Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Salah satu bentuk glomerulus nefritis akut (GNA) yag banyak dijumpai
pada anak adalah glomeruloneritis akut pasca streptococcus (GNAPS). GNAPS
dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6-7 tahu.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5-15 tahun
dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio laki-laki :perempuan = 1,34:1.
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) pada umumnya
didahului infeksi saluran nafas bagian atas atau infeksi kulit oleh kuman
Streptococcus haemolyticus grup A dan kadang-kadang oleh grup C atau G.
Jalur yang dapat menyebabkan glomerulonefritis akut ini disebut streptokokus
nefritogenik.1,2
Secara epidemiologis, <2% anak yang terinfeksi streptokokus jalur
nefritogenik akan menderita glomerulonefritis akut, dan sekitar 5%-19% di antara
pasien yang menderita faringitis dan 20% di antara impetigo mengalami
glomerulonephritis akut.3 Insidens GNAPS bervariasi sekitar 1%-33%,
bergantung pada serotipe M serta tempat infeksi.2 Selain faktor kuman,
terjadinya GNAPS dipengaruhi juga oleh beberapa faktor pejamu seperti umur,
jenis kelamin, keadaan sosioekonomi, dan genetik. Lebih sering GNAPS dijumpai
pada anak berumur antara 212 tahun, meskipun didapatkan 5% pada anak
berumur <2 tahun.
Laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.
Musim akan mempengaruhi kejadian GNAPS sebab infeksi tenggorokan lebih
sering terjadi pada musim dingin dan awal musim semi, sedangkan piodermia
lebih sering terjadi pada akhir musim panas dan musim gugur. Peran faktor
genetik pada GNAPS terlihat dengan kejadian indeks kasus pada saudara kandung
(38%) yang lebih tinggi daripada anak dengan risiko epidemik (4-28%). Pengaruh
aspek genetik ditunjang dengan laporan penelitian mengenai hubungan kuat antara

1
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

GNAPS dengan HLA-DR1 dan DRw4 sedangkan pasien dengan HLA-DRw48


dan DRw8 kurang rentan terhadap glomerulonefritis primer.2,3,4
Sejak tahun 1960-an, terdapat penurunan prevalensi GNAPS yang
kemungkinan disebabkan oleh penggunaan antibiotik, peningkatan kondisi
hygiene masyarakat, perubahan potensi nefritogenik strain streptokokus, atau
perubahan kerentanan pejamu.2 Meskipun telah diketahui bahwa GNAPS terjadi
setelah infeksi Streptococcus haemolyticus, namun patogenesisnya belum jelas
diketahui. 2,3,4

2
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang didahului
oleh infeksi group A B-hemolitic streptococcus (GABHS) dan ditandai dengan
gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguri yang terjadi secara
akut.5,6,7

2.2 EPIDEMIOLOGI
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai
pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS
dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 7 tahun.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 15 tahun
dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio : = 1, 34 : 1.5
Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik
lebih banyak dijumpai daripada bentuk simtomatik. Di negara maju, insiden
GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini penyakit
infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden GNAPS masih banyak
dijumpai.6 Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada
golongan sosial ekonomi rendah, masing masing 68,9% & 66,9%.7

2.3 PATOGENESIS
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti.6,7
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan
ditemukannya HLA-D dan HLADR.3 Periode laten antara infeksi streptokokus
dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran
penting dalam mekanisme penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim
imun pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan
menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada

3
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang


melepas substansi yang akanmenarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas
netrofil merupakan faktor responsif untuk merusak glomerulus.6,7
Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus
akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek
imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal.
Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan
kelainan minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel
mesangial dan matriks. Pada kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks
dan sel endotel yang difus disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit,
serta penyumbatan lumen kapiler.6
Istilah glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan
untuk menggambarkan kelainan morfologi penyakit ini.3 Bentuk bulan sabit dan
inflamasi interstisial dapat dijumpai mulai dari yang halus sampai kasar yang
tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang dinding kapiler. Endapan
immunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G dan sebagian
kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop imunofluoresen.
Mikroskop elektron menunjukkan deposit padat elektron atau humps terletak di
daerah subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi Ag-Ab kompleks.

2.4 TANDA DAN GEJALA


GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang
pada usia di bawah 2 tahun.5,6 GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan
periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma.
Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui
ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%. 1 Gejala
klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang
khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik
maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen

4
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan


penderita GNAPS simtomatik.

GNAPS simtomatik
1. Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini
jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1
minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi
dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schenlein atau Benign recurrent haematuria.8,10
2. Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu
bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema
laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi
diuresis dan penurunan berat badan.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan
semula.

5
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5 sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.5
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging
atauberwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai
beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah
sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,
sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan
indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada
kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg).
Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet
yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat
menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral,
seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- kejang.
Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar 4-
50%.5

5. Oliguria

6
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi
urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun
atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria
umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan
timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria
yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis
yang jelek.
6. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang
terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa
bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena
itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa
pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-
85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik
lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi
pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik
dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan
(LDK).

7
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%,


sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan
52%.1 Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai
dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri
atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di
departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar
sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7%
edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan
pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau
peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut
beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat
terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau
pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah
kelainan radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS
walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti
paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

2.5 DIAGNOSA
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi
pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala-gejala klinik :
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case
dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan
gejala-gejala khas GNAPS.4,5
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya
torak eritrosit, hematuria & proteinuria.

8
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus hemolitikus


grup A.
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan
penderita GNAPS.

2.6 DIAGNOSA BANDING


Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti
GNAPS.
1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat
berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat,
biasanya 1-3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan
ureum yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat
membantu diagnosis.
b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria
Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis
herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan
benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema
atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang
dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten
ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat.
c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase
akut dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B
meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal.
Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN.

9
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan


penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-
Schenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini
dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,
proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok
negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen
dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE
terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak
ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau
oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang
kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut
umumnya bersifat fokal.
3. Penyakit-penyakit infeksi :
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A -hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala
GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus
ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis
akut. Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti
air cucian daging.2,3 Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada
hampir semua pasien.10,12 Eritrosit khas terdapat pada 60-85% kasus,
menunjukkan adanya perdarahan glomerulus.2,19 Proteinuria biasanya sebanding
dengan derajat hematuria dan ekskresi protein umumnya tidak melebihi 2gr/m2
luas permukaan tubuh perhari.
Sekitar 2-5% anak disertai proteinuria masif seperti gambaran
nefrotik.1,2,5 Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi air

10
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular. Menurunnya LFG


akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun.2,5
Sebagian besar anak yang dirawat dengan GNA menunjukkan peningkatan urea
nitrogen darah dan konsentrasi serum kreatinin.3,12 Anemia sebanding dengan
derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan membaik bila edem menghilang.
4,5

Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit.2,4


Kadar albumin dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan
berbanding terbalik dengan jumlah deposit imun kompleks pada mesangial
glomerulus.2,4 Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak
dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan bakteriologis
apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan identifikasi streptokokus.1,2
Bila biakan tidak mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap
antigen streptokokus.
Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10-14 hari
setelah infeksi streptokokus.15,18 Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80%
pasien yang tidak mendapat antibiotik.5,11 Titer ASTO pasca infeksi streptokokus
pada kulit jarang meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus.10,12
Titer antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase) dan anti
deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer antibodi
yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat
pada 90-95% kasus.2 Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B
dapat mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus.12
Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama,
sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata,
dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170 mg/dl).4,10
Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada hampir 93%
pasien.11 Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai krioglobulin dalam
sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.11,13
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru.1,2 Penelitian Albar
dkk., di Ujung Pandang pada tahun 1980-1990 pada 176 kasus mendapatkan

11
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

gambaran radiologis berupa kardiomegali 84,1%, bendungan sirkulasi paru 68,2


% dan edem paru 48,9%. Gambaran tersebut lebih sering terjadi pada pasien
dengan manifestasi klinis disertai edem yang berat.20 Foto abdomen
menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites.1

2.8 BIOPSI GINJAL


Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila,1,2
Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas
(berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
Tidak ada bukti infeksi streptokokus
Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross
hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu,
proteinuria yang menetap setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap
setelah 12 bulan.

2.9 PENATALAKSANAAN
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan
seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit.
Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan
proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif,
penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada
komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan
pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di
tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-
temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik.
2. Diet

12
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,


diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian
garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum
meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus
diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu
jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan
cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah
keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena
telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten
yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin
diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam
3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat
diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema
berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya
furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.

b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi
ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan
darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang

13
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2


mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat
tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau
hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi
klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau
diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut
dapat digabung dengan furosemid (1 3 mg/kgbb)..
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus
diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca
glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.

2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering dijumpai adalah :
1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6
tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada
anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi
tiap 15 menit hingga 3 kali.
Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan
darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 2
mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan
kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari

14
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

b. Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit
kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.4
2.11PROGNOSIS
Glomerulonefritis pasca streptococcus umumnya ringan. Proteinuria dan
edema. Proteinuria dan edema berkurang cepat dalam waktu 5-10 hari. Hematuria
mikroskopik dapat menetap selama beberapa bulan bahkan tahun, meskipun
demikian lebih dari 90% anak akan sembuh sempurna. Terapai infeksi
streptococcus tidak mencegah GNAPS, namun bila pasien dalam keadaan infeksi
aktif, antibiotic harus diberikan. Hanya sedikit pasien dengan GNAPS atau GN
pasca infeksi lain yang berlanjut menjadi ESRD.
Anak dengan GN IgA dan bentuk GN kronik lain beresiko mengalami
peburukan mnjadi ESRD. Pada GN IgA, luaran buruk berhubungan dengan
proteinuria massif yang persisten, hipertensi, LFG rendah, dan lesi
glomerularyang berat pada biopsy ginjal. Rekurensi deposisi IgA setelah
tansplantasi ginjal sering terjadi, namun tidak mempengaruhi angka keberhasilan
transplantasi. Prognosis GN kronik lain dan RPGN bervariasi serta tergantung dari
derajat keparahan penyakit saat diagnosis. 13

15
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

BAB III
KESIMPULAN

Glomerulonefritis Akut (GNA) merupakan suatu istilah untuk


menunjukkan
gambaran klinis akibat perubahan perubahan struktur dan faal dari peradangan
akut glomerulus. Gambaran klinis yang menonjol adalah kelainan dari urin

16
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

(proteinuria,hematuria, silinder, eritrosit), penurunan LFG disertai oligouri,


bendungan sirkulasi, hipertensi, dan sembab. GNA pada anak, penyebab paling
sering adalah pasca infeksi streptococcus haemolyticus; sehingga seringkali di
dalam pembicaraan GNA pada anak yang dimaksud adalah GNA pasca
streptokokus atau GNAPS. Diduga mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah
suatu proses kompleks imun dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan
antigen yang beredar dalam darah dan komplemen untuk membentuk suatu
kompleks imun. Kompleks imun yang beredar dalam darah dalam jumlah yang
banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan
terjadi perusakan mekanis melalui aktivasi system komplemen, reaksi peradangan
dan mikrokoagulasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
peneriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penanganan pasien adalah suportif
dan simtomatik. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya dan
komplikasi yang ditimbulkannya. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik
disbanding anak yang lebih besar atau orang dewasa oleh Karena GNAPS pada
dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna
dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik.

BAB IV
LAPORAN STATUS

IDENTITAS
Nama : Muhammad Abas Farezza
Umur : 8 Tahun
BB : 24 kg

17
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Jenis Kelamin : Laki-laki


Agama : Islam
Alamat : Sungai Raya
Suku : Aceh
Tanggal Masuk : 12 Desember 2016 pukul : 00.00
No. RM : 606807

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bengkak seluruh badan
Telaah : Pasien datang ke RSUD Langsa dengan keluhan bengkak
pada seluruh badannya sejak 2 hari yang lalu. Bengkak
didahului pada daerah mata, perut, dan kemudian seluruh
tubuh. Buang air kecil (+) tapi sedikit dan berwarna kuning.
Demam (-). Pasien juga mengeluhkan adanya batuk (+)
disertai dahak berwarna putih. Buang air besar dalam batas
normal. Muntah dan menret (-).

Riwayat Penyakit Terdahulu : Disangkal

Riwayat Penggunaan Obat : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal

STATUS PASIEN
Keadaan umum : Baik
Sensorium : Compos Mentis
T : 36,8 0C
HR : 70 x/i
RR : 24 x/i
TD : 130/90 mmhg

18
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

STATUS GIZI
TB : 128 cm
BB : 29 kg
BB/BBI x 100% = 29/26 x 100% = 111% (Gizi lebih)

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normochepali
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Cekung (-/-),
oedem periorbital (+/+)
Telinga : Normotia, sekret (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (+/+)
Mulut
Bibir : Pucat (+), kering (-) oedem perilabium oris (+)
Lidah : Beslaq (-)
Tonsil : T1/T1
Faring : Hiperemis (-)
Leher : Trachea midline, pembesaran Getah Bening (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris
Palpasi : SF ka=ki
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves (+/+), RH (-/-), WH (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+)
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (+)

Ekstremitas : Pucat (-), Oedem (+), Sianosis (-)


Kulit : hiperpigmentasi regio pedis dextra sinistra

19
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
- HB : 11,9 gr/dl
- HT : 33,6%
- Eritrosit : 4.03 juta
- Leukosit : 13.570 mm3
- Trombosit : 227.000 mm3
- ASTO : (+)

URINALISA
- Warna : Kuning Keruh
- pH : 6,0
- Protein : (++)
- Bilirubin : (-) neg
- Reduksi : (-)
- Leukosit : 2-4/LPB
- Eritrosit : 10-15/LPB
- Epithel sel : 5-10/LPB
- Ca.Oksalat : (-) neg
- Silinder : (-) neg

Faal Ginjal
- Ureum : 48 mg/dl
- Kreatinin : 0,7 mg/dl
- Asam Urat : 8,8 mg/dl

URINALISA
- Total protein : Kuning Keruh
- Albumin : 6,0
- Globulin : (++)
- Tot.Bilirubin : (-) neg
- Bil. Direct : (-)
- SGOT : 2-4/LPB
- SGPT : 10-15/LPB
- ALP : 5-10/LPB
- Ca.Oksalat : (-) neg

20
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Faal Ginjal
- Tol.kolestrol : 154 mg/dl
- Trigliserida : 4,8 mg/dl
- HDL koles : 4,4 mg/dl
- LDL koles : 100 mg/dl

DIAGNOSA BANDING
1. Glumerulo nefritis akut pasca streptokokus (GNAPS)
2. Sindrom nefrotik
3. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
4. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)

DIAGNOSIS : Glumerulo nefritis akut pasca streptokokus (GNAPS)

PENATALAKSANAAN
IVFD dextrose 5% 20 gtt mikro/i
Inj. Ceftriaxone 750 mg/12 jam
Neurodex tab 2x1
Paracetamol tab 3x1
Furosemide 2x20mg (pulvis)

21
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

FOLLOW UP

Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan

22
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Hari ke 2 S/ bengkak seluruh badan (+), demam (-) IVFD dextrose 5% 20


13 Des 2016 batuk (+) disertai dahak berwarna putih. gtt mikro/i
Bengkak di sekitar kelopak bola mata dan Inj. Ceftriaxone 750

bibir (+) mg/12 jam


Neurodex tab 2x1
Paracetamol tab 3x1
O/ KU : Lemas BB:29 kg Ambroxol syr 3xCI
Sensorium : compos mentis
TD : 130/90 mmHg
RR : 20x/i
HR : 84x/i
T : 37,00C

Mata : konj.anemis (-/-), ikterik (-/-),


cekung (-/-), oedem periorbital (+/+)
Mulut
- Bibir : Pucat (-)
- Lidah : Beslaq (-)
- Tonsil :T1T1
- Faring : hyperemis (-)
- Oedem periorbicularis (+)
Thorax :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : SF ka=ki
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves(+/+),
RH (-/-), WH (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+)
Perkusi : Timpani (+)
Shifting dullness (+)

23
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Ekstremitas : Pucat (-), Oedem (+),


Sianosis (-)

Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan

24
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Hari ke 3 S/ bengkak seluruh badan (+), (berkurang) IVFD dextrose 5%


14 Des 2016
demam (-) batuk (+) disertai dahak berwarna 20 gtt mikro/i
putih. Bengkak pada sekitar mata dan bibir Inj. Ceftriaxone

(+) berkurang 750 mg/12 jam


Neurodex tab 2x1
Paracetamol tab
O/ KU : Lemas BB: 25 kg
3x1
Sensorium : compos mentis Ambroxol syr
TD : 140/90 mmHg 3xCI
RR : 24x/i Furosemide

HR : 82x/i 2x20mg (pulv)


T : 37,2 0C

Mata : konj.anemis (-/-), ikterik (-/-), cekung


(-/-), oedem periorbital (+/+) (berkurang)
Mulut
- Bibir : Pucat (-)
- Lidah : Beslaq (-)
- Tonsil :T1T1
- Faring : hyperemis (-)
- Oedem periorbicularis (+)
(berkurang)
Thorax :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : SF ka=ki
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves(+/+),
RH (-/-), WH (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+)
Perkusi : Timpani (+)
Shifting dullness (+) (berkurang)

25
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Lingkar perut : 59 cm

Ekstremitas : Pucat (-), Oedem (+),


Sianosis (-)

Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan

26
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Hari ke-4 S/ bengkak seluruh badan (-), demam IVFD dextrose


15 Des 2016
(-) batuk (-) bengkak pada sekitar 5% 20 gtt mikro/i
mata dan mulut (-) Inj. Ceftriaxone
750 mg/12 jam
Neurodex tab 2x1
O/ KU : baik BB: 25 kg
Paracetamol tab
Sensorium : compos mentis
3x1
TD : 140/90 mmHg Ambroxol syr
RR : 24x/i 3xCI
HR : 86x/i Furosemide

T : 37,0 0C 2x20mg (pulv)

Mata : konj.anemis (-/-), ikterik (-/-),


cekung (-/-), oedem periorbital (-/-)

Mulut
- Bibir : Pucat (-)
- Lidah : Beslaq (-)
- Tonsil :T1T1
- Faring : hyperemis (-)
- Oedem periorbicularis (-)
Thorax :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : SF ka=ki
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves(+/+),
RH(-/-), WH (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+)
Perkusi : Timpani (+)
Shifting dullness (+)
Lingkar perut : 58,5 cm

27
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Ekstremitas : Pucat (-), Oedem (-),


Sianosis (-)

Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan

28
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Hari ke-5 S/ bengkak seluruh badan (-), demam IVFD dextrose


16 Des 2016
(-) batuk (-), dahak (-) bengkak pada 5% 20 gtt mikro/I
sekitar bola mata dan bibir (-) aff
Inj. Ceftriaxone

O/ KU : Lemas BB: 24 kg 750 mg/12 jam aff


Neurodex tab 2x1
Sensorium : compos mentis
Eritromisin
TD : 150/100 mmHg
3x500mg
RR : 24x/i Ambroxol syr
HR : 84x/i 3xCI
T : 36,4 C 0 Furosemide
2x20mg (pulv) aff
Captopril
Mata : konj.anemis (-/-), ikterik (-/-),
2x7,5mg
cekung (-/-), oedem periorbital (-/-)
(berkurang)
Mulut
- Bibir : Pucat (-)
- Lidah : Beslaq (-)
- Tonsil :T1T1
- Faring : hyperemis (-)
- Oedem periorbicularis (+)
(berkurang)
- Lingkar perut : 58 cm
Thorax :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : SF ka=ki
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves(+/+),
RH(-/-), WH (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+)
Perkusi : Timpani (+)
Shifting dullness (-)

29
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Lingkar perut : 58 cm

Ekstremitas : Pucat (-), Oedem (-),


Sianosis (-)

DAFTAR PUSTAKA

30
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

1. Shulman ST, Tanz RR. Streptococcus pyogenes (group A Streptococcus).


Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, penyunting. Principles and
practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke-2. Philadelphia: Churchill
Livingstone; 2003.h.716-8.

2. Sulyok E. Acute proliferative glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon


WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2004.h.601-13.

3. Makker SP. Poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kher KK, Makker


SP, penyunting. Clinical pediatric nephrology. Edisi pertama. New York:
MaGraw-Hll Inc; 1992.h.212-20.

4. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome.
Dalam: Webb N, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical paediatric nephrology.
Edisi ke-3. New York: Oxford University Press; 2003.h.367-80.

5. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among Indonesian


Children.Paediatrica Indonesiana. 2005;45: 26469.

6. Carapetis JR, Steer AC, Mullolans EK. The Global burden of group A
streptococcal diseases. The Lancet Infectious Diseases. 2005;5: hlm. 68594.

7. Manhan RS, Patwari A, Raina C, Singh A. Acute nephritis in Kashmiri children


a clinical and epidemiological profile. Indian Pediatr. 1979;16: 101521.

8. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam :


Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric

31
Laporan Kasus GNAPS RSUD Kota Langsa

Nephrology, Sixth Completely Review,\Updated and Enlarged Edition. Berlin


Heidelberg: Springer-Verlag; 2008; hlm. 74355.

9. Bhimma R, Langman CB : Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis


(diunduh 20 January 2011). Tersedia dari: http :
//medicine.medscape.com/article/980685.overview.

10. Rivera F, Anaya S, PerezAlvarez J, de la Niela, Vozmediano MC, Blanco J.


Henoch Schonlein nephritis associated with streptococcal infection and
persistent hypocomplementemia :a case report. J Med Case Reports.
2010;4(1): 50.

11. Sekarwana HN. Rekomendasi mutahir tatalaksana glomerulonefritis akut


pasca streptokokus. Dalam: Aditiawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi R,
penyunting. Buku naskah lengkap simposium nefrologi VIII dan simposium
kardiologi V. Ikatan Dokter Anak Indonesia Palembang, 2001. h. 141-62.

12. Gauthier B,Edelmann CM, Barnett HL. Clinical acute glomerulonephritis.


Dalam: Nephrology and urology for the pediatrician. Edisi ke-1. Boston: Little
Brown & Co, 1982. h. 109-22.

13. Marcdante K.J, Kliegman R.M, Jenson H.B, Behrman R.E. Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi 6.

32

Anda mungkin juga menyukai