Anda di halaman 1dari 37

POLRI DAERAH JAWA BARAT

BIDANG KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


RUMKIT BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH BANDUNG

LAPORAN KASUS
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
diajukan guna melengkapi tugas portofolio

Disusun oleh:
Putri Nisrina Hamdan
LAPORAN KASUS
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE 15 SEPTEMBER 2017–15 SEPTEMBER 2018
RUMKIT BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH BANDUNG

JUDUL : KETOASIDOSIS DIABETIKUM


PENYUSUN : PUTRI NISRINA HAMDAN

Bandung, Januari 2018


Menyetujui,
Pembimbing, Pendamping,

Rani Wahyoe Prasanti, dr., Sp.PD. Triana Hermeilasih, dr.


NRP. 66110545 NRP. 196805221997032003
DAFTAR ISI

POLRI DAERAH JAWA BARAT..............................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
BAB I LAPORAN KASUS.......................................................................................................2

1.1 Identitas pasien.................................................................................................................2


1.2 Anamnesis........................................................................................................................2
1.3 Primary Survey.................................................................................................................3
1.4 Pemeriksaan Fisik............................................................................................................4
1.5 Pemeriksaan penunjang....................................................................................................4
1.6 Diagnosis kerja.................................................................................................................7
1.7 Tatalaksana.......................................................................................................................7
1.8Follow up pasien...............................................................................................................8
1.9 Prognosis........................................................................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................11

2.1 Definisi Ketoasidosis Diabetikum..................................................................................11


2.2Epidemiologi...................................................................................................................11
2.3 Anatomi..........................................................................................................................12
2.4 Fisiologi..........................................................................................................................14
2.5 Etiologi dan Faktor Resiko Ketoasidosis Diabetikum...................................................17
2.6 Patofisiologi..................................................................................................................18
2.7 Gambaran Klinis............................................................................................................20
2.8 Kriteria diagnostik ulkus peptikum................................................................................21
2.9 Terapi..............................................................................................................................22
2.10 Komplikasi...................................................................................................................27
2.11 Edukasi.........................................................................................................................28
2.12 Prognosis......................................................................................................................29

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................30

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................31


DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................32

iii
PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik


yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif . Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat
yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. lnsiden kondisi ini bisa
terus meningkat, dan tingkat mortalitas 1-2 persen telah dibuktikan sejak tahun 1970-an.
Data komunitas di Amerika Serikat menunjukkan bahwa insiden ketoasidosis
diabetik sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur. Di
Indonesia insiden ketoasidosis diabetik tidak sebanyak di negara barat, mengingat
prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden ketoasidosis diabetik di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.
Ketoasidosis diabetik paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe 1
(yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi kejadiannya
pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya disebut non-insulin dependent
diabetes mellitus), tidak sejarang yang diduga.
Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetik adalah dengan memperoleh
riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Kematian pada pasien ketoasidosis
diabetik usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang
tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut,
penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.
Tindakan tindakan preventif adalah pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien
untuk segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit.

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas pasien


Nama : Ny. OR
Tanggal lahir/ usia : 10 September 1957/ 60 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Sunda
Alamat : Sukabirus STT Telkom RT 3/15
Status : BPJS
No. Rekam Medik : SA-133558
Tanggal masuk IGD : 10 November 2017, pukul 13.30 WIB
Ruang rawat : Fajar
DPJP : Rani Wahyoe Prasanti, dr., Sp.PD.

1.2 Anamnesis
Sumber informasi : Autoanamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Anamnesis khusus :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit,
memberat sejak hari ini. Sesak napas tidak dipengaruhi suhu, posisi dan aktifitas, sesak
muncul setiap saat, dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak disertai batuk, bunyi
mengi, nyeri dada dan sembab pada tubuh. Pasien juga merasakan badannya terasa sangat
lemas, lesu, demam dan keringat dingin muncul sepanjang hari, kelemahan anggota gerak
tidak ada. Terdapat mual dan muntah sebanyak dua kali berisi makanan, perut terasa sakit
pada bagian ulu hati, tidak ada rasa tertekan di dada, nyeri menjalar ke lengan kiri hingga
punggung disangkal. Nafsu makan menurun, intake makan dan minum kurang. Sejak 3 tahun
yang lalu, pasien mengeluh sering buang air kecil terutama pada malam hari, cepat lapar dan
cepat haus serta mengalami penurunan berat badan sebanyak 5 kg dalam satu bulan. Setelah
itu pasien berobat ke dokter dan dokter mengatakan bahwa pasien mengidap kencing manis.
Obat kencing manis yang diminum adalah Metformin 3x500 mg, Glimepiride 1x4mg dan
Acarbose 3x50 mg tetapi pasien tidak kontrol secara teratur. Keluhan juga tidak disertai
dengan buang air besar cair atau hitam pada pasien. Tidak ada keluhan kuning pada pasien.
Tidak terdapat riwayat penurunan kesadaran pada pasien. Tidak terdapat riwayat luka
sebelumnya.

2
3

Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai ibu rumah tangga dan mengatakan pola makan
seperti biasa saja tanpa ada diet rendah gula. Riwayat merokok dan minum-minuman
beralkohol tidak didapatkan pada pasien. Riwayat penggunaan obat-obat anti nyeri dalam
jangka panjang tidak didapatkan pada pasien.Tidak terdapat riwayat operasi sebelumnya pada
pasien. Riwayat dirawat di rumah sakit sebelumnya tidak didapatkan pada pasien.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat DM (+) sejak tahun 2014, DM tidak terkontrol. Pasien sebelumnya tidak
pernah mengalami keluhan serupa. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat darah tinggi,
kolesterol tinggi, penyakit ginjal, penyakit jantung, dan penyakit lainnya sebelumnya. Tidak
terdapat riwayat pengobatan dengan obat-obatan lain dalam jangka panjang.

Riwayat penyakit keluarga


Ayah pasien menderita kencing manis

1.3. PRIMARY SURVEY

AIRWAY
a. Tanda objektif, meliputi:
• Pasien sadar dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanya
• Tidak ada penggunaan otot-otot napas tambahan
• Tidak ada suara nafas tambahan (gurgling, snoring, stidor, hoarseness)
b. Penilaian/Assessment, meliputi:
• Airway paten
• Kesan baik, tidak ada sumbatan jalan nafas (benda padat, cairan)
c. Tindakan, meliputi:
Pemberian oksigen 3 liter/menit dengan nasal canul karena pasien datang dalam keadaan
sesak
BREATHING
a. Tanda objektif, meliputi:
• Gerakan dinding dada simetris, tidak ada bagian dinding dada yang tertinggal saat
bernafas, frekuensi nafas 28 kali/menit.
• Pernafasan kusmaul (+)
• Suara nafas vesikuler (+/+), suara jantung normal
b. Penilaian/Assessment, meliputi:
• Breathing dan ventilasi adekuat
c. Tindakan, meliputi:
• Meneruskan pemberian oksigen 3 liter dengan nasal canul
CIRCULATION
a. Tanda objektif, meliputi:
• Tidak ada penurunan kesadaran
• Akral hangat, capillary refill time (CRT) <2 detik
• Nadi teraba kuat dan teratur, frekuensi nadi 110 kali/menit
• Tekanan darah 90/70 mmHg
4

• Suhu 37,80 C
• Pemeriksaan GDS cito dan didapatkan GDS 418 mg/dL
b. Penilaian/Assessment, meliputi:
• Hemodinamik stabil
c. Tindakan, meliputi:
• Pasang IVFD NaCl 0,9% loading 2L/2 jam
• Cek labor darah rutin, kimia, elektrolit dan analisis gas darah
DISABILITY
a. Tanda objektif, meliputi:
Glasglow coma scale (GCS):
• Eyes: dapat membuka mata secara spontan (E4)
• Verbal: komunikasi verbal baik, jawaban tepat (V5)
• Motorik: dapat mengikuti perintah (M6)
GCS 15 (E4V5M6)
• Pupil isokor kanan/kiri (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+)
• Tidak ada kelemahan motorik
b. Penilaian/Assessment, meliputi:
• Hasil pemeriksaan mini neurologis baik
• Tidak ada gangguan neurologis
EXPOSURE
• Pasien diselimuti untuk mencegah hipotermi

1.4. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Tanda Vital :
Tekanan Darah : 90/70
Nadi : 110 x/m
Suhu : 37,8
Respirasi : 28 x/m

Status generalis:
Kepala dan Leher
• Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
• Wajah : tidak ada edema
• Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil bulat, isokor dengan
ukuran kanan/kiri (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+), terlihat agak cekung
• Mulut : mukosa bibir kering, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis, nafas berbau
aseton
• Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, tidak ditemukan adanya pembesaran
glandula tiroid maupun glandula parotis dan submandibula.
• Kulit : turgor menurun
Thorax
Paru
• Inspeksi : bentuk dada simetris kiri dan kanan, pergerakan dinding dada saat
bernafas simetris, pernafasan cepat dan dalam (kusmaul)
• Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
5

• Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru


• Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
• Inspeksi : datar, simetris
• Auskultasi : bising usus (+) normal
• Palpasi : supel, defans muscular (-), nyeri tekan di epigastrium (+)
• Perkusi : timpani

Ekstremitas
• Superior : Edema (-/-), akral hangat, capillary refill time (CRT) <2 detik
• Inferior : Edema (-/-), akral hangat, capillary refill time (CRT) <2 detik

Status gizi
 Berat badan : 50 kg
 Tinggi badan : 160 cm
 BMI : 19.53
 Kesimpulan : Status gizi baik

1.5 Pemeriksaan penunjang


1.5.1 Darah Rutin
 Hemoglobin : 13.6 gr/dl
 Hematokrit : 42 %
 Leukosit : 21300 /mm3
 Trombosit : 306000 /mm3

1.5.3 Elektrolit
 Na : 124 mmol/L (↓)
 K : 5,0 mmol/L
 Ca : 1.09 mmol/L

1.5.2 Kimia Darah


 SGPT : 16 U/L
 Kreatinin : 0.9 mg/dl
 GDS : 418 mg/dl

1.5.3 Analisa Gas Darah


• pH: 7,10 (↓)
• PCO2: 15,8 mmHg (↓)
• PO2: 90 mmHg (N)
• HCO3: 13,8 (↓)
• BE: -9 mmol/L (↓)
6

1.5.4 PEMERIKSAAN URINE


 Warna Urine : Kuning keruh
 PH : 6.0
 SG : 1020
 Protein Urine : TRACE
 Reduksi -N : Positif 3 (+3)
 Urobilinogen : 3.5
 Bilirubin Urin : Negatif
 Sedimen eritrosit : 8-10
 Sedimen lekosit : 10-15
 Sedimen epith C. : 5-8
 Keton : Positif 3 (+3)
 Nitrit : Negatif

1.5.3 Pemeriksaan EKG

Gambar 1. Pemeriksaan EKG pasien tanggal 10 November 2017

EKG : HR 110 x/m, ST segmen : isoelektrik, gel rSR di V1, V2, V3, V5.
Kesimpulan : Sinus takikardia, RBBB incomplete

1.5.5 Foto Rontgen Toraks

Ekspertise:
 Cor agak membesar
 Sinus dan diafragma normal
 Pulmo: hilus kanan dan kiri kasar, corakan paru bertambah.
 Tampak bercak lunak diperi hiler kanan
 Tak tampak kranialisasi. Tampak penebalan peri bronchial
Kesan :
7

 Pembesaran jantung ringan tanpa bendungan paru


 Tak tampak TB Paru aktif
 Gambaran bronchitis
 BP diperi hiler kanan

PENGKAJIAN MASALAH
• Sesak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasa lemah. Pasien
mengeluh mual muntah dan nyeri ulu hati.

DAFTAR MASALAH
Daftar masalah dalam kasus ini adalah:
• Sesak napas, pernapasan kusmaul
• Lemah
• Mual muntah
• Nyeri ulu hati
• Dehidrasi sedang
• Asidosis metabolik
• Leukositosis

1.6 Diagnosis kerja


 Diabetes Mellitus Tipe II dengan Ketoasidosis Diabetikum
 RBBB inkomplit

Diagnosis banding
• Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketotik
• CHF

1.7 Tatalaksana
 Rehidrasi NaCl 0,9%
 Konsul Rani Wahyoe, dr., Sp.PD
 Rehidrasi NaCl 2L/2jam, jika setelah 2 jam terdapat takikardi rehidrasi dihentikan
atau cairan diturunkan
 Jika membaik lapor ulang untuk lanjutan pemberian cairan
 Setelah rehidrasi 2 jam cek GDS (hasil dilaporkan)
 Cefotaxim 3x1 gram iv (ST)
 Metronidazole 3x500 mg IV (ST)
 Setelah rehidrasi rencana Bicnat 60 Meq IV dan Infumal 500 cc + Meylon 4
ampul  24 jam
 Paracetamol 3x1
 Ranitidin 2x25 mg iv
 Ondansetron 2x4mg iv
8

1.8Follow up pasien
1.8.1 10 November 2017 (pukul 16.00)
Subjective (S) : Sesak berkurang , nyeri ulu hati (+), mual (-), muntah (-)
Objective (O) : Composmentis, sakit sedang
T: 110/70 mmHg N: 96 REIC R: 21x/menit, S: 37,60 C.
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
Gula Darah Sewaktu post rehidrasi: 400 mg/dl
Assessment (A) : DM tipe II dengan Ketoasidosis Diabetikum

Planning (P) :
- O2 3 lpm
Konsul dr. Rani Wahyoe, SpPD
- Infus NaCl 1 liter/4 jam (line I)
- Pasang kateter urin
- Obervasi Intake-Output
- Cefotaxim 3x1 gram
- Metronidazol 3x500 mg
- Insulin Bolus iv 5 unit
- Sliding scale subcutan
GDS 200-250  4 unit
GDS 250-300  8 unit
GDS 300 – 380  12 unit
- Drip Bicnat lanjut (line II)

1.8.2 Tanggal 10 November 2017 (pukul 22.00)


Subjective (S) : Sesak berkurang, nyeri ulu hati berkurang, mual (-), muntah (-)
Objective (O) : Composmentis, sakit sedang
T: 110/70 mmHg N: 88 REIC R: 20x/menit, S: 37,50C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
GDS pukul 20.00 : 370 diberikan inj. Insulin sc : 12 unit
Intake = 1200 cc
Output = 1000 cc
Assessment (A) : DM Tipe II dengan Ketoasidosis Diabetikum
Planning (P) :
- Infus NaCl 30 tpm
- Infus Infumal 500 cc + Meylon 4 ampul 7 tpm
- Cefotaxim 3x1 gram
- Metronidazol 3x500 mg
- Ranitidin 2x25 mg iv
- Paracetamol 3x500mg p.o
Konsul dr. Rani Wahyoe, SpPD
- Observasi Intake Output
- Insulin sliding scale lanjut
9

1.8.3 Tanggal 11/11/2017 (pukul 06.00)


Subjective (S) : Sesak berkurang, nyeri ulu hati berkurang, mual (-), muntah (-)
Objective (O) : KU : CM
T: 110/70 mmHg N: 88 REIC R: 20x/menit, S: 36,60C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
Intake : 1000 cc Urine output : 50 cc/ jam
Gula Darah Sewaktu Jam 05.00 WIB : 311 mg/dl
Assesment (A) : DM Tipe II dengan Ketoasidosis Diabetikum
Planning (P) : - Infus NaCl 30 tpm
- Infus Infumal 500 cc + Meylon 4 ampul 7 tpm
- Konsul Rani Wahyoe, dr. SpPD
- Cefotaxim 3x1 gram
- Metronidazol 3x500 mg
- Insulin sliding scale 10-10-10 SC
- Ranitidin 2x25 mg iv

1.8.4 Tanggal 12/11/2017 (pukul 13.00)


Subjective (S) : Sesak (-), nyeri berkurang, mual (-), muntah (-)
Objective (O) : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit REIC, R: 20x/menit, S: 36,60C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
Gula darah Sewaktu Jam 06.30 WIB : 294 mg/dl
Gula darah Sewaktu Jam 12.00 WIB : 287 mg/dl
Assesmen (A): DM Tipe II + KAD dengan perbaikan
Planning (P) : - Infus Nacl 30 tpm
- Cefotaxim 3x1 gram
- Metronidazol 3x500 mg
- Ranitidin 2x25 mg
- Besok cek GDN, GD2PP
- Insulin 10-10-10 IV
- Ondansetron k/p
- Observasi Intake Output/shift

1.8.5 Tanggal 13 November 2017 (pukul 12.00)


Subjective (S) : Sesak (-), nyeri ulu hati berkurang, mual (-), muntah (-), minum sedikit
Objective (O) : TD : 110/60 mmHg, N : 96x/menit REIC, R: 20x/menit, S: 36,60C
Mukosa bibir kering, turgor kulit menurun
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
Assesment (A) : DM Tipe II + KAD dengan perbaikan
Dehidrasi sedang
Planning (P) :
- Rehidrasi Ring As 60 tpm selanjutnya 2 jam selanjutnya 40 tpm
- Cefotaxim 3x1 gram
10

- Metronidazole 3x500 mg
- Ondansetron k/p
- Levomir 0-0-6 unit
- Humalog 10-10-10 unit SC
- Observasi Input Output/shift
- Periksa USG Hepatobilier, Lien, Pankreas

1.8.6 Tanggal 14 November (Pukul 13.00)


Subjective (S) : Sesak - , nyeri ulu hati berkurang
Objective (O) : TD : 120/70 mmHg, N : 96x/menit REIC, R: 20x/menit, S: 36,60C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
Urin mulai jernih
- Gula Darah N : 205 mg/dl
- Gula Darah 2 J PP : 109 mg/dl
Intake : 2650 cc, Output : 2000cc

PEMERIKSAAN USG : Hepatobilier, Lien, Pankreas

PENDAPAT RADIOLOGIST
11

HEPAR
Besar dan bentuk normal, texture parenchym homogen. Tidak tampak SOL, V.porta,
v.hepatika dan saluran empedu intra dan extra hepatal tidak melebar. Tampak sedikit cairan
diluar hepar
KANTONG EMPEDU
Besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal. Tidak tampak bayangan batu maupun
sludge. Tak tampak bayangan cairan diluar kantong empedu.
LIEN
Tidak membesar dan bentuk normal, textur parenchym homogeny. Tidak tampak SOL.
V.lienalis tidak melebar.
PANKREAS
Besar dan bentuk normal, parenkim homogeny. Tak tampak massa/SOL
PARA AORTA
Tak tampak nodul hipoekhoik para aorta.
KESAN Ascites ringan  ec?
Klinis dan Lab ?
USG Hepar, kantong empedu, pancreas dan limpa, saat ini dalam batas normal.
Assesment (A) : DM Tipe II + KAD dengan perbaikan
Planning (P) : Cefotaxim 3x1 gram
Metronidazol 3x500 mg
Infus NaCl 30 tpm
Insulin 8-8-8
Levomir 0-0-6
Cek GDN,GD2jamPP
Bladder trans aff
Urin Rutin

1.8.7 Tanggal 15-11-2017 (pukul 09.00)


Subjective (S) : Sesak (-). nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
Objective (O) : TD : 120/70 mmHg, : 72x/menit REIC, R: 20x/menit, S: 360C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal

PEMERIKSAAN KIMIA :
Gula Darah N : 100
Gula darah 2 J PP : 153
PEMERIKSAAN URINE :
Warna Urine : Kuning Agak Keruh
PH : 6,0
SG : 1010
Protein Urine : Negatif
Reduksi –N : Negatif
Lekosit : 3+ LPB
Urobilinogen : 3,5EU/dl
Blood/darah : +-
Bilirubin Urin : Negatif
Keton : Negatif
Nitrit : Negatif
12

Sedimen eritrosit : 2-3


Sedimen lekosit : banyak
Assesment (A) : DM Tipe II + KAD dengan perbaikan
Planning (P) :
- Infus NaCl 30 tpm
- Cefotaxim 3x1 gram
- Metronidazole 3x500 mg
- Insulin 8-8-8
- Levomir 6 unit
- Periksa GDP

1.8.8 Tanggal 16-11-2017 (Pukul 12.00)


Subjective (S) : Sesak (-), nyeri ulu (-), mual (-), muntah (-)
Objective (O) : TD : 100/70 mmHg, 80x/menit REIC, R: 20x/menit, S: 360C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (+), bising usus (+) normal
GDP : 95 mg/dL
Assesment (A) : DM Tipe II
Planning (P) : Infus NaCl 30 tpm
Cefotaxim 2x1 gram
Metronidazol 3x500 mg
Insulin 8-8-8 unit
Levomir 0-0-6 unit
Bladder trans Aff
Cek GDN

1.8.9 Tanggal 17-11-2017 (pukul 09.00)


Subjective (S) : Demam hilang timbul, mual -, nyeri punggung bawah +
Objective (O) : TD : 110/70 mmHg, 80x/menit REIC, R: 20x/menit, S: 360C
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : soepel, nyeri tekan epigastrium (-), bising usus (+) normal
GDN : 101
Assesment (A) : DM Tipe II
Planning (P) :
BLPL
Humalog 8-8-8
Levomir 0-0-6 unit
Anbacym 3x500 mg
Periksa GDP
Kontrol ke Poli Penyakit Dalam

1.9Prognosis
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.1
2.2 Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden KAD
sebesar 8/1000 pasien DM pertahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk
kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. 1 Sumber lain
menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM pertahun. 2,3 KAD dilaporkan
bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika
Serikat.4 Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di
Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah.
Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama
pada pasien DM tipe 2.1
Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada banyak
center, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%3, atau 9 – 10%1. Sedangkan di
klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25 –
50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD,
seperti sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa
darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada
pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang
tepat dan rasional sesuai dengan patofsiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab
kematian lebih sering dipicu oleh factor penyakit dasarnya.1

2.3 Faktor Pencetus


Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.5-7 Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi
kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark

13
14

jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan


diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.1,2,4-7
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.4 Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah
trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang diketahui paling
sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia.4,5 Pneumonia
atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal
napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan akan
menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik.2
Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi
tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti
kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan
terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan
KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien usia muda
dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang disertai kelainan makan memberikan
kontribusi pada 20% KAD berulang. Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan
insulin pada pasien muda diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan
perbaikan kontrol metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat
penyakit kronik.3,5,6 Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan
dan ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.8,9

2.4 Patofisiologi10,11,12,13
a. Metabolisme glukosa dan lipid
Pada saat terjadi defisiensi insulin, peningkatan level glukagon,
katekolamin dan kortisol akan menstimulasi produksi glukosa hepatik melalui
mekanisme peningkatan glikogenolisis dan gluconeogenesis (Gambar 1).
Hiperkortisolemia akan menyebabkan peningkatan proteolisis, sehingga
menyediakan prekursor asam amino yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis.
Insulin rendah dan konsentrasi katekolamin yang tinggi akan menurunkan
uptake glukosa oleh jaringan perifer. Kombinasi peningkatan produksi glukosa
hepatik dan penurunan penggunaan glukosa perifer merupakan kelainan
patogenesis utama yang menyebabkan hiperglikemia pada KAD.
Hiperglikemia akan menyebabkan glikosuria, diuresis osmotik dan dehidrasi,
15

yang akan menyebabkan penurunan perfusi ginjal terutama pada KHH.


Penurunan perfusi ginjal ini lebih lanjut akan menurunkan bersihan glukosa
oleh ginjal dan semakin memperberat keadaan hiperglikemia.

Gambar 1. Patogenesis KAD dan KHH

Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan


peningkatan kadar katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan
mengaktivasi lipase sensitif hormon, kemudian menyebabkan pemecahan
trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan
diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang dilepaskan ke dalam
sirkulasi. Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar glukagon,
hormon ini akan mengaktivasi palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim
yang memampukan asam lemak bebas dalam bentuk koenzim A untuk
menembus membran mitokondria setelah diesterifikasi menjadi karnitin. Pada
pihak lain, esterifikasi diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase karnitin II
untuk membentuk asil lemak koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-
oksidatif dan membentuk asetil koenzim A (Gambar 2).
Sebagian besar asetil koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam
16

beta-hidroksibutirat dan asam asetoasetat, dua asam kuat relatif yang


bertanggungjawab terhadap asidosis dalam KAD (Gambar 2). Asetoasetat
diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi spontan non-enzimatik secara
linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-hidroksibutirat, asam
asetoasetat dan aseton difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara parsial di
urin. Oleh karena itu, penurunan volume progresif menuju kepada penurunan
laju filtrasi glomerular akan menyebabkan retensi keton yang semakin besar.
Ketiadaan ketosis pada KHH walaupun disertai dengan defisiensi insulin
masih menjadi misteri, hipotesis yang ada sekarang menduga hal ini
disebabkan oleh karena kadar asam lemak bebas yang lebih rendah, lebih
tingginya kadar insulin vena portal atau keduanya.

Gambar 2. Mekanisme produksi badan keton.

(a) Peningkatan lipolisis menghasilkan produksis asetil KoA dari asam lemak, sebagai
substrat sintesis badan keton oleh hati. Defisiensi insulin menyebabkan penurunan utilisasi
glukosa dan penurunan produksi oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk
kondensasi dengan asetil KoA berkurang; dan (c) menyebabkan asetil KoA digeser dari
siklusi TCA dan (d) mengalami kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi
17

menjadi beta-hidroksibutirat.

(b) Keseimbangan asam basa, cairan dan elektrolit


Asidosis pada KAD disebabkan oleh karena produksi asam beta-
hidroksibutirat dan asam asetoasetat berlebihan. Pada kadar pH fisiologis,
kedua ketoasid ini mengalami disosiasi sempurna dan kelebihan ion hidrogen
akan diikat oleh bikarbonat, sehingga menyebabkan penurunan kadar
bikarbonat serum. Badan-badan keton oleh karenanya beredar dalam bentuk
anion, yang menyebabkan terjadinya asidosis gap anion sebagai karakteristik

+ -
KAD. Gap anion ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut [Na - (Cl

-
+ HCO3 )], berdasarkan rumus ini, gap anion normal adalah 12 (dengan
deviasi standar 2) mmol/L. Pada KAD, bikarbonat digantikan dengan asam
beta- hidroksibutirat dan asam asetoasetat sehingga jumlah konsentrasi
bikarbonat dan klorida turun dan terjadi peningkatan gap anion. Walaupun
terjadi ekskresi ketoasid secara substansial di dalam urin, penurunan
konsentrasi bikarbonat serum dan peningkatan gap anion yang diamati pada
KAD kurang lebih sama.
Pada keadaan-keadaan normal, kadar asam beta-hidroksibutirat lebih
tinggi kurang lebih 2 sampai 3 kali lipat dari asam asetoasetat, hal ini
disebabkan oleh karena perbedaan dari status redoks mitokondria. Peningkatan
status redok mitokondria, seperti yang terjadi pada KAD, akan meningkatkan
rasio asam beta-hidroksibutirat terhadap asam asetoasetat. Kesalahan
perkiraan jumlah keton dapat terjadi bila tidak dilakukan pengukuran terhadap
asam beta-hidroksibutirat.
Asidosis metabolik akan menginduksi hiperventilasi melalui stimulasi
kemoreseptor perifer dan pusat pernapasan di batang otak, yang kemudian
akan menurunkan tekanan parsial karbon dioksida. Mekanisme ini akan
mengkompensasi asidosis metabolik secara parsial.
Diuresis osmotik terinduksi hiperglikemia akan menyebabkan
kehilangan cairan yang berat. Kekurangan cairan total tubuh biasanya berada
pada kisaran 5 sampai 7 liter pada KAD dan 7 sampai 12 liter pada KHH,
keadaan ini mewakili kehilangan cairan sekitar 10% sampai 15% dari berat
badan. Diuresis osmotik ini diasosiasikan dengan kehilangan kadar elektrolit
dalam jumlah besar di dalam urin.
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
18

perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke


extracellular dalam keadaan hiperglikemia.
Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran
kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin,
hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah
atau low- normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang
berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring
jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium
lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.

2.5 Manifestasi Klinis11,12,14

Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan gejala
yang sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat diketemukan pada pasien dewasa
(lebih sering pada anak-anak) dan dapat menyerupai akut abdomen. Meskipun penyebabnya
belum dapat dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan lambung dan ileus
oleh karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah diimplikasikan sebagai
penyebab dari nyeri abdominal. Asidosis, yang dapat merangsang pusat pernapasan medular,
dapat menyebabkan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul).
Gejala-gejala seperti poliuria, polidipsia dan polifagia yang khas sebagai bagian dari
diabetes tak terkontrol nampaknya sudah timbul selama tiga sampai empat minggu
sebelumnya dan pada beberapa kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan penurunan
berat badan yang bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bulan sebelum
dengan rata-rata penurunan 13 kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut yang timbul
dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di mana dapat dijadikan
sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah KAD.
Pemeriksaan fisis dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau napas seperti
buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi aseton melalui sistem
respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan turgor kulit, mukosa membran yang
kering, takikardia dan hipotensi. Status mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh
sampai letargi yang berat; meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD atau KHH yang
diperawatan dengan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium termudah dan terpenting setelah anamnesa dan
pemeriksaan fisis adalah penentuan kadar glukosa darah dengan glukometer dan urinalisis
dengan carik celup untuk menilai secara kualitatif jumlah dari glukosa, keton, nitrat dan
19

esterase leukosit di urin.

Tabel 1. Hubungan antara manifestasi klinis dengan patofisiologi KAD

2.6 Diagnosis
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.1 Meskipun gejala DM yang
tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk
KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan
seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi
KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya. Gambaran klinis klasik termasuk riwayat
poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi,
lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit
yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan
koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang tampak seperti kopi.
Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan
prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini
dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda.
Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan
asidosis metabolik.
20

Tabel 2. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association6

2.7 Penatalaksanaan 11,15,16


Terapi krisis hiperglikemia bertujuan untuk mengoreksi kelainan patofisiologis
yang mendasari, yaitu gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kadar glukosa
darah, gangguan asam basa, serta mengatasi faktor pencetus. Tujuan utama
pengobatan pada KAD adalah menghentikan proses ketosis. Bagian utama dari terapi
KAD dan SHH yaitu pemberian cairan, koreksi elektrolit dan asam basa, dan terapi
insulin. Hal pertama yang harus dilakukan pada kasus krisis hiperglikemia adalah
resusitasi cairan untuk memperbaiki deplesi volume cairan dalam tubuh. Selain itu
perlu dilakukan koreksi terhadap gangguan elektrolit yang ada. Bila kadar kalium
awal kurang dari 3,3 mEq/L, suplemen kalium harus diberikan lebih dahulu sebelum
infus insulin dimulai. Gangguan asam basa yang cukup berat juga memerlukan
penanganan khusus.

a. Terapi cairan
Terapi cairan awal ditujukan kepada ekspansi cairan intravskular dan
21

ekstravaskular serta perbaikan perfusi ginjal. Pada keadaan tanpa gangguan


kardiak, salin isotonik (0,9%) dapat diberikan dengan laju 15-20 ml/kgBB/jam
atau lebih selama satu jam pertama (total 1 sampai 1,5 liter cairan pada dewasa
rata-rata). Pemlihan cairan pengganti selanjutnya bergantung kepada status
hidrasi, kadar elektrolit serum dan keluaran urin. Secara umum NaCl 0,45%
dengan laju 4 sampai 14 ml/kgBB/jam mencukupi apabila kadar natrium
serum terkoreksi normal atau meningkat. Salin isotonik dengan laju yang sama
dapat diberikan apabila kadar natrium serum terkoreksi rendah.
Setelah fungsi ginjal telah terjaga dengan baik, cairan infus harus
ditambahkan 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO 4) sampai keadaan

pasien stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Kemajuan yang baik
untuk terapi pergantian cairan dinilai dengan pemantauan parameter
hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran masukan/keluaran
cairan dan pemeriksaan klinis. Pergantian cairan harus memperbaiki defisit
perkiraan dalam waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum akibat
terapi tidak boleh melebihi 3 mOsm/kg H2O/jam. Pada pasien dengan

gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolalitas serum dan penilaian


rutin status jantung, ginjal serta mental harus dilakukan bersamaan dengan
resusitasi cairan untuk menghindari overloading iatrogenik.
b. Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena
kontinu merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia

+
(K <3,3 mEq/L) disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB
diikuti dengan infus kontinu insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam
pada dewasa) harus diberikan. Insulin bolus inisial tidak direkomendasikan
untuk pasien anak dan remaja; infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam
dapat dimulai pada kelompok pasien ini. Insulin dosis rendah ini biasanya
dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan laju 50- 75 mg/dL/jam sama
dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa plasma tidak turun 50
mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status hidrasi; apabila
memungkinkan infus insulin dapat digandakan setiap jam sampai penurunan
glukosa stabil antara 50-75 mg/dL.
Pada saat kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300
22

mg/dL di KHH maka dimungkinkan untuk menurunkan laju infus insulin


menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan ditambahkan dektrosa (5-
10%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju pemberian insulin atau
konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk mempertahakan kadar glukosa
di atas sampai asidosis di KAD membaik.
Ketonemia secara khas membutuhkan waktu lebih lama untuk
membaik dibandingkan dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-
hidroksibutirat langsung pada darah merupakan metode yang disarankan untuk
memantau KAD.
Selama terapi untuk KAD, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4
jam untuk mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH
vena serum. Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak
diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH
arterial) dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan asidosis. Pada
KAD ringan, insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular
setiap jam, nampaknya sama efektif dengan insulin intravena untuk
menurunkan kadar glukosa dan badan keton. Pasien dengan KAD ringan
pertama kali disarankan menerima dosis “priming” insulin regular 0,4-0,6
unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh sebagai injeksi
subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam
secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan.
Kriteria perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200
mg/dL, serum bikarbonat ≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD
membaik, bila pasien masih dipuasakan maka insulin dan penggantian cairan
intravena ditambah suplementasi insulin regular subkutan setiap 4 jam sesuai
keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa, suplementasi ini dapat
diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap peningkatan 50 mg/dL
glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit untuk kadar glukosa
≥300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai
dengan menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja
menengah atau panjang sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa.
Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam setelah regimen campuran terpisah
dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat. Penghentian
tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan tertunda insulin subkutan
23

dapat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh karena itu tumpang tindih
antara terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin
dengan dosis yang mereka terima sebelumnya sebelum awitan KAD dan
disesuaikan dengan kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis
diabetes baru, dosis insulin inisial total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB
terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan regimen yang mencakup insulin
kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat ditentukan. Pada
akhirnya, beberapa pasien dapat dipulangkan dengan antihiperglikemik oral
dan terapi diet pada saat pulang.
c. Koreksi asidosis metabolik
Penggunaan bikarbonat pada KAD tetap kontroversial, dengan pH
>7,0 memperbaiki aktivitas insulin dapat menghambat lipolisis dan
menghilangkan ketoasidosis tanpa perlu tambahan bikarbonat. Penelitian acak
terkontrol gagal menunjukkan apakah pemberian bikarbonat pada pasien KAD
dengan pH 6,9-7,0 memberikan perbaikan atau perburukan. Sedangkan untuk
pasien KAD dengan pH <6,9 belum pernah ada penelitian prospektif yang
dilakukan. Mempertimbangkan bahwa asidosis berat dapat menyebabkan
berbagai efek vaskular berat, nampaknya cukup beralasan untuk
menatalaksana pasien dewasa dengan pH <7,0 menggunakan 100 mmol
natrium bikarbonat diencerkan dengan 400 ml aqua bidestilata dan dan
diberikan dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 sampai 7,0,
maka 50 mmol natrium bikarbonat dapat diberikan setelah diencerkan dengan
200 ml aqua bidestilata dan diinfus dengan laju 200 ml/jam. Pada pasien
dengan pH di atas 7,0 maka tidak diperlukan pemberian natrium bikarbonat.
Insulin, sebagaimana terapi bikarbonat, menurunkan kalium serum,
sehingga suplementasi kalium harus diberikan di dalam cairan intravena sesuai
protokol di atas dan dilakukan pemantauan hati-hati. Setelah itu, pH vena
harus dinilai setiap 2 jam sampai pH meningkat sampai 7,0 dan terapi diulang
setiap 2 jam sesuai dengan keperluan.
d. Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia
ringan sedang dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin,
koreksi asidosis dan ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum.
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar
kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan terdapat
24

keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4)

untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium
serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang
dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini, penggantian kalium
harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian insulin ditunda
sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka mencegah
terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.
e. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium
serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap
peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur. Hiponatremia
memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah penyesuaian efek
ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium
yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5)
= 138, sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian
cairan normal saline (NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat
setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena normal
saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat
itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular
sehingga akan meningkatkan kadar natrium.7 Serum natrium yang lebih tinggi
daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.6
f. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0,
pengembalian aktivtas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki
ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat. Mengetahui bahwa asidosis berat
menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup
bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol
natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fsiologis dan
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50
mmol natrium bikarbonat dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan

jika pH > 7,0.7,15 Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan


kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan
25

secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap
2 jam jika perlu.6
g. Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko
hipo atau hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik
harus diberikan kepada pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko
gastroparesis dan aspirasi. Kateterisasi urin harus dipertimbangkan bila
terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien tidak mengeluarkan urin setelah
4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena sentral harus
dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada pasien tua atau dengan
keadaan gagal jantung sebelumnya.13
Pertimbangan harus diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila
ada bukti infeksi, namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada
KAD, dan tidak mengkonfirmasi adanya infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis,
demam dan peningkatan CRP merupakan biomarker yang lebih terpercaya.13

Jam ke- : Infus I Infus II Koreksi K+ Koreksi HCO3-


(NaCl 0,9%) (Insulin)
0 2 kolf, ½ Bila pH
jam
<7  100 mEq HCO3- +
1 1 kolf, ½
26 mEq K+
jam Pada jam ke-2 :
Bolus 180 mU/kgBB, 50 mEq / 6 jam (dalam
7-7,1  50 mEq HCO3- +
2 2 infus)
dilanjutkan dengan drip
kolf 13 mEq K+
insulin 90 mU/jam/kgBB
3 1 7,1  0
dalam NaCl 0,9%
kolf
(*)
Bila gula darah < 200
4 2
mg% kecepatan dikurangi 45
kolf
mU/jam/kgBB
Bila kadar K+ :
5 ½ <3  75 mEq/6 jam
Bila gula darah stabil
kolf 3-4,5  50 mEq/6
sekitar 200-300 mg%
jam
6 ½
4,5-6  25 mEq/6 jam
kolf
>6  0
26

selama 12 jam dilakukan drip


dan seterusnya bergantung
insulin 1-2 unit/jam
pada kebutuhan
disamping
dilakukan sliding scale setiap
Jumlah cairan yg diberikan 6 jam. Insulin diberikan
dlm 15 jam sekitar 5 liter. sesuai dengan kadar glukosa
Bila Na+ > 155 mEq/l
sebagai
ganti NaCl ½ n berikut :
GD Insulin sc
<200mg/dl -
200-250 5U
250-300 10 U
300-350 15 U
>300 20 U
Bila stabil dilanjutkan dengan
sliding scale tiap 6 jam

Bila gula darah < 200 mg% Setelah sliding scale tiap 6 Bila sudah sadar beri *Bila pH↑ →K+ akan ↓
ganti dextrose 5% jam dapat diperhitungkan K+ oral selama oleh karena itu pemberian
kebutuhan insulin sehari seminggu HCO3-disertai dengan
Kontrol CVP pemberian K+
→ 3x sehari sebelum makan
(bila os sudah makan)

Tabel 3. Skema penatalaksanaan ketoasidosis diabetik dan sindroma hyperosmolar hiperglikemik


27

Gambar 3. Penatalaksanaan KAD pada orang dewasa menurut ADA

2.8 Komplikasi
o Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi
ini dapat dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin
dosis tinggi. Kedua komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan
digunakannya terapi insulin dosis rendah. Namun, hipoglikemia tetap
merupakan salah satu komplikasi potensial terapi yang insidensnya kurang
dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa pada
saat kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti penurunan
laju dosis insulin dapat menurunkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa
dengan hipoglikemia, penambahan kalium pada cairan hidrasi dan pemantauan
kadar kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dan KHH dapat
menurunkan insidens hipokalemia.
o Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah
dikenal lebih dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara
signifikan, melalu pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9
dari 11 pasien KAD selama terapi. Meskipun demikian, pada penelitian
lainnya, sembilan anak dengan KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah
terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak biasanya dapat ditemukan
pada KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral simtomatik, yang
jarang ditemukan pada pasien KAD dan KHH dewasa, terutama ditemukan
pada pasien anak dan lebih sering lagi pada diabetes awitan pertama.
Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat memprediksi
kejadian edema serebral pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada 61 anak
dengan KAD dan serebral edema yang dibandingkan dengan 355 kasus
matching KAD tanpa edema serebral, menemukan bahwa penurunan kadar
CO2 arterial dan peningkatan kadar urea nitrogen darah merupakan salah satu
faktor risiko untuk edema serebral.
28

o Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)


Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom
distres napas akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan
elektrolit, peningkatan tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai
kadar subnormal. Perubahan ini disertai dengan penurunan progresif tekanan
oksigen parsial dan peningkatan gradien oksigen arterial alveolar yang
biasanya normal pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa
subset pasien keadaan ini dapat berkembang menjadi ARDS. Dengan
meningkatkan tekanan atrium kiri dan menurunkan tekanan koloid osmotik,
infus kristaloid yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan edema paru
(bahkan dengan fungsi jantung yang normal).
o Asidosis metabolik hiperkloremik
Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat
ditemukan pada kurang lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir
semua pasien KAD akan mengalami keadaan ini setelah resolusi ketonemia.
Asidosis ini tidak mempunyai efek klinis buruk dan biasanya akan membaik
selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang baik. Derajat keberatan
hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh
karena NaCl normal mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54
mmol/L lebih tinggi dari kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L.
Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion adalah: kehilangan
bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam natrium
dan kalium; penurunan availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal,
menyebabkan reabsorpsi klorida lebih besar; penurunan kadar bikarbonat dan
kapasitas dapar lainnya pada kompartemen-kompartemen tubuh. Secara
umum, asidosis metabolik hiperkloremik membaik sendirinya dengan reduksi
pemberian klorida dan pemberian cairan hidrasi secara hati-hati. Bikarbonat
serum yang tidak membaik dengan parameter metabolik lainnya harus
dicurigai sebagai kebutuhan terapi insulin lebih agresif dan pemeriksaan
lanjutan.
o Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD mempredisposisi pasien terhadap
trombosis, seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran jantung
29

rendah, peningkatan viskositas darah dan seringnya frekuensi aterosklerosis.


Sebagai tambahan, beberapa perubahan hemostatik dapat mengarahkan kepada
trombosis. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada saat osmolalitas sangat
tinggi. Heparin dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk profilaksis pada
pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun demikian belum ada data
yang mendukung keamanan dan efektivitasnya.10,12

2.9 Pencegahan
Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik yang baik,
edukasi yang sesuai, dan komunikasi yang efektif dari tenaga kesehatan selama belum
menimbulkan penyakit.
Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal ini meliputi informasi spesifik
pada 1) kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan 2) target glukosa darah dan
penggunaan shor-acting insulin selama penyakit, 3) mengobati demam dan infeksi, dan 4)
inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung karbohidrat dan garam.
Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah menghentikan insulin dan
untuk mencari dokter saat mulai sakit.
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan anggota
keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur dan
mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika glukosa darah >300
mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat
badan. Pengawan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau keluarga dapat mencegah
terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu
untuk mengenali atau menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga
pasien mengenai tanda dan gejala new-onset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-
obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi
kejadian dan beratnya HHS.

2.10 Prognosis
Tingkat mortalitas adalah 5 % pada ketoasidosis diabetikum. Kematian jarang
disebabkan oleh komplikasi metabolik hiperglikemia atau ketoasidosis, namun berkaitan
dengan penyakit yang mendasarinya. Prognosis memburuk pada usia lanjut disertai dengan
adanya koma dan hipotensi.
30

BAB III
PEMBAHASAN

Hasil penilaian awal airway : kesan tidak terdapat sumbatan pada jalan nafas pasien,
pasien sadar dan menjwab pertanyaan dgn suara jelas. Pasien datang dalam keadaan
sesak nafas dengan frekuensi nafas sebanyak 26 kali/menit sehingga pemberian
oksigen dengan nasal canul 3 L dilakukan. Penilaian ulang terhadap patensi jalan
nafas tetap dilakukan walaupun kesan awal jalan nafas pasien tidak terjadi sumbatan.

Hasil penilaian breathing dan ventilasi : kesan bahwa breathing dan ventilasi pasien
mengalami masalah berupa peningkatan frekuensi nafas ( pola nafas kussmaul), tapi
sudah dilakukan tindakan pemasangan oksigen nasal canul 3L.

Penilaian status hemodinamik : kesan bahwa keadaan status hemodinamik pasien
mengalami gangguan, pasien mengalami dehidrasi ringan. Tindakan yang telah
dilakukan pada pasien adalah dengan pemasangan infus dan selanjutnya diberikan
cairan NaCl 0,9 % sebanyak 1 L dihabiskan dalam 1 jam pertama dan dilanjutkan 500
cc dan 250 cc pada jam berikutnya.

Hasil pemeriksaan mini neurologis menunjukkan tidak terdapat gangguan pada status
neurologis pasien.

Pasien selanjutnya diselimuti untuk mencegah hipotermi.

Pasien tampak sesak dengan gambaran pernapasan cepat dan dalam (kusmaul). hal ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami asidosis metabolik, kusmaul  merupakan
kompensasi terhadap asidosis metabolik.
31


Mual dan muntah yang ditemukan pada pasien merupakan manifestasi klinis yang
patognomonik dan sering ditemukan pada penderita KAD  teraktivasinya
kemoreseptor trigger zone oleh keton yang tinggi dalam darah.

Lemah pada pasien  abnormalitas dari metabolisme glukosa, lemah juga dapat
dikarenakan masalah dehidrasi yang dialami pasien.

Leukositosis  kemungkinan adanya infeksi pada tubuh pasien. Karena infeksi tidak
spesifik maka diberikan antibiotic spektrum luas (resisten terhadap antibiotic gr – dan
gr +). Dan infeksi ini juga bias menjadi salah satu pencetus terjadinya KAD pada
pasien ini. Dan jika dilihat dari hasil lab berupa :
 Jumlah leukosit 19.290 / ul
 Frekuensi nafas >20 kali/menit (RR=35 kali/menit)
 PCO2 < 32 kali/menit (PCO2 = 13)
Kriteria tersebut merupakan adanya tanda-tanda SIRS (systemic
inflammatory Response syndrome).
Dengan adanya tanda-tanda klinis seperti :
 Sesak nafas – pernafasan kussmaul (RR : 35x/menit)
 Gula Darah sewaktu yang tinggi (771 mg/dl)
 Terdapat keton dalam urin
 pH arteri < 7,1
 kadar 3,3 mmol/L

Maka pasien ini ditetapkan mengalami ketoasidosis diabetik, rencana terapi untuk pasien
ini adalah terapi cairan, terapi Insulin, terapi keseimbangan elektrolit dan terapi umum,
seperti pemberian oksigen, antibiotic, heparin atau aspirin, dan obat penenang.

Pada pasien ini telah dilakukan terapi cairan dan insulin, pasien diberikan cairan
sebanyak 2L/2 jam , kemudian diberikan cairan 1L/4 jam, lalu setelah ter rehidrasi,
diberikan Na Bikarbonat 60 Meq iv dan diberikan tambahan cairan yang didriptkan
Na Bikarbonat 4 fl. Setelah itu diberikan insulin bolus 5 unit dan selanjutnya
diberikan insulin sliding scale.
Menurut literatur, terapi cairan diberikan 1 L NaCl 0,9% selama 1 jam pertama,
dilanjutkan 500 cc NaCl 0,9% per jam sampai hemodinamik stabil  dilanjutkan dengan
250 cc NaCl 0,9% per jam. Setelah rehidrasi memadai berikan insulin bolus sebanyak 015
unit/kgbb dan insulin kontinue 0,1 cc/kgBB/jam (insulin bolus 8,25 unit , dan insulin
kontinyu 5,5 unit /jam). Jika GDS < 200mg/dl maka kecepatan pemberian insulin
dikurangi menjadi 45mU/jam/kg. Jika GDS stabil antara 200-300 mg/dl selama 12 jam
dilakukan drip 1-2 unit / jam dan dilakukan Sliding scale setiap 6 jam sekali.
32


Insulin dapat diberikan dengan syarat kadar kalium tidak < 3,3 mEq/L, karena dengan
pemberian insulin dapat menyebabkan hipokalemi. Kadar kalium pada pasien ini
adalah 5 mmoL/L

Untuk pemberian bikarbonat, masih kontroversial, karena pemberian biknat hanya
diindikasikan jika pH darah pasien <7, pada pasien diberikan biknat karena pH darah
pasien 7,1.

Pemantauan merupakan bagian terpenting dalam pengobatan KAD. Untuk itu perlu
dilaksanakan pemeriksaan : kadar gula darah tiap jam, elektrolit tiap 6 jam selama 24
jam, analisis gas darah (bila pH < 7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >
7,1), tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperatur tiap jam.1

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan, diagnosis pasien adalah ketoasidosis diabetikum Hal-
hal yang menyebabkan timbulnya ketoasidosis diabetikum diantaranya adalah: defisiensi
insulin, meningkatnya hormon kontra insulin, dehidrasi, resistensi immunologik terhadap
insulin. Gejala-gejala yang timbul pada ketoasidosis diabetikum adalah: poliuri, polidipsi,
perasaan lelah, nausea dan muntah, pemafasan Kusmaull, pada akhimya dapat terjadi stupor
yang dapat berkembang hingga koma. Pengelolaan ketoasidosis diabetikum adalah: rehidrasi,
pemberian insulin, koreksi gangguan elektrolit dan keseimbangan asam - basa, mengatasi
faktor pencetus / infeksi.

4.2 Saran

Sesudah pemulihan dan stabilisasi, pasien harus mendapat instruksi rinci intensif
mengenai bagaimana menghindari komplikasi diabetes melitus yang berpotensi bahaya ini.
Mereka perlu diajari untuk mengenali tanda-tanda dan gejala awal ketoasidosis. Keton urin
perlu diukur pada pasien-pasien dengan tanda-tanda infeksi atau mereka yang menggunakan
pompa insulin bilamana glukosa darah kapiler tidak disangka tinggi ataupun tetap tinggi. Bila
ketonuria hebat dan glikosuria menetap pada beberapa pemeriksaan berturutan, maka insulin
regular tambahan perlu diberikan dan makanan-makanan cair seperti jus tomat dengan sedikit
garam dan kaldu perlu dikomsurnsi untuk menggantikan cairan dan elektrolit.
Pasien perlu diinstruksikan untuk menghubungi dokter jika ketonuria menetap, dan
terutama jika mengalami muntah-muntah atau jika penyesuaian kecepatan infusi pompa tidak
mampu mengoreksi hiperglikemia dan ketonuria.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1896-9.
2. Van Zyl DG. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis. SA Fam Prac
2008;50:39-49.
3. Chiasson JL. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar state. Canadian Medical Association Journal 2003;168(7):859-66.
4. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and management of diabetic ketoacidosis
in adults. Hospital Physician 2008;15:21-35.
5. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.
6. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care
2004;27(1):94- 102.
7. Alberti KG. Diabetic acidosis, hyperosmolar coma, and lactic Acidosis. In: Becker
KL, editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd. ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.1438-49.
8. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus a
fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2000.p.336-46.
9. Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of
diabetic ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
10. Hyperglycemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and
Williams, G. Liverpool : s.n., October 2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
11. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Kitabchi, AE, et al. 1,
January 1, 2001, Vol. 24, pp. 131-153.
12. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis. TM,
Wallace and DR, Matthews. 2004, Q J Med, Vol. 97, pp. 773-780.
13. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar
state. Chiasson, JL, et al. 7, April 1, 2003, Canadian Medical Association Journal, Vol.
168, pp. 859-866.
14. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus: Clinical and biochemical
differences. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. September 27, 2004, Archive
of Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931.
15. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Kitabchi, AE, et al. Suplement 1, January 1, 2004,
Diabetes Care, Vol. 27, pp. S94-S102.
16. Thirty years of personal experience in hyperglycemic crises: Diabetic ketoacidosis
and hyperglycemic and hyperosmolar state. Kitabchi, AE, et al. 5, May 2008, J Clin
Endrocinol Metab, Vol. 93, pp. 1541-1552.
17. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta. 2011

33
34

Anda mungkin juga menyukai