Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kencing atau sistitis merupakan masalah kesehatan

yang cukup serius bagi jutaan orang di setiap tahun. Sistitis merupakan penyakit

infeksi nomor 2 yang paling banyak menyerang manusia di muka bumi.

Umumnya penyakit ini menyerang kaum wanita tapi sering juga ditemukan pada

laki-laki, dikarenakan uretra laki-laki lebih panjang dari pada wanita, sehingga

bakteri dan mikroorganisme lainnya lebih sulit menjangkau kandung kemih dan

menyebabkan sistitis.1

Infeksi kandung kemih terjadi ketika ada bakteri atau Mikroorganisme

lainnya, melekat pada pembukaan uretra dan berkembang biak. Gejala infeksi

saluran kemih akut dan gejala infeksi saluran kemih kronis memiliki persamaan

pada proses timbul yang lambat dan radang yang ringan. Pada umumnya gejala

infeksi saluran kemih kronis akan terjadi dalam kurun waktu jangka panjang dan

juga akan terjadi penanahan berulang kali pada urine atau eritrosit. Pada pasien-

pasien ini umumnya memiliki catatan riwayat infeksi saluran kemih akut, batu

ginjal serta pertumbuhan yang abnormal atau faktor lainnya. Oleh karena itu,harus

dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut.1,2

1
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan

2.1.1 Definisi

Sistitis atau infeksi saluran kemih adalah keadaan adanya infeksi (biasanya

perkembangbiakan bakteri) pada saluran kemih meliputi uretra hingga ginjal

dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah bila

ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per mL urin

segar atau 105 cfu/mL atau leukosituria >10/LPB (yang diperoleh dengan cara

pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).1

2.1.2 Epidemiologi

Sistitis merupakan infeksi sistem nomor dua paling sering setelah infeksi

saluran napas yang terjadi pada populasi dunia dengan rata-rata 9,3% pada wanita

di atas 65 tahun dan 2,5 – 11% pada pria di atas 65 tahun. Sisititis merupakan

salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan pada pasien rawat jalan maupun

pasien rawat inap, yang mencapai kira-kira 40-60% dari infeksi nosokomial.

sistitis merupakan infeksi dengan keterlibatan bakteri tersering di komunitas dan

hampir 10% orang pernah terkena sistitis dalam hidupnya. Data dari WHO 2018

menunjukkan sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia tiap tahunnya

terdiagnosis menderita sistitis. Prevalensinya sangat bervariasi berdasarkan umur

dan jenis kelamin. Sistitis dapat mengenai pasien dari segala usia mulai dari bayi

baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami

2
episode Sistitis dari pada pria, hal ini dikarenakan panjang uretra wanita yang

lebih pendek dari pada laki-laki. Di negara berkembang, Sistitis menempati posisi

kedua tersering (23,9%) setelah infeksi luka operasi (29,1%) sebagai infeksi yang

paling sering didapatkan oleh pasien di fasilitas kesehatan.1,2,4

Data dari Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa jumlah penderita

sistitis mencapai 90 – 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Data penelitian

epidemiologi klinik di Indonesia tahun 2017 melaporkan bahwa hampir 25-35%

perempuan dewasa pernah mengalami sistitis selama hidupnya. Pada individu

perempuan, prevalensi sistitis pada usia sekolah adalah 1%, yang meningkat

menjadi 5% pada fase seksual aktif. Prevalensi sistitis pada pasien penyakit ginjal

kronik (PGK) mencapai 14,2% dari total 300 sampel dari pasien yang berobat ke

instalasi hemodialisa.2,3

2.1.3 Etiologi

Di dunia dilaporkan bahwa Escherichia colimerupakan penyebab

terbanyak sistitis yaitu mencapai 85% untuk infeksi community-acquired dan 60%

infeksi hospital-acquired. Pada infeksi community-acquiredjuga dijumpai kuman

enterobactericeae gram negatif lain seperti Proteus mirabilis dan Klebsiella

pneumoniae, sementara untuk gram positif didapati kuman seperti Enterococcus

faecalis dan Staphylococcus saprophyticus. Pada sistitis komplikata atau

nosokomial disebabkan oleh E. faecalis, Klebsiella, Enterobacter, Citrobacter,

Serratia, Pseudomonas aeruginosa, Providencia, dan S. epidermidis. Di Indonesia

pada tahun 2017-20018 dari 3 senter pendidikan yaitu Jakarta (Bagian

Mikrobiologi & Bagian Patologi Klinik), Bandung (Bagian Patologi Klinik Sub

3
Bagian Mikrobiologi) dan Surabaya (Bagian Mikrobiologi) didapati pola kuman

isolat urin terbanyak yaitu pada Tabel 1.5,6

Tabel 1. Pola Kuman Isolat Urin Terbanyak

Kuman Jumlah

Escherichia coli 1161 (34,85%)

Klebsiella sp 554 (16,63%)

Pseudomonas sp 498 (14,95%)

Staphylococcus epidermidis 165 (4,95%)

Enterobacter aerogenes 153 (4,59%)

Lain-lain 800 (24,01%)

2.1.4 Faktor resiko

Dalam kondisi normal saluran kemih bersifat steril dan infeksi

berkembang bila virulensi bakteri melampaui mekanisme pertahanan inang.

Terjadinya sistitis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti usia, jenis kelamin,

prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebakan perubahan

struktur saluran kemih termasuk ginjal. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat

hingga 30% pada laki-laki maupun perempuan bila diserta faktor predisposisi

seperti litiasis, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, nekrosis

papilar, diabetes mellitus pasca transplantasi ginjal, nefropati analgesik, penyakit

Sickle-cell, senggama, kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron, dan

kateterisasi.6,7

Infeksi asendens sering ditemukan, terutama pada perempuan karena uretra

pendek sehingga infeksi mudah naik. Pada lelaki, infeksi asendens dapat terjadi

4
pada instrumentasi atau kateterisasi. Sistiitis akan naik lebih tinggi dari kandung

kemih bila taut vesiko-ureter paten sehingga tidak terdapat refluks vesiko ureter.

Faktor-faktor yang menyebabkan infeksi ginjal asendens yaitu pada Tabel . 5,6

Tabel . Faktor penyebab infeksi ginjal asendens

─ Obstruksi ureter

 Pielolitiasis

 Hidonefrosis bawaan

 Megaureter

 Striktur ureter

─ Nefrolitiasis

─ Fistel ureterokolon atau ureterovaginal

─ Refluks vesika

─ Ureter primer atau sekunder

 Neuropati

 Obstruksi

─ Pengalihan aliran kemih

Umumnya infeksi dicegah oleh lancarnya arus kemih. Setiap stasis,

gangguan urodinamik, atau hambatan arus merupakan faktor pencetus infeksi.

Selain faktor lokal tersebut, perlu dipertimbangkan juga faktor pencetus umum,

misalnya diabetes melitus (dengan atau tanpa neuropati), penurunan imunitas,

supresi sistem imun, atau malnutrisi.7

Terdapat hubungan kausal yang erat antara sistitis dengan urolitiasis dan

obstruksi saluran kemih. Stasis urin, urolitiasis, dan sistitis merupakan

5
peristiwa yang saling memengaruhi. Secara berantai saling memicu, saling

memberatkan, dan saling mempersulit penyembuhan. Infeksi, trauma, dan

tumor dapat menyebabkan penyempitan atau striktur uretra sehingga terjadi

bendungan dan stasis yang memudahkan infeksi. Lingkungan stasis dan infeksi

memungkinkan terbentuk batu yang juga akan menyebabkan bendungan dan

memudahkan infeksi karena bersifat sebagai benda asing.8

2.1.5 Klasifikasi

Menurut pembagian anatomisnya sistitis dibagi menjadi :8,9,10

1. Sistitis dan infeksi kencing bagian bawah meliputi infeksi dan peradangan

pada:

a. Perempuan: meliputi sistitis yakni suatu presentasi infeksi kandung

kemih disertai bakteriuria bermakna, dan sindrom uretra akut (SUA)

yakni adanya presentasi sistitis tanpa adanya mikroorganisme/steril.

b. Laki-laki: sistitis, prostatitis, epididimitis, dan urethritis.

2. Sisititis dan infeksi saluran kemih Atas meliputi pielonefritis akut (PNA)

yakni adanya proses inflamasi pada parenkim ginjal yang disebabkan oleh

infeksi bakteri, dan pielonefritis kronis (PNK) yang merupakan kondisi

lanjut dari adanya infeksi akut sejak masa kecil, obstruksi saluran kemih dan

refluks vesikoureter dengan maupun tanpa adanya bakteriuria kronik dan

sering diikuti terjadinya jaringan parut pada ginjal.

Menurut tanda klinisnya sistitis dibagi menjadi

6
1. Bakteriuria asimptomatik/covert bacteriuria, merupakan kondisi

ditemukannya bakteriuria bermakna yang tidak disertai adanya keluhan

ataupun tanda-tanda klinis. Kondisi ini sering diakibatkan oleh:

a. Pasien telah mendapatkan/sedang menggunakan terapi antimikroba

b. Terapi diuretika

c. Minum banyak

d. Waktu pengambilan sampel tidak tepat

e. Peranan bakteriofag

2. Bakteriuria simptomatik, merupakan kondisi ditemukannya bakteriuria

bermakna yang juga diikuti oleh adanya keluhan maupun tanda-tanda klinis

suatu sistitis.

Menurut komplikasinya, sistitis dibagi menjadi:

1. Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated), merupakan suatu kondisi

sistitis yang tunggal maupun berulang, namun tidak ditemukan tanda-tanda

maupun gejala insufisiensi renal kronik.

2. Infeksi saluran kemih berkomplikasi (complicated), merupakan suatu

kondisi sistitis yang diikuti dengan terjadinya insufisiensi renal kronik yang

seringkali berkaitan dengan refluks vesikoureter sejak lahir yang biasanya

dapat berakhir pada gagal ginjal terminal.

Pasien juga dapat mengalami sistitis rekuren. Secara umum ISK rekuren

dibagi menjadi 2, yakni:

1. Reinfeksi, pada umumnya episode infeksi berlangsung dengan interval > 6

minggu dengan mikroorganisme yang berlainan,

7
Relaps, setiap kali infeksi diakibatkan oleh mikroorganisme yang sama,

disebabkan oleh pemberian terapi yang tidak adekuat.

2.1.6 Patofisiologi

Saluran kemih atau urin bebas dari mikroorganisme atau steril. Infeksi

saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih

dan berkembang biak di dalam media urin. Mikroorganisme memasuki saluran

kemih melalui 4 cara, yaitu ascending, hematogen, limfogen, atau langsung dari

organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen sebagai akibat dari

pemakaian instrumen.11

Dua jalur utama masuknya bakteri ke saluran kemih adalah jalur

hematogen dan asending, tetapi asending lebih sering terjadi.11,12

1. Infeksi hematogen (desending)

Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan

tubuh rendah, karena menderita suatu penyakit kronik, atau pada pasien yang

sementara mendapat pengobatan imunosupresif. Penyebaran hematogen dapat

juga terjadi akibat adanya fokus infeksi di salah satu tempat. Contoh

mikroorganisme yang dapat menyebar secara hematogen adalah

Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Pseudomonas, Candida sp., dan

Proteus sp.

Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi

E.coli karena itu jarang terjadi infeksi hematogen E.coli. Ada beberapa

tindakan yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal yang dapat

8
meningkatkan kepekaan ginjal sehingga mempermudah penyebaran

hematogen. Hal ini dapat terjadi pada keadaan sebagai berikut :

a. Adanya bendungan total aliran urin

b. Adanya bendungan internal baik karena jaringan parut maupun

terdapatnya presipitasi obat intratubular, misalnya sulfonamide

c. Terdapat faktor vaskular misalnya kontriksi pembuluh darah

d. Pemakaian obat analgetik

e. Pijat ginjal

f. Penyakit ginjal polikistik

g. Penderita diabetes melitus

2. Infeksi asending

a. Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina12

Saluran kemih yang normal umumnya tidak mengandung

mikroorganisme kecuali pada bagian distal uretra yang biasanya juga dihuni

oleh bakteri normal kulit seperti basil difteroid, streptpkokus. Di samping

bakteri normal flora kulit, pada wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra ini

disertai jaringan periuretral dan vestibula vaginalis yang juga banyak dihuni

oleh bakteri yang berasal dari usus karena letak usus tidak jauh dari tempat

tersebut. Pada wanita, kuman penghuni terbanyak pada daerah tersebut adalah

E.coli di samping enterobacter dan S.fecalis. Kolonisasi E.coli pada wanita

didaerah tersebut diduga karena :12

 adanya perubahan flora normal di daerah perineum

 Berkurangnya antibodi lokal

 Bertambahnya daya lekat organisme pada sel epitel wanita

9
b. Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih

Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandunh kemih belum

diketahui dengan jelas. Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya

mikroorganisme ke dalam kandung kemih adalah :13

1) Faktor anatomi

Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita

daripada laki-laki disebabkan karena :

 Uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat anus

 Uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar prostat dan sekret prostat

merupakan antibakteri yang kuat

2) Faktor tekanan urin pada waktu miksi

Mikroorganisme naik ke kandung kemih pada waktu miksi karena tekanan

urin. Selama miksi terjadi refluks ke dalam kandung kemih setelah pengeluarann

urin.

3) Faktor lain, misalnya

 Perubahan hormonal pada saat menstruasi

 Kebersihan alat kelamin bagian luar

 Adanya bahan antibakteri dalam urin

 Pemakaian obat kontrasepsi oral

c. Multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan kandung

kemih

Dalam keadaan normal, mikroorganisme yang masuk ke dalam kandung

kemih akan cepat menghilang, sehingga tidak sempat berkembang biak dalam

10
urin. Pertahanan yang normal dari kandung kemih ini tergantung tiga faktor yaitu

:13

1) Eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek pembilasan dan

pemgenceran urin

2) Efekantibakteri dari urin, karena urin mengandung asam organik yang

bersifat bakteriostatik. Selain itu, urin juga mempunyai tekanan

osmotik yang tinggi dan pH yang rendah

3) Mekanisme pertahanan mukosa kandung kemih yang intrinsik

Mekanisme pertahanan mukosa ini diduga ada hubungannya dengan

mukopolisakarida dan glikosaminoglikan yang terdapat pada permukaan

mukosa, asam organik yang bersifat bakteriostatik yang dihasilkan bersifat

lokal, serta enzim dan lisozim. Selain itu, adanya sel fagosit berupa sel

neutrofil dan sel mukosa saluran kemih itu sendiri, juga IgG dan IgA yang

terdapat pada permukaan mukosa. Terjadinya infeksi sangat tergantung pada

keseimbangan antara kecepatan proliferasi bakteri dan daya tahan mukosa

kandung kemih.

Eradikasi bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat

hal sebagai berikut : adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau

batu dalam kandung kemih, tekanan kandung kemih yang tinggi atau

inflamasi sebelumya pada kandung kemih.

d. Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal

Hal ini disebabkan oleh refluks vesikoureter dan menyebarnya infeksi

dari pelvis ke korteks karena refluks internal. Refluks vesikoureter adalah

keadaan patologis karena tidak berfungsinya valvula vesikoureter sehingga

11
aliran urin naik dari kandung kemih ke ginjal. Tidak berfungsinya valvula

vesikoureter ini disebabkan karena :14

 Memendeknya bagian intravesikel ureter yang biasa terjadi secara

kongenital

 Edema mukosa ureter akibat infeksi

 Tumor pada kandung kemih

 Penebalan dinding kandung kemih

2.1.7 Manifestasi Klinis

Berdasarkan gejalanya, sistitsi dibagi menjadi dua, yaitu:14

 Sistitis dan infeksi bagian bawah. Pada infeksi ini, gejala yang ditimbulkan

berupa “anyang-anyangan” yang ditandai dengan:

o Sering merasa ingin buang air kecil (kencing).

o Jika sudah kencing, air seni yang dikeluarkan tidak akan keluar

banyak dan disertai rasa nyeri.

12
o Air seni berbau tidak sedap dan berwarna keruh (terkadang

bercampur darah).

o Badan terasa tidak enak, lelah, dan nyeri.

o Perut bawah di sekitar kemaluan akan terasa kram dan tidak

nyaman.

o Munculnya perasaan bahwa urine tidak sepenuhnya keluar setelah

selesai kencing.

 Sistitis dan infeksi bagian atas, sistitis yang terjadi dengan komplikasi

ginjal. Pada infeksi ini, gejala yang ditimbulkan berupa:14

o Terjadi diare mendadak tanpa ada sebab yang jelas.

o Munculnya perasaan mual dan muntah.

o Tubuh terasa dingin dan kadang mengigil.

o Sakit dan nyeri pada bagian tulang selangkangan, punggung, dan

juga pinggang.

2.1.8 Diagnosis

Pemeriksaan penunjang dalam protokol standar untuk pendekatan diagnosis

sistitis terdiri dari analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa

putar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin. 15

Pemeriksaan sistitis digunakan urin segar (urin pagi). Urin pagi adalah urin

yang pertama – tama diambil pada pagi hari setelah bangun tidur. Digunakan

urin pagi karena yang diperlukan adalah pemeriksaan pada sedimen dan protein

dalam urin. Sampel urin yang sudah diambil, harus segera diperiksa dalam

13
waktu maksimal 2 jam. Apabila tidak segera diperiksa, maka sampel harus

disimpan dalam lemari es atau diberi pengawet seperti asam format.15

Bahan untuk sampel urin dapat diambil dari:15

 Urin porsi tengah, sebelumnya genitalia eksterna dicuci dulu dengan air sabun

dan NaCl 0,9%.

 Urin yang diambil dengan kateterisasi 1 kali.

 Urin hasil aspirasi supra pubik.

Bahan yang dianjurkan adalah dari urin porsi tengah dan aspirasi supra pubik.

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya adalah

sebagai berikut:

1. Analisa Urin (urinalisis)

Pemeriksaan urinalisis meliputi:

 Leukosuria (ditemukannya leukosit dalam urin).

Dinyatakan positif jika terdapat 5 atau lebih leukosit (sel darah putih) per

lapangan pandang dalam sedimen urin.

 Hematuria (ditemukannya eritrosit dalam urin).

Merupakan petunjuk adanya infeksi saluran kemih jika ditemukan eritrosit

(sel darah merah) 5-10per lapangan pandang sedimen urin. Hematuria bisa

juga karena adanya kelainan atau penyakit lain, misalnya batu ginjal dan

penyakit ginjal lainnya.

2. Pemeriksaan bakteri (bakteriologis)

Pemeriksaan bakteriologis meliputi:16

 Mikroskopis.

Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).

14
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.

 Biakan bakteri.

Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.

3. Pemeriksaan kimia

Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes

reduksi griess nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan:

ditemukan lebih 100.000 bakteri. Tingkat kepekaannya mencapai 90 %

dengan spesifisitas 99%. 16

4. Tes Dip slide (tes plat-celup)

Untuk menentukan jumlah bakteri per cc urin. Kelemahan cara ini tidak

mampu mengetahui jenis bakteri.16

5. Pemeriksaan penunjang lain

Meliputi: radiologis (rontgen), IVP (pielografi intra vena), USG dan Scanning.

Pemeriksaan penunjang ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya batu

atau kelainan lainnya.16

Pemeriksaan penunjang dari infeksi saluran kemih terkomplikasi:15,16

1. Bakteriologi / biakan urin

Tahap ini dilakukan untuk pasien dengan indikasi:

 Penderita dengan gejala dan tanda infeksi saluran kemih (simtomatik).

 Untuk pemantauan penatalaksanaan infeksi saluran kemih.

 Pasca instrumentasi saluran kemih dalam waktu lama, terutama pasca

keteterisasi urin.

 Penapisan bakteriuria asimtomatik pada masa kehamilan.

15
 Penderita dengan nefropati / uropati obstruktif, terutama sebelum

dilakukan

Beberapa metode biakan urin antara lain ialah dengan plat agar

konvensional, proper plating technique dan rapid methods. Pemeriksaan

dengan rapid methods relatif praktis digunakan dan memiliki ambang

sensitivitas sekitar 104 sampai 105 CFU (colony forming unit) kuman.16

Pada biakan urin dinilai jenis mikroorganisme, kuantitas koloni (dalam

satuan CFU), serta tes sensitivitas terhadap antimikroba (dalam satuan

millimeter luas zona hambatan). Pada uretra bagian distal, daerah perianal,

rambut kemaluan, dan sekitar vagina adalah habitat sejumlah flora normal

seperti laktobasilus, dan streptokokus epidermis. Untuk membedakan infeksi

saluran kemih yang sebenarnya dengan mikroorganisme kontaminan tersebut,

maka hal yang sangat penting adalah jumlah CFU. Sering terdapat kesulitan

dalam mengumpulkan sampel urin yang murni tanpa kontaminasi dan kerap

kali terdapat bakteriuria bermakna tanpa gejala, yang menyulitkan penegakkan

diagnosis infeksi saluran kemih. Berdasarkan jumlah CFU, maka interpretasi

dari biakan urin adalah sebagai berikut: 15,16

a. Pada hitung koloni dari bahan porsi tengah urin dan dari urin kateterisasi.

 Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah disebut dengan

bakteriuria bermakna

 Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah tanpa gejala klinis

disebut bakteriuria asimtomatik

16
 Bila terdapat mikroba 102 – 103 CFU/ml urin kateter pada wanita

muda asimtomatik yang disertai dengan piuria disebut infeksi

saluran kemih.

b. Hitung koloni dari bahan aspirasi supra pubik.

Berapapun jumlah CFU pada pembiakan urin hasil aspirasi supra pubik

adalah infeksi saluran kemih.

Interpretasi praktis biakan urin oleh Marsh tahun 1976, ialah sebagai

berikut:

Kriteria praktis diagnosis bakteriuria. Hitung bakteri positif bila

didapatkan:

 > 100.000 CFU/ml urin dari 2 biakan urin porsi tengah yang

dilakukan seara berturut – turut.

 > 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah dengan

leukosit > 10/ml urin segar.

 > 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah disertai

gejala klinis infeksi saluran kemih.

 > 10.000 CFU/ml urin kateter.

 Berapapun CFU dari urin aspirasi suprapubik.

Berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan jumlah bakteri biakan

urin pada infeksi saluran kemih:15,16

1) Faktor fisiologis

 Diuresis yang berlebihan

 Biakan yang diambil pada waktu yang tidak tepat

 Biakan yang diambil pada infeksi saluran kemih dini (early state)

17
 Infeksi disebabkan bakteri bermultiplikasi lambat

 Terdapat bakteriofag dalam urin

2) Faktor iatrogenic

 Penggunaan antiseptic pada waktu membersihkan genitalia

 Penderita yang telah mendapatkan antimikroba sebelumnya

Cara biakan yang tidak tepat: 15,16

 Media tertentu yang bersifat selektif dan menginhibisi

 Infeksi E. coli (tergantung strain), baketri anaerob, bentuk K, dan

basil tahan asam

 Jumlah koloni mikroba berkurang karena bertumpuk.

2. Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari piuria (pus dalam urin)16

1) Urin tidak disentrifus (urin segar)

Piuria apabila terdapat ≥10 leukosit/mm3 urin dengan menggunakan kamar

hitung.

2) Urin sentrifus

Terdapatnya leukosit > 10/Lapangan Pandang Besar (LPB) disebut sebagai

piuria. Pada pemeriksaan urin porsi tengah dengan menggunakan

mikroskop fase kontras, jika terdapat leukosit >2000/ml, eritrosit

>8000/ml, dan casts leukosit >1000/ml, maka disebut sebagai infeksi

saluran kemih.

3) Urin hasil aspirasi suprapubik

Disebut piuria jika didapatkan >800 leukosit/ml urin aspirasi supra pubik.

Keadaan piuria bukan merupakan indikator yang sensitif terhadap adanya

18
infeksi saluran kemih, tetapi sensitif terhadap adanya inflamasi saluran

kemih.

3. Tes Biokimia

Bakteri tertentu golongan enterobacteriae dapat mereduksi nitrat

menjadi nitrit (Griess test), dan memakai glukosa (oksidasi). Nilai positif

palsu prediktif tes ini hanya <5%. Kegunaan tes ini terutama untuk infeksi

saluran kemih rekurens yang simtomatik. Pada infeksi saluran kemih juga

sering terdapat proteinuria yang biasanya < 1 gram/24 jam. Membedakan

bakteriuria dan infeksi saluran kemih yaitu, jika hanya terdapat piuria berarti

inflamasi, bila hanya terdapat bakteriuria berarti kolonisasi, sedangkan piuria

dengan bakteriuria disertai tes nitrit yang positif adalah infeksi saluran kemih.

4. Lokalisasi infeksi

Tes ini dilakukan dengan indikasi:

 Setiap infeksi saluran kemih akut (pria atau wanita) dengan tanda –

tanda sepsis.

 Setiap episode infeksi saluran kemih (I kali) pada penderita pria.

 Wanita dengan infeksi rekurens yang disertai hipertensi dan penurunan

faal ginjal.

 Biakan urin menunjukkan bakteriuria pathogen polimikrobal.

Penentuan lokasi infeksi merupakan pendekatan empiris untuk

mengetahui etiologi infeksi saluran kemih berdasarkan pola bakteriuria,

sekaligus memperkirakan prognosis, dan untuk panduan terapi. Secara umum

dapat dikatakan bahwa infeksi saluran kemih atas lebih mudah menjadi infeksi

saluran kemih terkomplikasi. Suatu tes noninvasif pembeda infeksi saluran

19
kemih atas dan bawah adalah dengan ACB (Antibody-Coated Bacteria).

Pemeriksaan ini berdasarkan data bahwa bakteri yang berasal dari saluran

kemih atas umumnya diselubungi antibody, sementara bakteri dari infeksi

saluran kemih bawah tidak. Pemeriksaan ini lebih dianjurkan untuk studi

epidemiologi, karena kurang spesifik dan sensitif.

Identifikasi / lokalisasi sumber infeksi:15,16,17

a. Non invasif

 Imunologik

 ACB (Antibody-Coated Bacteria)

 Autoantibodi terhadap protein saluran Tam-Horsfall

 Serum antibodi terhadap antigen polisakarida

 Komplemen C

 Nonimunologik

 Kemampuan maksimal konsentrasi urin

 Enzim urin

 Protein Creaktif

 Foto polos abdomen

 Ultrasonografi

 CT Scan

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

 Bakteriuria polimikrobial / relaps setelah terapi (termasuk pada

terapi tunggal)

b. Invasif

 Pielografi IV / Retrograde / MCU

20
 Kultur dari bahan urin kateterisasi ureteroan bilasan kandung kemih

 Biopsi ginjal (kultur pemeriksaan imunofluoresens)

5. Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya

Prinsipnya adalah untuk mendeteksi adanya faktor predisposisi infeksi

saluran kemih, yaitu hal – hal yang mengubah aliran urin dan stasis urin, atau

hal – hal yang menyebabkan gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan

tersebut antara lain berupa:16,17

a. Foto polos abdomen

Dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak

b. Pielografi intravena (PIV)

Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi

system pelviokalises. Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode

infeksi saluran kemih yang pertama dialami, wanita (bila terdapat

hipertensi, pielonefritis akut, riwayat infeksi saluran kemih, peningkatan

kreatinin plasma sampai < 2 mg/dl, bakteriuria asimtomatik pada

kehamilan, lebih dari 3 episode infeksi saluran kemih dalam setahun. PIV

dapat mengkonfirmasi adanya batu serta lokasinya. Pemeriksaan ini juga

dapat mendeteksi batu radiolusen dan memperlihatkan derajat obstruksi

serta dilatasi saluran kemih. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah

> 6 minggu infeksi akut sembuh, dan tidak dilakukan pada penderita yang

berusia lanjut, penderita DM, penderita dengan kreatinin plasma > 1,5

mg/dl, dan pada keadaan dehidrasi.

c. Sistouretrografi saat berkemih

21
Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai terdapat refluks vesikoureteral,

terutama pada anak – anak.

d. Ultrasonografi ginjal

Untuk melihat adanya tanda obstruksi/hidronefrosis, scarring process,

ukuran dan bentuk ginjal, permukaan ginjal, masa, batu, dan kista pada

ginjal.

e. Pielografi antegrad dan retrograde

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter, bersifat invasive

dan mengandung factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi perlu

dilakukan pada refluks vesikoureteral dan pada infeksi saluran kemih

berulang untuk mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih.

f. CT-scan

Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada

parenkim ginjal, termasuk mikroabses ginjal dan abses perinefrik.

Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan adanya kista

terinfeksi pada penyakit ginjal polikistik. Perlu diperhatikan bahwa

pemeriksaan in lebih baik hasilnya jika memakai media kontras, yang

meningkatkan potensi nefrotoksisitas.

g. DMSA scanning

Penilaian kerusakan korteks ginjal akibat infeksi saluran kemih dapat

dilakukan dengan skintigrafi yang menggunakan (99mTc)

dimercaptosuccinicacid (DMSA). Pemeriksaan ini terutama digunakan

untuk anak – anak dengan infeksi saluran kemih akut dan biasanya

22
ditunjang dengan sistoureterografi saat berkemih. Pemeriksaan ini 10 kali

lebih sensitif untuk deteksi infeksi korteks ginjal dibanding ultrasonografi.

Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,

harus berdasarkan indikasi klinis yang kuat yaitu sistitis kambuh (relapsing

infection), pasien laki-laki, gejala urologik yaitu kolik ginjal, piuria, hematuria;

hematuria persisten, mikroorganisme jarang seperti Pseudomonas spp dan

Proteus spp, dan sistitis berulang dengan interval ≤ 6 minggu. 17

2.1. Penegakkan Diagnosis

Secara umum presentasi klinis sistitis dengan infeksi saluran atas dan

bawah dapat dibedakan berdasarkan lokasi infeksi. Pada sistitis infeksi daluran

atas dapat ditemui gejala seperti demam, kram, nyeri punggung, muntah,

skoliosis dan penurunan berat badan. Sebagai contoh pada pielonefritis akut

(PNA) dapat ditemukan panas tinggi 39,5 – 40,5°C, disertai menggigil dan sakit

pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala sistitis bawah. Pada

sistitis bawah dapat ditemui gejala seperti nyeri suprapubik, disuria, frekuensi,

hematuria, urgensi dan stranguria. Sebagai contoh pada sistitis didapatkan nyeri

suprapubik, polakisuria, nokturia, disuria, dan stranguria. Pada sindrom uretra

akut (SUA) presentasi klinisnya sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering

ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun. Presentasi klinis SUA

sangat minim (hanya disuria dan frekuensi) disertai cfu/mL urin <105; sering

disebut sistitis abakterialis. SUA dibagi 3 kelompok pasien, yaitu: 18

a) Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E.

coli dengan cfu/ml urin 103-105. Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-

23
uretral atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon baik

terhadap antibiotik standar seperti ampisilin.

b) Kelompok kedua pasien lekosituri 10-50/lapang pandang tinggi dan kultur

urin steril. Kultur (biakan) khusus ditemukan Chlamydia trachomatis atau

bakteri anaerobik.

c) Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.

24
25
Gambar 3. Pendekatan Diagnosis Pada Sistitis

2.1.9 Tata Laksana

2.9.1 Manajeman sistitis dan infeksi saluran bawah

Prinsip manajemen meliputi:19,20

1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila fungsi ginjal normal

2. Menjaga higienitas genitalia eksterna

26
3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian antibiotik selama 3 hari dengan

pilihan trimetoprim sulfametoxazole, fluorikuinolon, amoxicillin-

clavulanate, cefpodoxime, untuk pilihan lainnya tertera pada Tabel 3.

Tabel 3.Antimikroba pada ISK Bawah tak Berkomplikasi

Antimikroba Dosis Lama Terapi

Trimetoprim- Sulfametoksazol 2 x 160/800 mg 3 hari

Trimetoprim 2 x 100 mg 3 hari

Siprofloksasin 2 x 100-250 mg 3 hari

Levofloksasin 2 x 250 mg 3 hari

Sefiksim 1 x 400 mg 3 hari

Sefpodoksim proksetil 2 x 100 mg 3 hari

Nitrofurantoin makrokristal 4 x 50 mg 7 hari

Nitrofurantoin monohidrat makrokristal 2 x 100 mg 7 hari

Amoksisilin/klavulanat 2 x 500 mg 7 hari

Pasien dan keluarga diberikan pemahaman tentang infeksi saluran

kemih dan hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain:19,20

1. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit infeksi saluran kemih.

Penyebab infeksi saluran kemih yang paling sering adalah karena masuknya

flora anus ke kandung kemih melalui perilaku atau higiene pribadi yang

kurang baik.

2. Pada saat pengobatan infeksi saluran kemih, diharapkan tidak berhubungan

seks

27
3. Waspada terhadap tanda-tanda infeksi saluran kemih bagian atas (nyeri

pinggang) dan pentingnya untuk kontrol kembali.

4. Patuh dalam pengobatan antibiotik yang telah direncakan.

5. Menjaga higiene pribadi dan lingkungan.

Pada manajemen sistitis dan infeksi saluran bawah ada beberapa

kriteria rujukan yang perlu diketahui yaitu:

1. Jika ditemukan komplikasi maka dilakukan ke layanan kesehatan sekunder

2. Jika gejala menetap dan terdapat resistensi kuman, terapi antibiotik

diperpanjang berdasarkan antibiotik yang sensitif dengan pemeriksaan

kultur urin.

2.9.2 Manajeman sistitis dan infeksi saluran atas

Prinsip penatalaksanaan komprehensif meliputi.19,20

1. Non-medikamentosa

a. Identifikasi dan meminimalkan faktor risiko

b. Tatalaksana kelainan obstruktif yang ada

c. Menjaga kecukupan hidrasi

2. Medikamentosa

a. Antibiotika empiris

i. Antibiotika parenteral: The Infectious Disease Society of America

menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai

terapi awal selama 48 - 72 jam sebelum diketahui mikroorganisme

sebagai penyebabnya:

 Fluorokuinolon

28
 Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin

 Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa

aminoglikosida

Jika dicurigai infeksi enterococci berdasarkan pewarnaan Gram

yang menunjukkan basil Gram positif, maka ampisilin yang

dikombinasi dengan Gentamisin, Ampicillin Sulbaktam, dan

Piperacillin Tazobactam merupakan pilihan empiris spektrum luas

yang baik. Berikut beberapa pilihan obat parenteral pada sistitis

atas akut berkomplikasi (pada tabel 4). Terapi antibiotika

parenteral pada pasien dengan pielonefritis akut non komplikata

dapat diganti dengan obat oral setelah 24-48 jam, walaupun dapat

diperpanjang jika gejala menetap.

Tabel 4. Obat parenteral pada sistitis dan infeksi saluran atas akut berkomplikasi

Antimikroba Dosis

Sefepim 2 x 1 gram

Siprofloksasin 2 x 400 mg

Levofloksasin 1 x 500 mg

Ofloksasin 2 x 400 mg

29
Gentamisin (+ ampisilin) 1 x 3 – 5 mg/kgBB

3 x 1 mg/kgBB

Ampisilin (+ gentamisin) 4 x 1-2 gram

Tikarsilin-klavulanat 3 x 3,2 gram

Piperasilin-tazobaktam 3 – 12 x 3,375 gram

Imipenem-silastatin 3 – 4 x 250-500 mg

Antibiotika oral:19,20

Antibiotik oral empirik awal untuk pasien rawat jalan adalah fluorokuinolon untuk

basil Gram negatif. Untuk dugaan penyebab lainnya dapat digunakan

Trimetoprim-sulfametoxazole. Jika dicurigai enterococcus, dapat diberikan

Amoxicillin sampai didapatkan organisme penyebab. Sefalosporin generasi kedua

atau ketiga juga efektif, walaupun data yang mendukung masih sedikit. Terapi

pielonefritis akut nonkomplikata dapat diberikan selama 7 hari untuk gejala klinis

yang ringan dan sedang dengan respon terapi yang baik. Pada kasus yang menetap

atau berulang, kultur harus dilakukan. Infeksi berulang atau menetap diobati

dengan antibiotik yang terbukti sensitif selama 7 sampai 14 hari. Penggunaan

antibiotik selanjutnya dapat disesuaikan dengan hasil tes sensitifitas dan resistensi.

Simtomatik

Obat simtomatik dapat diberikan sesuai dengan gejala klinik yang dialami pasien,

misalnya: analgetik-antipiretik dan anti-emetik.

Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat

inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling

sedikit 48 jam.

30
2.1.10 Komplikasi

 Gangguan pada ginjal. Saat seseorang terkena sistitis, bakteri bisa naik

dan masuk ke ginjal, kondisi ini membuat seseorang rentan terkena infeksi

ginjal (pyelonephritis) yang ditandai dengan nyeri punggung, mual,

demam, hingga menggigil. Jika tidak juga ditangani, infeksi ginjal bisa

menyebabkan kerusakan permanen pada ginjal.20

 Sepsis. Komplikasi ini terjadi ketika infeksi bakteri penyebab menyebar ke

dalam aliran darah.20

 Penyempitan uretra, biasanya terjadi pada laki-laki.21

 Melahirkan prematur dan berat bayi lahir rendah (BBLR).20

2.1.11 Pencegahan

Untuk mengurangi risiko infeksi saluran kemih, anda dapat melakukan

beberapa hal, seperti: 20,21,2

 Hindari pemakaian produk area kewanitaan yang dapat mengiritasi

uretra.

 Bersihkan bagian lubang kemih dan sekitarnya setelah buang air dari

depan ke belakang untuk mencegah menempelnya bakteri dari area

anus ke uretra.

 Minumlah banyak air untuk mencairkan air seni dan membuat sering

buang air kecil, sehingga membawa bakteri keluar dari saluran

kemih.

 Kosongkan kandung kemih setelah berhubungan seksual.

31
2.1.12 Prognosis

Infeksi saluran kemih atau sistitis tanpa kelainan anatomis mempunyai

prognosis lebih baik bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan

disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka

panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya

kurang memuaskan meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat dan

dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi terutama pada penderita dengan

nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan

yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik antara dokter, dan pasien

sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke

fase terminal gagal ginjal kronis. 2,3

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistitis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan ditemukannya

gejala demam, nyeri kencing, kencing pekat dan mikroorganisme dalam urin.

Adanya bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) adalah ditemukannya

pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 cfu/ml pada biakan urin. Dari

data penelitian yang ada, hampir 25-35% dari semua perempuan dewasa telah

pernah mengalami sistitis dalam hidupnya. Pada umumnya penyebab sistitis

adalah mikroorganisme tunggal, paling sering Eschericia coli, diikuti Proteus

spp., Klebsiella spp., Staphyllococcus spp. dan Pseudomonas spp.

Gejala dan tanda-tandanya pasien dengan sistitis berupa sering

kencing/frekuensi, disuria, hematuria dan piuria. Adanya keluhan nyeri pinggang

berhubungan dengan infeksi saluran kemih bagian atas. Pemeriksaan penunjang

pada protokol standar untuk penegakkan diagnosis sistitis meliputi analisa urin

rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah

kuman/mL urin. Tatalaksana pasien sistitis yaitu intake cairan yang banyak,

antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi

urin. Prognosis pada sistitis umumnya sangat baik.

33
DAFTAR PUSKATA

1. Sukandar, "Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa," in Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I, Jakarta, Interna Publishing, 2017,
pp. 2129-2136.

2. I. Alwi, S. Salim, R. Hidayat, J. Kurniawan and D. L. Tahapary,


Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis,
Jakarta: Interna Publishing, 2015.

3. K. Gupta and B. W. Trautner, "Urinary Tract Infections, Pyelonephritis,


and Prostatitis," in Harrison's Principles of Internal Medicine 19th
Edition, 2015, McGraw-Hill Education , 2015, pp. 861-868.

4. K. P. Seputra, Tarmono, B. S. Noegroho, C. A. Mochtar, I. Wahyudi, J.


Renaldo, A. R. Hamid, I. W. Yudiana and T. Ghinorawa, "Guideline
Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria," in Ikatan Ahli
Urologi Indonesia, Surabaya, 2015.

5. PBIDI, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer, Jakarta: IDI, 2017.

6. C. M. Chu and J. L. Lowder, "Diagnosis and Treatment of Urinary Tract


Infections Across Age Groups," American Journal of Obstetric &
Gynecology, 2018, pp. 40-51.

7. Schaeffer, "Infections of The Urinary Tract," in Campbell's Urology Vol 1,


England, Elsevier, 2017, pp. 533-553.

8. Al-Jebouri M.M., Salih A. and Mdish, Antibiotic Resistance Pattern of


Bacteria Isolated from Patients of Urinary Tract Infections in Iraq, Open
Journal of Urology, 3(2), 2018, 124-131.

9. Chowdhury S., and Parial R. Antibiotic Susceptibility Patterns of Bacteria


among Urinary Tract Infection Patients in Chittagong, Bangladesh, Sikkim
Manipal University Medical Journal, 2 (1), 2018, 122.

10. Samirah, dkk..Pola dan Sensitivitas Kuman di Penderita Infeksi Saluran


Kemih dalam Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 20016: 110-113.
11. Achmad IA, Tarmono, Noegroho BS, Taher A. Guidelines Penatalaksana
Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria. Jakarta : Ikatan Ahli Urologi
Indonesia, 2017.

12. Aghajani, Samaneh, Mehrdad Kargari. Determining Factors Influencing

34
Length of Stay and Prediciting Length of Stay Using Data Mining in the
General Surgery Departement, Hospital Practice and Research, 1(2), 2016,
53- 58, 2016.

13. Bonkat G, Pickard R, Bartoletti R, Bruyère F, Geerlings S, Wagenlehner


F, et al. EAU guidelines on urological infections. Arnhem, Netherlands:
European Association of Urology; 2017. p.22-63.

14. John U, Everding AS, Kuwertz-Broking E, Bulla M, Muller-WiefelDE,


Misselwitz J, et al. High prevalence of febrile urinary tract infections after
paediatric renal transplantation. Nephrol Dial Transplant.m 21(11):2016,
3269-74.

15. PelleG, VimontS, LevyPP, HertigA, OualiN, ChassinC, etal. Acute


pyelonephritis represents a risk factor impairing long-term kidney graft
function. Am J Transplant. 2007;7(4):899-907.

16. K.Gupta, T. M. Hooton, K. G. Naber, B. Wullt, and R. Colgan,


“International clinical practice guidelines for the treatment of acute
uncomplicated cystitis and pyelonephritis in women: a 2018 update by the
Infectious Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases,” Clinical Infectious Diseases, vol.
52, no. 5, 2019, pp. e103–e120.

17. M. Kim, C. Lloyd, and M. J. Miller, “Beyond antibiotic selection:


concordance with the IDSA guidelines for uncomplicated urinary tract
infections,” Infection, vol. 43, no. 1, 2018, pp. 89–94.

18. A. Allouch, H. Sabbah, S. Hassan, S. Sabbah, N. Droubi, and I. Sabbah,


“Antibiotic use, cost, and consumption in tertiary hospitals in Lebanon: a
comparative study before and after an implementation of antibiotic-
restriction program (ARP),” British Journal of Medicine and Medical
Research, vol. 12, no. 3,2016, pp. 1–15.

19. Flores-Mireles, A.L, Walker, J.N, Caparon, M, Hultgren, S.J. Urinary tract
infections: epidemiology, mechanisms of infection and treatment
options. Nat Rev Microbiol. 2017;13:269–284.

20. Swami, S.K, Liesinger, J.T, Shah, N, Baddour, L.M, Banerjee,


R. Incidence of antibiotic-resistant Escherichia coli bacteriuria according
to age and location of onset. Mayo Clin Proc. 2017;87:753–759.

21. Singh, C. H., & Ladusingh, L. Inpatient length of stay: a finite mixture
modeling analysis. The European Journal of Health Economics, 11(2),
2017, 119-126.

35

Anda mungkin juga menyukai