Anda di halaman 1dari 11

ISK Pada Lansia Infeksi yang Ikut Merenggut Lansia RACIKAN UTAMA - Edisi Juni 2007 (Vol.6 No.

11)

Tujuan terapi ISK adalah menghilangkan gejala dengan cepat, mengeradikasi kuman patogen, meminimalisasi rekurensi dan mengurangi morbiditas serta mortalitas. Bertepatan di hari Jumat, 1 April 2005, Joaquin Navarro-Valls selaku Juru Bicara Vatikan memberi pengumuman resmi, "Pagi ini kesehatan beliau (Paus Yohanes Paulus II red) sangat buruk menyusul infeksi saluran kemih dan kegagalan sirkulasi jantung." Berita itu tentu bukan kabar gembira bagi masyarakat dunia, khususnya umat Katolik. Sebelumnya, pemimpin umat Katolik sedunia itu sudah menderita penyakit Parkinson dan infeksi saluran nafas. Berselang 1 hari kemudian, beliau wafat di usianya yang menginjak 84 tahun. Apa yang dialami Paus Yohanes Paulus II memberi gambaran bahwa penyakit semakin merajalela seiring usia yang semakin senja. Kaum lansia mudah sekali menderita infeksi. Tak lain karena daya tahan tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Wanita Lebih Banyak Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang melibatkan struktur dari tempat dibentuknya urin (glomerulus) sampai dengan muara saluran urin di meatus uretra eksterna dengan didapatkannya mikroorganisme di urin yang disertai gejala sebagai tanda adanya infeksi. ISK lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria karena uretranya lebih pendek dan tersembunyi. Semasa hidup seseorang, risiko ISK meningkat 1-2%. Statistik menunjukkan prevalensi ISK pada wanita muda yang semula hanya 1-2% akan meningkat menjadi 2,8-8,6% di usia 50-70 tahun. Pada pria, prevalensi ISK di atas usia 80 tahun juga tinggi, mencapai 20%. Fisiologi Urin Urin merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman. Maka, tak heran bila dalam cairan yang buang setiap hari itu terdapat banyak kuman. Untungnya, jumlah kuman tersebut masih normal dan tidak membahayakan. Mengosongkan urin adalah cara alami yang dilakukan tubuh agar jumlah kolonisasi kuman dapat ditekan, sekaligus mencegah kuman naik ke organ saluran kemih bagian atas (kandung kemih dan ginjal). Di samping itu, tubuh menjaga agar urin yang dikeluarkan memiliki tingkat osmolalitas tinggi, konsentrasi urea tinggi, dan pH asam. Kondisi tersebut menyebabkan urin mempunyai 'efek antibakteri'. Adanya gangguan terhadap mekanisme alami itulah yang memudahkan terjadinya ISK. Contohnya adalah pasien diabetes melitus, dimana terjadi konsentrasi glukosa urin yang meningkat menjadi media yang sangat baik bagi kolonisasi kuman. Faktor Predisposisi Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ISK pada geriatri. Semakin tua seseorang, status imunnya akan semakin menurun. Maka, semakin mudah pula orang tersebut mengalami infeksi. Selain penurunan status imun, bertambahnya usia seseorang khususnya perempuan akan berdampak pada penurunan kadar hormon estrogen dikenal dengan masa menopause.

Penurunan estrogen menyebabkan perubahan pH vagina menjadi lebih basa. Padahal pH vagina asam penting dalam melindungi mukosa vagina. Kaum geriatri dengan gangguan mood dan penurunan faal kognitif cenderung sulit merawat diri. Kebersihan tubuh terutama daerah genital kurang terjaga. Akibatnya, kuman mudah berkoloni di daerah tersebut sehingga terjadilah infeksi. Faktor predisposisi lain adalah penurunan status fungsional. Hal itu dapat ditemukan pada pasien paska stroke. Kemampuan gerak ekstremitas yang berkurang, ketidakseimbangan postural serta gangguan koordinasi mengakibatkan usia lanjut menjadi kurang seksama dalam melaksanakan aktivitas membersihkan diri sendiri termasuk daerah genitalia. Pada pria usia lanjut, faktor predisposisi yang tersering adalah prostatitis kronis. Polimikroba Etiologi ISK pada lansia sering tidak hanya satu tetapi beberapa jenis (polimikroba). Akan tetapi, Escherichia coli masih menjadi organisme penyebab ISK tersering. Klebsiella mudah ditemukan pada lansia dengan diabetes. Sedangkan pada pasien lansia yang dirawat, E. coli menduduki 1/3nya; Proteus 1/3nya dan sisanya Staphylococcus aureus, Klebsiella, Pseudomonas, dan Enterococcus. Klasifikasi Dalam Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK) yang berlangsung di Jakarta, 13-18 Maret lalu, Dr Iwan Asmara Achmad SpBU membagi ISK dibagi menjadi 2 tipe yaitu tidak berkomplikasi (uncomplicated) dan berkomplikasi (complicated). Prinsipnya, semua ISK yang ditemukan pada pria tergolong ISK berkomplikasi, karena semestinya struktur anatomi saluran kemih yang letaknya tidak tersembunyi menyulitkan terjadinya ISK. Sebaliknya, definisi ISK berkomplikasi pada perempuan lebih 'lunak' yaitu bila ditemukan adanya kelainan struktur pada sistem saluran kemih, batu, retensi urin, abses atau urosepsis, atau terjadi karena penyebaran hematogen. ISK pada usia lanjut sebagian besar adalah ISK berkomplikasi. Pada usia diatas 65 tahun, ISK merupakan sebab dari 30% kasus bakteremia, dibandingkan dengan 16% pada usia dibawah 65 tahun. Berdasarkan frekuensi timbulnya gejala, ISK dibedakan menjadi asimtomatik dan rekuren. Dari namanya, kita sudah bisa menebak bahwa ISK asimtomatik berarti individu yang bersangkutan tidak mengalami gejala ISK seperti frekuensi, urgensi, demam, nyeri pinggang, atau gejala lainnya yang berkaitan dengan iritasi uretra, kandung kemih dan ginjal, meskipun ditemukan bakteri dalam urin. Menurut Dr Iwan, ISK asimtomatik tidak perlu diobati, kecuali pada kasus-kasus seperti akan dilakukan prosedur invasif pada saluran kemih dan kelamin, wanita hamil, neutropenia, dan yang akan menjalani transplantasi ginjal. Selain itu, bila ada underlying disease seperti diabetes melitus, meski asimtomatik tetap harus ditatalaksana. Sementara itu, ISK rekuren adalah ISK yang terbukti dari hasil kultur dan frekuensi timbulnya gejala lebih dari 3 x dalam 1 tahun atau lebih dari 2 x dalam 6 bulan. ISK rekuren dibagi lagi menjadi 2 yaitu relaps dan reinfeksi. Disebut relaps bila ISK kembali terjadi setelah 2 minggu paska pengobatan ISK yang pertama dan penyebabnya oleh kuman yang sama. Sedangkan reinfeksi terjadi lebih dari 4 minggu paska pengobatan ISK pertama dan etiologinya berbeda. Gejala Samar-Samar

Tidak mudah menegakkan diagnosis ISK pada lansia karena gejalanya samar-samar. Penyakit komorbid dan terapi yang didapat bisa menutupi gejala ISK. Gejala klinis klasik ISK seperti disuri, polakisuri, demam, nyeri tekan daerah suprapubik maupu sakit pinggang jarang sekali ditemukan tapi dapat saja terjadi. Hal itu mungkin dikarenakan ekspresi kaum geriatri dalam mengutarakan gejala-gejala klinis tersebut kurang baik dibandingkan individu dewasa. Ketidakmampuan mengungkapkan ekspresi tersebut mungkin pula berkaitan dengan sudah terjadinya penurunan faal kognitif. Gejala klinis awal yang dapat ditemukan adalah penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan tidak hanya menjadi gejala klinis awal tetapi juga memberi kontribusi terhadap progresifitas penyakit. Dengan kurangnya asupan makanan maka status nutrisi terganggu. Demikian pula dengan status imun. Gejala lain adalah inkontinensia urin. Penggunaan popok perlu diperhatikan agar segera diganti bila basah sebab dapat menjadi media berkembangbiaknya mikroorganisme. Kondisi lebih jauh adalah munculnya gejala perubahan kesadaran, delirium atau perubahan perilaku yang sering disalahtafsirkan oleh keluarga dan tenaga kesehatan sebagai perubahan kepribadian atau stroke. Ditemukannya mikroorganisme di urin merupakan syarat untuk diagnosis ISK. Disinilah permasalahan itu timbul. Pada geriatri seringkali ditemukan gejala ISK tetapi kultur urinnya negatif. Sebaliknya, tak jarang pula tidak ada gejala tetapi ditemukan leukosituria pada urin (Tabel 1). Tatalaksana Secara umum tujuan terapi ISK adalah menghilangkan gejala dengan cepat, mengeradikasi kuman patogen, meminimalisasi rekurensi dan mengurangi morbiditas serta mortalitas. Tujuan itu dapat tercapai dengan pemberian antibiotik sambil mencari penyebab. Penatalaksanaan ISK pada lansia harus dilakukan sedini mungkin agar progresifitasnya tidak berlanjut. Dalam memilih antibiotik harus diperhatikan beberapa hal yaitu efek samping (terutama pada ginjal), harga, resistensi, kepatuhan (compliance), dan interaksi obat. Mengingat adanya penyakit komorbid yang mungkin juga diderita pasien, maka kita perlu mencari tahu obat-obat apa saja yang sedang dikonsumsi pasien, lalu menganalisis apakah obat ISK yang kita berikan akan berinteraksi dengan obat-obatan tersebut. Antibiotik yang umum digunakan untuk mengobati ISK tidak berkomplikasi pada lansia adalah trimethoprim/sulfamethoxazol (TMP/SMX), fluorokuinolon, fosfomisin, dan nitrofurantoin (Tabel 2). TMP/SMX telah menjadi obat lini pertama pada ISK non komplikata karena mampu membunuh banyak jenis mikroorganisme, kecuali Enterococcus. Kelebihan lain adalah TMP/SMX tersedia dalam bentuk sirup sehingga cocok digunakan pada lansia yang mempunyai kesulitan menelan. Akan tetapi sekarang sudah mulai tampak kecenderungan resistensi TMP/SMX pada E.coli. Fluorokuinolon sedikit demi sedikit mulai menggeser TMP/SMX karena tolerabilitas dan compliance-nya lebih baik. Antibiotik ini bisa digunakan pada Gram negatif dan positif tetapi

lebih efektif pada Gram negatif. Kadar creatinin clearance perlu dipantau bila kita memutuskan memberi fluorokuinolon. Bila kreatinin klirens kurang dari 0,5 ml/detik, dosis dikurangi. Fosfomisin diberikan dalam dosis tunggal sehingga compliance pasien lebih baik. Fosfomisin efektif pada Gram negatif tetapi kurang pada Gram positif. Harganya cukup mahal. Nitrofurantoin tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yaitu kreatinin klirens kurang dari 0,67 ml/detik. Sayang, sudah tidak tersedia lagi di pasaran. Kaum lansia lebih rentan terhadap efek samping dan toksisitas antibiotik. Hal itu dikarenakan menurunnya fungsi metabolisme dan ekskresi. Akibatnya, kadar obat dalam serum tinggi dan berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Oleh karena batas keamanan obat pada lansia sempit, pemilihan antibiotik harus berhati-hati dengan mempertimbangkan kelarutan obat, perubahan komposisi tubuh, status nutrisi (kadar albumin), dan efek samping. Di samping obat-obatan, terapi nonfarmakologi harus diterapkan. Sayangnya, langkah itu sering terlupakan. Terapi nonfarmakologi mencakup nutrisi dan imobilisasi. Asupan makanan dan cairan perlu disesuaikan hingga optimal sesuai kemampuan penderita. Kita perlu mengusahakan agar makanan yang diberikan habis dimakan. Pasien tidak boleh diimobilisasi terlalu lama untuk mencegah dekubitus. Dengan adanya diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat, semoga tidak ada lagi kasus 'Paus' berikutnya. (Felix
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=490

Senin, 06 Desember 2010


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN INFEKSI PADA USIA LANJUT (ARI RAHMAWATI)
1. Pendahuluan Lansia atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan poses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figure tubu tidak proposional. Dengan meningkatnya umur harapan hidup, jumlah kelompok usia lanjut akan makin banyak, yang menyebabkan tingginya penyakit degenerative, kardiovaskuler, kanker dan penyakit non infeksi lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit infeksi juga makin

banyak. Hal ini antara lain juga disebabkan karena pada usia lanjut pertahanan terhadap infeksi terganggu atau dapat dikatakan menurun (Hadi Martono, 1996). Infeksi merupakan penyebab kematian yang paling penting pada umat manusia, sampai saat digunakannya antibiotika dan pencegahan dengan imunisasi aktif maupun pasif di era mayarakat modern. Penyakit infeksi mempunyai kontribusi cukup besar terhadap angka kematian penderita sampai akhir abad 20 pada populai umum, kemudian menurun setelah ditemukan antibiotika dan teknik pencegahan penyakit. Walaupun demikian revalensi infeksi sebagai penyebab morbiditas dan motalitas tetap tinggi pada populasi lanjut usia (Yoshikawa, 1985, 1986). Suatu laporan penelitian yang membandingkan kasus kasus kematian karena infeksi tertentu antara tahun 1935 dan 1968 di Amerika Serikat menggambarkan pengaruh infeksi terhadap kelangsungan hidup umat manusia, misalnya pertusis, morbili difteri, demam kuning, tetanus, polio mielitis akut, tuberculosis dan sifilis sebagai penyebab kematian bermakna pada tahun 1935. Walaupun penyakit infeksi tersebut sudah dapat dikendalikan pada populasi umum, pada usia lanjut masih menjadi masalah, Karena berkaitan dengan menurunnya fungsi organ akibat proses menua (Smith IM, 1989). Bahkan di Amerika sendiri dimana kemajuan ilmu kedokteran tidak disangsikan lagi, angka kematian akibat beberapa penyakitinfeksi pada lansia masih jauh lebih tinggi disbanding dengan yang didapat pada usia muda, dengan data-data sebagai berikut (Yoshikawa, 1995): Angka kematian pneumonia pada lansia sekitar 3 kali disbanding usia muda Angka kematian akibat sepsis 3 kali disbanding pada dewasa muda Angka kematian akibat ISK lansia sekitar 5-10 % Kolesistisis angka kematian antara 2-8 kali Endokarditis infeksiosa kematian 2-3 kali, meningitis bakterialis sekitar 3 kali. Infeksi berarti keberadaaan mikro-organisme di dalam jaringan tubuh host, dan mengalami replikasi. Infeksi merupakan interaksi antara kuman (agent), host (pejamu, dalam hal ini adalah lansi tersebut) dan lingkungan. Pada usia lanjut terdapat beberapa factor predisposisi/factor resiko yang menyebabkan seorang usia lanjut mudah terkena infeksi, antara lain adalah: Faktor penderita lansia Keadaan nutrisi

2. Predisposisi Penyakit Infeksi pada Usia Lanjut

Keadaan imunisasi tubuh Penurunan fisiologik berbagai organ Berbagai proses patologik (ko-morbid) yang terdapat pada penderita tersebut Faktor kuman Jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi Virulensi dari kuman Factor lingkungan : apakah infeksi di dapat masyarakat, rumah sakit atau di panti rawat werdha (nursing home) 3. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penderita Faktor nutrisi : Keadaan nutrisi, yang pada usia lanjut sering kali tidak baik dapat mempengaruhi awitan, perjalanan dan akibat akhir (outcome) dari infeksi. Secara klinik keadaan ini dapat dilihat dari keadaan hidrasi, kadar hemoglobin, albumin, beberapa mikro nutrient yang penting, misalnya kadar Cu maupun Zn. Juga beberapa vitamin yang penting pada proses pertahanan tubuh. Faktor imunitas tubuh : Beberapa faktor imunitas tubuh, antara lain imunitas alamiah (inate immunity), misalnya kulit, silia, lender mukosa dll sudah berkembang kualitas dan kuantitasnya, demikian pula dengan factor imunitas humoral (berbagai immunoglobulin, sitokin) dan seluler (netrofil, makrofag, limfosit T). Fakyor perubahan fisiologik : Beberapa organ pada usia lanjut sudah menurun secara fisiologik, sehinggga juga sangat mempengaruhiawitan, perjalanan dan akhir infeksi. Penurunan fungsi paru, ginjal, hati dan pembuuh darah akan sangat mempengaruiberbagai proses infeksi dan pengobatannya. Fungsi orofaring pada usia lanjut sudah menurun sedemikian sehingga sering kali terjadi gerakan kontra peristaltic (terutama saat tidur), yang menyebabkan terjadinya aspirasi spontan dari flora kuman di daerah tersebut kedalam saluran nafas bawah dan menyebabkan terjadinyaaspirasi pneumonia (Yoshikawa, 1996). Berbagai obat-obatan yang aman diberiakan pada usia muda harus secara hati-hati diberikan pda usia lanjut, karena dapat lebih memperburuk berbagai fungsi organ, antara lain hati dan ginjal. Faktor terdapatnya berbagai proses patologik :

Salah satu karakteristik pada usia lanjut adalah adanya multi-patologi. Berbagai penyakit antara lain diabetes mellitus, PPOM, keganasan atau abnormalitas pembuluh darah akan sangat mempermudah terjadinya infeksi, mempersulit proses pengobatannya dan menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk. Faktor lingkungan Penderita lansia yan berada di lingkungan rumah sakit tentu saja berbeda dengan yang berada di lingkungan rumah sakit tentu saja berbeda dengan yang berada dimasyarakat atau dip anti rawat werdha, antara lain dilihat da aspek social-ekonomi, nutrisi, kebugaran dan penyakit penyertanya. Demikian pula jenis dan virulensi kuman yang berada diketiga tempat tersebut akan berbeda. Dengan demikian jenis dan berat infeksi yang terjadi diketiga tempat tersebut akan berbeda satu satu sama lain, dengan akibat keadaan akhir/akibat infeksi yang berbeda pula. Faktor kuman Infeksi = jumlah kuman x virulensi Mekanisme daya tahan tubuh Jumlah dan virulensi kuman yang terjadi penyebab infeksi pada usia lanjut seringkali berbeda dengan yang terjadi pada usia muda. Hal ini disebabkan terutama karena sudah terdapat berbagai penurunan fisiologik akibat proses menua, misalnya kulit dan mukosa yang lebih sering menjadi port de entre kuman. Akibat kelemahan otot saluran nafas bagian atas menyebabkan sering terjadi pneumonia spontan dengan kuman komensal sebagai penyebabnya. Keadaan ini akan berpengaruh pada awitan, berat dan akhir dari infeksi pada penderita lanjut usia.

4. Salah satu contoh penyakit infeksi yang sering diderita lansia yaitu Infeksi saluran kemih bawah. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah penyebab sepsis akibat bakteri yang paling banyak pada lansia. Infeksi ini hamper 10 kali lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan priamenyerang 10% sampai 20% wanita minimal satu kali. Dua bentuk ISK bawah adalah sistisis (infeksi kandung kemih) dan uretritis (infeksi uretra). Pada pria dewasa, ISK bawah biasanya dihubungkan dengan kelainan anatomi atau fisiologis sehingga perlu evaluasi yang lebih cermat. Kebanyakan ISK berespon dengan cepat terhadap terapi, tetapi kekambuhan dan gejolak resistensi bakteri selama terapi mungkin saja terjadi.

5. Penyebab Biasanya bakteri enteric, terutama eschericiacoli pada wanita. Gejala bervariasi tergantung dari variasi jenis bakteri tersebut. Pada pria dan pasien di rumah sakit , 30-40 % disebabkan proteus,stafilokok, dan bahkan pseudomonas. Bila ditemukan, kemungkinan besar terdapat kelainan saluran kemih. Namun harus diperhitungkan kemungkinan kontaminasi jika ditemukan lebih dari satu organisme. 6. Tanda dan gejala Mual, muntah, dan kehilangan selera makan Kram atau spasme kandung kemih Gatal, merasa hangat selama berkemih Nyeri punggung bawah Menggigil Nyeri pinggang Urine berbau busuk Demam derajat rendah (mungkin tidak terjadi pada pasien lansia) Pasien pria dengan rabas uretra

7. Pemeriksaan Diagnostik Urinalisis mikroskopik yang menunjukkan hitung sel darah merah dan sel darah putih lebih dari 10 per lapang kekuatan tinggi menunjukkan ISK bawah. Clean cath urinalysis yang menunjukkan hitung bakteri lebih dari 100.000/ml memastikan terjadinya ISK. Hitung bakteri yang rendah tidak segera menyingkirkan terjadinya infeksi, khususnya jika pasien sering berkemih, karena bakteri memerlukan waktu 30 45 menit untuk bereproduksi dalam urin. Pengujian sensitivitas digunakan untuk menentukan obat antimikroba yang tepat. Voiding cystourethrography atau urografi ekskretorik dapat menunjukkan anomaly congenital yang menyebabkan ISK berulang pada pasien. 8. Diagnosis Banding Infeksi atau iritasi pada periuretra atau vagina. 9. Komplikasi Pielonefritis akut, septicemia, dan kerusakan ginjal

10. Penanganan Antimikroba yang tepat merupakan terapi pilihan untuk kebanyakan ISK bawah awal. Terapi selama 7 10 hari adalah terapi standar. Meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal atau regimen selama 3 5 hari cukup untuk membuat steril urine, pasien lansia mungkin masih membutuhkan antibiotic selama 7 10 hari agar mendapatkan manfaat penuh dari terapi. Biakan berulang dilakukan untuk menyingkirkan resistensi. Jika biakan menunnjukkan bahwa urine tidak steril setelah 3 hari terapi antibiotic, resistensi bakteri kemungkinan telah terjadi sehingga perlu antimikroba yang berbada. Dosis tunggal amoksisilin atau kotrimoksazol kemungkinan efektif bagi wanita yang menderita ISK bawah tanpa komplikasi. Biakan urin yang diambil 1 2 minggu kemudian menunjukkan apakah infeksi telah hilang. Kekambuhan infeksi akibat batu ginjal yang terinfeksi, prostatitis kronis, atau kelainan structural mungkin perlu pembedahan. Prostatitis juga perlu terapi antibiotic jangka panjang. Pada lansia yang tanpa kondisi kondisi predisposisis ini, terapi antibiotic dosis rendah dan jangka panjang merupakan terapi pilihan. Karena efek merugikan pada GI dan ginjal dikaitkan dengan terapi antimikroba, ISK asimtomatik sering dibiarkan tidak diobati. 11. Diagnosis keperawatan utama dan kriteria hasil Gangguan eliminasi urin yang berhubungan deng an inflasi pada saluran kemih bawah. Kriteria hasil tindakan : pasien akan mencapai dan mempertahankan eliminasi urin yang normal Resiko infeksi yang berhubungan dengan insiden kekambuhan ISK yang tinggi Kriteria hasil tindakan : pasien akan tetap bebas dari ISK berulang seperti yang ditunjukkan dengan urinalisis normal dan tidak adanya tanda dan gejala ISK. Nyeri akut yang berhubungan dengan spasme dan kram kandung kemih Kriteria hasil tindakan : pasien akan bebas dari nyeri ketika ISK hilang 12. Intervensi Keperawatan Perhatikan apakah ada gangguan GI akibat terapi anti mikroba. Jika diprogamkan, berikan makrokristal nitrofurantoin bersama susu atau makanan untuk mencegah distress GI. Jika rendam duduk tidak dapat meredakan ketidaknyamanan perineum, berikan kompres hangat sedang ke perineum, tetapi hati hati agar tidak membakar pasien. Oleskan anti septic topical pada meatus urinarius jika perlu

Tamping semua specimen urin untuk biakan dan pengujian sensitivitas secara berhati hati dan cepat. 13. Penyuluhan pasien Jelaskan sifat dan tujuan terapi antimikroba. Tekankan pentingnya menyelesaikan terapi yang diprogamkan dan mematuhi dosis yang diprogamkan dengan ketat. Biasakan pasien dengan obat yang diresepkan dan kemungkinan efek merugikan dari obat tersebut. Anjurkan meminum makrokristal nitrofurantoin bersama susu atau makanan untuk mencegah distress GI. Peringatkan pasien bahwa fenazopiridin membuat urin berwarna merah jingga dan mewarnai pakaian. Jelaskan bahwa specimen urin pancar tengah yang tidak terkontaminasi penting untuk diagnosis yang akurat. Sebelum menampung, ajarkan lansia wanita membersihkan perineum. Anjurkan rendam duduk hangat untuk meredakan ketidaknyamanan perineum Anjurkan pasien memakai pakaian dalam dari katun dan menghindari bedak berparfum atau minyak mandi. Jelaskan pasien mengenai praktik yang dapat membantu mencegah ISK bawah.

DAFTAR PUSTAKA

Stockslager Jaime L. 2007. Asuhan KeperawatanGeriatrik. Edisi 2. Jakarta. EGC Noorkasiani S. Tamher. 2009. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. Maryam Siti, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta. Penerbit : Salemba Medika. Nugroho Wahjudi, 2003. Keperawatan Gerontik dan Gerontrik Edisi 3. Jakarta : EGC Pudjiastuti Sri Surini, dkk. 2003. Fisioterapi pada lansia. Jakarta. Penerbit Buku: EGC.

Anda mungkin juga menyukai