Anda di halaman 1dari 269

Daftar Isi

dr. Nova
Sepsis dan EDGT .................................................................................................................... 1

dr. Yuli
Cedera Kepala dan Tulang Belakang ...................................................................................... 11

dr. Syaiful Fatah


Bencana dan Transportasi Medis ............................................................................................ 34

dr. Sagiran
Clinical Anatomy of Trauma .................................................................................................. 46

dr. Agus Wid


Kegawatan Diabetes dan Adrenal ........................................................................................... 59

dr. BES
Kegawatdaruratan Anak .......................................................................................................... 76

dr. Alfaina
Kegawatdaruratan Obsgyn ....................................................................................................... 86

dr. Yosi
Konsep ICU dan Perawatan Intensif ........................................................................................ 113

dr. Titik
Difabel dan Handicap ............................................................................................................. 121

dr. Prahara Yuri


Kegawatdaruratan Urologi ...................................................................................................... 131

dr. Nicko
Trauma Thorax dan Vaskular .................................................................................................. 153

dr. Dirwan
Identifikasi Bencana Masal ..................................................................................................... 168

dr. Gagah
Cardiology Emergency ............................................................................................................ 193

dr. Rizka
ENT Emergencies ................................................................................................................... 210
dr. Yosi
Resusitasi Cairan ..................................................................................................................... 233

dr. Icha
Breaking Bad News ................................................................................................................ 246

dr. Nia
Toxicology and Acute Intoxication Therapy .......................................................................... 255
23:
SEPSIS dan EGDT
dr. Nova Maryani, Sp. An, MMR
Editor: Istrinya Harry Styles
Tujuan Instruksional Umum dan Khusus
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan tentang sepsis dan EGDT.
Mahasiswa mampu mengenali pasien kritis terutama pasien dengan sepsis.
Review Definition

A. Definisi Sepsis
Disfungsi organ yang mengancam nyawa yang disebabkan oleh respon host yang
tidak teratur terhadap infeksi. (Definisi Konsensus Internasional ke-3 untuk Sepsis dan
Syok Septik)

 Disfungsi Organ: ≥ 2 poin dalam skor SOFA (Sequential Organ Failure


Assessment).
 Infeksi: Invasi organisme dalam jaringan steril, patologi infeksius.
Sejarah
Terjadi revisi
tatalaksana dari
tahun 2004 selama 6-
24 jam sampai tahun
2016 revisi 6 jam,
hingga yang terakhir
tahun 2018/19 revis
satu jam.

1
23:
B. Surviving Sepsis Implementation Care Bundles
1. 6 Hour Sepsis Bundle
a. Ukur serum laktat, pertimbangkan kadar procalcitonin, hitung ulang bila laktat
>2mmol/lt
b. Kultur darah untuk menetukan antibiotic
c. Berikan antibiotic spektrum luas dalam 3 jam
d. Ketika terjadi hipotensi/level laktat>4
1) Bolus cairan, 30ml/kg kristaloid
2) Vasopresor agar MAP>= 65
Jika tetap <65 / laktat> 4
1) Achieve CVP >8
2) SVO2>65
2. 24 Hour Bundle
A. Steroid Ketika dibutuhkan
B. APC Ketika ada indikasi
C. Kontrol gula secara ketat
D. Pertahankan tekanan plateau <30
Berikut gambar guideline tatalaksana awal sepsis menurut tahunnya. Bisa kalian
bandingkan perbedaannya terutama antara tahun 2016 dengan 2018.

2
23:

3
23:

1. Mengukur Level Laktat


Untuk mengecek apakah ada hipoperfusi jaringan. Dilakukan pertamkali
kemudian diukur ulang dala 2-4 jam setelah pengukuran awal.
2. Kultur Darah
Dua set sampel (aerob dan anaerob) sebelum diberikan antibiotic atau
maksimal 45 menit setelah pemberian antibiotik. Dua sampel: 1. percutaneous
access, 2. inserted vascular access devices (>48 hours)

4
23:
3. Berikan Antibiotik Board Spectrum
Dimulai pada satu jam pertama setelah sepsis / sepstik stok. Reasses daily
untuk de-escalation. Biomarker procalcitonin sebagai penentu keberlangsungan terapi
antibiotic empiris yang diberikan pasien. Kombinasi empiric antibiotics  Multidrug-
resistant bacterial pathogens, neutrophenik. Kontrol Sumber
a. Temukan sumber infeksi secepat mungkin (<12 jam)
b.Drainase abses (perkutan >> bedah)
c. Hapus perangkat akses iv jika diduga sebagai sumber infeksi
Cakupan Antibiotik Spektrum Luas
a. Staph Aureus (dan MRSA)
1) Vankomisin adalah baris pertama
2) Daptomycin, Linezolid, Ceftaroline baris ke-2
b. Jika gambaran seperti Pseudomonas, tambahkan 1 di antara
1) Cephalosporin generasi ke-3 atau ke-4 (Cefepime)
2) Penghambat beta laktam / beta-laktamase (Pip-tazo)
3) Carbapenem (imipenem)
c. Jika Pseudomonas memungkinkan, tambahkan 2 dari sebelumnya
Bisa mencakup Ceftaz, Quinolone (Ciprofloxacin), Aminoglycoside (Gent),
atau Aztreonam

4. Pemberian cairan IV
Crystalloid (RL, NS) 30 ml/kg within 3 hours.
Albumin, jika septik syok refrakter dan jika vasopressor > 0.2 mcg/kg/m
required/ Dosisnya 100-200 of 20% Human Albumin dalam 30-60 menit

5
23:

5. Berikan Vasopressor
Untuk memberi perfusi yang adekuat, tanpa ditunda setelah resusitasi
cairan, jika MAP tidak ≥ 65 mmHg.
a. 1st Choice: Noradrenaline
b. Additional Agent:
1) Adrenaline
2) Vasopressin 0.03 units-0.04 units/min; added to NE
3) Dopamine (selected patients with low risk tachycardia or absolute relative
bradycardia)
- Fenilefrin
Tidak direkomendasikan kecuali: NE dengan aritmia berat, TD terus-
menerus rendah bahkan CO tinggi, kombinasi inotropik / vasopresor gagal.
- Dobutamine
Hingga 20 mcg / kg / menit jika:
o Disfungsi miokard (tekanan pengisian jantung ↑ dan CO rendah)

6
23:
o Terjadi hipoperfusi, meskipun volume IV adekuat dan MAP adekuat

Terapi Steroid:
-Tidak dianjurkan untuk syok septik jika cairan dan vasopresor sudah
mempertahankan MAP
-Jika tidak bisa dicapai: inj. Hidrokortison 200 mg / hari

6. Terapi Suportif Lainnya


a. Pencegahan Infeksi
b. Produk Darah
c. Berikan Trombosit bila diperlukan
d. Ventilasi Mekanis, (diinduksi ARDS)
e. Kontrol Glukosa
f. Berikan Bikarbonat
g. Profilaksis DVT
h. Profilaksis Ulkus Stres
i. Nutrisi

7
23:
C. Initial Resuscitation Goal
1. CVP 8-12 mmHg
2. MAP > 65 mmHg
3. Output Urine � ≥ 0,5 ml / kg / jam
4. Saturasi oksigen vena sentral atau campuran 70% atau 65%
5. Penurunan kadar laktat
D. SOFA/Sepsis Related Organ Faiure Assesment SCORE
Perubahan total skor SOFA dua atau lebih poin dari skor awal menunjukkan
disfungsi organ. Mortalitas berbanding lurus dengan peningkatan skor SOFA.
Kriteria klinis sepsis
Infeksi + perubahan SOFA skor>= 2
1. Peurunan Pa02/Fi02
2. Penurunan GCS
3. Hipotensi
4. Penurunan trombosit
5. Peningkatan bilirubin
6. Peningkatan kreatinin/oliguria

8
23:

E. QSOFA
1. RR>= 22X/M
2. Perubahan status mental
3. TD Sistolik <= 100 mmHg
F. Early Goal Directed Therapy
EGDT adalah protokol resusitasi 6 jam untuk pemberian cairan intravena,
vasopresor, inotropik, dan transfusi sel darah merah untuk mencapai target yang
ditentukan sebelumnya untuk tekanan vena sentral, tekanan darah arteri, keluaran
urin, dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2)
IVF diberikan dalam 6 jam pertama (Berhenti atau dikurangi saat perfusi
pulih) berdasar target fisiologis untuk memandu manajemen
1. Penerimaan tersebar luas tetapi target terbaik tidak diketahui (bukti yang
bertentangan)
2. MAP> 65 (dan mungkin> 80)
3. Output urin> 0,5 ml / kg / jam
4. Denyut radial menunjukkan variasi pernapasan
5. CVP 8-12 (Pada central line)
6. ScvO2> 70 (Pada central line)
7. Ikuti level laktat q6 jam sampai turun (mungkin sebagus ScvO2)
Setelah perfusi pulih, tidak membantu kecuali jika perfusi mulai meningkat
kembali
Protocol Directed Therapy (EGDT)
1. ScvO2, CVP, MAP, keluaran urin, dan laktat
2. Pandu resusitasi cairan
3. Pemberian antibiotik dini
4. Pandu 6 jam pertama presentasi
5. Bukti Yang masih bertentangan, apakah central line diperlukan, karena
studi yang menyatakan diperlukannya central line dilakukan oleh
perusahaan pembuat central line, sedangkan studi lain menyatakan tidak
ada perbedaan berarti tanpa akses central line.
Note

9
23:
Menentukan nilai target dalam 1 jam (bukan 6 jam) mungkin
memerlukan pengembangan versi baru EGDT (EGDT yang dimodifikasi) yang
tidak hanya memilih indeks dinamis daripada CVP untuk memprediksi respons
cairan tetapi juga menghindari kelebihan cairan setelah resusitasi awal.

G. Indeks Dinamis - Eksperimental


Target potensial baru untuk memandu manajemen cairan
1. Perubahan pernapasan pada diameter vena cava
2. Tekanan nadi arteri radial
3. Kecepatan puncak aliran darah aorta
4. Kecepatan aliran darah arteri brakialis
5. Harus dalam irama sinus dan berventilasi mekanis
6. Jika aktif bernapas, dapat mengukur perubahan curah jantung melalui
echo dengan pengangkatan kaki pasif

Alhamdulillah selesai! Apabila sebagai istri Harry Styles selama ini banyak salah kata editor mohon
maaf ya manteman.

KLARIFIKASI
MASALAH KENAPA
SAMPE UDAH BLOK GA PERNAH
TERLAKSANA
23
10
23:
Cedera Kepala dan Tulang Belakang

Editor : πr
Layouter :

Assalamualaikum teman-teman, jangan lupa doa dulu ya sebelum mulai baca 

I. CEDERA KEPALA
Sebelumnya, kalau temen-temen mau coba belajar mandiri dan cari tahu mengenai
cedera kepala/head injury ini, temen-temen cari dengan kata kunci brain injury,
karena kalau cari dengan kata kunci head injury, akan jarang sekali ditemukan.
A. Definisi
Setiap perubahan fungsi mental dan fisik akibat benturan kepala disebut sebagai
cedera kepala. Namun dalam kejiwaan/psikiatri, perubahan mental akibat benturan
kepala disebut gangguan mental organik (GMO). Sehingga apabila pada seseorang
mengalami depresi, psikosis, anxiety, bipolar, yang didahului dengan cedera kepala
diagnosisnya bukan cedera kepala melainkan gangguan mental organik (GMO).

B. Klasifikasi

11
23:
Cedera kepala sendiri memiliki banyak klasifikasi, akan tetapi, di Indonesia, paling
banyak digunakan yaitu yang berada di tengah, disebut severitas. Severitas ini dibagi
menjadi tiga yaitu cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang (CKS), dan
cedera kepala berat (CKB).

Kenapa lebih sering severitas? Karena selain severitas memiliki pola singkatan yang
sama. Misalnya nih, seperti konkusi ringan dan konkusi klasik, keduanya sama-sama
disingkat ‘CC’. Hal ini pada akhirnya bisa jadi membuat bingung ketika membaca
diagnosis karena dokter biasanya menuliskan singkatannya. Karena itu, di Indonesia
lebih sering menggunakan severitas.

Klasifikasi Lainnya:
1. Tanpa Defisit neurologis
Comotio Cerebri: pingsan sejenak, dengan atau tanpa amnesia retrograd, tanpa
kelainan neurologis
2. Dengan Kelainan Neurologis
Menurut Marjono tahun 2000:
a. Contusio Cerebri: Perdarahan permukaan otak, berupa bintik perdarahan
besar atau kecil, tanpa kerusakan duramater, dengan defisit neurologis yang
reversibel
b. Laseratio Cerebri:terputusnya/diskontinuitas jaringan otak, defisit neurologis
berat, sembuh dg gejala sisa.
c. EDH, SDH, ICH

3. Tanpa memperdulikan nilai GCS, digolongkan sebagai penderita cedera kepala


berat bila :
a. Pupil tak ekual  menunjukkan adanya suatu massa (kemungkinan terjadi
perdarahan)
b. Pemeriksaan motor tak ekual  terjadi hemepareses
c. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka keluar baik dari hidung atau telinga
d. Perburukan neurologik/deteorisasi  terjadi penurunan
e. Fraktura tengkorak depressed  terlihat adanya cekungan
Cedera ini segera digolongkan sebagai cedera kepala berat meski GCS masih
bagus karena apabila tengkoraknya terbuka, maka risiko terjadinya infeksi
akan sangat mudah.

12
23:

Dalam neurologi GCS tidak boleh dijumlahkan, harus dituliskan masing-masing


misal: E4V5M6. Mengapa? Karena bisa jadi pasien tersebut memiliki kelainan
sejak lahir seperti bisu atau buta yang apabila GCS dijumlahkan secara
keseluruhan, nilainya akan rendah dan dikira penurunan kesadaran, padahal
pasien sebenarnya sadar sepenuhnya.

C. Aspek Biokimiawi

13
23:

Trauma kepala apabila terjadi perdarahan  hemoglobin akan lepas  Heme dan
globin.
Heme  zat besi
Globin  protein

Heme saat bergabung akan menjadi fero. Namun apabila pembuluh darah
pecah dan darah lepas, maka akan teroksigen menjadi feri. Feri ini merupakan radikal
bebas, dia akan mudah mendestruksi sel-sel otak.

Meski tidak perdarahan, tapi bisa jadi terjadi iskemi. Apabila terjdai iskemi
maka bisa terjadi gangguan membran, polarisasi-depolarisasi membran sel (edema),
energi turun, yang kemudian terjdai destruksi sel. Apabila terjadi destruksi sel tentu
akan merugikan bagi kelangsungan hidup pasien.

14
23:

(skema terjadinya hipoksia/iskemia/trauma)

1. Mekanisme Cytotoxic edema pada cedera kepala

15
23:
Emia  di dalam darah
Hipo  turun
Oksemia  oksigen

Hipoksemia adalah oksigen yang turun dalam darah. Karena cerebral


perfusi yang berkurang (misal terjadi bengkak), sehingga perfusi darah ke otak
berkurang, mengakibatkan oksigen yang mengalir ke otak berkurang. Jika tidak
terjadi edema/perdarahan otomatis suplai oksigen juga berkurang. Nah kalo
oksigen berkurang maka energi akan terjadi penururnan/ kegagalan pompa energi
yang menyebabkan membran juga ikut terganggu.

Pompa natrium, klorida, dan kalsium dari elektrolit intrasel akan terjadi
ketidakseimbangan karena membran sel gagal memompa keluar, sehingga
natrium yang seharusnya keluar justru berada di dalam, begitu juga dengan yang
lainnya, klorida, kalsium, dan air yang harusnya keluar justru berada di dalam.
Nah karena ini, sel akhirnya menjadi bengkak

2. Jenis kerusakan pada cedera otak

Primary damage  dampak langsung akibat kerusakan dari sel. Misal terjadi
laserasi otak, pembengkakan, perdarahan, kerusakan dari sel akson/ benang saraf

Secondary damage  dampak tidak langsung akibat kerusakan dari sel. Misalnya
terjadi aspek biokimiawi yang seperti sebelumnya udah diulas yaitu terjadi
penurunan oksigen, pembengkakan, peningkatan tekanan intrakranial,
metabolisme dalam otak akan terganggu, juga mudah terjadi infeksi

16
23:
D. Aspek Mekanik
AKSELERASI-DESELERASI
Trauma kepala merupakan kejadian yang komplek karena di sana akan terjadi
proses akselerasi dan deselerasi. Kepala yang sedang bergerak tiba - tiba berhenti,
tetapi otak tetap bergerak karena inersia sehingga otak dapat cedera oleh
permukaan dalam dari kranium

1. Biomekanik Cedera Kepala Traumatis

Mengapa bisa terjadi? Karena proses akselerasi-deselerasi. Seperti yang


sudah dijelaskan sebelumnya, ketika kepala mendapat pukulan atau terjadinya
benturan, otak di dalam kepala akan tetap bergerak meski kepala sudah berhenti.
Otak bisa jadi membentur ke depan, ke samping, atau ke belakang.

Bayangkan saja seperti suatu bola yang berada dalam ruangan. Apabila
terjadi guncangan, maka bola di dalamnya dapat membentur ke setiap sudut
ruangan. Dan ketika ruangan tersebut berhenti bergoyang, belum tentu bola juga
akan segera berhenti.

17
23:

Open Head
Injuries

Closed Head Injuries

Dalam tengkorak memiliki massa yaitu otot. Apabila bagian dahi terbentur
(coup), akan terajadi kejadian komplek (akselerasi-deselerasi) yaitu massa dalam
tengkorak bukan ikut terbentur ke depan melainkan terbentur ke belekang
(countercop). Hal inilah kenapa apabila terjadi benturan di depan bisa terjadi
perdarahan di belakang.

Nah untuk cedera kepala terbuka (open head injuries) wajib dimauskkan
ke dalam cedera kepala berat (CKB) tanpa melihat GCSnya. Sementara untuk
cedera kepala tertutup (closed head injuries), baru harus dinilai berdasar GCS
atau CT-Scan.

2. Jenis kerusakan pada cedera tertutup


Tipe-tipe cedera kepala tertutup ada lima, yaitu :

18
23:
E. Diagnosis – Cedera Kepala
1. Anamnesis riwayat
a. Autoanamnesis
b. Aloanamnenis
2. Status premorbid
a. Dulu ada gangguan mental/sakit jiwa
b. Ada penyakit sebelumnya  bisu, tuli, dsb
3. Pemeriksaan fisik
4. Penggunaan prosedur diagnostik

F. Pemeriksan penunjang
1. Foto kepala  bisa melihat tulang tengkorak lebih baik (biasanya 3 posisi)
2. Head CT scan
3. MRI  hampir sama dengan CT-Scan, namun MRI lebih sensitif
4. Angiografi  lebih khusus, karena tidak melihat otak secara keseluruhan, tapi
melihat pada pembuluh-pembuluh darahnya.

(linear fracture/stelat)

Pada linear fracture, apabila dilihat dengan CT-Scan, fracture tidak terlalu
kelihatan. Disarankan dengan pemeriksaan rontgen polos kepala. CT-Scan lebih
baik digunakan ketika akan melihat apakah adanya massa di kepala atau
terjadinya pendarahan kepala.

19
23:

*Apabila terjadi perdarahan < 30 cc dikelola secara konservtif (tidak perlu


dibuka).

20
23:
G. Terapi
1. CK tertutup
a. CKR:
- Risiko rendah bila NK, nausea, dizzness ringan-sedang  perlu observasi
minimal, beri obat ringan untuk meredakan mualnya, atau pusingnya.
- risiko sedang bila NK berat, nausea dan vomiting yg persisten, seizure,
otorhoe, rhinorhoe, perubahan status mental  diobservasi min 8 jam
b. CKS dan CKB
- Stabilkan dulu kardiopulmoner  untuk mencegah hipotensi/hipoksia
- Pertimbangan pembedahan apabila ada:
o Hematoma extra aksial, pergeseran midlineshift > 5 mm Hematoma intra
aksial volume > 30 cc
o Fraktur tengkorak terbuka Fraktur depressed > 1cm
c. Farmakoterapi CK
- Prinsip : cegah defisit neurologi menetap akibat iskemik dan cegah TIK
meninggi
- Obat : neuroprotektif / serebroprotektif / ensefalotropik / neurotropik otak
- Fungsi
o Aktivasi metab seluler otak ok cedera iskemik
o Pemacu metab yg mampu melindungi otak dari perub fungsi yg
dipengaruhi trauma spt : iskemik, anoksia, defisiensi nutrisi.

1) CDP-cholin, Pirasetam, Nimodipin, Piritinol


- CDP-cholin : meningkatkan neurotransmiter dopaminergik, mengurangi
asam radikal bebas, memperbaiki kerusakan metab lipid mitokondria di
serebral akibat hipoksia
- Pirasetam : meningkatkan cholinergik dan neurotransmiter eksitatori
amin (glutamat dan aspartat) dlm jumlah dan fungsi, mengurangi radikal
bebas, memproteksi metab neuron
2) Piritinol
- Aktifasi metab neuron dan uptake glukosa serebral dan metab protein
- Memacu pengeluaran asetilkolinkortikal dan transmisi kolinergik,
meningkatkan fungsi dan struktur membran trtm dlm kead bahaya spt
defisiensi glukosa, hipoksia, iskemik, protein dan gangguan sintesis
protein
- Mengikat radikal bebas

21
23:
3) Nimodipin
- Vasoaktif yg bekerja pd otot polos vaskuler
- Efek proteksi pd neuron & sel glia dg blokade (L-type voltage dependent
calcium channels)
- Menghambat influks kalsium yg berlebihan yg akan mengurangi beratnya
iskemik
4) Manfaat Metilprednisolon:
- Antioksidan
- Mengurangi kerusakan akibat radikal bebas
- Mengurangi udema traumatik
- Mengurangi kemungkinan vasospasm
5) Manfaat Surgiccal decompresion:
- Mengurangi kompresi akibat udem pada N II,
- Memperbaiki supply darah dlm kanalis optikus

Beberapa guidline indikasi kapan harus masuk ke rumah sakit :

22
23:
Nah perlu diperhatikan untuk yang paling bawah sendiri, mengenai adverse social
factors. Apabila tidak didapati gangguan-gangguan yang di atasnya, namun ada faktor
merugikan sosial (seperti contoh: tidak ada seseorang yang mengawasi si pasien di
rumah itu), maka pasien ini termasuk ke dalam idnikasi untuk dirawat di rumah sakit.
Kenapa???
Misal nih, kayak yang udah disebutin tadi, si pasien tinggal di kos atau sendirian atau
tinggal bersama dengan anak kecil, tentunya tidak ada yang bisa mengawasi jika si
pasien kemungkinan terjadi penurunan kesadaran secara tiba-tiba. Karena itu, faktor
ini termasuk dalam indikasi tersebut.

23
23:

24
23:
H. Prognosis
1. Barthel Index
2. Glasgow Outcome Scale (GCS)

3. Short Orientation Memory Concentration Test

25
23:
4. Disability Rating Scale
a. Membuka mata
b. Kemampuan komunikasi
c. Respon motorik
d. Makanan
e. Toileting
f. Dandan
g. Tingkat fungsi
h. Dapat dipekerjakan

5. Neurobehavioral Functioning Inventory


a. Kesulitan Somatik,
b. Kesulitan Memori / Perhatian,
c. Defisit Komunikasi,
d. Perilaku Agresif,
e. Gangguan Motorik,
f. Depresi.
Responden diminta untuk menilai item sebagai yang muncul "tidak pernah",
"jarang", "kadang", "sering", atau "selalu".

6. Short Form - 36

26
23:
II. CEDERA TULANG BELAKANG
A. Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui, susunan saraf pusat terdiri dari otak turun ke abwah
melewati medula oblongata kemudian medula spinalis.
Cedera tulang belakang/ cedera medula spinalis ini termasuk ke dalam darurat
neurologi, sehingga perlu ditangani dengan cepat, tepat, dan cermat sehingga dapat
menghasilkan kesembuhan, meski beberapa menjadi cacat dan perlu direhabilitasi.

B. Klasifikasi

27
23:
C. Gambaran Klinik

D. Breathing

Perlu hati-hati untuk napas, apabila terjadi cedera medula spinalis di tempat yang
tinggi (di thoracal-cervical di atas T12) karena dapat terjadi gangguan pernapasan.
Gangguan paralisis diafragma terutama di C3 dan C5.

28
23:
E. Cedera Medula Spinalis tipe Inkomplit (Spinal Cord Injury)

1. Central Cord Syndrome


Cedera berada di tengah-tengah sehingga gejala yang muncul yaitu derajat
kekuatan otot di bawah level yang terkena akan mendapat dampak
2. Brown-Sequard Syndrome
Merupakan trauma medula spinalis yang bersifat separuh penuh (separuh
kanan atau separuh kiri) sehingga sesuai dengan letak lesinya. Motorik dan
sensorik akan terkena semua. Karena antara separauh kanan atau separuh kiri
terdapat kornu anterior (saraf motorik) dan kornu posterior (saraf sensorik).

Tapi perlu diingat, cedera pada medula spinalis ini memiliki kelainan ipsilateral.
Sehingga sifatnya kontra lateral.

3. Anterior Cord Syndrome


Hanya mengenai bagian anterior saja. sehingga otomatis yang terkena adalah
motoriknya (motoric paralysis), meskipun bisa dimungkinkan terjadi lesi pada
sensoriknya, namun lesi sensorik tidak sebesar lesi motoriknya

4. Posterior Cord Syndrome


Di posterior ini terdapat saraf sensorik, jadi kemungkinan pasien masih bisa
bergerak namun sensibilitasnya terganggu.

29
23:
5. Mixed Syndrome
Campuran, bisa karena pembengkakan atau perdarahan yang melebar sehingga
tidak bisa diklasifikasikan salah satu dari di atas karena campuran.

F. Penatalaksanaan

PENATALAKSANAAN
1. 10-25% defisit neurologis tindakan prehospital tdk adekuat
2. Curiga CMS jika ada cedera pada :
a. kepala, wajah, leher, bahu /pantat
b. nyeri atau spasme leher, ggn sensibilitas / motorik
c. ggn kesadaran dan disfungsi miksi/defekasi
d. trauma dgn gejala penyerta spinal shock; hipotensi, bradikardi dan reflek-
reflek (-)
3. Fiksasi  hati-hati, karena medula spinalis panjang.
4. Intubasi nasogastrik atau tracheostomi
5. Awasi hipotensi akibat :
a. hipovolemi tx NaCl 0,9%
b. Efek simpatetik tx supresor phenylephrine 10% per 500ml atau dopamine
400mg/250ml, utk jaga MAP>70, hipotensi sering disertai bradikardia,
hindari phenylephrine.
6. Bila Dx tegak dalam 3 jam pasca trauma
Tx  metilprednisolon 30mg/kgBB, iv bolus dilanjutkan dengan infus 5.4mg/kgBB
selama 23 jam

30
23:
7. Lakukan RJP (bila perlu)
8. Bila Dx tegak antara 3-8 jam infus diteruskan sampai 48 jam
9. Cegah decubitus kasur khusus/mobile bed
10. Cegah DVT
11. Pasang NGTdekompresi lambung (hati-hati pd cedera leher)
12. Pasang foley kateter.

G. Airway Management
Konsentrasi O2 yang tinggi akan mencegah bradikardia atau asistol pada pasien yang
menunjukkan tanda syok neurogenik

H. Fiksasi medula spinalis

31
23:

I. Perawatan Bedah
1. Kontroversial
2. dekompresi, melindungi struktur saraf yang mendasari, memulihkan stabilitas
dan keselarasan tulang belakang, memfasilitasi mobilisasi dan rehabilitasi dini,
memaksimalkan pemulihan neurologis

32
23:
A. rehabilitasi
Tujuan :
1. Penerangan & pendidikan kepada pts dan keluarga
2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi & “self-care” dan /
atau latih langsung jika diperlukan.
3. Latih miksi defekasi rutine.
4. Cegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dll)
5. Nilai psikologis semangat hidup & hubungan komunitas.
6. Tentukan tujuan jangka panjang berdasarkan beratnya cedera dan sumber
keluarga/komunitas.
7. Mendorong untuk semaksimal mungkin mandiri.
8. Waspada : atelektase paru atau pneumonia
9. Cegah DVT
10. Cegah dekubitus

B. Prognosis
Prognosis penyembuhan tergantung 2 faktor :
1. Beratnya defisit neurologis yg timbul
2. Lamanya defisit neurologis sebelum dilakukan dekompresi

III. DAFTAR PUSTAKA


Appleton R.E, Demellweek C - POST TRAUMATIC EPILEPSY IN CHILDREN
REQUIRING INPATIENT REHABILITATION FOLLOWING HEAD INJURY - J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2002;72:669-672
J R de Kruijk, P Leffers, S Meerhoff, J Rutten and A Twijnstra - Effectiveness of bed
rest after mild traumatic brain injury: a randomised trial of no versus six days
of bed rest . Journal of Neurology Neurosurgery and Psychiatry 2002 73:167-172
Lynne P. Taylor, Sandi E. Lemming - NECK AND BACK PAIN. Memorial Family
Practice Residency Program Houston, T Virginia Mason Clinic
Richard Greenwood - HEAD INJURY FOR NEUROLOGISTS. Journal of Neurology
Neurosurgery and Psychiatry 2002;73:i8-i16
© 2002 Journal of Neurology Neurosurgery and Psychiatry
Anonim - Early Management of Patients with a Head Injury SIGN Publication No.
46ISBN 1899893 27 X. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Last modified
8/1/01 © SIGN 2001

ALHAMDULILLAH 

33
23:
BENCANA DAN TRANSPORTASI MEDIS
Dosen : dr. Syaiful Fatah, Sp.An
Editor: HN

I. BENCANA
A. DEFINISI
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
• Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
• Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Yang bisa
dilakukan adalah mitigasi bencana.
• Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
• Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

B. KEJADIAN BENCANA
• Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat
berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun
kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari
satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.
• Kejadian bencana di Indonesia :
- Gempa Bumi (jogja 2006)
- Letusan Gunung Api (merapi 2010, sinabung)
- Tsunami (aceh 2004)
- Banjir / Banjir bandang
- Kekeringan, Kebakaran
- Abrasi
- Angin puting beliung

34
23:
- Kecelakaan industri dan transportasi (kereta, pesawat, pabrik petasan di
pasuruan)
- KLB, teror
- Kekeringan, Kebakaran
- Abrasi
- Teror dan sabotase
- Huru-hara masal

C. PENANGGULANGAN BENCANA
• Penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau
kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana
yang dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.
• Tahapan
1. Tahap pra-bencana (dilaksanakan ketika tidak terjadi bencana dan terdapat
potensi bencana)
2. Tahap tanggap darurat (diterapkan dan dilaksanakan pada saat sedang
terjadi bencana)
3. Tahap pasca bencana (diterapkan setelah terjadi bencana)

D. PRINSIP MANAJEMEN BENCANA


• Manajemen risiko bencana : pengaturan/manejemen bencana dengan
penekanan pada faktor-faktor yang bertujuan mengurangi risiko saat sebelum
terjadinya bencana :
- Pencegahan
- Mitigasi
- Kesiapsiagaan
• Manajemen : pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan
pada faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan
pengungsi saat terjadinya bencana.
- Tanggap darurat : serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk (penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana).
• Manajemen Pemulihan adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana
dengan penekanan pada faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi
masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan

35
23:
kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi,
terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana
- Rehabilitasi
- Rekonstruksi

E. LEGISLASI
a. Nasional : mulai UU No. 24 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah ada 3 :
1. PP 21/2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana,
2. PP 22/2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana,

36
23:
3. PP 23/2008 tentang peran serta lembaga internasional dan lembaga asing
non pemerintah dalam penanggulangan bencana
b. Daerah : perda, pergub, perbup, perwali, qanun biasanya mengatur mengenai
penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, pembentukan BPBD

F. KELEMBAGAAN
Kelembagaan penanggulangan bencana dapat dibagi 2 : formal dan non formal
1. Formal :
- di pusat ada BNPB,
- di provinsi ada BPBD provinsi dan
- di kab/kota ada BPBD kab/kota.
2. Nonformal : contohnya muhammadiyah (MDMC), NU (LPB), CSR perusahaan

G. PERENCANAAN
Perencanaan yang berlaku untuk semua jenis bencana, yaitu rencana
penanggulangan bencana, yang kemudian didiskripsikan menjadi rencana aksi.
a. Mitigasi :
- Pra bencana tanpa potensi bencana  Proses – proses pemetaan pra
bencana
- Satu jenis bencana  fokus pada satu bencana
- upaya mitigasi (struktural dan non struktural)  structural contohnya
berdasarkan kebijakan yang diatur oleh pemerintah
- Siapa melakukan apa  ex: Dinas Kesehatan melakukan sreening sampai
kolekting data kemudian dianalisis kemudian menjadi 1 kebijakan, Dinas
Pekerjaan Umum melakukan perbaikan jalan untuk mencapai tempat
bencana, dll
- Bagaimana budgetnya  misalnya dari Dinas Pendapatan Daerah
b. Kontijensi : pra bencana dengan potensi bencana, satu jenis bencana, gunakan
skenario kejadian yang paling mungkin, siapa melakukan apa, budget, dokumen
komitmen antar stakeholder
c. Operasi :
- Saat bencana, melaksanakan rencana kontijensi
- Ketika terjadi bencana planning tadi dilaksanakan baik secara garis
koordinatif maupun eksekutif.
d. Pemulihan : pasca bencana, dasar wilayah terdampak, apa saja yang dipulihkan,
siapa melakukan apa, dan bagaimana budgetnya.

37
23:
II. TRANSPORTASI
A. PENDAHULUAN
 Pasien kritis membutuhkan tempat yang ideal untuk perawatan.
 30 % Rumah Sakit di Indonesia tidak tersedia fasilitas perawatan kritis yang
memadai.
 Di Inggris, transfer pasien primer (dari tempat kejadian perkara ke rumah sakit),
biasanya dilakukan oleh paramedis terlatih dengan menggunakan ambulans
konvensional, biasanya didukung oleh tim medis yang dipanggil dari rumah sakit
lokal atau praktek umum.
 Stabilisasi di tempat kejadian kemudian ditransfer ke fasilitas kesehatan yang
memadai.

B. INDIKASI
1. Indikasi transfer primer  transfer dari TKP ke RS
a. Life safing lanjutan
b. Stabilisasi dan prosedur operasi darurat
2. Indikasi transfer sekunder tersebut meliputi :
a. Penanganan spesialistik tidak terdapat di rumah sakit asal
b. Topangan yang berkelanjutan tidak tersedia di rumah sakit asal
c. Pemeriksaan spesialistik tidak tersedia di rumah sakit asal
d. Kurangnya tempat perawatan intensif di rumah sakit asal
e. Repatriasi (mengembalikan ke asal kewarganegaraannya)

C. KONTRAINDIKASI
Kontra indikasi transportasi pasien kritis bila terdapat :
1. Potensi kerugian lebih besar dibanding keuntungannya
2. Pasien yang dalam keadaan tidak stabil
pasien stabil adalah pasien yang sudah tersupport oleh obat – obatan atau
manajemen jalan nafas yang baik, atau sudah diiuntubasi, dipasang alat – alat,
obat2an emergensi, stabil vital sign tertentu.
3. Pasien berpotensi menjadi tidak stabil
4. Penolakan pasien/keluarga

D. RESIKO
Resiko-resiko yang berkaitan dengan transportasi pasien kritis dapat dibagi
menjadi:
1. Yang berkaitan dengan fisiologi pasien
a. Sistem jalan nafas dan respirasi

38
23:
b. Sistem kardiovaskular
c. Sistem neurologi

2. Yang berkaitan dengan peralatan


a. Sistem monitor
b. Sistem ventilator & jalan nafas
c. Sistem infus
• Transportasi pada pasien kritis dapat mempengaruhi beragam sistem organ,
mungkin berkaitan dengan peralatan, misalnya pemutusan hubungan peralatan, infus
dll yang disebabkan karena pergerakan pasien, atau disebabkan oleh malfungsi
peralatan, maupun perburukan fisiologis yang berkaitan dengan penyakit kritis (misal
: tersumbatnya pipa endotrakeal, atau habisnya suplai oksigen)
• Awalnya, pada tahun 1970an, ditemukan 84% pasien dengan penyakit jantung,
mengalami aritmia pada saat ditransport, di mana 44 % di antaranya memerlukan
terapi emergensi. Hipotensi dan aritmia berpotensi besar untuk terjadi pada pasien-
pasien dengan ventilasi mekanik, hal tersebut berkaitan erat dengan periode
hipoventilasi atau hiperventilasi dengan perubahan pC02 sampai 27 mmHg (normal
35-45 mmHg).
• Insel et al juga menunjukkan adanya angka kejadian perubahan hemodinamik yang
jauh lebih tinggi yang memerlukan intervensi medis pada transportasi intra rumah
sakit yang meliputi pemindahan dari kamar operasi ke ICU dibandingkan dengan
pasien yang ditransport dari ICU ke ruang tindakan diagnostik.

E. JENIS – JENIS TRANSPORTASI


1. Transportasi Primer
a. Sebagian besar prinsip - prinsip penatalaksanaan trauma yang diajarkan di
kursus Primary Trauma Care (PTC), dapat diaplikasikan di situasi pra rumah
sakit
b. Pokok perawatan yang sederhana, yang merupakan pelayanan dasar dan
tersedia di pusat pelayanan kesehatan dasar, dapat dijabarkan sebagai
berikut:
• Berikan oksigen, lebih disukai melalui sungkup muka dan aliran oksigen
yang tinggi.
• Pertahankan volume darah; lakukan tekanan pada sumber perdarahan
dan lakukan resusitasi cairan secara berhati-hati.
• Pembidaian dan pembalutan; pergerakan yang tidak perlu dari pasien
dengan trauma dapat memicu perdarahan. Pembidaian dasar fraktur

39
23:
dapat membantu menghasilkan analgesia yang baik dan dapat
membantu mempertahankan volume darah.
• Analgetik; Hal ini manusiawi dan sebaiknya diberikan sesuai kebutuhan.
Morfin merupakan analgetik yang cukup murah dan efektif
• Transportasi yang segera, pasien mutlak untuk segera dirawat di rumah
sakit dan mendapatkan tingkat pelayanan yang lebih baik daripada yang
dapat diberikan di tempat kejadian.
2. Transportasi Sekunder
• Proses pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain,
biasanya untuk mendapatkan tingkat pelayanan medis yang lebih tinggi,
yang tidak tersedia di tempat asal  Interhospital
• Kendaraan yang digunakan dapat berupa ambulans darat maupun udara.
Tim transport khusus yaitu sekelompok tenaga medis yang telah
mendapatkan pelatihan tingkat tinggi yang konsisten dan pengalaman di
dalam transportasi pasien-pasien kritis, dibandingkan dengan tim yang
dibentuk tanpa persiapan.
3. Transportasi antar fasilitas di rumah sakit
• Proses transportasi pasien di dalam suatu rumah sakit dengan tujuan
untuk melakukan prosedur diagnosis atau terapis atau pemindahan ke
suatu unit khusus.
• Secara lebih khusus, yang dimaksud dalam literatur ini meliputi
pemindahan pasien - pasien kritis dari area pelayanan intensif di suatu
rumah sakit (meliputi ICU, IGD, Karnar Operasi dan Karnar Pemulihan)
menuju ke area yang tidak mermungkinkan untuk melakukan pelayanan
seperti area pelayanan intensif (rnisalnya bagian radiologi).

F. PEMILIHAN JENIS TRANSPORTASI


• Jenis alat transportasi dapat meliputi kendaraan darat, laut, maupun udara.
• Pemilihan jenis alat transportasi sendiri harus memperhatikan beberapa hal,
yaitu:
- Sifat dan perjalanan penyakitnya
- Seberapa cepat transfer perlu dilakukan
- Ketersediaan alat transportasi
- Waktu yang tersedia untuk melakukan mobilisasi
- Faktor-faktor geografis
- Kondisi lalu lintas dan cuaca
- Biaya

40
23:
1. Transportasi Darat
• Alat transportasi darat memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
- biaya operasional yang murah
- waktu untuk mobilisasi yang cepat
- kurang dipengaruhi oleh cuaca yang buruk
- kurangnya potensi gangguan fisiologis pasien
- kemudahan dalam melakukan pemantauan.
- tenaga medis yang bertugas juga lebih terbiasa dengan lingkungan
transportasi darat.
• Transportasi darat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ambulans
untuk "Basic Life Support" I BLS dan "Advanced Life Support" I ALS

AMBULAN BLS AMBULAN ALS


Staf Dua orang "Emergency Medical Paramedis, perawat, dokter dengan
Technicians" tingkat kemahiran yang tinggi

Kemampuan Pertolongan dasar pertama, Pemantauan kardiak,


pemantauan tanda-tanda vital, penatalaksanaan jalan nafas tingkat
penatalaksanaan dan intervensi lanjut, dan dapat memberikan obat-
jalan nafas dasar, "Automatic obatan dan cairan intravena untuk
External Defibrillation" (AED), melakukan resusitasi dan stabilisasi
pemeliharaan infus cairan pasien trauma dan non trauma
intravena, pemberian oksigen
tanpa pemantauan kardiak

2. Transportasi Udara
• Transportasi udara sebaiknya dipertimbangkan untuk perjalanan yang
jauh, pada keadaan di mana akses jalan darat sulit ditempuh, atau ketika
alasan kecepatan dipertimbangkan.
• Kecepatan transportasi udara yang sangat baik harus meliputi analisa
hambatan - hambatan organisasional seperti komunikasi antara ambulan
dengan armada udara baik saat keberangkatan maupun kedatangan
pasien
• Transportasi Udara dibagi 2 :
a. Helikopter

41
23:
• Helikopter dapat digunakan sebagai sarana transportasi pasien
kritis dengan jarak antara 30 - 150 mil (48-240 KM). Kecepatan
helikopter berkisar antara 120 - 180 mil/jam.
• Biasannya beranggotakan 2 tim medis professional
• Dalam cuaca yang normal, helikopter dapat terbang dari titik ke
titik lain dengan sistem penerbangan visual dan mendarat
langsung di lokasi kejadian.
• Daya angkut terbatas dibandingkan pesawat terbang sayap tetap
b. Pesawat terbang sayap tetap
• Pesawat terbang sebaiknya dipertimbangkan sebagai sarana
transportasi pasien kritis dengan jarak lebih 100 - 150 mil (160 –
240 KM), biasanya untuk transportasi antar negara atau antar
pulau.
• Akan tetapi pesawat terbang tidak dapat mendarat langsung di
lokasi kejadian atau tujuan transportasi. Ia harus terbang dan
mendarat di bandar udara, sehingga masih membutuhkan
ambulans darat untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit
tujuan.
• Pesawat terbang lebih tidak dipengaruhi oleh cuaca yang buruk
dibandingkan dengan helikopter. Namun pada ketinggian 6000 -
8000 kaki dapat mempengaruhi fisiologi pasien kritis.

G. PENGAWASAN YANG KETAT SELAMA TRANSPORT


Standar pelayanan dan pemantauan selama transport paling tidak sesuai dengan
rumah sakit asal. Standar minimum yang dibutuhkan oleh semua pasien yaitu :
1. Kehadiran staf yang terlatih dengan baik
2. EKG
3. Pemantauan tekanan darah non-infasif
4. Saturasi oksigen arterial
5. EtC02 (end tidal CO2) pada pasien yang terventilasi mekanik
6. Temperatur ( inti dan perifer)

H. PENATALAKSANAAN PASIEN SELAMA TRANSPORT


• Pasien harus dibaringkan dan dibungkus dalam selimut penyekat panas
"cellular" atau bungkus gelembung I "bubble wrap" kemudian dilapisi oleh
selimut untuk mengurangi kehilangan panas.
• Pasien beserta selimutnya harus difiksasi dengan baik di atas troli, lebih baik
dengan ikatan sabuk pada 5 titik.

42
23:
• Seluruh perlengkapan harus disimpan dengan aman di dalam loker ambulans.
• Jika hal ini tidak memungkinkan, perlengkapan sebaiknya diletakkan di lantai
ambulans menempel pada dinding bagian depan. Perlengkapan-perlengkapan
tidak boleh diletakkan di atas pasien (misalnya pompa infus), karena dapat
merupakan benda proyektil yang membahayakan bila terjadi goncangan
mendadak.
• Tabung-tabung gas harus selalu berada di tempatnya yang aman setiap saat.
• Pemantauan harus selalu dilakukan setiap saat selama transport, maka seluruh
monitor dan pompa infus/suntikan harus dapat dilihat oleh seluruh staf.
• Pasien yang telah distabilisasi dan diresusitasi dengan adekuat sebaiknya tidak
memerlukan perubahan pengobatan atau penanganan yang dramatis.

I. SERAH TERIMA KEPADA RUMAH SAKIT YANG MENERIMA PASIEN


• Pada saat kedatangan di rumah sakit tujuan, harus dilakukan serah terima
formal antara tim transport pasien dengan para staf medis dan perawat yang
menerima yang akan bertanggung jawab terhadap perawatan pasien.
• Serah terima harus meliputi keterangan verbal maupun tertulis mengenai
riwayat pasien, tanda-tanda vital, terapi, dan kejadian kejadian klinis penting
selama transport.
• Foto radiologi, hasil - hasil pemindaian dan penyelidikan yang lain harus
dijabarkan dan diserahkan ke staf penerima.

J. DOKUMENTASI DAN AUDIT


• Di setiap tahapan transport harus dilakukan pencatatan yang jelas, meliputi
keterangan detail tentang kondisi klinis pasien, alasan transfer, nama-nama
konsultan yang merujuk dan akan menerima, status klinis pada saat sebelum
transfer, dan keterangan lengkap tanda-tanda vital.
1. Perincian proses transfer
2. Ringkasan medis
3. Ringkasan keperawatan
4. Status pasien selama perjalanan
• Audit data meliputi :
1. Alasan memindahkan pasien
2. Apakah proses transfer pasien tersebut berada di dalam atau di luar
jaringan lokal
3. Seberapa segera transfer diperlukan
4. Waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan pasien, dimulai sejak
permintaan ambulans diajukan sampai selesai

43
23:
5. Kejadian - kejadian yang tidak diinginkan/ insiden kritis

K. JAMINAN KUALITAS PELAYANAN


Jaringan Pelayanan Intensif perlu mengembangkan program jaminan kualitas untuk
memastikan terpenuhinya standar yang adekuat dalam transportasi/pemindahan
pasien-pasien sakit kritis.
STANDART : Prinsip utama
a. Planning (perencanaan)
b. Personnel (jumlah yang cukup disertai dengan kemampuan yang sudah
terstandarisir dalam evakuasi pasien kritis)
c. Properties (alat yang dipakai dalam transportasi)
d. Procedures (alat yang dipakai mengukur kestabilan keadaan pasien sebelum
dan saat diberangkatkan)
e. Passage (pilihan rute dan tehnik transport)

a. Planning
• Perencanaan tujuan transport, indikasi dan kontraindikasi.
• Komunikasi dan koordinasi diantara team evakuasi dan ambulans dan staf
yang berada di rumah sakit. Saluran telepon (fixed line) dan faks. Bila
diperlukan video informatif lainnya.
• Advise dari tempat tujuan diperlukan untuk menyiapkan pasien dalam kondisi
yang optimal sebelum dan selama transport.
b. Personel
• Setiap anggota team harus dapat melakukan diagnostik dan resusitasi.
• Direkomendasikan setiap anggota team harus bersertifikasi
ATLS/ACLS/ALTEM.
• Personel termasuk didalamnya adalah driver ambulance dan pilot harus
memiliki kemampuan khusus evakuasi medis.
• Anggota tim harus dalam kondisi prima dan selalu menggunakan APD.
• Obat yang paling efektif menangani mabuk perjalanan adalah hyoscine
hydrobromide (scopolamine) diminum 4 jam sebelum perjalanan, sedangkan
transdermal patch perlu waktu 8 jam sebelum perjalanan ditempelkan dikulit,
efek sampingnya dalah mulut kering dan distonia.
c. Properti
• Alat-alat resusitasi
- AED/defibrilator
- Ventilator mobile, Respirator
- Airway device

44
23:
• Obat-obat darurat
- Obat-obat susunan saraf pusat
- Obat-obatan jantung  ex: epinefrin, dopamine, dobutamin, dll
- Elektrolit dan obat-obatan renal  ex: kalium
- Obat-obatan metabolik
- Cairan
• Set monitoring hemodinamik
- Pulse oksimeter
- Tensimeter atau arteri line
- Elektrode
- Termometer
• Peralatan penunjang
- Tabung Oksigen
- Syringe pump
- Infusion pump
- Monitor mombile
d. Prosedur
• Prosedur penanganan sebelum dan selama transport
• Penanganan pasien sebelum transport
- Stabilisasi hemodinamik
- Clearance airway
- Inotropik/vasoaktif
- Dll
• Penanganan pasien selama transport
- Manajemen cairan
- Manejemen nyeri
- Monitoring tanda vital
- Kontrol pernafasan
- dll
e. Passage
Pemilihan rute tercepat dan efisien

Dengan menerapkan 5P diharapkan dapat menurunkan angka kejadian mortalitas selama


transportasi medis.

45
23:
CLINACAL ANATOMY OF TRAUMA: HEAD, NECK, AND VERTEBRAE

Dokter : Dr. dr.H. Sagiran, Sp. B.K-L., M.Kes


Editor : jyjyd
Layouter :

Anatomi adalah basis yang penting keadaan tidak baik. Di kepala ada tulang
untuk bisa mendiagnosis trauma. Dalam tengkorak, leher ada tulang leher dan
ilustrasi berikut, batok kepala pasien tulang belakang.
nampak, bukan berarti otak pasien dalam
kondisi yang tidak aman. Apabila saat
pasien ditanya masih mampu menjawab,
menandakan kondisi otak masih baik.
Namun, bila pasien datang dalam kondisi
koma, meskipun secara kasat mata kondisi
kepala nampak baik, tidak terlihat luka
hingga batok kepala nampak, justru
menandakan kondisi otak pasien dalam

I. KEPALA

Begitu kulit dikupas, tampak gambaran biru yang menunjukkan vena yang tampak
diluar. Pada ilustrasi diatas, tampak vena jugularis eksterna yang merupakan titik kumpul
vena pada wajah, kepala, dan leher. Pada area bawah tampak adanya kelenjar ludah/
glandula parotis.

46
23:
Pada irisan mediana/ pertengahan,
menunjukkan ada pertengahan dari
tengkorak isinya otak sumsum tulang
belakang, rongga hidung. Pada ilustrasi ini
menggambarkan meninges/ selaput otak
dimana ada arteri yang cukup besar, arteri
meningea mediana yang merupakan
arteri yang memperdarahi selaput otak.
Apabila terjadi benturan pada kepala,
sering menyebabkan perdarahan epidural.
Darah yang mengumpul mendesak otak
karena benturan terhadap tengkorak yang
keras menyebabkan terjadinya epidural
hematom.

Pada gambaran anatomi secara


Magnetic Resonance Imaging (MRI),
nampak ada pembuluh darah arteri
karotis, sirkulus willisi, serta arteri
vertebralis yang bermuara di arteri cerebri
posterior. Sirkulus willisi adalah cincin
perputaran arteri dalam otak.

Otak memiliki 3 struktur subarachnoid. Apabila perdarahan terjadi


pembungkus yang apabila diurutkan dari di dalam otak disebut intracerebral
luar ke dalam terdiri dari: duramater di hematom.
bagian terluar, arachnoideamater, dan
bagian terdalam yang menempel di otak
adalah piamater. Ronggga paling longgar
disebut spatio subarachnoid. Perdarahan
bisa terjadi di luar lapisan duramater,
biasa disebut epidural hematom, dan bila
terjadi di bawah lapisan duramater
disebut subdural hematom. Perdarahan
lain bisa terjadi di bawah lapisan
arachnoid, disebut perdarahan

47
23:
Pada gambar berikut, terjadi pengumpulan darah di luar duramater yang mendesak
otak menunjukkan gambaran epidural hematom. Liat ciri khas otak jadi cekung, karena darah
terkumpul di luar selaput otak di bawah tengkorak. Terjadi midline shift/ terjadi pergeseran
garis tengah, pasti koma.

Selain epidural hematom, bisa terjadi mekanisme counter-coup pada kejadian


benturan bagian depan yang mengguncang dan menimbulkan perdarahan di belakang
karena mekanisme benturan sekunder.

Pada gambar di bawah ini, terjadi subdural hematom, perdarahan terjadi di bawah
duramater.

Berikut ini adalah contoh gambar diskontinuitas tulang, tampak tengkorak pecah dan
terjadi depressed fracture/ ambles.

48
23:
II. FARING DAN LARING
Faring artinya rongga mulut, terletak di belakang mulut/ bumbung dan terdiri dari
nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Laring adalah saluran napas yang terletak paling
pangkal. Trakea terdiri dari cincin tulang rawan/ kartilago. Kartilago tiroid letaknya
terpisah dan memiliki eminensia dan prominensia yg paling menonjol di jakun.

Di bawah kartilago tiroid, terletak kartilago cricoid. Di antara kartilago tiroid dan
cricoid, terdapat membran yang cekung yang disebut membrane cricothyroid. Bagian ini
adalah bagian yang digunakan untuk “cricothyroid puncture” yakni mekanisme
membuat lubang dengan tusukan jarum ataupun membuat insisi kecil yang ditujukan
untuk mensuplai pernapasan pada pasien yang tersedak, maupun terdapat sumbatan di
area tersebut sehingga membuatnya tidak bisa bernapas. Tulang yang menempel di atas
kartilago tiroid disebut arytenoid. Tulang ini bentuknya menyerupai moncong ceret.
Epiglotis berfungsi sebagai penutup laring, Sehingga kalau kita sedang menelan
makanan, makanan tidak akan masuk ke saluran pernapasan.

49
23:

50
23:

Pada gambaran sisi lateral, nampak bangunan pita suara. Pita suara terdiri
dari 2 jenis, yakni plica vokalis yang terletak di sisi atas dan plica vestibularis yang
ada di sisi bawah. Di antara plica vokalis dan vestibularis terdapat vestibulum
laringis.

Rima glottidis adalah celah antara plica vokalis kanan dan kiri. Celah ini
merupakan lokasi yang dilewati saat melakukan intubasi. Apabila kita bersuara, rima
glottidis ini akan terbuka. Pada saat menghaslkan suara tinggi, pita suara akan membuka
ditunjang dengan kontraksi muskulus cricoaretinidius lateralis.

51
23:
Lalu, mengapa orang yang dicekik bisa mati? Hal ini karena glottis dan laring yang
tertekan membuatnya tertutup sehingga orang tersebut tidak bisa bernapas hingga
terjadi sianosis/ tampak kebiruan karena asupan oksigen tidak terpenuhui. Pada pasien
dengan sumbatan jalan napas, bisa dilakukan tindakan emergensi berupa laringotomi,
yang dilakukan dengan melubangi trakea. Insisi juga bisa dilakukan di membrana
cricothyroid.

Berikut adalah contoh gambar radiologi vertebra dimana korpus vertebralis mengalami
patah pada vertebra torakalis 1 (ditandai sudah mulai adanya costae).

52
23:

Alat ini disebut collar brace yang berfungsi sebagai penyangga leher ketika
terjadi cedera dari tulang belakang leher. Fraktur hangman adalah fraktur tidak stabil
dari pedikulus C2, dengan terjadinya displacement/ pergeseran C1 dan korpus/ badan
C2 dan C3. Spondilolistesis traumatik C2 terjadi karena hiperekstensi kepala relative
terhadap leher. Fraktur ini sangat berbahanya karena hipereksternsi leher yang
terjadi bisa menekan susum tulang belakang di sumsum lanjutan yang merupakan
letak pusat pernapasan dan jantung. Cedera lain yang berbahaya adalah ruptur
karotis, yang bisa menyebabkan kematian seperti pada orang stroke karena otak
tidak mendapatkan aliran darah.

Kasus lain yang awam terjadi adalan Hernia Nucleus Pulposus (HNP) yang
terjadi diantara korpus vertebra 1 dengan yang lain dimana isi menonjol dan
mendesak. HNP adalah kondisi dimana bagian lunak dan gelatin diskus
intervertebralis (nucleus pulposus) tertekan yang menyebabkan nyeri punggung dan
iritasi serabut saraf. Paling sering mendesak di verterbrae lumbalis sehingga
menyebabkan nyeri radikuler yang menjalar sesuai saraf yang tertekan karena iritasi
pada serabut saraf. Nyeri tersebut dijalarkan sesuai saraf yang tertekan.

53
23:

Penjalaran tersebut bergantung pada dermatom, yakni segmen kulit yang dipersarafi
saraf-saraf tulang belakang. Melalui dermatom ini, kita bisa mengetahui asal muasal
nyeri dari lokasi nyeri yang dirasakan. Misal ada nyeri yang menjalar sampai ujung jari
kaki, berarti gangguan terjadi pada vertebrae lumbal 5. Bila nyeri dirasakan di area
pusar, berarti gangguan terjadi pada vertebrae torakal 10. Gangguan di vertebrae
cervicalis 8 bisa menimbulkan nyeri yang terasa hingga kelingking.

Kasus lain adalah terjadinya paralisis karena terjadi putus sumsum tulang belakang,.
Pada kasus ini, orang bisa mengalami kelumpuhan kaki kanan dan kiri apabila terjadi
putus sumsum tulang belakang area pinggang. Apabila putus sumsum tulang

54
23:
belakang terjadi di area atas pinggang, bisa terjadi mati rasa mulai dari area perut.
Apabila terjadi patah tulang belakang area leher, bisa terjadi kelumpuhan kedua
tangan dan kedua kaki, disebut quadriplegia. Pada pasien dengan quadriplegia, ia
masih dapat berbicara dan geleng-geleng, namun seluruh ekstremitas baik atas dan
bawah mengalami kelumpuhan.

Kasus lain adalah wedge fracture, atau biasa dikenal sebagai compresion
fracture. Bisa terjadi apabila tuang belakang patah dan remuk, yang menyebabkan
terdesarknya sumsum tulang belakang hingga bisa menimbulkan putus sumsum.Pada
kasus ini, dilakukan plating dengan pemasangan plat dan setelah operasi tersebut
pasien diharuskan mengenakan korset.

55
23:

III. ABDOMEN
Trauma pada dinding abdomen bisa terjadi karena benda tajam (senjata tajam,
tembak) maupun benda tumpul.

Apabila trauma tersebut mengenai organ pada abdomen, bisa mengenai organ
yang sifatnya padat ataupun berongga. Bila mengenai organ padat berisiko
perdarahan yang bila terjadi perdarahan hebat menyebabkan syok. Sedangkan bila

56
23:
terjadi pada organ berongga berisiko menimbulkan sepsis, infeksi berat seperti pada
kejadian peritonitis. Apabila terjadi trauma benda tumpul yang pertama kita lakukan
adalah primary survey segera (amati ada tidaknya syok, amati ada tidaknya
perdarahan). Apabila tidak dijumpai syok dan perdarahan, lakukan secondary survey
hingga ditemukan kausa dan tindakan yang harus dilakukan. Tentukan apakah perlu
adanya tindakan pembedahan emergensi atau hanya perlu dilakukan observasi saja.
Pada tatalaksana trauma abdomen, dikenal Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL).
Tindakan ini dilakukan pada kondisi ragu-ragu apakah perlu dilakukan pembedahan
emergensi atau tidak. Pada DPL, dilakukan operasi kecil pada perut untuk melihat ada
tidaknya darah. Apabila ada darah, mengindikasikan dilakukan tindakan pembedahan
emergensi, bila tidak ada darah tindakan selanjutnya adalah observasi.

57
23:
Apabila terjadi trauma karena benda tajam, biasanya lansung bisa segera
dikenali apakah perlu pembedahan emergensi atau tidak. Umumnya pada trauma
benda tajam perlu dilakukan operasi emergensi karena sudah jelas kausa benda
tajam sering menimbulkan perdarahan. Namun pada kasus usus terburai, belum
tentu semua kasus tersebut perlu dilakukan tindakan pembedahan. Apabila tampak
darah keluar, dan benda dalam usus seperti kotoran/feses terlihat, mengindikasikan
perlu operasi emergensi. Namun bila trauma hanya terjadi di lapisan kulit tanpa
tampak perdarahan, tidak diperlukan adanya operasi emergensi.

Sebelum melakukan pembedahan emergensi, kita harus juga mengetahui


sintopi dan skeletopi dari organ-organ abdomen. Sintopi (apabila yang luka di area
tersebut, organ yang terkena apa). Skeletopi (apabila yang luka di area tersebut,
tulang yang terkena apa). Misalkan terjadi luka di pinggang, kemungkinan organ yang
terkena adalah ginjal, ureter, dan kolon. Derajat kegawatan pasien tergantung dari
seberapa kasus tersebut mengancam jiwa pasien. Bila pada pasien terjadi dinding
perut terbuka, isi perut terburai, namun tidak mengancam jiwa, maka derajat
kegawatan lebih rendah dibanding pasien yang tidak tampak luka namun terjadi
pecah organ dalam yang menyebabkan perdarahan masif dalam perut.

58
23:
KEGAWATAN DIABETES DAN ADRENAL
Dosen : dr. Agus wid
Editor : sk
Layouter :

DIABETES MELITUS :
 KOMPLIKASI KRONIK  Mikrovaskuler dan Makrovaskuler
 KOMPLIKASI AKUT  Hiperglikemi dan Hipoglikemi

KEGAWATAN ENDOKRIN
I. Hiperglikemi Diabetes
Tidak semua kenaikan gula darah menjadi gawat. Namun kenaikan gula darah seperti apa
yang menyebabkan kegawatan? Mari kita pelajari!

Komplikasi Akut Hiperglikemi


A. KETOASIDOSIS
1. Pengertian
Penumpukan benda keton dan terjadi asidosis pada penderita diabetes dan dapat
memicu kekurang cairan sehingga menyebabkan terjadinya dehidrasi.
Kondisi dimana tubuh secara absolut kekurangan insulin dan aktifnya hormon kontra
regulator insulin yaitu glukagon, cathecholamin dan growth factors
Memicu terjadinya proses glukoneogenesis, glikogenolisis dan terbentuknya benda
keton akibat peningkatan produksi asam lemak bebas (free fatty acids) dari jaringan
adiposa dan asam amino dari otot ke hepar

2. Patofisiologi Ketoasidosis

Pada pasien dm produksi insulin akan menurun  menyebabkan utilisasi glukosa


menurun yang efeknya glukosa darah meningkat, glukagon menjadi dominan.
Pada kondisi ini, pasien mengalai infeksi/stress metabolik (bisa karena
pascaoperasi / kondisi yg mnyebabkan metabolisme meningkat)  tubuh akan
meningkatkan produksi katekolamin (akan memproduksi epinefrin dan
59
23:
norepinefrin), kortisol meningkat, glukoneogenensis akan diaktivasi tubuh untuk
memicu peningkatan metabolisme dalam tubuh karena ada infeksi dan stress
metabolik. Karena proses glukoneogenesis meningkat maka pretolisis
(pembongkaran protein) akan menigkat yang efeknya glukosa darah akan semakin
meningkat, maka tubuh akan mengalami Defisiensi Insulin Absolute sehingga
tubuh akan membongkar cadangan lemak sebgai cadangan energi (terjadi
lipolisis)  lipolisis akan memicu peningkatan Fatty Acid terutama Free Fatty
Acid. Produksi Free Fatty Acid akan memicu peningkatan Ketogenesis karena
adanya ketogenesi menyebabkan alkali tubuh akan menurun sehingga terjadilah
Asidosis. Adanya asidosis dan keton akibat defisiensi insulin absolut memicu
terjadinya Ketoasidosis.

3. Proses terjadinya KAD dan HHS


Kondisi stress, infeksi dan kondisi insulin yang insuficien dapat memicu dua
keadaan tersebut yaitu Diabetik Ketoasidosis (KAD) maupun Hiperglikemik
Hipersmolar Stage (HHS)

Pada kondisi Defisiensi Insulin Absolut  yang menyebabkan Diabetik


Ketoasidosis (KAD). Terjadi peningkatan lipolisis pada tubuh yang memicu
terbentuknya peningkatan free fatty acid yang akan dikirim ke liver. Free fatty
acid akan meningkatkan proses glukoneogenesis, karena free fatty acid
merupakan substrat glukoneogenik bersama dengan protein. Free fatty acid juga
menyebabkan terbentuknya peningkatan ketogenesis (pembentukan benda

60
23:
keton) yang mana akan menyebabkan basa dalam tubuh menurun (alkali
reserve) maka terjadilah peningkatan ketoasidosis. Free fatty acid yang berasal
dari lipolisis juga akan dirubah menjadi Triacylglycerol yang mana merupakan
sumber energy yang nnti akan menyebabkan hiperlipidemia. Maka pada diabetik
ketoasisdosis kita akan menemukan ketoasidosis (karena terbentuknya
ketogenesis akibat terbentuknya FFA akibat lipolisis), hiperlipidemia
(terbentuknya triacylglicerol akibat perubahan free fatty acid) dan kondisi
hiperglikemi (dipicu oleh proses glukoneogenesis dan proses penurunan utilisasi
glukosa).
Pada kondisi Defisiensi Insulin Relative  yang menyebabkan Hiperglikemik
Hiperosmolar Stage (HHS).

4. Gejala Ketoasidosis Diabetik


- Dehidrasi
Takhikardi  dehidrasi akibat dari glycosuria, kehilangan air dan elektrolit
menyebabkan respon tubuh takikardi (mempercepat) untuk mempertahankan
tekanan darah. TD adalah hasil kali kemamuan janutng memompa dalam 1 mneit
x resistensi vaskular. Jika resistensi vaskular menurun akibat cairan dalam tubu
berkurang maka tubuh akan mempercepat TD.
Orthostasis  perubahahn posisi akan menyebabkan penurunan tekanan darah.
- Poliuria (oleh karena adanya glycosuria), polidipsi (karena tubuh kekurangan
energi sehingga tubuh membuat sering lapar)
Enuresis (mual muntah) setiap saat.
- Nyeri abdomen
Mual dan muntah. Bisa merupakan gejala PANKREATITIS AKUT akibat
hipertrigliseridemia
- Tanda asidosis
Nafas bau buah (aseton) dan pola nafas Kussmaul (cepat dan dalam, >24x/menit,
tarikan nafas dalam, pengeluaran nafas panjang)
Bisa terjadi gangguan kesadaran  KOMA (Koma ketoasidosis diabetik)

5. Faktor Resiko Ketoasidosis


DM tipe 1  Merupakan terjadinya defisiensi insulin secara absolut, sehingga
kemungkinan terjadinya KAD semakin besar.
Pada pasien dm 1 yang mendapat terapi Insulin  Kemudian lupa terapi insulin
saat ada infeksi dan stress tidak memberikan terapi insulin  sehingga defisiensi
absolut insulin semakin terlihat.
Pasien DM tipe 1 memerlukan terapi pengganti insulin secara rutin, jika saat
terkena infeksi atau stress secara fisik dan metabolik kebutuhan energi akan
tinggi, jika tidak diberikan terapi insulin akan memicu defisiensi absolut insulin

61
23:
DM tipe 2  Terkait penggunaan terapi insulin dan tidak mendapat terapi dengan
tepat saat terjadi stress dan infeksi.

6. Faktor Pencetus
o Terapi insulin tidak adekuat
o Infeksi
o Infark
o Obat (kokain)
o Kehamilan
7. Diagnosis Ketoasidosis
- HIPERGLIKEMI
Didapatkan peningkatan kadar gula darah > 250 mg/dL memicu KAD. Sehingga
pada pasien dm boleh olahraga ketika gula darah tdk <100 dan tidak >250. Krna
olahraga adalah stres metabolik sehingga bisa memicu ketosidosis.
- ASIDOSIS
Pemeriksaan AGD  pH < 7,3 HCO3 < 18 mEq/L disebut kondisi asidosis
- KETONEMIA
Akibat reaksi yang dipicu oleh pembentukan free fatty acid. Didapatkan serum
keton dan urin keton (+)
- GANGGUAN KESADARAN
Bisa terjadi gangguan kesadaran bisa sampai terjadi koma

8. Dehidrasi Ketoasidosis
Dehidrasi pada KAD diakibatkan oleh peningkataan osmolalitas plasma akibat
kadar gula darah yang tinggi memicu dehidrasi intracellular dan memicu diuresis
osmotik (karena osmolalitas yg tinggi, tubuh berusaha membuang lewat
diuresis/urin) akibatnya elektrolit (Na, K, PO, Mg) menghilang/keluar dari tubuh
terutama natrium dan cairan ekstra selluler meurun yang efeknya memicu
terjadinya shock karena pembuluh darah kehilangan cairan dan menurunkan laju
filtrasi glomerulus  penurunan laju filtrasi glomurulus/GFR akan memicu
kenaikan kadar glukosa karena akan memicu bagian tubuh untuk membuang
glukosa menjadi gagal, peningkatan asidosis karena alkali tubuh menurun dan
menyebabkan azotemia (peningkatan ureum kreatinin).

Pada penatalaksaan lihat kadar natrium dan saat terapi awasi kadar kalium akibat
dari terapi pemberian insulin.
Dilihat dari derajat dehidrasi ketoasidosis untuk target terapi rehidrasi :
Air  5-10 liter
Natrium  500 mmol
Kalium  300-1000 mmol
Chlorida  300-600 mmol
62
23:
Calsium 50-100 mmol

9. Tatalaksana Ketoasidosis
• REHIDRASI
• Rehidrasi kekurangan cairan dengan cairan isotonik NaCl
• Natrium ada di ekstra sel  NaCl cepat untuk rehidrasi

• KONTROL KADAR GULA DARAH


• Berikan insulin intra vena  defisiensi absolut insulin
• Insulin  kadar kalium menurun  koreksi kalium

• KONTROL ASIDOSIS
• Asidosis berat pH < 7,0  Natrium Bicarbonat
• Khusus ketoasidosis berbeda dengan asidosis yang terjadi pada gagal
ginjal, karena KAD akan dilakukan tindakan jika pH <7,0 namun jika
gagal ginjal dilakukan tindakan jika pH <7,3 jika tdk dapat dikendalikan
maka lakukan hemodialisis.

• KONTROL FAKTOR PENCETUS


• Infeksi  Antibiotik

Cairan
Untuk rehidrasi ketahui status hidrasi :
Jika syok hypovolemik maka berikan Nacl bukan Ringer laktat. Karena saat terjadi
diuresis natrium akan dibuang dan terjadi dehidrasi intraselluler sehingga harus
cukupi natrium akan tidak terjadi perpidahan kalium keluar dari sel atau berikan
plasma expander.
Jika trjadi pada hipotensi ringan maka lakukan pemeriksaan kadar natrium karena
akan menentukan jenis cairan. Jika kadar natrium tinggi/normal maka jenis cairan
yang dipilih NaCl ½ NS / 0,45% atau ½ dari kadar Nacl 0,9% dan ini harus di buat
karena jarang di temukan dengan mencampur Nacl 0,9% 250 + Water for Infusion
250. Jika kadar natrium rendah maka berikan Nacl 0,9% (isotonik). Diberkan 4-14
cc/kgBB tergantung status hidrasi.
Jika terjadi kardiogenic shock maka berikan obat-obatan vasopressor dan monitroing
hemodinamik.

Insulin
Pada KAD terjadi defisiensi absolut insulin maka harus berikan insulin segera dengan
bolus 0,15 unit/kg (cth : bb 50kg maka diberikan 50x0,15 = 7,5 unit bolus iv)
kemudian di ikuti 0,1 unit/kgBB/jam (cth : bb 50 kg maka 50x0,1 = 5 unit. Jika sudah
diberikan 7,5 unit bolus maka dilanjutkan pemberian insulin rapid action 5 unit
63
23:
perjam). Setiap jam di cek kadar gula darah, jika kadar GD tidak turun 50-70 mg/dl
dalam 1 jam pertama maka naikkan kadar insulin drip menjadi 2 kali lipat (jika
sebelumnya 5 unit maka jadikan 10 unit/jam). Jika sudah mulai turun maka evaluasi
dan mulai berubah cairannya.
Jika didaerah perlengkapan medis kurang baik tidak ada drip maka bisa berikan route
IM/SC. Berikan 0,4 unit/kgBB ½ IV dan ½ IM/SC (cth : bb 50kg maka 50x0,4 = 20 unit,
10 diberikan iv dan 10 diberikan im/sc) kemudian di ikuti setiap jam diberikan 0,1
unit/kgBB SC/IM (cth : bb 50 maka 5 unit diberikan setiap jam), jika tidak terjadi
penurunan 50-70 mg/dl dalam 1 jam maka akan diberikan iv insulin bolus setiap jam
10 unit sampai gd turun 50-70 mg/dl.

Kalium
Karena diberikan insulin maka cek kadar kalium, karena pemberian insulin akan
menyebabkan penurunan kadar kalium, karena kalium penting untuk jantung, kalium
rendah bisa menyebabkan aritmia jantung. Jika kalium <3,3 maka stop insulin,
diberikan dulu 40 mEq/L kalium perjam (berasal dari 2/3 KCL dicampur 1/3 KPO4)
sampai kalium mencapai kadar >=3,3 mEq/L. Namun jika kadar kalium awal >= 5,0
mEq/L maka tidak perlu kawatir akan akan menurun seiring pemberian insulin dan di
cek setiap 2 jam. Jika kadar serum awal kalium >=3,3 tapi <5,0 maka berikan kalium
20-30 mEq setiap liter cairan (setelah 1 liter guyur cairan maka berikan 20-30 mEq
kalium untuk menjaga kadar kalium tetap pada 4-5 mEq/L.

Bikarbonat
Asidosis dilakukan terapi jika pH <6,9 berikan natrium bikarbonat (100 mmol)
larutakan dalam 400 ml H2O di infuskan dengan kecepatan 200cc/jam. Jika pH antara
6,9-7,0 maka berikan separuhnya (50 mmol) larutkan dalam 200 ml H2O di infuskan
dengan kecepatan 200cc/jam. Kemudian di ulangi bikarbonat setiap 2 jam sampai pH
>7,0 dan monitor kadar serum kalium. Jika pH >7,0 tidak perlu koreksi untuk HCO3.

Jika GDS <200 rubah infus menjad D ½ NS (Campuran Dextrose 5% dan Nacl 0,45%)
dengan kecepatan 150-250 cc/jam dan insulin diturunkan menjadi separuhnya yaitu
0,05-0,1 unit/kg/jam IV (cth : bb 50 kg maka 2,5–5 unit/jam) atau 5-10 unit SC, cek
setiap 2 jam untuk menjaga agar kadar gula darah diantara 150-200mg/dl sampai
kontrol metabolik tercapai. Cek elektrolit (Na, K, Cl),ureum, kreatinin dan glukosa
setiap 2-4 jam sampai kondisi stabil. Sampai terjadi resolusi dari DKA maka kita ubah
insulin iv menjadi insulin sc kembali. Di ubah setelah insulin iv sudah trkendali kadar
gd dibawah 150 dilanjutkan 1-2 jam insulin iv kemudian setelah pemberian sc insulin
dimulai baru setelah itu stop drip isulin.

64
23:
Setelah GD <200 untuk mencegah lipolisis dapat diberikan infus D5% + 0,04% Nacl (D
½ NS) bersama dengan terapi insulin, koreksi kalium dan koreksi asidosis. Sehingga
jika semua harus diberikan maka akan ada 4 jalur iv yang terpasang pada pasien KAD.
Karena jika terjadi lipolisis KAD akan muncul kembali.

B. HIPEROSMOLAR HIPERGLIKEMI STATE


1. Pengertian
Peningkatan osmolaritas plasma darah disertau dengan kondisi hiperglikemi pada
pasien diabetes dan dapat memicu kekurang cairan sehingga menyebabkan
terjadinya dehidrasi.
Kondisi dimana tubuh secara relatif kekurangan insulin dan aktifnya hormon
kontra regulasi insulin.
Menyebabkan terjadinya peningkatan proses glukoneogenesis dan glikogenolisis.
Peningkatan kadar gula darah ini akan memicu proses diuresis osmotik yang akan
memicu pengeluaran elektrolit dan air  peningkatan osmolaritas darah.

2. Pathogenesis
of DKA and
HHS: stress,
infection, or
insufficient
insulin.

Abbas E. Kitabchi et al. Dia Care 2009;32:1335-1343. ©2009 by American Diabetes Association

HHS terjadi defisiensi insulin relative sehingga tidak terjadi ketogenesis karena
ketogenesis hanya akan terjadi jika dfisiensi insulin absolut. Pada kasus ini tubuh
akan memicu proses glikogenolisis (glikogen nya di lisiskan) efeknya hiperglikemi.
Selain itu akan terjadi peningkatan Counteregulator hormon (glukagon dan
katekolamin akan aktif) akan memicu terjadinya ketabolise protein (menurunkan
potein sintesis dan meningkatkan proteolisis atau katabolisme) dua kondisi ini
menyebabkan glukoneogenesis tanpa adanya lipolisis. Pada HHS terdapat
peningkatan Glikogenolisis dan Glukoneogenesis dari hasil pemecahan protein,

65
23:
itulah yang memberdakan dengan KAD. Kenapa terjadi hiperosmolariti? Karena
dehidrasi yang terjadi pada HHS jauh lebih kuat dibandingkan DKA.

3. Gejala HHS
Dehidrasi Takhikardi Orthostasis.
Poliuria, polidipsi Enuresis setiap saat.
Nyeri abdomen Mual dan muntah.
Penurunan status mental Bisa terjadi gangguan kesadaran  KOMA

4. Diagnosis HHS
- HIPERGLIKEMI
Didapatkan peningkatan kadar gula darah > 600 mg/dL
- HIPEROSMOLER
Kadar Natrium tinggi
Osmolaritas= (2xNatrium)+(Glukosa/18)
Osmolaritas serum > 320 m Osm/Kg air
- GANGGUAN KESADARAN
Bisa terjadi gangguan kesadaran sampai ke koma

5. Tatalaksana HHS
• REHIDRASI
• Rehidrasi kekurangan cairan dengan cairan isotonik NaCl  karena natrium
berada di ekstraseluler sehingga cepat untuk rehidrasi
• Natrium ada di ekstra sel  NaCl cepat untuk rehidrasi
• KONTROL KADAR GULA DARAH
• Berikan insulin intra vena  defisiensi absolut insulin
• Insulin  kadar kalium menurun  koreksi kalium (hati-hati utk koreksi
kalium)
• KONTROL FAKTOR PENCETUS
• Infeksi  Antibiotik
• Terapi cairan hampir sama dengan KAD. Bedanya pilihan cairan NaCl bisa
hipotonus  NaCL 0,45%
• Pemantauan glukosa lebih cepat dan lebih cermat dibanding pada KAD.
Batasan penurunan dosis insulin HHS bukan <200 tapi <300. Pemantuan
glukosa lebih cepat karena kematian lebih tinggi dibanding KAD. Karena terjadi
kondisi hiperosmoler yang bisa memicu terjadinya gangguan pada otak dan
selruuh tubuh yang memicu dehidrasi intraselulernya menjadi lebih berat.
66
23:
• Penatalaksanaan lebih sulit  kematian tinggi  karena sering penderita usia
tua

Cairan
Untuk rehidrasi ketahui status hidrasi :
Jika syok hypovolemik maka berikan Nacl bukan Ringer laktat. Karena saat terjadi
diuresis natrium akan dibuang dan terjadi dehidrasi intraselluler sehingga harus
cukupi natrium akan tidak terjadi perpidahan kalium keluar dari sel atau berikan
plasma expander.
Jika trjadi pada hipotensi ringan maka lakukan pemeriksaan kadar natrium karena
akan menentukan jenis cairan. Jika kadar natrium tinggi/normal maka jenis cairan
yang dipilih NaCl ½ NS / 0,45% atau ½ dari kadar Nacl 0,9% dan ini harus di buat
karena jarang di temukan dengan mencampur Nacl 0,9% 250 + Water for Infusion
250. Diberkan 4-14 cc/kgBB tergantung status hidrasi.
Jika terjadi kardiogenic shock maka berikan obat-obatan vasopressor dan
monitroing hemodinamik.

Insulin
Pada KAD terjadi defisiensi absolut insulin maka harus berikan insulin segera
dengan bolus 0,15 unit/kg (cth : bb 50kg maka diberikan 50x0,15 = 7,5 unit bolus
iv) kemudian di ikuti 0,1 unit/kgBB/jam (cth : bb 50 kg maka 50x0,1 = 5 unit. Jika
sudah diberikan 7,5 unit bolus maka dilanjutkan pemberian insulin rapid action 5
unit perjam). Setiap jam di cek kadar gula darah, jika kadar GD tidak turun 50
mg/dl dalam 1 jam pertama maka naikkan kadar insulin drip menjadi 2 kali lipat
(jika sebelumnya 5 unit maka jadikan 10 unit/jam). Jika sudah mulai turun maka
evaluasi dan mulai berubah cairannya.

Kalium
Karena diberikan insulin maka cek kadar kalium, karena pemberian insulin akan
menyebabkan penurunan kadar kalium, karena kalium penting untuk jantung,
kalium rendah bisa menyebabkan aritmia jantung. Jika kalium <3,3 maka stop
insulin, diberikan dulu 40 mEq/L kalium perjam (berasal dari 2/3 KCL dicampur
1/3 KPO4) sampai kalium mencapai kadar >=3,3 mEq/L.
Namun jika kadar kalium awal >= 5,0 mEq/L maka tidak perlu kawatir akan akan
menurun seiring pemberian insulin dan di cek setiap 2 jam.
Jika kadar serum awal kalium >=3,3 tapi <5,0 maka berikan kalium 20-30 mEq
setiap liter cairan (setelah 1 liter guyur cairan maka berikan 20-30 mEq kalium
untuk menjaga kadar kalium tetap pada 4-5 mEq/L.

Jika GDS <300 insulin diturunkan menjadi separuhnya yaitu 0,02-0,05 unit/kg/jam
IV (cth : bb 50 kg maka 1–2,5 unit/jam) tetap jaga agar kadar gula darah diantara
67
23:
200-300mg/dl sampai kontrol metabolik tercapai. Cek elektrolit (Na, K, Cl),ureum,
kreatinin dan glukosa setiap 2-4 jam sampai kondisi stabil. Sampai terjadi resolusi
dari DKA/HHS ketika pasien sudah bisa makan, berikan SC mutli dosis regimen
insulin. Kita ubah insulin iv menjadi insulin sc kembali. Lanjutkan pemberian
insulin infusion iv selama 1-2 jam setelah pemberian sc insulin untuk memastikan
tingkat insulin plasma yang memadai. Dosis pemberian insulin 0,5 – 0,8 U/kgBB
dan di sesuaikan dengan kebutuhan.

II. Hipoglikemi
A. Definisi
Hipoglikemia  Keadaan penurunan glukosa plasma dibawah 60 mg/dL yang disertai
gangguan neuropsikiatrik
ADA dan Endocrine society 2013  hipoglikemia pada pasien diabetes jika glukosa
plasma ≤ 70 mg/dL

B. Faktor Etiologi Hipoglikemi


 Hipoglikemia Iatrogenik: insulin, sulfoniluria, glinid
 Ketidakseimbangan aktivitas dan intake glukosa (cth : pasien dm olahrga berat
tanpa intake glukosa)
 Penyakit addison, insulinoma
 Penyakit akut gastroenteritis
 Neuropati otonomik  komplikasinya menyebabkan gastropati diabetes yaitu
males makan karena merasa mual kalau makan, sehingga asupan makan akan
berkurang. Sehingga jika tetap menggunakan obat-obatan yang digunakan akan
semakin menyebabkan hipoglikemi.

C. Gejala Hipoglikemi
Gejala Adrenergik
• biasanya pada awal penurunan glukosa darah  takikardia, takipnea,
muntah, dan diaphoresis (berkeringat yang banyak).
Gejala Neuroglikopenia
• hipoglikemia yang berkepanjangan  nafsu makan menurun, perubahan
status mental, lemah, dan kejang

D. Derajat hipoglikemi
- Ringan
– Autonomic (takikardi, sesak nafas, muntah, berkeringat banyak)
– Pasien masih bisa melakukan terapi mandiri  konsumsi makanan atau
minuman manis
- Sedang

68
23:
– Kombinasi autonomic and neuroglycopenic symptoms
– Pasien masih bisa melakukan terapi mandiri
- Berat
– Membutuhkan bantuan orang lain
– Pasien tidak sadar, saat tidur pas dibangunkan sulit
– Saat di cek gulah darah <2.8 mmol/L (50 mg/dl)

E. Reaksi tubuh pada Hypoglycemia


Blood Glucose Symptoms

< 3.3 mmol/L (60 mg/dl) Berkeringat, tremor, gelisah, palpitasi dan rasa
lapar

2.8 – 3.1 mmol/L (50 – 55 mg/dl) Early cognitive dysfn. (perubahan mood, bingung)

2.5 – 2.8 mmol/L (45 – 50 mg/dl) Lethargy, obtundation

< 1.7 mmol/L (30 mg/dl) Coma

< 1.1 mmol/L (20 mg/dl) Kejang-kejang


…kematian

F. Terapi Hipoglikemia
Terapi Hipoglikemia BERAT pada Pasien yang Sadar
1.Terapi dengan oral “fast sugar” (simple carbohydrate) (20 g) untuk menghilangkan
symptoms
2.Retest 15 kemudian menit memastikan GDS > 4.0 mmol/L (70 mg/ dL) Terapi
kembali dengan 15 g karbohidrat jika masih kurang
3.Makan sesuai jadwal diet DM dengan 15 g karbohidrat plus protein

Terapi pada Hipoglikemi BERAT Pasien yang Tidak Sadar dengan IV Access
1. Terapi dengan 20 g (50 cc of D40%) glucose intravena dalam waktu 1-3 menit
2. Retest 15 menit kemudian agar GDS >4.0 mmol/L (70 mg/dL) dan terapi ulang
dengan15 g karbohidrat jika diperlukan
69
23:
3. Jika sudah sadar makan sesuai jadwal diet dengan 15 g karbohidrat plus protein

Contoh 15 g Karbohidrat yang Simpel


• 15 g of glucose in the form of glucose tablets
• 15 mL (3 teaspoons) or 3 packets of sugar dissolved in water
• 175 mL (3/4 cup) of juice or regular soft drink
• 6 Lifesavers (1=2.5 g of carbohydrate)
• 15 mL (1 tablespoon) of honey

Glucagon Kit for Treatment of Hypoglycemia  sangat jarang di indonesia, dengan


cepat menikkan kadar gula darah, biasa diperlukan bagi pasien yang mengkonsumsi
sulfonil urea / insulin.

III. KRISIS ADRENAL


Kondisi dimana kelenjar adrenal tidak berfungsi dengan normal atau disebut
HIPOADRENAL. Merupakan kondisi yang membahayakan, jika sampai terjadi hipokortisol
yang mana tensi drop, nadi drop, gula darah drop dan resiko kematian tinggi.
Mengapa Kita Butuh Cortisol  Kortisol memiliki efek yang diperlukan pada sistem
vaskular pembuluh darah jantung dan hati selama episode stres fisiologi.
A. Penyebab Krisis Adrenal

70
23:

Kenapa terjadi krisis adrenal? Berawal dari adanyas stress baik fisik maupun
emotional, adanya hipoglikemi, eksosure dingin atau nyeri. Stresor ini akan memicu
pengeluaran Cortisol Releasing Hormon (CRH) dari hipotalamus yang akan memacu
hipofisis untuk mengeluarkan ACTH. Jika terjadi disfungsi pada pituitari maka tidak
dapat menghasilkan ACTH, sehingga tidak ada rangsangan terhadap kortisol. Padahal
ada rangsangan untuk mengeluarkan namun ada gangguan disfungsi di pituitari akan
menyebabkan terjadinya gangguan produksi kortisol disebut Seondari/Tertiary
insuffisiensi adrenal sehingga hasil labnya ACTH rendah dan Kortisol rendah.
Namun bisa juga kelainannya di kelenjar adrenal. Hipotalamus sudah berhasil CRH
mamacu pengeluaran ACTH dari kelenjar pituitari dan sudah sampai kelenjar adrenal
namun terjadi insufisiensi di kelenjar adrenalnya disebut primary adrenal insuffisiensi.
Karena tidak bisa memproduksi kortisol padahal sudah dipacu sehingga hasil labnya
ACTH tinggi dan Kortisol rendah.

-Eksaserbasi penyakit addison (insufisiensi adenal kronis) – sering dipicu oleh stress
yang ekstrim atau kegagalan regimen obat (steroid) dosis kecil jangka panjang.
-Stress fisiologis akut : trauma (kecelakaan/olahraga berat), pembedahan, infeksi
berat
-Perdarahan adrenal bilateral (sindrom Waterhouse-Friderichen)  perdarahan pada
kelenjar adrenal secara akut biasanya kelainan genetik
-Adrenalektomi atau hipofisektomi
-Stres psikologis yang ekstrem

B. Siapakah yang terkena adrenal insufficiency?


 Pasien yang kelenjar adrenalinnya berhenti memproduksi steroid sebagai
akibat dari:
• Pemberian steroid jangka panjang

71
23:
•Masalah kelenjar pituitari, termasuk defisiensi hormon pertumbuhan,
tumor, dll.
• Trauma, termasuk trauma kepala yang mempengaruhi hipofisis
• Hilangnya sirkulasi darah ke adrenal / pengangkatan jaringan
• Penyakit autoimun
• Kanker dan penyakit lainnya (TB dan HIV)
 Ada juga bentuk insufisiensi adrenal kongenital (CAH)

C. Gangguan Reaktivitas Dari Vaskular


Harusnya otot vaskuler pada fungsi normal kalau kita mengalami stress akan menjadi
vasokonstriksi karena pacuan epinefrin. Pada individu yang menderita insufisiensi
adrenal jika mengalami stres fisiologi, otot polos vaskular akan menjadi tidak
responsif terhadap efek norepinefrin dan epinefrin, yang mengakibatkan vasodilatasi
dan bocor kapiler. Efeknya jika dilatasi akan drop tensinya, terjadi shock, krna lebar
jalannya, isinya menjadi ukurang.
Pasien akan tidak dapat mempertahankan tekanan darah  hipotensi
Pembuluh darah tidak dapat merespon stress dan akhirnya akan kolaps  syok

Energy Metabolism
 Pada individu yang mengalami insufisensi adrenalin  tekanan fisiologis yang
meningkat,  hepar (yang berfungsi sebagai suber metabolisme cadangan
yaitu glukoneogenesis) tidak dapat memetabolisme karbohidrat dengan baik
 gula darah sangat rendah yang sulit dinaikkan tanpa pemberian kortisol
pengganti.

D. Patofisiologi Adrenal Crisis


 Krisis adrenal dikaitkan dengan produksi yang tidak memadai hormon
glukokortikoid (kortisol) dan mineralokortikoid (aldosteron).
 Hormon adrenokortikal diperlukan untuk menjaga keseimbangan glukosa,
natrium, dan cairan normal dalam tubuh.
 Defisiensi aldosteron menyebabkan hilangnya natrium dan air di urin dengan
cepat sehingga menyebabkan hiponatremia berat dan hipovolemia.
 Akibat hiponatremia  hiperkalemia (karena natrium terbuang, kalium akan
keluar dari sel) dan asidosis metabolik sering terjadi.

Patofisiologi
 Hipovolemia dipicu oleh defisiensi glukokortikoid sebagai akibat dari
penurunan tonus vaskular dan penurunan respons vaskular terhadap
katacholamine yang bersirkulasi (epinefrin & norepinefrin). Aldosteron

72
23:
memicu pengeluaran H2O dan pengeluaran natrium yang berlebihan, kondisi
ini memperparah ipovolemik sehingga cepat menjadi shock.
 Penurunan kortisol dengan cepat mengarah ke hipoglikemia karena tubuh
tidak mampu mempertahankan kadar glukosa darah akibat gangguan
metabolisme glukosa di hepar.
 Tanpa terapi yang tepat  hipotensi berat, hipoglikemia berat, koma, dan
kematian akan terjadi.

Ingat pada Krisis Adrenal ada Defisiensi pada 3 S:


 Sodium (Natrium) dan Air
 Sugar (glucose)
 Steroid (terutama cortisol & aldosterone)
Sehingga terapi nya harus segera mengganti hormon kortisol pada kondisi krisis
adrenal, bukan menambah natrium atau glukosa. Karena semua di awali dari
disfungsi dari produksi kortisol dan aldosteron.

Kortisol memicu penurunan fungsi liver  menyebabkan terjadi hipoglikemi.


Penurunan fungsi lambung  memicu mula muntah, penurunan volume cairan.
Aldosteron menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan natrium, kekurangan cairan
menjadi shock, natrium yang hilang memicu kalium keluar banyak memicu

73
23:
hiperkalemi menyebabkan aritmia jantung, drop tekanan darah, shock. Maka dari itu
penangan yang tepat pada krisis adrenal ini sangat penting.

E. Manifestasi Klinis Adrenal Crisis


 Hipotension (hipotensi postural)
 Confusion
 Kelemahan otot
 Fatigue, lethargy
 Tachycardia
 Penurunan urin output
 Nausea, vomiting, diarrhea
 Nyeri perut
 Penurunan BB
 Hiperthermia
 Hipoglikemi
 hiponatremi

F. Diagnostic Tests
 Serum electrolyte levels
 Kadar glucose darah
 Darah rutin
 X ray studies
 Computed tomography
 MRI  untuk mencari kausa-kausa dapat menggunakan ini

G. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Adrenal Crisis


 Laboratorium: hiponatremia (<137 mEq/L), hyperkalemia (>5 mEq/L),
penurunan serum glucose (<80 mg/L), penurunan serum cortisol (<15 mcg/dl)
& aldosterone levels, hypercalcemia
 ECG: tanda hyperkalemia (Tall T waves, QRS lebar, pemanjangan PR interval,
flattened atau absent gelombang p, possible asystole)

H. Terapi Adrenal Crisis


 Identifikasi dan terapi kausa
 Resusitasi cairan
 Resusitasi cairan menjadi salah satu terapi utama
 D5 (utk hipoglikemi) + Normal Saline (utk hiponatremi) adalah pilihan
jenis cairan yang diberikan
74
23:
 Volume expanders (koloid) diberikan jika hypotension tidak membaik
Terapi utama :
 Glucocorticoid Replacement
 Segera berikan IV bolus Hydrocortisone, diikuti dengan maintenance
doses setiap 6 - 8 jam
 Mineralocorticoid Replacement:
 Tidak diperlukan karena efek mineralocorticoid dari hydrocortisone
 Jika kondisi emergency bisa diberikan fludrocortisone
 Glucose Replacement
 Diberikan Cairan Dextrose IV, tetapi awalnya bisa diberikan Dextrose
40% bolus pelan
 Natrium Replacement
 Cukup dengan pemberian NaCl ciran IV, tidak perlu dengan pemberian
secara progresif yang lebih tinggi, namun bisa need NaHCO3 initially
 Koreksi Natrium imbalance akan mendorong K+ kembali dalam
keseimbangan yang normal
 Vasopressors
 Ineffective untuk terapi awal
 Respon terhadap vasopressors, catecholamines, dan inotropic agents
MENURUN pada pasien dengan adrenal crisis
 Jika tensi drop kemudian diberikan obat-obatan vasopressor tidak
akan berespon. Karena vaskular reaktiv nya sangat menurun. Sehingga
ciri khas krisis adrenal, jika tensi drop lalu diberikan norepinefrin drip
namun tensi tidak naik-naik maka fikirkan kalau ini krisis adrenal.

Alhamdulillah
Belajar dari mulai Ayunan sampai Liang Lahat

75
23:
KEGAWATDARURATAN PADA ANAK
M. BAMBANG EDI SUSYANTO

Apakah anak sakit? Haruskah kita mulai melakukan penanganan kegawatan? Pada
setiap anak yang datang ke IGD kita harus menentukan apakah terdapat kegawatdaruratan
atau tidak. Jika ada kita harus melakukan penanganan terlebih dahulu sebelum penanganan
causanya. Di beberapa negara, Setting pre- hospital :
 10% - 13% pasien anak dalam ambulan transpot
 Europe & UK : dari seluruh kecelakaan dan kegawatan 25-30% usia anak
Kondisi kegawatan --> stabilisasi pasien harus dilakukan sebelum diagnosis pasti.
Essential --> tool untuk initial assesment segera dan mengindentifikasi problem(alat yang
digunakan untuk penilain awal segera dan untuk identifikasi problem utama si anak baik
penyebab, causa dan diagnosisnya).

A. TATA LAKSANA
1. ATASI GEJALA / TANDA BAHAYA
2. ATASI KAUSA / RUJUKAN
Contoh kasus :
Jika anak mengalami dehidrasi berat, selesaikan terlebih dahulu dehidrasinya karena
dehidrasi termasuk tanda kegawatdaruratan. Jika terjadi kejang atasi terlebih dahulu
kejangnya dengan diberikan diazepam,cari causa lalu obati causanya, jika tidak
menemukan kausanya setidaknya kegawatdaruratan sudah ditangani guna meringankan
beban sejawat yang akan menerima rujukan.
Dalam MTBS (Managemen Terpadu Balita Sakit) terdapat beberapa tanda bahaya umum
yang harus diperhatikan, diatasi dan ditindaklanjuti dengan rawat inap. Beberapa tanda
bahaya umum yaitu :
 MEMUNTAHKAN SEMUA, masuk kriteria jika :

76
23:
1. Muntah setiap makan/minum (profuse)
2. Volume muntah = volume yang dimakan/diminum
 KEJANG
Pada anak dibedakan menjadi kejang dengan demam /kejang tanpa demam
atasi kejang dahulu. Secara umum pengobatan kejang yaitu di beri diazepam, bisa di
berikan secara suppositoria maupun yang suntik. Dosis tergantung berat badan, jika
berat 12 kg gunakan 10 mg, jika berat <12kg diberikan 5 mg. Jika sudah mendapatkan
suppositoria, saat tiba di UGD sebaiknya langsung diberikan injeksi intravena secara
pelan-pelan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg bb. Jika ingin mengetahui penyebabnya
harus dibedakan dahulu dengan kejang demam/kejang tanpa demam. Kejang dengan
demam harus dibedakan dengan infeksi SSP. Kejang demam bisa kompleks atau
sederhana dan relatif ringan, sedangkan infeksi SSP ada meningitis dan
meningoensefalitis. Jika kejang tanpa demam maka paling banyak terjadi epilepsi
dengan syarat sudah terjadi berulang dan tidak ada penyebab lain. Jika kejang
berlangsung lama bisa berbahaya.
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung 30 menit/ lebih, atau
serangkaian kejang yang total durasinya 30 menit/ lebih dan diantara kejang tidak
terjadi fase pulih sadar baik disertai demam/tidak. Setelah status epileptikus sudah
ditangani, baru kita mencari penyebabnya apakah dari infeksi SSP, kejang demam
kompleks yang memanjang jika kejang lama dan ada demam, atau kejang tanpa
demam yang berarti epilepsi yang serangannya berkepanjangan menjadi status
epileptikus. Perlu diperhatikan bahwa pemberian fenitoin injeksi/fenobarbital injeksi
tidak perlu menunggu sudah terdiagnosis status epileptikus, tetapi diberikan setelah
kondisi anak tidak membaik dengan diazepam supposituria maksimal 5 menit, lalu
diteruskan diazepam injeksi maksimal 5 menit. Jika belum baik baru diperbolehkan
pemberian fenitoin/ fenobarbital IV untuk segera memberantas kejang sehingga
kejang tidak berlanjut menajdi status epileptikus.
 PENURUNAN KESADARAN
Penurunan kesadaran bisa terjadi karena syok, koma/ ensefalopati. Sedangkan
koma bisa terjadi karena hipoglikemi, hiperglikemi, hipoksia atau sebab yang lain.
Secara umum jika ada penurunan kesadaran, segera berikan oksigen, cari akses
intravena dan pasang jalur intravena untuk pemberian gula/ larutan garam untuk
menurunkan kadar gula dan itu tergantung penyebabnya.

77
23:
 TIDAK MAU MINUM
Tidak mau minum masuk dalam daftar tanda bahaya umum karena bisa jadi ada
infeksi berat(sepsis) disebabkan karena penurunan kesaradan, atau karena dehidrasi
berat, dalam penyebab lain anak mengalami trismus karena otot wajah kaku
(tetanus). tidak mau minum memberikan resiko dehidrasi pada anak.
 SESAK NAPAS DAN NAPAS CEPAT
Sesak napas ditandai dengan retraksi dada sedangkan napas cepat ditandai
dengan respirasi rate/ laju napas di atas angka rata-rata anak pada usia yang sama.
Perhatikan laju napas normal sesuai usia, bisa di cek di buku MTBS. Saat sesak napas
perhatikan apakah ada retraksi dinding dada, jika ada berarti menunjukkan bahwa
anak harus melakukan usah pernapasan yang lebih besar/work of breathing. Lalu ada
juga NAPAS MENGANGGUK-ANGGUK = DISTRES RESPIRASI sehingga harus segara
mendapat pertolongan.
Napas cepat/ retraksi banyak di jumpai pasa pasien pneumonia/ asma
berat/asma dengan serangan berat dengan ancaman gagal napas. Untuk
pertolongan pertama : berikan antibiotik dosis pertama dengan dosis untuk
pneumonia, jika pneumonia berat berikan injeksi IV berikan dodsis pertama lalu
rujuk, untuk asma dibedakan menjadi 3 serangan yaitu asma ringan-sedang, asam
serangan berat dan asma serangan berat dengan ancaman gagal napas dan asma
tidak dalam serangan. Pneumonia bisa disebabkan virus, bakteri dan jamur. Untuk
virus contohnya COVID-19.

B. TOOL UNTUK PENILAIAN KEGAWATAN ANAK


 ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure)
 PAT (Pediatric Assessment Triangle)
 Suatu tool untuk penilaian cepat
 Hanya menggunakan penglihatan dan pendengaran
 Tidak membutuhkan alat
 Tidak memerlukan waktu lama (30-60 detik)

78
23:
 Sangat berguna untuk identifikasi anak yang memerlukan penanganan lebih urgen

Pada gambar segitiga :


1. Appearance
 Menggambarkan adekuatnya ventilasi, oksigenasi, perfusi otak, keseimbangan
tubuh dan fungsi sistem saraf pusat
 TICLES
 Tone
 Interaction
 Consolability
 Look/Gaze
 Speech/Crying

Karakteristik Appearance: The “Tickles”

79
23:

2. Karakteristik pernapasan (Breathing)

3. Karakteristik Sirkulasi Kulit

80
23:

WHY the ABCDE approach?


 Pendekatan secara sistematis pada setiap pasien
 Mengenal kondisi yang mengancam jiwa lebih awal
 Melakukan intervensi pertama pada kondisi yang paling kritis
 Pendekatan ABCDE dapat cepat dilakukan pada pasien yang stabil

1. AIRWAY

 Pastikan airway paten dan mampu dipertahankan dengan posisi atau dg suction
 Bila respon suara pasien normal --> airway paten
 Respon suara abnormal (stridor, peningkatan upaya napas) --> tanda obstruksi
parsial
 Pernapasan paradox atau see-saw sign --> obstruksi komplit
 Penurunan kesadaran dapat mengakibatkan obstruksi parsial maupun komplit
Managemen airway

81
23:
 Open Airway manuever : head tilt and chin lift, jaw thrust
 Cek patensi airway : darah, muntahan, benda asing di mulut --> bersihkan
 Berikan alat-alat penyangga jalan napas untuk menjamin patensi jalan napas : OPA,
NPA, LMA, intubasi

2. Breathing

 Apakah posisi anak terkulai? Atau posisi tripod ?


 Apakah dipergunakan otot-otot bantu napas (head bobbing pada bayi)?
 Apakah pergerakan dinding dada minimal
 Adakah retraksi? Adakah napas cuping hidung?
 Apakah frekuensi napas cepat, lambat atau normal?
 Adakah sianosis?
 Berapakah SpO2?
 Apakah pergerakan aliran udara terdengar dengan stetoskop? Adakah suara napas

abnormal (wheezing, ronki)

Nilai normal RR menurut usia

82
23:
BATASAN TAKIPNEA MENURUT MTBS

Umur < 2 bulan : > 60 kali

Umur 2 – 11 bulan : > 50 kali

Umur 1 – 5 tahun : > 40 kali

Umur > 5 tahun : > 30 kali

Managemen
 Pada semua pasien dengan kesulitan bernapas --> oksigen masker (high flow
oksigen)
 SpO2 > 94%
 Tanda gagal napas --> Ventilasi Mekanis Non-Invasive atau Invasive

3. Circulation

 Apakah warna kulit normal atau pucat atau motled?


 Apakah ditemukan peningkatan frekuensi napas tanpa peningkatan WOB?
 Apakah akral teraba dingin?
 Apakah frekuensi nadi normal, cepat atau lambat?
 Apakah nadi teraba kuat atau lemah?
 Apakah CRT normal atau memanjang > 2 detik?
 Apakah Tekanan Darah normal atau rendah?

83
23:

Nilai normal Heart Rate dan Blood Pressure

 Takikardi merupakan tanda awal hipoksia dan perfusi yang buruk, dapat juga
akibat demam, gelisah, nyeri
 Bradikardi (nadi < 60 x/menit) --> perfusi miokardium buruk
 Kualitas nadi menggambarkan kecukupan perfusi perifer
 Nadi sentral (femoral atau karotis) teraba lemah --> syok dekompensasi
 Nadi perifer sulit ditemukan, teraba lemah atau irreguler --> perfusi perifer buruk
--> syok
 Low BP --> syok fase lanjut

Management
 Nadi < 60 x/menit tanpa sign of circulation (pernapasan normal, batuk,
pergerakan) --> CPR
 Syok :
 Oksigenasi high flow
 Pasang akses vaskuler : IV atau IO
 Resusitasi cairan – obat vasoaktif

84
23:

4. Disability
 Tentukan derajat kesadaran
 AVPU (Alert- respon to Verbal- respon to Pain-Unresponsive)
 Pediatric Glasgow Scale (second option)
 Evaluasi brainstem dg melihat respon masing-masing pupil terhadap rangsang
cahaya (Normal : pupil konstriksi)
 Evaluasi aktifitas motorik --> dengan melihat gerakan simetris ektrimitas, kejang,
postur atau flacidity

85
23:
Kegawatdaruratan Obsgin

Oleh : dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG


Editor : Sisilia

Penyebab langsung kematian maternal (kematian ibu hamil) dapat disebabkan oleh
beberapa hal, namun penyebab utama adalah perdarahan, eklamsia dan infeksi.

Kasus Kegawatdaruratan dalam Obstetri tidak hanya


meliputi ibu tetapi juga mengenai bayi seperti fetal
distress dan ginekologi.

OBSTETRI GINEKOLOGI
- Perdarahan - Torsi Kista
antepartum - Kehamilan
- Perdarahan Ektopik
postpartum Terganggu
- Preeklampsia
- Syok septik
- Emboli air ketuban
- Prolaps tali pusat
- Fetal distress

I. PERDARAHAN ANTEPARTUM
Perdarahan antepartum adalah perdarahan vaginal pada usia kehamilan > 28 minggu

86
23:
Evaluasi/ manajemen perdarahan ante partum, dilihat algoritme dibawah:

 Lihat apakah ada nyeri apa tidak  jika iya berarti solusio plasenta
 Apakah ada lender darah?  pasien dalam persalinan
 Jika perdarahan banyak  resusitasi dan lakukan SC
 Onset perdarahan seperti apa? Apakah langsung setelah pecah ketuban? 
vasa previa

 Jika serviks inflamasi  diikuti keputihan dan leukorea  lakukan kultur

A. Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen
bawah rahim yang dapat menutupi seluruh atau sebaagian ostium uteri interna.
Klasifikasi plasenta previa terdiri dari : totalis, parsialis, marginalis dan letak rendah

87
23:
Saat terjadi plasenta previa dilihat perdarahan apakah sedikit (<250 cc) atau banyak
(>500cc). lalu dilihat usia kehamilan apakah bisa ditunggu atau SC, lihat algoritme
dibawah:

B. Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta dari
implantasinya. Biasanya nyeri, dan darah kehitaman.Klasifikasi solusio plasenta :
perdarahan terlihat dan perdarahan tersembunyi. Manajemen solusio plasenta dilihat
dari bayi apakah hidup atau tidak:
o Jika bayi hidup  lalu nilai status bayi  lihat apakah bisa lahir normal atau
tidak  jika ada kontraindikasi lakukan SC
o Jika bayi meninggal  dapat dilakukan lahir normal atau jika ibu tidak stabil
atau plasenta previsa  lakukan SC

88
23:
II. PERDARAHAN POST PARTUM
Perdarahan post partum dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Post Partum
Primer adalah perdarahan >500 ml yang terjadi dalam waktu 24 jam pasca persalinan
Post partum sekunder adalah perdarahan abnormal yang terjadi setelah 24 jam
pasca persalinan sampai berakhirnya masa nifas.

4T
 TONE : atonia uterus
 TISSUE : retensi sisa plasenta, inversion uterus
 TRAUMA : laserasi jalan lahir, rupture uterus
 TROMBIN : koagulopati

A. Pengelolaan Umum PPP (Perdarahan Post Partum)


o Selalu siapkan tindakan gawat darurat
o Tata laksana persalinan kala III secara aktif
o Minta pertolongan pada petugas lain untuk membantu bila dimungkinkan
o Lakukan penilaian cepat keadaan umum ibu meliputi kesadaran nadi, tekanan
darah, pernafasan dan suhu
o Jika terdapat syok lakukan segera penanganan (resusitasi cairan)
o Periksa kandung kemih, bila penuh kosongkan
o Cari penyebab perdarahan dan lakukan pemeriksaan untuk menentukan
penyebab perdarahan

89
23:
SYOK HIPOVOLEMIK

B. Penilaian Klinis Penyebab PPP

90
23:
C. Prinsip Umum dalam Merujuk Kegawatdaruratan Obstetrik
- Pasien harus dalam keadaan stabil
- Lakukan penanganan pernafasan dan pembebasan jalan nafas, pemberian
oksigen
- Kontrol perdarahan
- Kontrol nyeri (mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri)
- Pemberian cairan infuse intravena dan transfusi darah  paling penting
- Pemberian obat-obatan (antibiotika, analgetika dan toksoid tetanus)
- Sertakan surat pengantar & kronologis pasien
- Sertakan keluarga / penentu keputusan dan pendonor

D. Penentuan dan Penanganan Syok Hemoragik


Bila curiga perdarahan hebat sebagai penyebab, lakukan :
- Hentikan perdarahan secara berurutan
- Oksitosin, masase uterus, kompresi bimanual, kompresi aorta, persiapan
pembedahan
- Segera transfuse jika Hb <8 gr%  darah segar
- Tentukan sebab perdarahan  cek 4T
- Nilai ulang keadaan ibu  20-30 menit setelah pemberian cairan
Tanda -tanda kondisi pasien membaik atau stabil :
- TD mulai naik, sistolik sampao 100 mmHg
- Denyut jantung stabil
- Kondisi mental membaik
- Produksi urin minimal 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam

91
23:
E. Manajemen PPP
- Lakukan
assessment awal
dan manajemen
seperti resusitasi,
cari penyebab
dan tes lab

- Terapi sesuai
penyebab

- Jika sudah
diterapi tidak
terjadi perbaikan
 bisa dirujuk,
pemberian
transfuse darah

- Operasi 
memperbaiki
laserasi, ligasi
pembuluh darah
dan pilihan
terakhir adalah
histerektomi

F. Manajemen Atonia Uterus

92
23:

Manajemen lain dalam atonia uterus adalah pemasangan kondom kateter. Kateter
dimasukkan kondom lalu diikat dan dipasang cairan dengan set infus.
Selain itu dapat dilakukan B-lynch suture  dilakukan dikamar operasi  jika tidak
berhasil pilihan terakhir adalah histerektomi

93
23:
G. Monitoring

III. PRE EKLAMPSIA


Pre eclampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
proteinuria. Dengan gejala seperti : peningkatan TD, peningkatan BB, proteinuria,
nyeri perut, wajah bengkak, dapat berakhir kejang.
Klasifikasi dari pre eclampsia adalah :

Pre eclampsia ringan Pre eclampsia berat

- Tekanan darah > 140/90 - Tekanan darah > 160/110


- Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > - Proteinuria > 5 gram/24 jam atau 4+
1+

94
23:

95
23:
A. Patofisiologi dan Perubahan Multiorgan

96
23:
B. HELLP Syndrome
HELLP syndrome adalah variasi dari pre eclampsia berat disertai trombositopenia,
hemolisis dan gangguan fungsi hepar
H = Hemolisis
EL = Elevated liver enzyme (peningkatan enzyme hepar seperti SGOT/SGPT)
LP = Low platelet (menurunnya trombosit)

C. Manajemen Umum PE/ Eklampsia


- PE ringan dianjurkan untuk mengendalikan TD dan istirahat, jika tidak
terkendali masuk ke algoritme PE berat
- PE berat diberikan MgSO4 untuk mencegah terjadi kejang dan harus di rawat
inap
- PE berat jika terjadi HELLP sindrom, gawat janin harus segera terminasi.
- PE berat dengan usia kehamilan <37 minggu dapat diberikan steroid untuk
pematangan lalu dilakukan terminasi, jika >37 langsung terminasi

97
23:
- Eklampsia  berikan MgSO4 dan turunkan tensi  harus terminasi dalam 6
jam
- Hipertensi kronik  HT tanpa proteinuria  cari penyebabnya  kendalikan
TD dengan goal 140-90  jika terkendali tunggu sampai aterm, namun jika
tidak terminasi

98
23:

Pemberian aspirin untuk pencegahan PE  diberikan jika ada Riwayat PE dikehamilan


sebelumnya  diberikan pada usia kehamilan 16 minggu

99
23:
D. Penanganan Umum
- Berikan antihipertensi (metildopa, nifedipin) agar diastolik di antara 90 -100
mmHg.
- Berikan anti konvulsan
- Pasang infuse RL dengan jarum besar (No 16 atau lebih)
- Balance cairan, jangan sampai overload
- Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria
- Jika jumlah urin <30ml per jam: Infuse cairan dipertahankan, pantau
kemungkinan edema paru
- observasi tanda-tanda vital, refleks dan DJJ setiap jam
- Bila ada tanda-tanda edema paru berikan diuretic  furosemid
- Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside (winner test) Jika
pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit  koagulopati

IV. EKLAMPSIA
A. Penanganan Kejang
 Berikan obat antikonvulsan (Sulfat Magnesicus)
 Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, masker O2, O2)
 Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
 Aspirasi mulut dan tenggorokan
 Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi trendelenburg untuk mengurangi
risiko aspirasi
 Beri O2 4-6 liter/menit

B. Pemberian Antikovulsan (MgSO4)


 Dosis awal
o MgSO4 4 g IV sebagai larutan 20% selama 5 menit  lanjut 1
gram/jam
o MgSO4 (40%) 8 gram IM  lanjut 4 gram/6 jam IM

100
23:
o Lanjutkan sampai 24 jam pasca persalinan atau kejang terakhir
 Sebelum pemberian MgSO4, periksa:
o Frekuensi pernafasan minimal 16x/menit
o Refleks patella (+)
o Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir
o Siapkan antidotum  Ca Glukonas 10%
o Jika terjadi henti nafas  ventilator, beri kalsium glukonat 2g
(20ml dalam larutan 10%) IV perlahan-lahan

C. Pemberian Antihipertensi
Obat pilihan adalah hidralazin yang diberikan 5 mg IV pelan - pelan selama 5
menit sampai tekanan darah turun  dapat diulang setiap jam atau 12,5mg IV
setiap 2 jam (tidak ada di Indonesia)
Alternative lain:
- TD > 160/110 : Nifedipin 5mg sublingual. Jika respons tak baik setelah 10
menit beri tambahan 5 mg sublingual
- Maintenance: Metildopa 2-3 x 250 mg. Goal nya adalah <20% dari tensi awal

101
23:

D. Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika: terdapat oliguri (<400ml/24 jam),
terdapat sindrom HELLP, koma berlanjut lebih dari 24 jam sesudah kejang

V. SEPSIS – SYOK SEPTIK


Adalah suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh lepasnya
toksin. Sebagian besar disebabkan bakteri gram negatif (E.Coli, Pseudomonas
Aeruginosa, Klebsiela), dapat juga disebabkan oleh bakteri gram positif, virus, atau
jamur.

Penyebab Obstetrik :
- Abortus septik
- Ketuban pecah lama/korioamnionitis
- Infeksi pasca persalinan
- Trauma
- Sisa plasenta
- Sepsis puerperalis
- Pielonefritis akuta

102
23:

A. Klinis Syok Septik


WARM SHOCK COLD SHOCK

Hiperventilasi, napas cepat, febris, Hipotensi, menggigil, ekstremitas dingin,


leukopeni, hipotensi, oliguri, ekstremitas sianotik, pooling cairan, hemokonsentrasi
hangat (darah kental, sehingga perlu diperiksa
hematokrit), nausea, vomitus, melena,
oliguria/anuria. Pada keadaan ini, terjadi
pooling cairan (cairan dimana-mana).

103
23:
B. Tahap Sepsis

C. Penanganan/Manajemen Syok Sepsis


Penanganan fungsi sirkulasi Eradikasi Infeksi Koreksi cairan
dan oksigenasi dan elektrolit
- Penggantian - Antibiotika sesuai
kehilangan darah kultur  diberikan
dengan darah segar, antibiotic spektrum
luas terlebih dahulu
- kristaloid atau koloid
- Terapi operatif :
- Kortikosteroid
evakuasi dengan
- Beta adrenergik vakum, evakuasi
stimulan digital atau
- Oksigen jika ada histerektomi
gangguan nafas
- Aminofilin untuk
menghilangkan
bronkospasmus

104
23:

PENTING DIPERHATIKAN SAAT MANAJEMEN SYOK SEPTIK :


- Pantaulah tanda-tanda vital, harus diperhatikan kondisi pasien bisa berubah
setiap secara mendadak
- Bebaskan jalan nafas, jangan berikan makanan atau cairan ke dalam mulut
pasien, karena sewaktu-waktu bis muntah dan terjadi aspirasi
- Miringkan kepala dan badan pasien ke samping sehingga bila muntah tidak
sampai terjadi aspirasi
- Oksigen tidak perlu bila penderita stabil dan kecil risiko mengalami syok
septic, Apabila kondisi menjadi tidak stabil dan oksigen tersedia, berikan
dalam kecepatan 6-8 liter/menit
- Jaga agar kondisi badan tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya
dan dapat memperberat syok

PEMBERIAN CAIRAN INTRAVENA


- Cairan intravena diberikan apabila kondisi tidak stabil
- Banyaknya cairan yang diberikan harus hati- hati, bila telah melebihi 4:1
sebaiknya dipasang CVP (N=8-12 cm H20)

105
23:
- Awasi tanda kelebihan cairan: pembengkakan, nafas pendek, pipi bengkak,
apabila terjadi pemberian cairan dihentikan
- Diuretika bila terjadi udem paru yaitu 40mg/IV furosemide

PEMBERIAN ANTIBIOTIK
- Antibiotik diberikan apabila terdapat infeksi
- Antibiotic profilaksis dimaksudkan untuk mencegah infeksi pada kasus tanpa
tanda-tanda dan gejala infeksi
- Pemberian antibiotika IV lebih diutamakan
- Pilihlah antibiotika spectrum luas yang efektif terhadap kuman gram negative,
gram positif, anaerobic dan klamidia.
- Antibiotika diteruskan sampai ibu 48 jam bebas demam
- Antibiotika untuk kehamilan/persalinan dengan janin hidup adalah
penisilin,ampisilin,sefalosporin dan eritromisin

PEMERIKSAAN DARAH DAN


URIN
- Periksa Hb, hematokrit
sekaligus gol.darah dan
cross match
- Px. Darah lengkap
- Periksa kemungkinan DIC
- Serum laktat dehidrogenase
meningkat pada asidosis
metabolic
- Kultur darah diperlukan
untk mengetahui jenis
kuman
- Analisis gas darah
- Pemeriksaan urin  dalam kondisi syok produksi urin sedikit bahkan tidak
ada, sedangkan berat jenis urin meningkat lebih dari 1.020

106
23:
VI. EMBOLI AIR KETUBAN
Insidensi 1/80.000 persalinan dengan mortality rate : 86%, namun kasus sangat
jarang

A. Tanda dan Gejala Emboli Air Ketuban


Tanda dari emboli air ketuban adalah  hipotensi, sessak nafas, dan fetal distress

107
23:
B. Terapi

VII. FETAL DISTRESS


Diagnosis fetal distress akut antara lain :
- Terdapat abnormalitas denyut jantung
fetus
- Early stage tachycardia >160
x/menit, saat hipoksia berat
<110x/menit
- CST menunjukkan deselerasi
lambat dan deselerasi variabel
- DJJ <100 x/menit, dengan
deselerasi lambat yang sering
menunjukkan hipoksia berat 
dapat terjadi kematian intrauterus

108
23:
A. Gambaran DJJ Fetal Distress
- Ada ketuban meconium
- Takikardia dengan kehilangan variabilitas
- Bradikardi memanjang <90x/menit
- Deselerasi lambat
- Deselerasi variabel berat
- DJJ <70x/ menit
- Deselerasi persisten >1 menit

Gambaran DJJ di cek setelah kontraksi, normalnya DJJ akan naik, namun jika
terjadi penurunan atau tidak terjadi peningkatan DJJ  deselerasi lambat.

B. Manajemen Fetal Distress


AKTIF KONSERVATIF
- Segera perbaiki sirkulasi darah - Stop pacuan
dan oksigenasi
- Tidur miring  miring kiri
- Segera dilahirkan:
- Oksigenasi ibu

109
23:
Jika kala II dilakukan Vakum
EkstraksI
Jika belum masuk kala II :
Seksio sesaria

110
23:
VIII. PROLAPS TALI PUSAT
Prolaps tali pusat adalah tali pusat duluan dari bagian terbawah janin

IX. TORSI KISTA


Torsi kista terjadi saat kista ovarii melintir sehingga terjadi hambatan aliran darah dan
nyeri hebat

111
23:
X. Kehamilan Ektopik Terganggu
Merupakan kehamilan diluar uterus paling sering di tuba falopi. Trias KET
adalah amenore, perdarahan nyeri perut. Perdarahan di vaginal sedikit
tapi cepat syok karena perdarahan intrabadominal

112
23:
KONSEP ICU DAN PERAWATAN INTENSIF
DOSEN: dr. Yosy Budi Setiawan, Sp. An
ED:   

I. ICU
A. SEJARAH
 Pada tahun 1920 – 1930: dikenal ruang ICU  pasien pasca tindakan operasi
(untuk pasien operasi besar dan butuh perawatan ketat)  recovery room
 Pada tahun 1940 – 1950: ICU terus berlanjut, dibutuhkan karena ada wabah
 “Poliomyelitis” di Skandavia, kasus dengan kelumpuhan pernafasan 
memerlukan alat bantu nafas (Intermitten Positive Pressure Ventilation—
IPPV)
 Pada tahun 1970: mulai berkembang tidak hanya kasus di atas
B. DEFINISI
 Ruangan Intensif Care Unit (ICU) merupakan sebuah ruangan khusus untuk
merawat pasien yang mengalami keadaan kritis/life threatening
 Instalasi pelayanan spesialis/khusus untuk pasien yang sedang mengalami
keadaan yang mengancam jiwanya dan membutuhkan pelayanan yang
komprehensif dan pemantauan terus-menerus. Terdapat bed side monitor 
untuk mendeteksi tanda vital beat by beat.
 Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
ICU di rumah sakit  ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit yang mengancam jiwa atau potensial
mengancam jiwa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversible
(Kemenkes RI, 2010)  harapan hidup yang lebih tinggi
 Dubia ad malam: prognosis/kesembuhan pasien jelek
 Dubia ad bonam: prognosis/kesembuhan pasien baik

II. TATALAKSANA PELAYANAN ICU


A. TUJUAN PELAYANAN ICU
1. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kematian atau cacat
2. Menerima rujukan dari level yang lebih rendah & melakukan rujukan ke level
yang lebih tinggi  ICU dibagi menjadi beberapa level berupa primer,
sekunder, tersier

113
113
23:
3. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien  pasien yang
masuk ICU mengalami kegagalan organ
4. Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses
penyembuhan pasien

B. RUANG LINGKUP PELAYANAN ICU


Sekarang ICU memiliki departemen sendiri. Di dalam departemen terdapat
berbagai macam pelayanan yaitu dokter intensivis, perawat intensivis, ahli gizi, ahli
farmasi, dan staf-staf lainnya.
1. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang
mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian
2. Memberi bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh  alat ECMO (alat
untuk mengambil alih fungsi paru-paru, biasanya di RS tipe A)
3. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi
yang ditimbulkan  alat-alat berupa bed side monitor invansif dan non-
invasif
4. Memberikan bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat
tergantung pada alat/mesin dan orang lain

C. BIDANG KERJA ICU


1. Pengelolaan pasien langsung
Secara primer oleh dokter intensivis, dengan pendekatan total,
menjadi ketua tim dari berbagai dokter spesialis.
2. Administrasi unit
Memastikan lingkungan menjamin pelayanan yang aman, tepat waktu
dan efektif.
3. Pendidikan, pelatihan dan penelitian
ICU melakukan pendidikan dan pelatihan kepada kepada tenaga medis
dan non medis mengenai hal-hal terkait dengan ICU.

D. INDIKASI PASIEN YANG DIRAWAT DI ICU


1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care 
contoh: pasien gagal jantung  syok cardiogenik yang disebabkan akut
miokard infark  dilakukan pemasangan kateter jantung untuk melebarkan
arteri coronaria
2. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang
konstan dan metode terapi titrasi (obat diberikan secara kontinyu, dengan
jumlah/dosis yang tepat dan jangka waktu yang lama)

114
114
23:
3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis

E. KRITERIA MASUK DAN KELUAR ICU


 INDIKASI MASUK
1) Prioritas 1 (paling tinggi, harus didahuluikan)
Penyakit atau gangguan akut pada organ vital yang memerlukan terapi
intensif dan agresif seperti gangguan atau gagal nafas akut (serangan asma
berat, status asmatikus—penatalaksanaan jalan nafas dengan intubasi 
harus dirawat di ICU), gangguan atau gagal sirkulasi (syok kardiogenik),
gangguan atau kegagalan pada sistem saraf (stroke hemoragik sampai
pasien tidak sadar diri), gangguan atau gagal ginjal.
2) Prioritas 2
Pemantauan intensif pada keadaan yang dapat menimbulkan ancaman
gangguan pada sistem organ vital misal observasi intensif pasca bedah
operasi: post open heart (operasi jantung), post laparatomy dengan
komplikasi, observasi intensif pasca henti jantung dalam keadaan stabil
(ROSC), dan observasi pada pasca bedah dengan penyakit jantung.
3) Prioritas 3
Pasien dalam keadaan sakit kritis dan tidak stabil yang mempunyai
harapan kecil untuk penyembuhan (prognosa jelek) misal pasien tumor Ca
Paru stadium akhir.
 INDIKASI KELUAR
1) Keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil (tidak menggunakan alat
dan obat-obatan support lagi)
2) Pasien/keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ICU (pulang paksa)
3) Pasien mengalami mati batang otak  dilema, pasien dengan MBO dan VS
masih baik karena dibantu alat  harus diskusikan dari berbagai
departemen, dipastikan jika benar MBO
4) Pasien mengalami stadium akhir
5) Pasien lain memerlukan terapi yang lebih gawat mau masuk ICU dan
tempat penuh

F. JENIS ICU
1. ICU KHUSUS  hanya merawat berdasarkan satu sistem organ
o ICCU (Intensive Cardiac Care Unit)
o Respiratory Unit
o Renal Unit
o Burn Unit

115
115
23:
2. ICU UMUM
o ICU dewasa
o PICU (Pediatric Intensive Care Unit)
o NICU (Neonatal Intensive Care Unit)

G. KLASIFIKASI ICU
1. ICU Level 1/Primer (standar minimal)
o Memberikan pelayanan pada pasien yang memerlukan perawatan ketat
(high care). ICU primer mampu melakukan resusitasi jantung paru dan
memberikan ventilasi bantu 24 – 48 jam
o Di RS tipe C
2. ICU Level 2/Sekunder (menengah)
o Mampu melakukan ventilasi bantu lebih lama serta mampu melakukan
bantuan hidup lain, tetapi tidak terlalu kompleks
o Di RS tipe B
3. ICU Level 3/Tersier
o Mampu melaksanakan semua aspek intensif, mampu memberikan
pelayanan tinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multi sistem
yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mampu
melakukan bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskuler
invasif dalam jangka waktu terbatas.
o Di RS tipe A

H. SYARAT-SYARAT RUANG ICU


1. Lokasi ICU dianjurkan satu komplek/berdekatan dengan kamar bedah (ruang
operasi) dan kamar pulih, berdekatan atau mempunyai akses yang mudah ke
unit gawat darurat, laboratorium dan radiologi.
2. Suhu ruangan diusahakan 22 – 25oC
3. Ruangan tertutup & tidak terkontaminasi dari luar
4. Tempat tidur harus yang beroda dan dapat diubah dengan segala posisi
5. Tempat dokter & perawat harus sedemikian rupa sehingga mudah untuk
mengobservasi pasien

I.MODEL PELAYANAN ICU


1. OPEN – Model  pasien yang masuk ke ICU boleh dari semua departemen
ilmu.
2. CLOSSED – Model  ICU memiliki penanggungjawab yaitu DPJP, seorang
intensivis (tidak harus dari spesialis anestesi, boleh spesialis lain). Ketika ada
pasien  harus persetujuan dari DPJP.
3. SEMI-CLOSSED – Model  dokter pasien dan DPJP saling bekerjasama,
kombinasi open dan clossed model. Statusnya RAWAT BERSAMA (paling
116
116
23:
banyak diterapkan di Indonesia). Membutuhkan komunikasi yang baik,
biasanya diperantarai oleh perawat.

J. KETENAGAAN ICU

K. PERALATAN DASAR ICU


 Ventilasi mekanik
 Alat ventilasi manual dan penunjang jalan nafas
 Alat hisap
 Peralatan akses vaskuler

117
117
23:
 Peralatan monitor invasiv dan non invasif
 Defibrilitator dan alat pacu jantung
 Alat pengatur suhu pasien
 Peralatan drain thorax
 Pompa infus dan pompa syringe
 Peralatan portable untuk transportasi
 Tempat tidur khusus
 Lampu untuk tindakan
 Continous Renal Replacement therapy
 Roentgent mobile (tambahan)

118
118
23:

Luas minimal setiap bed adalah 20 – 30 m2. Nurse station tidak boleh terhalang oleh
apapun dan harus menghadap ke semua bed dengan jelas, dilengkapi monitor.

119
119
23:

Ruang isolasi harus ada di ICU untuk menangani pasien dengan penyakit infeksius,
sifatnya air borne disease, penyakit tetanus (jika cahaya terlalu terang akan memicu kejang).
Ruangan yang disebut air lock untuk mencegah kontak secara langsung udara di sekitarnya.

CATATAN:
ICU COVID-19: dibedakan dengan ICU non COVID-19. Persyaratan ruangan berbeda:
ruangan di ICU COVID-19 harus negatif pressure (udara tidak akan keluar dari ruangan,
menggunakan alat penyedot yang cukup kuat yaitu HEPA filter yang menyaring bakteri atau
virus agar bisa disterilisasi), prinsip-prinsip protokol kesehatan (APD level 3, resusitasi
maksimal 3 orang—kompresor, airway, sirkulasi, tidak boleh diganti-ganti dengan orang
luar).

120
120
23:
DIFABEL DAN HANDICAP

Dokter : dr. Titiek


Editor : ral
Layouter :

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah ikut ditandatangani oleh
Indonesia mengamanahkan Negara untuk mengambil kebijakan yang diperlukan untuk
menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yang sensitif
gender, termasuk rehabilitasi Kesehatan.
Disabilities' bukan merupakan kecacatan semata namun merupakan hasil interaksi dari
keterbatasan yang dialami seseorang dengan lingkungannya, bukan hanya fisik atau jiwa,
namun merupakan fenomena multi dimensi yang terdiri dari fungsi tubuh, keterbatasan
aktivitas, hambatan partisipasi dan faktor lingkungan.
Penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan ketika berhadapan dengan berbagai
hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektivitas mereka dalam
masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.

I. DISABILITAS
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa
upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga
agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.
Seiring meningkatnya populasi lanjut usia, jumlah penyandang disabilitas ikut
meningkat bila penyakit kronis juga meningkat.

Latar belakang timbulnya disabilitas:


 Masalah Kesehatan yang timbul sejak lahir
 Penyakit kronis, degeneratif, maupun akut
 Cedera yang diakibatkan oleh kecelakaan, perang, kerusuhan, bencana, dll
Aspek domain yang dinilai meliputi afeksi, kognisi, relasi interpersonal, mobilitas,
rasa sakit, tidur dan tenaga, perawatan diri, dan penglihatan. Adapun skornya
dapat dilihat di bawah ini:
 Skor komposit berkisar antara 0-100 (0 = tidak ada disabilitas, 100 = disabilitas
lengkap)
 Skor ambang 40 digunakan untuk menghitung prevalensi penyandang
disabilitas, yaitu orang yang mengalami kesulitan signifikan dalam keseharian

121
121
23:
 Skor ambang 50 untuk menghitung prevalensi orang yang mengalami
kesulitan yang sangat signifikan

World Health Survey 2002-2004 menerangkan bahwa pada 59 negara, prevalensi


rata-rata orang berusia 18 tahun atau lebih yang mengalami kesulitan signifikan
dalam keseharian sebesar 15,6% (sekitar 650 juta dari 4,2 milyar orang). Berkisar
antara 11,8% di negara berpendapatan tinggi sampai dengan 18% di negara
berpendapatan rendah. Sedangkan prevalensi rata-rata orang yang mengalami
kesulitan sangat signifikan sebesar 2,2% ( sekitar 92 juta orang di tahun 2004).
Di semua negara, prevalensi pada kelompok berisiko tinggi seperti perempuan,
orang miskin dan lanjut usia lebih tinggi, dan prevalensi lebih tinggi pada negara
berkembang atau berpendapatan rendah. Misalnya prevalensi disabilitas pada
usia 60 tahun atau lebih di negara berpendapatan rendah sebesar 43,4%
sedangkan di negara berpendapatan tinggi sebesar 29,5%.
Kajian Global Burden of Disease juga menganalisis penyebab utama disabilitas.
Hasil analisis didapatkan bahwa kehilangan pendengaran dan gangguan refraksi
merupakan penyebab disabilitas terbanyak. Gangguan mental seperti depresi,
penyalahgunaan alkohol dan psikosis seperti gangguan bipolar dan schizophrenia
juga merupakan 20 penyebab terbanyak.

A. JENIS DIFABEL
1. Mental
a. Mental tinggi
b. Mental rendah
c. Berkesulitan belajar
2. Fisik
a. Kelainan tubuh
b. Kelainan panca indera

B. PENYEBAB DIFABEL
1. Bawaan lahir
2. Kecelakaan
3. Trauma spesifik

122
122
23:

C. DIFABEL DALAM PANDANGAN ISLAM


Pada dasarnya semua manusia diciptakan Allah fi ahsani taqwim (dalam
bentuk sempurna). Manusia adalah karya agung (masterpiece) Allah. Beda
dengan makluk lain, Allah menyediakan akal budi dalam diri manusia agar ia
sebagai khalifah-Nya bisa mengemban amanah membangun peradaban di
bumi. Allah telah menganugerahkan pada manusia kemampuan untuk
membedakan kebaikan dan keburukan.

Allah Subhanahuwata’ala menciptakan manusia tak seragam. Setiap manusia


yang hadir ke bumi adalah unik. Yang satu bukan foto copy dari yang lain.
Manusia lahir membawa kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Secara
ruhani-spiritual, kemampuan manusia juga berbeda. Allah Swt misalnya
menciptakan manusia unggul sebagai pembimbing manusia lain pada jalan
kebenaran. Untuk itu Allah mengangkat para rasul, nabi, dan waliyullah
(kekasih Allah). Secara fisik-jasmani, rangka manusia hakekatnya sama.

Ada hikmah dan rahasia yang kita tidak tahu di balik penciptaan manusia yang
berbeda-beda bentuk fisiknya itu. Tak hanya berbeda secara fisik-jasmani,
secara intelektual, kemampuan manusia juga berbeda. Yang satu unggul pada
satu bidang, tapi lemah pada bidang lain. Yang satu punya kecerdasan di atas
rata dan yang lain di bawah rata-rata manusia.

Dalam status sosial pun manusia tidak sama, ada yang miskin dan ada yang
kaya, ada yang lemah dan ada yang kuat, ada yang menjadi bawahan dan ada
yang menjadi atasan. Ketidak seragaman manusia bukan tidak disengaja oleh
Allah. Allah menjadikan manusia tidak seragam agar supaya terjadi tolong
menolong dan kerja sama di antara mereka.

Allah Swt mengingatkan agar satu komunitas tak mengolok-olok komunitas


lain. Tegas di nyatakan dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolokolok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolokolok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolokolok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesuah iman dan barang
siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
lalim” (QS. Al-Hujurat: 11)

123
123
23:
Melalui ayat ini Allah melarang kita untuk mencela. Dalam Islam, mencela dan
merendahkan orang lain adalah perbuatan tercela. Boleh jadi yang dicela
kedudukannya lebih tinggi di hadapan Allah daripada yang mencela.
1. Cakap Hukum dan Cakap Bertindak dalam Islam Bagi Difabel
Dalam ushul fikih, dikenal istilah ahliyah (kecapakapan) yang mencakup
ahliyah al-wujub (cakap hukum) dan ahliyyah al-ada’ (cakap bertindak).
Dalam konteks ahliyyah al-wujub, seluruh manusia memilikinya.

Walau tak sempurna (naqish), janin yang ada dalam kandungan ibunya
memilikiahliyyah al-wujub. Begitu juga orang yang mengalami gangguan
kejiwaan (majnun). Mereka bisa menerima hak seperti mendapatkan
warisan, dan lain-lain.

Tidak semua orang memiliki ahliyyah al-ada’ (cakap bertindak) secara


sempurna (tammah). Tak setiap orang pantas menjalankan hukum. Ada
beberapa awaridh (penghalang) yang menyebabkan seseorang kehilangan
ahliyyah al-‘ada. Orang yang mengalami gangguan kejiwaan total dan
terus-menerus tak memiliki ahliyyah al-ada’ sama sekali. Tindakannya tak
menjadi tindakan hukum. Ia tak berkewajiban menjalankan syari’at.
Karena yang menjalankan syari’at itu adalah mukallaf (orang dewasa dan
berakal). Sedangkan orang yang akalnya sempurna dan hanya mengalami
keterbatasan fisik, maka ia terkena kewajiban menjalankan syari’at Islam
sejauh dakwah Islam sampai pada yang bersangkutan.
Difabel netra, difabel tuli, difabel wicara diwajibkan menjalankan syari’at
sesuai kemampuan mereka. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Allah Swt tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya”.
Bahkan, dalam beberapa kasus Allah Swt memberikan rukhshah
(keringanan) bagi penyandang disabilitas-kaum difabel. Allah Swt.
berfirman dalam al-Qur’an:
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang,
dan tidak pula bagi orang yang sakit...” (QS. An-Nur: 61).

2. Kemudahan
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah :185)

124
124
23:
Orang yang buta tidak diwajibkan menghadiri shalat berjamaah, sholat
jumat dan haji bila tidak ada penunjuk jalan baginya. Dia dapat menjadi
muadzin bila seseorang memberitahukan tentang waktu yang benar. Ia
dapat menjadi imam. Dapat menjadi pemimpin politik, bila cacat
penglihatan tidak melemahkan kepemimpinannya. Dia tidak dapat
menjadi hakim karena tidak dapat melihat para saksi dan cara menindak
mereka.

Orang tuli diharuskan menghadiri shalat jumat, bila orang lain mendengar
adzan dan memberitahunya. Dia tidak diwajibkan menjawab salam.Tidak
dapat menjadi saksi yang membutuhkan pendengaran.

"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia


telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka janganlah
berobat dengan perkara yang haram."
(H.R Abu Dawud No:3372)
Dan berdasarkan hadits Usamah bin Syarik Radhiyallahu 'Anhu ia
berkata: "Seorang Arab badui bertanya: "Wahai Rasulullah, bolehkah
kita berobat?"
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit
yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!" Para sahabat bertanya:
"Penyakit apa itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Pikun."
(H.R At-Tirmidzi IV/383 No:1961 dan berkata: "Hadits ini hasan
shahih." Dan diriwayatkan juga dalam Shahih Al-Jami' No:2930.)
Ibnul Qayyim berkata: "Dalam hadits-hadits shahih telah disebutkan
perintah berobat, dan berobat tidaklah melupakan tawakkal. Tidak akan
sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani usaha yang telah
dijadikan Allah sebagai sebab musabab terjadi suatu takdir. Bahkan
meninggalkan ikhtiyar dapat merusak hakikat tawakkal. Karena orang yang
meninggalkan ikhtiyar mengira bahwa tindakannya itu menambah kuat
tawakkalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan ikhtiyar merupakan
kelemahan yang menafikan tawakkal. Tawakkal ini harus disertai dengan
ikhtiyar, jikalau tidak berarti ia telah menafikan hikmah dan perintah Allah.
Janganlah seorang hamba itu menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal
dan jangan pula menjadikan tawakkal sebagai kelemahannya.
3. Kisah Sikap Rasulullah Kepada Kaum Difabel
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengangkat harkat dan martabat
kaum difabel dan menghapus kesedihan ataupun penderitaan yang
mereka alami.Beliau selalu mengingatkan bahwa sesungguhnnya Allah
tidak melihat tubuh dan rupa manusia, melainkan melihat hati mereka.

125
125
23:
Rasulullah benar-benar hadir sebagai penyejuk mereka yang memiliki
keterbatasan, dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.

Dalam salah satu riwayat diceritakan, bahwa Nabi pernah menunjuk salah
satu sahabat yang bernama Abdullah Bin Ummi Umm Maktum, seorang
tuna netra sebagai muadzin. Abdullah bin Ummi Maktum seorang tuna-
netra yang bergabung bersama orang-orang yang telah memeluk Islam
dan dekat dengan Rasulullah. Meski matanya tak mampu melihat, ia diberi
nikmat besar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Ia memiliki naluri yang
sangat peka untuk mengetahui waktu. Jika menjelang fajar, berbekal
tongkat ia keluar dari rumahnya, menuju masjid dan mengumandangkan
azan di masjid Rasul. Bersama Bilal bin Rabah, Abdullah selalu bergantian
mengumandangkan azan. Bahkan pernah Rasulullah meminta Abdullah
untuk memimpin kota Madinah saat Nabi berada di luar kota. Beliau
meberikan kepercayaan yang luar biasa kepada kaum difabel.

II. KEHARAMAN STIGMA DAN DISKRIMINASI


Bila dilihat dari sudut pandang Islam, manusia yang paling mulia di hadapan Allah
adalah yang paling bertakwa, seperti ditegaskan dalam firman-Nya berikut:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Stigma terhadap penyandang disabilitas sebagai kutukan dan penderitanya adalah


orang-orang yang terkutuk harus segera dihentikan. Sebaliknya kita perlu
menyebarkan pandangan yang positif, yang membuka wawasan masyarakat agar
mau menumbuhkan respek/empati terhadap penyandang disabilitas. Dalam hal
ini, kita harus menghindari prasangka buruk (su’u al-dzann) kepada penyandang
disabilitas. Allah SWT. berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, hindarilah banyak prasangka, karena
sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa”. (QS. Al-Hujurat: 12)

III. CACAT DAN OPERASI KECANTIKAN


Operasi kecantikan adalah operasi yang dilakukan untuk mempercantik bentuk
dan rupa bagian-bagian tubuh lahiriyah seseorang. Kadang kala dilakukan atas
kemauan yang bersangkutan/darurat (terpaksa).

Operasi yang dilakukan karena darurat atau semi darurat adalah operasi yang
terpaksa dilakukan, seperti menghilangkan cacat, menambah atau mengurangi
organ tubuh tertentu yang rusak dan jelek. Melihat pengaruh dan hasilnya,
operasi tersebut sekaligus memperindah bentuk dan rupa tubuh.

126
126
23:

A. CACAT
Cacat ada 2 jenis, yaitu cacat yang merupakan pembawaan dari lahir (al uyub
al khalqiyyah) dan cacat yang timbul akibat sakit yang diderita (al uyub al
thari’ah). Cacat pembawaan dari lahir, misalnya bibir sumbing, bentuk jari-
jemari/kaki, dll.

Cacat akibat sakit misalnya cacat yang timbul akibat penyakit kusta (lepra),
akibat kecelakaan dan luka bakar serta lain sebagainya. Sudah barang tentu
cacat tersebut sangat mengganggu penderita secara fisik maupun psikis.
Dalam kondisi demikian syariat membolehkan si penderita menghilangkan
cacat, memperbaiki atau mengurangi gangguan akibat cacat tersebut melalui
operasi. Sebab cacat tersebut mengganggu si penderita secara fisik maupun
psikis sehingga ia boleh mengambil dispensasi melakukan operasi. Dan juga
karena hal itu sangat dibutuhkan si penderita.

B. OPERASI KECANTIKAN
Setiap operasi yang tergolong sebagai operasi kecantikan yang memang
dibutuhkan guna menghilangkan gangguan, hukumnya mubah/boleh
dilakukan dan tidak termasuk merubah ciptaan Allah. Konsep merubah
ciptaan Allah tentang ciptaan Allah (Ar rum :30) dan hukum Allah yang stabil
(Al Fathir : 43).

Tujuan pembedahan cacat sejak lahir adalah mengembalikan penampilan


normal kembali, guna menghilangkan tekanan psikologis dan rasa malu, serta
untuk memperbaiki kembali fungsi fisiologi. Tujuan ini bukan untuk merubah
fitrah manusia, namun hanya mengembalikan fitrah seperti semula
(mengembalikan tubuh ke dalam keadaan normal).

Operasi plastik yang demikian boleh dilakukan karena bertujuan untuk


mengobati seperti dalam dalil berikut :
“wahai hamba hamba Allah berobatlah kalian, karena
sesungguhnyaAllah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali
menurunkan pula obatnya”. (HR Tirmidzi no 1961).
Dari hadist tersebut dijelaskan hendaknya seseorang yang tertimpa sakit
berusaha berobat agar bisa sehat seperti sedia kala dan tidak terganggu dalam
melakukan berbagai aktivitas. Bahkan dalam kondisi tertentu diperbolehkan
memindahkan atau menghilangkan bagian tubuhnya jika kondisi tersebut
membawa kepada penyakit yang lebih membahayakan atau membahayakan
nyawa, misalnya luka karena suatu penyakit, kanker payudara yang jika tidak
diangkat akan menyebar ke anggota tubuh yang lain.

127
127
23:
Penjelasan Imam An-Nawawi untuk membedakan antara operasi kecantikan
yang dibolehkan dan yang diharamkan:
Hadits Rasulullah :
"Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk
ditatokan, yang mencukur (menipiskan) alis dan yang meminta
dicukur, yang mengikir gigi supaya kelihatan cantik dan merubah
ciptaan Allah." (H.R Muslim No:396)

Imam An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:


1. “Al-Wasyimah” adalah wanita yang mentato, yaitu melukis punggung
telapak tangan, pergelangan tangan, alis, bibir, atau anggota tubuh lainnya
dengan jarum atau sejenisnya hingga mengeluarkan darah lalu dibubuhi
dengan tinta untuk diwarnai. Perbuatan tersebut haram untuk dilakukan.
2. An-naamishah adalah wanita yang menghilangkan/mencukur bulu wajah
3. Al-mutanammishah adalah wanita yang meminta dicukurkan. Perbuatan
ini haram dilakukan, kecuali jika tumbuh jenggot/kumis pada wanita
tersebut, dalam hal ini ia boleh mencukurnya.
4. Al-mutafallijat adalah wanita yang menjarangkan giginya, biasa dilakukan
wanita-wanita tua/dewasa supaya kelihatan muda dan lebih indah karena
jarak renggang antara gigi-gigi tersebut biasa terdapat pada gadis-gadis
kecil. Apabila seorang wanita sudah beranjak tua giginya akan membesar,
sehingga ia menggunakan kikir untuk mengecilkan bentuk giginya supaya
lebih indah. Perbuatan tersebut jelas haram dilakukan dan Tindakan itu
juga termasuk merubah ciptaan Allah, pemalsuan dan penipuan.
5. Hal-hal yang menipu dilarang, yaitu : memakai rambut palsu, mewarnai
rambut untuk menyembunyikan umur dan rekonstruksi hymenal.
Suatu permasalahan yang perlu disinggung di sini ialah para ahli medis,
operasi kecantikan tersebut biasanya tidak membedakan antara kebutuhan
yang menimbulkan bahaya dengan kebutuhan yang tidak menimbulkan
bahaya. Yang menjadi interest mereka hanyalah mencari keuntungan materi,
dan memberi kepuasan kepada pasien dan pengikut hawa nafsu, materialis
dan penyeru kebebasan. Karena tidak ada kebutuhan yang darurat untuk
melakukan hal itu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk merobah dan
mempermainkan ciptaan Allah sesuai dengan hawa nafsu dan syahwat
manusia.
Operasi kecantikan yang mengandung unsur penipuan dan pemalsuan. Injeksi
dengan zat-zat yang diambil secara haram dari janin yang gugur, yang mana
perbuatan tersebut merupakan kejahatan serius, dan efek samping serta
mudharat lainnya yang timbul. Mereka beranggapan setiap orang bebas
melakukan apa saja terhadap tubuhnya sendiri yaitu hanya ingin
mempercantik diri dan merubah ciptaan Allah.

128
128
23:
Hakikatnya jasad manusia adalah milik Allah, Dia-lah yang menetapkan
ketentuan-ketentuan berkenaan dengannya sekehendak-Nya. Allah telah
menjelaskan kepada kita metoda-metoda yang telah diikrarkan Iblis untuk
menyesatkan bani Adam, di antaranya adalah firman Allah:
"Dan aku akan suruh mereka (merobah ciptaan Allah), lalu mereka
benar-benar merobahnya." (Q:S 4:119)
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik baiknya.” (QS At Tin : 4)

IV. IZIN KHUSUS DALAM NASH


A. KHITAN

B. MELUBANGI TELINGA WANITA

129
129
23:

C. PERBAIKAN DARI AIB YANG MEMALUKAN


Mengubah ciptaan Allah pada tubuh kita ini asalkan niatnya untuk mengubah
aib yang memalukan tentu hukumnya tidak dilarang. Misalnya, ada punya
bibir sumbing, baik karena bawaan lahir atau karena kecelakaan. Tentu orang
yang berpenampilan sumbing ini sangat tertekan dalam pergaulan. Maka
syariat Islam tidak melarang bila orang sumbing ini dioperasi sedemikian rupa,
agar aibnya itu hilang. Sebab bibir sumbing itu bukan sesuatu yang wajib
diterima dengan pasrah. Kalau masih bisa diperbaiki, tentu tidak ada
larangannya.

D. MEMBUAT ANGGOTA TUBUH PALSU


Ketika ada orang mengalami patah kaki sehingga tidak bisa berjalan kecuali
dengan tongkat, maka tidak ada larangan bagi untuk membuat kaki palsu.
Tentu kaki palsu akan sangat bermanfaat, agar dia bisa berjalan sebagaimana
umumya orang normal. Membuat kaki palsu ini tentu tidak termasuk larangan
karena dianggap telah mengubah ciptaan Allah. Justru sebaliknya, hukumnya
sangat baik dan dianjurkan, karena prinsipnya membantu orang yang cacat.
Begitu juga menambahkan alat bantu dengar bagi mereka yang punya
kelainan dalam pendengaran, tentu hukumnya tidak dimasukkan dalam
larangan mengubah ciptaan Allah.

E. DOKTER-PASIEN CACAT

130
130
23:
KEGAWATDARURATAN
UROLOGI
Dr. Prahara Yuri, Sp.U
Editor : Cika

Uww terharu banget ya, kita dah bisa sampe tahap ini temen-temen sejawat. Mungkin, ini
dah MISC terakhir yang di edit .. *sad effect sound
Bagi pembaca setia MISC semoga nih ya, kalian-kalian dapat menyerap ilmunya sampe
profunda dan dibawa sampe KOAS, dan jadi dokter seutuhnya,. Aamiin..
Mohon maaf dari kami sebagai team MISC apabila masih banyak kurangnya, yah karena
kesempurnaan hanya milik Allah bund.. okok kita belajar max untuk blok ini, jangan lupa
baca doa.. berdoa dimulai… Aamminn  sukses guis..
KLASIFIKASI
1. Non-Traumatik 2. Traumatik
• Hematuria • Trauma Ginjal
• Kolik Renal • Trauma Ureter
• Retensi Urin • Trauma Buli-Buli
• Akut Skrotum • Trauma Urethra
• Paraphimosis • Trauma Penis
• Priapismus • Trauma Testis
• Fournier Gangren

A. NON-TRAUMATIK
1. HEMATURIA, bisa ditanyakan
apakah ada :
a. Inisial (Awal Miksi)
 Urethra
b. Total (Seluruh Proses Miksi)
 Buli-buli
 Ureter
 Ginjal
c. Terminal (Akhir miksi)
 Leher buli-buli

131
23:
Jenis Hematuria
- Ada yang bisa dilihat (makro-hematuria) dan pemeriksaan urinalisis (mikro-

hematuria)
Work Up
• Anamnesis -> Riwayat Pasien
- Kalau tumor buli  gross hematuria, tidak nyeri.
- Hematuria  intermitten. Kalau kasus pyelonephritis  radang pada ginjal
 disertai demam
• Pemeriksaan Fisik (Status Lokalis Urologi)
- Terdiri dari : region flank (ada bulging, nyeri tekan, nyeri ketok), regio
suprapubik (sama kek flank), region genital externa (diliat mulai dari penis-
skrotum)
• Pemeriksaan Urinalisis
• Pemeriksaan Darah
- Darah lengkap  liat Hb (turun/naik)
• Pemeriksaan USG  lihat kelianan apa yg ditimbulkan
• Pemeriksaan IVP  hematuria
• Pemeriksaan Sistoskopi, atau Sisto-Uretero-renoskopi

2. KOLIK RENAL
• Nyeri pinggang hebat dan tajam yang datangnya mendadak, hilang-timbul
(intermitten) yang terjadi akibat spasme otot polos (yg berongga) untuk
melawan suatu hambatan pada gerak peristaltic.

132
23:
Penyebab
• Batu
• Bekuan darah
• Debris yang berasal dari ginjal dan turun ke ureter.

Gambar atas : liat referred pain, ureter  pinggang – kemaluan. Tergantung dari
lokasi ureternya. Ureter bisa dibagi 3 dan 2. Kalau yang dibagi 3 : proksimal, medial,
distal. Kalau bagi 2 : proksimal dan distal. Guys baca blok 2 lagi yak hehe, buar recall
juga. Perempuan nyeri pinggang kanan, dd nya dari hepar, kandung empedu liat ada
batu empedu ada gak.. kalau nyeri pinggang tumpul bisa infeksi, cholesistisis,
pankreatitis, ulkus duodenum, appendicitis, chron disease, divertikulus pada colon.
Jadi dd nya bisa semua ya guys,,

Work Up

 Anamnesis -> Riwayat Pasien


- Kalau dari hepar  hepatitis, abses hepar. Kandung empedu 
cholelitiasis, cholesistitis, choledolitiasis, dll.
 Pemeriksaan Fisik (Status Lokalis Urologi)
- Nyeri kolik renal  nyeri ketok +
 Pemeriksaan Urinalisis
 Pemeriksaan Darah
 Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
 Pemeriksaan USG
 Pemeriksaan BNO-IVP
 Pemeriksaan MSCT Tanpa Kontras gold standar

Sebagai bahan bacaan : mengapa IVP tidak dapat dilakukan pada pasien
kolik renal?dicari ya guys

133
23:

1) Batu Ginjal
• Ukuran batu <0.5cm diharapkan dapat ekspulsi, biasanya kalau baunya kecil kecil
malah nyeri dan kalau besar enggak.
• Pemberian Analgetik : NSAID
• Pemberian cairan secara IV biasanya pasiendengan mual muntah
• Pemberian MET (Medical expulsion therapy), apasih yang dilakukan pada MET
ini.. dicari lagi ya guys
• Dapat dilakukan PCNL / URS / ESWL  utk pemecahan batu dan tergantung
ukuran dan posisi batu.
• Bahan bacaan : obat nyeri apa yang diberikan, minumnya berapa liter yang diberi
ke pasien, obay yang dikasi apa?

2) Batu Ureter
• Pemberian Analgetik : NSAID
• Pemberian cairan secara IV
• Dapat dilakukan URS / ESWL tergantung ukuran dan posisi batu

134
23:

3. RETENSI URIN
 Retensi urine adalah ketidak mampuan seseorang
untuk mengeluarkan urine yang terkumpul di dalam buli hingga kapasitas maksimal
buli terlampaui dan disertai rasa nyeri. Beda ya, nyeri karena urin, nyeri karna
infeksi, dan nyeri karna anuria. Nyeri suprapubik tapi tidak retensi, malah nyeri
karna infeksi nah itu tidak perlu dipasang kateter. Simple nya ya bund, Retensi urin
: urinnya ada tapi tidak bisa dikeluarkan. Anuri : urinnya yang tidak ada. Infeksi :
urinnya ada tapi gak retensi tapi gejala nyeri ada.

Penyebab Retenti Urin

1) Inisial Management
• Kateter Urethra
• Kateter Suprapubik

135
23:
• Nah pemasangan kateter tuh yang diperhatiin : inisial urinnya/volume.. berapa
urin yang keluar  untuk menentukan dia retensi urin akut atau kronik dan juga
warnanya apakah merah, kuning pekat, kuning aja.
2) Late Management
Sesuai Underlying disease :
 batu di meatus uretra eksternum atau meatal stenosis -> Meatotomi
 Fimosis atau parafimosis -> Sirkumsisi atau Dorsumsisi

5. AKUT SKROTUM

• Torsion of Spermatic Cord


• Torsion of the Appendix testis golden period 4 jam, jadi harus segera
• Torsion of the appendix epididymis
• Edpididymitis
• Epidymo-orchitis
• Inguinal Hernia
• Communicating hydrocele
• Hydrocele
• Hydrocele of the cord
• Trauma/insect bite
• Dermatologic lesions
• Inflammatory vasculitis
• Idiophatic scrotal edema
• Tumor
• Spermatocele

136
23:
• Varicocele
• Nonurogenitale

1) Torsio Testis
• Keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir sehingga terjadi gangguan
vaskularisasi dari testis yang dapat berakibat terjadinya gangguan aliran darah
dari pada testis dan nyeri.

a. Anamnesis
 Timbul mendadak, nyeri hebat dan pembengkakan skrotum.
 sakit perut hebat, kadang mual dan muntah.
 nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal.

b. Px. Fisik
 Inspeksi testis bengkak, terjadi retraksi testis ke arah kranial, karena
funikulus spermatikus terpuntir dan memendek, testis pada sisi yang
terkena lebih tinggi dan lebih horizontal jika dibandingkan testis sisi yang
sehat. Normalnya : testis kanan lebih tinggi daripada yang kiri.
 Palpasi teraba lilitan / penebalan funikulus spermatikus
 Pemeriksaan fisik yang paling sensitive pada torsio testis adalah hilangnya
reflex kremaster. Refleks kremaster dilakukan dengan menggores atau
mencubit paha bagian medial, menyebabkan kontraksi musculus
cremaster yang akan mengangkat testis. Refleks kremaster dikatakan
positif bila testis bergerak ke arah atas minimal 0.5 cm.
 Pada torsio appendix testis, teraba adanya nodul keras berdiameter 2-3
mm di ujung atas testis, dapat tampak berwarna kebiruan, yang dikenal
dengan “blue dot sign”.
 Prehn’s sign negative mengindikasikan nyeri tidak berkurang dengan
pengangkatan testis dapat menunjukkan adanya torsio testis, merupakan
operasi CITO dan harus dikoreksi dalam 6 jam. Literature terbaru 4 jam
kata dokternya.

137
23:
 Kalau pasien orchitis : diangkat testisnya malah nyerinya berkurang, dan
merasa nyaman. Kalau torsio diangkat gak berkurang nyerinya.

Sudut pada gambar diatas : angle sign

2) Epididymo-Orchitid Acute masih bisa ditunda


 Infeksi pada epididimis. Kalau ada fasilitas usg dopler, itu di gunakan terlebih
dahuku ya.
 Nyeri saat BAK disertai demam
 Pembengkankan pada skrotum disertai nyeri tekan, dan penebalan epididimis
 Pada pemeriksaan urin ditemukan : Pyuria, bakteriuria, atau urin kurtul positif
(bakteri gram negatif)
 Bed rest untuk 1-3 hari. Kalau pasien merasakan nyeri, dipakein celana dalam
yang ketat  utk menopang testisnya dan rasa nyaman.
 Posisi skrotum ditinggikan (memakai scrotal support)
 Terapi parentel antibiotik

138
23:

6. PARAPHIMOSIS
 Preputium penis yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat
dikembalikan pada keadaan semula dan timbul jeratan pada penis belakang
sulkus koronarius
 Dapat menyebabkan gangguan aliran balik vena superfisial sedangkan aliran
arteri tetap berjalan normal.
 Dapat menyebabkan edema pada glans dan nyeri, bila terlalu lama terjadi
dapat menyebabkan nekrosis glans penis

Tindakan
 Memijat glans selama 3-5 menit diharapkan edema berkurang dan secara
perlahan preputium dikembalikan pada tempatnya
 Dorsum insisi pada jeratan dapat dilakukan apabila tindakan sebelumnya tidak
berhasil

7. PRIAPISMUS
 Ereksi penis berkepanjangan tanpa diikuti dengan hasrat seksual dan disertai
dengan rasa nyeri.
Klasifikasi

139
23:

Rekomendasi Tatalaksana Priapismus Iskemik

140
23:

Bisa ditusuk pake abocath paling gede ke corpus cavernosum (winter procedur) 
utk ngeuarin darahnya.  baru dirujuk.

Rekomendasi Tatalaksana Priapismus Arterial

8. FOURNIER GANGREN
• Adalah Fasitis Nekrotikan dari perineum dan genitalia
• Awal infeksi bisa dari urogenital, anorectal, kulit, atau retroperitoneal
• Infeksi disertai nanah, di sekitar skrotum, kulit penis, perineum, disertai bau
busuk, krepitasi, warna kulit mengkilat kehitaman, rambut pubis rontok,

141
23:

Terapi Dan Manajemen


• Resusitasi yang meliputi rehidrasi, transfusi darah, koreksi elektrolit, terapi
antibiotik yang bersifat broadspectrum dan mampu mengatasi kuman anaerob,
oksigenasi, dan analgetik yang memadai
• Terapi pembedahan meliputi debridement semua jaringan yang mengalami
nekrosis

A. TRAUMATIK
1. TRAUMA GINJAL, curiga trauma ginjal?
 Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian
atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu
 Hematuria
 Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
 Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
 Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
lalu lintas.

142
23:

Derajat Dan Klasifikasi

143
23:

• OBSERVASI  bila paien masih stabil.

144
23:
Bahan bacaan lagi bund : indikasi pasien di observasi? Apa indikasi ct-scan pada
trauma ginjal ?

• OPERASI
Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement,
reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus
dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang
sangat berat.

2. TRAUMA URETER
 Cedera ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera traktus
urogenitalia. Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari luar yaitu trauma tumpul
maupun trauma tajam, atau trauma iatrogenic pada pelvis.

145
23:

Tatalaksana
 Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter tergantung pada saat cedera
ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi ureter.
Tindakan yang dikerjakan mungkin:
a. Ureter saling disambungkan (anastomosis end to end)
b. Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari,
atau Psoas hitch)
c. Uretero-kutaneostomi
d. Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang
lain)
e. Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefrektomi.

146
23:

3. TRAUMA BULI
 Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-
buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat
sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah
berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-
buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek
dindingnya.
 Tapi kalo fraktur pelvis belum tentu dia trauma buli-buli. Jadi trauma buli-buli
harus diperiksa pelvisnya.
 Bisa karena proses tumpul cideranya akibat perubahan gaya akselerasi dan
dekselerasi, atau robek akibat fragmen tulang yang menciderai pada buli-buli.

Klasifikasi
 Kontusio Buli
 Cedera Ekstraperitoneal  pasang kateter, biarkan VU kosong  nanti akan
menutup sendiri 7-10 hari.
 Cedera Intraperitoneal  ekplorasi

Tatalaksana
• Kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli.
• Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari
robekan pada bui-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain.

147
23:
• Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)
dianjurkan untuk memasang kateter selama 7 – 10 hari, tetapi sebagian ahli lain
menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter
sistostomi

4. TRAUMA URETHRA
 Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma
uretra posterior

• Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).


Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
memanjang

148
23:
• Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranasea, sedangkan
diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi
kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.
• Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal
ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga di
bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum
• Khasnya prostat posterior : prostat melayang (high riding prostat)

Tatalaksana Trauma Urethra Posterior


• Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk
diversi urine.

149
23:
• Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic
realigment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui
tuntunan uretroskopi.

Tatalaksana Trauma Urethra Anterior  khasnya : butterfly hematom. Terjadi


struddle injury  trauma pars bulbosa
 Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4 - 6
bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan.
 Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi
untuk mengalihkan aliran urine. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2
minggu, dan dilepas setelah diyakinkan mela lui pemeriksaanuretrografi
bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra.
Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
 Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk
mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.

5. TRAUMA PENIS
 Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam,
terkena mesin pabrik, ruptur tunika albuguinea, atau strangulasi penis
a. Fraktur Penis
 Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis yang
terjadi pada saat penis dalam keadaan ereksi

150
23:
 Untuk mengetahui letak ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto
kavernosografi yaitu memasukkan kontras ke dalam korpus kavernosum dan
kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika
albuginea.
 Eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkuminsisi, kemudian dilakukan evakuasi
hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika albuginea
 Bisa terjadi karena ereksi maksimal, hubungan seksual, dll.

b. Strangulasi Penis
 Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan
gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan
penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis.
 Terjadi pada pasien yang masukkan penis dalam botol aqua, masukkan dalam
cincin, dll

c. Hematocele
 Disebabkan oleh rupur salah satu dari pembuluh darah pada tunika yang
menyebabkan perdarahan
 Sering terjadi karena aspirasi dari hidroke
 Ini terjadi biasnaya pada trauma pada anak-anak nih kalp lagi bermain
biasanya tendang-tendangan dan kalo kena selangkanyan bisa hematokel.
 Nyeri/bengkak/hematom/testis tidak teraba : disebabkan oleh hematoma
 Diagnosis : Ultrasound skrotum untuk menentukan viabilitas
 Tatalaksana : eksplorasi skrotum

151
23:

Alhamdulillahh ya bund.
Jangan lupa nih nyari bahan bacaan tadi, mohon maaf editor gak bisa nyariin
karena trouble jaringan saat mengeditt …
Nih kalian bisa searching bahan bacaan : urology association guidlines dan ikatan
ahli urologi Indonesia.



TERIMAKASIH

152
23:
Trauma Thoraks dan Trauma Vaskular
dr. Nicko Rachmanio, Sp.B

A. TRAUMA THORAX
1. Tujuan
- Diagnose
- Manajemen awal (resusitasi)
2. Anamnesa
Riwayat Trauma ??
- Onset
- Mekanisme trauma
- Hal yang memberatkan/meringankan
3. Manajemen Trauma

4. Inspeksi
- Jejas (hematom), Vulnus, Benda asing  deskripsikan bentuk, ukuran,
letaknya dimana
- Simetris atau tidak, ketinggalan gerak (+/-) sisi mana, pernafasan paradoksal
(+/-)
- Retraksi sela iga
- Respiration rate (RR) : dihitung berapa kali per menit
- Peningkatan JVP (+/-)
- Deviasi trakhea ke sisi kontralateral dari bagian yang terkena trauma
5. Perkusi
- Posisi pasien ½ duduk atau duduk bila tidak nyeri  tau cairan dimana/ darah
Deskripsi :
- Redup (cairan/massa/darah)
- Sonor(normal)
- Hipersonor (udara)
- Batas kelainan pada hemithoraks sisi mana dan setinggi spatium
intercosalis (SIC) berapa

153
23:
6. Palpasi
- Krepitasi
- Emfisema subkutis (seperti meraba kertas)
- Fraktur  nyeri (+)

Tracheobronchial injury, udara masuk subcutis, visceral dan parietal yang


menempel ke dada. Mencari jaringan yg lebih longgar subcutis  emphysema
 moon face

7. Auskultasi
- Trauma 
- Suara dasar vasikuler
menurun atau tidak
- Rhonki (+/-) 
Kontusio pulmonum
- tension pneumothorax
(ventil)

154
23:
a. DIAGNOSIS PNEUMOTHORAKX
o Trauma (+)
o Sesak nafas : RESPIRASI MENINGKAT
o Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi : RR ↑
Distensi vena leher (-)  belum tension
Deviasi trakea (-)  pneumothorax simple
Perkusi : hipersonor pada sisi yang trauma
Auskultasi : suara nafas (-) pada sisi yang trauma
pneumothorax

A: airway (trachea ditengah) B :


breathing (corakan paru kolaps di
tepi masih mengembang) C:
costophrenicus (sudut tampak) ada
cairan atau tidak D: fracture tulang
iga.

Colaps,paru kontralateral tertekan ke


mediastinum , vena cava inferior
akan tertekan, pressure naik 
tertekan karena tidak ada aliran yang
ke atas, JVP meningkat  vena
melebar (distensi vena leher)

155
23:
b. Manajemen Tension Pneumothorakx
• Needle Thorakosintesis
 Mengubah tension menjadi non tension (Life saving)

• Pemberian Oksigen
• Analgetik
• Posisikan pasien ½ duduk

Linea midclavicular SIC 2 antara costa 2 dan costa 3


Margo superior costa 3 TEGAK LURUS

c. Prosedu Needle THorakosintesis


No Prosedur
1 Informed consent (disebutkan secara lisan)
2 Menyiapkan alat :
- Kassa
- Abocath no. 14
- Alkohol/Povidon Iodine
- Spuit 10 cc
- NaCl 0,9%
3 Menggunakan Handschoon

156
23:
4 Menggunakan masker
5 Menggunakan kacamata
6 Abocath dihubungkan dengan spuit berisi NaCl

7 Membuka pakaian/selimut yang menutupi area dada korban

8 Disinfektan menggunakan alkohol/povidon iodine

9 Meraba SIC II (cekungan kedua inferior dari clavicula)

10 Menentukan garis midclavicula dengan benar (pertengahan


antara shoulder dan sternum)
11 Insersi Abocath tegak lurus dinding dada pada SIC II, garis
midclavicula, margo superior costae III

12 Insersi dengan menarik spuit, sampai muncul bubble

13 Melepas spuit , mendengarkan ada aliran udara keluar dari


abocath
14 Melepas jarum abocath
d. Terapi Definiitif
- Chest Tube Thorakostomi / WSD  Ahli bedah (24 jam)
- Evaluasi :
- Klinis
- Produk WSD : bubble atau buih (belum terjadi penutupan spontan dari
pneumothorax)
- Radiologis (konfirmasi pneumothorax)

- Defek pada dinding dada > trakhea


OPEN PNEUMOTHORAX

Udara masuk melalui defek


Tekanan didalam rongga pleura = tekanan atmosfir

157
23:
a. Diagnosa open pneumothorax
- Riwayat trauma (+)
- Nyeri, sesak nafas, jejas (+)
- Pemeriksaan Fisik :
* Inspeksi : Jejas (+)
* Auskultasi :Suara nafas (-)
* Perkusi : hipersonor

b. Tindakan life saving

Plester 3 sisi

HEMATOTHORAX
- Terkumpulnya darah di cavum pleura
- Masif  Terkumpulnya darah > 1500 cc atau
- 200 cc / jam dalam waktu 2-4 jam

158
23:
a. Diagnosis hematothorax masif
- Riwayat trauma (+)
- Syok (+)
- Pemeriksaan fisik paru :
* Inspeksi : Jejas (+)
* Auskultasi : Suara nafas (-)
* Perkusi : Redup

b. Tatalaksana
- Atasi Syok
- Chest Tube Thorakostomi ; berapa produksi 200cc dalam 24 jam  thorakostomy
- Open Thorakotomi : cari sumber perdarahan

FLAIL CHEST
- Fraktur lebih satu kosta (minimal dua) berturut-turut pada dua tempat atau lebih
pada masing-masing kosta
- Fraktur Segmental Costae dengan jarak antar garis fraktur lebih dari jarak dua
costae

Window : jendela

159
23:

a. Diagnosis Flail chest


- Riwayat trauma (+)
- Nyeri
- Gerakan pernafasan abnormal : paradoxical breathing (tekanan tinggi drpd diluar)
- Krepitasi
- Foto Rontgen : CONTUSIO (TERTEKAN TULANG) DIRECT TRAUMA
- DADA NAIK TURUN KANAN KIRI

b. Penanganan
- Tahanan kedalam : posisi recovery (tidur miring kea rah kiri dengan dinding keras)
- Analgetik
- Ventilasi

c. Indikasi penggunaan ventilator secara dini pada flail chest yang disertai
- Syok
- Trauma lain lebih dari 3
- Cidera Kepala Berat
- Penyakit paru yang berat sebelumnya
- Patah tulang iga lebih dari 8
- Usia lebih dari 65 thn.

160
23:
TEMPONADE CORDIS

Pengumpulan darah di dekat jantung

a. Zona Prekordial
- kranial oleh sela iga III kiri
- kaudal oleh arkus kosta kiri
- lateral oleh garis midklavikula kiri
- medial oleh garis parasternal kanan

b. Diagnosis klasik  TRIAS BECK


- Peningkatan tekanan vena
- Penurunan tekanan arteri
- Suara jantung menjauh

c. Prinsip
- PRINSIP : “setiap luka tusuk di area prekordial harus dianggap menembus
jantung sampai terbukti tidak”  setiap luka tusuk di dada anggap aja
temponade
- PITFALL : Menunggu sampai Trias Beck lengkap, sebelum diagnosis ditegakkan
akan menunda perikardiosentesis dan kardiorapi adalah sangat berbahaya dan
dapat berakibat fatal

d. Perikardiosintesis
- Pasien disandarkan pada sandaran dengan sudut 45° sehingga
memungkinkan jantung ke posterior menjauhi dinding thorax.
- Lakukan tindakan aseptic dan anestesi lokal dengan prokain 2% atau xilokain
2%.
- Jarum nomer 18-16 dihubungkan dengan spuit 20-50 ml
- Arahkan jarum ke postero sepalad, membentuk sudut 450 dengan
permukaan dinding dada.
- Tusukan jarum 2-4 cm sampai terasa tahanan lapisan perikard
- Bila jarum pungsi menembus perikard dan kontak dengan otot jantung, akan
timbul elevasi segmen ST (injury) dan ekstra sistol ventrikel
dengan amplitude tinggi. Bila hal ini terjadi, maka jarum pungsi harus
ditarik sedikit dan di arahkan ke tempat lain.

161
23:
TRAUMA VASKULAR

1. Etiologic
- Luka tembak
- Luka tusuk
- Trauma tumpul
- Cedera iatrogenik
a. Prosedur endovascular
b. Pemasangan central line
- Permasalahan trauma vaskuler
c. Perdarahan
d. Iskemik

2. Resusitation
- All life-threatening injuries must take priority over any extremity problems : trauma
di ekstremitas
- Only active extremity hemorrhage controlled by
- Direct pressure : bebat tekan
- Direct clamping of visible vessels as a life saving measure. : clamp vaskular
- Vascular injury must be found and treated within 6 hours to maximize the chance of
limb salvage : golden periode adalah 6 jam

3. Demage Control
A definitive vascular repair should be avoided
- Hemodynamic instability, coagulopathy, acidosis, hypothermia of the patient
Unstable skeleton ketidak stabilitas hemodinamik, koagulopati, asidosis,
hipotermia, unstable skeleton
- Major wound contamination/infection or soft tissue deficits precluding wound
coverage : kontaminasi berat terhadap infeksi dan jaringan tissue
- Requirement for any definitive repair
- Environment with no resources for definitive management : tidak ada SDM
- Other life threatening injuries requiring urgent management : tidak ada ala tyg
memenuhi

4. Pemeriksaan Fisik
Hard sign
- Perdarahan aktif
- Hematom yang membesar (expanding)
- End-organ ischemia  pulseless, palor, paresthesia, pain, paralysis
- thrill + bruit
Soft sign
o Pulsasi yang berkurang
o Defisit neurologis
o Riwayat perdarahan

162
23:
o Shock
o Abnormal ankle-brachial index
o Abnormal flow velocity dari doppler

163
23:

Detecting vascular injury in lower extremity orthopedic trauma: the role of CT Angiorgam

164
23:
ABPI

5. Diagnosis penunjang
- Pulse oxymetry : di jari
- Doppler ultrasound vascular
- CT angiografi
- Arteriografi/angiografi

165
23:

Akurat! Duplex 1st line

• CT angiogram
- CT angiography has excellent sensitivity and specificity combined with fewer
complications compared to conventional arteriography.
- Computed tomography angiography is quickly emerging as a less invasive, more
efficient, and safer alternative to arteriography for the diagnosis and localization of
vascular trauma in an acute lower-extremity injury.

166
23:

6. Komplikasi cedera vaskuler


Delayed diagnosis+treatment
a. Thrombosis
b. Embolization
c. Ruptur+hemorrhage
Risk factor for amputation
d. Compartment synd
e. Arterial transection
f. Open fracture
g. Combination of injuries above and below knee

7. Definitive vascular repair


Definitive repair should be performed provided:
a. Hemodynamic and physiologic stability of patient
b. Stable skeleton
c. Clean wound with adequate viable soft tissue
d. Availability of necessary time and resources
e. No other injuries requiring more urgent management

SIMPULAN
LESI VASCULER, dapat berupa :
– kerusakan pada arteri sendiri
– Kerusakan yang melibatkan vena yang berdekatan
– kerusakan bersamaan dengan sistem muskuloskeletal
DIAGNOSIS KLINIS
– Ditentukan dari pemeriksaan fisik
– Pemeriksaan penunjang
Duplex vasculer sonography 
– a widely available
– Noninvasive
– accurate technique

167
23:
Identifikasi Bencana Masal
Dosen: dr. Dirwan Suryo Soularto, Sp. F., M. Kes
Editor: Aldira
Layouter:

Indonesia secara geografis kurang strategis, akibat adanya pertemuan 3 lempeng bumi yaitu
eurasia, mediterania, australia-indonesia. Selain itu ada di 2 sabuk gunung berapi yang
sangat besar. Bencana alam seperti tsunami atau non alam seperti jatuhnya pesawat terbang
(lalu di Jawa Barat).

I. Identifikasi Korban Bencana (Disaster Victim Identification/DVI)


Merupakan suatu proses pengungkapan jati diri seseorang yang dilakukan oleh
tenaga professional (sesuai kompetensinya). Prinsip identifikasi forensik adalah
membandingkan kesesuaian antara data ante-mortem (sebelum kematian) dan post-mortem
(setelah kematian) dengan menggunakan metode primer dan sekunder. Ilmu yang perlu
dikuatkan adalah bidang anatomi. Data yang kita dapatkan nanti harus dikumpulkan dan
diidentifikasikan.

Identfikasi ini diperlukan karena:

 Pengendalian kekacauan pada masayarakat, terutama pada kondisi psikologis


keluarga korban.
 Perwujudan penegakkan hak asasi manusia untuk hak teridentifikasi.
 Aspek hukum terhadap ahli waris korban, al asuransi jiwa.

168
23:
 Pencarian pelaku tindak kriminal pada peristiwa tertentu, misal bom bunuh diri.
(Summy Hastri, 2002)

Data yang didapatkan disesuaikan dengan kemungkinan kronologis terjadinya bencana.


Misal, korban bom bunuh diri tidak mesti harus terbakar, bisa saja hanya terpental. Lalu pada
bencana kecelakaan pesawat terbang yang memang sudah terdata siapa saja penumpangnya
sehingga termasuk close disaster. Berbeda kalau pesawatnya jatuh di pasar, korbannya tidak
semua terdata dari awal sehingga termasuk ke open disaster.

A. Lalu bagaimana cara identifikasinya? Ada dua nih:


1. Metode sederhana
Melihat langsung ciri individu (visual, bentuk wajah, tatto), memperhatikan
property (semua yang melekat atau dimiliki korban, spt. baju, jam tangan), kartu
identitas (dokumen), atau membadingkan dengan foto.
2. Metode ilmiah
Dengan teknik ilmu pengetahuan, al: identifikasi medis umum, antropologi
(tulang), odontologi, serologi, rekronstruksi wajah dan superimposed
(membandingkan wajah saat hidup berbasis foto dengan prototype [sketsa
seadanya] daerah tubuh yang diterima dalam bentuk apapun), sidik jari dan sidik
DNA.
Lebih rincinya (yang merah terutama dipelajari banyak-banyak ya):
a. Identifikasi medis umum
b. Identifikasi Tulang
c. Golongan Darah (tidak dijelaskan di sini, tapi bisa keluar di EB)
d. Identifikasi Gigi
e. Identifikasi Serologis

169
23:
f. Rekonstruksi Wajah
g. Psychological Personality Profiling (misal kasus mutilasi, kejahatan seksual
berulang)
h. Pemetaan Sidik Jari DNA (DNA Profiling)
B. Kriteria Teridentifikasi seseorang atas suatu tuduhan, utamanya meliputi:
1. Satu atau lebih ukuran identifikasi primer terbukti dengan atau tanpa data
sekunder. Data Primer: Sidik Jari, Data Gigi dan DNA (salah satu aja udah bisa,
tapi di Indo belum ada data DNA jadi dicarinya manual lewat DNA kerabatnya.
Kekurangan: reagen DNA mahal diperiksa pake PCR, dan tidak 100% semua DNA
cocok dengan ortu-anak).
2. Minimal dua data sekunder ditemukan. Data Sekunder: diluar yg disebut di atas
yaitu data medis, kepemilikan dan fotografi (secara
visual/properti/medik/serologi [goldar]/eksklusi [untuk korban massal]).
C. Fase Identifikasi Korban Bencana
1. Penanganan TKP : pastikan TKP itu teridentifikasi dengan memperkirakan luas
wilayah yang bisa jadi dapat menemukan bukti (termasuk korbannya), tapi dokter
belum banyak terlibat sih. Mendata keseluruhan barang bukti yang ditemukan
(diberi label) agar sesuai untuk pemeriksaan fase selanjutnya.
2. Post Mortem : upaya pemeriksaan jenazah apabila terjadi bencana massal,
dilakukan di ruang jenazah. Dokter banyak terlibat untuk identifikasi berbasis data
primer/sekunder dengan metode sederhana atau ilmiah. Datanya terus
dirangkum, ada tabel list-nya warna pink (itu diliat ya katanya keluar di EB).
3. Ante Mortem : ada tabel list-nya warna kuning. Ada timnya nanti buat
nampung data-data dari kerabat korban lengkap.
4. Rekonsiliasi : rapat bersama antar tim Post Mortem dan tim Ante Mortem
untuk mencocokkan, apakah bener tidak sih itu korbannya atau bukan apalagi
kalo ada lebih dari satu kantong jenazah. Kalau butuh cek DNA silahkan bisa
diambil dari rambut/gigi/dll.
5. Debriefing : berikan laporan hasilnya dan diakhiri dengan evaluasi. Masa
pencarian korban ini ditentukan dengan kesepakatan, tetapi kalau dalam jangka
waktu tertentu emang belum ketemu jenazah korban, maka dikatakan korban
hilang.
D. Mengenali seseorang?
Biasanya hal yang paling mudah itu lihat dari wajahnya (visual), lalu mendengar
suaranya (auditif), ukuran tubuh (antropometri), bentuk tubuh (perawakan). Kalau
belum pasti suatu jenazah adalah kerabat seseorang jangan sembarangan kasih
tunjuk seluruh tubuhnya, tetapi untuk meyakinkan saja tunjukkan suatu bagian yang
benar-benar khas dari kriteria korban menurut kerabatnya itu.

170
23:
Detilnya untuk identifikasi bagi kepentingan komersial, keamanan, dan legal,
bisa menggunakan:
 Foto
 Sidik jari
 Scan iris: data foto iris
 Scan retina
 Biometri
 Tanda tangan
 Tanda lahir
 Tatto
 Dentition

II. Objek Identifikasi


Identifikasi adalah suatu cara untuk mengenal identitas/jati diri seseorang dari
sesuatu yang didapat utuh ataupun sebagian saja, baik itu orang hidup, orang mati, atau
bahan-bahan yang berasal dari tubuh manusia. Pihak berwenang: polisi.
A. Identifikasi pada orang hidup
Contoh kasus:
 Tentara yang lari dari kesatuan
 Pelaku atau korban perkosaan: UU di Indonesia mengatakan kalau korban di
bawah umur mendapat kekerasan seksual, pelaku mendapat hukuman yang
berbeda apabila korban sudah berumur dewasa.
 Bayi tertukar
 Anak hilang
 Orang dewasa yang hilang ingatan
 Penentuan jenis kelamin yang meragukan
 Orang yang mengubah penampilannya
 Olahraga (kelompok umur): peserta lomba renang, dll.

Caranya? Sama aja sih, mulai dilihat dari penampilan umum (TB, BB, kelamin,
umur, wanrna kulit, rambut, mata, dll), sidik jari dan antropometri, jaringan parur,
tattoo, kondisi mental, dll.

B. Identifikasi forensik
Contoh kasus:

171
23:
 Jenazah tak dikenal
 Jenazah rusak
 Membusuk
 Hangus terbakar
 Kecelakaan massal
 Bencana massal
 Huru hara
 Potongan tubuh
 Kerangka

III. Bantuan Dokter pada Proses Identifikasi


Dokter pertama kali temukan dulu manusia/bukan, ras apa, jenis kelamin,
perkiraan umur, dan perkiraan tinggi badan.

Cara tambahan yang dilakukan dokter (seperti dijelaskan sebelumnya):

 Tanda bawaan: personal apparance (warna kulit, rambut, mata, bentuk wajah),
tahi lalat, sidik jari (bentuk arch, loop, whorl, tented arch).
 Ras
 Tanda yang didapat: tatto, jaringan parut, patah gigi, cacat, dll.
 Data-data: pakaian, cincin, KTP, dll.
 Pemeriksaan penunjang bahan-bahan dari tubuh manusia (trace evidences):
semen/sperma, saliva, rambut, darah, kuku, dll.

Teori-teori antropologi (tulang) di bawah ini dipelajari ya (masuk EB)!


A. Identifikasi Tulang dan Gigi
Tujuannya untuk:
1. Ad.I. Membedakan tulang manusia & hewan
Melihat bentuk anatomis tulang dan menggunakan tes presipitin yang
dikonduksi dengan serum anti human dan ekstrak dari fragmen juga dapat
digunakan untuk mengetahui apakah tulang tersebut tulang manusia. Tulang
manusia dan binatang juga dapat dibedakan melalui analisa kimia debu
tulang.
Presipitin test merupakan tets kimia dengan prinsip adanya ikatan
antigen antibodi yang membentuk presipitat putih seperti awan. Test ini
sangat sensitif untuk membuktikan tulang berasal dari manusia. Tes ini masih

172
23:
memberi hasil positif pada tulang berumur 10-25 tahun dan mummi berumur
>4.000 tahun.
1 cm2 sum – sum tulang → diekstraksi dgn NaCl 0,9% pH 7.
Menggunakan kelinci sebagai media yang diinjeksikan darah manusia.
Dalam 5-9 hari terbentuk antibody untuk menetralisir darah manusia.
Dipisahkan serumnya dan ini disebut serum anti manusia”.
2. Ad.II. Mengetahui tulang berasal dari individu yg sama.
Tulang-tulang yang dikirimkan untuk dilakukan pemeriksaan harus
dipisahkan berdasarkan sisi asalnya, dan selanjutnya dilakukan pencatatan jika
terdapat tulang yang berlebihan dari yang sebenarnya, atau terdapat jenis
tulang yang sama dari sisi yang sama.
Tulang-belulang itu dari satu tubuh manusia atau lebih?
a. Melihat kesamaan tulang
b. Jumlah tulang, apabila ada sekitar 32 vertebra kemungkinan satu individu.
Iga sejati manusia ada 7. Manubrium sterni ada dua dengan bentuk khas.
c. Melihat kiri kanannya tulang
d. Melihat kesamaan warna tulang
e. Melihat kesamaan besar tulang
f. Pemeriksaan serologis
g. Sidik jari DNA
3. Ad.III. Menentukan jenis kelamin
Penentuan jenis kelamin dari kerangka manusia dapat ditentukan
dengan melihat morfologi dan ukuran dari kerangka. Bagian tulang yang
penting untuk menentukan jenis kelamin adalah pelvis dan tengkorak karena
dapat memberikan hasil yang lebih akurat. Selain itu dapat pula ditentukan
menggunakan tulang lainya seperti scapula, klavikula, humerus, ulna, radius,
sternum, femur, tibia dan kalkaneus.
Penentu lainnya:
 Rambut: kepala, ketiak, kemaluan
 Kepala: orbita, pipi, hidung
 Jidat/dahi: mendatar = perempuan, melengkung = laki-laki
 Rahang: bentuk V = perempuan, U = laki-laki
 Gigi: bentuk, ukuran
 Leher : Jakun
 Dada: payudara, bulu dada, sternum, bentuk iga
 Perut: striae livide
 Panggul: bentuk, ukuran, tulang-tulang panggul

173
23:
 Organ kelamin, dll

a. Menurut KROGMAN :

• Dari tulang PELVIS : 95%


• Dari tulang TENGKORAK : 92%
• Dari tulang PELVIS & TENGKORAK : 98%
• Dari tulang – tulang panjang : 80-85%
• Dari tulang – tulang panjang &
: 95%
tengkorak
• Dari tulang – tulang panjang &
: 98%
pelvis
Bila tulang – tulang kecil dengan sidik jari DNA
b. Penentuan jenis kelamin dari tulang tengkorak
o Tengkorak pria : Lebih besar, lebih berat, tulang lebih tebal,
tonjolan – tonjolan lebih jelas
o Tulang dahi : Pria lebih miring, wanita tegak lurus
1) Cavum Orbita Pria
2) Cavum Orbita Wanita
o Rahang bawah : Angulus mandibula pd pria <  900
Angulus mandibula pd wanita >900
Tanda Pria Wanita

Ukuran, volume endokranial Besar Kecil

Arsitektur Kasar Halus

Tonjolan supraorbital Sedang – besar Kecil – sedang

Prosessus mastoideus Sedang – besar Kecil – sedang

Daerah oksipital, linea meskularis dan protuberantia Tidak jelas Jelas/menonjol

Emensia frontalis KEcil Besar

174
23:

175
23:

Bagian Tulang Pria Wanita


Tulang-tulang Lebih berat, cavitas cranium 10% lebih Lebih ringan, 10% lebih kecil
kepala besar dari perempuan dari perempuan
Condylus
Lebih menonjol Kurang menonjol
occipitalis
Orbita Bentuk persegi Bentuk membundar
Dahi Curam, kuranhg membundar Membundar

Menurut Acsadi dan Nemeskeri

176
23:

Penilaian -2 sd +2
o -2: hiper feminim
o -1: feminim
o 0: netral
o +1: masculin
o +2: hiper masculin
c. Penentuan jenis kelamin dari tulang panjang
Bentuk anatomis:
Laki-laki Perempuan Contoh Kasus

Os. - lebih besar - lebih ringan


Humerus - lebih kasar - lebih halus
- tub. Del. lebih besar - lebih halus
- tub. Mayus lebih - lebih kecil
besar - lebih dangkal
- Sulcus
intestubecularis lebih
dalam

177
23:
Os. - lebih berat - lebih ringan
Femur - lebih kasar - lebih halus
- trochanter Mm - trochanter Mm
lebih menonjol kurang menonjol

- fossa trochasilerica - fossa trochasilerica


lebih dalam lebih dangkal
- fovea capitis lebih - fovea capitis lebih
besar kecil
- linea aspera lebih - linea aspera kurang
menonjol menonjol

d. Penentuan jenis kelamin dari tulang panggul

Penentuan jenis kelamin (menurut Acsadi & Nemeskeri (1970) Ferembach (1979), & Martin
Knussman (1988)

Bo hiper feminim Netral


Feminim Masculin hiper masculin
Ciri bo
(-2) (-1) (0) (+1) (+2)
t
Lebih
Sulcus per Mendalam, Hanya Hampir tak
3 dangkal & Tidak ada
Auricularis batas jelas bekas kentara
jelas
Incicura
Sangat terbuka, Terbuka, Sempit, jelas.
Ischiadica 3 Peralihan Bentuk U
Bentuk V Bentuk V Bentuk U
Major
Angulus
Sub 2 >1000 900 – 1000 600 – 900 450 – 600 < 450
Pubicus
Rendah, lebar, Ciri
Tinggi, sempit,
sayap feminim Ciri maskulin
Os. Coxae 2 Peralihan relief otot
luas, relief otot kurang kurang jelas
sangat jelas
kurang jelas jelas
Pelvis
1 Sangat lebar Lebar Sedang Sempit Sangat sempit
mayor
Lebarnya Sempit, Sangat sempit,
Pelvis Sangat lebar & Lebar &
1 sedang & berbentuk berbentuk
minor oval oval
bulat “Harten” “Harten
Arc.
2 Dua lengkung Satu lengkung
compose
Foramen
Obturatu 2  ,  runcing  Tak jelas Oval Oval,  bulat
m

178
23:
Sangat sempit,
Corpus
tuber Sangat lebar,
Ossis 2 Sempit Sedang Lebar
ishiciadicum T.I sangat kuat
Ischii
kurang jelas
Bentuk S nya Bentuk S-
Crista Jelas bentuk Sangat jelas
1 sangat nya Sedang
Iliaca S bentuk S
dangkal dangkal
Tinggi &
Fossa Sangat rendah Rendah & Tinggi & Sangat tinggi &
1 lebarnya
Iliaca dan lebar lebar sempit sempit
sedang
Setelah ditentukan bagaimana tulang panjang berdasarkan tabel di atas, dihitung skonya
dengan rumus: Bobot X Nilai diformis (-2 sd 2), hasil perkalian ditambah, kemudian dibagi
dnegan jumlah ciri yang dipergunakan.
a) Bila >0 = maskulin.
b) Bila >0 = feminim.

Contoh kasus 1 (Total skor -1,1=feminism)

179
23:

180
23:
Contoh kasus 2 (Total skor 1,1=maskulin)

181
23:

Tabel dibawah versi singkatnya, kemungkinan keluar di EB.

Tulang Panggul Laki-laki Perempuan

Bentuk Sempit dan panjang Lebar dan pendek

Arcus pubis < 900 > 900

Foramen ischiadica Oval Segitiga

Incissura ischiadica Lebih dalam Lebih dangkal

Os Sacrum Kurang lebar Kurang lebar

4. Menentukan umur saat kematian (Ad.IV. Penentuan umur dibedakan masa-


masa berikut)
 Perkembangan umum
 Gigi
 Obliterasi sutura

182
23:
 Epipisial line (pada anak usia <10th jelas jauh terlihat antara diafisis dan
metafisis)
 Rumus de haas: umur dalam kandungan
 Dll

a. Berdasarkan obliterasi sutura

Masing-masing tingkat obliterasi sutura di atas, bisa menunjukkan perkiraan umur tulang
tersebut. Yang penting dipahami aja dulu ya.

183
23:

Gambar di atas contoh kasusnya, diperhatikan sutura bentuknya seperti apa sih, terus
dicocokkan kira-kira umur tulangnya itu berapa.

b. Berdasarkan tumbuhnya gigi


Gigi susu
o Gigi Seri I Bawah : 6 – 8 bulan
o Gig Seri I Atas : 7 – 9 bulan
o Gigi Seri II Bawah : 10 – 12 bulan
o Gigi Seri II Atas : 7 – 9 bulan
o Gigi Geraham I : 12 – 14 bulan
o Gigi Taring : 17 – 18 bulan
o Gigi Geraham II : 20 – 30 bulan

Permanen
o M1 Geraham 1 : 6 – 7 tahun
o I1 Seri 1 : 6 – 8 tahun
o I2 Seri 2 : 7 – 9 tahun
o P1 Premolar 1 : 9 – 11 tahun
o P2 Premolar 2 : 10 – 12 tahun
o C. Taring : 11 – 12 tahun
o M2 Geraham 2 : 12 – 14 tahun
o M3 Geraham 3 : 17 – 25 tahun

1) Infans I : Lahir sampai dengan tumbuh gigi M1 sampai 7 tahun.


2) Infans II : Tumbuh gigi M1 sampai dengan tumbuh M2 13 – 16
tahun.
3) Juvenis : Tumbuh gigi M1 sampai dengan tumbuh M3 18 – 22
tahun.

184
23:
4) Adultus : M3 sudah tumbuh, tanda pertama keausan gigi (+).
Obliterasi sutura mulai. Ossifikasi epiphysis selesai → 30 tahun.
5) Maturus : Keausan gigi lanjut. Obliterasi suturan lanjut → 50
tahun.
6) Senilis : Oblitari sutura sempurna, kehilangan gigi, tertautnya
lobang gigi, processus alveolaris mulai susut/memendek.
c. Berdasarkan derajat keausan gigi
Kriteria derajat keausan gigi (Martin, 1957)
0: Tidak terlihat keausan apa – apa
1: Enamel aus sedikit, tapi benjolan kunyah positif
2: Pada beberapa tempat telah terlihat dentin berwarna kuning
3: Seluruh permukaan enamel telah aus/kuning
4: Sebagian besar mahkota gigi aus sampai leher gigi

Contoh kasusnya;

185
23:
5. Menentukan umur tulang itu sendiri (Ad.V. Perkiraan umur dari tulang-
tulang panjang)
Dapat dilihat dari penyatuan epiphysisnya:
a. Epiphysis dari os. femur, tibia, febula
 Diaphysis masih terpisah dari tulang : 18 thn
 Diaphysis masih terlihat seperti garis : 17 – 18 thn
 Diaphysis sudah bersatu sempurna : > 18 thn
b. Distal epiphysis dari os. radius dan ulna
 Terpisah seluruhnya : 18 – 19 thn
 Sebagian terpisah, sebagian bersatu : 18 – 19 thn
 Bersatu membentuk garis : 19 – 20 thn
 Bersatu sempurna : > 20 thn
c. Head of humerus
 Diaphysis terpisah seluruhanya : < 20 thn
 Sebagian terpisah, sebagian bersatu : 19 – 20 thn
 Bersatu membentuk garis : 20 – 21 thn
 Bersatu sempurna : >21 thn
6. Menentukan tinggi badan
a. Dari panjang tulang belakang Menurut TOPMAID dan ROLLER bahwa panjang
tulang belakang adalah 35% dari tinggi badan
b. Dari panjang tulang – tulang panjang 1. Dengan memakai formula STEVENSON 2.
Dengan memakai formula TROTTER dan GLESSER 3. Dengan memakai formula
PEARSON
c. Dari tinggi tulang hidung Dengan memakai formula G.S. KLER, yaitu : ♂ : 1507,1 +
4,3 X + 63,3 ♀ : 1439,4 + 3,1 X + 48,9

186
23:

Contoh kasusnya:

Bisa dilihat juga dari:


 Ukuran utuh
 Tinggi hidung
 Jarak kedua ujung jari tangan
 Jarak dari vertex ke simpisis pubis x 2
 Jarak dari angulus lidovici ke simpisis x 3,3
 Panjang femur x 4
 Panjang humerus x 6
 Rumus-rumus: Trotter Glesser, Stevenson,
(Djaya Surya atmadja, dll).
7. Ad.VII. Menentukan ras
Variasi geografi dari rangka manusia digunakan untuk mengidentifikasi
ras manusia atau silsilah seorang individu.

187
23:
Para ahli antropologi forensik membagi ras ke dalam 3 ras yaitu:
mongoloid, negroid, kaukasoid. Dibandingkan dengan perhitungan jenis
kelamin, usia dan tinggi badan penentuan ras lebih sulit, kurang tepat dan
kurang dapat dipercaya. Karena tidak ada tanda di rangka. Rangka digunakan
sebagai petunjuk untuk menentukan ras yang bersifat nonmetric, yang
didokumentasikan melalui metode antrostopik yang sedikit bersifat subjektif
dan bervariasi antara satu peneliti dengan peniliti lain.
Dilihatnya dari warna kulit, ciri khas pakaian, mata dari warna irisnya,
rambut, hidung, bbir, ukuran kepala (lebar maksimal kepala transversal x 100.
Panjang sagital kepala {Negroid : 70 – 74,5 (deliche-cephalic)
lonjong/Caucasoid : 75 – 79,9 (mesati-cephalic)/Mongolian : 80 – 84,9
(brachy-cephalic) bulat}.

Caucasoid Mongoloid Negroid

Bentuk tengkorak Bulat Persegi Oval

Muka Fx antara lain: os Relatif sempit Agak lebar dan datar. Sedang
zygomaticus, apertura Tulang menonjol Maximal
nasalis, palatum Menonjol

Cavum Orbita Segitiga Bulat Persegi

No. Tulang Caucasoid Mongoloid Negroid

1 Cranium Bulat Persegi Oval

2 Kening Menonjol Miring (inclined) Kecil dan melekuk


(raised)

188
23:
3 Muka Relatif Lebar datar, tulang pipi Maxilla/rahang atas menonjol
sempit/kecil menonjol
4 Ekstremitas Normal Lebih kecil Ekstreitas superior relative lebih pankang
disbanding ukuran tubuh

Contoh kasusnya:

8. Ad.VIII. Menentukan lamanya kematian dari tulang


a. Limur Tulang – Umur Individu (Bab V) (Bab IV)
b. Dari Bau Tulang - Berbau busuk < 5 bulan - Tidak berbau busuk > 5 bulan
c. Warna Tulang - Kekuning – kuningan < 7 bulan - Agak keputihan > 7 bulan
d. Kepadatan Tulang - Mulai berpori – pori > 1 tahun - Berpori – pori yg
merata & rapuh > 3 tahun
Catatan : Keadaan ini berlaku bagi korban yang ditanam dalam tanah
9. Menentukan rudapaksa ante mortem - post mortem
a. Perobahan pada warna tulang
b. Melihat penyembuhan fraktur (callus)
c. Radio grafik
Radiopositas pd ujung fraktur  → ante mortem
d. Pewarnaan air tanah pada ujung fraktur

189
23:
 Ujung fraktur lebih gelap atau hampir sama → ante mortem
 Ujung fraktur lebih pucat → post mortem
10. Menentukan penyebab kematian
 Agak sulit ditentukan, namun bila dijumpai adanya fraktur pada
cranium dapat diarahkan penyebab kematian, serta benda yang
dimakan, misal: - dipukul dengan benda tumpul (fraktur kompresi) -
kasus KLL (fraktur linier) - berbentuk corong → akibat peluru - benda
tajam (fraktur bercelah).
 Pada kasus – kasus keracunan logam berat misal: - Arsen → dengan
GUTZEIT TEST.
B. Simpulan identifikasi tulang dan gigi:
1. Membedakan tulang hewan dengan manusia: Bentuk anatomis, dan Test Precipitasi
2. Tulang berasal dari satu individu: Jumlah tulang, Besar tulang, dan Kiri/kanan tulang
3. Menentukan jenis kelamin: Bentuk tengkorak, Bentuk panggul, Bentuk tulang panjang,
Serologis, dan Sidik jari DNA.
4. Menentukan umur individu: Derajat obliterasi sutura, Pertumbuhan gigi, Derajat
keausan gigi, dan Perubahan pada symphisis pubis.
5. Menentukan umur tulan: Penentuan kandungan Nitrogen, Penentuan kandungan Asam
Amino, Reaksi Benzidine, Fluorisasi sinar ultra violet, dan Immunologi.
6. Menentukan tinggi badan: Dari panjang tulang belakang, Dari panjang tulang – tulang
panjang, dan Dari tinggi hidung.
7. Menentukan ras: Dengan melihat bentuk tengkorak.
8. Waktu Kematian: Umur tulang, dan Umur korban.

IV. Pemeriksaan DNA

190
23:

Manfaatnya:
 Identifikasi personal: Korban tak dikenal.
 Pelacakan hubungan genetik: Dugaan perselingkuhan, ragu ortu, ragu ayah, ragu
ibu, ragu kerabat. Walaupun ortu kandung, tetapi ada DNA sel kita yang berbeda
dengan ortu kandung karena proses fertilisasi. Saat pertemuan sperma dan
ovum, hanya kepala sperma yang masuk ke ovum. Sehingga organ dan sel yang
ada di ekor sperma termasuk DNA mitokondria tidak masuk (jadi ga semua bisa
teridentifikasi sama persis seperti ortu). Makanya kalau tes DNA gitu, kalo yang
ada sampel ayah-anak, maka yang diidentifikasi inti DNA saja, sedangkan kalau
ada sampel ibu-anak, maka bisa diidentifikasi inti DNA dan DNA mitokondria.
 Pelacakan sumber bahan biologis: Kasus susila, pencarian korban, potongan
tubuh.

Analisis Short Tandem Repeats (STR):

 Pendekatan analisis
o FCM analysis → Paternity inex

191
23:
o Matching analysis → Match probability
 Prosedur Px DNA
o Konsultasi awal pasien dgn dokter
o Pengambilan sampel
o Pengolahan sampel
o Analisis dan penyimpulan

ALHAMDULILLAH 

192
23:
Cardiology Emergency
dr. Gagah Buana, Sp. JP
Editor: Istrinya Harry Styles

A. Kegawatdaruratan Kardiologi
1. Acute Coronary Syndrome
2. Cardiac Arrest
3. Arrhythmias & Syncope
4. Acute Lung Oedema
5. Cardiogenic Shock
6. Acute Limb Ischemia
7. Limb Threatening Ischemia
8. Pulmonary Embolism
9. Aortic Dissection
10. Cardiac Tamponade
11. Hypoxic Spell

1. Acute Coronary Syndrome/Penyakit Jantung Koroner


Contoh kasus
Seorang laki-laki 56 taun dating ke IGD dengan
KU nyeri dada onset 15 menit. Keluhan
penyerta keringat dingin, cemas, lemas.
Penyakit jantung coroner terjadi ketika
terdapat penyempitan arteri coroner pada
jantung, sehingga aliran darah pada jantung
terganggu. Mekanisme terjadinya
penyempitan arteri timbulnya plak
plak pecah, terjadi sumbatan total
terjadi serangan jantung. Gambaran EKG
nya terlihat STEMI, dengan proses
primernya terjadi ST elevasi (pada dua lead yang berdekatan) di Lead I aVL dan ST
depresi serta T inversi pada proses sekundernya di lead III aVF, disebut perubahan
reciprocal (gambaran kebalikannya).
Tidak semua ST elevasi dikatakan STEMI. Syarat ST Elevasi dikatakan STEMI,
yakni

193
23:

Tidak semua juga ST depresi dan T inversi merupakan serangan jantung, harus
memenuhi syarat berikut.

Gimana gais paham kan, kalo nggak tos dulu kita.

Gambaran EKG nya ada ST elevasi di lead aVL dan hyper acute T di V2, V3, V4.

Syarat untuk mendiagnosis STEMI HARUS < 10 MENIT, membaca dan mendeteksi kelainan
EKGnya. Lakukan fibrinolysis stategi.

a. Kontraindikasi, alergi streptokinase/ ateplase, hipotensi, stroke, edem pulmo henti


jantung, resiko perdarahan yang tinggi (acute blood loose, open wound) harus
distabilkan dulu sebelum dilakukan fibrinolysis.
b. Monitor PAHA, perdarahan, aritmia, hemolisis, alergi
c. Kriteria berhasil, menunjukkan sumbatan sudah berhasil lisis. Apabila belum bisa
dilakukan primary PCI (Percutaneus Intervention). Penurunan ST elevasi > 50%,

194
23:
penurunan VAS> 50%, peningkatan signfikan enzim jantung. (Sebelum fibrinolysis dicek
dulu, untuk dibandingkan dengan setelah dilakukan fibrinolisis). Masih kontradiktif,
jika ditemukan gambaran EKG AIVR (Accelerated Idioventricular Rhytm) seperti ritme
takikardi ventrikel.
d. Terapi pendukung, stabilisasi dan obat-obatan pendukung penyakit penyerta pasien.

Penanganan Pasien STEMI

a. Tanyakan onset, semakin cepat ditangani semakin baik prognosisnya dan semakin
sedikit kerusakan otot yang ditimbulkan
b. Jika waktu untuk merujuk sampai pasien siap ditangani <120 menit lakukan
Primary PCI strategi. Apabila > 120 menit waktu pasien untuk bisa ditangani
lakukan fibrinolysis. Golden period nya 120 menit.

Paling baik, bila ada nyeri jantung langsung ke RS besar, untuk mencegah
patient delay dan EMS (Emergency Medical Delay)

Bagaimana jika EKG acute coronary syndrome bukan ST elevasi? Hiyahiya

195
23:

Biasanya pasien dengan acute coronary syndrome tanpa gambaran ST elevasi pada pasien
dengan

a. STEMI > 12 jam, biasanya sudah Q patologis dengan slight ST elevasi dan T inversi,
disebut recent MCI (miocardiac infark)
b. NSTEMI
c. UAP, kadang EKG normal, nyeri dada khas, dan tidak stabil

TIMI skornya cukup tahu aja ges, beliau bilang nggak dikeluarin.

2. Cardiac Arrest/Henti Jantung


Perbedaan henti dan serangan jantung. Henti jantung adalah masalah listrik
jantung yang tidak bekerja. Serangan jantung adalah masalah sirkulasi karena
tersumbat. Hubungannya, kebanyakan serangan jantung tidak mengakibatkan henti
jantung. Pasien masih nyeri dada, kadang edem pulmo. Tapi henti jantung terjadi
mayoritas disebabkan serangan jantung. Idealnya pada henti jantung tetap di cathlab
untuk mengecek apakah ada sumbatan atau tidak.

196
23:

Gambaran EKGnya HENTI JANTUNG asistol, PEA, VT (pada gambar sinusoidal VT),
VF.
Lakukan BHL dengan defibrillator dan obat-obatan.

197
23:

198
23:
Ketika menerima pasien di IGD, lanjutkan RJP BHD dari tim dengan sambil
menyiapkan oksigen dan monitor. Alurnya ikut began di atas ya temen-temen. Kalau
ritme nya VF/pVT shockable. Obatnya adalah dengan diberikan shock, kemudian
lanjutkan RJP sambal pasang IV access. Bila Kembali shockable, berikan shock,
lanjutkan RJP dan beri adrenalin/epinefrin tiap 3-5 menit, dan pasang ET. Bila Kembali
shockable, berikan shock kemudian lanjutkan CPR kemudian beri amiodarone, atasi
penyebab reversible. Penyebab reversiblenya apa aja, lihat di tabel atas ya.
Kalau pasiennya non shockable, lanjutkan CPR sampai dia shockable baru beri
shock. (Diagram sebelah kanan)
High Quality CPR. PENTING! Pake pentung
a. Kecepatan kompresi 100-120x/menit
b. Kedalaman 2 inches (5 cm)
c. Full recoil setelah kompresi
d. Minimal interupsi
e. Ventilasi adekuat, rasio
kompresi dan breathing 30
banding 2, jeda satu detik
tiap pemberian ventilasi

Hal yang tidak boleh dilakukan lawannya


berarti ya ges. Ini gambar bila diberikan
high quality CPR. Atas banyak interupsi,
bawah minimal interupsi sehinggal level
perfusi nya optimal.

Kapan CPR dihentikan, salah satu indikasinya Ketika pasien sudah ROSC (Return of
Spontaneus Circulation). Yang harus dilakukan Ketika pasien sudah ROSC di diagram bawah
ini yes

199
23:
3. Aritmia dan Syncope
Termasuk
a. Algoritme bradikardi
b. Algoritme takikardi
c. Syncope
d. AF RVR/ atrial fibrilasi rapid ventricular response (HR>110x/menit)
e. AF SVR(HR < 60X/menit), manajemennya masuk ke algoritme bradikardi

a. Algoritme Bradikardi
Pastikan airway pastikan paten, oksigenasi, pasang IV line, dan EKG 12 menit.
Tentukan apakah bradikardi stabil. Tidak stabil apabila terdapat salah satu dari tanda
berikut, hipotensi, tanda-tanda syok, nyeri angina khas, dan gagal jantung akut, dalam
bentuk edema paru akut. Bila EKG tidak normal tanpa tanda di atas, rujuk ke Sp. JP,
bukan merupakan kasus kegawatan. Namun, bila terdapat SATU SAJA tanda di atas,
lakukan tatalaksana awal sebelum rujuk, yakni beri atropine 3 mg, bila atropine tidak
efektif lakukan transcutaneous pacing (4) atau beri dopamine atau epinefin IV 2-10 mcg
per menit. Rujuk ke Sp. Jp untuk pasang pacu jantung permanen.
b. Algoritme Takikardi
Hampir sama kayak algoritme bradikardi. Bila TIDAK STABIL di KARDIOVERSI.
Sebelumnya pasien disedasi dulu, karena kardioversi menyetrum dengan listrik yang
tersiknronisasi listrik 150 joule agar tidak terlalu sakit. Kalau STABIL LIHAT kompleks
QRS. Kalau SEMPIT BERI VAGAL MANUVER, anti aritmia infusion nya beri ADENOSINE
(Kembali jadi sinus berarti stabil). Kalau QRS LEBAR beri AMIODARONE. Boleh beri
ADENOSINE untuk testing, syaratnya QRS LEBAR harus REGULER.

c. Syncope
Yang paling sering karena ortostatik dan refleks syncope (vagal, dll). Termasuk
cardiac syncope adalah
1) Brugada syndrome
2) Long QT syndrome
3) WPW syndrome
4) ARVD/ARVC
5) Aortic STENOSIS
6) Hocm
7) Thromboembolism

Jadi ini bukan syncope biasa ya ges, ini syncope luar biasa. Silahkan cari mandiri
penegakan diagnosisnya ya, dr. Gagah said paling nggak pernah baca. Curiga pasien

200
23:
tiba-tiba kehilangan postur, seperti hampir jatuh terduduk, tiba-tiba hilang kesadaran
terus bangkit lagi, dapat mengakibatkan sudden cardiac death.

d. Atrial Fibrilasi
Lihat apakah ada gagal jantung atau tidak. Bila ejeksi fraksi <40/ada gagal
jantung beri AMIODARON. TIDAK ADA GAGAL JANTUNG beri BETA
BLOCKER/DILTIAZEM/ VERAPAMIL.

Gais di bawah ada algoritme bradi sama takiaritmia. Sengaja dibuat satu

halaman full, biar kalian enak bacanya, jadi jangan di skip yah=’)

201
23:
ALGORITMA BRADIARITMIA

ALGORITMA TAKIARITMIA

202
23:
4. Acute Lung Oedema
Edem pulmo ada yang karena
kardiogenik dan ada yang non
kardiogenik. Khasnya edema paru ada
gambaran Kerley A, B, dan C.

Garis Kerley adalah tanda edem


pulmo interstitial, berupa garis linear
tipus yang disebabkan cairan/infiltrasi
seluer ke intersititum paru. Gambaran B
pembuluh limfa yang terisi cairan,
A
seharusnya pada rontgen tidak terlihat.
Dinamai alhi saraf dan radiologi Irlandia,
Bapak Peter Kerley.

a. Kerley A, lebih Panjang 2-6 cm.


Tidak brcabang, mengalir secara
diagonal dari hila ke perifer paru,
disebabkan anastomosis antara C
limfatik perifer dan sentral paru,
Jarang terlihat
b. Kerley B, garis paralel pendek di
perifer paru, mewakili septum
interlobular, panjangnya kurang
dari 1 cm. Sejajar sudu siku-siku k
pleura, paling sering di sudut
kostrofrenikus.
c. Kerley C, paling jarang terlihat,
pendek, halus di seluruh lapang paru dengan penampilan retikuler. Sebagai
penebalan limfatik kerley B

Gambaran radiografi thoraksnya gini ges.

Gagal jantung akut, punya banyak spektrum, tidak semua dengan edem paru
akut. Berikut beberapa spektrum lain. Tatalaksana sesuai gejala. Pada subset II warm
and wet, ekstremitas hangat tapi kongesti dominan, sesak napas, JVP naik, edem
ekstremitas, tatalaksananya beri terapi cairan. Subset III sudah syok, karena

203
23:
cold/kedinginan. Subset IV paling parah, terapi focus ke coldnya dulu. Beri vasopressor,
inotropic, vasodilator vena, yakni nitrat. Targetnya warm and dry.

5. Cardiogenic Shock
Diagnosisnya harus memenuhi 4 kriteria ini

a. Hipotensi, TD Sistolik < 90 mmHg yang persisten (> 30 min)


b. Low-output, cardiac Index < 2.2 L/min/m2
c. Edema paru, PCWP > 18 mmHg
d. Hipoperfusi end-organ, gelisah, bingung, penurunan kesadaran, akral
dingin, oliguria < 30 mL/jam

Terapi causanya beri inotropik. JANGAN vasokonstriktor.

204
23:

6. Acute Limb Ischemia


Iskemia tungkai akut, bila <= 14 hari.
7. Limb Threatening Ischemia
Iskemia tungkai kronis, bila >= 14 hari. Dapat menyebabkan amputasi.
Penyebabnya plak yang dapat menumpuk di ektremitas.Pemeriksaan dengan 6P
a. Parestese
b. Pain
c. Pallor
d. Pulselessness
e. Poikilothermia, gagangguan regulasi temperature tubuh. Bisanya akral
dingin.
f. Paralisis. Terapinya sesuai derajat keparahannya

205
23:
8. Pulmonary Embolism
Dapat terjadi pada beberapa kasus DVT/Deep Vein Trombosis. Trombosis di
katup vena yang menumpuk, kemudian leapas, masuk ke atrium, ventricle, dipompa
ke paru, kemudian pembuluh di paru akan menyempit. Dapat menyebabkan iskemik
arteri pulmonalis, dapat terjadi infark pulmo. Diagnosisnya dnegan gejala klinis.Paling
sering sesak napas disertai nyeri dada. Dari TTV nya ada takipneu dan takikardi. EKGnya
S1Q3T3, Gelombang S di lead 1, Q di lead 3, dan T inversi di lead 4. Gambaran
echocardiograpynya ada McConnel sign.

9. Aortic Dissection
Aorta mengalirkan darah dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh. Terdiir dariaortic
ascendems, arcus aorta, dan aorta descendes. Diseksi dapat terjadi di semua bagian
aorta. Dapat terjadi sobek/diseksi pada lapisan aorta (tunika intima, media, adventitia),
yang kemudian darah masuk dan menumpuk, mengakibatkan sobekannya semakin
besar. Darah yang menumpuk di tunika tadi tidak tersirkulasi, sehingga ketika terjadi
sobek dapat menyebabkan acute blood lost, dapat terjadi hipovolumeia. Keluhan
dapat terjadi nyeri punggung seperti diiris.

Kalau robekannya di arcus atau setelahnya ex aorta descendens, maka


pembuluh darah di tangan baik, tapi di kaki tidak teraba. Manajemen obat tergantung
dari kriteria. Pengobatan harus dirujuk, dengan MAP (S+2D/3) pasien distabilkan di 70.

206
23:

207
23:
10.Cardiac Tamponade
Symptom tersering adalah takikardi. Dengan adanya TRIAS BECKS
a. Low arterial blood presure
b. Ditended neck veins
c. Muffled heart sounds

Px penungjang nya bisa X-Ray, terdapat water bottle, pada echocardiogram


terdapat efusi pericardium, dan EKG nya terdapat QRS Alternans (tinggi ARS pada satu
lead yang sama berubah-ubah, karena perubahan psosis jantung pada efusi
pericardium)/swinging heart. Terapinya dilakukan perikardiosintesis (4)

11.Hypoxic Spell
Kegawatan yang paling sering
mengikuti komplikasi Tetralogi of Fallot. TOF ada

a. PS
b. VSD
c. RVH
d. Overiding Aorta
Manajemennya
a. Oksigenasi
b. Tingkatkan SVR
1) Knee chest positions
2) Ketamine, propanolol, phenylephineprine
c. Hilangkan hyperpnea dengan sedasi, morfin, fentanyl
d. Koreksi asidosis

Alhamdulillah selesai materinya. Dokter Gagah bilang akan ada video buat
pembahasan lebih detailnya, kalo masih sempet jangan lupa dicek ya. Selamat tidur teman

208
23:
teman se-proxy raya, jam berapapun kalian baca materi ini jangan lupatidur pokoknya,
berhubung ini MISC sekaligus tugas terakhir, editor mohon maaf kalau selama ini banyak
editan yang nggak jelas maksudnya, karena sesungguhnya editor sendiri kadang juga nggak
paham maksudnya, tapi semoga bermanfaat ya sampai blok 23 ini. Akhir kalimat, Istri Harry
Styles mengundurkan diri, siya manteman! *Makasih lo dah baca satu paragraf tidak jelas ini
hahahah peace out.

Me reading misc terakhir yet one of terbanyak

209
23:
ENT EMERGENCIES/ KEGAWATDARURATAN DALAM BIDANG THT

Dokter : dr. Rizka Fakhriani, MMR, Sp. THT-KL


Editor : jyjyd
Layouter :

Pada prinsipnya tatalaksana awal semua kondisi kegawatdarutan adalah sama yakni
dengan pengaplikasian Airway-Breathing-Circulation (ABC)/ Circulation-Airway-
Breathing (CAB). Namun, tetap perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa kasus
meliputi kasus kegawatdaruratan bidang THT agar penanganan yang kita berikan bisa
cepat dan tepat. Terdapat 10 kasus pada kegawatdaruratan bidang THT, meliputi:

I. ABSES BIDANG THT DAN KEPALA-LEHER


Abses terutama di daerah Kepala- yang paling sering disebabkan oleh
leher akan berdampak pada airway kuman Staphylococcus aureus,
pasien, sehingga butuh penanganan Streptococcus pyogenes, dan bakteri
yang cepat dan tepat agar tidak timbul anaerob.
komplikasi lain. Infeksi leher terjadi di
dalam ruang potensial antara fasia
leher dalam akibat dari penjalaran dari
berbagai fokus infeksi. Abses leher
bidang THT bermacam-macam, dan
penyebab terseringnya adalah karena
permasalahan pada gigi. Biasanya
terjadi infeksi fokal pada gigi pasien

Gambaran klinis abses submandibular tampak dengan adanya benjolan dibawah


dagu pada area leher dengan kemerahan disertai nyeri, gangguan menelan, dan demam.
Abses sering terjadi pada orang dengan kondisi immunocompromised, seperti Diabetes
Melitus (DM) tak terkontrol. Infeksi pada ruang peritonsiler dapat berupa inflitrat
peritonsiler (belum matang: tidak ada pus) maupun abses peritonsiler (sudah ada pus).
Biasanya abses peritonsiler terjadi akibat perluasan dari infeksi tonsil. Pada kondisi
normal, tampak tonsil yang simetris dan sama besar. Namun apabila terjadi infeksi,
tampak ketidaksimetrisan tonsil dengan adanya pembesaran di satu sisi dengan uvula
terdeviasi ke arah kontralateral. Apabila terdapat akumulasi pus, akan Nampak

210
23:
gambaran pus yang berbentuk menyerupai mata. Untuk membedakan antara inflitrat
dan abses peritonsiler, perlu dilakukan pemeriksaan mulai dari pemeriksaan inspeksi.
Pada abses peritonsiler, perlu dilakukan aspirasi menggunakan spuit. Apabila isinya
adalah pus maka dapat ditegakkan diagnosis abses peritonsiler.

Gejala dan gambaran khas yang timbul pada abses peritonsiler meliputi riwayat
tonsillitis, nyeri tenggorokan pada satu sisi, demam, malaise, disfagia, odynofagia, hot-
potato voice (pasien berbicara seperti saat memakan kentang panas dengan suara
menggumam), trismus, drooling, bulging pada pool atas tonsil dan palatum molle, serta
deviasi uvula kontralateral.

Penatalaksanaan terhadap abses peritonsiler adalah secara operatif dengan insisi-


drainase. Prinsip operasi ini sama dengan tatalaksana abses di lokasi tubuh lain. Jadi
semisalkan ada soal yang menyatakan seorang pasien datang dengan keluhan bengkak
di bawah dagu atau leher, ada tanda inflamasi seperti kemerahan, fluktuasi positif, dan
setelah di palpasi positif, kemungkinan terdapat abses peritonsiler sehingga pasien
butuh dirujuk untuk tindakan operatif insisi-drainase. Tindakan insisi-drainase bisa
dilakukan dengan 2 cara, yakni transoral (gambar kiri) dan eksternal (gambar kanan).
II. BENDA ASING (FARING-LARING-TRAKEA)
Pada bidang THT, banyak pasien yang datang memeriksakan diri dikarenakan adanya
benda asing. Terdapat beberapa jenis benda asing meliputi vegetable matter (70-80%),
metallic objects (5-15%), dan plastic objects (5-15%). Yang paling banyak terjadi adalah
211
23:
dikarenakan kacang-kacangan (34%). Benda asing paling sering terjadi pada anak-aanak
maupun orang dewasa dengan gangguan mental. Benda asing ini sering masuk melalui
hidung maupun telinga maupun masuk hingga saluran napas dan menancap dalam tubuh.
Lokasi benda asing bisa terjebak dalam bronkus maupun trakea atau laring, hal ini
bergantung pada ukuran besarnya benda asing tersebut. Apabila ukurannya besar,
kemungkinan benda asing hanya menyangkut hingga di trakea, namun bila ukuran kecil
(seperti kacang dan manik-manik) bisa masuk hingga ke bronkus.
Anatomi bronkus kanan yang
cenderung lebih lurus/ less divergent
angle dan lebar/ greater diameter
sering menjadi tempat terjebaknya
benda asing. Sehingga kejadian benda
asing di bronkus paling banyak terjadi
(80-90%). Benda asing pada laring
biasanya merupakan benda asing
dengan ukuran lebih besar, tepi yang
ireguler, dan termasuk conforming
objects.
Berikut adalah algoritma tatalaksana benda asing pada laring dan traktus trakeo-bronkial.

212
23:
Pasien dengan benda asing pada traktus trakeo-bronkial biasa datang mendadak ke
UGD pada fase awal ditandai dengan adanya batuk dan perasaan tercekik, choking,
tahan napas, dan mendaham. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan fisik
beebrapa fase baik pada fase simptomatis maupun asimptomatis. Pada fase komplikasi
dapat timbul gejala khas yang berbeda bergantung pada lokasi benda asing berada. Bila
benda asing berada di laring, maka timbul gejala khas berupa batuk paroksismal. Bila
pada trakea timbul wheezing, batuk yang hilang-timbul, maupun audible slap.
Sementara pada bronkus timbul batuk yang tidak produktif dan adanya suara
hipersonor pada perkusi.
Untuk menegakkan diagnosis benda asing, diperlukan pemeriksaan radiologi imaging
proyeksi PA (mengetahui posiis benda asing setinggi apa)/ lateral (untuk melihat lebih
pasti lokasi dan posisi benda aisng tersebut). Apabila densitas benda asing rendah,
diperlukan foto jaringan lunak. Apabila benda asing bersifat radiolusen, perlu dilakukan
foto pada akhir inspirasi dan ekspirasi serta dilakukan fluoroskopi. Pada benda asing
yang bukan dikarenakan benda metal, benda asing tidak nampak pada pemeriksaan
rontgent, sehingga terkadang dibutuhkan pemeriksaan lanjutan meliputi laringoskopi
dan bronkoskopi untuk mengetahui apa bentuk dan dimana lokasi benda asing berada.
Pada pemeriksaan ini, digunakan kamera endoskop dengan alat yang dimasukkan
melalui hidung atau mulut. Terdapat 2 macam bronkoskopi dan laringoskopi, yakni yang
jenisnya rigid/ kaku dan fleksibel.

Aspirasi benda asing sering dilakukan pada pasien yang banyak berasal dari alangan
anak dan perempuan (banyak kejadian jarum pentul masuk saluran napas). Apabila
benda asing hanya masuk hingga bronkus masih dapat diambil dengan bronkoskopi.
Namun apabila tidak, harus dilakukan torakotomi untuk mengambil benda asing
tersebut.

213
23:
Pada anak usia dibawah 1 tahun, pertolongan pertama tersedak dilakukan sebagai
berikut

Sementara pada anak lebih dari 1 tahun, sebagai berikut

Pada orang dewasa, dilakukan dengan cara ini

III. DISFAGIA (BENDA ASING DI ESOFAGUS)


Benda asing di esofagus bisa berupa benda tajam maupun tumpul ataupun makanan
yang tersangkut dan terjepit karena tertelan secara sengaja maupun tidak sengaja.
Benda asing pada esofagus yang banyak terjadi pada orang dewasa normal dikarenakan
potongan daging. Pada anak-anak sangat sering terjadi (usia 6 tahum paling banyak usia
1-3 tahun) bukan dikarenakan makanan, namun koin. Apabila benda yang masuk
merupakan benda tajam seperti paku payung, tulang, patahan mainan plastik, gigi palsu,

214
23:
pecahan kaca, tusuk gigi, kawat, maupun peniti dan jarum bisa menyebabkan erosi,
perforasi, hingga benda asing yang tertancap di dalam dinding esofagus. Benda asing
tajam butuh pendekatan khusus terutama pada kasus terjadinya perforasi dan abses.
Terjadinya laserasi hingga perforasi dapat menjadi port de entry kuman sehingga
bakteri bisa masuk dan berkembang biak. Benda asing berupa koin mudah diambil
karena permukaannya yang bulat sehingga tidak menimbulkan laserasi. Namun pada
benda asing tajam, pencapitan untuk mengambil benda asing dilakukan di sisi
permukaan tajam baru diambil sehingga tidak menimbulkan laserasi.

Apabila benda asing berupa baterai, dan baterai tertinggal dalam saluran napas
dalam waktu yang lama, kandungan potassium dan sodium hidroksida serta komponen
mengandung zinc, lithium, dan cadmium bersifat toksik dalam baterai akan merusak
dinding esofagus. Pada anamnesis, pasien biasa datang dengan keluhan sulit menelan
baik makanan padat atau cair. Bila sulit menelan namun masih bisa meminum air,
artinya terjadi obstruksi parsial. Benda asing pada esofagus yang banyak terjadi pada
orang dewasa normal dikarenakan potongan daging. Pada anak-anak sangat sering
terjadi (usia 6 tahum paling banyak usia 1-3 tahun) bukan dikarenakan makanan, namun
koin. Diagnosis gambaran klinis adanya benda asing dilakukan dengan endoskopi.
Diagnosis tertelan benda asing harus dipertimbangkan pada tiap anak dengan riwayat
rasa tercekik (chocking) dan rasa tersumbat di tenggorok (gagging), batuk, dan muntah.
Pada benda asing berupa objek metal seperti koin akan nampak pada rontgent, namun
bila benda asing berupa daging, yang tidak akan nampak pada rontgent, perlu dilakukan
esofagographi dengan pasien diminta meminum kontras baru dilakukan foto. Hasilnya
tampak opak/putih berhenti hingga di lokasi benda asing berada. Bila obstruksi hanya
terjadi parsial, nampak cairan kontras berupa warna putih turun dibawah benda asing
berada. Penatalaksanaan pada benda asing esofagus adalah merujuk pasien untuk
esofagoskopi dan ekstraksi korpal.

215
23:

IV. BENDA ASING (TELINGA-HIDUNG)

Benda asing pada telinga dan hidung dapat berupa benda anorganik maupun organik
Anorganik Organik
Biasanya berupa plastik/metal Berupa makanan, karet, kayu, dan spons
Berupa patahan mainan, katun Lebih iritatif terhadap mukosa hidung
Asimptomatis/ tanpa gejala Bisa menimbulkan gejala awal
DItemukan tanpa sengaja
Benda asing pada telinga dan hidung juga dapat berupa benda asing inanimate dan
animate
Inanimate Animate
Karet, kertas, kacang, spons, kapur, Myasis (“Texas” screw worms = fase
plastisin, potongan kayu, potongan kain, larva dari Cochilomya macellaria dan
peluru, koin Cochilomya homnivorax)
Material endogen (tulang, kartilago) Ascaris lumbricoides
Lintah

Benda asing di hidung biasanya menyangkut di antara konka inferior dan septum nasi.
Apabila benda asing yang menyangkut berupa baterai akan lebih berbahaya karena
kandungan dalam baterai yang bersifat toksik akan menyebabkan rusaknya mukosa
cavum nasi dan menyebabkan nekrosis likuefikasi karena keluarnya alkalin yang
terkandung dalam baterai. Kerusakan mukosa cavum nasi karena baterai paling cepat
terjadi dalam kurun 3 jam dan menyebabkan perforasi dalam kurun setelah 7 jam usai
tersangkutnya baterai dalam cavum nasi. Baterai yang tersangkut pada lantai kanan
cavum nasi menyebabakan electrical burn dengan nekrosis pada septum dan turbinat
inferior.

216
23:

Apabila benda asing berupa


makhluk hidup seperti larva (fly
maggots) dan cacing, biasa terjadi
pada anak-anak yang bermain di
sungai maupun pada masyarakat
awam yang bekerja sebagai petani.
Benda asing ini menyebabkan
kerusakan mukosa nasal dan nekrosis
kartilago septum dan turbinate yang
bisa meluas hingga sinus paranasal
dan orbit.
Benda asing berupa lintah biasa
terjadi di area tropis seperti area
Mediterania, Afrika, dan Asia. Parasit
yang mampu menghisap darah ini
biasa ada pada air yang tercemar dan
biasa berdiam di mukosa orofaring,
nasofaring, tonsil, esofagus maupun
hidung, namun jarang ditemukan di
laring. Gejalanya meliputi perdarahan
dari hidung/ one side epistaxis (88%),
sensai adanya benda asing (80%), dan
obstruksi nasal – unilateral (70%),
hidung meler, biasanya tanpa nyeri.
Cara pengeluarannya adalah dengan
menaburkan tembakau ke cuping
hidung agar lintah terlepas dari
mukosa hidung.

217
23:
Benda asing yang sering terjadi pada telinga dikarenakan oleh kapas pada cotton-bud,
manik-manik, kertas, dan biji. Hal ini sering terjadi pada anak-anak maupun orang
dewasa dnegan gangguan mental. Selain itu, benda asing berupa binatang hidup seperti
semut, serangga juga bisa terjadi. Pada benda asing seperti semut dan serangga
penanganan pertama dilakukan dengan pemberian minyak untuk menghambat gerakan
agar tidak menimbulkan luka yang menyebabkan komplikasi perdarahan ataupun
perforasi membran timpani. Pengeluaran benda asing tersebut dilakukan dengan
ekstraksi langsung, irigasi, maupun suctioning.
Berikut adalah posisi pengambilan benda asing pada hidung dan telinga. Pada hidung,
pasien didudukkan dipangku dengan tangan pembantu memegang kepala dan area
badan pasien. Sementara pada telinga, pasien diposisikan miring dengan tangan
pembantu memegang pasien pada kepala dan badan.

Instrumen yang digunakan untuk


pengambilan benda asing meliputi
head lamp, killian’s speculum,
hemostats, forceps aligator, forceps
bayonet, hooked probes, wire-loop,
suction, serta rigid/flexible
nasopharyngoscope. Metode irigasi
tidak direkomendasikan untuk
mengeluarkan benda asing hidung-
telinga karena risiko aspirasi maupun
choking dikarenakan penekanan keras
dari suntikan berisi normal saline
terhadap area tidak terdampak benda
asing.

218
23:
Apabila terjadi epistaxis, beri tampon terlebih dahulu sebelum dilakukan pengambilan
benda asing dengan forceps alligator. Berikan epinefrin atau adrenalin dan hati-hati bila
benda asing terdapat pada area posterior bisa terjadi displacement yang justru semakin
mendorong benda asing semakin masuk ke dalam dan mengganggu airway pasien.

V. SUMBATAN JALAN NAPAS ATAS

Sumbatan jalan napas terutama terjadi di saluran napas atas. Pasien biasa datang
dengan keluhan sesak, ngorok/ snoring, stridor (suara yang dihasilkan oleh turbulensi
udara napas yang tersumbat sebagian), riwayat kemasukan benda asing, dan gejala lain
meliputi cemas, gelisah, takikardi, dan sianosis.
Pada anamnesis mengenai riwayat penyakit perlu ditanyakan mengenai onset dan
berat stridor, progresivitas, fluktuasi gejala, serta posisi dan gerakan yang meringankan/
memperberat. Gejala yang berhubungan dengan sumbatan jalan napas atas adalah
suara serak, kesulitan menelan, dan gangguan tidur. Pada pemeriksaan fisik perlu dicek
keadaan umum, tanda vital (untuk mengidentifikasi beratnya kelainan pernapasan dan
kebutuhan penanganan jalan napas), dan pemeriksaan auskultasi untuk
menggambarkan fase pernapasan (inspiratotik, ekspiratorik, dan bifasik).

219
23:
Untuk menilai derajat obstruksi, digunakan tingkatan obstruksi Jackson sebagai
berikut

Pemeriksaan penunjang obstruksi saluran napas atas dilakukan dengan radiologi


thorax, jaringan lunak leher AP/Lateral, pulse oxymetri, analisis gas darah (AGD),
nasofaringoskopi, langringoskopi fleksibel fiber optik, serta CT Scan kepala-leher.
Etiologi obstruksi saluran napas atas pada anak terbagi sebagai berikut

Etiologi obstruksi saluran napas atas pada dewasa terbagi sebagai berikut

Penatalaksanaannya tergantung dari derajat sumbatan. Apabila maish pada derajat


Jackson I, maka hanya perlu terapi definitif dengan pemberian medikamentosa berupa
steroid dan antibiotik. Namun apabila sudah derajat II, III, dan IV perlu dilakukan terapi
operatif trakeostomi maupun intubasi. Prinsip utama tatalaksana ini adalah untuk
memperbaiki sumbatan jalan nafas.

220
23:
VI. PERDARAHAN BIDANG THT DAN KEPALA-LEHER/ EPISTAKSIS
Epistaksis/ Mimisan dapat terjadi baik pada sisi anterior (lebih sering) atau posterior
(sering terjadi pada lansia). Pada epistaksis anterior, terjadi perdarahan Pleksus
Kiesselbach/ area litter yang merupakan anastomosis arteri labialis superior, etmoidalis,
dan palatina mayor. Sementara epistaksis posterior terjadi perdarahan pada arteri
etmoidalis posterior dan sphenopalatina.
Penyebab lokal epistaksis adalah sebagai berikut

Penyebab sistemik epistaksis adalah sebagai berikut

221
23:
Berdasarkan anatomi hidung, mukosa hidung divaskularisasi oleh sistem arteri karotid
interna dan eksterna yang melewati lapisan mukoperiosteal/ perikondrial kecuali untuk
percabangan yang melintang pada turbinatum inferior dan media. Dikarenakan
vaskularisasi ini, epistaksis dari hidung bisa mengalir hingga ke tenggorokan juga.

Managemen awal epistaksis adalah sebagai berikut

Tatalaksana yang dilakukan apertama kali adalah dengan memastikan airway pada
pasien. Pasien diminta untuk menunduk dengan mulut terbuka untuk mencegah aspirasi.
Pasien juga diminta untuk menekan cuping hidung dengan anggapan mampu
memberhentikan perdarahan. Selanjutnya dilakukan asesmen untuk mengetahui lokasi
sumber perdarahan dan bila perdarahan amsih tidak berhenti berikan tampon baik
menggunakan roll tampon ataupun dengan tampon bentuk jadi (masukkan ke hidung
sambal berikan air). Apabila menggunakan roll tampon, ganti tampon dalam 2-3 hari dan
222
23:
berikan antibiotik untuk mencegah timbulnya infeksi. Bekuan darah perlu dikeluarkan
dan diberikan topikalisasi dengan agen vasokontriktor dan anestesi. Endoskopi rigid
dilakukan bila terjadi epistaksis posterior.

Anterior nasal packing meliputi Hydroxylated polyvinyl acetal (Merocel) dan Polyvinyl
alcohol (Expandacell, Rhino Rocket). Kalau lokasi sumber perdarahan bisa diidentifikasi,
maka bisa digunakan kateter elektrik ataupun penggunaan silver nitrat yang
ditempelkan di daerah bleeding point tersebut.

223
23:

224
23:
Posterior nasal packing perlu dilakukan dengan pemasangan tampon diikuti
pemasangan belok tampon. Kateter dimasukkan dalam cavum nasi hingga ke mulut dan
tarik ke nasofaring baru dilakukan pemasangan tampon. Apabila terjadi epistaksis, perlu
dievaluasi kondisi hemodinamik pada pasien. Apabila mimisan terjadi karena hipertensi
dan trombositopeni, tatalaksana sesuai dengan penyebabnya. Berikut adalah algoritme
tatalaksana epistaksis di Indonesia

225
23:
VII. TRAUMA AKUT BIDANG THT DAN KEPALA-LEHER
Trauma telinga bisa terjadi baik pada telinga luar maupun telinga dalam.

Managemen terhadap trauma pada daun telinga adalah sebagai berikut

A. Luka Bakar
Trauma pada telinga bisa berupa luka bakar, baik luka bakar thermal maupun
kaustik. Luka bakar ini dibagi dalam 3 derajat meliputi derajat satu: pada permukaan
kulit dan meliputi epidermis, menyebabkan nyeri, eritema/kemerahan, dan sedikit
kerusakan jaringan yang sembuh dalam 5-10 hari, derajat dua: luka bakar dengan
ketebalan dalam dan parsial yang menembus dermis dan merusak ujung tepi saraf

226
23:
dan menyebabkan nyeri dan gelembung isi air/ blister yang sembuh dalam 10-30 hari
bergantung pada kedalaman luka bakar.

Pengobatan terhadap trauma luka bakar bergantung pada kedalaman luka yang
mempengaruhi proses penyembuhan. Apabila tidak diberikan pengobatan mampu
menyebabkan perikondritis. Tatalaksana pada derajat satu dengan debridemen lokal
dan antibiotik topikal, sedangkan pada derajat dua dengan debridemen lokal,
antibiotik superkondrial (gentamisin), dan STSG.
B. Trauma Laring
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma inhalasi/ ingesti,
iatrogenik, maupun penetrating trauma. Etiologi dan mekanismenya paling sering
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, dapat juga disebabkan oleh luka
tembak maupun pisau (destruksi jaringan lebih sedikit), luka tumpul (gangguan pada
jaringan namun tidak menyebabkan kehilangan jaringan), dan cedera olahraga. Untuk
mengatasi trauma laring, dilakukan berdasar prinsip ATLS, intubasi cenderung
berbahaya karena bisa menyebabkan robek krokotrakeal, hindari krikoidotomi
karena memperparah cedera. Penanganan kegawatdaruratan dilakukan dengan 3 hal

227
23:

1. Trauma Multisistem: pertahankan jalan napas, resusitasi jantung, kontrol


perdarahan, stabilisasi cedera tulang belakang
2. Saluran napas dewasa: trakeotomi dengan anastesi lokal atau intubasi dengan
bronkoskopi rigid
3. Saluran napas anak: intubasi dengan bronkoskopi rigid diikuti trakeotomi
C. Trauma Esofagus

Tatalaksana trauma esofagus dilakukan dengan pemberian cairan parenteral


dan koreksi cairan apabila ada fluid imbalance, pasang NGT, lakukan esofagoskopi,
dan beri medikamentosa berupa sukralfat, H2-Blocker & PPI, steroid, dan
antibiotik.

228
23:

VIII. OTALGIA AKUT

IX. PARESE NERVUS FASIALIS AKUT


Insidensinya sekitar 30:100.000 populasi/tahun. Kasus yang paling banyak terjadi
adalah Bell‘s Palsy (54%), Infeksi (26%), Trauma (5,9%), Iatrogenik (2 %), dan Tumor
(1,8%). Jarang terjadi paralisis bilateral, hanya 0,3-2% dari keseluruhan kasus paralisis
nervus fasialis. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui letak lesi: sentral/ perifer.

229
23:
Lesi Sentral Lesi Perifer
Gejala pada sisi berlawanan Gejala satu sisi dengan lesi
Paralisis wajah bagian bawah Kontraksi dahi (-), Lakrimasi (-)
M. frontalis baik Fenomena Bell’s, Wajah kaku
Gerak volunter (-) Gerakan sudut mata & bibir (-), mengembangkan
cuping hidung (-)
Respon emosi (+) Kerut kulit (-), Sensasi rasa 2/3 anterior lidah (-)
Berikut adalah penyakit dengan paralisis nervus VII

X. TULI MENDADAK DAN VERTIGO BERAT.


Tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba, sensorineural,
penyebabnya tidak langsung dapat diketahui, terjadi dalam periode 3 hari, dan
merupakan gangguan pendengaran sensorineural yang lebih besar dari 30 dB lebih
dari 3 frekuensi yang berdekatan. Tuli mendadak terjadi dnegan 5-20 kasus tiap
100.000 orang per tahunnya, umumnya terjadi pada usia 43-53 dengan distribusi
sama antara laki-laki dan perempuan. Gejala vestibular biasanya timbul pada pasien
Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSHL) pada sekitar 28-57% pasien. Penyebab tuli
mendadak adalah

230
23:
Agen-agen penyebab ototoksik meliputi

231
23:
Faktor predisposisi lain yang menimbulkan tuli mendadak adalah penggunaan
alkohol yang berlebihan, kondisi emosional penderita, kelelahan, penyakit
metabolik (DM, hiperlipidemia), penyakit kardiovaskuler, stres, dan usia.
Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai onset, progresivitas (tiba-tiba,
progresif cepat, progresif lambat, fluktuatif, stabil), dan sifat (unilateral atau
bilateral), gejala penyerta (tinnitus, sensasi penuh pada telinga, vertigo,
disequilibrium, otalgia, kelainan neurologis, nyeri kepala, keluhan sistemik), riwayat
trauma, konsumsi obat ototoksik, operasi, penyakit sebelumnya, pekerjaan, dan
pajanan terhadap kebisingan.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi saluran telinga dan membran timpani
yang berfungsi untuk membedakan tuli konduktif dan sensorineural. Dilakukan
pemeriksaan dengan otoskop pada tuli konduktif untuk melihat adanya impaksi
serumen, otitis media, benda asing, perforasi membran timpani, otitis ekstrena yang
menyebabkan edema, otosklerosis, trauma, maupun kolesteatoma. Sedangkan
pemeriksaan dengan otoskop pada tuli sensorineural hasilnya hampir selalu normal.
Dapat dilakukan pemeriksaan Hum Test (pasien diminta bersenandung dan diberi
tahu apakah suara terdengar lebih keras di satu telinga atau keduanya). Pada
pemeriksaan ini, suara terdengar lebih keras pada telinga yang sakit menandakan
tuli konduktif dan bila lebih keras di telinga sehat terjadi pada tuli sensorineural.
Dapat dilakukan juga tes panala/ garpu tala dengan tes weber, maupun dilakukan
pemeriksaan audiometri.
Tatalaksana tuli mendadak adalah dengan tirah baring sempurna (total bed rest)
istirahat fisik dan mental selama 2 minggu, vasodilatansia yang cukup kuat,
prednison, vitamin C, neurobion, diet rendah garam dan rendah kolesterol, inhalasi
oksigen, obat antivirus sesuai virus penyebab, hingga hiperbarik oxygen therapy
(OHB). Pemberian steroid intratimpani menjadi alternatif dalam tatalaksana tuli
mendadak.
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor meliputi kecepatan
pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat tuli saraf, dan
adanya faktor-faktor predisposisi. Pada umumnya akan semakin cepat sembuh bila
diberikan pengobatan, dan bila telah timbul dan tuli bertahan lebih dari 2 minggu
maka kemungkinan sembuh lebih kecil. Penyembuhan dari tuli mendadak dapat
terjadi sebagian ataupun lengkap, namun bahkan dapat juga tidak sembuh.

#mantapeditnya#mangatbacanya#suksessemua

232
23:
TERAPI CAIRAN EMERGENSI
dr. Yosy Budi Setiawan Sp.An

A. KOMPARTEMEN CAIRAN

Pada gambar terdapat pembuluh


darah arteri, vena, plasma sel darah
merah dan putih di intravaskular,
ada intraseluler fluid yang berada
didalam sel itu sendiri dan
interstisial fluid yang berada di luar
sel dan diluar pembuluh darah.

1. Kompartemen Cairan
Cairan tubuh pada dewasa normal menempati
60% dari seluruh berat badan tubuh seseorang
dan untuk 40% berisi jaringan padat baik tulang,
otot, ligamen dll. Dari 60% terbagi lagi menjadi
40% berada di intraseluler, di luar sel/ekstraseluler
sebanyak 20%. dan di bagian ekstraseluler terbagi
lagi menjadi interstisial 16% dan intravaskular
sebanyak 4%.

2. Jumlah Cairan Masuk pada Orang Dewasa Sehat dalam 1 Hari

233
23:
3. Indikasi Penggantian Cairan
 Syok
 Hipovolemia
 Luka bakar, untuk luka bakar yang cukup luas karena adanya kerusakan jaringan,
jaringan kulit tidak intak, banyak mengeluarkan cairan, plasmanya keluar, penguapan
berlebih sehingga beresiko terjadi dehidrasi hipovolemik
 Trauma
 Pembedahan
 Diare
 Muntah

Pada gambar terdapat kompartemen


cairan yang dibatasi oleh membran
didalam tubuh. Membran sel permeabel
terhadap air mengikuti gradien tekanan
osmotik. Tekanan osmotik adalah tekanan
yang mempertahankan cairan tetap berada
dalam kompartemennya. Kebalikannya
dengan tekanan hidrostatik yaitu
mendorong keluar. Pembuluh darah
mempunyai membran kapiler yang
permiabel terhadap semua cairan kecuali
sel darah merah, leukosit dan protein.

Contoh kasus :

234
23:
Seorang pasien kehilangan 2 liter cairan isotonis yang terjadi dalam 15 atau 30 menit.
Darah dewasa normal +- 4,5 - 5 liter, sehingga diperkirakan hampir 50% darah yang
hilang dalam waktu cepat. Dalam iustrasi menggambarkan bahwa pembuluh darah
mengalami robekan. Sehingga karna terlalu cepat, baik interstisial dan intreaselular tidak
mampu mengkompensasi kecepatan dari kehilangan darah tsb. Hingga pasien
mengalami syok. Contoh kasusnya : pasien kecelakaan dengan open fraktur femur
tulang panjang dan merobek pembuluh darah besar sekitar dengan perdarahan masif.
Untuk penanganan harus cepat,dan agresif. Cek ABC, resutasi, bahkan memasang infus
set, atau transfusi set dua jalur jika memungkinkan agar pemberian cairan juga cepat.

Pada kasus di samping terjadi


komplikasi dehidrasi sedang karena
komponen interstisial dan intracelular
masih mempunyai waktu untuk
kompensasi.

Terjadi dehidrasi berat bisa jadi karena


diare dan muntah-muntah yang terjadi
secara terus menerus. Pada bagian
interstisial berusaha mengkompensasi
tetapi lama-kelamaan menjadi kehilangan
cairan cukup banyak dan bisa
menyebabkan dehidrasi berat walaupun
tensi masih dalam keadaan baik.

235
23:

Contoh kasus :
Diare tetapi tidak di terapi dan
diresusitasi maka akan terjadi syok
hipovolemik. Jika terjadi syok -->
hipoksia. Pada pasien prolong syok akan
mengganggu fungsi organ seperti otak,
jantung dan ginjal.

4. Syok / Dehidrasi Berat


Tanda-tanda syok/dehidrasi
berat(umum):
Gelisah, hipotensi,takikardi,
takipneu, perfusi/capilary refil jelek,
dan oliguria.

5. Tanda defisit cairan ekstraseluler(khusus)

236
23:
6. Perkiraan kehilangan darah

B. S Y O K
1. Sindroma Syok
Syok adalah kegagalan sistem kardiovaskuler untuk mencukupi perfusi jaringan
secara adekuat.bisa di sebabkan oleh gangguan pompa jantung, sistem sirkulasi,
dan/atau volume yang dapat mengurangi aliran darah ke jaringan. Tidak adekuatnya
perfusi jaringan dapat menyebabkan:
 Hipoksia seluler keseluruhan (starvation)
 Asidosis Metabolik
 Meluasnya gangguan metabolisme seluler
 Kerusakan jaringan, kegagalan organ
 Kematian

2. Diagnosis Syok
 Jika MAP < 50
MAP = (Sistolik + (2xDiastolik))/3
 Klinis ditandai dengan Hipoperfusi organ vital :
 Sianosis,

237
23:
 Kulit basah dan dingin (keringat dingin), salah satu kompensasi dari tubuh
ketika terjadi syok yaitu merangsang baroreseptor yang ada di arteri carotis.
Baroreseptor akan merangsang sistem saraf simpatis dengan cara
vasokonstriksi di arteriol baik ektremitas, kulit, otot, bahkan organ dalam
seperti ginjal untuk redistribusi darah ke organ vital seperti otak dan jantung.
 Oligouria
 Penurunan Kesadaran

3. Managemen Syok
 Pertahankan saturasi O2 > 92%, intubasi bila diperlukan.
 Atasi penyebab syok bila memungkinkan dan upayakan peningkatan TD untuk
meningkatkan O2 delivery ke jaringan.
 Pertahankan MAP (mean arterial pressure) > 60 mmHg

4. Pembagian Syok
1. Syok Hipovolemik : Masalah di VOLUME darah
2. Syok Kardiogenik : Masalah di POMPA
3. Syok distributif [sepsis; anafilaktik; neurogenik] : Masalah di PEMBULUH darah
4. Syok Obstruktif (Tension Pneumothorax, Tamponade Jantung)

C. PEMILIHAN TERAPI CAIRAN


1. Cairan Infus
Resusitasi
1. Kristaloid : RL, NaCl 0,9%
2. Koloid, Albumin, HES, Gelatin
3. Rumatan : KAEN-3A, KAEN-3B, Nutrisi Parenteral, cth, As. Amino

2. KRISTALOID vs KOLOID
a. Kristaloid

238
23:
Keuntungan Kristaloid :
 Komposisi elektrolit seimbang
 Berfungsi sebagai Buffer (laktat/asetat)
 Tidak ada reaksi alergi
 Efek minimal terhadap homeostasis
 Memudahkan diuresis
 Sampai pada microsirkulasi
 Murah
Kerugian Kristaloid :
 Sedikit menambah volume plasma
 Volume yang dibutuhkan banyak
 Kelebihan cairan / oedem
 Mengurangi plasma COP (Colloid Oncotic Pressure)
 Hipotermia

1. Jenis kristaloid :
1. D5% atau D5W
 Banyak mengandung air, yg bergerak bebas dari IV ke intersisial atau intra sel.
 Air lebih banyak masuk ke intra sel ---> sel oedem
 2/3 cairan akan masuk intra sel
Catatan : TIDAK UNTUK RESUSCITATION

2. RL / Asering / NaCl 0,9%


 ¼ akan tetap berada dlm IV

239
23:
 Tidak ada yang masuk ke intra sel hingga tidak menyebabkan sel oedem
 Membutuhkan banyak cairan --> 3 – 4x volume yang hilang
 Harga murah
CATATAN : UNTUK RESUSITASI

2. Komposisi Kristaloid

Macam cairan : isotonis, hipotonis dan hipertonis. Tekanan yang isotonis


berarti mendekati atau sama dengan tekanan osmotik darah. Tekanan osmotik darah
sekitar 280-290mOsm/L. contoh kasus : pasien cidera kepala dengan perdarahan di
otak, jika pasien seperti itu bisa terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena
perdarahan dan pasien tidak sadar. Bila kita memilih RL dan asering yang
osmolaritasnya sedikit di bawah darah, dan berlebihan maka cairan bisa keluar dari
pembuluh darah, jika di otak bisa memperberat tekanan intrakranial yang meningkat.
Ada banyak rekomendasi jika terjadi CKB dengan perdarahan salah satunya dengan
NaCl 0,9% untuk elektrolitnya di kombinasi antara RL dan NaCl dengan perbandingan
2:1 dengan kadar NaCl lebih banyak.

b. KOLOID
Cairan yg dapat meningkatkan tekanan onkotik krn memiliki Berat Molekul yg besar
sehingga tidak mudah keluar dari intra vaskuler
1. Alami: human albumin

240
23:
2. Sintetis : gelatin, dextran, hydroxyethyl starches (HES)

Keuntungan Koloid :
 Lebih tahan lama di intavaskuler
 Volume yg dibutuhkan tidak banyak
 Tekanan onkotik plasma COP meningkat
 Resiko oedem minimal
 Meningkatkan aliran darah microvaskuler

Kerugian Koloid :
 Volume overload, hati-hati pada pasien geriatri/ tua, karena pasien tua biasanya di
ikuti dengan gangguan jantung, kelemahan seperti CHF, hipertensi kronis
 Mengganggu homeostasis, fungsi pembekuan bisa terganggu jika dosis berlebihan
 Akumilasi di jaringan
 Efek samping menggangu fungsi ginjal, karena berat molekul yang besar sehingga
bisa mengganggu fungsi sekresi dan eksresi terutama di glomerulus
 Reaksi anafilaksik
 Lebih mahal
Komposisi Koloid

241
23:

D. MANAGEMEN RESUSITASI CAIRAN


1. Target Resusitasi Cairan
 Mempertahankan normovolemia dan stabilitas hemodinamik
 Tercapai keseimbangan antara kompartemen cairan
 Mempertahankan tekanan colloid osmotic pressure (COP) secara adekuat
 Meningkatkan aliran darah mikrovaskuler
 Mencegah terjadinya koagulopati
 Normalisasi hantaran O2 ke jaringan sel dan metabolisme seluler
2. Metode Mengetahui Kebutuhan Cairan
 Perkirakan normal volume darah (BV)
Bayi prematur = 95 mL/kg;
Bayi aterm = 85 mL/kg; Pediatrik = 80 mL/kg;
Laki-laki = 75 mL/kg; Wanita = 65 mL/kg(banyak jaringan lemak)
 Perkirakan % darah yang hilang
 Hitung volume defisit (VD)
VD = BV x % loss
 Tentukan volume resusitasi (RV)
Whole Blood RV = VD
Colloid RV = 1,5 x VD
Kristaloid RV = 3-4 x VD
3. Cairan perioperatif
 Maintenance (M): 2 cc/kgBB/jam(dewasa)
 Pengganti puasa (PP): 6-8 cc/kgBB
 Sress operasi (SO):
 4 cc/kgBB/jam operasi kecil

242
23:
 6 cc/ggBB/jam operasi sedang
 8 cc/kgBB/jam operasi besar
 Pemberian jam I: M+1/2PP+(SO)
 Pemberian jam II dan III: M+1/4PP+(SO)
 --> konversi menjadi tetes/menit
4. Resusitasi Cairan
 Jaga Airway, terapi oksigen maksimal
intubasi & ventilator bila diperlukan
 Bolus cepat kristaloid dlm 10-15 mnt.
Anak < 1 thn 10 cc/kgBB. Dewasa 20 cc/kgBB
 Bolus bisa diulang sesuai kebutuhan
 Evaluasi setiap selesai bolus cairan
kesadaran, denyut nadi, ronkhi
 Pasang infus 2 jalur jika dibutuhkan
 Bila tidak respon bisa ditambahkan koloid
INGAT koloid ada dosis maksimal
 TERAPI DEFINITIF --> Operasi Cito
5. Monitoring
 Kesadaran
 Denyut nadi
 Perfusi jaringan(akral dingin, CRT, capillary refil time)
 ECG Monitoring
 Pulse Oxymetri( untuk mengetahui kadar oksigen dalam darah tpi tergantung
denyut nadi. Jika pasien syok pulse oxymetri terkadang tidak terbaca/hilang
timbul))
 MAP
 Urine

243
23:

6. Komplikasi
 Oedem paru
 Myocardium oedem
 Abdominal Compartement Syndrome
 Efek pada Susunan Saraf Pusat
7. Respon Terhadap Terapi Cairan Awal

8. Evaluasi Resusitasi Cairan


 Keadaan Umum
Kesadaran
Perfusi jaringan --> sianosis
 Produksi Urin
Dewasa 0,5 s.d 2 cc/kgBB
Anak 2 s.d. 4 cc/kgBB
 Keseimbangan Asam – Basa
9. Analisa Gas Darah (AGD)
 pH normal 7,35-7,45
 Asidosis:
- Respiratoris

244
23:
- Metabolik
 Alkalosis
- Respiratoris
- Metabolik
 Respiratoris --> gangguan dari system respirasi
 Metabolik --> gangguan dari proses metabolisme
10. Perhitungan TPM (tetes per menit)
 Kebutuhan cairan 1000 ml dalam 2 jam
 Berapa TPM ?
 1000 = … tetes
 2 jam = … menit
 Cek infus set/tranfusi set = 1 ml ~ … tetes
11. Macro drip
 Infus set merk Otsuka 15 tts/ml
 Merk terumo 20 tts/ml
 Transfusi set 15 tts/ml
--> 1000 x 20 = 20.000 tts
--> 2 x 60 = 120 menit
--> 20.000/120 = 166 TPM(contoh)
12. Micro drip
 Pada neonates dan pediatrik
 1 ml = 60 tetes
--> Contoh : kebutuhan 500 ml dalam 5 jam, berapa pengaturan TPM ?

500 x 60
= 100 TPM
5 x 60

245
BREAKING BAD NEWS
Editor : L
Layouter :
Dokter : dr Icha

Pasien sering mengalami denial ketika dokter memberikan breaking bad news seperti
pada kasus penyakit akut, kronik, berat, terminal dll. Sehingga peran kita sebagai dokter adalah
untuk membantu pasien dari kondisi denial ke kondisi acceptence.

246
I. Bad News (Kabar Buruk)

Bad news merupakan suatu situasi dimana dapat membuat seseorang tidak memiliki
harapan, bisa menjadi ancaman bagi individu baik secara mental ataupun fisik dan dapat
mengganggu kehidupan sehari hari, bad news juga berarti suatu pesan yang disampaikan
kepada individu yang tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup (Bor et al, 1993). Informasi apa
pun yang secara negatif dan serius mempengaruhi pandangan individu tentang masa depannya
(Buckman, 1992). Suatu informasi yang tidak bisa diterima/ not welcome (Gallagher, 2003).
Pengalaman buruk/ tidak nyaman baik bagi pemberi informasi dan yang diberi informasi ( Altini
& Aleotti, 2006).
Contoh penyakit yang melibatkan breaking bad news adalah penyakit yang mengancam
jiwa seperti kanker , HIV dan alzheimer/ demensia, penyakit kronis seperti rheumatoid artritis/
systemic lupus erythematous, dan retardasi mental anak seperti sindrom downs/ serebral
palsy. Contoh lainnya adalah :
1. Penyakit reccurence (kambuh kambuhan) / Penyakit metastasis
2. Gagal treatment sehingga mempengaruhi progress penyakit
3. Efek samping irreversible, hasil dari tes genetik
4. Masalah perawatan paliatif dan resusitasi
BBN merupakan bagian dari clinical practice, kita sebagai klinisi akan sering menghadapi
kasus kasus diatas sehingga kita membutuhkan skill khusus untuk bisa melakukan BBN agar
tidak memberikan dampak discouraging pada pasien dan keluarganya. Jangan pernah menutup
nutupi kondisi pasien walaupun kita niatnya mau membantu pasien agar tidak discourage,
karena hal tersebut dianggap tidak etis , jadi kita sebagai dokter harus menjelaskan bagaimana
kondisi pasien tsb dengan cara komunikasi yang baik. BBN dapat membuat pasien mengalami
penyesuaian psikologis yang lebih baik, mengurangi stress pada dokter, memfasilitasi diskusi
terbuka dengan pasien dan keluarga, dan memberdayakan pasien dengan memungkinkan
mereka berbicara/ bercerita lebih banyak dalam treatment.

247
Kabar buruk merupakan konsep yang relatif dan bergantung pada interpretasi pasien
terhadap informasi dan reaksi. Makannya kalo mau ngasih BBN itu harus dengan bahasa yang
baik jangan bikin pasiennya trauma setelah mendengar kabar buruk tersebut. Kenapa
memberikan BBN itu sulit ? Dari perspektif pasien --> biasanya BBN dapat menyebabkan pasien
terngiang ngiang atau memiliki vivid memories mengenai kabar buruk yang didengarnya,
pengalaman negatif seperti mendengar kabar buruk juga akan menyebabkan efek jangka
panjang seperti cemas dan depresi. Sedangkan dari perspektif dokter memberikan BBN dapat
membuat dokter merasa takut menyebabkan kesakitan bagi pasiennya, takut untuk disalahkan,
takut terapi gagal, atau takut terhadap reaksi yang akan diberikan oleh pasiennya, kurangnya
training memberikan BBN, kurang waktu, kurang support, kendala sistem kesehatan, kendala
budaya/ bahasa dan takut mengganggu peran atau struktur keluarga pasien yang ada.

Kepada siapa BBN diberikan ? Pedoman hukum dan etika tertentu dalam praktek klinis
mempersulit dokter dalam menyembunyikan informasi penting dan pribadi, sebelum
memberikan BBN sebaiknya dokter mendiskusikan situasi pasien dengan kolega atau tim
perawatan kesehatan lain scr multidisiplin. Ada beberapa situasi tertentu di mana Anda

248
mungkin perlu mempertimbangkan apakah akan memberikan kabar buruk atau tidak, Contoh :
jika pasien dianggap psikotik, dan tidak memahami apa yang telah terjadi, kita sebagai dokter
dapat menahan berita buruk. Saat merawat seorang anak, dokter biasanya berunding dengan
orang tua atau wali sebelum menyampaikan kabar buruk.

Siapa yang harusnya memberikan BBN? Karena beberapa alasan, mungkin lebih tepat
bagi dokter lain untuk menyampaikan kabar buruk (BBN). Misalnya, pasien yang dikirim ke
rumah sakit untuk tes khusus mungkin masih mengharapkan dokter umum untuk
mengungkapkan hasil daripada konsultan rumah sakit. GP yang biasanya memiliki hubungan
dekat dengan pasien dapat dengan mudah mengantisipasi beberapa masalah yang mungkin
akan muncul. Memberi berita buruk/BBN biasanya membutuhkan beberapa waktu.

Kapan harus menyampaikan BBN? Anda dapat mencoba secara bertahap untuk
memberikan BBN ; dengan memberikan pasien dan keluarga beberapa waktu untuk
menyesuaikan diri. Di sisi lain, tahan berita yang dapat membuat mereka tidak memiliki
kesempatan untuk menghadapinya dan mulai membuat penyesuaian yang diperlukan dalam
kehidupan pribadi mereka. Dalam beberapa situasi, menyembunyikan berita buruk
sampai tahap selanjutnya bisa berbahaya, Contoh: jika pasien mengidap penyakit atau kondisi
infeksi spt hepatitis c atau HIV, ia dapat secara tidak sengaja menulari orang lain, sehingga
pasien atu orang disekitarnya tidak mendapatkan manfaat dari informasi medis awal tentang
penyakit tsb.
Apa yang diinginkan pasien ? untuk dirinya sendiri biasanya pasien menginginkan waktu
lebih untuk berbicara dan menunjukkan perasaannya, sedangkan yang diinginkan pasien dari
dokter adalah memberikan informasi yang dapat membantu dan dapat meningkatkan

249
II. Kenapa Breaking Bad News Penting
A. BBN Merupakan Tugas yang Sering tetapi Membuat Stres
Memberitakan kabar buruk bisa sangat menegangkan jika dokter belum
berpengalaman, pasien masih muda, atau prospek pengobatan yang berhasil terbatas.
B. Pasien Menginginkan Kebenaran
Pada akhir 1970 sebagian besar dokter mulai terbuka tentang memberi tahu diagnosis
pada pasien kanker. Pada tahun 1982 96% dari 1.251 orang Amerika menyatakan bahwa
mereka ingin diberi tahu jika mereka didiagnosis kanker, 85% pasien yang memiliki penyakit
dengan prognosis buruk, berharap bisa diberi perkiraan realistis tentang berapa lama mereka
harus hidup.
C. Etika dan Keharusan Hukum
Kita memiliki kewajiban etik dan hukum yang jelas untuk dapat memberikan pasien
informasi sebanyak yang mereka inginkan tentang penyakit mereka dan bagaimana
pengobatannya.
D. Hasil Klinis
Bagaimana berita buruk yang disampaikan dapat mempengaruhi pemahaman pasien
pada suatu informasi serta kepuasan pasien terhadap perawatan medis, tingkat harapan dan
penyesuaian psikologis selanjutnya.

Terdapat 3 hambatan atau bariers dalam memberikan BBN yaitu :


1. Emosi spt cemas
2. Beban tanggung jawab : misal dokter yang gak mau repot repot menyampaikan informasi
kepada pasien
3. Dan takut mendapatkan evaluasi negatif dari pasien

III. Metode Menyampaikan Breaking Bad news

250
A. ABCDE APPROACH
ABCDE approach terdiri dari Advance preparation, Built therapeutic environment,
Communicate well, Deal with patient and family reaction, and Encourage and validate emotion.
B. SPIKES Approach
SPIKES approach yang paling sering dipakai terdiri dari Setiing up in privacy ,
Perceptions of the patiens, Invitation to break news, Knowledge, Emotions, dan Strategy.
1. Setting up in privacy atau setting up the environment : memberikan privasi,
memperkenalkan diri, menentukan siapa lagi yang harus hadir, memastikan tidak
ada gangguan, menyediakan ruang yang nyaman, dan menciptakan
lingkungan yang ramah.
2. Perception : tanyakan apakah pasien sudah tau tentang kondisi klinisnya atau apa
yang pasien curigai, mendengarkan level pemahaman pasien , dan pahami jika
pasien denial jangan melakukan konfrontasi.
3. Invitation - information : tanyakan kepada pasien apakah dia ingin mengetahui
detail dari kondisi medis serta pengobatannya. Hormati hak pasien jika tidak ingin
mengetahuinya dan tawarkan jika pasien ingin mengetahui nya nanti, maka
kita sebagai dokter harus siap untuk memberikan informasi .
4. Knowledge : berikan informasi menggunakan bahasa yang sederhana, perhatikan
bahasa tubuh, langsung ke intinya, berikan informasi dalam potongan kecil,
jeda serta gunakan "Teach Back" untuk memverifikasi bahwa pesan atau informasi
yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pasien.

251
5. Emotions and emphaty : bersiaplah untuk respons emosional pasien dan keluarga,
antisipasi ketakutan, kemarahan, kesedihan, penyangkalan, rasa bersalah serta
perhatikan respons anda sendiri, dan hibur pasien.
6. Srategy and summary : menilai kesiapan pasien untuk perencanaan
(menegosiasikan langkah selanjutnya, memverifikasi struktur
pendukung,mengetahui & menjawab pertanyaan), dan meringkas rencana
(gunakan teknik "Teach Back", follow up)
C. SAAIQ Approach
SAAIQ approach terdiri dari Set the scene as soon as possible, Assess the understanding
of the attendant, Allert them that I have bad news , Inform in clear, understandable words , dan
Quickly repeat summary of situation .
D. BREAKS Approach
BREAKS approach terdiri dari Background, Rapport, Explore, Announce, Kindling, dan
Summarise.
E. SAD NEWS Approach
SAD NEWS approach terdiri dari Set up & sit down, Aak, don’t tell, Delliver the news, No
fancy lingo, Expect, permit &respond to emotion, Wait, dan Support & summarise.

IV. RESPON DAN REAKSI PASIEN TERHADAP BREAKING BAD NEWS


A. Jika Pasien Mengangis (Cry)
Biarkan pasien memiliki beberapa waktu untuk menangis, kita bisa menunjukan empati
dengan berkata ( saya bisa melihat bahwa anda sangat sedih) , dapat juga menyentuh pasien
dengan cara yang sopan dan tepat. Setelah beberapa waktu kita dapat melanjutkan
pembicaraan walaupun pasien masih menangis
B. Jika Pasien Marah (Angry)
Menunjukkan defensif atau iritasi terhadap pasien tidak membantu, pelajari posisi
pasien dan hindari membicarakannya.
C. Jika Pasien Menolak (Refuses)
Cari tahu kenapa pasien mengalami denial, tidak kombinatif, hargai jika adanya
kesenjangan informasi dan cobalah mendidik pasien dengan cara yang benar, periksa apakah
pasien memiliki pemahaman yang jelas tentang masalahnya, berempati dengan sabar, libatkan

252
anggota keluarga jika dibutuhkan, dan berikan pasien waktu untuk menyesuaikan diri dengan
informasi baru.
Permasalahan yang sering muncul pada saat memberikan BBN adalah waktu/ informasi
yang tidak cukup, kegagalan untuk mendapatkan pemahaman pasien tentang situasinya,
memberikan berita dengan kecepatan dokter (ngomong terlalu cepat tanpa memperhatikan
pasien), tidak memberikan waktu untuk tanggapan, jaminan palsu tentang masa depan,
membiarkan denial tetap ada, dan menghilangkan semua harapan.

Gambar dibawah adalah contoh kalimat tidak jelas yang dapat membuat pasien bingung
serta contoh kalimat yang lebih tepat untuk disampaikan

253
Kesimpulan : Komunikasi dalam BBN adalah 2 arah, pasien juga harus jujur kepada
dokter tentang gejala, preferensi dan kekhawatiran mereka, perlu harapan dan aspirasi yang
realistis dengan menjaga keterbukaan yang jujur

254
23:
TOXICOLOGY AND ACUTE INTOXICATION THERAPY
(PLANT, ANIMAL POISON, PESTICIDES)
DOSEN: dr. Hidayatul Kurniawati
ED:   

I. DEFINISI
 TOXICOLOGY: Ilmu yang berurusan dengan zat beracun dan efeknya pada tubuh.
 TOXIC SUBSTANCES: Zat (kimiawi) dapat menyebabkan kerusakan pada sistem
biologi seperti hanya berupa gangguan, atau hanya gejala hingga masalah
kesehatan.

Dari kesehatan masyarakat: substansi yang toksik memiliki dampak yang luas. Pada
bidang forensik  kasus pembunuhan yang menggunakan substansi toksik. Secara global,
bisa secara global misalnya peperangan yang menggunakan substansi toksik.

 Mempelajari tentang bahan toksik: dapat menyebabkan kerusakan sistem biologi


 Mempelajari tingkat: di mana suatu zat dapat menyebabkan kerusakan atau tidak
dapat menyebabkan kerusakan sistem biologis
 Mempelajari keamanan zat

II. TOXIC SUBSTANCE


 Zat dapat menyebabkan kerusakan sistem biologis
 Kemampuan menyebabkan kerusakan  toksisitas  parameter toksisitas 
LD50 (jumlah/dosis yang menyebabkan kematian 50% hewan yang terpajan)

255
23:
 Bagaimana hal tersebut masuk ke dalam tubuh? Seberapa sering dan lamanya
pemaparan?

Exposure site (substansi toksik bisa masuk melalui kulit, traktus GI, traktus respiratori,
injeksi, plasenta)  substansi toksik akan mengalami absorbsi, didistrisbusikan ke organ
target, reabsorbsi, toksikasi  delivery  tubuh akan memberikan respon berupa eliminasi
presistemik, didistribusikan sejauh mungkin dari target, mengalami ekskresi ataupun
detoksikasi  apabila proses tersebut gagal  substansi akan lanjut ke molekul target bisa
berupa asam nukleat, asam lemak  gejala toksisitas muncul.

256
23:
Gambar di samping
adalah proses toksikasi di tingkat
seluler. Toksikan (substansi
toksik) akan masuk 
didistribusikan  proses
penghalau oleh tubuh  proses
penghalau tidak berhasil 
berinteraksi dengan target
molekul  disfungsi di tingkat
seluler. Jika hal tersebut
berlanjut atau proses perbaikan
tidak berjalan dengan lancar,
maka akan timbul gejala
toksisitas.

A. TOXICATION – DETOXICATION
- KERACUNAN/TOKSIKASI: proses biotransformasi menyebabkan pembentukan
metabolit toksik yaitu elektrofil, radikal bebas, nukleofil, reaktan aktif redoks.
- DETOKSIKASI: proses biotransformasi yang menghilangkan racun/toksin
utama untuk mencegah toksisitasnya.
B. TOXICOKINETICS
- Substansi toksik  efek toksik yang masuk ke suatu organisme didistribusikan
ke seluruh organisme mencapai sel atau target organ  menimbulkan efek
yang dieliminasi dari suatu organisme

257
23:

Proses yang paling cepat dari bagan di atas adalah INTRAVENA.


- Pengiriman dari lokasi paparan ke sel target: sifat fisikokimia substansi toksik,
cara (rute) paparan, lama paparan (semakin lama terjadinya paparan 
semakin mudah substansi toksik masuk ke dalam tubuh)
- Pengiriman dari tubuh (eliminasi): proses biotransformasi (kebanyakan hati),
fungsi proses ekskresi (kebanyakan ginjal), proses pengendapan (rambut,
kuku, dll)
C. TOXICODINAMICS
- Bagaimana substansi toksik berinteraksi dengan molekul target
- Bagaimana substansi toksik memberikan efek toksiknya pada tingkat
molekuler
- Apa tanggapan biologis (sebagai konsekuensinya)
- Bagaimana organisme menghadapi penghinaan itu
D. ORGAN BERPOTENSI TOKSISITAS
- HEPAR: sebagai pintu gerbang substansi toksik yang berpotensi mengalami
kerusakan.
 Aliran darah: vena portal (80%)  termasuk zat yang diserap dari perut
 Arteri hati (20%)  bawa oksigen
- GINJAL:
 Aliran darah ginjal 12,5 L per 100 menit
 Produksi urin 100 mL per 100 menit
 Reabsorpsi air yang berlebihan (peningkatan dramatis konsentrasi
xenobiotik filtrat)

258
23:
E. TOKSISITAS KHUSUS (SPECIAL TOXICITY)
1. TERATOGENESIS
a. SIFAT TERATOGENIK (+)
 Aminopterine atau amethopterine (antagonis asam folat):
hidrosephalus, tanpa jari, dll  kelainan pada bayi jika ibu terpapar
 Diethylstilbestrol: kanker vagina, anomalia saluran urogenital
 Fenitoin: anomalia jantung, hipoplasia kuku
 Thalidomide: focomilea (memendekkan tungkai)
 Warfarin: hipoplasia hidung, pemendekan jari
 Vitamin D: stenosis aorta, keterbelakangan mental
b. TERATOGENISITAS
 Lamanya paparan: embriogenesis (ibu hamil di awal kehamilan)
 Jumlah pemaparan (dosis): dosis berbeda  efek berbeda
 Contoh: Thalidomide
50 mg pada hari ke-26 setelah konsepsi  malformasi embrio
50 mg pada hari ke-10 setelah konsepsi  tidak ada malformasi
1 mg diminum kapan saja selama kehamilan  tidak ada malformasi
Dosis dan waktu pajanan merupakan faktor penentu
2. MUTAGENESIS
a. MUTAGENISITAS
 Mutasi gen
 Perubahan kode genetik dalam DNA
 Ini bukan karena rekombinasi gen (DNA)
 Dapat mempengaruhi sel somatik atau kromosom seks
 Genetik material – interaksi mutagen
 Proses kronis
 Kerusakan materi genetik (gen-DNA)
 Perubahan materi genetik  penyimpangan kromosom

259
23:
3. CARSINOGENESIS

(GAMBAR KIRI) Ketika ada substansi yang bersifat karsinogenik  aktivasi karsinogen
 perubahan DNA dan RNA (penyusun sel) sel akan mengalami perubahan  sel
neoplastik  neoplasma  kanker.
(GAMBAR KANAN) Suatu proses terjadi tumor di tingkat seluler. Ketika ada kerusakan
DNA  seharusnya sel bisa memperbaiki kerusakan tersebut, namun tidak semua proses
berhasil dilalui  terjadi kematian sel. Apabila proses tersebut terus berlanjut  mutasi gen
 aktivasi dari protein onkogenik dan inaktivasi dari protein penekanan tumor 
tranformasi sel neoplastik  tumor.

260
23:
III. ACUTE INTOXICATION
A. DIAGNOSIS
1. PEMERIKSAAN FISIK – KLINIS
- Kulit  pucat, cherry red, sianotik, kering, basah
- Mata – pupil  miosis, midriasis, kering, unisochoric
- Mulut  kering, hipersalivasi, asimetri
- Jantung  takikardia, bradikardia, aritmia
- Paru  normal, hiperventilasi
- Perut  hipoaktivitas, suara metalik
- Denyut nadi berirama, lemah, normal, tak beraturan–atau bradikardia
- Tekanan darah  TD tinggi, TD rendah
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

the rest toxin the rest of


washing vomiting
or suspect suspect
container material
substance material

gastric lavage urine blood - serum

Beberapa sampel: sisa toksin dari suspek substansi, sisa bahan suspek, hasil
pencucian yang kontak dengan zat toksin, bahan muntahan, cairan lambung, urin, darah
berupa serum.
B. TERAPI
1. SUPPORTIVE MEASUREMENTS
Membantu kondisi pasien tersebut agar kondisi tidak menjadi lebih buruk.
 Penyelamatan hidup/life saving  pemeliharaan fungsi vital (jantung dan
paru-paru) misalnya jika banyak mukus/lendir  selamatkan airway 
suction
 Menghilangkan lendir (dari jalan nafas)
 Gunakan pompa hisap yang sesuai (jika perlu)
 Beri O2
 Respirasi buatan (respirator)
 Kortikosteroid
2. Penilaian ABCD
 Airway – breathing, brain, circulation, disability  harus aman
 Resusitasi Jantung Paru
261
23:
3. Mencegah perkembangan keracunan
 Jauhkan korban dari sumber racun
 Dekontaminasi (cuci area kontak tubuh, emesis, gastric lavage,
laxant/pencahar)
4. SPECIFIC MEASUREMENTS
 Menghambat absorbsi lebih lanjut zat beracun  emesis (rangsang untuk
muntah), gastric lavage (bilas lambung), adsorben, laxants (pencahar)
 Meningkatkan proses eliminasi  diuresis paksa/kuat, dialisis,
hemoperfusi, mengasamkan atau membasakan urin
 Menghambat atau melawan efek toksik  penawar/antidotum

Ketika pasien sadar  substansi berbahaya atau tidak terlalu berbahaya  jika
substansi berbahaya disertai dengan gangguan fungsi  menyelamatkan ABCD  jika sudah
aman  lakukan spesific measurements (emesis tidak boleh dilakukan karena pasien harus
dalam kondisi sadar).
a. EMESIS
o Keracunan mulut
o Pasien dalam kondisi sadar
o Kurang dari 1 - 4 jam
o Benda yang tertelan bukanlah bahan korosif  bahan atau minyak
bumi suling seperti minyak tanah atau bensin
o Stimulasi fisik  merangsang uvula atau dinding faring
o Stimulasi farmakologis:
 Injeksi subkutan apomorphine
 Ipecac (7 g dalam 100 ml sirup: 30 ml dalam 100 ml air suling pada
dewasa)

262
23:

b. GASTRIC LAVAGE
o Intoksisitas mulut, bukan bahan korosif yang tertelan
o Kesadaran – ketidaksadaran:
 Bukan pasien syok, delirium atau kejang
o 4 jam atau kurang
o Prosedur (menggunakan tabung lambung)  beri 150 - 300 ml saline
atau air atau KMnO4, 37oC  beberapa menit  disedot dengan
spuit. Lakukan lagi 5 - 10 kali aspirasi terakhir, sisakan 30 - 50 g arang
aktif di dalam perut
c. ADSORBENT (suatu obat yang bisa menyerap sehingga membentuk ikatan
fisikokimia dengan toksin)
o Menghambat penyerapan gastrointestinal  (dengan membentuk
ikatan fisikokimia dengan toksin)
o Per Oral:
 Arang aktif
 Resin (cholestyramine)
 Susu evaporasi (adsorben lemah)
 Kaolin
d. FORCED DIURESIS/DIURESIS YANG KUAT
o Persyaratan: fungsi jantung dan ginjal yang baik
o Minum air  kelapa
o Ringer intravena/ringer dextrose:
 Turun sesuai kebutuhan.
 Pantau produksi urin
 Memantau efek samping yang terjadi  dehidrasi hingga syok
o Efek samping dan berbahaya  edema paru dan otak
o Kontraindikasi:
 Syok
 Insufisiensi jantung atau / ginjal
 Edema, curigai edema serebral, kejang.
e. DIALISIS
o Indikasi: keracunan yang mengancam jiwa (disebabkan oleh etanol,
metanol, etilen glikol, isopropanol)
 Zat dengan distribusi volume kecil
 Zat dengan berat molekul kecil
 Zat larut dalam air
 Ikatan non-protein/non-protein binding (darah dan jaringan)

263
23:

IV. ANTIDOTES
- Zat yang digunakan untuk melawan efek racun
- Menetralkan bahan toksik (racun)  (reaksi antigen-antibodi,
selasi/chelation, pengikatan kimiawi)
- Antagonis efek fisiologis racun  aktivasi sistem saraf lawan, daya saing
dalam metabolisme atau reseptor
A. CHEMICAL ANTIDOTES
 Chelators
EDTA dan CaNa2EDTA (edatamil) untuk intoksikasi Pb, Au dan Cd
BAL (dimercaprol) untuk intoksikasi As, Pb, Fe, Se, dan U
Diferoxamine (untuk intoksikasi Fe)
Penicilamine (untuk intoksikasi Cu, Hg dan Zn)
 KMnO4 (mengoksidasi alkaloid  untuk intoksikasi alkaloid)
 Arang aktif
B. PHYSIOLOGICAL ANTIDOTES
 Etanol (untuk intoksikasi metanol)
 Antikonvulsan (untuk intoksikasi kafein)
 Atropin (untuk intoksikasi inhibitor AChE)
 Antihistamin (untuk intoksikasi histamin)
 Antikonvulsan (untuk intoksikasi klorin)
 Nalokson (untuk intoksikasi morfin)
 Acetylcystein (untuk intoksikasi acetaminophen)
C. LIST OF RECOMMENDED ANTIDOTES
 Arang aktif (adsorben umum)
 Antivenin polyvalent (untuk gigitan ular crotalidae)
 Antivenin Lactrodectus (untuk gigitan laba-laba janda hitam)
 Atropin (untuk keracunan inhibitor ACh E)
 Antitoksin botulinal (ABE trivalent)  untuk keracunan botulinus
 Kit sianida (amilnitrit, Na-nitrit dan Na-tiosulfat)  (untuk keracunan sianida)
 Deferoxamine mesylate (untuk intoksikasi Fe)
 Larutan air dekstrosa (50%, 20%) untuk agen hipoglikemik
 Intoksikasi (insulin dan OAD)
 Diazepam, midazolam (untuk kejang - terjadi pada intoksikasi)
 Antibodi spesifik digoksin (untuk intoksikasi digoksin)
 Dimercaprol - BAL (untuk intoksikasi As, Pb, Hg)
 Diphenhydramine (untuk makanan yang mengandung histamin atau
keracunan bahan yang mengandung histamin lainnya)

264
23:
 Etanol 100% atau 10% (untuk intoksikasi metanol)
 Ipecac, sirup dari (untuk emeticum – untuk menginduksi muntah)
 Nalokson (untuk intoksikasi opioid)
 Oksigen hiperbarik (untuk keracunan CO dan sianida)
 Injeksi fenobarbiton (antikonvulsan)
 Injeksi fenitoin (antikonvulsan)
 Pralidoxime (untuk / sebagai reaktivator AChE)

V. TANDA DAN GEJALA KERACUNAN PESTISIDA


A. PESTISIDA GOLONGAN ORGANOKLOR (DICOFAN 460 EC; KELTANE 250 EC)
Pestisida golongan organoklor bekerja mempengaruhi sistem saraf pusat.
Tanda dan gejala keracunan pestisida organoklor dapat berupa sakit kepala, rasa
pusing, mual, muntah, diare, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang, dan
kesadaran hilang.
B. PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT (BASTA 150 EC; EAGLE 480 AS)
Apabila masuk kedalam tubuh, baik melalui kulit, mulut dan saluran
pernafasan maupun saluran pencernaan, pestisida golongan organofosfat akan
berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur bekerjanya saraf,
yaitu kholinesterase. Apabila kholinesterase terikat, maka enzim tersebut tidak
dapat melaksanakan tugasnya sehingga saraf terus-menerus mengirimkan
perintah kepada otot-otot tertentu. Dalam keadaan demikian otot-otot tersebut
senantiasa bergerak tanpa dapat dikendalikan.
Tanda dan gejala lain dari keracunan pestisida organofosfat adalah pupil
menyempit sehingga penglihatan menjadi kabur, mata berair, mulut berbusa atau
mengeluarkan banyak air liur, sakit kepala, rasa pusing, berkeringat banyak, detak
jantung yang cepat, mual, muntah, kejang pada perut, diare, sukar bernafas, otot-
otot tidak dapat digerakkan atau lumpuh dan pingsan.
C. PERTOLONGAN PERTAMA
 Berhenti bernafas  pernafasan buatan. Terlebih dahulu bersihkan mulut dari
air liur, lendir atau makanan yang menyumbat jalan
 Kulit  lepaskan pakaian yang terkena dan kulit dicuci dengan air sabun
 Mata  segera cuci dengan banyak air selama 15 menit
D. PENGOBATAN
 Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM  diulang setiap
10 – 15 menit  sampai terlihat gejala keracunan atropin yang ringan 
wajah merah, kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi
 Atropinisasi ringan dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala dapat
muncul kembali

265
23:
 Hari pertama  50 mg atropin, kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2
mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan
 Diberikan segera Pralidoksim (reaktivator enzim kolinesterase) setelah atropin
 Dosis normal  1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada
perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam
 Terapi suportif

266

Anda mungkin juga menyukai