Anda di halaman 1dari 32

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) PROSEDUR

TINDAKAN

2022
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Resusitasi Pasien Kritis dengan dengan Gagal Organ (Sofa Score)


No Keterangan Derajat Rekomendasi
1 Pengertian (Definisi)
• Resusitasi adalah usaha yang dilakukan terhadap
penderita yang berada dalam kondisi gawat atau kritis
untuk mencegah terjadinya kematian1 (Level of Evidence 3)
• Gawat adalah kondisi yang berhubungan dengan suatu
penyakit atau kondisi lainnya yang mengancam jiwa2(Level
of Evidence 3) 1A
• Darurat adalah kondisi yang terjadi secara tiba-tiba dan
tidak diperkirakan sebelumnya, suatu kecelakaan,
kebutuhan yang segera atau mendesak1 (Level of Evidence
3)
• Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor
SOFA ≥ 2 (Level of Evidence 1)
2 Indikasi
• Quick SOFA (sepsis related organ failure)3 : (Level of
Evidence 1)
- Laju pernafasan ≥22x/menit
- Perubahan status mental
- SBP ≤ 100 mmHg
• Nilai qSOFA ≥ 2, lakukan penilaian SOFA Score, bila ≥ 2
maka diagnosis sepsis dapat ditegakkan.3 (Level of IIB
Evidence 1)
• Sepsis disertai hipotensi yang tidak membaik meskipun
telah mendapat cairan yang adekuat, dan perlu
penambahan vasopresor untuk mencapai target MAP ≥ 65
mmHg atau laktat > 2, maka dapat didiagnosis syok
septik1 (Level of Evidence 2)
• SOFA Score3 (Level of Evidence 1)
Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi ≥400 <400 <300 (40) <200 < 100
PaO2/FIO (53.3 (53.3) (26.7) (13.3)
2, ) dengan dengan
mmHg(kPa bantuan bantuan
) pernafas pernafas
an an
Koagulasi ≥ <150 <100 <50 <20
Platelet, 150
x103 / ul
Liver <1.2 1.2- 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0
Bilirubin, (20) 1.9 (33-101) (102-204) (204)
mg/ dl (20-
(umol/L) 32)
Kardiovask MAP MAP Dopamin Dopamin Dopamin
ular ≥70 <70 <5/ 5.1-15 / >15 /
mm mmH dobutam epinefrin epinefrin
Hg g ine ≤ 0,1 / > 0,1 /
(ug/kg/ norepinef norepinef
min) rin ≤ 0,1 rin > 0,1
(ug/kg/ (ug/kg/
min) min)
Sistem 15 13- 10-12 9-6 <6
Saraf 14
Pusat
Glasgow
Coma
Score
Ginjal <1.2 1,2- 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0
Kreatinin, (110) 1.9 (171- (300-440) (440)
mg/ dl (110- 299)
(umol/L) 170)
3 Terapi
Protokol menggunakan sepsis bundle4,5,6 : (Level of Evidence 1)

1 Hour Bundle Syok :


• Lihat MAP MAP ≤ 65 mmHg dan/atau
• Ukur Laktat Laktat ≥ 4mmol
• Kultur Sebelum pemberian AB board
spektrum
• Loading Cairan Kristaloid** **Terapi Cairan : Kristaloid
• Berikan Vasopresor*** (Balanced Solutions) 30 ml/kg

Konservatif dan Ekstra Hati2 : Pada penderita perlu high flow oxygen, ESRD On dialysis or
CHF, Geriatri dan Covid-19
Agresif : Tidak ada overload/edema paru, intubated/ mechanical ventilated

MAP ≥
Observasi Ya 65 mmHg Tidak
Evaluasi kecukupan
cairan
menggunakan ***Titrasi Norepineprine
parameter dinamis (Mulai 0,05 µg /kg/min – maks 0,5
Turunkan dosis µg/kg/min)
morephineprin,
vasopressin,
adrenalin (Target Titrasi Vasopressin maks 0,03
MAP > 65mmHg) Steroid µg/kg/min
Pertimbangkan
titrasi Dobutamin
Hydrocortison
pada persisten 200 mg
hipoperfusi dan perhari Titrasi Epinephrine maks 0,5
Cardiac dysfunction units/min

Titrasi Phenylephrine maks 200


µg/min
4 Komplikasi
1A
Overload Cairan ketika dilakukan terapi cairan6 (Level of Evidence 2)
5 Edukasi
1. Kondisi pasien umum 1A
2. Diagnosis pasien

6 Kepustakaan
1. Perhimpunan dokter intensive care, 2017. Penatalaksanaan sepsis dan syok
septik optimalisasi FASTHUGSBID
2. Rhodes,A., et al. 2017. Surviving sepsis campaign : International guidelinesfor
management of sepsis and septic shock : 2016, Critical Care Medicine, vol 45
no.3 p. 486-552
3. Levy, MM., et al. 2018. The surviving sepsisng campaign bundle 2018 Update,
Ciritical care medicine, vol 46, no.6 p. 486-552. P.997-1000.
4. Dellinger, RP., et al. 2017. A User’s guide to the 2016 Surviving sepsis campaign
guidelines, Intensive Care vol. 43, p299-303
5. Alhazzani W., et al. 2020 Surviving sepsis campaig: guidelines on the
managemennt of critically ill adult with Cotonavirus Disease 2019 (COVID-19).
Intensive Care Med.
6. Monnet. Et al. 2016, Prediction of Fluid Responsiveness. Ann. Intensive Care
(2016) 6 : 111
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

CRRT ( Continuous Renal Replacement Therapy )


No Keterangan Derajat
Rekomendasi
1 Pengertian (definisi)
Continuous Renal Replacement Therapy( CRRT) adalah IIB
terapi pemurnian darah ( blood purification )
ekstrakorpereal ( dilakukan dengan alat di luar tubuh,
yang prosesnya berjalan lambat dan kontinyu1. Proses
CRRT meniru fungsi ginjal dalam melakukan regulasi air,
elektrolit dan produk produk metabolism toksik, dengan
cara membuang zat terlarut dan cairan secara lambat
namun kontinyu.2 (Level of Evidence 2) Prosedur CRRT
ditujukan untuk pasien yang memenuhi kriteria untuk
terapi hemodialisis tetapi tidak dapat mentoleransi
hemodialisis intermitten konvensional(IHD) atau sustained
low efficiency dialysis (SLED) karena ketidakstabilan
hemodinamik atau karena ketidaktersediaan alat
hemodialisis konventional di ICU.1 (Level of Evidence 2)
Prosedur CRRT memerlukan alat khus yaitu mesin CRRT
dan akses kateter vena untuk hemodialisis yang bisa
dipasang di tempat sesuai urutan berikut ini2 : (Level of
Evidence 1)
1. Vena jugularis interna kanan
2. Vena femoralis
3. Vena jugularis interna kiri
4. Vena Subclavia
Modalitas CRRT meliputi (Level of Evidence 3)
• SCUF ( Slow continuous ultra filtration)
• CVVH ( Continuous venovenous hemofiltration)
• CVVHD (Continuous venovenous hemodialysis)
• CVVHDF(Continuousvenovenoushemodiafiltration)

2 Indikasi
Acute Kidney Injury (AKI)1 (Level of Evidence 2)
IIB
• Peningkatan SK ( serum kreatinin) > 0.3 mg/dl dalam waktu
48 jam :
ATAU
• Peningkatan SK ( seum kreatinin) > 1.5 kali dari nilai awal,
yang diketahui atau diduga telah terjadi dalam 7 hari
sebelumnya
ATAU
• Volume urine < 0.5 ml/kg/jam selama 6 jam

Kriteria AKI pada pasien kritis ( KDIGO)2 (Level of Evidence 1)

Stage Serum Creatine Urine Output


1 Meningka 1,5- < 0,5 ml/kg/jam
1,9 kali dari nilai selama 6 jam
awal (baseline)
Atau
Peningkatan
serum creatine
>0.3 mg/dL
2 Meningkat 2-2,9 <0,5 ml/kg/jam
kali dari nilai selama 12 jam
awal (baseline)

3 Meningkat 3 kali <0,3 ml/kg/jam


dari nilai awal selama 24 jam
(baseline)
Atau
Atau
Anuria selama > 12 jam
Indikasi renal replacement therapy (RRT) pada pasien kritis di
ICU2 (Level of Evidence 2)
1. Oligoanuria: oliguria atau anuria non obstruktif
2. Asidosis metabolic berat : pH < 7,1
3. Azotaemia : urea darah > 30 mmol/l
4. Hyperkalemia : Kalium > 6,5
5. Manifestasi uremikum berat : pericarditis, ensafalopati
6. Dysnatraemia berat : na > 160 atau < 115
7. Hyperthermia refrakter : > 39 C
8. Edema serebri atau paru : secara klinis berat
9. Koagulopati : diperlukan banyak transfuse darah dan/atau
produk darah pada pasien dengan tanda tanda overload(
misalnya edema pulmonum
10.Kelebihan cairan ( overload) berat yang memperparah kondisi
pasien, namun sulit dikendalikan menggunakan force
diuretic
11.Intoksikasi
3 Kontraindikasi
1. Penyebab gagal napas belum tertangani(Level of Evidence 1) IIB
2. PF Ratio < 150, membutuhkan FiO2 > 40%, PEEP > 10, MV
lebih dari 15Lpm, RSBi > 105, Sekret berlebihan, Foto
Thoraks memburuk 1(Level of Evidence 1)
3. Pasien harus mampu mempertahankan oksigenasi dan
ventilasi dengan bantuan respirasi minimal yang dapat
diberikan secara spontan atau dengan modalitas non
invasive2 (Level of Evidence 2)
4. Pasien harus mampu mempertahankan jalan napas paten,
mampu batuk adekuat, sekret minimal (Level of Evidence 1)
5. Akronim MOVE (Mental status, oksigenasi, ventilasi,
ekspectorant) (Level of Evidence 2)
6. Instabilitas hemodinamik (Takikardia, membutuhkan dosis
vasopresor tinggi) (Level of Evidence 1)
7. GCS kurang dari 8 (Level of Evidence 1)
8. Adanya trauma akut pada otak (Level of Evidence 1)
9. Rencana kembali ke ruang operasi dalam 24 jam kedepan
(Level of Evidence 2)
10. Sedang dalam pengaruh pelemas otot (Level of Evidence 1)
11. Adanya abdomen yang terbuka (Level of Evidence 1)
12. Sedang dalam hipotermia terapeutik (Level of Evidence 3)

4 Komplikasi IIB
1. Teknis : malfungsi akses vakular, sirkuit tersumbat, sirkuit
pecah, kateter, sirkuit terlipat, insufisiensi aliran darah,
jalur kateter tidak tersambung, emboli udara, gangguan
cairan dan elektrolit1 (Level of Evidence 3)
2. Klinis : pendarahan, hematoma, thrombosis, infeksi dan
sepsis, reaksi alergi, hipotermia, kehilangan nutrient,
insufisiensi blood purification, hipotensi dan aritmia (Level
of Evidence 3)

5 Edukasi IIB
1. Terkait komorbid
2. Rencana pemeriksaan penunjang
3. Rencana terapi jangka Panjang
4. Monitor efek samping

6 Kepustakaan
1. Bellomo R, Ronco C. Continuous haemofiltration in the intensive care unit.
Critical Care. 2000 Dec;4(6):1-7.
2. Chaturvedi M. Continuous Renal Replacement Therapy. InThe Indian
Anaesthetists' Forum 2004 Oct 7.
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Terapi Plasmaferesis pada Pasien Kritis


No Keterangan Derajat Rekomendasi
1 Pengertian (definisi)
Plasmaferesis didefinisikan sebagai tindakan IA
memisahkan komponen darah dari plasma yang dilakuka
ekstrakorporeal.1 (Level of Evidence 1)
Penyaringan plasma dari darah dapat dilakukan melalui
sentrifugasi atau filtrasi menggunakan membrane
semipermeabel. Sentrifugasi menggunakan perbedaan
gaya berat dari masing-masing komponen darah, seperti
sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan plasma.
Filtrasi menggunakan perbedaan ukuran partikel untuk
memisahkan plasma dari komponen darah lainnya.2
(Level of Evidence 1)
2 Indikasi IA
The Apheresis Applications Committee of the American
Society of Apheresis (ASFA) membagi indikasi pasien
untuk plasmaferesis menjadi 4 kategori, sebagai berikut:1
(Level of Evidence 1)
I. Kategori I
Kondisi-kondisi dimana plasmaferesis adalah terapi
lini pertama, contoh: Guillain-Barre syndrome,
Myasthenia gravis, chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy, Hiperviskositas pada
hipegammaglobulinemia, thrombotic
thrombocytopenic purpura, thrombotic
microangiopathy.
II. Kategori II
Kondisi-kondisi dimana plasmaferesis adalah terapi
lini kedua, contoh: Multiple sclerosis, thyroid storm,
keracunan jamur, acute disseminated
encephalomyelitis, autoimmune hemolytic anemia,
systemic lupus erythematosus berat.
III. Kategori III
Kondisi-kondisi dimana terapi apheresis belum
diketahui dengan baik, sehingga perlu kajian tiap
individu pasien, contoh: sepsis dengan kegagalan
multi-organ, purpura post-transfusi, thrombotic
microangiopathy (complement mediated),
keracunan/overdosis obat.
IV. Kategori IV
Kondisi-kondisi dimana sudah terdapat studi yang
menunjukkan inektivitas atau efek merugikan dari
apheresis, contoh: HELLP syndrome, Hemolytic
uremic syndrome, Idiopathic polyarteritis nodosa.

Beberapa bukti menyebutkan bahwa plasmapheresis


mungkin berguna untuk pengobatan pada COVID-19
dengan menyaring sitokin sehingga mengurangi respon
sitokin.3
3 Kontraindikasi IA
Kontraindikasi dari plasmafaresis4 : (Level of Evidence 2)
13. Pasien yang tidak dapat dilakukan pemasangan
akses pembuluh darah sentral
14. Pasien dengan hemodinamik tidak stabil
15. Pasien yang alergi terhadap fresh frozen plasma (FFP)
atau albumin
16. Pasien dengan alergi terhadap heparin tidak boleh
mendapatkan heparin selama terapi
17. Pasien dengan hipokalsemia karena sitrat dapat
menyebabkan hipokalsemia
18. Pasien yang menggunakan terapi ACE-inhibitor,
disarankan untuk menghentikan pengobatan 24 jam
sebelum terapi plasmapheresis.
4 Prosedur IA
Prosedur dari plasmafaresis5(Level of Evidence 2)
1. Pemasangan double lumen pada pembuluh darah
vena sentral, 1 lumen bertindak sebagai “draw”
lumen, 1 lumen bertindak sebagai “return” lumen.
2. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
laboratorium
3. Penghubungan lumen draw dan return kepada
tabung yang telah di-primer dengan normal saline,
apabila berat pasien kurang dari 20kg, maka
diberikan primer packed red cells (PRC).
4. Penghitungan estimasi total blood volume dengan
berat dan tinggi badan
5. Volume plasma dihitung dengan rumus TBV x (1-
hematocrit)
6. Pemilihan produk darah pengganti
7. Memasukkan volume plasma pada sistem
8. Kecepatan sentrifugasi tergantung dengan software
mesin
9. Alat akan mengambil darah dari draw lumen ke dalam
sentrifuge
10. Plasma dipisahkan dalam sentrifuge dan
dikumpulkan untuk dibuang. Setelah jumlah volume
plasma tercapai, pasien dilepaskan dari mesin
plasmaferesis dan heparin diberikan pada kateter
lumen untuk mencegah pembekuan.
5 Komplikasi IA
Komplikasi dari plasmafaresis (Level of Evidence 3)
6,7

1. Hipokalsemia/Hipomagnesemia
2. Hipotermia
3. Reaksi transfusi
4. Hipotensi
5. Trombositopenia, hipofibrinogenik
6 Edukasi IA
5. Terkait indikasi tindakan
6. Terkait tahapan prosedur
7. Terkait resiko tindakan
7 Kepustakaan
1. Kaplan AA. Therapeutic plasma exchange: core curriculum 2008. Am J Kidney
Dis. 2008 Dec. 52 (6):1180-96.
2. [Guideline] Padmanabhan A, Connelly-Smith L, Aqui N, Balogun RA, Klingel R,
Meyer E, et al. Guidelines on the Use of Therapeutic Apheresis in Clinical
Practice - Evidence-Based Approach from the Writing Committee of the
American Society for Apheresis: The Eighth Special Issue. J Clin Apher. 2019
Jun. 34 (3):171-354.
3. Siami GA, Siami FS. Membrane plasmapheresis in the United States: a review
over the last 20 years. Ther Apher. 2001 Aug. 5 (4):315-20.
4. Gerhardt RE, Ntoso KA, Koethe JD, Lodge S, Wolf CJ. Acute plasma separation
with hemodialysis equipment. J Am Soc Nephrol. 1992 Mar. 2 (9):1455-8.
5. Hashemian SM, Shafigh N, Afzal G, Jamaati H, Tabarsi P, Marjani M, et al.
Plasmapheresis reduces cytokine and immune cell levels in COVID-19 patients
with acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pulmonology. 2020 Dec 4.
6. Kamran SM, Mirza ZE, Naseem A, Liaqat J, Fazal I, Alamgir W, et al.
Therapeutic plasma exchange for coronavirus disease-2019 triggered cytokine
release syndrome; a retrospective propensity matched control study. PLoS One.
2021. 16 (1):e0244853.
7. Mokrzycki MH, Kaplan AA. Therapeutic plasma exchange: complications and
management. Am J Kidney Dis. 1994 Jun. 23 (6):817-27.
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Intubasi Endotrakeal pada Pasien Kritis


No Keterangan Derajat Rekomendasi
1 Pengertian (Definisi):
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau intubasi adalah 1A
memasukkan pipa jalan nafas buatan ke dalam trachea
melalui mulut.1 (Level of Evidence 1) .
Tindakan intubasi baru dapat dilakukan bila : cara lain untuk
membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu memberikan
nafas buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi
aspirasi baru.1 (Level of Evidence 1)
2 Indikasi 1A
Indikasi dari intubasi2 : (Level of Evidence 2)
1. Menjamin atau mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas
2. Mencegah aspirasi saluran cerna
3. Memungkinkan penghisapan trakeal secara adekuat
4. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
5. Pemberian tekanan positif pada jalan nafas
3 Kontra indikasi: 1A
Kontra indikasi dari intubasi 3,4: (Level of Evidence 2)
1. Obstruksi jalan nafas total
2. Kelainan pada supraglotis atau glottis
3. Trauma laring
4. Transeksi jalan napas
5. Deformitas wajah atau orofaring
4 Prosedur: 1A
Prosedur dari intubasi5 : (Level of Evidence 3)
1. Persiapan alat yang digunakan
• Laryngoscope set
• Endotracheal tube seusai ukuran (anak dan dewasa)
• Spuit 10 cc
• Plester
• Suction
• Megil Forcepe
• Stetoscope
• Jelly khusus pemasangan pipa Endotracheal
2. Persiapan Tindakan
• Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi
• Petugas mencuci tangan
• Petugas memakai masker dan sarung tangan
• Melakukan suction
• Melakukan intubasi dan menyiapkan ventilator
a. Buka blade pegang tangkai laryngoscope dengan
tenang
b. Buka mulut pasien
c. Masukkan blade pelan-pelan menyusuri dasar
lidah, ujung blade sudah di pangkal lidah, geser
lidah pelan-pelan kearah kiri
d. Angkat tangkai laringoskop ke depan sehingga
menyangkut ke seluruh lidah ke depan sehingga
rona glottis terlihat
e. Ambil pipa ETT sesuai ukuran yang sudah
ditentukan sebelumnya
f. Masukkan dari sudut mulut kanan arahkan ujung
ETT menyusur ke rima glottis masuk ke celah pita
suara
g. Dorong pelan sehingga seluruh balon STT di bawah
pita suara
h. Cabut stylet
i. Tiup balon ETT sesuai volumenya
j. Cek dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara
yang masuk lewat ETT apakah sama antara paru
kanan dan kiri
k. Fiksasi ETT dengan plester
l. Hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen
• Mencuci tangan sesudah melakukan intubasi
• Catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator
5 Komplikasi: (Level of Evidence 2) 1A
1. Trauma jalan nafas
2. Pneumothorax
3. Gangguan menelan
4. Avulsi pita suara
6 Kepustakaan: 1A
1. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway
Management. Dalam: Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 6ed. New York: McGraw-Hill; 2018.
2. Lafferty K, Dillinger R. Rapid Sequence Intubation.
Medscape. 2018. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/80222
3. Orebaugh S, Synder K.Direct laryngoscope and
endotracheal intubation in adults.UpToDate.2017.
Diakses dari
http://www.uptodate.com/contents/direct
laryngoscope-and-endotracheal-intubation-in-adults
4. Brown C. Approach to the difficult airway in adults
outside the operating room. UpToDate. 2016. Diakses
dari: https://www.uptodate.com/contents/approach-
to-the-difficult-airway-in-adults-outside-the-operating-
room
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Ekstubasi
No Keterangan Derajat Rekomendasi
1. Pengertian
Merupakan prosedur pelepasan pipa endotrakheal setelah 1A
tindakan pembedahan atau anestesi selesai dilakukan.1
(Level of Evidence 2)
Prosedur ini dapat dibagi menjadi dua yaitu : Ekstubasi
dalam dan ekstubasi sadar baik. Ekstubasi dilakukan pada
saat yang tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya
reintubasi dan komplikasi lain.2 (Level of Evidence 1)
2 Indikasi 1A
Pasien yang telah melalui SBT (Spontaneous Breathing Trial)
dengan baik dapat dilakukan esktubasi1 (Level of Evidence 2)
3 Kontraindikasi 1A
Kontraindikasi dari ekstubasi adalah:3 (Level of Evidence 2)
19. Penyebab gagal napas belum tertangani
20. PF Ratio < 150, membutuhkan FiO2 > 40%, PEEP > 10,
MV lebih dari 15Lpm, RSBi > 105, Sekret berlebihan,
Foto Thoraks memburuk
21. Pasien harus mampu mempertahankan oksigenasi dan
ventilasi dengan bantuan respirasi minimal yang dapat
diberikan secara spontan atau dengan modalitas non
invasif
22. Pasien harus mampu mempertahankan jalan napas
paten, mampu batuk adekuat, sekret minimal
23. Akronim MOVE (Mental status, oksigenasi, ventilasi,
ekspectorant)
24. Instabilitas hemodinamik (Takikardia, membutuhkan
dosis vasopresor tinggi)
25. GCS kurang dari 8
26. Adanya trauma akut pada otak
27. Rencana kembali ke ruang operasi dalam 24 jam
kedepan
28. Sedang dalam pengaruh pelemas otot
29. Adanya abdomen yang terbuka
30. Sedang dalam hipotermia terapeutik
4 Prosedur 1A
Prosedur dari ekstubasi4: (Level of Evidence 2)
1. Ekstubasi dalam :
• Pada pasien yang tidak diperbolehkan batuk atau
mengejan
• Pasien dalam kondisi hemodinamik stabil
• Pasien bernafas spontan dengan frekuensi nafas lebih
dari 10 kali per menit, volume tidak minimal 6ml/kgbb
dan bukan pernapasan abdominal
• Bila perlu dapat ditambahkan obat-obatan untuk
menumpulkan reflek dari jalan napas
• Setelah memenuhi prosedur sebelumnya, dapat
dilakukan pelepasan pipa endotrakeal dan kemudian
pasien dibantu untuk dapat mempertahankan patensi
jalan nafas sampai pasien sadar
• Suctioning dan bersihkan kembali jalan napas pasien
• Catat rekam medis ICU pasien (keadaan pasien selama
ekstubasi, obat-obat yang diberikan, komplikasi yang
terjadi selama dan paska ekstubasi)
2. Ekstubasi Sadar Baik3,4 :
• Pada pasien yang tidak terdapat indikasi ekstubasi
dalam
• Pasien dapat mempertahankan patensi jalan napas
• Pasien dalam kondisi hemodinamik stabil
• Pasien bernafas spontan dengan frekuensi nafas lebih
dari 10 kali per menit, volume tidak minimal 6ml/kgbb
dan bukan pernapasan abdominal
• Pasien sadar baik dan dapat mengikuti perintah yang
diberikan
• Pasien dapat menahan kepalanya selama 5 detik yang
menandakan bahwa sisa pelemas otot yang diberikan
kurang lebih 30%
• Dilakukan pembersihan sekret jalan nafas
• Setelah memenuhi prosedur sebelumnya maka dapat
dilakukan pelepasan pipa endotrakeal
• Suctioning dan bersihkan kembali jalan napas pasien
• Catat rekam medis ICU pasien (keadaan pasien selama
ekstubasi, obat-obat yang diberikan, komplikasi yang
terjadi selama dan paska ekstubasi)
5 Komplikasi 1A
Komplikasi dari ektubasi3,4: (Level of Evidence 2)
6. Gagal ekstubasi, butuh reintubasi dalam 72 jam
7. Gagal penyapihan
8. Stridor post ekstubasi
6 Edukasi 1A
8. Terkait indikasi tindakan
9. Terkait tahapan prosedur
10.Terkait resiko tindakan
7 Kepustakaan
1. Baptistella AR, Sarmento FJ, Silva KRD, Baptistella SF, Taglietti M, Zuquello RA,
et al. Predictive Factors of Weaning from Mechanical Ventilation and Extubation
Outcome: A Systematic Review. Yjcrc. 2018. 48:56-62. doi:
10.1016/j.jcrc.2018.08.023
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway Management. In: Clinical
anesthesiology. 5th Edition. New York: McGraw-Hill Education, LLC. p333-334
3. Margaret L. Campbell. How to Withdraw Mechanical Ventilation: A Systematic
Review of the Literature. AACN. 2007. 18(4):397-403.
4. Saeed F, Lasrado S. Extubation.In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/ NBK539804/
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Pemberian Norepinephrine
No Keterangan Derajat Rekomendasi
1 Pengertian (definisi)
Norepinephrine adalah salah satu obat penting dalam II B
kegawatdaruratan kardiak.1 (Level of Evidence 3)

2 Tujuan II B
• Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai
dan dengan cara pemberian yang tepat.2 (Level of
Evidence 3)
• Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada
rekam medis pasien

3 Indikasi II B
Indikasi pemberiannya pada syok kardiogenik berat atau
hipotensi signifikan tekanan darah sistolik < 70 mmHg)
dengan resistensi perifer total rendah 1,2(Level of Evidence
2)

4 Prosedur IIB
Prosedur pemberian norepinephrine3: (Level of Evidence 3)
1. Larutan 4 mg norepinephrine dalam Dektrose 5% atau
Dektrose 5% NaCl 0,9%
2. Hindari pengenceran dengan menggunakan NaCl 0,9%
saja
3. Diberikan melalui infus intravena 0,5 sampai 1,5
ug/menit dititrasi sampai didapat perbaikan tekanan
darah (sampai 30 ug/menit).
Tidak boleh diberikan dalam satu jalur dengan larutan basa
(Level of Evidence 2)

5 Komplikasi II B
Ekstravasasi dapat menimbulkan nekrosis jaringan.2 (Level
of Evidence 1)
6 Edukasi
11. Terkait tujuan diberikan norepinephrine II B
12. Terkait efek samping dan komplikasi pemberian obat
13. Monitor Efek Samping
7 Kepustakaan
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical Care. In: Clinical
anesthesiology. 5th Edition. New York: Lange
2. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis Campaign:
international guidelines for management of severe sepsis and septic shock:
2008. Intensive Care Med 2008;34:17-60
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Pemberian Dopamin
No. Keterangan Derajat Rekomendasi
1. Pengertian (definisi) 1A
Dopamin adalah salah satu obat penting dalam
kegawatdaruratan1 (Level of Evidence 2)
2. Indikasi 1A
• Obat kedua setelah atropine untuk bradikardi
simptomatik (Level of Evidence 2)
• Hipotensi (sistolik < 70-100 mmHg) dengan tanda dan
gejala dan garis syok.2 (Level of Evidence 1)
• Dapat digunakan pada pasien hipovolemik setelah
pemberian cairan adekuat (Level of Evidence 3)
• Pemberiannya tidak dicampur dengan natrium
bikarbonat2 (Level of Evidence 2)
3. Tujuan 1A
• Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai
dan dengan cara pemberian yang tepat.3 (Level of
Evidence 1)
• Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada
rekam medis pasien
4. Efek Samping 1A
Takikardia, vasokontriksi hebat.3 (Level of Evidence 1)
5. Edukasi 1A
• Terkait tujuan diberikan dopamin
• Terkait efek samping dan komplikasi pemberian obat
• Monitor Efek Samping
6. Prosedur 1A
Prosedur dari pemberian dopamine2,3 (Level of Evidence 2)
• Dopamine 400-800 mg dicampurkan dalam NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat, atau Dekstrose 5%.
• Diberikan dengan infus kontinu, dititrasi sesuai respon
pasien.
• Dosis rendah : 1-5 ug kg/men
• Dosis sedang : 5-10 ug/kg/men (dosis kardiak)
• Dosis tinggi : 10-20 ug/kg/men (dosis vasopresor)
7. Kepustakaan
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical Care. In: Clinical anesthesiology.
5th Edition. New York: Lange
2. Boulain T, Runge I, Bercault N, Benzekri-Lefevre D, Wolf M, Fleury C.
Dopamine therapy in septic shock: detrimental effect on survival? J Crit
Care 2009;24:575-582
3. Ungar A, Fumagalli S, Marini M, et al. Renal, but not systemic, hemodynamic
effects of dopamine are influenced by the severity of congestive heart
failure. Crit Care Med 2004;32:1125-1129
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Pemberian Dobutamin
No. Keterangan Derajat Rekomendasi
1. Pengertian (definisi)
Dobutamin adalah salah satu obat penting dalam 1A
kegawatdaruratan kardiak.1 (Level of Evidence 2)
2. Indikasi 1A
• Indikasi Kegagalan pompa jantung (gagal jantung
kongestif, edema paru) dengan tekanan darah sistolik
70-100 mmHg dan tidak ada gejala syok.2 (Level of
Evidence 1)
• Hindari pemberiannya pada tekanan darah < 100
mmHg dengan gejala syok.2 (Level of Evidence 2)
• Pemberiannya tidak dicampurkan dengan bikarbonat.
(Level of Evidence 3)
3. Tujuan 1A
Tujuan dari pemberian dobutamine2,3: (Level of Evidence 2)
• Pemberian obat yang sesuai indikasi, dosis yang sesuai
dan dengan cara pemebrian yang tepat.
• Semua obat, jumlah dan cara pemberian dicatat pada
rekam medis pasien.
4. Efek Samping 1A
Takiaritmia, fluktuasi tekanan darah, sakit kepala, mual 2
(Level of Evidence 1)
5. Edukasi 1A
• Terkait tujuan diberikan dobutamin
• Terkait efek samping dan komplikasi pemberian obat
• Monitor Efek Samping
6. Prosedur 1A
Prosedur dari pemberian dobutamine (Level of Evidence 2)
• 250 mg Dobutamin dicampurkan dengan NaCl 0.9%
atau Dekstrose 5% sesuai kebutuhan.
• Diberikan secara intus intravena dengan kecepatan 2
sampai 20 ug/kg/men.
• Titrasi sesuai kebutuhan selama pemakaian
dobutamin.
• Monitoring hemodinamik selama pemakaian
dobutamin.
7 Kepustakaan
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Critical Care. In: Clinical
anesthesiology. 5th Edition. New York: Lange
2. Stevenson LW. Clinical use of inotropic therapy for heart failure: looking
backward or forward? Part I: inotropic infusions during
hospitalization. Circulation. 2003 Jul 22;108(3):367-72
3. McNally EM. Can we do better than dobutamine? Circ Res. 2013 Aug
02;113(4):355-7.
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Pemeriksaan Ekokardiografi
No Keterangan Derajat Rekomendasi
1. Pemeriksaan Pada Saat Rawat Inap
Pasien rawat inap yang secara klinis menunjukkan adanya 1C
gejala gagal jantung memiliki indikasi dilakukan
ekokardiografi sebagai langkah awal untuk penegakan
diagnosis.1 (Level of Evidence 2)
Gejala adanya gagal jantung antara lain dengan gejala
sesak nafas, mudah lelah, ronki pada basal paru, atau
adanya tanda gagal jantung kanan seperti peningkatan
tekanan vena jugularis, hepatomegali, dan edema perifer. 2
(Level of Evidence 1)
Adanya kelainan suara jantung pada auskultasi, bising
jantung, kardiomegali, dan kelainan pada pemeriksaan
elektrokardiografi juga merupakan indikasi untuk
pemeriksaan ekokardiografi pada rawat inap.3 (Level of
Evidence 2)
Ekokardiografi pada pasien gagal jantung meliputi
ekokardiografi 2 dimensi (2D) / tiga dimensi (3D), pulsed
wave (PW), continuous wave (CW) Doppler, colour flow
Doppler, tissue Doppler imaging (TDI), deformation
imaging (strain and strain rate). Ekokardiografi pada
dinding dada atau Transthoracic echocardiography (TTE)
adalah metode pilihan untuk penilaian fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel kiri dan kanan.2 (Level of Evidence 1)
Pemeriksaan ekokardiografi pada pasien rawat inap dalam
kondisi tidak stabil, selain untuk diagnostik juga dapat
diindikasikan untuk mengetahui status hemodinamik,
pemberian terapi dan evaluasi terhadap respon terapi dan
perkembangan pasien gagal jantung akut.1 (Level of
Evidence 3)

2. Kondisi Yang Membutuhkan Pemeriksaan Ulangan 1C


Pada pasien gagal jantung kronik dapat dilakukan
pemeriksaan ulangan ekokardiografi yang bertujuan
untuk melihat respon terapi, evaluasi perkembangan
CHFnya, atau adanya perubahan status klinis dan atau
pemeriksaan fisik jantung sebagai panduan untuk
mengubah pengobatan.2 (Level of Evidence 3)
Dapat dilakukan pemeriksaan ulang minimal 6 bulan,
maksimal 1 tahun, tanpa perubahan status klinis atau
pemeriksaan jantung lain pada pasien dengan CHF. (Level
of Evidence 2)
3. Indikasi Pemeriksaan Ekokardiografi Pada Gagal Jantung 1C

4. Evaluasi Ekokardiografi pada gagal jantung yang 1C


dicurigai disebabkan oleh cardiomiopathy

5. Indikasi dilakukan stress ekokardiografi 1C


1. Stress ekokardiografi untuk mendeteksi adanya
gangguan diastolik saat latihan (exercise) pada pasien CHF
dengan preserved LVEF dan tidak konklusif adanya
parameter gangguan diastolik saat istirahat3.(Level of
Evidence 2)

2. Stress ekokardiografi untuk penilaian viabilitas iskemia


pada iskemik kardiomiopati, pada pasien dengan disfungsi
LV moderate – severe. Memenuhi syarat dilakukan
revaskularisasi. Hanya dengan dobutamin stress
ekokardiografi.3 (Level of Evidence 2)

6. Pada pasien CHF atau cardiomyopathy yang dilakukan 1C


pemasangan device (termasuk Pacemaker, ICD, atau
CRT) dapat dilakukan evaluasi ekokardiografi pada:
1. Evaluasi awal atau reevaluasi setelah revaskularisasi
dan / atau terapi medik optimal untuk menentukan
kandidat terapi device dan/atau untuk menentukan
pemilihan device yang optimal. (Level of Evidence 3)
2. Untuk mengetahui implan pacing device dengan gejala
yang mungkin disebabkan oleh komplikasi perangkat
atau pengaturan perangkat pacing suboptimal.3
7. Rekomendasi pemeriksaan ekokardiografi pada pasien
suspek gagal jantung
8. Kepustakaan
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Panduan
Pemeriksaan Ekokardiografi. 2021
2. Picard MH, Adams D, Bierig SM, Dent JM, Douglas PS, Gillam LD, et al.
American Society of Echocardiography recommendations for quality
echocardiography laboratory operations. J Am Soc Echocardiogr 2011; 24:1-
10.
3. 7. Wharton G, Steeds R, Allen J, Phillips H, Jones R, Kanagala P, Lloyd G,
et al. A minimum dataset for a standard adult transthoracic
echocardiogram: a guideline protocol from the British Society of
Echocardiography. Echo Res Pract 2015;2:G9-24.
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Intracranial Pressure (ICP) Monitoring Pasien Kritis


No Keterangan Derajat Rekomendasi
1 Pengertian
Intracranial pressure (ICP) monitoring atau pemantauan IIB
tekanan intrakranial didefinisikan sebagai cara yang
digunakan untuk pencegahan dan mengontrol
peningkatan tekanan intracranial serta mempertahankan
tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion
Pressure/CPP).1 (Level of Evidence 1) Metode pemantauan
tekanan intrakranial dapat dilakukan secara invasif dan
non-invasif. Kisaran normal ICP bervariasi sesuai dengan
usia (pada orang dewasa 7-15 mmHg). (Level of Evidence 1)
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif
(secara langsung) dan non invasif (tidak langsung). Metode
non invasif dilakukan dengan 2: (Level of Evidence 2)
• Pemantauan status klinis,
• Neuroimaging dan neurosonology (Trancranial
Doppler Ultrasonography/TCD).
Sedangkan metode invasif dapat dilakukan di beberapa
lokasi anatomi yang berbeda yaitu 1: (Level of Evidence 2)
• Intraventrikular,
• Intraparenkimal,
• Subarakhnoid/subdural,
• Epidural.
Metode yang umum dipakai yaitu intraventrikular dan
intraparenkimal (microtransducer sensor). Tehnik
intraventrikular merupakan gold standard pemantauan
tekanan intrakranial, yaitu kateter diinsersikan ke dalam
ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal
kanan3. (Level of Evidence 1)
2 Indikasi 1C
Rekomendasi pemantauan tekanan intrakranial dari
pedoman yang diterapkan oleh Brain Trauma Foundation
(BTF) dilakukan pada2 : (Level of Evidence 1)
1. Pasien dengan Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari
8
2. Pasien dengan hasil computed tomogram (CT) kepala
yang tidak normal
3. Pada pasien dengan dua atau lebih dari kriteria
berikut:
- Usia lebih dari 40 tahun
- Postur motorik unilateral atau bilateral
- Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg
Pemantauan ICP juga direkomendasikan pada kondisi 3:
(Level of Evidence 2)
1. Pasien dengan hasil CT scan normal pada awal atau
dengan perubahan kecil pada hasil CT scan, tetapi
kemudian menunjukkan perburukan neurologis atau
progresif pada CT scan ulangan.
2. Bukti adanya edema otak, misalnya, terjadi kompresi
atau absent cisterna basalis
3. Pasien dengan kontusio bifrontal yang luas tidak
tergantung pada kondisi neurologis
4. Bila sedasi untuk memeriksa fungsi neurologis tidak
dibenarkan, misalnya pada gagal napas akibat
kontusio paru dan flail chest
5. Ketika pemeriksaan neurologis tidak dapat
diandalkan, misalnya, trauma maksilofasial atau
cedera tulang belakang
6. Kraniektomi dekompresi dilakukan sebagai upaya
terakhir untuk hipertensi intrakranial yang refrakter
terhadap manajemen medis
7. Setelah kraniotomi dimana terdapat faktor risiko yang
relevan untuk perluasan edema otak, misalnya,
hipoksia, hipotensi, abnormalitas pupil, pergeseran
garis tengah lebih besar dari 5 mm.

3 Kontraindikasi IIB
Kontrindikasi relatif untuk memantau tekanan
intrakranial yaitu 3: (Level of Evidence 2)
1. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan
pada pemasangan pemantauan tekanan intrakranial.
Bila memungkinkan pemantauan ditunda sampai
International Normalized Ratio (INR), Prothrombin
Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT)
terkoreksi ( INR < 1,4 dan PT < 13,5 detik).
2. Trombosit 100.000/mm³
3. Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya
berikan sekantong platelet dan fungsi platelet dengan
menghitung waktu perdarahan.
4. Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga
merupakan kontraindikasi relatif.

Pada metode invasif kontraindikasi untuk penempatan


pemantauan ICP termasuk kasus:2 (Level of Evidence 2)
1. Penggunaan obat antikoagulan secara bersamaan
2. Gangguan pendarahan
3. Infeksi kulit kepala
4. Abses otak
4 Komplikasi IIB
Komplikasi pemantauain ICP ialah 1: (Level of Evidence 2)
1. Perdarahan Intrakranial – 10%
2. Infeksi (Ventrikulitis) – 20%
3. Kegagalan Teknis (Kegagalan penempatan) – 5%
5 Edukasi IIB
1. Terkait indikasi Tindakan
2. Terkait tahapan prosedur
3. Terkait resiko tindakan
6 Kepustakaan
1. Czosnyka M, Pickard JD. Monitoring and interpretation of intracranial
pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2004 Jun;75(6):813-21
2. Brain Trauma Foundation. American Association of Neurological Surgeons.
Congress of Neurological Surgeons. Joint Section on Neurotrauma and Critical
Care, AANS/CNS. Bratton SL, Chestnut RM, Ghajar J, McConnell Hammond
FF, Harris OA, Hartl R, Manley GT, Nemecek A, Newell DW, Rosenthal G,
Schouten J, Shutter L, Timmons SD, Ullman JS, Videtta W, Wilberger JE, Wright
DW. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury. VI.
Indications for intracranial pressure monitoring. J Neurotrauma. 2007;24 Suppl
1:S37-44.
3. Le Roux P. Intracranial Pressure Monitoring and Management. In: Laskowitz D,
Grant G, editors. Translational Research in Traumatic Brain Injury. CRC
Press/Taylor and Francis Group; Boca Raton (FL): 2016.
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Itra-aortic Balllon Pump


No. Keterangan Derajat Rekomendasi
1 Pengertian (definisi)
Intra-aortic balloon pump (IABP) merupakan suatu IIA
dukungan sirkulasi mekanik sementara yang
mencoba menciptakan keseimbangan yang lebih baik
antara penyediaan dan kebutuhan oksigen ke otot
jantung dengan menggunakan konsep systolic
unloading dan diastolic augmentation.1 (Level of
Evidence 1)
Hasilnya, curah jantung, fraksi ejeksi, dan perfusi
koroner meningkat, sejalan dengan penurunan stres
dinding ventrikel kiri, tahanan sistemik, dan tekanan
pasak kapiler paru.2
Alat IABP terdiri dari sebuah kateter double lumen
7,5Fr-9,9Fr dengan balon 25-50 cc di ujung distalnya
serta kabel yang menghubungkannya dengan pompa
yang memompakan gas Helium ke balon. Dua
perusahaan yang menyediakan alat ini adalah
Datascope dan Arrow. Ada tiga ukuran balon yang
sering digunakan: 30 cc (tinggi badan 147-162 cm),
40 cc (tinggi badan 162-182 cm), dan 50 cc (tinggi
badan > 182 cm). Balon dimasukkan ke dalam aorta,
ditempatkan antara arteri subklavia dan arteri
renalis.3 (Level of Evidence 2)
2 Indikasi IIA
IABP dilakukan sebagai terapi pada kondisi infark
miokard akut, syok kardiogenik, MR dan VSD akut,
kateterisasi dan angioplasti, unstable angina
refrakter, LV failure refrakter, aritmia ventrikular
refrakter, kardiomiopati, sepsis, pembedahan
jantung, weaning dari cardiopulmonary bypass, dan
pada bayi dan anak dengan anomali jantung
kompleks.2 (Level of Evidence 2)
Untuk pembedahan jantung, IABP dapat dipasang
sebelum operasi atau durante operasi bila
didapatkan kesulitan weaning dari mesin
cardiopulmonary bypass.2 (Level of Evidence 2)
Kemajuan dalam teknologikateter dan teknik
kateterisasi, telah memungkinan pasien dengan
risiko tinggi (EF rendah, multivessel disease, left main
stenosis, dan instabilitas hemodinamik) dengan
komorbiditas yang signifikan untuk menjalani
revaskularisasi. (Level of Evidence 3)
Support hemodinamik dan peningkatan perfusi
koroner oleh IABP akan memberikan manfaat untuk
pasien-pasien ini saat menjalani prosedur.
Kontraindikasi dilakukannya IABP meliputi:3 (Level of
Evidence 2)
1. Regurgitasi aorta
2. Diseksi aorta
3. Penyakit jantung end-stage kronik yang mungkin
membaik
4. Stenting aorta
Kontraindikasi relatif di lakukannya IABP adalah
sebagai berikut :2,3 (Level of Evidence 2)
1. Sepsis yang tidak terkontrol
2. Aneurisma aorta abdominalis
3. Takiaritmia
4. Penyakit vaskular perifer yang berat
5. Bedah rekonstruksi arteri besar
3 Komplikasi IIA
Komplikasi mayor terkait pemasangan IABP adalah
sebagai berikut :2,3 (Level of Evidence 3)
1. Iskemia tungkai bawah akut
2. Perforasi aorta atau arteri perifer
3. Diseksi aorta
4. Fasiotomi sampai amputasi tungkai
komplikasi mayor terkait pemasangan IABP adalah
sebagai berikut :
1. Hematom local
2. Infeksi
3. Iskemia yang reversible dengan pengangkatan
sheath)
Kegagalan IABP dilaporkan sebesar 2,3%, dengan
penyebab yang terkait kebocoran balon (52%),
kurang inflasi (21,7%), kesulitan insersi (13%), dan
augmentasi yang buruk (39%).1
4 Edukasi IIA
Terkait indikasi tindakan
Terkait tahapan prosedur
Terkait resiko tindakan
5 Kepustakaan
1. Baptistella AR, Sarmento FJ, Silva KRD, Baptistella SF, Taglietti M,
Zuquello RA, et al. Predictive Factors of Weaning from Mechanical
Ventilation and Extubation Outcome: A Systematic Review. Yjcrc.
2018. 48:56-62. doi: 10.1016/j.jcrc.2018.08.023
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway Management. In:
Clinical anesthesiology. 5th Edition. New York: McGraw-Hill
Education, LLC. p333-334
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Sedasi Dan Analgesia Di ICU


No. Keterangan Derajat Rekomendasi
1. Pengertian (Definisi)
Pemberian obat-obat sedatif dan analgesik kuat yang 1B
hanya boleh diberikan di unit perawatan intensif.1(Level
of Evidence 2) Sedasi umumnya diberikan pada pasien
kritis untuk menurunkan kecemasan, menurunkan
tingkat stress karena penggunaan ventilasi mekanik,
dan mencegah respon agitasi yang membahayakan
pasien itu sendiri.1(Level of Evidence 2) Analgesia
diberikan pada pasien kritis di icu karena pasien kritis
mengalami nyeri sedang sampai berat pada saat
istirahat atau pun saat menjalankan tindakan. 1,2 (Level
of Evidence 3)
Pemberian sedasi akan dimonitoring dengan skor RASS
(Richmond Agitation-Sedation Scale), sedangkan nyeri
akan dimonitoring dengan skor CPOT. (Level of Evidence
2)
2 Indikasi 1B
. Indikasi pemberian analgesia dan sedasi : (Level of
2

Evidence 3)
1) Mencapai analgesia dan anxiolysis yang
adekuat sebagai salah satu target manajemen
primer di ICU
2) Fasilitasi pasien untuk pemasangan ETT dan
penggunaan ventilator
3) Fasilitasi prosedur invasif di ICU
4) Pasca operasi pembedahan
Delirium
3 Prosedur Tindakan 1A
. Prosedur tindakan sedasi : (Level of Evidence 3)
1

1. Pasien yang tersedasi harus menerima oksigen


2. Isi spoit 50 cc dan encerkan sesuai dengan
obatsedasi/analgesia yang akan diberikan
3. Sambungkan Spoit 50 cc ke perfussor line dan
threeway ke jalur intravena pasien
4. Jalankan syiringe pump dengan kecepatan
sesuaidosis obat sedasi
- Propofol : bolus awal 0.25-1 mg/kgBB,
rumatan 25-75 mcg/kgbb/min (pilihan
pertama sedasi di ICU)
- Midazolam : bolus awal 0.02-0.1 mg/kgBB,
rumatan 0,04-0.2mg/kg/jam (pilihan kedua
sedasi di ICU bila kontraindikasi propofol,
dapat dikombinasi dengan
fentanyl/morphine dengan atau tanpa
pelumpuhotot)
- Fentanyl : bolus awal 0,5-1 mg/kgBB,
rumatan 50– 350 mcg/jam (pilihan pertama
analgesic di ICU, dapat dikombinasi dengan
propofol atau midazolam)
- Morphine : bolus awal 5-10 mg, rumatan
1-5 mg/jam
5. Evaluasi skor sedasi Ramsey setiap jam 2: (Level of
Evidence 2)

- Ramsey 1 : Sadar, gelisah dan agitasi


- Ramsey 2 : Sadar, kooperatif, orientasi
baik,tenang
- Ramsey 3 : Sadar, responsif ke perintah saja
- Ramsey 4 : Tidur, respon cepat terhadap
tapglabellar ringan atau stimulus suara
keras
- Ramsey 5 : Tidur, respon cepat terhadap
tapglabellar ringan atau stimulus suara
keras
- Ramsey 6 : Tidak ada respon terhadap
tapglabellar ringan atau stimulus suara
keras
4 Komplikasi 1B
Komplikasi dari pemberian sedasi dan analgesia (Level of
Evidence 2)3
1. Hipotensi
2. Syok
3. Infeksi – Ventilator acquired Pneumonia (VAP)
5. Edukasi 1A
1. Terkait tujuan diberikan sedasi dan analgesia
2. Terkait efek samping dan komplikasi pemberian
3. Monitor efek samping
6. Kepustakaan
1. Rathmell.P.James. Bonica’s Management of Pain. Pain management in the
intensive care unit. Lippincott Williams 2012;112:1590–01.
2. Marino P L. The ICU book: Analgesia and Sedation. Lippincott williams &
wilkins; 2007;49:938–66.
3. Devlin JW. Clinical Practice Guidelines for the Prevention and Management
Panduan Praktik Klinis
SMF Anestesiologi dan Reanimasi

T P N ( Total Parenteral Nutrisi )


No Keterangan Derajat Rekomedasi
1 Pengertian (Definisi)

Nutrisi Enteral adalah pemberian zat nutrisi melalui pipa ke IIB


dalam saluran cerna atau gastrointestinal. 1 (Level of evidence
2)

Pemberian nutrisi sakit kritis dimulai segera setelah stabil.


Nutrisi parenteral adalah pemberian zat nutrisi melalui jalur
intravena, baik vena sentral maupun perifer apabila
pemberian secara oral atau enteral tidak memungkinkan,
terdiri dari:2 (Level of Evidence 2)

• Nutrisi parenteral parsial yaitu nutrisi


parenteral diberikan bersama nutrisi enteral
untuk mencapai target yang ditentukan (target
tersebut tidak dapat dicapai hanya dengan
pemberian nutrisi enteral).
• Nutrisi parenteral total yaitu pemberian nutrisi
hanya melalui jalur intravena.

Status nutrisi adalah fenomena multi dimensional yang


memerlukan beberapa metode dalampenilaian, termasuk
indikator-indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian /
pengeluaran energi.2(Level of Evidence 3)
Malnutrisi merupakan masalah umum yang dijumpai pada
kebanyakan pasien yang masuk kerumah sakit. Untuk
pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) sering
kali menerima nutrisi yang tidak adekuat.(Level of Evidence
3)
Pada pasien sakit kritis tujuan pemberian nutrisi adalah
menunjang metabolik, bukan untuk pemenuhan
kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori
mungkin dapat merugikan karena menyebabkan
hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang
menyebabkan ketergantungan terhadap ventilator dan
imunosupresi.2(Level of Evidence 3)

2 Indikasi IIB
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan
enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik.1(Level of
Evidence 2)
Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi
enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan
suplemen nutrisi parenteral. (Level of Evidence 3)
Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan
dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat
mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan dalam sehari
diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam.2(Level of
Evidence 2)
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin
kecukupan energi dan nitrogen, namun harus dihindari
overfeeding seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis
hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-
ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia.(Level of Evidence
3)

Tabel perkiraan kebutuhan energi berdasarkan BMR pada


orang dewasa1 (Level of Evidence 2)

3 Komplikasi IIB
Komplikasi dari TPN2: (Level of Evidence 2)
1. Translokasi mikroorganisme pada sirkulasi portal
2. Morbiditasi septik yang meningkat
3. Memberikan dukungan tumbuhnya bakteri
4. Atrofi jaringan limfoid sistem digestif
4 Edukasi IIB
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:2

1. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular


interna dan femoral.
2. Keahlian operator dan staf perawat di ICU
mempengaruhi tingkat infeksi.
3. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah
sangat efektif.
4. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
5. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan
transparan lebih baik.
6. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi
dengan salep antimikroba.
7. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti
menurunkan sepsis.
5 Kepustakaan
1. Escallon J et al. Nutrition in critical care. In: McCarnish M et al, editors. An
integrated approach to patient care total nutritional therapy. 2 nd ed.
Pennsylvania: Elsevier; 2003.p.117-28.
2. Leonard R. Enteral and parenteral nutrition. In: Bersten AD, editor. Oh’s
Intensive Care Manual. 5 th ed. New York: Elsevier; 2004.p.903-12.

Anda mungkin juga menyukai