Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN KASUS

CEDERA KEPALA RINGAN

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Bedah

Disusun oleh :
Ranti Puspa Lestari
20712104

Dosen Pembimbing Klinik


dr. Pramono Sargo, Sp. B
dr. Aji Pangki Asmaya, Sp. B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
UNIVERSITAS DEPARTEMEN ILMU BEDAH
ISLAM
INDONESIA
STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
FAKULTAS
Untuk Dokter Muda
KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda Ranti Puspa Lestari, S.Ked Tanda Tangan
NIM
Tanggal Ujian
Rumah sakit RSUD Wonosari
Gelombang Periode September-November 2021

A. Identitas
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 69 tahun
Alamat : Nglora, Saptosari
Agama : Islam
Mondok di bangsal : Cempaka
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 23 September 2021
Nomer RM : 683xxx

B. Anamnesis
Diberikan oleh : Pasien dan anak pasien
Tempat/Tanggal/pukul : Bangsal Cempaka , 24 September 2021 jam 08.00
Keluhan Utama : Luka robek pada dahi sebelah kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD dengan keluhan luka robek pada dahi sebelah kiri sekitar
15x5cm 1 jam SMRS. Sebelumnya pasien terpeleset di rumah dengan posisi jatuh ke depan dan
kepala terbentur ke lantai. Di lantai terdapat serpihan kayu yang agak tajam. Setelah terjatuh pasien
masih sadar penuh dan dapat berkomunikasi dengan keluarga. Pasien merasakan sakit kepala, mual,

2
dan pusing. Telinga berdenging, bingung atau linglung, gangguan penglihatan, dan kejang
disangkal. Luka mengeluarkan darah kurang lebih 100cc.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien baru pertama mengalami benturan di bagian kepala. Riwayat hipertensi, penyakit
jantung, stroke, maupun gula darah tinggi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ayah pasien meninggal karena stroke. Riwayat hipertensi, penyakit jantung, maupun gula
darah tinggi di keluarga disangkal.

Anamnesis Sistem

Sistem Cerebrospinal : Pusing (+) Sakit kepala (+) Kejang (-) Pingsan (-)

Sistem Cardiovaskular : Lemas (-), Dada berdebar (-), Nyeri dada (-)

Sistem Respiratorius : Sesak (-) Batuk (-)

Sistem Gastrointestinal : BAB Cair (-), Mual (+), Muntah (-)

Sistem Urogenitale : Nyeri BAK (-)

Sistem Integumentum : Kulit kebiruan (-), Bintik merah/ruam merah (-)

Sistem Musculoskeletal : Kelemahan anggota gerak (-)

Resume Anamnesis : Kepala pusing setelah terbentur (+), penurunan kesadaran (-),
mual muntah (+), Luka terbuka (-), Riwayat HT, DM, Penyakit jantung, dan stroke (-)

3
C. Pemeriksaan Fisik

I. Status Generalis

Kondisi Umum : Sedang


Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Status Gizi : Cukup
Status Antopometri : BB : 45 kg
Tanda vital :
Tekanan darah : 153/76 mmHg
Nadi : 86x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 37,1 derajat Celcius
Cephal : CA -/-, SI -/-, Pupil isocor (+/+), Battle sign (-/-), Rhinorrhoe (-/-),
Otorrhoe (-/-) Racoon eye (-/-) terdapat luka robek 15x5cm di
regio frontalis sinistra.
Collum : JVP tidak meningkat, massa (-), Pemb. KGB (-)
Thorax :
Cor : S1S2 reguler, bising jantung (-)
Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, distensi (-), bising usus (+) 12x, nyeri tekan (-)
Urogenitale :-
Extremitas
Superior dextra : Kelemahan (-), Kekuatan otot 5, reflek Hoffman & Tromner (-)
Superior sinistra : Kelemahan (-), Kekuatan otot 5, reflek Hoffman & Tromner (-)
Inferior dextra : Kelemahan (-), Kekuatan otot 5, reflek Babinski (-) reflex
fisiologis (+)
Inferior sinistra : Kelemahan (-), Kekuatan otot 5, reflek Babinski (-) reflex
fisiologis (+)

II. Status Lokalis


Regio : Kepala regio frontalis
Inspectio : luka terbuka (+), Ekimosis preaurikuler/Battle sign (-), Otorrhoe (-/-)

4
Palpasi : Nyeri tekan sekitar luka (+)

C. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Head CT Scan  memastikan ada tidaknya kerusakan parenkim dan vaskuler otak
2. Foto polos kepala dan cervical  memastikan diskontinuitas tulang tengkorak dan cervical

E. DIAGNOSIS BANDING

1. Cedera Kepala Ringan


2. Vulnus Laseratum regio frontalis sinistra

F. DIAGNOSIS KERJA

Cedera Kepala Ringan

G. USULAN TERAPI / TINDAKAN

Primary Survey
Airway : Pastikan jalan nafas tidak terhambat
Breathing : Oksigenasi secara adekuat sesuai kondisi klinis
Circulation : Pasang IV line, pantau vital sign
Disability : Pantau GCS, cek tanda deficit neurologis dan kelemahan anggota gerak
Hecting pada luka robek
Gastroprotektan  Inj. Ranitidine 1A/24jam
Analgesik  Inj. Ketorolac 30mg/24 jam
Antibiotik  Ceftriaxone 1gr/24jam

H. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad Bonam


Ad Sanam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Cosmeticam : Bonam

5
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Di negara maju cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak pada generasi
muda dan usia produktif. Di negara berkembang seperti Indonesia dengan meingkatnya
pembangunan yang diikuti mobilitas masyarakat yang salahsatu segi diwarnai dengan lalu
lintas kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas makin sering terjadi
dan korban cedera kepala makin banyak. Di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 55.495
penderita kecelakaan lalu lintas danterdapat korban meninggal sebanyak 11.933 orang yang
berarti tiap hari ada 34 orang mati akibat kecelakaan lalu lintas. Dari korban yang meninggal
ini 80% disebabkan cedera kepala.

II. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses
cedera otak dibagi:
1. Proses primer
Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses mekanik
yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan
arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga
tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada
daerah yang terkena
2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan
primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi
maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi.
Insult sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui
beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)

6
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
o Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel
dansistokeletonnya. Kerusakan ini dapat berakibat:

- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada


dendrit dan sel glia
- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa
kalsium mengenai semua jenis sel
- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran
kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini
tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan
ini sawar darah otak menjadi rusak.
o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang
kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan
multipetekial. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di
sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian tekanan
intrakranial.
Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal yang
luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler (Hays,5) dan
meningkatnya kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran
neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death.
Selain itu kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar
kalsium (ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya
sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas yang
memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup.

7
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury)
Penyebab dari proses inibisa intrakranial atau sistemik:
o Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara
berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari
otak sehingga perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas
neuron disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat
herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut misalnya
pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat
menyebabkan asidosis dan vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak
mencukupi
o Sistemik
Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat
menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia
global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai
nine deadly Hs yaitu hipotensi , hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia,
hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan hipoproteinemia.
Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala.
Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup
mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang
tumpul atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang
akan patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas
dari pusat pukulan sampai ke basis.
Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan fraktur stellata dan bila lebih hebat
lagi dapat menyebabkan depresi fraktur.

Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari kecepatan pukulannya, tetapi yang
lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang mengenai tengkorak.
Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak sedangkan objek
yang lebih besar dgnkecepatan yang sama menyebabkn depresi fraktur.

8
Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak bergerak lebih cepat
dari otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami contusio pada tempat bawah
benturan, tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada permukaan tengkorak yang kasar, pada
tonjolan-tonjolan tulang, crista galli, pada sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti
sering terlihat pada contusio pada fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal
basal). Pada benturan didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior, sedangkan
benturan pada daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang sumbu axis,
sedangkan lateral impact menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke sisi lain.

Gambar-1: Tanda panah menunjukkan tempat dan arah pukulan. (dikutip dari Adams)

9
Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik dari coup contra coup dan contusio adalah sebagai
berikut:
1. Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur
2. Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan tulang yang
tidak rata
3. Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa contra coup
efek
4. Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi contra coup
tanpa lesi coup.

III. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA AKUT


Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat
kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-
waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya
penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa
maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan
selanjutnya seperti SHI.
B. Pasien dengan kesadaran menurun
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala,
jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow
1
0
up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala
fokal serebral disamping tanda-tanda vital.

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)


Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama
adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan
cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer
adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari
gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu
memakai ventilator.

1
1
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.
Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit
fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat
sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen
diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi

Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen dibuat
atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK.
TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus
diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol,
dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi
yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2
sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas
dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi
selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas
darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom

1
2
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus

3. Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila
tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak
melebihi 310 mOSm
o Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada
edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik
dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40
mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis
terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan

1
3
posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema
serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari
dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu
dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus
disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar
eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila
ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering
timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

1
4
Pengobatan:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6
jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak
berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50
mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan
pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur
impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang
h. Komplikasi sistematik
o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii

o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah


kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap
kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping
tindakan menurunkan suhu dengan kompres
o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada
yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah
kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan
jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat
obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain,
antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin

1
5
Target utama dan cara dari neuroproteksi

Mechanism Neuroprotective method


Energy failure Hypothermia
Barbiturates
Cell swelling Diuretics
Acidosis Free THAM
radics Superoxide dismutase
Lipid peroxidation Steroids,amino steroids
Indomethacin
Calcium damage Calcium antagonist
Neurotransmitter Antagonist to glutamate,
etc.
(Dikutip dari Relly)

Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan atau
meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan penanggulannya sangat
penting. Adanya jarak walaupun singkat antara proses primer dansekunder harus digunakan
sebaik mungkin, waktu tersebut dinamakan jendela terapi.

1
6
DAFTAR PUSTAKA

Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw Hill, 1997: 874-901
Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199
Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia in head injury.
Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery, 1995:1-7
Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma.
Philadelphia : WB Sounders, 1996: 53-90
Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981
Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed). Sydney : Butterworth, 1990:
422-426
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill, 1996
Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management.
Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213
Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase following sever head trauma:
hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J. neurosurgey, 1997(87): 9-19
Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman & Hall
Medical, 1997
Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head patients.
Neurosurgery 1996 (15):307-314
Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage in brain trauma. London :
Chapman & Hall Medical, 1995:21-29
Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth, 1990: 427-431

1
7

Anda mungkin juga menyukai