Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi.
Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health Organization) pada
tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif
pada negara maju, dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi
750.000 kasus sepsis di Amerika Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara
berkembang, dimana sebagian besar populasi dunia bermukim. Kondisi seperti
standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi kuman akan
meningkatkan angka kejadian sepsis (Bataar, 2010). Sepsis dan syok septik adalah
salah satu penyebab utama mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis (Mehta,
2017). Pada tahun 2004, WHO menerbitkan laporan mengenai beban penyakit
global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab tersering dari
kematian pada negara berpendapatan rendah (Bataar, 2010). Berdasarkan hasil dari
Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes, penyakit infeksi utama yang ada di
Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis, hepatitis, diare, malaria
(Riskesdas, 2013). Dimana infeksi saluran pernafasan dan tuberkulosis termasuk 5
besar penyebab kematian di Indonesia (WHO Indonesia, 2015).

B. TUJUAN

C. MANFAAT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI

B. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. DEFINISI
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi. Respons
inflamasi sistemik tersebut, atau disebut sebagai systemic inflamatory
response syndrome (SIRS), terjadi akibat dari cedera klinis yang berat,
misalnya trauma, luka bakar, pankreatitis, infeksi dan sebagainya. Oleh
sebab itu, sepsis ditegakkan bila curiga atau terbukti bakteremia pada pasien-
pasien dengan SIRS. Dalam perjalanannya, sepsis dapat menjadi sepsis
berat, syok septik, hingga menjadi multiple organ dysfunction
syndrome/MODS.

2. KLASIFIKASI

Istilah Definisi
Systemic Inflamatory Minimal memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut:
Response Syndrome a. Suhu tubuh >38ºC atau <36ºC
(SIRS) b. Frekuensi nadi >90 kali/menit
c. Frekuensi napas >20 kali/menit atau
PaCO2 <32 mmHg
d. Jumlah hitung leukosit >12.000/mm3, atau
<4000/mm3, atau jumlah neutrofil batang
>10%.
Sepsis SIRS dengan penemuan atau kecurigaan
bakteremia
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi atau
hipoperfusi. Kriteria ini juga mencakup sepsis
dengan:
a. Asidosis laktat
b. Oliguria (keluaran urin <0,5 mL/KgBB/jam
selama >2 jam meski telah diberi
resusitasi cairan secara adekuat)
c. Acute lung injury (ALI) dengan PaO2/FiO2
<250 (bila ada keterlibatan pneumonia).
d. Kreatinin serum >2,0 mg/dL
e. Bilirubin >2 mg/dL
f. Hitung trombosit <100.000/mm3
g. Koagulopati (INR>1,5)
Syok septik Sepsis dengan kelainan hipotensi yang tidak
membaik dengan resusitasi cairan awal.
Multiple Organ Adanya gangguan fungsi organ-organ tubuh
Dysfunction Syndrome secara akut sehingga homeostasis yang tidak
(MODS) dapat dipertahakan tanpa intervensi.

3. MANIFESTASI KLINIS
Syok septik dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang dikategorikan
menjadi:
a. Kondisi hiperdinamik (warm shock): takikardia, peningkatan cardiac
output (atau bisa normal), serta penurunan resistensi pembuluh darah
sistemik.
b. Kondisi hipodinamik (cold shock). Suatu bentuk lanjut setelah
hiperdinamik, dimana telah terjadi penurunan cardiac output.

4. PENATALAKSANAAN
Manajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam periode
emoas (golden hours) 6 jam pertama. Strategi terapi sepsis berat mencakup
3 hal berikut: resusitasi awal dan kontrol infeksi, terapi dukungan
hemodinamik, serta terapi suportif lainnya.
a. Resusitasi awal dan kontrol infeksi
1) Resusitasi cairan (dalam 6 jam pertama)
Berikan sesegera mungkin pada kondisi hipotensi atau peningkatan
laktat serum >4 mmol/L. Resusitasi menggunakan cairan fisiologis,
baik kristaloid NaCl, Ringer Laktat) maupun koloid.
a) Berikan cairan kristaloid minimal 30 mL/KgBB bolus cepat selama
30 menit dengan prinsip fluid challenge technique. Volume yang
lebih besar dan cepat dapat diberikan bila terjadi hipoperfusi
jaringan. Kecepatan pemberian harus dikurangi apabila tekanan
pengisian jantung meningkat tanpa adanya perbaikan
hemodinamik. Catatan khusus diberikan pada pasien yang
beresiko acute lung injury/acute respiratory distress syndrome
(ALI/ARDS): cairan harus dibatasi, serta dilakukan peninggian
posisi tungkai secara pasif sewaktu melakukan fluid challenge
test.
b) Albumin boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan
kristaloid dalam jumlah yang adekuat.
c) Target resusitasi: CVP 8-12 mmHg, MAP ≥65 mmHg, produksi
urin ≥0,5 mL/KgBB/jam, saturasi oksigen vena cava superior
(ScvO2) atau vena campuran/mixed vein (SvO2) 65-70%, serta
normalisasi kadar laktat serum.
2) Pemberian antibiotik
Diberikan sesuai etiologi berdasarkan hasil kultur darah. Sambil
menunggu hasil kultur, berikan antibiotik intravena secara empiris
dalam jam pertama; sesuai dengan lokasi atau sumber infeksi.
a) Kultur darah.
Sampel untuk kultur darah semestinya diambil sebelum terapi
antibiotik, bila memungkinkan (maksimal 45 menit, antibiotik
empiris harus diberikan). Kultur dilakukan secara duplo, masing-
masing menggunakan satu botol aerob dan satu botol anaerob,
serta diambil secara perkutaneus dan dari perangkat akses
vaskular (meski baru dipasang).
b) Antibiotik empiris dalam jam pertama.
Lokasi dan sumber infeksi merupakan pertimbangan utama dalam
menentukan antibiotik empiris. Terapi empiris diberikan dalam
durasi terbatas 7-10 hari, atau lebih lama bila ada fokus infeksi
yang sulit dicapai oleh obat atau kondisi imunodefisiensi.
c) Kontrol sumber infeksi.
Lokasi anatomis infeksi harus ditentukan dan diintervensi dalam
12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Bila perangkat akses
vaskular yang dicurigai sebagai sumber infeksi, lakukan
penggantian segera setelah akses baru dipasang.
b. Terapi dukungan hemodinamik
1) Pemberian agen vasopresor dan inotropik
Vasopresor diberikan untuk menjaga tekanan arteri rerata (MAP) ≥65
mmHg dan inotropik diberikan pada pasien dengan disfungsi
miokardium (peninggian tekanan pengisian jantung dan curah jantung
yang rendah). Vasopresor pilihan pertama ialah norepinefrin.
Pemberian epinefrin (ditambahkan setelah norepinefrin) dapat
dipertimbangkan untuk menjaga tekanan darah tetap adekuat.
Vasopresin dosis 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin
untuk meningkatkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.
2) Kortikosteroid.
Pemberian hidrokortison intravena (dosis 50 mg setiap 6 jam selama
7 hari) hanya direkomendasikan bagi pasien dewasa dengan syok
septik yang tidak mengalami perbaikan tekanan darah setelah
resusitasi cairan dan terapi vasopresor. Kortikosteroid tidak boleh
digunakan untuk mengobati sepsis tanpa adanya kejadian syok,
kecuali adanya riwayat penyakit endokrin atau pemakaian steroid
sebelumnya.
c. Terapi suportif lainnya
1) Transfusi darah.
Transfusi packed red cells (PRC) diberikan bila Hb <7,0 g/dL. Target
transfusi ialah Hb 7,0-9,0 g/dL pada dewasa. Pada kasus sepsis
berat, transfusi trombosit diberikan apabila jumlah trombosit
<5000/mm3 tanpa adanya perdarahan, atau pada jumlah trombosit
5000-30.000/mm3 bila ditemukan ada perdarahan yang signifikan.
Batasan lebih tinggi (≥ 50.000/mm3) seringkali dibutuhkan untuk
keperluan operasi atau prosedur invasif. Penggunaan eritropoetin
maupun fresh-frozen plasma tidak direkomendasikan untuk
pemberian rutin tanpa adanya indikasi khusus.
2) Kontrol glikemik
Kondisi hiperglikemia ditambah dengan resistensi insulin yang telah
ada sebelumnya dapat memperburuk infeksi, menyebabkan
polineuropati, hingga menjadi kegagalan organ multipel dan kematian.
Dalam hal ini, pemberian insulin dan glukosa ditujukan untuk
mencegah katabolisme, menekan inflamasi, dan meningkatkan
imunitas. Kontrol kadar glukosa tinggi pada pasien sakit kritis
(critically ill) hanya boleh dilakukan dengan pemberian insulin dan
glukosa. Target: gula darah serum ≤180 mg/dL. Kadar glukosa serum
harus dimonitor setiap 1-2 jam hingga laju insulin dan glukosa stabil,
lalu dilanjutkan monitor setiap 4 jam. Pemeriksaan glukosa melalui
darah kapiler tidak direkomendasikan.
3) Profilaksis trombosis vena dalam
Profilaksis dilakukan dengan pemberian low-molecular weight heparin
(LMWH) setiap hari: enoxaparin 40 mg SC sehari sekali, dengan
target aPTT 1,5-2,5 kali kontrol. Bila bersihan kreatinin <30 mL/menit,
gunakan dalteparin 2500-5000 IU SK sehari sekali atau jenis lain yang
lebih minimal dimetabolisme oleh renal. Kontraindikasi pemberian
heparin ialah pada pasien dengan trombositopenia, koagulopati berat,
perdarahan aktif, dan riwayat perdarahan intraserebri. Pada kasus
tersebut direkomendasikan teknik profilaksis mekanik, seperti
kompresi dengan stoking atau perangkat lainnya, kecuali ada
kontraindikasi.
4) Profilaksis ulkus stres (stress ulcer)
Penggunaan H2- antagonis (ranitidin IV 50 mg/8 jam) atau
penghambat pompa proton (omeprazol IV 40 mg/12 jam atau
pantoprazol IV 40-80 mg/12 jam) dapat diberikan pada pasien dengan
faktor resiko. Pasien tanpa faktor resiko tidak perlu diberikan.
5) Manajemen nutrisi
Prioritaskan rute oral atau enteral, bila memungkinkan, dalam 48 jam
pertama setelah diagnosis sepsis berat/syok septik. Rute enteral
ditambah intravena glukosa juga lebih direkomendasikan daripada
nutrisi parenteral total. Pemberian kalori diberikan secara bertahap
(500 kalori/hari), dan tingkatkan bila memungkinkan. Hindari
pemberian nutrisi kalori tinggi pada minggu pertama.

C. PATOFISIOLOGI DAN WOC


1. PATOFISIOLOGI
Kondisi sepsi memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi karena dapat
menimbulkan kegagalan organ, yang disebut sebagai MODS dan multiple
organ failure (MOF). MODS dan MOF terjadi akibat kematian sel-sel
beberapa organ secara difus. Mekanisme kematian sel tersebut berupa:
a. Nekrosis seluler (jejas iskemik)
Infeksi dapat memicu pelepasan mediator inflamasi seperti vasoactive
intestinal peptide, bradikinin, trombosit activating factor, prostanoid,
sitokin, leukotrin, histamin, dan NO. Berbagai meditor tersebut lalu
menyebabkan vasodilatasi, disfungsi endotel, sumbatan pada
mikrovaskuler, maupun efek vasokonstriksi.
b. Proses apoptosis
Sejumlah mediator inflamasi (seperti NO), perfusi yang rendah, stres
oksidatif, toksin lipopolisakarida (LPS), dan glukokortikoid yang
dilepaskan dapat memicu proses apoptosis selular, suatu proses
kematian sel yang fisiologis dan telah terprogram untuk mengurangi sel-
sel yang disfungsional.
c. Kerusakan jaringan akibat mediator leukosit
Migrasi dan pelepasan enzim-enzim degradatif oleh leukosit dapat
merusakkan struktur jaringan normal sehingga turut mengganggu fungsi
organ bersangkutan. Di samping itu, terjadi juga pelepasan reactive
oxygen species yang merusak DNA dan membran sel secara langsung.
d. Hipoksia sitopatik
Yaitu suatu gangguan utilisasi oksigen seluler. Pada sepsis, kondisi ini
disebabkan oleh aktivasi PARP (poly-ADP-ribosylpolymerase-1) yang
meningkatkan konsumsi NAD+ intraseluler dan mitokondria. NAD+ akan
berkurang jumlahnya sehingga terjadi gangguan respirasi seluler (menjadi
metabolisme anaerob) hingga kematian sel.

D. KONSEP GAWAT DARURAT DAN KOMPLIKASI KRITIS

E. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
Data tergantung pada tipe, lokasi, durasi dari proses infektif dan organ-organ
yang terkena.
a. Aktifitas/istirahat
Gejala: Malaise
b. Sirkulasi
Tanda:
1) tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama
hasil curah jantung tetap meningkat).
2) Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik); lemah/lembut/mudah
hilang, takikardia ekstrem (syok).
3) Suara jantung: disritmia dan perkembangan suara jantung S3 dapat
mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari asidosis/
ketidakseimbangan elektrolit.
4) Kulit hangat, kering, bercahaya (vasodilatasi), pucat, lembab, burik
(vasokontriksi).
c. Eliminasi
Gejala: Diare
d. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah
Tanda:
1) Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot
(malnutrisi).
2) Penuruna haluaran, konsentrasi urin; perkembangan ke arah oliguria,
anuria.
e. Neurosensori
Gejala: sakit kepala; pusing, pingsan.
Tanda: gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala:
1) kejang abdominal, likalisasi rasa sakit/ketidaknyamanan.
2) Urtikaria/pruritus umum.
g. Pernapasan
Gejala:
1) Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan, penggunaan
kortikosteroid.
2) Infeksi baru, penyakit viral.
h. Keamanan
Tanda:
1) Suhu: umumnya meningkat (37,95ºC atau lebih) tetapi mungkin
normal pada lansia atau mengganggu pasien; kadang subnormal
(dibawah 36,63 ºC).
2) Menggigil.
3) Luka yang sulit/lama sembuh, drainase purulen, lokalisasi eritema.
4) Ruam eritema makular.
i. Seksualitas
Gejala:
1) pruritus perineal
2) baru saja menjalani kelahiran/abortus
Tanda: maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen.
j. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
1) Masalah kesehatan kronis/melemahkan, misalnya hati, ginjal, sakit
jantung; kanker, DM. Kecanduan alkohol.
2) Riwayat splenektomi
3) Baru saja menjalani operasi/prosedur invasif, luka traumatik.
4) Penggunaan antibiotik (baru saja ataupun jangka panjang).

Anda mungkin juga menyukai