Disusun Oleh:
Kelompok 8
Menyetujui
Mengetahui
Kepala Ruangan
Maedi, S.Kep.
Mayor Laut (K) NRP.14608/P
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan “Asuhan Keperawatan
Terapi Oksigen Hiperbarik pada Pasien Ny. K dengan Diagnosa Medis Diabetes
Mellitus + Gangren Pedis Sinistra di Lakesla Drs. Med. R. Rijadi S., Phys
Surabaya” dengan baik. Tidak lupa kami menyampaikan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs, (Hons), selaku dekan yang senantiasa memacu,
dan memotivasi mahasiswa untuk berprestasi semaksimal mungkin;
2. Kolonel Laut (K) dr. Arie Zakaria, Sp. OT, selaku Kalakesla yang telah
memberikan kesempatan sehingga kami dapat melaksanakan tugas belajar
profesi ners;
3. Letkol Laut (K) drg. Agung Wijayadi, Sp. Ort, selaku Kabag Diklitbang yang
telah memberikan kesempatan sehingga kami dapat melaksanakan tugas
belajar profesi ners;
4. Mayor Laut (K), Maedi, S.Kep., selaku kepala ruangan dan pembimbing yang
senantiasa memacu, membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam
penyelesaian makalah ini;
5. Ika Nur Pratiwi, S.Kep.Ns., M.Kep. selaku pembimbing akademik yang
memberikan bimbingan dan masukan sehingga makalah ini dapat dijadikan
acuan baru dalam penulisan makalah selanjutnya khusunya dalam terapi
oksigen hiperbarik;
6. Taukhid, S.Pd. selaku pembimbing ruangan atau klinik yang selalu
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian makalah ini; serta
7. Teman-teman yang telah bekerja sama dalam penyelesaian tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap kritik dan saran yang dapat
membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya akan menjadi lebih baik
lagi.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
secara pribadi dan bagi yang membutuhkannya.
Penyusun
iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Tjokroprawiro, 2007; Waspadji, 2006). Luka gangren didahului oleh kondisi
hipoksia jaringan dimana oksigen dalam jaringan berkurang, sehingga akan
mempengaruhi aktivitas mikrovaskuler dan seluler jaringan akibatnya terjadi
kerusakan jaringan (Guyton, 2006). Selain itu, leukosit yang melekat pada sel
endotel mikrovaskuler lokal yang rusak akan tersumbat namun sebaliknya
pembuluh darah yang ada didekatnya terutama venula dengan cepat akan
berdilatasi. Leukosit bermigrasi diantara sel endotel menuju ke daerah yang rusak
dan dalam beberapa jam tepi daerah yang rusak sudah diinfiltrasi oleh granulosit
dan makrofag. Leukosit yang rusak segera digantikan oleh fibroblast sehingga
dibutuhkan kemampuan sirkulasi yang besar, tetapi keadaan tersebut tidak
didukung oleh sirkulasi yang baik, sehingga hal itu dapat menyebabkan hipoksia
jaringan (Subekti, 2006). Apabila sel dibiarkan dalam keadaan hipoksia dan
sampai anoksik maka dapat menghambat unsur kolagen yang dilepaskan.
Menurut Perkeni (2009), upaya yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan
luka gangren yaitu mechanical control, metabolic control, vascular control,
infeksi control, wound control, dan educational control. Vascular control
merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi luka gangren
tersebut yaitu dengan pemberian terapi oksigen hiperbarik (OHB). Terapi oksigen
hiperbarik adalah terapi dimana penderita berada dalam suatu ruangan udara
bertekanan tinggi (RUBT) dan bernafas dengan oksigen murni (100%) melalui
masker pada tekanan udara lebih besar daripada 1 ATA (Atmosfer Absolut) setara
dengan 760 mmHg (Lakesla, 2009).
Penggunaan oksigen dengan tekanan udara tinggi diharapkan dapat
meningkatkan perfusi pada luka gangren dengan cara merangsang pembentukan
kolagen dan neovaskularisasi jaringan sehingga dapat mempercepat penyembuhan
luka (Mahdi, 2009). Selain itu, dengan penggunaan oksigen 100% dapat dijadikan
sebagai antimikroba pembunuh bakteri anaerob pada kasus “diabetic foot”
termasuk pada gangren.
Setelah melakukan praktik lapangan secara langsung, penderita DM dengan
gangren yang melakukan terapi oksigen hiperbarik ini telah banyak mendapatkan
hasil yang cukup signifikan yaitu luka gangren membaik dan proses
penyembuhannya menjadi optimal dengan percepatan pertumbuhan granulasi. Hal
2
ini yang menjadi alasan banyaknya kunjungan pasien DM dengan luka gangren di
LAKESLA Surabaya. Rata-rata jumlah kunjungan penderita dengan luka gangren
antara 30-40 orang setiap bulannya untuk menjalani terapi OHB. Menurut
penuturan dari para perawat di LAKESLA Surabaya bahwa perawatan luka
gangren dengan diberikan terapi OHB menunjukan perbaikan pada penyembuhan
lukanya.
3
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Manfaat teoritis
Asuhan keperawatan hiperbarik pada pasien dengan diagnosa medis
diabetes mellitus ini, dapat menjadi referensi bagi penulis selanjutnya maupun
pembaca yang akan membuat karya ilmiah.
1.3.2 Manfaat praktis
1. Hasil penulisan makalah seminar ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan
kesehatan khususnya pada pelayanan kesehatan yang dilengkapi dengan terapi
oksigen hiperbarik, agar dapat menerapkan asuhan keperawatan hiperbarik
pada pasien dengan diabetes mellitus disertai gangren secara tepat.
2. Hasil penulisan makalah seminar ini dapat dijadikan sebagai bekal untuk
mempelajari keperawatan medikal bedah khususnya pada sistem endokrin yang
berhubungan dengan terapi oksigen hiperbarik (OHB) sehingga dapat
memperdalam wawasan perawat sebagai tenaga medis yang selalu berpikir
kritis.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
3. DM tipe lain
DM tipe lain diakibatkan oleh kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma
pankreatik), obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit
dengan karakteristik gangguan endokrin.
4. Diabetes kehamilan (DM Gestasional)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap DM.
2.1.3 Etiologi diabetes mellitus
1. Diabetes mellitus tipe 1
DM tipe 1 biasanya disebabkan oleh:
1) Faktor genetik
Kecenderunggan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggungjawab atas antigen tranplantasi dan proses
imun lainnya.
2) Faktor imunologi
Adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatidakan bahwa virus atau toksin tertentu
dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β
pankreas.
2. Diabetes mellitus tipe 2
Penyebab DM tipe II ini belum diketahui pasti, faktor genetik diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Namun, lifestyle
yang buruk seperti pola makan yang buruk, obesitas, dan kurangnya olahraga
menjadi faktor pemicu tersering pada kasus DM tipe 2 (Price, 1995 dalam
Indriastuti 2008).
2.1.4 Manifestasi klinis diabetes mellitus
1. DM tipe 1
1) Hiperglikemia berpuasa
6
2) Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
3) Keletihan dan kelemahan fisik (malaise)
4) Ketoasidosis diabetikum (KAD) ditandai dengan mual, nyeri abdomen,
muntah, hiperventilasi, nafas bau keton, perubahan tingkat kesadarn, koma,
kematian
5) Kesemutan.
2. DM tipe 2
1) Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
2) Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, poliuria, polidipsia, polifagia,
luka pada kulit sembuh lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
3) Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer
seperti kaki diabetik).
2.1.5 Patofisiologi diabetes mellitus
1. DM tipe 1
Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel β - pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi
puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Selain itu,
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi pospandrial.
Konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut
muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke
dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan (polifagia) akibat menurunnya asupan kalori. Gejala lainnya
mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi
7
lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini tidak akan terjadi tanpa
hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan
keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda
dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau
aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma
bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolic tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting.
2. DM tipe 2
Pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat pengingkatan jumlah insulin yang
diekskresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin
yang merupakan cirri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton yang menyertainya. Oleh karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada
DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol dapat
8
menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik (HHNK).
DM tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yan berusia lebih
dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoelransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan
tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat
ringan dan dapat mencakup kelalahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada
kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosa
sangat tinggi).
9
2.1.6 Web of Causation (WOC) diabetes mellitus
DM Tipe 1
Defisiensi Insulin
DIABETES MELLITUS
Hiperglikemia
Hiperglikemi Proses Transkripsi,
Translasi, Replikasi, dan
Glkosuria Poliferasi Sel
Viskositas darah naik
Terapi OHB
MK : Risiko Barotrauma
Transfer in/out ke RUBT
10
2.1.7 Penatalaksanaan diabetes mellitus
Penatalaksanaan DM meliputi:
1. Medis
Menurut Soegondo (2006), penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Diabetes Mellitus meliputi:
1) Obat Hiperglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
(1) Pemicu sekresi insulin. Contoh: Sulfonylurea, glibenclamide,
chlorpramide, glimepiride.
(2) Penambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh: Thiazolidinedione.
(3) Penghambat gluconeogenesis. Contoh: Metformin
(4) Penghambat glukosidase alfa. Contoh: Acarbose.
2) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
(1) Penurunan berat badan drastis
(2) Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis
(3) Ketoasidosis diabetic (KAD)
(4) Gangguan faal gunjal atau hati yang berat
3) Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar
glukosa darah.
2. Keperawatan
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), tujuan utama terapi pada diabetes
mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah, sedangkan
tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi. Ada
beberapa komponen dalam penatalaksan Diabetes Mellitus:
1) Diet nutrisi dan kontrol berat badan
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar untuk memberikan
semua unsur makanan esensial, memenuhi kebutuhan energi, mencegah
kadar glukosa darah yang tinggi dan menurunkan kadar lemak. Diet DM
yaitu 3J tepat jumlah disesuaikan dengan jenis kelamin, berat badan, dan
11
umur; jadwal teratur 3x sehari yaitu 3x makan utama dan 3x makan kecil
(kudapan); jenis disesuaikan dengan makanan yang dianjurkan untuk
Dmdan menghindari makanan pantangan seperti tinggi gula.
2) Latihan atau olahraga
Berolahraga yang teratur akan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
kadar insulin. Prinsip olahraga yang dianjurkan secara teratur adalah
CRIPE (Continuous, Rhytmis, Interval, Progressive, and Endurance)
sebagai berikut:
(1) Frekuensi : 3-5x seminggu
(2) Intensitas : Ringan - sedang
(3) Durasi : 30-60 menit / 5 x 30 menit / minggu
(4) Tipe : Aerobik (jalan, joging, bersepeda)
3) Pemantauan atau check up berkala
Pemantauan kadar gula darah secara mandiri diharapkan dapat mengatur
terapi secara optimal.
4) Terapi (jika diperlukan)
Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk
mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada
malam hari.
5) Pendidikan kesehatan
Tujuan edukasi ini adalah supaya pasien dapat mempelajari keterampilan
dalam melakukan penatalaksanaan diabetes secara mandiri dan mampu
menghindari komplikasi.
6) Kontrol nutrisi dan metabolik
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam
penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan
berpengaruh dalam proses penyembuhan. Perlu monitor Hb diatas 12
gram/dl dan pertahankan albumin diatas 3.5 gram/dl. Diet pada penderita
DM dengan selulitis atau gangren diperlukan protein yang tinggi yaitu
dengan komposisi protein 20%, lemak 20%, dan karbohidrat 60%.
12
2.1.8 Komplikasi diabetes mellitus
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes mellitus digolongkan
akut dan kronik (Mansjoer et al, 2007):
1. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar gula darah yang
normal 60-100 mg% yang bergantung pada berbagai keadaan. Salahs atu
bentuk dari kegawatan hipoglikemik adalah koma hipoglikemik. Pada kasus
spoor dan koma yang tidak diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai
suatu hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pemberian glukosa. Koma
hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin. Selain itu dapat pula
disebabkan oleh karena terlambat makan atau olahraga berlebih. Diagnose
dibuat dari tanda klinis dengan gejala hipoglikemi terjadi bila kadar gula darah
dibawah 50 mg% atau 40 mg% pada pemeriksaan darah jari.
2) Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK adalah keadaan hiperglikemia dan hiperosmoliti tanpa terdapatnya
ketosis. Konsentrasi gula darah lebih dari 600 mg bahkan sampai 2000, tidak
terdapat aseton, osmolitas darah melewati 350 mOsm per kilogram, tidak
terdapat asidosis dan fungsi ginjal pada umumnya terganggu dimana BUN
banding kreatinin lebih dari 30:1, elektrolit natrium berkisar antara 100-
150mEq per liter.
2. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan:
1) Makrovaskuler: mengenai sirkulasi koroner, vaskular perifer dan serebri
2) Mikrovaskuer: retinopati, nefropati
3) Penyakit neuropati, mengenai syaraf sensorik motorik dan autonomi serta
menunjang masalah seperti impoten dan ulkus atau gangren pada kaki
4) Rentan infeksi, seperti TB paru dan ISK (infeksi saluran kemih)
13
2.2 Konsep Terapi oksigen hiperbarik (OHB)
2.2.1 Definisi terapi oksigen hiperbarik (OHB)
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah
kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut
(ATA) terhadap tubuh sebagai bentuk pengobatan (Hariyanto et al, 2009).
Terapi oksigen hiperbarik merupakan sebuah terapi yang menggunakan
oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan lebih besar daripada
tekanan laut (satu atmosfer absolut / ATA). Peningkatan tekanan ini bersifat
sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam monoplace chamber maupun multiple
chamber (Ali et al, 2004; Grill & Bell et al, 2004; Biomedical engineering, 2014).
Kondisi ruang terapi OHB harus memiliki tekanan udara yang lebih besar
dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini
dapat dialami seseorang pada waktu menyelam atau dalam ruang udara yang
bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun
pengobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter), tekanan akan
naik 1 atm. Setiap terapi diberikan 2,4 ATA menghasilkan 6 ml oksigen terlarut
dalam 100 ml plasma dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-120 menit. Terapi OHB
meningkatkan kemampuan difusi oksigen sehingga dapat mencapai 4 kali
dibandingkan dengan 1 atm (Ali et al, 2004).
Terapi OHB ini berupaya agar O2 masih mampu mencapai sel. Hipoksia
menginduksi ekspresi intracelluler adhesion molecule -1 (ICAM-1) sehingga
terjadi adesi leukosit pada endotel. Pemberian terapi OHB dapat mengurangi
ICAM-1 sehingga terjadi penghambatan melalui induksi Endothelial Nitric Oxide
Synthase (eNOS) dengan ambang batas PO2 2-2,5 ATA. Oleh karena itu, terapi
OHB dapat menghambat proses inflamasi. Meskipun banyak keuntungan yang
diperoleh dari terapi oksigen hiperbarik (OHB), cara ini pun juga mengandung
risiko, sehingga harus dilaksanakan secara hari-hati sesuai prosedur yang berlaku,
agar mencapai hasil maksimal dengan risiko minimal (Hariyanto et al, 2009).
2.2.2 Jenis Chamber terapi oksigen hiperbarik (OHB)
Ruangan hiperbarik dibedakan menjadi 4 yaitu:
1. Monoplace chamber : chamber yang digunakan untuk pengobatan satu orang
penderita.
14
2. Multiplace chamber : chamber yang digunakan untuk pengobatan beberapa
penderita pada waktu yang bersamaan dengan bantuan masker untuk setiap
pasiennya.
3. Animal chamber : chamber yang digunakan untuk penelitian khususnya untuk
binatang (seperti tikus putih dan kelinci).
4. Portable chamber : suatu jenis chamber yang dapat digunakan atau dibawa ke
tempat kejadian (seperti hyperlite).
2.2.3 Indikasi terapi oksigen hiperbarik (OHB)
Terapi OHB dapat diterapkan pada penyakit-penyakit berikut ini:
1. Penyakit dekompresi (DCS)
2. Aktinomikosis
3. Emboli udara
4. Anemia karena kehilangan banyak darah
5. Insufisiensi arteri perifer akut
6. Infkesi bakteri, gas gangren, ulkus diabetik
7. Keracunan CO dan sianida
8. Cangkok kulit
9. Infeksi jaringan lunak oleh kuman aerob dan anaerob
10. Osteoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
11. Sistitis akibat radiasi dan ekstrasi gigi pada rahang yang diobati dengan
radiateoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
12. Kandiobolus koronutus
13. Mukomikosis
14. Osteomielitis
15. Ujung amputasi yang tidak sembuh, luka tidak sembuh akibat hipoperfusi dan
trauma lain, ulkus stasis refraktori
16. Tromboangitis obliterans
17. Inhalasi asap, luka bakar
18. Ulkus yang terkait vaskulitis
15
2.2.4 Kontraindikasi OHB
1. Kontraindikasi absolut
Kontraindikasi absolut adalah pneumothoraks yang belum dirawat, kecuali bila
sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk
mengatasi pneumothoraks tersebut (LAKESLA, 2009).
2. Kontraindikasi relatif
1) ISPA
2) Sinusitis kronik
3) Penyakit kejang
4) Emfisema yang disertai retensi CO2
5) Panas tinggi yang tidak terkontrol
6) Riwayat pneumothoraks spontan
7) Riwayat operasi dada dan telinga
8) Infeksi virus
9) Spherositosis kongenital
10) Riwayat neuritis optik
11) Kerusakan paru asimptomatik yang ditentukan pada penerangan atau
pemotretan dengan sinar X (LAKESLA, 2009)
2.2.5 Komplikasi OHB
1. Barotrauma telinga, paru, dan gigi
2. Keracunan oksigen
3. Gangguan neurologis
4. Fibroplasia retrolental
5. Katarak
6. Trantsientmiopia reversible
2.2.6 Fisiologi terapi OHB
Terdapat 3 hukum yang Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi
oksigen hiperbarik, yaitu (Gill & Bell, 2004):
1. Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume
Rumus P1 V1 = P2 V2 = P3 V3
16
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini terjadi
ketika tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga
kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah. Pada pasien yang
tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus
dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang
harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang
telinga bagian luar. Demikian pula gas yang terperangkap dapat membesar dan
membahayakan selama dekompresi, seperti pneumothorakx yang terjadi selama
pemberian tekanan.
2. Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah tekanan
parsial dari masing-masing bagian gas.
Rumus P = P1 + P2 + P3 + . . .
3. Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan
tekanam parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu yang tetap. Ini
adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan dengan
pengobatan OHB. Implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas menggunakan
oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas inert apda jarungan
(terutama nitrogen) juga meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga
dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.
Fisiologi dari OHB bermacam-macam yakni:
1) Hiperoksigenasi atau peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan.
Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat dalam hemoglobin
(Hb2O2), dimana 97% tersaturasi pada tekanan atmosfer, namun beberapa
oksigen dibawa oleh plasma. Pada bagian ini akan meningkat pada terapi
hiperbarik sesuai dengan Hukum Henry yang akan memaksimalkan oksigen
jaringan. Ketika menghirup udara normobarik, tekanan oksigen arteri adalah
sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun,
oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatan tekanan oksigen
arteri 2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menajdi sekitar 500
mmHg, dan hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah
17
(dibandingkan dengan 3 ml.l pada tekanan atmosfer), yang cukup untuk
mendukung jaringan berisitirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena
oksigen terlarut banyak didalam plasma maka dapat menjangkau daerah-
daerah yang terhambat dimana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan
juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdaapt
gangguan hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti
pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Andrew, 2001).
2) Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial
oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar
untuk proses difusi oksigen dari darah ke jaringan. Keadaan tersebut sangat
berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati mikrovaskular seperti
pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu OHB juga membantu
menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer karena
penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik
(Andrew, 2001).
3) Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang
cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan. OHB juga biasanya
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradiakrdi serta menurunkan CO
sebanyak 10-20%, dengan stroke volume masih dipelihara. Meskipun
demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan
oksigen plasma yang dua kali besar daripada biasanya (Gill dan Bell, 2004).
4) Efek terhadap pertumbuhan bakteri (antimikroba). OHB yang meningkatkan
pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid
membran, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga
mencegah multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme bakteri serta
memfasilitasi sistem peroksidase yang digunakan leukosit untuk membunuh
materi. OHB sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri
microaerophilic.
5) Efek pada perfusion injury. OHB menstimulasi pertahanan melawan radikal
bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Apda reperfusion injury,
leukosit menempel pada endotel venula, kemudian terjadi pengeluaran
unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi arteriol lokal.
18
OHB mecegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup dari kulit atau
bahkan tungkai yang diimplantasi.
2.2.7 Manfaat terapi OHB
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada
aliran darah yang kurang (hiperoksigenasi).
2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran
darah pada sirkulasi yang berkurang sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dengan pembentukan fibroblast (neovaskularisasi).
3. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti clostridium
perfingens (penyebab penyakit gas gangren).
4. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) anatara lain bakteri E.
coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka
mengganas.
5. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin dengan meningkatkan
produksi antioksidan tubuh tertentu.
6. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.
7. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit
pada penyakit keracunan gas CO.
8. Mereduksi ukuran bubble nitrogen.
9. Mereduksi edema.
10. Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen dan menjaga
elastisitas kulit.
11. Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup meningkat,
tidur lebih enak dan pulas.
2.2.8 Peran perawat / tender dengan terapi OHB
1. Pra terapi OHB
1) Anamnesis (identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
kontraindikasi);
2) Persiapan alat (masker, air minum, selimut, pispot);
3) Pemeriksaan fisik lengkap;
4) Pemeriksaan tambahan bila perlu; dan
19
5) Informed consent (manfaat, proses, cara adaptasi ketika ada tekanan, benda-
benda yang tidak boleh dibawa).
2. Intra OHB
1) Bantu transfer input pasien
2) Safety pasien
3) Cek kembali barang-barang yang dibawa
4) Ingatkan jangan terlambat valsavah secara benar
5) Monitor tanda-tanda barotrauma, keracunan O2
6) Monitor keadaan umum pasien
7) Koordinasi dengan operator atau dokter jika terjadi masalah
3. Post OHB
1) Bantu pasien keluar
2) Monitor tanda-tanda barotrauma, keracunan CO
3) Lepas masker
4) Rapikan/ bersihkan chamber
5) Pendokumentasian
20
2.3 Hubungan terapi OHB dengan diabetes mellitus
Gangren merupakan komplikasi kronik dari DM yang paling sering terjadi.
Hal ini diperoleh akibat peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol
sehingga menyebabkan perubahan tekanan pada telapak kaki akibatnya
mempermudah terjadinya gangren. Adanya kerentanan infeksi pada kasus DM
gangren dapat menyebabkan infeksi tersebut menyebar keseluruh area luka
(menjadi luas). Gangren ini merupakan kompliaksi akibat angiopati pembuluh
darah yang diakibatkan karena adanya penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah perifer (utamanya di kaki). Perfusi jaringan distal (tungkai) yang kurang
baik mengakibatkan gangren sulit diobati dan dapat berakibat fatal yaitu pada
amputasi.
Terapi OHB pada dasarnya adalah memberikan oksigen 100% pada tekanan
> 1 ATA. Terapi OHB ini merupakan indikasi pada penyakit nekrosis/hipoksia
jaringan. Dengan paparan terapi oksigen hiperbarik (OHB) maka terjadi IFN-γ, i-
NOS, dan VEGF. IFN-γ mengakibatkan TH-1 meningkat menstimulasi β-cell
sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Peningkatan Ig-G dapat berefek fagositosis,
leukosit juga meningkat sehingga dapat membunuh bakteri anaerob pada area
luka. Selain itu, dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi
neovaskularisasi jaringan luka (angiogenesis) sehingga terjadilah aliran darah
mikrovaskuler. Jika daerah gangren mendapatkan oksigen lagi maka jaringan
yang mengalami iskemik akan terjadi reperfusi jaringan karena banyak jaringan
yang diikat oleh hemoglobin maupun terlarut dalam plasma. Sehingga oksigen
yang dibawa hemoglobin dan plasma dialirkan ke seluruh jaringan tubuh sehingga
dapat meningkatkan proses penyembuhan luka dan membunuh bakteri.
Disimpulkan bahwa terapi OHB sangat bermanfaat sebagai terapi alternatif
pada pasien DM dengan gangren karena dapat membantu proses penyembuhan
luka. Adapun manfaatnya sebagai berikut:
1) Memperbaiki hipoksia jaringan
2) Meningkatkan daya bunuh leukosit
3) Menghasilkan radikal bebas oksigen yang mematikan/menghambat
pertumbuhan kuman
4) Meningkatkan sensitivitas insulin
21
5) Mempercepat angiogenesis
6) Mempercepat replikasi sel fibroblast maupun produksi kolagen yang
diperlukan untuk pembentukan jaringan baru.
7) Vasokonstriksi
8) Meningkatkan aktivitas osteoblast
22
d. Auskultasi lapang paru
e. Lakukan uji glukosa darah pasien pada DM I
f. Tes pada pasien dengan keracunan gas CO atau O2
g. Observasi cedera orthopedic umum dan luka trauma
h. Uji visus mata
i. Mengkaji tingkat nyeri pasien dan claustrophobia
j. Mengkaji status nutrisi terutama pada pasien pada DM yang
menjalani pengobatan
(2) Intra terapi oksigen hiperbarik (OHB)
a. Mengamati gejala dan tanda barotrauma, keracunan O2 dan efek
samping terapi OHB
b. Menganjurkan pasien menggunakan tehnik valsava yang benar dan
efektif
c. Perlu mengingatkan pasien bahwa valsava hanya dieprlukan pada
saat penekanan / kompresi, dan dapat bernapas normal selama terapi
d. Jika terjadi nyeri ringan sampai sedang maka hentikan kompresi
hingga nyeri hilang, jika nyeri berlanjutkan maka pasien harus
dikeluarkan dari chamber dan diperiksa oleh dokter THT
e. Mencegah barotrauma GI dengan menganjurkan pasien bernapas
normal dan menghindari makan atau minum bergas sebelum
perawatan
f. Monitoring menganjurkan pasien bernapas normal dan menghindari
makan atau minum bergas sebelum perawatan
g. Monitoring pasien selama dekompresi terutama selama dekompresi
darurat
h. Segera periksa gula darah jika terdapat tanda hipoglikemia
(3) Post terapi oksigen hiperbarik (OHB)
a. Jika terdapat tanda barotrauma maka uji ontologis
b. Pada pasien DM tipe I maka tes gula darah
c. Pada iskemik trauma akut , kompartemen sindrom, nekrosis, post
implant maka harus dinilai status neurovas, kompartemen sindrom,
nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovaskular,
23
kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai
status neurovaskular dan luka. Untuk DM gangren lakukan
perawatan luka/debridement
d. Pasien dengan intoksikasi CO segera lakukan tes psicometri /
tingkat HbCO
e. Pasien dengan DCS harus dilakukan uji neurologis
f. Pasien yang mengkonsumsi obat ansietas selama terapi dilarang
mengemudikan motor/mobil atau menghidupkan mesin
g. Melakukan pendokumentasian pasien pasca OHB
2. Diagnosa keperawatan OHB
Terdapat 4 diagnosa utama diantara 14 diagnosa yang paling mungkin
terjadi pada pasien OHB, yaitu:
1) Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang terapi OHB dan
prosedur perawatan
2) Risiko cedera berhubungan dengan pasien transfer in/out dari RUBT
(chamber), ledakan peralatan, kebakaran
3) Risiko barotrauma (telinga, sinus, gigi,paru-paru) atau gas emboli serebri
berhubungan dengan perubahan tekanan udara dalam RUBT (>1 ATA)
4) Risiko keracunan oksigen berhubungan dengan pemberian oksigen 100%
selama tekanan atmosfer meningkat
3. Intervensi keperawatan terapi oksigen hiperbarik (OHB)
Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan
Ansietas Pre terapi oksigen hiperbarik (OHB)
Tujuan: setelah dilakukan asuhan 1) Bina hubungan saling percaya
keperawatan OHB selama 2 jam dengan pasien
diharapkan ansietas pasien dapat 2) Identifikasi pemahaman pasien/
diatasi, dengan kriteria hasil: keluarga tentang OHB
1) Mengetahui alasan OHB 3) Berikan informasi tentang tujuan,
2) Pasien dapat mengungkapkan prosedur, efek samping OHB
tujuan, prosedur, dan risiko OHB 4) Berikan kesempatan pasien untuk
bertanya
5) Cek tekanan darah pasien
Intra OHB
1) Dampingi pasien
2) Observasi keadaan dan respon
pasien di dalam chamber
Post OHB
1) Dokumentasikan respon pasien
24
setelah OHB
25
Keracunan Oksigen Pre OHB
Tujuan: setelah dilakukan asuhan 1) Catat hasilpengkajian pasien dari
keperawatan selama 2 jam, keracunan dokter OHB meliputi tekanan
oksigen tidak terjadi, dengan kriteria darah, suhu, riwayat penggunaan
hasil: obat kortikosteroid, riwayat kejang
1) Pasien tidak mengeluh pusing Intra OHB
2) Tidak ditemukan tanda-tanda 1) Monitor kondisi pasien saat terapi
keracunan oksigen berlangsung
a. Mati rasa dan berkedut, vertigo 2) Dampingi dan observasi tanda dan
b. Penglihatan kabur gejala keracunan oksigen
c. Mual Post OHB
1) Beritahu dokter jika tanda dan
gejala keracunan oksigen muncul
26
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
Keluhan utama
Luka kaki kiri yang tidak kunjung sembuh (bernanah)
27
luka tersebut sulit untuk sembuh sehingga jaringannya mati (gangren).
Dokter memberikan advis untuk dilakukan amputasi tiga jari (3, 4, 5) pada
bulan Juli 2016. Setelah diamputasi luka tersebut tidak kunjung sembuh
malah bernanah, karena pasien tidak mau dirawat luka oleh perawat.
Akhirnya atas saran tetangga, Ny. K melakukan terapi OHB yang pertama
pada tanggal 28 Oktober 2016 hingga sekarang tanggal 14 November 2016
(sesi kedua/ke-11) di Lakesla Surabaya.
63 th
28
Olah Raga Ya Tidak
29
h. CRT : < 2 detik
i. Akral : Hangat Kering Merah Basah
Pucat Panas Dingin
j. Sirkulasi Perifer : Normal Menurun
k. JVP :
l. CVP : (tidak ada masalah)
m. CTR :
n. EKG & Interpretasinya : (tidak ada data)
Masalah Keperawatan :
o. Lain-lain : (tidak ada data)
Tidak ada masalah
4. Sistem persyarafan (B3)
keperawatan
a. S : (tidak ada data)
b. GCS : Eye: 4 Verbal: 5 Motorik: 6
c. Refleks Fisiologis: Patella Tricep Bicep
d. Refleks Patologis: Babinsky Brudzinsky Kernig
e. Keluhan Pusing : Ya Tidak
P :
Q :
R : (tidak ada data)
S :
T :
f. Pupil : Anisokor Isokor Diameter: 3mm
g. Sclera : Anikterus Ikterus
h. Konjunctiva : Ananemis Anemis
i. Istirahat/Tidur : 4-6 jam/hari Gangguan Tidur : Tidak ada keluhan
j. IVD :
k. EVD : (tidak ada masalah)
l. ICP :
m. Lain-lain :
30
l. Lain-lain : (tidak ada data)
7. Sistem Penglihatan
a. Pengkajian segmen anterior dan posterior :
OD OS Masalah Keperawatan :
Visus Tidak ada masalah
Palpebra keperawatan
Conjungtiva
Kornea
BMD
Pupil
Iris
Lensa
TIO
b. Keluhan Nyeri : Ya Tidak
P :
Q (tidak ada data):
R :
31
S : (tidak ada data)
T : (tidak ada data)
c. Luka Operasi : Ada Tidak
Tanggal Operasi :
Jenis Operasi : (tidak ada data)
Lokasi :
Keadaan :
d. Pemeriksaan Penunjang : (tidak ada data)
e. Lain-lain : (tidak ada data)
8. Sistem Pendengaran
a. Pengkajian Segmen Anterior Dan Posterior : Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
OD Auricula OS keperawatan
MEA
Membran
Tymphani
Rinne
Weber
Swabach
9. Sistem Muskuloskeletal
a. Pergerakan sendi : Bebas Terbatas
b. Kekuatan Otot : 5 5
Masalah Keperawatan :
5 5 Tidak ada masalah
c. Kelainan Ekstremitas : Ya Tidak keperawatan
d. Kelianan Tulang Belakang: Ya Tidak
Frankel : E (tidak ada masalah)
e. Fraktur : Ya Tidak
Jenis : (tidak ada data)
f. Traksi : Ya Tidak
32
Jenis :
Beban : (tidak ada data)
Lama Pemasangan :
g. Penggunaan Spalk/Gips : Ya Tidak
h. Keluhan Nyeri : Ya Tidak
P :
Q :
R : (tidak ada data)
S :
T :
i. Sirkulasi Perifer : (tidak ada data)
j. Kompartemen Syndrome : Ya Tidak
k. Kulit : Ikterik Sianosis Kemerahan Hiperpigmentasi
l. Turgor: Baik Kurang Jelek
m. Luka Operasi: Ada Tidak
Tanggal Operasi : bulan juli 2016
Jenis Operasi : Amputasi
Lokasi : Jari kaki kiri (3,4,5)
Keadaan : bernanah
Drain: Ada tidak
Jumlah :
Warna : (tidak ada data)
Kondisi Sekitar Inserasi :
n. ROM :
o. POD :
p. Cardinal Sign : (tidak ada data)
q. Lain-lain :
33
bahwa pasien berisiko mengalami dekubitus (pressure ulcers). NILAI
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 = moderat risk, 12 or less = high
risk)
b. Warna : (tidak ada data)
c. Pitting Edem : +/- Grade : (tidak ada data)
d. Eksoriasis : Ya Tidak
e. Psoriasis : Ya Tidak Masalah Keperawatan :
f. Pruritus : Ya Tidak Tidak ada masalah
g. Urtikaria : Ya Tidak keperawatan
h. Lain-Lain : (tidak ada data)
Pengkajian psikososial
a. Persepsi pasien terhadap penyakitnya : Cobaan tuhan
b. Ekspresi pasien terhadap penyakitnya
Murung/Diam Gelisah Tegang Marah/Menangis
c. Reaksi saat interaksi : Kooperatif Tidak Kooperatif Curiga
d. Gangguan konsep diri : (tidak ada masalah)
e. Lain-lain : (tidak ada data)
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
keperawatan
34
Personal hygiene & kebiasaan
a. Kebersihan diri : Penapilan terlihat rapi ddan bersih
b. Kemampuan pasien dalam pemenuhan kebutuhan :
Mandi : di bantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Ganti pakaian: dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Kramas : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
sikat gigi : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Memotong kuku: dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Berhias : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Makan : dibantu seluruhnya dibantu sebagian mandiri
Pengkajian spiritual
a. Kebiasaan beribadah
Sebelum sakit: sering kadang-kadang tidak pernah
Selama sakit : sering kadang-kadang tidak pernah
b. Bantuan yang diperlukan pasien untuk memenuhi kebutuhan beribadah :
Pasien membutuhkan bantuan minimal dalam ibadah
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
keperawatan
TERAPI
OAD Glibenclamide
Insulin
Tabel Kindwall
35
3.2 Analisis Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : Pasien mengatakan DM Tipe 2 Ansietas
agak takut meskipun
sudah beberapa kali Hiperglikemi
terapi OHB
DO : Tertusuk benda tajam
1) Terapi OHB ke-11 (tusuk gigi)
2) Wajah terlihat
tegang Ulkus pada kaki kiri
3) Pasien sering
bertanya kapan Terapi OHB
terapi OHB akan
selesai Defisit pengetahuan tentang
terapi OHB
Ansietas
36
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang prosedur
perawatan terapi oksigen hiperbarik
2. Risiko cidera berhubungan dengan pasien transfer in/out dari ruang
(chamber), ledakan peralatan, kebakaran, dan/atau peralatan dukungan
medis
3. Risiko trauma : barotrauma ke telingga, sinus, gigi, dan paru-paru, atau
gas emboli serebral berhubungan dengan perubahan tekanan udara di
dalam ruang oksigen hiperbarik.
4. Risiko injuri: keracunan oksigen berhubungan dengan pemberian oksigen
100% selama tekanan atmosfir meningkat.
37
3. Risiko trauma: barotrauma ke Pre OHB
telinga, sinus, gigi, dan paru-paru, 1. Sebelum perawatan instruksikan
atau gas emboli serebral b.d. kurang pada pasien tentang teknik
pengetahuan tentang teknik valsava valsava dengan cara menelan,
dan perubahan tekanan udara mengunyah, menguap modifikasi
didalam ruangan oksigen hiperbarik manuver valsava
Post OHB
1. Dokumentasi respon pasien
terhadap terapi OHB
38
4. Risiko injuri: keracunan oksigen Pre OHB
b.d. pemberiann oksigen 100% 1. Catat hasil pengkajian pasien dari
selama tekanan atmosfir meningkat. dokter hiperbarik :
Tujuan dan Kriteria Hasil: Setelah a. Peningkatan suhu tubuh
dilakukan asuhan keperawatan b. Riwayat kejang oksigen
dengan terapi OHB selama 2 jam, c. Hasil tekanan darah
diharapkan tidak terjadi keracunan Intra OHB
oksigen dengan kriteria hasil: 1. Monitor kondisi pasien saat terapi
1. Pasien tidak mengeluh pusing berlangsung dan dokumentasikan
2. Tidak ditemukan tanda-tanda tanda dan gejala dari keracunan
keracunan oksigen berupa: oksigen pada sistem saraf pusat :
a. Mati rasa dan berkedut a. mati rasa dan berkedut
b. Vertigo b. Telinga berdenging atau
c. Penglihatan kabur halusinasi pendengaran l
d. Mual c. Vertigo
d. penglihatan kabur
e. gelisah dan mudah tersinggung
dan
f. mual
(Catatan: SSP toksisitas oksigen
pada akhirnya dapat
mengakibatkan kejang)
2. Laporkan operator untuk
mengubah sumber oksigen 100%
untuk pasien jika tanda-tanda dan
gejala muncul, dan beritahukan
kepada dokter hiperbarik.
3. Monitor pasien selama terapi
oksigen hiperbarik dan
dokumentasikan tanda dan gejala
keracunan oksigen paru,
termasuk:
a. Nyeri dan rasa terbakar di dada
b. sesak di dada
c. batuk kering (terhenti-henti)
d. kesulitan menghirup napas
penuh, dan
e. Dispneu saat bergerak
Post OHB
Beritahukan dokter hiperbarik jika
tanda-tanda dan gejala keracunan
oksigen paru muncul.
39
3.5 Implementasi Keperawatan
Hari/ No
Jam Tindakan Keperawatan
Tanggal Dx.
Senin, 1, 2, 3 06.50 Pre OHB
14/11/16 dan 4 1. Membina hubungan saling percaya dengan
pasien
2. Melakukan pengkajian dan anamnese pada
pasien tentang tujuan dilakukan terapi OHB
3. Melakukan observasi TTV, Tekanan Darah:
120/80 mmHg, Nadi: 80 kali/menit, Frekuensi
Napas: 20 kali/menit.
4. Mengajarkan teknik valsava dengan benar
5. Memberitahukan pada pasien tentang barang-
barang yang tidak boleh dibawa kedalam
chamber / barang-barang yang mudah terbakar
6. Membantu pasien masuk chamber dengan
tepat
40
Napas: 20 kali/menit.
2. Mengingatkan teknik valsava manuver yang
benar
3. Memberitahukan pada pasien tentang barang-
barang yang tidak boleh dibawa kedalam
chamber / barang yang mudah terbakar
4. Membantu pasien masuk chamber dengan
tepat
41
09.20 Intra OHB
1. Mengecek kembali barang-barang yang tidak
boleh dibawa masuk ke dalam chamber
2. Mengingatkan kembali untuk melaksanakan
valsava manuver ketika tekanan chamber
dinaikkan
3. Memonitor kondisi pasien saat terapi
berlangsung, cek adanya tanda-tanda
barotrauma
4. Mengingatkan pasien untuk bernapas dengan
normal selama perubahan tekanan
5. Mengingatkan pasien untuk tidak melakukan
aktivitas berlebih selama proses terapi di dalam
chamber berlangsung
Risiko cidera yang b/d S: Pasien mengungkapkan dirinya aman dan tidak
pasien transfer in/out dari terjadi cidera
ruang (chamber), ledakan O: Tidak tampak cidera fisik akibat terapi
peralatan, kebakaran, hiperbarik pada pasien, kebakaran atau ledakan
dan/atau peralatan tidak terjadi
dukungan medis A: Masalah cidera tidak terjadi
P: Terapi OHB dilanjutkan
42
serebral b.d. kurang Sesak, nyeri dada
pengetahuan tentang A: Masalah barotrauma tidak terjadi
teknik valsava dan P: Terapi OHB dilanjutkan
perubahan tekanan udara
didalam ruangan oksigen
hiperbarik
Risiko injuri: keracunan S: Pasien mengungkapkan tidak pusing, tidak
oksigen b.d. pemberiann mual
oksigen 100% selama O: Tidak ada tanda-tanda keracunan oksigen
tekanan atmosfir meliputi sesak (perubahan kecapatan dan
meningkat. kedalaman pernapasan), kejang, pusing, mual
A: Masalah keracunan gas tidak terjadi
P: Terapi OHB dilanjutkan
43
Rabu, 16 November 2016
Pukul 11.20 WIB
Diagnosa keperawatan Evaluasi Sumatif
Risiko cidera yang b/d S: Pasien mengungkapkan dirinya aman dan tidak
pasien transfer in/out dari terjadi cidera
ruang (chamber), ledakan O: Tidak tampak cidera fisik akibat terapi
peralatan, kebakaran, hiperbarik pada pasien, kebakaran atau ledakan
dan/atau peralatan tidak terjadi
dukungan medis A: Masalah cidera tidak terjadi
P: Terapi OHB dilanjutkan
44
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus (DM) atau kencing manis merupakan kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang akibat tubuh mengalami gangguan dalam mengontrol
kadar gula darah. Diabetes mellitus membuat kondisi pembuluh darah menjadi
buruk, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Pembuluh darah tidak
mendapat pasokan oksigen sehingga tidak berfungsi secara normal dalam
memperbaiki kerusakan sel.
Terapi oksigen hiperbarik (OHB) mampu memproduksi jaringan yang
hiperoksia dengan meningkatkan tekanan O2 pada jaringan iskesmik. Terapi OHB
juga bermanfaat dalam meningkatkan metabolisme aerob, sehingga menurunkan
kadar glukosa darah. Adapun cara OHB pada prinsipnya adalah diawali dengan
pemberian O2 100% pada tekanan 2-3 ATA.
Hal yang perlu dikaji dari pasien dengan DM pre terapi OHB adalah
identitas termasuk umur (DM: tipe I pada usia < 25 tahun, tipe II > 45 tahun),
keluhan umum biasanya luka pada kaki tidak kunjung sembuh, kaki terasa mati
rasa), perjalanan penyakit pasien sampai direkomendasikan terapi OHB (kapan
mulai DM, kapan muncul gangren, dan apa penyebabnya), riwayat penyakit yang
dikontraindikasikan dalam OHBT seperti pneumothorak yang belum tertangani,
keadaan umum (lemah / baik), TTV (bila sistol mencapai > 180 mmHg atau
diastol >100 mmHg maka pasien tidak diperbolehkan masuk chamber), ambang
demam (suhu tidak boleh melebihi 38o C), tanda-tanda flu (jika batuk, pilek, sakit
tenggorokan, mual, diare tidak diperbolehkan masuk chamber), status nutrisi
pasien DM yang menjalani pengobatan, kemampuan valsava maanuver.
Pengkajian intra terapi OHB berupa hal yang berisiko menimbulkan cidera, gejala
dan tanda barotrauma, tanda dan gejala keracunan oksigen, dan teknik valsava
manuver yang benar. Pengkajian post terapi OHB berupa kondisi luka gangren,
tanda dan gejala barotrauma ataupun keracunan oksigen.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien DM dengan terapi OHB
diantaranya ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang terapi
45
oksigen hiperbarik dan prosedur perawatan, risiko cidera yang berhubungan
dengan pasien transfer in/out dari ruang (chamber), ledakan peralatan, kebakaran,
dan/atau peralatan dukungan medis, risiko barotrauma ke telingga, sinus, gigi, dan
paru-paru, atau gas emboli serebral berhubungan dengan perubahan tekanan udara
di dalam ruang oksigen hiperbarik, risiko keracunan oksigen berhubungan dengan
pemberian oksigen 100% selama tekanan atmosfir meningkat.
Penatalaksanaan masalah keperawatan di atas yaitu dengan cara
mengajarkan teknik valsava dengan benar, memberitahukan pada pasien tentang
barang-barang yang tidak boleh dibawa kedalam chamber. Adapun saat di dalam
chamber, pasien perlu diingatkan kembali untuk melaksanakan valsava manuver
ketika tekanan chamber dinaikkan, mengecek kembali barang-barang yang tidak
boleh dibawa masuk ke dalam chamber, memonitor kondisi pasien saat terapi
berlangsung, mengecek adanya tanda-tanda barotrauma dan keracunan oksigen,
sedangkan hal yang perlu dilakukan setelah terapi OHB adalah mengevaluasi
keluhan pasien setelah melakukan terapi OHB.
Evaluasi perlu dilakukan saat pre, intra dan post terapi OHB diantaranya hal
yang berisiko menimbulkan cidera (ledakan peralatan dan kebakaran), gejala dan
tanda barotrauma (nyeri telinga sampai berdarah, nyeri dada, sesak napas), tanda
dan gejala keracunan oksigen (kejang, pusing, sesak, mual).
4.1 Saran
Perawat dalam membuat asuhan keperawatan sebaiknya benar-benar
memperhatikan setiap keluhan dari pasien sehingga komplikasi dapat dihindari
dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Selain itu, perawat juga harus
berkolaborasi dengan tim medis lain untuk memberi terapi pada pasien serta
keluarga sehingga penatalaksanaan terapi OHB dapat dilakukan secara maksimal,
baik secara mandiri dan berkolaborasi.
46
DAFTAR PUSTAKA
ADA 2009, Standar of Medical Care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes Care,
Vol. 33, Suplement 1, Januari 2010, 11-61 diperoleh dari
http://care.diabetesjournal.org/, diakses pada tanggal 22 November 2016
Bare BG & Smeltzer SC 2001, Buku Ajar Fisiologi Keperawatan Medikal Bedah,
EGC, Jakarta
Guyton & Hall 2002, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta
Subekti I 2006, Tetap Sehat dengan Diabetes Mellitus, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta
47