercepat terjadinya metaplasia myeloid di hati. Selain itu, splenektomi
berhubungan dengan morbiditas perioperatif tinggi dan tingkat kematian karena
perdarahan atau komplikasi trombotik.

18
2.7 Pemantauan Jangka Panjang16

Respon sitogenetika dipantau setiap 3-6 bulan dengan karyotyping atau dengan
hibridisasi in situ fluoresensi (FISH) untuk menghitung persentase sel sumsum tulang
dengan PH1-positif. Pemantauan jangka panjang menggunakan darah perifer untuk
FISH dan kuantitatif reverse transcriptase PCR (RT-PCR) untuk BCR / ABL RNA
tampaknya metode yang handal untuk memantau respon terhadap terapi inhibitor
tirosin kinase di semua fase CML 16.
Tujuannya adalah sel normal 100% setelah 1-2 tahun terapi. Pasien dengan
MRD (BCR / ABL positif) harus mengikuti terapi pemeliharaan selama mereka terus
mengalami MRD. Perbaikan sitogenetika telah diamati pada 70% pasien yang diobati
selama lebih dari 3 bulan, dengan rata-rata sel PH1-positif menurun dari 100% menjadi
65% (kisaran 0-95%). Penurunan lengkap dari kromosom PH1 diamati pada 20%
pasien.
Tonggak terapi standar yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Pada 3 bulan: respon hematologi lengkap (normal hitung darah lengkap dan
tidak ada bukti penyakit extramedullary)
2. Pada 6 bulan: sitogenetika respon minor(36% sampai 65% sel PH1 +)
3. Pada 12 bulan: sitogenetika respon mayor (0% sampai 35% PH1 +)
4. Pada 18 bulan: sitogenetika respon lengkap(0% PH1 +)

o Minimal Residual Disease


Setelah allogeneic SCT, RT-PCR analysis mungkin positif untuk residual disease
selama 6 bulan pertama pada pasien yang kemudian mencapai long-lasting remission.
Namun, late persistence of RT-PCR positivity muncul untuk menunjukkan kemungkinan
pengurangan dari pengobatan. RT-PCR positivity pada setiap single time point adalah
tidak prediktif relapse dalam waktu dekat. Setelah allogeneic SCT, pasien sering dibagi
menurut hasil RT-PCR ke salah satu dari tiga kelompok: (1) persistently ( terus
menerus ) positive, (2) intermittently (sebentar-sebentar) negative, dan (3) persistently
negative. Ketiga kelompok memiliki probabilitas rendah, menengah, dan tinggi
mempertahankan remisi dan bebas penyakit-hidup, berturut - turut. Meskipun data ini
menunjukkan bahwa pasien yang (persistently RT-PCR) terus-menerus RT-PCR > 6
bulan positif setelah alogenik SCT membutuhkan intervensi terapi tambahan,
kesimpulan ini belum ditetapkan secara ketat.8
Setelah terapi imatinib, hanya minoritas (5 sampai 10%) dari pasien berkembang
molecular remission. Jika memperhitungkan data SCT, kebanyakan pasien tanpa
molecular remission beresiko relapse.8 Pemantauan Molekuler dan evaluasi minimal
residual disease (MRD memainkan peran yang semakin penting dalam pengelolaan
CML. MRD secara umum didefinisikan sebagai “molecularly detectable disease”
dengan tidak adanya penyakit cukup morfologis. Definisi klasik dari remisi klinis adalah

19
resolusi gejala – gejala pada pasien dan tidak adanya sel-sel neoplastik di sumsum
tulang pada evaluasi morfologi. Namun, meskipun remisi klinis, diperkirakan bahwa sisa
pokok tumor tetap antara 109 dan 1010 sel neoplastik (berdasarkan level pretreatment
dari 1012 sel neoplastik) memenuhi kriteria untuk MRD.2
Teknik-teknik laboratorium yang digunakan untuk menilai MRD pada CML adalah
sama dengan yang digunakan dalam identifikasi awal BCR-ABL fusion atau t(9;22). Ini
termasuk conventional karyotyping, FISH, dan RT-PCR detection of tumor-specific
RNA. Yang penting, dalam konteks ini melanjutkan dengan evaluasi MRD, sangat
penting untuk mengetahui tingkat sensitivitas tes tertentu, karena bervariasi antara
modalitas yang berbeda. Sensitivitas conventional karyotyping ~ 5%, FISH (DC, DF)
adalah 1%, dan RT-PCR adalah <1/105.2

Table 5. Levels of Response to Therapy in CML.2

Category Definition

Complete hematologic response (CHR) Normal CBC and differential

Minimal cytogenetic response 66–95% Ph+ metaphases

Minor cytogenetic response 36–65% Ph+ metaphases

Partial cytogenetic response 1–35% Ph+ metaphases

Complete cytogenetic response (CCR) 0% Ph+ metaphases

Major cytogenetic response (MCR) 0–35% Ph+ metaphases

Major molecular response (MMR) ≥3-log reduction of BCR-ABL mRNA

Complete molecular response (CMR) Negative by RT-PCR

CBC, complete blood count; tRNA, messenger RNA; RT-PCR, reverse-transcription


polymerase chain reaction

Saat ini, pemantauan residual disease didefinisikan oleh series of milestones


yang tercantum dalam Tabel 5. Kebanyakan pasien (> 90%) dari imatinib
complete hematologic response (CHR) dalam waktu 3 bulan terapi dimulai
conventional cytogenetic dilakukan pada diagnosis dan kemudian setiap tahun
untuk menilai cytogenetic response. Padabanyak kasus, FISH untuk BCR-ABL
telah menggantikan conventional cytogenetic.2 Di RSUP Haji Adam Malik, kita

20
menggunakan batasan Major Molecular Response <0.1 % IS dan Complete
Molecular Response <0.032 % IS.

2.8 Prognosa17
Prognosis buruk terkait dengan karakteristik termasuk faktor-faktor klinis dan
laboratorium berikut:
• Usia yang lebih tua
• Simptomatis
• Performance status buruk
• Afrika Amerika keturunan
• Hepatomegali
• Splenomegali
• Kromosom Ph Negatif atau BCR / ABL
• Anemia
• Trombositopenia
• Trombositosis
• Penurunan megakaryocytes
• Basophilia
• Myelofibrosis (reticulin ditambah atau kolagen)

Terapi terkait faktor berikut mungkin menunjukkan prognosis buruk pada pasien
dengan CML:
• Lama waktu untuk remisi hematologi dengan terapi myelosupresi
• Durasi remisi pendek
• Dosis total tinggi dari HU atau busulfan
• Supresi sel Ph-positif buruk dengan kemoterapi atau terapi interferon alfa

Sebuah penelitian di Jerman dari 139 pasien berisiko rendah dengan CML,
menurut skor Sokal, menunjukkan bahwa agen terapi baru telah membawa kemajuan
dalam kelangsungan hidup. Hidup rata-rata sesuai perlakuan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
• busulfan: 6 tahun (50 pasien)
• HU: 6,5 tahun (55 pasien)
• Interferon alfa: sekitar 9,5 tahun (34 pasien)

Beberapa pasien dengan remisi molekuler dari interferon alfa dapat


disembuhkan, tapi ini hanya dapat dibentuk dari waktu ke waktu. Para imatinib tirosin
kinase inhibitor telah menggantikan interferon sebagai terapi lini pertama, karena
dikaitkan dengan tingkat respons yang lebih tinggi dan toleransi yang lebih baik dari

21
efek samping. Jangka panjang tindak lanjut dari pasien yang menerima imatinib dalam
pengobatan CML dan mencapai respon cytogenic lengkap 2 tahun setelah awal
pengobatan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup mereka secara statistik tidak
signifikan berbeda dari masyarakat umum. 11
BAB 3
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

3.1. Defenisi
Polymerase chain reaction (PCR) ini mungkin dapat dikatakan teknik
laboratorium yang paling berpengaruh yang pernah diciptakan. Polymerase Chain
Reaction (PCR) adalah suatu teknik in vitro yang dapat mengamplifikasi bagian DNA
tertentu yang berada di antara dua bagian urutan DNA. Kemudahan yang didapatkan,
biaya yang relatif rendah, dan kombinasi yang baik dari nilai spesifisitas dan
sensitivitas ditambah dengan fleksibilitas yang besar telah menyebabkan sebuah
revolusi dalam sejarah genetika. Ada banyak tentang PCR yang sebagian besar praktisi
tidak tahu dan banyak hal lain yang harus dipelajari lebih lagi.

Munculnya PCR kinetik, atau Real-Time telah meningkatkan pengetahuan


terhadap disonansi kognitif ini, terutama di bidang eksperimental primer dan
penyelidikan desain serta optimalisasi kondisi eksperimental. Selain itu, serperti yang
telah dinyatakan oleh Bustin [1] " Dengan membandingkan antara kemudahan dan
kecepatan dalam mendapatkan hasil kuantitatif dengan menggunakan pemeriksaan
real-time RT-PCR telah memberikan kesan bahwa data-data tersebut dapat diandalkan
dan sesuai dengan analisis obyektif. "

3.2. Sejarah PCR

Tercatat dalam literature PCR ini dikonsep dan dioperasionalkan pertama kali
oleh Kary Mullis dan rekan-rekannya di Cetus Corporation di awal 1980-an [2]. Metode
ini pertama kali secara resmi dipresentasikan pada American Society of Human
Genetics Conference pada bulan Oktober 1985 dan aplikasi klinis pertama untuk PCR
dalam analisis anemia sel sabit, diterbitkan pada tahun yang sama [3]. Pada awalnya,
PCR dianggap sangat membosankan dan kaku. Namun, kemudian muncullah sebuah
metode yang memungkinkan rantai DNA tertentu untuk dapat diisolasi dan dimultiplikasi
hampir tanpa batas. Terobosan tersebut muncul dengan isolasi dan pemurnian DNA
polimerase termostabil [4]. Hal ini memungkinkan PCR untuk bekerja secara otomatis
dan kemudian segeralah diprogram PCR cyclers termal yang pertama kali muncul di
pasaran. Berkat penemuannya ini, Kary Mullis dianugerahi Nobel dalam bidang Kimia
pada tahun 1993, bahkan kurang dari sepuluh tahun setelah alat ini diperkenalkan.

3.3. Komponen Reaksi PCR

22
Dengan menggunakan teknik PCR dapat dilakukan amplifikasi segmen DNA
dalam julah jutaan kali hanya dalam beberapa jam (Handoyo, 2000). Daerah yang
diperbanyak dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu,
primer akan mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya yang
terletak pada awal dan akhir fragmen DNA target. Setelah kedua primer menempel
pada DNA templat, DNA polimerase akan mengkatalisis pemanjangan kedua primer
dengan menambahkan nukleotida yang komplemen dengan urutan DNA templat. DNA
polimerase mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’
dengan fosfat pada 5’ DNTP yang ditambahkan. Oleh karena itu, proses penambahan
19DNTP berlangsung dengan arah 5’ ke 3’. Meskipun banyak variasi pada pola dasar

PCR, reaksi ini sendiri terdiri dari hanya beberapa komponen sebagai berikut:

1. Air

2. Buffer PCR

3. MgCl2

4. dNTP

5. Forward Primer

6.Reverse Primer

7. DNA Target

8. Polymerase

Walaupun mungkin tampak sepele, air dapat menjadi sumber kendala dalam
melakukan PCr. Air sangat penting dalam menyediakan lingkungan cair untuk
berlangsungnya reaksi. Air menjadi matriks di mana komponen lainnya berinteraksi.
Bagi sebagian besar laboratorium steril, air deionisasi adalah pilihan. Namun, sistem
pemurnian air bisa gagal, akibat saringan yang tidak diganti cukup sering, atau masih
dapat dilewati oleh kontaminan. Untuk menghilangkan hal ini sebagai masalah
potensial, maka pilihan beralih kepada botol-boto air HPLC-grade untuk setiap aplikasi
di laboratorium, temasuk untuk wadah reagen bahkan buffer gel dibuat dengan
kemasan HPLC.

Komponen berikutnya adalah buffer reaksi PCR. Buffer dream Taq


polymerase berfungsi untuk menjaga pH medium karena reaksi dalam PCR hanya akan
berlangsung pada kondisi pH tertentu. Pada percobaan ini juga ditambahkan MgCl2
karena untuk menstimulasi aktivitas DNA polimerase membutuhkan Mg 2+ sebagai
kofaktor yang berikatan dengan sisi aktif dari enzim yaitu gugus karboksilat pada residu
aspartat. Interaksi primer dengan templat akan meningkat dan membentuk kompleks

23
yang larut dengan dNTP (Handoyo, 2000). Tujuan utama dari komponen ini adalah
untuk memberikan pH yang optimal dan lingkungan garam monovalen untuk reaksi
akhir. Banyak buffer PCR yang disediakan secara komersial sudah mengandung
magnesium klorida (MgCl2). MgCl2 berfungsi untuk memasok kation divalent Mg ++
yang diperlukan sebagai kofaktor untuk enzim tipe II, yang meliputi endonuklease
restriksi dan polimerase yang digunakan dalam PCR. Konsentrasi akhir standar reagen
ini untuk polimerase yang digunakan dalam PCR adalah 1.5mm. Kadang-kadang perlu
mengubah konsentrasi reagen ini untuk mengoptimalkan reaksi PCR. Untuk alasan ini
maka sering dipilih buffer PCR tanpa MgCl2 dan sehingga penambahannya dapat
dilakukan terpisah. 3.0ul dari standar MgCl2 25mm tersedia secara komersial dan akan
menghasilkan konsentrasi akhir 1.5mm dalam volume reaksi 50ul.

Deoxynucleotide triphosphates (dNTPs) terdiri dari dATP, dTTP, dCTP dan


dGTP yang bertindak sebagai building block DNA dan diperlukan dalam proses
perpanjangan. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer dan
memebentuk untai baru yang berkomplemen dengan untai DNA templat (Handoyo,
2000).18 Tujuan dari penggunaakn deoksinukleotida trifosfat (dNTP) adalah untuk
menyediakan "bahan bakar”. Karena ide di balik reaksi PCR sendiri adalah untuk
mensintesis jumlah yang hampir tak terbatas dari barisan tertentu rantai ganda DNA,
maka basa individu DNA harus dipasok ke enzim polymerase . Jelaslah bahwa reaksi
PCR ini membutuhkan energy dan satu-satunya sumber energi tersebut adalah β dan γ
fosfat dari dNTP. Buffer PCR dan MgCl2 akan bertahan untuk proses pembekuan dan
pencairan kembali yang berulang-ulang, namun tidak demikian halnya dengan dNTP.
Cara terbaik untuk penyimpanannya adalah sebagai campuran 10 mM dNTP dan
segera dipindahkan ke aliquot sesuai dengan volume kerja yang lebih kecil sehingga
hanya sebagian kecil dari pasokan dNTP yang akan dicairkan pada satu waktu,
sedangkan sisanya tetap beku sampai dibutuhkan.

Komponen berikutnya adalah DNA target. Kualitas dan kuantitas DNA target
adalah penting. DNA yang digunakan sebagai target PCR tidak hanya harus semurni
mungkin tetapi juga harus bebas dari pencemaran oleh DNA lainnya karena reaksi PCR
tidak dapat membeda-bedakan sasarannya. Sehingga penanganan yang tepat harus
dilakukan untuk memastikan bahwa DNA tersebut hanya berisi rantai target yang
spesifik. Plasmid DNA berukuran kecil dan sangat diperkaya oleh deretan target
khusus, sedangkan genom DNA biasanya berisi hanya satu salinan dari deretan rantai
target. Oleh karena itu penggunaan genom DNA lebih dipentingkan dibanding dengan
plasmid karena dapat menyajikan jumlah target yang memadai untuk amplifikasi yang
efisien. Telah dilakukan ekstraksi maksimal sebanyak 100ng DNA genom untuk
amplifikasi PCR untuk mempelajari latar belakang genomik. Untuk genom mamalia,
jumlah ini telah setara untuk mewakili sekitar 10.000 genom. Bagi banyak reaksi jumlah
substansial lebih kecil dapat digunakan.

24
Pada awalnya amplifikasi dilakukan hanya dengan menggunakan water bath dan
timer laboratorium. Pada tahan denaturasi dilakukan pemanasan selama 1 menit
dengan suhu 94oC atau 95oC sehingga rantai ganda DNA akan terurai. Namun pada
proses ini, enzim polimerasi juga akan ikut hancut sehingga enzim tersebut harus
dimasukkan berulang-ulang pada setiap langkah denaturasi. Karena durasi rata-rata
untuk setiap siklus PCR adalh sekitar 5 menit, maka hal tersebut cukup mengganggu
dan membutuhkan tenaga lebih. Hal inilah yang mengdorong untuk ditemukannya
sebuah solusi oleh Brock berupa ditemukannya jenis bakteri, yang disebut
“thermophiles”, yang mampu hidup pada lingkungan dengan suhu tinggi. Bakteri ini
menjalani seluruh siklus hidupnya di dalam suhu rata-rata 50-60oC [5]. Williams
mendefenisikan beberapa terminasi yang menggambarkan hubungan antara suhu dan
pertumbuhan bakteri thermophillic. Bakteri yang memiliki suhu tertentu untuk
berkembang biak secara optimal, namun masih dapat bertumbuh pada rentang suhu
yang cukup luas disebut Euthermal, sedangkan bakteri yang hanya dapat tumbuh pada
rentang suhu yang sempit disebut Stenothermal. Williams juga memberi batasan
terhadap organism yang dapat mentoleransi suhu tinggi sebagai thermotoleran, dan
organism yang memang hidup dalam suhu tinggi disebut thermophillic. Kategori
thermophillic kemudian dibagi lagi kedalam dua kelompok yaitu thermophilic fakultatif
yang masih dapat tumbuh pada suhu yang lebih rendah, serta kategori obligat yang
tidak dapat hidup pada suhu yang lebih rendah. Karena tidak mungkin bakteri-bakteri ini
menghasilkan enzim-enzimnya secara terus menerus, maka dapat dipahami bahwa
berarti enzim-enzim yang diproduksi bakteri tersebut bersifat tahan panas. Bakteri
thermophilic pertama pertama kali dieksploitasi adalah bakteri Termus aquaticus yang
ditemukan di Yellowstone National Park (Gambar 3.1). DNA polimerase dari Thermus
aquaticus bersifat stabil pada 95oC dan memungkinkan untuk otomatisasi proses PCR.
DNA polimerase dari Thermus aquaticus disebut Taq.

Gambar 3.1. Foto Kolam Air Panas di Yellowstone National Park. Suhu air pada
kolam ini adalah suhu air mendidih pada ketinggian tersebut. Setelah air keluar dan
25
kontak dengan udara sekitarnya, suhu rata-rata berubah menjadi 80oC dan warna air
berubah menjadi kekuningan. Organisme yang mengubah warna air tersebut adalah
Thermus aquaticus. (Photo by Ric Devor).

Sejak pertama kali diisolasi, Taq DNA polymerase telah menjadi reagen standar
untuk reaksi PCR. Gen bakteri telah diklon dan digunakan untuk menghasilkan enzim
tersebut dengan menggunakan bakteri nontermofilik sehingga enzim Taq, baik yang
diisolasi dari Thermus aquaticus, maupun dari sistem ekspresi bakteri lainnya yang
telah ditanamkan cloning gen Taq, telah tersedia secara komersial. Selain itu, sejumlah
polimerase DNA stabil termal lainnya, yang diisolasi dari spesies termofilik lainnya, juga
telah tersedia. Di antaranya adalah enzim dari Pyrococcus furiosus (PFU polymerase),
Thermus thermophilus (TTH polymerase), Thermus flavus (TfL polymerase),
Thermococcus litoralis (TLI polymerase alias Vent polymerase), dan spesies
Pyrococcus GB-D (Jauh Vent polymerase). Masing-masing enzim polimerase tersebut
memiliki karakteristik spesifik yang bisa dipilih tergantung pada pengaplikasiannya.
Secara umum, ada tiga aspek dari enzim polymerase DNA yang harus
dipertimbangkan, yaitu processivity, fidelity, dan persistence.

Processivity mengacu pada kemampuan enzim polymerase dalam membuat


salinan pelengkap dari pola. Sebagai standarnya adalah Taq polymerase harus
memiliki kemampuan menghasilkan 50-60 nukleotida (nt) per detik pada 72 oC.
Diantara polimerase lainnya yang tercantum di atas, banyak yang lebih lambat kerjanya
bila dibandingkan dengan Taq. Misalnya, kemampuan TTH polymerase adalah 25 nt
per detik dan lainnya seperti Vent dan Deep Vent jatuh dalam kisaran ini juga. Namun,
enzim ini memiliki keunggulan dibandingkan Taq polymerase yang dapat mengimbangi
processivity yang lebih rendah. Yaitu syarat penting lainnya berupa fidelity. Hal ini
mengacu pada keakuratan salinan pola yang dibuat. Taq DNA polymerase memiliki
tingkat kesalahan tertinggi bila dibandingkan dengan enzim polimerase termofilik
lainnya, yaitu 285 x 10-6 kesalahan per kerangka nukleotida. Polimerase TLI memiliki
keakuratan lima kali lipat lebih baik dari Taq yaitu 57 x 10 -6 kesalahan per kerangka
nukleotida dan PFU polymerase juga menunjukkan keakuratan dalam kisaran ini [8].

Akhirnya, factor lain yang penting adalah persistence, yang mengacu pada
stabilitas enzim pada suhu tinggi,dan terkait erat dengan dua factor polimerase
lainnya. Stabilitas dapat diukur dari segi berapa lama enzim dapat mempertahankan
setidaknya setengah dari aktivitasnya selama paparan berkelanjutan terhadap suhu
tinggi. Taq polymerase memiliki waktu paruh sekitar satu setengah jam pada suhu 95 oC
terus menerus. Enzim lain dapat memiliki waktu paruh yang lebih panjang. Polimerase
TLI memiliki waktu paruh lebih dari enam jam dan Deep Vent polymerase telah
menunjukkan waktu paruh hampir sehari penuh dalam suhu 95 oC konstan.

26
Sebagaimana dicatat, pilihan polimerase untuk PCR sangat tergantung
berdasarkan aplikasi. Untuk sebagian besar amplifikasi PCR, ukuran rata-rata dari
produk PCR (amplikon) kurang dari 500 base pair (bp). Untuk ini, tingkat kesalahan dari
Taq polymerase dapat diabaikan dan kemampuan produksinya ideal. Dengan demikian,
Taq polymerase memang menjadi reagen pilihan bagi sebagian besar amplifikasi PCR
terutama untuk konvensional PCR. Namun banyak polimerase lainnya yang menjadi
pilihan, atau sering dicampuran dengan Taq, untuk aplikasi PR yang membutuhkan
waktu lebih lama dengan ukuran amplikon beberapa kilo bas pair [9]. Dalam hal ini,
keakuratan menjadi lebih penting daripada kemampuan produksi. Juga, Taq
polymerase bukanlah pilihan yang optimal untuk sequencing DNA. Sebaliknya, aplikasi
di mana ada kebutuhan untuk menggabungkan nukleotida non-standar seperti inosin,
deoxyuridine, atau 7-deaza-guanosin penggunaan Taq polimerase jauh lebih baik
dibandingkan dengan yang lainnya karena Taq lebih mudah bergabung dengan
nukleotida non-standar [10] .

3.4. Reaksi PCR

PCR memiliki tiga langkah pemprosesan yaitu pre-denaturasi DNA templat,


denaturasi DNA templat, penempelan primer, pemanjangan primer, pemantapan
(postextension). Tahap kedua hingga keempat merupakan tahapan berulang (siklus).
Langkah pertama adalah denaturasi DNA target sehingga mengurai rantai gandanya
menjadi untai tunggal dan membuka urutan komplementer primer. Hal ini dilakukan
pada suhu 94oC atau 95oC selama satu menit. Apabila dalam DNA target mengandung
banyak nukleotida G atau C, suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Dua untai DNA yang
dihasilkan ini akan digunakan sebagai templat. Langkah kedua adalah memilih suhu
primer annealing (Ta) sesuai dengan suhu leleh (Tm) dari primer. Penempelan primer
terjadi pada kondisi suhu yang diturunkan menjadi 37-50oC tergantung dari DNA yang
digunakan Tempat biasa untuk mengatur Ta adalah sekitar 2 oC lebih rendah dari Tm
terendah primer. Dengan demikian, jika suhu leleh primer adalah 58,5 oC dan 59,2 oC,
Ta harus ditetapkan pada 56,5 oC sebagai titik awal. Suhu ini dapat diubah-ubah sesuai
dengan hasil selama berjalanan proses ini , kurang lebih selama 30 detik.. Penurunan
suhu ini berfungsi untuk mengikatkan primer dengan untai tunggal DNA templat yang
berkomplemen dengan primer tersebut. Perpanjangan primer dengan memanfaatkan
DNA polimerase, enzim ini dapat mensintesis komplemen dari untai tunggal DNA dari
ujung 3’ yang didahului dengan proses penempelan primer. Pada tahap ini suhu
dinaikkan hingga 72oC. Akhir dari siklus pertama ini adalah dihasilkan dua untai ganda
DNA (Giasuddin, 1995). Proses dalam teknik PCR tersebut dapat dilihat pada gambar 4
dan 5.21
Langkah terakhir dalam siklus, langkah ekstensi polymerase, yang dilakukan
pada suhu 72 oC yang merupakan suhu optimal untuk Taq polymerase. Namun,
menurut beberapa protokol, terutama pada proses PCR yang panjang, suhu yang

27
digunakan adalah 68oC untuk mengurangi depurinasi dari amplikon yang panjang.
Durasi Langkah terakhir ini ditentukan oleh panjang amplikon tersebut. Aturan praktis
adalah 30 detik untuk setiap 500bp produk. Karena sebagian besar produk PCR kurang
dari 500bp, pengaturan ekstensi polimerase ditentukan selama 30 detik. Profil proses
PCR ditampilkan pada Gambar 3.3.
Selama awal langkah denaturasi awal sebenarnya ada dua hal yang terjadi.
Pertama, semua DNA target dalam reaksi diurai menjadi untai tunggal. Kedua, energy
kalor akan menyebabkan arus konveksi dalam campuran reaksi yang akan memulai
gerakan-gerakan molekul yang disebut gerak Brownian. Gerakan ini akan surut atau
pun meningkat selama perubahan-perubahan suhu yang tetapi gerakan tersebut tidak
akan pernah berhenti. Setiap komponen reaksi secara konstan akan terus bercampur.
Ketika langkah denaturasi berakhir, suhu di dalam tabung akan diturunkan ke suhu
annealing. Selama periode ini primer akan melewati zona suhu di mana dupleks
transient secara acak akan dicoba atau disingkirkan sampai, mendekati Tm dari primer
tersebut. Semakin lama, primer-primer tersebut akan menemukan pasangannya
masing-masing. Setelah urutan tersebut semakin sempurna, maka akan dimulailah
proses annealing.

Gambar 3.3. Tiga langkah reaksi PCR

Untuk proses penempelan primer perlu ada perancangan terlebih dahulu,


apabil urutan DNA yang dituju belum diketahui maka dapat dilakukan analisis homologi
dari urutan DNA yang memiliki kekerabatan terdekat. Perancangan primer harus
memenuhi beberapa kriteria yaitu panjang primer, komposisi primer, titik leleh (Tm).
Primer yang digunakan biasanya berkisar 18-30 basa. Apabila digunakan primer yang
pendek maka kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer pada tempat
yang salah) akan tinggi yang akan mempengaruhi efisiensi proses PCR, sedangkan bila
digunakan primer panjang (lebih dari 30 basa) tidak akan meningkatkan spesifisitas
primer. Dalam perancangan primer hindari untuk urutan nukleotida yang sama secara
terus menerus karena dapat menurunkan spesifisitas primer selain itu sebaiknya
28
kandungan (G+C)) (% jumlah G dan C) sama atau lebih besar dari kandungan (G+C)
DNA target. Tm adalah temeperatur ketika 50 % untai ganda DNA terpisah. Tm akan
berpengaruh dalam proses anneling sehingga sangatlah penting pemilihan Tm suatu
primer. Secara teoritis Tm dapat ditentukan dengan menggunakan rumus [2(A+T) +
4(C+G)], suhu anneling berada pada rentang (Tm-5)oC sampai dengan (Tm+5)oC
(Handoyo, 2000).22

Dalam percobaan ini digunakan ddH2O (aqua bidestilasi atau ultrapure water)
namun sebenarnya juga dapat menggunakan buffer TE yang merupakan campuran
antara larutan Tris-HCl dengan EDTA pada konsentrasi tertentu. Keduanya dapat
dilakukan untuk melarutkan DNA atau RNA. DNA akan lebih stabil apabila dilarutkan
dalam TE buffer karena dijaga pada pH 8. Jika menggunakan ddH 2O akan
menimbulkan perubahan PH karena DNA memiliki sifat asam lemah dan dapat
menyebbakan degradasi DNA. Namun, dalam kasus penggunaan PCR ddH2O lebih
unggul karena tidak mengandung chelating agent, sedangkan TE buffer mengandung
EDTA yang dapat berkompleks dengan ion Mg2+ sehingga mengganggu kerja enzim
Taq polymerase (Sciencebiotech, 2010).22

Saat suhu di tabung meningkat menuju suhu Tm dan menetap pada suhu Ta, jumlah
maksimum molekul primer yang berpasangan terhadap molekul target yang tersedia
akan tercapai dan kedua kelompok molekul tersebut akan membentuk barisan dupleks
yang stabil. Pada saat yang sama, enzim polimerase DNA akan diaktifkan oleh Mg ion
++. Polimerase kemudian akan segera mulai untuk memperpanjang rantai primer
dengan arah 5 '→ 3'. Selain itu dNTP akan ditangkap dan dan diperangkap dalam
bentuk β dan γ fosfat yang akan dilepaskan sebagai pirofosfat, PPi. Reaksi ini
memberikan energi yang dibutuhkan bagi enzim polimerase untuk bergerak dan
kembali menangkap dan mengatur dNTP pelengkap berikutnya. Proses ini akan
berlanjut terus menerus selama proses ekstensi polimerase meskipun pada kecepatan
yang lambat dan hanya akan berhenti jika suhu di dalam tabung mencapai tingkat yang
diperlukan untuk denaturasi.

Selama siklus PCR pertama satu-satunya pola yang tersedia untuk primer
annealing adalah DNA target . Setiap primer akan menemukan pasangannya pada
DNA target ini,dan polymerase akan mengikat serta memulai untuk memperpanjang.
Namun, pada template ini proses ekstensi tidak akan berhenti berhenti, dimana
polymerase akan terus memperpanjang rantai sampai suhu denaturasi tercapai
untuk memulai siklus berikutnya. Produk PCR ini membentuk suatu populasi molekul
rantai yang hanya terikat pada salah satu ujungnya. Ada berbagai istilah yang dapat
digunakan untuk menggambarkan molekul-molekul ini seperti anchored and semi-
bounded. Pada siklus kedua, kedua DNA target awal dan DNA anchored akan
berfungsi sebagai template. DNA target akan terus membuat produk berupa DNA
anchored di setiap siklus reaksi sedangkan yang DNA anchored akan mengikat
29
primer untuk melengkapinya dan membentuk amplikon PCR yang utuh untuk
pertama kalinya. Dalam setiap siklus berikutnya, DNA target, DNA anchored, dan
amplikon akan berfungsi sebagai target untuk primer PCR. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bukan DNA target yang asli lah yang menghasilkan amplikon
PCR, melainkan, DNA anchored dan amplikon-amplikon lainnya. Dalam reaksi PCR
jumlah DNA target yang tidak berubah sementara jumlah DNA anchored meningkat
secara aritmatika pada setiap siklus, dimulai dari siklus 1. Pada siklus 2, ketika
amplikon pertama terbentuk, jumlah amplikon akan meningkatkan secara geometris
(Gambar 3.4.). Pada akhir 35 siklus ada lebih dari 34 miliar salinan amplikon untuk
setiap salinan rantai target asli. Dengan demikian, jika ada 10.000 salinan rantai
target, maka akan terbentuk lebih dari 340 triliun salinan amplikon.

Gambar 3.4. 4 siklus PCR pertama. Grafik paling kiri adalah gambaran rantai DNA
target asli (1 salinan). Yang kemudian diurai dan terjadi penyalinan dengan
menggunakan primer secara maju dan mundur. Pada siklus 1, terbentuk DNA anchored
pertama (tanda panah merah). Pada siklus 2 amplikon utuh pertama terbentuk (garis
hijau). Perhatikan bahwa amplikon tidak berasal dari DNA target asli, namun dari DNA
anchored.

30
Gambar 3.5. Hubungan relative antara produksi DNA anchored dan amplicon utuh
selama reaksi PCR. Peningkatan dari jumlah DNA anchored bersifat aritmatika,
sementara peningkatan jumlah amplikon bersifat geometric. Pada akhir reaksi PCR
konvensional, rasio antara DNA anchored dan amplikon akan mendekati nol.

Gambaran amplifikasi PCR yang ditunjukkan pada Gambar 3.5. adalah


pandangan konvensional. Penting untuk dicatat bahwa gambar ini, pada kenyataannya,
merupakan penyederhanaan dari proses aktual produksi amplikon di PCR. Sedangkan
konservasi molekul DNA target dan produksi aritmatika DNA anchored secara akurat
digambarkan, disaat bentuk sejati kurva amplikon jauh lebih kompleks. Kurva produksi
amplikon yang sebenarnya terdiri dari tiga fase yang terpisah dan berurutan. Tahap
pertama adalah fase eksponensial dimana DNA polymerase secara aktif bekerja
terhadap, amplikon untai ganda pada kapasitas yang optimal. Namun, setelah
beberapa waktu, tingkat amplifikasi mulai melambat dan produksi amplikon memasuki
fase log-linear atau kadang-kadang disebut fase kuasi-linear. Akhirnya, terjadi
perubahan tingkat amplifikasi lagi dan memasuki akhir yaitu fase plateau seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.6. di bawah ini.

Gambar 3.6. Fase pembentukan amplikon. 1. Fase eksponensial, 2. fase log-


linear, dan 3. Fase plateau..

Sejumlah penjelasan yang masuk akal telah ditawarkan untuk menjelaskan


fenomena perubahan lintasan di PCR itu yang secara teoritis seharusnya tidak terjadi
pada kondisi ideal. Di antaranya adalah; 1. penggunaan reagen, 2. inaktivasi termal
enzim polimerase, 3. Inhibisi enzim polimerase melalui peningkatan konsentrasi
pirofosfat, 4. pengurangan efisiensi denaturasi, dan 5. aktivitas exonuclease.

Setelah proses PCR maka selanjutnya adalah elektroforesis agarosa


untuk memastikan isolasi DNA yang dilakukan berhasil dan harapannya akan dihasilkan
satu spot saja dan tentunya massa molekulnya dapat ditentukan melalui perbandingan
dengan marker DNA. Untuk memisahkan DNA digunakan gel agarosa karena memiliki
ukuran pori yang besar sehingga dapat dilewati oleh DNA. Molekul DNA akan bergerak
menuju arah elektroda positif karena molekul DNA bermuatan negatif dari gugus fosfat
yang dimilikinya. EtBr yang ditambahkan saat pembuatan gel agarosa berfungsi untuk
31
memvisualisasikan pita DNA karena akan terlihat pendarannya di bawah sinar UV hal
itu disebabkan EtBr berada di antara basa nukleotida. Buffer TAE elektroforesis
berfungsi untuk penghantar listrik karena memiliki daya ion dalam larutan. Sedangkan
buffer TAE pada pembuatan gen agarosa adalah untuk menjaga pH, elektrolit gram
(asam asetat) dan untuk menonaktifkan DNA (EDTA). Larutan pemberat (bromfenol
biru 0,1% (b/v) dan sukrosa 40% (b/v)) digunakan untuk menjaga agar sampel tidak
turun dari sumur. Terdapat kontrol negatif dengan menmbahkan ddH 2O dan kontrol
positif dengan menambahkan DNA kromosom. Kontrol negatif berfungsi untuk
mengetahui kondisi reagen sehingga pada hasil elektrolisis seharusnya kita tidak
mendapatkan pita DNA. Kontrol positif berfungsi untuk mengetahui pita yang
merupakan pita DNA sampel karena DNA kromosom yang digunakan sudah diisolasi
sebelumnya sehingga seharusnya pada hasil elektroforesis kita akan mendapatkan
pita. Pada control negatif memang tidak dihasilkan pita namun pada kontrol positif pun
tidak dihasilkan pita DNA. 23

3.5. Pemeriksaan BCR-Abl

1. Pembuatan Isolat
- Homogenisasi
o Lisiskan 250 μl whole blood dengan 750 μl reagen pelisis (RiboExTM LS,
GeneAll,Korea) di dalam tabung ulir
o Lakukan vorteks hingga campuran benar-benar homogeny
o Inkubasi lisat selama 2 menit dalam suhu kamar.\

- Fase Separasi
o Masukkan 200 μl chloroform
o Vortex hingga benar-benar homogeny
o Inkubasi selama 2 menit dalam suhu kamar
o Lakukan thermo-centrifugation 12.000 rpm selama 15 menit, dalam suhu 4
derajat celcius.

- Penyaringan
o Ambil 450 μl supernatant, dan masukkan ke dalam tabung kuning dengan
penyaring (EzPureTMFilter).
o Lakukan thermo-centrifugation 10.000 rpm selama 30 detik, dengan suhu 26
derajat celcius.
o Bungan filter kuning, sehingga konsentrat sekarang berada di tabung
pengumpul.

- DNA Bind
32
o Masukkan 900 μl buffer RB1 (GeneAll,Korea) ke dalam tabung pengumpul,
lakukan mixing dengan teknik pipetting naik turun sebanyak 8 kali.
o Transfer campuran secara berkala (maksimal 700 μl) ke dalam tabung mini spin
berwarna biru
o Lakukan thermo-centrifugation 10.000 rpm selama 30 detik, dalam suhu 26
derajat celcius. Buang campuran yang tersaring di filter biru
o Lakukan langkah ini kembali, sampai sisa campuran habis.

- Pencucian DNA
o Masukkan 500 μl buffer RBW (GeneAll,Korea) ke dalam tabung mini spin biru
o Lakukan thermo-centrifugation 10.000 rpm selama 30 detik, dalam suhu 26
derajat celcius. Buang campuran yang tersaring di filter biru
o Masukkan 500 μl buffer RNW (GeneAll,Korea) ke dalam tabung mini spin biru
o Lakukan thermo-centrifugation 10.000 rpm selama 30 detik, dalam suhu 26
derajat celcius. Buang campuran yang tersaring di filter biru
o Lakukan thermo-centrifugation tambahan 10.000 rpm selama 1 menit untuk
membuang sisa cairan pencuci, dalam suhu 26 derajat celcius. Buang campuran
yang tersaring di filter biru

- DNA Elution
o Masukkan 50 μl free water tepat di bagian tengah dari membrane yang terdapat
di tabung mini spin biru.
o Pindahkan konsentrat dari tabung pengumpul ke dalam aliquotte steril
o Lakukan thermo-centrifugation 10.000 rpm selama 1 menit, dalam suhu 26
derajat celcius.
o Bekukan di dalam freezer (-4 derajat celcius), isolate dapat bertahan hingga 1
bulan.

2. Pemeriksaan RT-PCR
o Masukkan isolat yang telah dicairkan ke dalam alat RT-PCR
o Dengan menggunkana software perancang primer (ExcyclerTM 96) maka
tentukan pemeriksaan yang akan dilakukan adalah BCR-Abl
o Tentukan protocol siklus PCR yang akan dilakukan
o Tentukan penataan sampel telah tepat dan seluruh well siap untuk digunakan.
o Lakukan proses RT-PCR secara otomatis, dengan proses kurang lebih
memakan waktu 2 jam..
o RT-PCR akan memberikan hasil quantitative dari protein fusi BCR Abl

33
34
BAB 4
KESIMPULAN

CML adalah kelainan diperoleh yang melibatkan sel batang hematopoietik. Hal
ini ditandai oleh kelainan sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan
panjang kromosom 22 dan 9 [t (9; 22)]. Diagnosis CML ditegakkan melalui pemeriksaan
hapusan darah tepi, analisa sumsum tulang, serta pemeriksaan sitogenetik dan
molekuler. Sitogenetik berupa Philadelphia Chromosome menjadi hallmark untuk
penegakan diagnose CML.
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik in vitro yang dapat
mengamplifikasi bagian DNA tertentu yang berada di antara dua bagian urutan DNA.
Primer akan diperpanjang pada DNA templat oleh DNA polymerase dengan
keberadaan deoksinukleosida trifosfat (dNTPs). Proses ini akan menghasilkan rantai
DNA baru yang berkomplemen dengan rantai templat sehingga menghasilkan rantai
DNA untai ganda baru.. PCR memiliki tiga langkah pemprosesan yaitu pre-denaturasi
DNA templat, denaturasi DNA templat, penempelan primer, pemanjangan primer,
pemantapan (postextension). Pemeriksaan RT-PCR terhadap pasien CML, dapat
menjadi panduan dalam menentukan terapi yang akan dilaksanakan, follow up terapi
serta evaluasi hasil terapi jangka panjang, dimana terapi dilakukan dengan target yang
disebut Minimal Residual Disease dengan kriteria dibawah ini.

Category Definition

Complete hematologic response (CHR) Normal CBC and differential

Minimal cytogenetic response 66–95% Ph+ metaphases

Minor cytogenetic response 36–65% Ph+ metaphases

Partial cytogenetic response 1–35% Ph+ metaphases

Complete cytogenetic response (CCR) 0% Ph+ metaphases

Major cytogenetic response (MCR) 0–35% Ph+ metaphases

Major molecular response (MMR) ≥3-log reduction of BCR-ABL mRNA

Complete molecular response (CMR) Negative by RT-PCR

CBC, complete blood count; tRNA, messenger RNA; RT-PCR, reverse-transcription polymerase chain
reaction

Di RSUP Haji Adam Malik, kita menggunakan batasan Major Molecular


Response <0.1 % IS dan Complete Molecular Response <0.032 % IS.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Sawyers CL. Chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. Apr 29


1999;340(17):1330-40. [Medline].
2. Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the
BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia and
acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med.
Apr 5 2001;344(14):1038-42. [Medline]. [Full Text].
3. Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al, for the International STI571 CML
Study Group. Hematologic and cytogenetic responses to imatinib mesylate in
chronic myelogenous leukemia. N Engl J Med. Feb 28 2002;346(9):645-52.
[Medline]. [Full Text].
4. Merx K, Muller MC, Kreil S, et al. Early reduction of BCR-ABL mRNA transcript
levels predicts cytogenetic response in chronic phase CML patients treated with
imatinib after failure of interferon alpha. Leukemia. Sep 2002;16(9):1579-83.
[Medline]. [Full Text].
5. Talpaz M, Silver RT, Druker BJ, et al. Imatinib induces durable hematologic and
cytogenetic responses in patients with accelerated phase chronic myeloid
leukemia: results of a phase 2 study. Blood. Mar 15 2002;99(6):1928-37.
[Medline]. [Full Text].
6. Kantarjian HM, Cortes JE, O'Brien S, et al. Imatinib mesylate therapy in newly
diagnosed patients with Philadelphia chromosome-positive chronic myelogenous
leukemia: high incidence of early complete and major cytogenetic responses.
Blood. Jan 1 2003;101(1):97-100. [Medline]. [Full Text].
7. Ibrahim AR, Eliasson L, Apperley JF, Milojkovic D, Bua M, Szydlo R, et al. Poor
adherence is the main reason for loss of CCyR and imatinib failure for chronic
myeloid leukemia patients on long-term therapy. Blood. Apr 7
2011;117(14):3733-6. [Medline].
8. Hochhaus A, Kreil S, Corbin AS, La Rosée P, Müller MC, Lahaye T, et al.
Molecular and chromosomal mechanisms of resistance to imatinib (STI571)
therapy. Leukemia. Nov 2002;16(11):2190-6. [Medline].
9. Marcolino MS, Boersma E, Clementino NC, et al. Imatinib treatment duration is
related to decreased estimated glomerular filtration rate in chronic myeloid
leukemia patients. Ann Oncol. Sep 2011;22(9):2073-9. [Medline].
10. FDA Approval for Dasatinib. National Cancer Institute. Available at
http://www.cancer.gov/cancertopics/druginfo/fda-dasatinib. Accessed August 24,
2011.
11. FDA Approval for Nilotinib. National Cancer Institute. Available at
http://www.cancer.gov/cancertopics/druginfo/fda-nilotinib. Accessed August 24,
2011.

36
12. [Best Evidence] Cortes JE, Jones D, O'Brien S, Jabbour E, Ravandi F, Koller C,
et al. Results of dasatinib therapy in patients with early chronic-phase chronic
myeloid leukemia. J Clin Oncol. Jan 20 2010;28(3):398-404. [Medline]. [Full
Text].
13. Kantarjian H, Shah NP, Hochhaus A, Cortes J, Shah S, Ayala M, et al. Dasatinib
versus imatinib in newly diagnosed chronic-phase chronic myeloid leukemia. N
Engl J Med. Jun 17 2010;362(24):2260-70. [Medline].
14. Hughes TP, Hochhaus A, Branford S, Müller MC, Kaeda JS, Foroni L, et al.
Long-term prognostic significance of early molecular response to imatinib in
newly diagnosed chronic myeloid leukemia: an analysis from the International
Randomized Study of Interferon and STI571 (IRIS). Blood. Nov 11
2010;116(19):3758-65. [Medline].
15. FDA. Sprycel (dasatinib): Drug Safety Communication – Risk of Pulmonary
Arterial Hypertension. US Food and Drug Administration. Available at
http://www.fda.gov/Safety/MedWatch/SafetyInformation/SafetyAlertsforHumanMe
dicalProducts/ucm275176.htm. Accessed October 11, 2011.
16. Sawyers CL. Even better kinase inhibitors for chronic myeloid leukemia. N Engl J
Med. Jun 17 2010;362(24):2314-5. [Medline].
17. Jabbour E, Kantarjian H, O'Brien S, Shan J, Garcia-Manero G, Wierda W, et al.
Predictive factors for outcome and response in patients treated with second
generation tyrosine kinase inhibitors for chronic myeloid leukemia in chronic
phase post imatinib failure. Blood. Oct 28 2010;[Medline].
18. S. M. Giasuddin. 1995. Polymerase Chain Reaction Technique: Fundamental
Aspect and Applications in Clinical Diagnostics. Journal of ISLAMIC Academy of
Sciences 8:1, 29-32.
19. Handoyo, Darmo. 2000. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Pusat Studi Bioteknologi Universitas Surabaya. Unitas, Vol.9
halaman 17-29.
20. http://sciencebiotech.net/te-buffer-vs-ddh2o/ (diakses tanggal 14 April 2013)
21. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_bio_0708783_chapter1.pdf (diakses
tanggal 14 April 2013)
22. Lestari, Puji. 2011. Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) Cara
Mengidentifikasi Padi Bermutu Rasa Tinggi. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber daya Genetik Pertanian. Edisi 16-22
Maret 2011 No.3397 Tahun XLI, hal. 13-16.
23. Madigan MT, Martinko JM, Brock TD. 2006. Brock Biology of Microorgnisms.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.
24. Zeily Nurachman, Alfredo Kono, Ocky Karna Radjasa, Dessy Natalia. 2010.
Identification a Novel Raw-Starch-Degrading-α-Amylase from a Tropical Marine
Bacterium. American Journal of Biochemistry and Biotechnology 6 (4): 300-306

37
STATUS PASIEN HEMATOLOGI

Tanggal: 6 November 2016

Nama pasien : Ratih Swasti


Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Pekerjaan : Guru
Alamat : Dusun tujuh jadi kota pinang

Anamnesa
Keluhan Utama : Lemas
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1 bulan ini, os juga mengeluh terasa
menyesak, dan tidak nyaman di perut, Muka pucat(+),Riwayat
lebam(+) di kaki, nyeri pada sendi(+), riwayat sering demam(-) dan
penurunan berat badan(+) 6 kg sejak 3 bulan terakhir. Riwayat
transfusi(-)Riwayat BAB kehitaman (-) ,BAK kemerahan (-) Riwayat
kontak dengan bahan kimia(-), pasien sedang hamil saat ini dan
merupakan kehamilan pertama pasien dengan usia kehamilan kira-
kira 14 minggu, riwayat ANC (+) ke puskesmas. Riwayat kontak
dengan zat kimia (-).
RPT : -
RPO : -

Status Present
Sensorium : CM
Tek. Darah : 120/80 mmHg Anemis :(+)
Nadi : 98 x / menit Icterus :(-)
Respirat.rate : 20 x /menit Oedema :(-)
Temp.Tubuh : 36.8 OC Dyspnoe :(-)
Cyanosis :(-)

Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : Oedema (-), Konjunctiva palpebra pucat (+), Sklera Ikterik (-)
Hidung : Berdarah (-)
Mulut : Gusi bengkak (-), berdarah (-)
Wajah : Oedema (-), Hematoma (-), Purpura (-), Pucat (-), Petechie (-)
Leher : Pembesaran kel Lymph (-), Petechie (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris kanan/kiri. Respiratory rate : 20 x/menit, reguler(-)
Petechie (-), Purpura (-), Ekimosis (-), Hematoma (-)
Palpasi : Nyeri tekan pada manubrium sterni (-)
Perkusi : Batas paru hati : ICR V/VI
38
Abdomen
Inspeksi : Pelebaran pembuluh vena (-), spider nevi (-)
Petechie (-), Purpura (-), Hematoma (-), Membesar (+)
Palpasi : Soepel (+), Undulasi (-), TFU teraba 2 jari diatas simfisis pubis
Auskultasi : Peristaltik (+)
Hepar : Teraba (-), Nyeri tekan (-)
Limfa : Teraba di Schufner IV
Ginjal : Teraba (-)
Ekstremitas
Ekstremitas atas
Inspeksi : Petechie (-), Purpura (-), Ekimosis (-), Hematoma (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar Lymph axilla (-)

Ekstremitas bawah
Inspeksi : Petechie (-), Purpura (-), Ekimosis (-), Hematoma (-),
Oedem (-), Ikterik (-), Deformitas (-).
Palpasi : Pembesaran kelenjar Lymph Inguinal (-), Nyeri tekan (-)

Anogenital : Tidak dijumpai kelainan

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 6 November 2016 (saat dilakukan tindakan BMP)


HEMATOLOGI
Hemoglobin : 8.2 g% ( 12 – 16 )
Eritrosit 6
: 2.68 x 10 / mm 3 ( 4.10 – 5.10 x106 )
Leukosit : 304.080 /mm 3 ( 4.000 – 11.000 )
Trombosit : 253 x 103/mm3 ( 150 – 450 x103 )
Hematokrit : 23 % ( 36 – 47 )
MCV : 87 fl ( 81– 99 )
MCH : 30.6 pg ( 27 – 31 )
MCHC : 35.3 g% ( 31 – 37 )
RDW : 17.8 % ( 11.5- 14.5 )
MPV : 11.8 fL ( 6.5 - 9.5 )
PCT : 0.03 % ( 0.10 – 0.50 )
PDW : 13.8 % ( 10.0 – 18.0 )
IPF : 0.0 % ( 1 – 4.8 )
NRBC : 0.1
Retikulosit : 3.73 % ( 0.2 – 2.5 )

Hitung Jenis :
 Netrofil : 22 ( 50 – 70 )
 Limfosit :1 ( 20 – 40 )
 Monosit :1 (2-8)
 Eosinofil :2 (1–3)
 Basofil :0 (0–1)
39
 Blast :2
 Myelosit : 44
 Metamyelosit : 13
 Band : 15

Morfologi
 Eritrosit : Normokrom, anisositosis
 Leukosit : Blast (+), Immature graulosit (+)
 Trombosit : Bentuk normal

Kesan: MPD

Coomb Test
Direk : Negatif
Indirek : Negatif

40
Hasil BMP

Sifat tulang pada punksi : Biasa


Gumpalan Sumsum Tulang : Cukup
Kepadatan Sumsum Tulang : Hiperseluler
Megakariosit : Dijumpai
Trombosit : Dijumpai
Histiosit : Tidak dijumpai
Plasmosit : Tidak dijumpai
Seri Granulosit :Myeloblast 4.0 %,Promyelosit 0.75 %,Myelosit 8.5%,
Metamyelosit 11.25 %, Netrofil stab 13 %, Netrofil
segmen 35.75 %, Eosinofil 2.0 %, Basofil 0.5 %
Seri Eritroid :Rubriblast 0.0 %, Prorubrisit 0.0 %, Rubrisit 2.5 %,
Metarubrisit 2.0 %.
Seri Limfoid :Limfoblast 0.0 %, Prolimfosit 0 %, Limfosit 0.25 %,
Plasmosit 0 %
Seri Monosit :Monoblas 0.0 %, Promonosit 0.0 %, Monosit 0.0 %

HITUNG JENIS 400 SEL BERINTI


0–3 Stem Cell : 0.0 % 0 - 1 Limfoblast : 0.0 %
0–1 Myeloblast : 4.0 % 5 – 15 Limfosit : 0.25 %
1–5 Promyelosit : 0.75 % 0 – 1 Monoblast : 0.0 %
2 – 10 Myelosit : 28.5 % Promonosit : 0.0 %
5 – 15 Metamyelosit : 11.25 % 0 – 6 Monosit : 0.0 %
10 – 40 Netrofil Stab : 13.0 % 0 – 1 Rubriblast : 0.0 %
10 – 30 Netrofil Segmen : 35.75 % 1 – 4 Prorubrisit : 0.0 %
0–3 Eosinofil : 2.0 % 5 – 10 Rubrisit : 2.5 %
0–5 Basofil : 0% 10 – 20 Metarubrisit : 2.0 %
0–1 Plasmosit : 0% Smudge Cell : (+)

Kesimpulan : Pada pemeriksaan darah tepi didapati kadar Hb 8.2 g/dL, Leukosit
304.080/mm3, Trombosit 253 x103/mm. Morfologi darah tepi dijumpai
gambaran eritrosit normokrom anisositosis; gambaran leukosit dijumpai
Blast 2%, Immature granule dijumpai ; gambaran trombosit normal.
Pada pemeriksaan sumsum tulang didapatkan gambaran gumpalan
sumsum tulang cukup, kepadatan sumsum tulang hiperseluler. Dijumpai
peningkatan pada seri Myeloid dengan Myeloblast 4 %, Myelosit 28.5 %
dan Segmen 35.75 %.
M:E ratio = 21 : 1

Kesan : Chronic Myeloid Leukemia

41
(1)
(2)

(4)

(1). pembesaran 10x10, (2). pembesaran 10x40


(3)
(3). pembesaran 10x100

(4). pembesaran 10x100

42
Pemantauan Tanggal 30 Oktober 2016 di Poli RSHAM
S : Lemas, pucat, perut sebelah kiri membesar
O : Sens: CM TD: 110/70 mmHg HR : 82 x/i RR : 20 x/i Temp : 37,8 oC
BB : 44 kg
Kepala : mata RC +/+, pupil isokor, conj. palp. inf pucat +/+,
T/H/M: dbn
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris Fusiformis, retraksi (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) N, hepar tidak teraba, lien teraba S IV
Anggota Gerak : TD : 110/70 mmHg, nadi : 82 x/menit, regular, CRT < 3”
A : suspek Leukemia + G1P0A0
P : - Cek darah rutin/BT/HST/d-dimer/fibrinogen/LFT/RFT/elektrolit/viral marker
- USG Abdomen
- konsul obgyn

Hasil Laboratorium tanggal 30 Oktober 2016 di Poli Penyakit Dalam RSHAM:


HEMATOLOGI
Hemoglobin : 9,1 g% ( 12 – 16 )
Eritrosit : 2.94 x 10 6/ mm3 ( 4.10 – 5.10 x106 )
Leukosit : 356.890 /mm3 ( 4.000 – 11.000 )
Trombosit : 278 x 103/mm3 ( 150 – 450 x103 )
Hematokrit : 26 % ( 36 – 47 )
MCV : 87 fl ( 81– 99 )
MCH : 31.0 pg ( 27 – 31 )
MCHC : 35.5 g% ( 31 – 37 )
RDW : 18.0 % ( 11.5- 14.5 )
MPV : 12.0 fL ( 6.5 - 9.5 )
PCT : 0.330% ( 0.10 – 0.50 )
PDW : 18.5 % ( 10.0 – 18.0 )

Hitung Jenis :

 Neutrofil : 24 ( 50 – 70 )
 Limfosit :2 ( 20 – 40 )
 Monosit :1 (2-8)
 Eosinofil :1 (1–3)
 Basofil :0 (0–1)
 Blast :3
 Myelosit : 40
 Metamyelosit : 15
 Band : 14

Morfologi

 Eritrosit : Normokrom, anisositosis


43
 Leukosit : Blast (+), Immature graulosit (+)
 Trombosit : Bentuk normal

Kesan: MPD

FAAL HEMOSTASIS
PT : 17.4 detik (Kontrol: 14.50)
INR : 1.19
APTT : 43.2 detik (Kontrol: 34.0)
TT : 11.5 detik (Kontrol: 17.3)
Fibrinogen : 460.0 mg/dL (150-400)
D-Dimer : 286 ng/mL (<500)
AT-III : 99.10 % (15 – 300)
Besi (Fe) : 54 ug/dL (61 – 157)
TIBC : 345 ug/dL (112 – 346)

KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin total : 0.60 mg/dL ( 0.2 – 1.2 )
Bilirubin direk : 0.20 mg/dL ( < 0.5 )
Fosfatase alkali (ALP) : 42 U/L ( 40 – 150 )
AST (SGOT) : 42 U/L ( 5 - 34 )
ALT (SGPT) : 13 U/L ( 0 - 55 )
Gamma GT : 16 U/L ( 9 – 36 )
Protein total : 7.2 g/dL ( 6.4 – 8.3 )
Albumin : 3.4 g/dL ( 3.5 – 5.0 )
Globulin : 3.8 g/dL ( 2.6 – 3.6 )

METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah sewaktu : 63 mg/dL ( < 200 )

GINJAL
Blood Urea Nitrogen (BUN): 8 mg/dL ( 7 – 19 )
Ureum : 17 mg/dL ( 15 – 40 )
Kreatinin : 0.45 mg/dL ( 0.6 – 1.1 )
Asam Urat : 6.6 mg/dL ( 2.6 – 6.0 )

ELEKTROLIT
Natrium (Na) : 135 mEq/L ( 135 – 155 )
Kalium (K) : 5.0 mEq/L ( 3.6 – 5.5 )
Klorida (Cl) : 105 mEq/L ( 96 – 106 )

IMUNOSEROLOGI
HEPATITIS
HBsAg : Non Reaktif ( Negatif )

44
HEPATITIS C
Anti HCV : Non Reaktif ( Negatif )

IMUNODEFICIENCY PROFILE
Anti HIV (3 Methode)
Anti HIV (Rapid I) : Non Reaktif ( Non Reaktif )

Jawaban Konsul Obgyn tanggal 01 November 2016


KU: pembesaran limpa
SP: Abdomen membesar asimetris
TFU teraba 2 jari diatas simfisis, P/V (-), DJJ : 155x/i,
USG TAH: Anak hidup, kesan IUP (14-16) minggu
Diagnosa: PG+ KDR (14-16) minggu + AH+ Susp. Leukemia + Hepatosplenomegali
Terapi: Asam folat 1x1

Perkembangan tanggal 6 November 2016 Rawat Inap Rindu A RSHAM


S : Lemas, pucat, perut sebelah kiri membesar
O : Sens: CM TD: 110/70 mmHg HR : 80 x/i RR : 20 x/i Temp : 37,5 oC
BB : 44 kg
Kepala : mata RC +/+, pupil isokor, conj. palp. inf pucat +/+,
T/H/M: dbn
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris Fusiformis, retraksi (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) N, hepar tidak teraba, lien teraba S IV, TFU 2 jari atas
simfisis
Anggota Gerak : TD : 110/70 mmHg, nadi : 80 x/menit, regular, CRT < 3”
A : suspek Leukemia + KDR-AH (14-16) minggu G1P0A0
P : - asam folat 1x1

Perkembangan tanggal 8 November 2016 Rawat Inap Rindu A RSHAM


S : perut membesar
O : Sens: CM TD: 110/70 mmHg HR : 80 x/i RR : 20 x/i Temp : 37,5 oC
BB : 44 kg
Kepala : mata RC +/+, pupil isokor, conj. palp. inf pucat +/+,
T/H/M: dbn
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris Fusiformis, retraksi (-)
Perut : Soepel, peristaltik (+) N, hepar tidak teraba, lien teraba S IV, TFU 2 jari atas
simfisis
Anggota Gerak : TD : 110/70 mmHg, nadi : 80 x/menit, regular, CRT < 3”
A : CML + KDR-AH (14-16) minggu G1P0A0
P : - Pemeriksaan BCR-Abl
- terapi glivec ditunda hingga melahirkan
- asam folat 1x1

45
Hasil Laboratorium tanggal 8 November 2016 di RINDU A RSHAM:
BCR-Abl Kuantitatif
ABL (copies) 8.430.000
BCR-Abl (copies) 6.220.000
BCR-Abl % 73.78
BCR-Abl/ABL %(IS) 33.2
Keterangan Positif

PASIEN RAWAT JALAN DAN DISARANKAN UNTUK ANC 4 MINGGU KEMUDIAN

Perkembangan tanggal 20 November 2016 Rawat Inap Rindu A RSHAM

S : kontrol kehamilan
O : Sens: CM TD: 120/70 mmHg HR : 88 x/i RR : 22 x/i Temp : 37,0 oC
BB : 44 kg
Kepala : mata RC +/+, pupil isokor, conj. palp. inf pucat +/+,
T/H/M: dbn
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris Fusiformis, retraksi (-)
Perut : peristaltik (+) N, hepar tidak teraba, lien teraba S IV, TFU setentang umbilikus
Anggota Gerak : TD : 120/70 mmHg, nadi : 88 x/menit, regular, CRT < 3”
A : CML + KDR-AH (18-20) minggu G1P0A0
P : - asam folat 1x1
- Vitamin B.Kompleks 1x1

Hasil Laboratorium tanggal 20 November 2016 di Poli Penyakit Dalam RSHAM:


HEMATOLOGI
Hemoglobin : 7,6 g% ( 12 – 16 )
Eritrosit : 2.55 x 10 6/ mm3 ( 4.10 – 5.10 x106 )
Leukosit : 165.990 /mm3 ( 4.000 – 11.000 )
Trombosit : 249 x 103/mm3 ( 150 – 450 x103 )
Hematokrit : 22 % ( 36 – 47 )
MCV : 85 fl ( 81– 99 )
MCH : 29.8 pg ( 27 – 31 )
MCHC : 35.0 g% ( 31 – 37 )
RDW : 17.5 % ( 11.5- 14.5 )
MPV : 11.3 fL ( 6.5 - 9.5 )
PCT : 0.330% ( 0.10 – 0.50 )
PDW : 18.5 % ( 10.0 – 18.0 )

Hitung Jenis :

 Neutrofil : 60 ( 50 – 70 )
 Limfosit :5 ( 20 – 40 )
 Monosit :1 (2-8)
 Eosinofil :1 (1–3)
46
 Basofil :0 (0–1)
 Blast :3
 Myelosit : 15
 Metamyelosit : 10
 Band :5

Morfologi

 Eritrosit : Normokrom, anisositosis


 Leukosit : Blast (+), Immature graulosit (+)
 Trombosit : Bentuk normal

Kesan: MPD

FAAL HEMOSTASIS
PT : 12.6 detik (Kontrol: 14.30)
INR : 0.92
APTT : 39..2 detik (Kontrol: 34.2)
TT : 13.6 detik (Kontrol: 16.8)
KIMIA KLINIK
HATI
Bilirubin total : 0.40 mg/dL ( 0.2 – 1.2 )
Bilirubin direk : 0.10 mg/dL ( < 0.5 )
AST (SGOT) : 14 U/L ( 5 - 34 )
ALT (SGPT) : 12 U/L ( 0 - 55 )
Albumin : 3.1 g/dL ( 3.5 – 5.0 )

METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah sewaktu : 76 mg/dL ( < 200 )

GINJAL
Blood Urea Nitrogen (BUN): 24 mg/dL ( 7 – 19 )
Ureum : 51 mg/dL ( 15 – 40 )
Kreatinin : 1.55 mg/dL ( 0.6 – 1.1 )

ELEKTROLIT
Natrium (Na) : 141 mEq/L ( 135 – 155 )
Kalium (K) : 5.0 mEq/L ( 3.6 – 5.5 )
Klorida (Cl) : 106 mEq/L ( 96 – 106 )

47

Anda mungkin juga menyukai