Anda di halaman 1dari 38

Case Report

DM Tipe 2 + Hipoglikemia
Dipresentasikan pada tanggal: 24 januari 2023

Disusun oleh:

dr.Irwan purba

Pembimbing:

dr. Rima sari purnama Sp.PD

Program internsip

RSUD RONDAHAIM Batu XX

SIMALUNGUN

2023
Lembar Pengesahan
DM Tipe 2 + Hipoglikemia

Disusun oleh:

dr.Irwan purba

Pendamping

dr. Ruth Imelda siagian, M.K.M

Program internsip

RSUD RONDAHAIM Batu XX

SIMALUNGUN

2
2023

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................ 2
BAB I..................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN....................................................................................................................... 3
BAB II.................................................................................................................................... 5
LAPORAN KASUS............................................................................................................ 5
2.1 Anamnesis........................................................................................................................... 5
2.2 Pemeriksaan Fisik............................................................................................................. 6
2.3 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................. 9
2.4 Diagnosis......................................................................................................................... 10
2.5 Prognosis......................................................................................................................... 10
2.6 Follow Up......................................................................................................................... 10
BAB III................................................................................................................................ 14
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................... 14
3.1 Definisi dan Klasifikasi Hipoglikemi.......................................................................... 14
3.2 Penyebab Hipoglikemia................................................................................................. 15
3.3 Faktor Resiko.................................................................................................................. 15
3.3 Patogenesis....................................................................................................................... 18
3.4 Tanda dan Gejala........................................................................................................... 23
3.5 Manajemen Hipoglikemia............................................................................................. 23
BAB IV................................................................................................................................ 26
ANALISA KASUS DAN PEMBAHASAN.......................................................................... 26
BAB III................................................................................................................................ 35
KESIMPULAN......................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 36

3
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang sifatnya
bisa dicegah namun tidak dapat disembuhkan. Penyakit ini mengenai hampir 16
juta orang di U.S dan lebih dari 125 juta orang di seluruh dunia. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang
berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta adalah diabetesi. Prevalensi diabetes
melitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%.

DM sendiri memiliki berbagai komplikasi dalam perjalanan penyakitnya.


Menurut klasifikasinya komplikasi yang mungkin terjadi ialah akut dan kronik,
dimana komplikasi akut yang dapat terjadi ialah hiperglikemia dan hipoglikemia.
Komplikasi kronik yang mungkin dapat terjadi ialah terbagi atas mikro dan
makroangiopati.

Insidensi hipoglikemi yang dilaporkan bervariasi di setiap penelitian. Secara


umum, pasien dengan DMT1 yang menggunakan terapi insulin rata-rata memiliki
episode hipoglikemi asimptomatik per minggu, dan pasien yang menggunakan
terapi insulin intensif rata-rata mengalami 2 kali episode hipoglikemia per
minggu. Sehingga, selama lebih dari 40 tahun penelitian pada pasien DMT1, rata-
rata mengalami 2000-4000 episode hipoglikemi asimptomatik.

Pasien dengan diabetes tipe 2 secara umum lebih jarang mengalami episode
hipoglikemi berat dibandingkan pasien diabetes tipe 1. Studi UKPSD dan
Kumamoto mendemostrasikan insidensi hipoglikemi berat yang lebih rendah pada
pasien DMT2 dengan terapi insulin dibandingkan dengan penelitian oleh DCCT
mengneai penggunaan insulin pada DMT1 dengan control glikemik yang hampir
sama. Pada UKPDS, yang meneliti 676 pasien DMT2 dengan terapi insulin
selama 3 tahun, mengalami 0.83 episode hipoglikemia per 100 pasien per tahun.
pada studi Kumamoto, meneliti 52 pasien DMT2 dengan terapi insulin selama 6

4
tahun, tidak melaporkan adanya episode hipoglikemi berat. Bagaimanapun juga,
sebuah studi retrospektif yang membandingkan insidensi hipoglikemi berat pada
104 pasien DMT1 dengan terapi insulin dengan rata-rata 104 pasien DMT1
terkontrol, menyimpulkan insidensi hipoglikemi berat yang hampir sama
(Epidemiology of Hypoglikemia, 2011).

Studi lanjut menemukan insidensi hipoglikemi kondisi gawat pada pasien


DMT2 dengan terapi insulin sama dengan pada pasien DMT1. Pada pasien DMT2
dengan terapi sulfoniurea, angka kejadian hipoglikemi berat dilaporkan sebanyak
1.5 episode per 100 pasien. Frekuensi ini meningkat dengan potensi dan durasi
sulfonylurea, lebih besar resikonya terjadi pada sulfonylurea generasi kedua,
glimepiride, glyburide, dan glipizide rata-rata 4-6% (Epidemiology of
Hypoglikemia, 2011).

5
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 20 september 2022 dan anamnesis dilakukan
secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 5 oktober 2022.

Identitas
Nama : Tn.S hutajulu
Umur : 54 tahun
Alamat : P.raya
Agama : kristen
Status : Menikah
Suku : Batak
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : petani

Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak bisa dibangunkan dari
tidurnya. Sebelum tidur pasien mengkonsumsi obat anti diabetes. Hal serupa juga
terjadi 1 hari sebelum masuk rumah sakit, namun saat itu pasien masih bisa
dibangunkan walaupun dalam kondisi bicara meracau dan badan lemas. Pasien
tampak berkeringat dingin dan gemetar saat memegang benda. Saat itu juga
pasien mengeluhkan nyeri pada perut bagian atas dan merasa ada benjolan pada
perut bagian atasnya dan sakit saat bergerak.

6
Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami penurunan
nafsu makan namun pasien tetap mengkonsumsi obat anti diabetesnya seperti
biasa. Terdapat pembengkakan pada kedua tungkai pasien sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit, namun pasien tidak memeriksakan kondisinya ke
dokter. Buang air besar dalam batas normal, buang air kecil sedikit-sedikit namun
sering
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri ulu
hati disertai mual terkadang muntah. Keluhan berkurang jika pasien makan, dan
meminum obar-obatan yang dibelinya di warung.
Pasien juga mengatakan bahwa sering susah sembuh pada beberapa luka
pada tubuhnya. Sekitar 5 tahun yll, jari kelingking kaki kanan pernah terluka
hingga bernanah, namun pasien hanya mengobatinya dengan obat-obatan
kampung, akibatnya, jari kelingking yang luka tersebut putus dengan sendirinya.
Sejak 10 tahun yang lalu, pasien menderita kencing manis. Hal tersebut
diketahui saat pasien memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering
buang air kecil saat malam dan penurunan berat badan. Pasien rutin
memeriksaakan dirinya di puskesmas, rutin meminum obat anti diabetes, namun
tidak mengontrol pola makannya. Obat yang biasa diminum ialah glibenklamid
3x1 tablet dan metformin 1x1 tablet.

Riwayat Penyakit Dahulu


A. Riwayat Hipertensi sejak 5 tahun terakhir
B. Tidak terdapat riwayat penyakit jantung dan ginjal

Riwayat Penyakit Keluarga


C. Bapak pasien menderita diabetes melitus, saat ini sudah meninggal.

2.2 Pemeriksaan Fisik

Status generalis
Keadaan umum : sakit sedang

7
Kesadaran : composmentis, E4V5M6
BB : 65 Kg, TB : 150 cm
Tanda vital
D. Tekanan darah: 190/100 mmHg
E. Nadi: 108 x/menit reguler, equal, isi cukup
F. Respiratory rate: 28 x/menit
G. Temperatur: 36,6 0C

Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema periorbita (-/-), sianosis (-),
fetor hepatikum (-), fetor uremikum (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea
(-), peningkatan JVP (-).
Thoraks
Pulmo:
H. Inspeksi : bentuk dan gerakan simetris, retraksi interkosta (-), spider nevi
(-), rambut aksila (+), venektasi (-)
I. Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
J. Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
K. Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
L. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
M. Palpasi : ictus cordis tidak teraba
N. Perkusi : batas jantung kanan ICS IV parasternal line dekstra
batas jantung kiri ICS VI midclavicular line sinistra
O. Auskultasi : S1, S2 tunggal, regular, suara tambahan (-)
Abdomen
P. Inspeksi : cembung, caput medusae (-), vena paraumbilikalis (-)
Q. Palpasi : distensi (-), nyeri tekan (-) pada semua kuadran, massa (-),
organomegali (-), defans muscular (-)
R. Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
S. Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit di atas hepar (-)

8
Ekstremitas
Akral hangat, eritema palmaris (-), leukonikia (-), hepatic flapping (-), clubbing
finger (-)
edema
- -

+ +

9
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
03/10/2022 04/10/2022 05/102022 06/10/2022 07/10/2022
Leukosit 10.200 7.500 6.300
Hb 10.4 8.9 8.2
Ht 31.5 26.9 23.9
Plt 370.000 321.000 349.000
LED 90 55
GDS 58 / 289 62 119 89 105
GDP
GD2PP
HBA1C 10.7
SGOT 16 13 13
SGPT 15 10 9
ALP
Bil Total 0.3 0.2 0.2
Bil direk 0.1 0.1 0.1
Bil indir 0.2 0.1 0.1
Prot Tot 5.7 5.8 9.8
Albumin 2.0 2.5 2.5
Globulin 3.7 2.6 3.3
Kolesterol 244 243
TG
HDL
LDL
As. Urat 5.6 7.5 7.5
Ureum 60.4 66.3 62.5 65.1
Kreatinin 1.2 1.6 1,3 1.7
Natrium 140 139 135
Kalium 6.3 5.7 5.3
Klorida 116 115 112

10
2.4 Diagnosis
 Diagnosis IGD : Hipoglikemia + HT stage II + Hiperkalemia
 Diagnosis akhir : DM Tipe 2 dengan komplikasi hipoglikemia (terkoreksi)
dan sup.nefropati DM; HT stage II

2.5 Prognosis
T. Vitam : Dubia ad bonam
U. Functionam : Dubia ad bonam
V. Sanationam : Dubia ad bonam

2.6 Follow Up
Hari/
Evaluasi Terapi
Tanggal
S:  Jam 19.30  D5% diganti
03/10/202 O: Jam 19.30  GDS stick 366 Nacl 0,9% 20 tpm
2 Jam 21.30  GDS stick 103  Jam 21.30  D5% dipasang
A: Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT lagi 20 tpm
stage II + Hiperkalemia + AKI

04/10/202 S: lemas, batuk kering, ketika batuk dada  IVFD D5% 20 tpm
2 terasa sakit  Amlodipin 1x10 mg
08.00 O: Compos mentis, TD: 180/80 mmHg,  Cek GDS / 6 jam, apabila
(GDS: N: 87 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,8 C
0
<80, bolus D40% 2 fl
140) Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),  Cek ulang elektrolit
10.00 S1S2 tunggal reguler, NT (-), distensi
(GDS: abdomen (+), BU (+), edema - -
119)
+ +
16.00 A: Observasi Hipoglikemia +
(GDS: DMT 2 + HT stage II +
111) Hiperkalemia + AKI

11
22.00
(GDS: 76)
 bolus
D40% 2 fl
00.30
(GDS:
124)
05/10/202 S: lemas, batuk kering  IVFD D5% 20 tpm
2 O: Compos mentis, TD: 170/80 mmHg,  Amlodipin 1x10 mg
10.00 N: 82 x/’, RR: 22 x/’, T: 36,7 C
0
 Cek GDS/ 6 jam
(GDS: Anemis (-), ikterik (-) di seluruh tubuh, Rh  Tunggu hasil elektrolit
214) (-/-), Wh (-/-), S1S2 tunggal reguler,
16.00 organomegali (-), shifting dullnes (-), fluid
(GDS: wave (-), NTE (-), pitting odema tungkai
245) (+/+) Co. Dr.jaga hasil elektrolit :
19.00 A: Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT observasi
Na : 134 stage II + AKI
K : 5.8
Cl : 112
06/10/202 S:  IVFD D5% 20 tpm
2 O: 06.00  GDS : 115  Amlodipin 1x10 mg
13.00  GDS : 115
18.00  GDS : 113
A: Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT
stage II + AKI
07/10/202 S: Batuk, lemas, mual (-), muntah (-), BAB  IVFD D5% 20 tpm
2 (dbn), BAK (dbn)  Amlodipin 1x10 mg
06.00 O: Compos mentis, TD: 160/80 mmHg,  Cek GDS tiap jam
(GDS N: 83 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,3 C
0

stick: 77) Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),


19.00 S1S2 tunggal reguler, organomegali (-),

12
(GDS: asites (-), NTE (+), pitting odema tungkai Co. dr.jaga, advice : D5% ganti
229) (+/+) Nacl 0,9% 20 tpm
A: Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT
stage II + AKI
08/10/202 S: Batuk, dahak (+), lemas, mual (-), muntah  IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
2 (-)  Amlodidpin 1x10 mg
GDS : 126 O: Compos mentis, TD: 150/80 mmHg,  Cek GDS tiap jam
N: 85 x/’, RR: 22 x/’, T: 36,1 C
0
 Nac 3x1
Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting
odema tungkai (+/+)
A: Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT
stage II + AKI
09/10/202 S : Batuk (+), lemas, mual (-), muntah (-)  Nacl 0,9 % 20 tpm  D5%
2 O : Compos mentis, TD: 160/70 mmHg, 20 tpm
GDS : 58 N: 85 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,1 C
0
 Amlodipin 1x10 mg
Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),  Nac 3x1
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting
odema tungkai (+/+)
A : Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 +
HT stage II + AKI
10/10/202 S : Batuk (+), lemas, mual (-), muntah (-)  D5% 20 tpm  Nacl 0,9%
2 O : Compos mentis, TD: 150/80 mmHg, 20 tpm
GDS : 120 N: 84 x/’, RR: 24 x/’, T: 36,5 0C  Amlodipin 1x10 mg
Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),  Nac 3x1
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting
odema tungkai (+/+)
A : Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 +
HT stage II + AKI
11/10/202 S : Batuk (<<), lemas, mual (-), muntah (-)  Nacl 0,9% 20 tpm
2

13
GDS : 126 O : Compos mentis, TD: 140/80 mmHg,  Amlodipin 1x10 mg
N: 83 x/’, RR: 24 x/’, T: 36,1 0C  Nac 3x1
Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),  Pasien boleh pulang
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting
odema tungkai (+/+)
A : Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT
stage II + Hiperkalemia + AKI
Diagnosa Akhir : DM Tipe 2 dengan
komplikasi hipoglikemia (terkoreksi) dan
sup.nefropati DM; HT stage II

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Klasifikasi Hipoglikemi


Definisi hipoglikemi menurut American Diabetes Association (ADA) segala
episod dimana terdapat ketidaknormalan konsentrasi glukosa dalam plasma pada
individu dan menyebabkan gangguan potensial. Nilai ambang glikemik bersifat
dinamis dan tidak sama dalam reaksi respon, maka cukup sulit untuk menentukan
nilai konsetrasi glukosa secara spesifik sampai dapat memberikan gejala. Hal ini
menyebabkan ADA merekomendasikan kepada pasien DM dengan terapi yang
berhubungan dengan insulin untuk memonitor dirinya akan resiko hipoglikemi
dengan konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L). Hal ini tidak
kemudian menjadi indikasi penderita untuk memberikan terapi pada dirinya
sendiri ketika konsentrasi glukosa plasmanya ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L),
melainkan lebih waspada akan tanda dan gejala hipoglikemia, mengukur ulang
konsentrasi glukosa dalam rentang waktu tertentu serta menghindari beberapa
pekerjaan seperti menyetir, kemudian hipoglikemi dapat dicegah dengan
mengkonsumsi karbohidrat atau gula per oral (Cryer, 2011).

Klasifikasi kejadian hipoglikemi menurut ADA ialah sebagai berikut.

Severe hypoglycemia Kondisi di mana membutuhkan bantuan dari


orang lain untuk memberikan tambahan
karbohidrat, glukagon, atau aksi resusitasi
lain. Perubahan konsentrasi glukosa plasma
mungkin tidak terjadi, tetapi terdapat
perubahan neurologis setelah terapi
hipoglikemi diberikan.

Documented severe Kondisi dimana terdapat gejala tipikal


hypoglycemia hipoglikemi yang berhubungn dengan nilai
konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤
3.9 mmol/L).

Asymptomatic hypoglycemia Kondisi dimana tidak terdapat gejala tipikal


hipoglikemi tetapi nilai konsentrasi glukosa

15
plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).

Propable symptomatic Kondisi dimana terdapat gejala tipikal


hypoglicemia hipoglikemi namun tidak berhubungan
keadaan glukosa tetapi dicurigai disebabkan
oleh nilai konsentrasi glukosa plasma ≤ 70
mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).

Relative hypoglycemia Keadaan di mana seseorang dengan diabetes


mengalami gejala tipikal hipoglikemi namun
konsentrasi glukosa plasma >70 mg/dL (>3.9
mmol/L).

3.2 Penyebab Hipoglikemia


Sebagian besar penyebab hipoglikemia ialah penderita DM dengan terapi
insulin atau sulfonylurea (hipoglikemia iatrogenik), tetapi juga terdapat penyebab
hipoglikemia pada pasien non-DM seperti pankereatitis atau sel tumor non-islet,
autoimun, kegagalan organ, penyakit endokrin, kelainan metabolisme dari lahir,
toksin dari makanan, dan lain-lain (sepsis, kelaparan, kegiatan yang sangat
berlebihan) (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).

3.3 Faktor Resiko


Beberapa faktor dapat meningkatkan resiko terjadikan hipoglikemia pada
pasien DM dengan terapi insulin, salah satunya ialah gangguan kecemasan. Angka
kejadian hipoglikemia dengan gangguan kecemasan 9 kali lebih tinggi
dibandingkan hipoglikemia dengan episode normal dari kecemasan. Usia muda
juga merupakan factor resiko terjadinya hipoglikemi berhubungan dengan
kurangnya pemahaman mengenai tanda dan gejala dari hipoglikemia, sedangkan
pada orang tua juga dapat terjadi akibat factor penuaan sehingga kurang
memahami tanda dan gejala hipoglikemia. Pencegahan terhadap hipoglikemia
berat dipengaruhi oleh pengawasan orang tua atau pengasuh penderita DM
terhadap intake makanan, dosis insulin, dan pengaturan latihan atau kegiatan
penderita. Lamanya penyakit yang diderita dan pernah mengalami episode
hipoglikemia berat juga merupakan faktor resiko dari kejadian hipoglikemi
(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic

16
approach, 2011).

17
18
3.3 Patogenesis
Fisiologi Glukosa counterregulatory dan Patofisiologi dalam Diabetes

Pertahanan fisiologis terhadap penurunan konsentrasi plasma glukosa, pada


individu nondiabetes, termasuk penurunan dalam sekresi insulin, yang terjadi
sebagai penurunan kadar glukosa dalam kisaran fisiologis dan peningkatan
produksi glukosa hati (dan ginjal), dan kenaikan dalam glukagon dan sekresi

19
epinefrin, yang terjadi sebagai kadar glukosa jatuh tepat di bawah kisaran
fisiologis dan merangsang produksi glukosa hepatik (Gambar 1). Peningkatan
level epinefrin juga secara normal memobilosasi precursor glukonegenesis dari
otot dan lemak, merangsang produksi glukosa ginjal, dan membatasi penggunaan
glukosa oleh otot dan lemak, dan membatasi seresi insulin. Pertahanan perilaku
terhadap penurunan konsentrasi plasma glukosa adalah penggunaan karbohidrat
sebagai persepsi neurogenik (otonom) dengan gejala (misalnya, palpitasi, tremor
dan kecemasan/gairah yang dimediasi katekolamin-dimediasi atau adrenergik dan
berkeringat, kelaparan dan parestesia yang dimediasi asetilkolin atau kolinergik)
(Gambar 1). Ini adalah sebagian besar berasal dari saraf simpatik, bukan
adrenomedullary. Sejauh mana gejala neuroglycopenic ringan seperti perubahan
kesadaran, pemikiran atau perubahan psikomotor masih belum jelas, kesadaran
hipoglikemia sebagian besar dicegah dengan antagonisme farmakologis sesuai
gejala neurogenic. Gejala neuroglycopenic parah termasuk kebingungan, kejang
dan kehilangan kesadaran. Semua pertahanan, bukan hanya sekresi insulin,
terdapat pada DMT1 dan DMT2 lanjut (Cryer, 2011).

20
Patofisiologi

Pada diabetes, hipoglikemi timbul akibat penggunaan kombinasi relative


atau absolut insulin dan gangguan pertahanan fisiologis dalam mempertahankan
penurunan glukosa plasma. Pengaturan kadar glukosa yang merupakan
mekanisme pertahanan yang mencegah atau menyeimbangkan kejadian
hipoglikemia mengalami gangguan pada pasien diabetes tipe 1 dan pasien
diabetes tipe 2 tahap lanjut. Dengan demikian, regulasi glukosa tersebut
digunakan sebagai respon terhadap hipoglikemia pada keadaan kekurangan
insulin endogen sehingga terwujud sebagai penurunan tingkat insulin dan
meningkatkan kadar glukagon disertai dengan penekanan peningkatan epinefrin.
Gangguan respons autonomic (adrenomedullar dan neuron simpatetik) dikaitkan
dengan presentasi klinis diamati dari ketidaksadaran hipoglikemia. Selanjutnya,
hal ini menyatakan bahwa respon sympathoadrenal berkurang (konsep
hipoglikemia-terkait kegagalan otonom) yang disebabkan oleh hipoglikemia yang

21
terakhir, mengakibatkan gangguan glukosa kontra-regulasi dan ketidaksadaran
akibat hipoglikemia yang muncul sebagai siklus berulang hipoglikemi (Cryer,
2011).

Episode terapi hiperinsulinemi, akibat tidak teraturnya distribusi endogen


(terapi insulin secretagogue) atau eksogen (terapi insulin) insulin ke dalam
sirkulasi, memulai urutan yang mungkin, atau tidak mungkin, berujung dalam
sebuah episode hipoglikemi. Kelebijhan terapi insulin absolut menyebabkan
episode hipoglikemia terisolasi meskipun pertahanan counterregulatory glukosa
utuh terhadap hipoglikemi (Gambar 2). Tapi, itu merupakan peristiwa biasa.
Hipoglikemia iatrogenik biasanya merupakan hasil dari interaksi ringan-sedang
kelebihan absolut atau relatif (ketersediaan glukosa rendah) terapi insulin dan
pertahanan fisiologis dan perilaku akibat penurunan konsentrasi plasma glukosa
pada DMT1 dan T2DM. Dalam T1DM, dikarenakan kegagalan fugsi β-sel insulin
tidak menurun sebagai respon kadar glukosa turun; pertahanan fisiologis pertama
hilang. Selain itu, tingkat glukagon tidak meningkat pada penurunan kadar
glukosa, pertahanan fisiologis kedua hilang. Itu pun masuk akal sebagai kegagalan
β-sel jika terjadi penurunan sekresi β-sel, ditambah dengan konsentrasi α-sel
glukosa yang rendah, yang secara normal memberi sinyal sekresi α-sel. Akhirnya,
peningkatan kadar epinefrin sebagai akibat penurunan kadar glukosa pun ditekan,
pertahanan fisiologis ketiga dikompromikan (The Endocrine Society, 2009).

Meskipun sering disebabkan oleh kejadian hipoglikemia yg baru atau


didahului dengan latihan atau tidur, mekanisme ditekannya respon
sympathoadrenal penurunan kadar glukosa darah tidak diketahui. Meskipun
demikian, penekanan respon epinefrin adalah penanda penurunan respon saraf
simpatis dan yang terakhir sebagian besar menghasilkan pengurangan gejala
hipoglikemi menyebabkan ketidaksadaran hipoglikemia (atau gangguan kesadaran
hipoglikemia) dan dengan demikian kehilangan pertahanan perilaku, konsumsi
karbohidrat. Dalam pengaturan terapi hiperinsulinemia, penurunan konsentrasi
plasma glukosa, gagalnya penurunan insulin, dan gagalnya peningkatan glukagon,
penekanan peningkatan epinefrin menyebabkan sindrom klinis cacat glukosa

22
counterregulation glukosa dikaitkan dengan peningkatan risiko 25 kali lipat atau
lebih besar hipoglikemia iatrogenic. Penekanan sympathoadrenal, khususnya
penekanan saraf simaptik, menyebabkan sindrom klinis ketidaksadaran
hipoglikemia yang dikaitkan dengan risiko 6 kali lipat dari hipoglikemia
iatrogenic. Patofisiologi glukosa counterregulation adalah sama di T1DM dan
T2DM meskipun dengan paruh waktu, berbed. β-sel gagal, dan karena itu
kehilangan respon insulin dan konsentrasi glukagon menyebabkan penurunan
kadar plasma glukosa, berkembang pada awal T1DM tetapi lebih secara bertahap
di T2DM. Dengan demikian, rusaknya pengaturan glukosa counterregulation –
gagalnya gagalnya peningkatan glukagon - berkembang pada awal T1DM dan
kemudian di T2DM dan itu dan ketidaksadaran hipoglikemia, dan dengan
demikian hipoglikemia iatrogenik, menjadi masalah umum di awal T1DM dan
kemudian di T2DM. Konsep hipoglikemia-terkait kegagalan otonom (HAAF)
pada diabetes (Gambar 2) menyebutkan bahwa hipoglikemia yang baru, begitu
juga saat latihan sebelumnya atau tidur, menyebabkan baik counterregulation
glukosa rusak (dengan mengurangi kenaikan di epinefrin dalam pengaturan
kegagalan penurunan di insulin dan kegagalan peningkatan glukagon selama
hipoglikemia berikutnya) dan ketidaksadaran hipoglikemia (dengan mengurangi
sympathoadrenal dan dihasilkan respon gejala hipoglikemia neurogenik selama
berikutnya) dan, karena itu, tercipta lingkaran setan pada hipoglikemia berulang.
Mungkin dukungan yang paling menarik untuk konsep Mekanisme dari
penekanan respon sympathoadrenal terhadap penurunan kadar glukosa darah, fitur
kunci dari HAAF, tidak diketahui. Ini harus melibatkan sistem saraf pusat atau
komponen aferen eferen dari sistem sympathoadrenal. Teori meliputi peningkatan
darah-ke-otak pengangkutan bahan bakar metabolisme, efek dari mediator
sistemik seperti kortisol pada otak, mekanisme hipotalamus diubah dan aktivasi
dari jaringan otak penghambatan dimediasi melalui thalamus (The Endocrine
Society, 2009).

23
3.4 Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis dari hipoglikemi berat tampak sebagai gejala-gejala yang
berhubungan dengan aktivasi simpatoadrenal dan neuroglikopenia. Aktivasi
simpatoadrenal tampak sebagai gejala berkeringat, takikardi, takipnea, kecemasan,
gemetar, dan mual. Gejala neuroglikopenia meliputi perubahan penglihatan, lelah,
pusing, sakit kepala, perubahan kesadaran, perubahan status mental, kejang,
koma, hingga menyebabkan kematian (Rutecki, 2011).

Berdasarkan Eckman&Golden, terdapat trias yang menjadi tanda dan gejala


hipoglikemi yang dikenal sebagai trias Whipple. Trias Whipple ialah gejala
muncul dan konsisten dalam keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa
plasma rendah, dan terdapat perbaikan klinis ketika konsentrasi glukosa plasma
dinaikkan (Eckman & Golden, 2011).

3.5 Manajemen Hipoglikemia


Penanganan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan hipoglikemia
itu sendiri. Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah ditangani yaitu
dengan intake oral karbohidrat aksi cepat seperti minuman glukosa, tablet, atau
makanan ringan. Hipoglikemia derajat berat memerlukan tindakan segera dan
khusus (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).

Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada
pasien penurunan kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan
cairan dekstrosa secara intra vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi
dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada pasien dewasa, sementara dekstrosa
dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi pada pasien anak. Perlu
diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan nekrosis
jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu,
cairan tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten (Treatment of severe
diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).

24
Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien
hipoglikemi dengan terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama
pengatur insulin. Tidak seperti dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan
atau intra muskular. Hal ini menjadi penting karena glucagon dapat dijadikan
pilihan terapi selagi menunggu paramedic datang untuk memberikan dekstrosa
(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic
approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam
menyediakan kembali glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta
sifatnya aman dalam penanganan hipoglikemia berat baik diberikan secara intra
vena, subkutan, ataupun intra muskular. Glukagon yang diberikan secara
parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan riwayat hipoglikemia
berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa diberikan pada pasien
hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.

Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan


glikogenolisis maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon pada pasien
DM tipe 2 dengan terapi insulin atau dengan komplikasi tertentu. Glukagon sangat
tidak disarankan diberikan secara infus intra vena atau dengan pasien yang
menggunakan sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih baik diberikan glukosa
secara bolus kemudian diikuti dengan infus hingga efek dari sulfonilurea telah
habis.

Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap


penggunaan glucagon dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah
dilaporkan sangat jarang membahas tentang kejadian mual dan muntah tersebut,
selain itu mual dan muntah tetap akan dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan
glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi alergi setelah pemberian glukagon,
namun hal ini biasanya terjadi apabila glukagon diberikan sebagai terapi selain

25
untuk hipoglikemia (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).

Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni

Stadium permulaan (sadar)

1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen gula
murni (bukan pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula diabetes) dan
makanan yang mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
5. Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga

hipoglikemia)

1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap
2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%

26
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap
4 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6
jam :

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis


insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM
(bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap
6 jam dan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain
kesadaran menurun.

27
BAB IV

ANALISA KASUS DAN PEMBAHASAN

Diagnosis : Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI

 Anamnesis
Fakta Teori
Didapatkan keluhan pada pasien Manifestasi klinis Hipoglikemia:
sebagai berikut: Aktivasi simpatoadrenal 
Penurunan kesadaran berkeringat, takikardi, takipnea,
Badan lemas kecemasan, gemetar, dan mual.
Berkeringat Gejala neuroglikopenia  perubahan
Gemetar saat memegang bedna penglihatan, lelah, pusing, sakit kepala,
Penurunan nafsu makan perubahan kesadaran, perubahan status
Konsumsi OAD glibenklamid mental, kejang, koma, hingga
Luka sulit sembuh kematian.
istri pasien meninggal 3 tahun yll. Trias Whipple ialah gejala muncul dan
Belum mempunyai anak konsisten dalam keadaan hipoglikemia,
Tipe tertutup. nilai konsentrasi glukosa plasma
Menderita DM selama 10 tahun. rendah, dan terdapat perbaikan klinis
ketika konsentrasi glukosa plasma
Riwayat: dinaikkan.
 Riwayat Hipertensi sejak 5 Faktor Resiko
tahun terakhir Pasien DM dengan terapi insulin
 Tidak terdapat riwayat penyakit Gangguan kecemasan.
jantung dan ginjal Kurangnya pemahaman penggunaan
insulin atau OAD serta gejala
hipoglikemi.
Lamanya penyakit yang diderita

28
Penggunaan insulin & OAD golongan
insulin secretouge
Penyakit kritis  gangguan hati,
gangguan ginjal

Analisis
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien adalah laki laki berusia 54 tahun
berpendidikan tamat SMP sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak
bisa dibangunkan dari tidurnya. Sebelum tidur pasien mengkonsumsi obat anti
diabetes. Hal serupa juga terjadi 1 hari sebelum masuk rumah sakit, namun saat
itu pasien masih bisa dibangunkan walaupun dalam kondisi bicara meracau dan
badan lemas. Pasien tampak berkeringat dingin dan gemetar saat memegang
benda.
Sejak 10 tahun yang lalu, pasien menderita kencing manis. Hal tersebut
diketahui saat pasien memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering
buang air kecil saat malam dan penurunan berat badan. Pasien rutin
memeriksaakan dirinya di puskesmas, rutin meminum obat anti diabetes, namun
tidak mengontrol pola makannya. Obat yang biasa diminum ialah glibenklamid
3x1 tablet dan metformin 1x1 tablet.
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri ulu
hati disertai mual terkadang muntah. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengalami penurunan nafsu makan namun pasien tetap mengkonsumsi
obat anti diabetesnya seperti biasa. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit pada
perut bagian atas terdapat benjolan keras dan nyeri jika bergerak.
Terdapat pembengkakan pada kedua tungkai pasien sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit, namun pasien tidak memeriksaakan kondisinya ke dokter.
Buang air besar dalam batas normal, buang air kecil sedikit-sedikit namun sering.
Pasien juga mengatakan bahwa sering susah sembuh pada beberapa luka
pada tubuhnya. Jari kelingking kaki kanan pernah terluka hingga bernanah, namun
pasien hanya mengobatinya dengan obat-obatan kampung, akibatnya, jari
kelingking yang luka tersebut putus dengan sendirinya.

29
Pasien sudah menikah, namun istri pasien meninggal sekitar 3 tahun yang
lalu. Pasien belum mempunyai anak. Pasien merupakan anak bungsu dalam
keluarganya dengan tipe yang tertutup dan tidak banyak bercerita.
Berdasarkan teori pada umumnya hipoglikemi terjadi pada pasien diabaetes
tipe 1 atau pasien diabetes tipe 2 lama dan pada umumnya menggunakan terapi
insulin. Selain menggunakan terapi insulin, penggunaan OAD tipe insulin
secretouge juga mempunyai resiko terjadinya hipoglikemi. Hipoglikemi juga bisa
terjadi pada pasien daengan gangguan ginjal, hepar, dan kecemasan sebagai
penyerta penyakit DM nya.
Gejala yang biasa timbul ialah badan lemas disertai gemetar dan keringat
dingin, gangguan orientasi, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran, kejang
hingga koma sampai kematian. Terdapat trias yang menggambarkan kejadian
hipoglikemi, yaitu trias whipple yang terdiri atas gejala muncul dan konsisten
dalam keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa plasma rendah, dan
terdapat perbaikan klinis ketika konsentrasi glukosa plasma dinaikkan. Hal ini
sesuai dengan teori yang ada dimana psien merupakan penderita diabetes selama
10 tahun, dan sedang mengkonsumsi OAD golongan sulfonylurea yaitu
glibenklamid. Faktor resiko lain juga terdapat pada pasien yaitu pendidikan yang
tidak cukup tinggi sehingga memungkinakan kurangnya pemahaman tentang efek
OAD dan gejala hipoglikemi, disertai kemungkinan adanya gangguan kecemasan
tentang kondisi sosialnya.

 Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Keadaan umum  Trias whipple:
 Awal  tidak sadar E1V2M2 D. gejala muncul dan konsisten
 Setelah pemberian D40% 3 flash  dalam keadaan hipoglikemia
E2V4M4 E. nilai konsentrasi glukosa
plasma rendah
Kepala/leher/thoraks F. terdapat perbaikan klinis ketika
konsentrasi glukosa plasma

30
Kepala/Leher dinaikkan
Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), edema periorbita (-/-),
sianosis (-), fetor hepatikum (-),
fetor uremikum (-), pembesaran
KGB (-), deviasi trakea (-),
peningkatan JVP (-).
Thoraks
Pulmo:
W. Inspeksi : bentuk dan gerakan
simetris, retraksi interkosta (-),
spider nevi (-), rambut aksila (+),
venektasi (-)
X. Palpasi : fremitus raba dekstra
= sinistra
Y. Perkusi : sonor di seluruh
lapangan paru
Z. Auskultasi : suara nafas vesikuler,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
AA. Inspeksi : ictus cordis tidak
tampak
BB. Palpasi : ictus cordis tidak
teraba
CC. Perkusi : batas jantung
kanan ICS IV parasternal line
dekstra
batas jantung kiri
ICS VI midclavicular line sinistra
DD. Auskultasi : S1, S2 tunggal,
regular, suara tambahan (-)

31
Abdomen
EE. Inspeksi : cembung, caput
medusae (-), vena paraumbilikalis
(-)
FF. Palpasi : distensi (-), nyeri
tekan (-) pada semua kuadran,
massa (-), organomegali (-),
defans muscular (-)
GG. Perkusi : timpani, shifting
dullness (-)
HH. Auskultasi : bising usus (+)
normal, bruit di atas hepar (-)
Ekstremitas
Akral hangat, eritema palmaris (-),
leukonikia (-), hepatic flapping (-),
clubbing finger
(-), edema - -

+ +

Analisis
Berdasarkan pemeriksaan fisik, sesuai dengan trias whipple yaitu terdapat
gejala-gejala hipoglikemai dan dibuktikan dengan nilai glukosa darah rendah serta
adanya perbaikan klinis setelah kadar glukosa membaik.

Pada pemriksaan fisik lain, terdapat pitting edema apda ekstremitas bawah
yang dimungkinakn akibat gangguan protein dan dapat disesuaikan dengan
pemeriksaan laboratorium.

C. Pemeriksaan Penunjang

Fakta Teori
Telah dilakukan pemeriksaan Hasil laboratorium pada

32
laboratorium berupa: hipoglikemia pada penderita DM:
Tes Fungsi Hati:  Penurunan kadar glukosa plasma
1. SGOT dan SGPT dibawah 60 mg/dL.
 SGOT normal  Kadar HbA1C >6,5
(16 U.I) dan SGPT
normal (15 U.I)
2. Bilirubin  normal
1. Bilirubin total : 0.3 mg/dl
2. Bilirubin direk : 0.1 mg/dl
3. Bilirubin indirek : 0.2 mg/dl
3. Albumin 
menurun (2.0)
4. Globulin  normal
(3.7)
5. Alkali fosfatase :
tidak diperiksa

Kimia Darah:
1. Asam Urat: 5.6 (normal)
2. GDS : 58  289
3. Ureum : 60.4
4. Kreatinin : 1,2
5. Natrium : 140
6. Kalium : 6.3
7. Klorida : 116
8. HbA1C 10.7

Darah lengkap:
Didapatkan:
9. Nilai Hb 10.4
10. Trombosit 370.000

33
11. Leukosit 10.200
12. Hematokrit 31.5

Analisis
Keadaan hipoglikemia pada pasien diabetes tergambar pada hasil
laboratorium yaitu penurunan kadar glukosa plasma <60 mg/dL. hal tersebut
ditemukan pada pasien laporan kasus, dimana kadar glukosa plasmaya ialah 58
mg/dL.

Diagnosis
Fakta Teori
Pada kasus ini, pasien tersebut memenuhi Trias whipple yaitu:
3 dari trias whipple yaitu: 6. Gejala muncul dan konsisten
1.Gejala muncul dan konsisten saat saat hipoglikemia
hipoglikemia 7. penurunan kadar glukosa
2. penurunan kadar glukosa plasma plasma
3.Terjadi perbaikan klinis setelah kadar 8. Terjadi perbaikan klinis setelah
glukosa dinaikkan kadar glukosa dinaikkan
Sehingga bisa didiagnosis sebagai
hipoglikemia

Analisis
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien memenuhi gambaran hipoglikemia pada diabetes
mellitus tipe 2. Hal ini dapat dibuktikan dari pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
disesuaikan dengan trias whipple.

34
E Penatalaksanaan
Fakta Teori

 IVFD D5% 20 tpm 1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok


makan) atau sirop atau permen gula murni
 Amlodipin 1x10 mg (bukan pemanis pengganti gula) atau gula
 Cek GDS/ jam diet atau gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
 Bolus D40% 2 fl jika GDs <80 2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200
mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
5. Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau


tidak sadar dan curiga hipoglikemia)

1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak


2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6
jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs),
kalau memungkinkan dengan glukometer:
a. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 50ml IV
b. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian
Dextrose 40%
a. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 50ml IV
b. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 25ml IV
c. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus
Dextrose 40%
d. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
menurunkan kecepatan drip Dextrose
10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali
berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila

35
GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau
NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali
berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4
jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila
GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau
NaCl 0,9%14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali
berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :
8. Bila hipoglikemia belum teratasi,
dipertimbangkan pemberian antagonis
insulin seperti adrenalin, kortison dosis
tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila
penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200
mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 12 jam atau Deksametason 10 mg
IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam.
Cari penyebab lain kesadaran menurun.

Analisis
Pemberian terapi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada.
Terapi penyakit lain diberikan sesuai dengan tanda klinis. Pemeriksaan GDS tetap
harus dilakukan secara rutin dengan mengamati gejala klinis untuk kepentingan
terapi pulang karena tidak jarang ada pasien hipoglikemia terdapat pelonjakan
nilai GDS, sehingga memerlukan terapi tambahan.

Prognosis
Prognosis pasien hipoglikemia yang disertai dengan sirosis sangat bervariasi
dipengaruhi sejumlah faktor meliputi tingkat keparahan dan kecepatan
penanganan penyakit.

36
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang


dilakukan pada pasien ini maka diagnosanya adalah Observasi hipoglikemia
dengan DM Tipe 2 tak terkontrol, hipertensi stage II dan AKI.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ialah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap dan kimia darah. Hasil pemeriksaan laboratorium
mendukung diagnosis yang ada.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang sudah sesuai.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien ditangani
dengan cepat, mendapatkan terapi yang tepat, dilakukan observasi klini
hipoglikemia, dan dukungan keluarga terhadap penyakitnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Cryer, P. E. (2011). Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Dipetik


January 8, 2012, dari Endotext.org: http://www.endotext.org/

2. Eckman, A., & Golden, S. (2011, March 2). Diabetes Guided - Trinidad
and Tobago. Dipetik January 8, 2012, dari John Hopkins Point of care
Information Technology: http://www.ttdiabetesguide.org/index.html

3. Epidemiology of Hypoglikemia. (2011, May). Dipetik January 8, 2012,


dari Diabates Treatments: http://diabetesmellitustreatments.com//

4. Rutecki, G. W. (2011, June 22). Recurrent Hypoglicemia: When


Diabaetes IS Not the Cause. Dipetik January 8, 2012, dari ConsultantLive:
http://www.consultantlive.com/

5. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology


and Metabolism. Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic
Disorders: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline , 18.

6. Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes


therapeutic approach. (2011, September 6). Dipetik January 8, 2012, dari
Dovepress open acces to scientific and medical research:
http://www.dovepress.com/diabetes-metabolic-syndrome-and-obesity-
targets-and-therapy-journal

7. Sastroasmoro S, Soegondo S, Rani A, editor. Hipoglikemia. Dalam :


Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta : RSUP
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. Hal : 5-8.
8. Rani AA, Soegondo S, Nasir AU, dkk, editor. Hipoglikemia. Dalam :
Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Jakarta : InternaPublishing. 2009. Hal 23-5.

38

Anda mungkin juga menyukai