Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal non-infeksius yang
paling umum pada masa kanak-kanak, glomerulonefritis akut memengaruhi
glomerulus dan laju filtrasi ginjal, yang menyebabkan retensi natrium dan
air, serta hipertensi. Biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi
streptokokus, penyakit ini jarang memiliki efek jangka panjang pada system
ginjal (Kathhleen, 2008).
Glomerulonefritis akut memengaruhi anak laki-laki lebih sering
daripada anak perempuan, dan biasanya terjadi pada usia sekitar 6 tahun.
Terapi yang biasa diberikan mencakup pemberian antibiotic, antihipertensi,
dan diuretic juga restriksi diet. Komplikasi potensial meliputi hipertensi,
gagal jantung kongestif, dan penyakit ginjal tahap akhir.
Di Indonesia tahun 1980, Glomerulonefritis menempati urutan
pertama sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir dan meliputi 55%
penderita yang mengalami hemodialisis. (Kathhleen, 2008).
Insidens tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih
tinggi dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang
tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdeteksi. Kaplan memperkirakan
separuh pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok pada suatu epidemi
tidak terdeteksi.
Glomerulonefritis akut pascastreptokok terutama menyerang anak
pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah usia 3
tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil
penelitian multicentre di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan terdapat
170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien
terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di
Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki
dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada usia
antara 6-8 tahun (40,6%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada musim
dingin dan puncaknya pada musim semi.

B. Rumusan Masalah
Dalam isi makalah ini, akan dibahas dalam beberapa point diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan Glomerulo Nefritis Akut (GNA) ?
2. Bagaimana epidemiologi dari GNA ?
3. Bagaimana patogenesis dari GNA ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari GNA ?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien
dengan GNA ?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada GNA ?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa/i mengetahui dan memahami materi tentang Glomerulo
Nefritis Akut (GNA).
2. Tujuan Khusus
Setelah isi membaca makalah ini diharapkan pembaca, seminimal
mungkin dapat mengetahui dan memahami, diantaranya ;
a. Dapat mengetahui Definisi GNA.
b. Dapat mengetahui Epidemiologi GNA.
c. Dapat mengetahui dan memahami Patogenesis dari GNA.
d. Dapat mengetahui Manifestasi Klinis dari GNA.
e. Dapat mengetahui Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan pada
klien dengan GNA.
f. Dapat mengetahui Penatalaksanaan Medis pada GNA.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Glomerulonefritis adalah gangguan imunologi yang menyebabkan
inflamasi dan meningkatnya sel di glomerulus (Joyce & Hawks, 2009).
Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal noninfeksius yang
paling umum pada masa kanak-kanak, glomerulonefritis akut memengaruhi
glomerulus dan laju filtrasi ginjal, yang menyebabkan retensi natrium dan
air, serta hipertensi. Biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi

streptokokus, penyakit ini jarang memiliki efek jangka panjang pada system
ginjal (Kathhleen, 2008).
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi
dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Istilah
glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari
dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen
infeksi. Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi
dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi,
selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan
kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in
situ pada membran basalis glomerulus (Corwin, E. 2009).
B. Epidemiologi
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Biasanya
kasus terjadi pada kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan
higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan kesehatan.
Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25%
yang menyerang kulit (pioderma), sedangkan tanpa melihat tempat
infeksi risiko terjadinya nefritis 10-15%. Rasio terjadinya GNAPS pada
pria dibanding wanita adalah 2:1.
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun
pada negara maju, namun masih terus berlanjut pada negara berkembang,
penurunan kejadian GNAPS berkaitan banyak faktor diantaranya
penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan lebih mudah oleh
pelayanan kesehatan yang kompeten. Di beberapa negara berkembang,
glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma
nefritik yang paling sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut
terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun (Joyce &
Hawks, 2009).

C. Patogenesis
Mekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada
GNAPS sampai sekarang belum diketahui, meskipun telah diduga
terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman streptokokus yang
berhubungan dalam terjadinya GNAPS (Corwin, E. 2009).
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain
nefritogenik, hanya 10-15% yang berkembang menjadi GNAPS, mengapa
hal ini demikian masih belum dapat diterangkan, tetapi diduga beberapa
faktor ikut berperan. GNAPS menyerang semua kelompok umur dimana
kelompok umur 5-15 tahun (di Indonesia antara umur 2.5 15 tahun,
dengan puncak umur 8.4 tahun) merupakan kelompok umur tersering
dan paling jarang pada bayi. Anak laki-laki menderita 2 kali lebih
sering dibandingkan anak wanita. Rasio anak laki-laki dibanding anak
wanita adalah 76.4%:58.2% atau 1.3:1. GNAPS lebih sering dijumpai
di daerah tropis dan biasanya menyerang anak-anak dari golongan
ekonomi rendah. Di Indonesia 68.9% berasal dari keluaga sosial ekonomi
rendah dan 82% dari keluarga berpendidikan rendah. Keadaan lingkungan
yang padat, higiene sanitasi yang jelek, malnutrisi, anemia, dan
infestasi parasit, merupakan faktor risiko untuk GNAPS, meskipun
kadang-kadang outbreaks juga terjadi dinegara maju.
Proses GNAPS dimulai ketika kuman streptokokus sebagai antigen
masuk kedalam tubuh penderita,yang rentan, kemudian tubuh memberikan
respon dengan membentuk antibodi. Bagian mana dari kuman streptokokus
yang bersifat antigen masih belum diketahui. Beberapa penelitian pada
model binatang dan penderita GNAPS menduga yang bersifat antigenik
adalah: M protein, endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B, nephritis
plasmin-binding protein dan Streptokinase. Kemungkinan besar lebih
dari satu antigen yang terlibat dalam proses ini, barangkali pada
stadium jejas ginjal yang berbeda dimungkinkan akibat antigen M protein
dan streptokinase. Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-coil
dimer yang terlihat sebagai rambut- rambut pada permukaan kuman.

Protein M menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat rematogenik


atau nefritogenik. Strain nefritogenik dibagi menjadi serotype yang
berkaitan dengan faringitis (M 1, 4, 12, 25) dan serotipe infeksi kulit
(M 2, 42, 49, 56, 57, 60). Streptokinase adalah protein yang
disekresikan oleh kuman streptokokus, terlibat dalam penyebaran
kuman dalam jaringan karena mempunyai kemampuan memecah
plasminogen menjadi plasmin. Streptokinase merupakan prasarat
terjadinya nefritis pada GNAPS.
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang
terdapat pada streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat
menyebabkan kerusakan glomerulus. Selain itu penelitian-penelitian
terahir menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu nephritis associated
plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin
B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan infeksi nefritogenik. NAPlr
dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan menyebabkan
terjadinya respon

antibodi

di

glomerulus. Penelitian

terbaru

pada

pasien GNAPS memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering


terjadi daripada deposit NAPlr (Corwin, E. 2009).
D. Manifestasi Klinis
1. Hematuria (urine berwarna merah kecoklat-coklatan)
2. Proteinuria (protein dalam urine)
3. Oliguria (keluaran urine berkurang)
4. Nyeri panggul
5. Edema, ini cenderung lebih nyata pada wajah dipagi hari, kemudian
menyebar ke abdomen dan ekstremitas di siang hari (edema sedang
mungkin tidak terlihat oleh seorang yang tidak mengenal anak dengan
baik).
6. Suhu badan umumnya tidak seberapa tinggi, tetapi dapat terjadi tinggi
sekali pada hari pertama.
7. Hipertensi terdapat pada 60-70 % anak dengan GNA pada hari pertama
dan akan kembali normal pada akhir minggu pertama juga. Namun jika
terdapat kerusakan jaringan ginjal, tekanan darah akan tetap tinggi
selama beberapa minggu dan menjadi permanen jika keadaan
5

penyakitnya menjadi kronik.


8. Dapat timbul gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
dan diare.
9. Bila terdapat ensefalopati hipertensif dapat timbul sakit kepala, kejang
dan kesadaran menurun.
10. Fatigue (keletihan atau kelelahan) (Joyce & Hawks, 2009).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laju Endapan Darah (LED) meningkat.
2. Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).
3. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin darah meningkat bila fungsi
4.
5.
6.
7.

ginjal mulai menurun.


Jumlah urine berkurang
Berat jenis meninggi
Hematuria makroskopis ditemukan pada 50 % klien.
Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit

dan hialin.
8. Titer antistreptolisin O (ASO) umumnya meningkat jika ditemukan
infeksi tenggorok, kecuali kalau infeksi streptokokus yang mendahului
hanya mengenai kulit saja.
9. Kultur sampel atau asupan alat pernapasan bagian atas untuk identifikasi
mikroorganisme. Biopsi ginjal dapat diindikasikan jika dilakukan
kemungkinan temuan adalah meningkatnya jumlah sel dalam setiap
glomerulus dan tonjolan subepitel yang mengandung imunoglobulin dan
komplemen (Kathhleen, 2008).
F. Penatalaksanaan Medis
Tidak ada pengobatan yag khusus yang memengaruhi penyembuhan
kelainan di glomerulus. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dahulu
dianjurkan selama 6-8 minggu. Tetapi penyelidikan terakhir dengan hanya
istirahat 3-4 minggu tidak berakibat buruk bagi perjalanan penyakitnya.
Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotic ini tidak
memengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi streptococcuk yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin dianjurkan hanya untuk 10 hari. Pemberian profilaksi yang lama
sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan
karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoretis anak dapat terinfeksi
lagi dengan kuman neritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil.

Makanan pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kg BB/hari)
dan rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada pasien dengan
suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu normal kembali.
Bila ada anuria atau muntah, diberikan IVFD dengan larutan glukosa
10%. Pada pasien dengan tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan
dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti ada gagal jantung,
edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi,
pemberian sedative untuk menenangkan pasien sehingga dapat cukup
beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan
hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kg BB secara
intramuscular. Bila terjadi dieresis 5-10 jam kemudian, selanjutnya
pemberian sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena member efek
toksis. Bila anuria berlangsung lama (5-7hari), maka ureum harus
dikeluarkan dari dalam darah. Dapat dengan cara peritoneum dialysis,
hemodialisisi, tranfusi tukar dan sebagainya. Diuretikum dulu tidak
diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini pemberian
furosamid (Lasix) secara intravena (1mg/kg BB/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
Bila timbul gagal jantung, diberikan digitalis, sedativum dan oksigen
(Kathhleen, 2008).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal noninfeksius yang
paling umum pada masa kanak-kanak, glomerulonefritis akut memengaruhi
glomerulus dan laju filtrasi ginjal, yang menyebabkan retensi natrium dan
air, serta hipertensi. Biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap infeksi
streptokokus, penyakit ini jarang memiliki efek jangka panjang pada system
ginjal. Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi
dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi,
selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan
kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in
situ pada membran basalis glomerulus. Kejadian glomerulonefritis pasca
streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju, namun masih terus
berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS berkaitan
banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus lebih awal dan
lebih mudah oleh pelayanan kesehatan yang kompeten. Di beberapa negara
berkembang, glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk
sindroma nefritik yang paling sering ditemui. Attack rate dari
glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10
tahun.
B. Saran
Diharapakan sumber-sumber materi yang terkait Glomerulo Nefritis
Akut (GNA) lebih banyak lagi penelitian yang terbaru sehingga evidence
based dalam keperawatan terkait GNA dapat diaplikasikan seutuhnya.

Anda mungkin juga menyukai