Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

KASUS 4

Dosen Pengampu :
apt. Yane Dila Keswara, M.Sc

Kelas C2
Disusun oleh :
Nama Anggota :
1. Zaitun Nisa (2120424784)
2. Agata M.H Kinanti (2120424785)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pelayanan kefarmasian menurut PP No.51 tahun 2009 adalah pelayanan langsung


dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi agar mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Apoteker bertanggung jawab dalam
keberlangsungan pemberian pengobatan yang diatur dengan SPO (Standar Prosedur
Operasional). IFRS (Instalasi Farmasi Rumah Sakit) bertanggung jawab terhadap sediaan
obat dari pengadaan hingga distribusi ke pasien,ketepatan dosis, rute pemberian,dan
penjaminan mutu obat, terutama sediaanparenteral. Pencampuran sediaan parenteral
merupakan pencampuran obat yang menghasilkan produk baru dengan proses pelarutan atau
penambahan bahan lain yang dilakukan oleh apoteker secara aseptis (Surahman E dkk, 2008).
Dispensing sediaan steril merupakan layanan kefarmasian yang dilaksanakan di
rumah sakit. Permenkes No. 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah
sakit, pelayanan ini seharusnya dilaksanakan di IFRS. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi nosokomial, kontaminasi sediaan, paparan terhadap petugas dan
lingkungan, mencegah risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan obat, dan untuk menjamin
kualitas mutu sediaan (ASHP, 2008).
Syarat yang harus dipenuhi dalam pencampuran sediaan parenteral secara aseptis
adalah ruang bersih, kabinet LAF (Laminar Air Flow), dan personel yang berkompeten
memenuhi syarat sebagai petugas dispensing. SDM harus mendapatkan pelatihan secara
berkala untuk meningkatkan pengetahuan dan menjamin mutu pelayanan. Pelatihan dapat
dilaksanakan oleh IFRS atau pelatihanpelatihan dari instansi terkait. IFRS juga harus
membuat tim jaminan mutu produk dan pencampuran sediaan parenteral agar mutu terjamin
dan meminimalisir terjadinya kesalahan (Surahman E dkk, 2008).
A. STABILITAS PENYIMPANAN OBAT

B. DEFINISI

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini hanya
akan dibatasi pada limfoma non-Hodgkin.

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer


kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari
limfosit B, limfosit T, dan sel NK *”natural killer”.
C. GEJALA

Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-
spesifik, diantaranya:
1. Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan

2. Demam 38oC >1 minggu tanpa sebab yang jelas

3. Keringat malam banyak

4. Cepat lelah

5. Penurunan nafsu makan

6. Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat

7. Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat
pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.

Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang
kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB berukuran > 6-10 cm
atau mediastinum >33% rongga toraks).
Menurut Lymphoma International Prognostic Index, temuan klinis yang
mempengaruhi prognosis penderita LNH adalah usia >60 tahun, keterlibatan kedua
sisi diafragma atau organ ekstra nodal (Ann Arbor III/IV) dan multifokalitas (>4
lokasi).

D. DIAGNOSA

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.
1. Anamnesis Umum:

a. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ


b. Malaise umum
c. Berat badan menurun 10% dalam waktu 3 bulan
d. Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab
e. Keringat malam
f. Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)
g. Penggunaan obat-obatan tertentu Khusus:
h. Penyakit autoimun (SLE, Sjorgen, Rheuma)
i. Kelainan Darah
j. Penyakit Infeksi (Toxoplasma, Mononukleosis, Tuberkulosis, Lues, dsb)

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pembesaran KGB
b. Kelainan/pembesaran organ
c. Performance status: ECOG atau WHO/karnofsky
2. Pemeriksaan Diagnostik

a) Biopsi:

1) Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,


superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling
representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal.
Spesimen kelenjar diperiksa:

a. Rutin: Histopatologi: sesuai kriteria REAL-WHO

b. Khusus Imunohistokimia

2) Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya


dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka
kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK,
Flowcytometri dan lain-lain) mungkin mencukupi untuk diagnosis

3) Tidak diperlukan penentuan stadium dengan laparotomi

b) Laboratorium:

1. Rutin

 Hematologi:
- Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED,
hitung jenis

- Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah

 Analisis urin : urin lengkap

 Kimia klinik:

- SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total,


albumin-globulin
- Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin

- Gula Darah Sewaktu

- Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P

- HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)

2. Khusus

- Gamma GT

- Serum Protein Elektroforesis (SPE)

- Imunoelektroforesa (IEP)

- Tes Coomb

- B2 mikroglobulin

Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina
illiaca dengan hasil spesimen 1-2 cm

Radiologi Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan


thorak/abdomen. Bila hal ini tidak memungkinkan, evaluasi sekurang-
kurangnya dapat dilakukan dengan : Toraks foto PA dan Lateral dan USG
seluruh abdomen.

Konsultasi THT

Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi


- Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal)
Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin,
disamping pemeriksaan rutin lainnya.

- Imunofenotyping Minimal dilakukan pemeriksaan imunohitstokimia (IHK)


untuk CD 20 dan akan lebih ideal bila ditambahkan dengan pemeriksaan
CD45, CD3 dan CD56 dengan format pelaporan sesuai dengan kriteria WHO
(kuantitatif).

- Konsultasi jantung Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi


jantung.

E. TATALAKSANA TERAPI

Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis
histologi), stadium, sifat tumor (indolen/progresif), usia, dan keadaan umum pasien.
1. LNH INDOLEN (FOLIKULAR)
A. LNH INDOLEN STADIUM I DAN II

Radioterapi memperpanjang disease free survival pada beberapa pasien. Standar


pilihan terapi :
1. Iradiasi

2. Kemoterapi + radiasi

3. Extended (regional) iradiasi

4. Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 menurut kriteria GELF)

5. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi

B. LNH INDOLEN STADIUM II, III, IV

Standar pilihan terapi


1. Tanpa terapi

2. Rituximab dapat diberikan sebagai kombinasi terapi lini pertama yaitu R-


CVP. Pada kondisi dimana Rituximab tidak dapat diberikan maka
kemoterapi kombinasi merupakan pilihan pertama misalnya : COPP,
CHOP dan FND.

3. Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer

4. Alkylating agent oral (dengan/tanpa steroid), bila kemoterapi kombinasi


tidak dapat diberikan/ditoleransi ( (cyclofosfamid, chlorambucil)

5. Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan

6. Kemoterapi intensif ± Total Body irradiation (TBI) diikuti dengan stem


cell resque dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu

7. Raditerapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky) untuk


mengurangi nyeri/obstruksi.

C. LNH INDOLEN RELAPS

Standar pilihan terapi


1. Radiasi paliatif

2. Kemoterapi

3. Transplantasi sumsum tulang

2. LNH AGRESIF (DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA)

A. LNH STTADIUM I DAN II Pada kondisi tumor non bulky (diameter tumor< 10
cm) dengan kriteria: pasien muda risiko rendah atau rendahmenengah (aaIPI score
≤1) dan risiko tinggi atau menengahtinggi (aaIPI ≥2), bila fasilitas
memungkinkan, kemoterapi kombinasi R-CHOP 6-8 siklus merupakan protokol
standar saat ini serta dapat dipertimbangkan pemberian radioterapi (untuk
konsolidasi).

B. LNH STADIUM I-II (BULKY), III DAN IV

 Bila memungkinkan, pemberian kemoterpi RCHOP 6-8 siklus ±


radioterapi konsolidasi, dipertimbangkan pada stadium I dan II

 Uji klinik pada stadium II dan IV

C. LNH REFRAKTER/RELAPS

 Pasien LNH refrakter yang gagal mencapai remisi, dapat diberikan terapi
salvage dengan radioterapi jika area yang terkena tidak ekstensif. Terapi
pilihan bila memungkinakan adalah kemoterapi salvage diikuti dengan
transplantasi sumsum tulang

 Kemoterapi salvage seperti R-DHAP maupun R-ICE

 High dose chemotherapy plus radioterapi diikuti dengan transplantasi


sumsum tulang
BAB II

PEMBAHASAN KASUS
KASUS 4
1. Pasien bernama Ny. B dengan umur 54 tahun, tinggi badan 143 cm, berat badan 37 kg
menderita kanker Non Hodgkin Limfoma. Oleh dokter Sp.PD.KHOM diberikan
kemoterapi CEOP (Cyclophosphamide, Etoposide, Vincristin, Prednisolon) pada tanggal
16 Mei 2013 siklus ke 3, rencana 6-8 siklus interval 21 hari dengan data lab dua hari
sebelum kemoterapi sebagai berikut :
Dokter Sp.PD.KHOM membuat protokol dengan dosis :
- Etoposide 70 mg
- Vincristin 1,8 mg
- Cyclophosphamide 1000 mg
- Prednisolon 16 mg 3-2-0 selama 5 hari.
Pertanyaan:
a. Analisalah kesesuaian regimen dosis sitostatika tersebut!
b. Hitunglah konsentrasi obat sitostatika dalam pelarut! dan bagaimana cara
preparasinya?
c. Hitunglah kecepatan infus obat tersebut!
1. Analisalah kesesuaian regimen dosis sitostatika tersebut!
BSA = √
=√
=√
= 1,21 m2
A. Etoposide 70mg = 60 mg/m2 IV hari ke-3, 7, 11 (Dipiro Edisi 9 Hal 649)
Dosis Etoposide (mg) = dosis referensi X BSA
= 60 mg/m2 X 1,21 m2
= 72,6mg
B. Vincristine 1,8 mg = 1,4 mg/m2 IV hari ke-2, 4, 6, 8, 10, 12 (Dipiro Edisi 9
Hal 649)
Dosis Etoposide (mg) = dosis referensi X BSA
= 1,4 mg/m2 X 1,21 m2
= 1,736mg
C. Cyclophosphamide 1000mg = 650 mg/m2 IV hari ke-1 (Dipiro Edisi 9 Hal
650)
Dosis Etoposide (mg) = dosis referensi X BSA
= 650 mg/m2 X 1,21 m2
= 786,5mg
2. Hitunglah konsentrasi obat sitostatika dalam pelarut! dan bagaimana cara
preparasinya?
- Etoposide 70 mg
Dosis : 70 mg
Sediaan : 100 mg dalam konsentrasi 20mg/mL . 1 vial = 5mL (Pramana, 2019)

Pelarut : 1000 Normal Saline/NaCl 0,9% selama 60 menit (NHS, 2015)

Volume yang dibutuhkan : 70mg/100 mg x 5 mL = 3.5mL


Jadi volume akhir campuran:
= Sodium Chloride 0.9% + Volume obat yang dibutuhkan
= 1000 ml + 3,5 ml
= 1003,5 ml
Jumlah vial yang dibutuhkan : 3,5mL = 1 vial
Konsentrasi Etoposide dalam pelarut NaCL 0,9% 1000 mL:
V1 x C1 = V2 x C2
3,5 mL x 20mg/mL = 1003,5 mL x C2
C2 = 0.069 mg/mL

konsentrasi Etoposide dalam pelarut NaCl 0,9% adalah 0.069 mg/mL


- Vincristin 1,8 mg
Dosis : 1,8 mg
Sediaan : 1mg/mL tersedia dalam vial 2 mL (Pfizer Canada ULC, 2021)
Pelarut : 50 mL Normal Saline/NaCl 0,9% selama 10 menit (NHS, 2015)

Volume yang dibutuhkan : 1,8mg/1 mg x 1 mL = 1,8 mL


Jadi volume akhir campuran:
= Sodium Chloride 0.9% + Volume obat yang dibutuhkan
= 50 ml + 1,8 ml
= 51,8 ml
Jumlah vial yang dibutuhkan : 1,8 mL = 1 vial
Konsentrasi Vincristin dalam pelarut NaCL 0,9% 50 mL:
V1 x C1 = V2 x C2
1,8 mL x 1 mg/mL = 51,8 mL x C2
C2 = 0,035 mg/mL

konsentrasi Vincristin dalam pelarut NaCl 0,9% adalah 0,035 mg/mL


- Cyclophosphamide 1000 mg
Dosis : 1000 mg
Sediaan : 1000mg/vial (Baxter International Inc)
Pelarut : 50 mL Normal Saline/NaCl 0,9% selama 10 menit (ASHP)

Jumlah yang dibutuhkan : 1000 mg


Volume total = 50 mL (NaCl 50mL)
Konsentrasi Cyclophospamide dalam pelarut NaCL 0,9%
= 1000 mg/50 mL
= 20 mg/mL
konsentrasi Cyclophospamide dalam pelarut NaCl 0,9% adalah 20 mg/mL.
Cara preparasi
Pencampuran sediaan sitostatika :
(1) Proses penyiapan sediaan sitostatika sama dengan proses penyiapan pencampuran obat
suntik :
a. Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip 5
BENAR (benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian)
b. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomer batch,
tgl kadaluarsa), serta melengkapi form permintaan.
c. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak jelas/tidak
lengkap.
d. Menghitung kesesuaian dosis.
e. Memilih jenis pelarut yang sesuai.
f. Menghitung volume pelarut yang digunakan.
g. Membuat label obat berdasarkan: nama pasien, nomer rekam medis, ruang
perawatan, dosis, cara pemberian, kondisi penyimpanan, tanggal pembuatan, dan
tanggal kadaluarsa campuran.
h. Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomer rekam medis, ruang
perawatan, jumlah paket.
i. Melengkapi dokumen
j. Memasukkan alat kesehatan, label, dan obat-obatan yang akan dilakukan
pencampuran kedalam ruang steril melalui pass box.

(2) Proses pencampuran sediaan sitostatika:


(a) Memakai APD sesuai prosedur
(b) Mencuci tangan sesuai prosedur
(c) Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit
sebelum digunakan.
(d) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai prosedur
(e) Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan
sitostatika.
(f) Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas sediaan
sitostatika.
(g) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot
alkohol 70%.
(h) Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari pass box. 128
128
(i) Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan
dilarutkan di atas meja BSC.
(j) Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara aseptik.
(k) Memberi label yang sesuai pada setiap infus dan spuit yang
sudah berisi sediaan sitostatika.
(l) Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil untuk
obat-obat yang harus terlindung cahaya.
(m) Membuang semua bekas pencampuran obat kedalam wadah
pembuangan khusus.
(n) Memasukan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan
sitostatika ke dalam wadah untuk pengiriman.
(o) Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi
sediaan jadi melalui pass box.
(p) Menanggalkan APD sesuai prosedur

3. Hitunglah kecepatan infus obat tersebut!


Kecepatan Infus Etoposide (kebutuhan cairan 1003,5 mL)

= 334,5 tetes/menit

Kecepatan Infus Vincristin (kebutuhan cairan 51,8 mL)

= 103,6 tetes/menit

Kecepatan Infus Cyclophospamide (kebutuhan cairan 50 mL)

= 100 tetes/menit
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health-System Pharmacist. 2008. ASHP Discussion Guide for


CompoundingSterilPreparations.http://www.ashp.org/_s_ashp/docs/files_797g
uide.pdf. Diakses tanggal 10 November 2021 pukul 20.00 WIB.

ASHP Injectable Drug Information. Cyclophosphamide. Hal. 423


Baxter International Inc, HIGHLIGHTS OF PRESCRIBING INFORMATION.
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2013/012141s090,0121
42s112lbl.pdf. Diakses pd tanggal : 10 November 2021

Depkes RI. 2009. Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan
Sitostatiska.

DiPiro C.V., 2015, Oncologic Disorders : Breast Cancer dalam Wells B.G., DiPiro.
J.T., Schwinghammer T.L., Pharmacotherapy Handbook 9th edition.

Kemenkes RI. 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Lymphoma Non Hodgkin treatment. National Cancer Institute (NCI). 2008.

NHS. 2015. Chemotherapy Protocol Lymphoma Cyclophosphamide-Etoposide-


Prednisolone-Vincristine (Ceop). Version 1.2. Hal. 7.

PERHOMPEDIN. Panduan Tata Laksana PERHOMPEDIN: Penatalaksanaan


Limfoma Non Hodgkin. November 2010

Pfizer Canada ULC, PRODUCT MONOGRAPH Pr Vincristine Sulfate Injection USP


1 mg/mL THERAPEUTIC CLASSIFICATION, 2021
Pramana, Ida Bagus Putra, Lukman Hakim, and Wahjoe Djatisoesanto. "Faktor
Prediktor Kegagalan Kemoterapi Bleomycin, Etoposide dan Cisplatin Pada
Pasien Dengan Seminoma Testis Penelitian Kohort Retrospektif." Journal
Medika Udayana 8.6 (2019): 1-10.

Surahman E, Mandalas E, Kardinah, Endah I. 2008. Evaluasi Penggunaan Sediaan


Farmasi Intravena Untuk Penyakit Infeksi Pada Salah Satu Rumah Sakit
Swasta di Kota Bandung. Bandung: Majalah IlmuKefarmasian, Vol V, No.1,
April 2008, 21 – 39.

Anda mungkin juga menyukai