Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sepsis

2.1.1 Definsi Sepsis

Definisi sepsis telah berubah selama bertahun-tahun sebab adanya kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi (Kundu, Tabassum dan Kumar, 2020). Saat ini

sepsis didefinisikan kondisi yang mengancam jiwa akibat disfungsi organ yang

yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi (Singer et al.,

2016). Infeksi sendiri adalah suatu proses patologis yang dimulai oleh invasi

mikroorganisme ke jaringan atau cairan atau rongga tubuh yang biasanya steril dari

mikroorganisme patogen atau berpotensi patogen (Vincent, 2016).

Awal dari definisi sepsis dikembangkan pada konferensi konsensus tahun 1991

yang mengembangkan definisi awal bahwa systemic inflammatory response

syndrome (SIRS) atau respon inflamasi sistemik terhadap infeksi akan disebut

sepsis (Gül et al., 2017). Modifikasi lebih lanjut terjadi dalam konferensi tahun

2001 di Washington DC yang mengusulkan kerangka konseptual stadium sepsis

menggunakan akronim PIRO yang merupakan singkatan dari predisposisi, infeksi,

respon, dan organ disfungsi (Chakraborty dan Burns, 2021).

Dalam tahun 2016, sebuah satuan tugas kembali merevisi definisi sepsis -

menjadi sebuah pola akibat disfungsi organ yang mengancam jiwa yang

diakibatkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi (Font, Thyagarajan dan

Khanna, 2020). Kriteria klinis khusus digunakan untuk mengidentifikasi sepsis

6
7

yaitu Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assessment (SOFA) skor ≥2

(Wiersinga dan Seymour, 2018)

(Kundu, Tabassum dan Kumar, 2020)

Gambar 2.1
(a) Keterkaitan antara sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), sepsis dan infeksi dan (b) definisi
terkini dari sepsis-3
8

2.1.2 Diagnosis Sepsis

Pada tahun 1992, Komite Konsensus Amerika Utara secara resmi

mendefinisikan sepsis sebagai sindrom respon inflamasi sistemik terhadap infeksi

atau systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Hal ini bisa mengarah ke

keadaan disfungsi organ (sepsis berat) dan berlanjut ke kondisi syok (syok septik).

Definisi ini menempatkan respons hiperinflamasi sistemik sebagai hal yang paling

penting. SIRS ditandai dengan kelainan pada ≥2 dari 4 kriteria klinis: denyut

jantung, laju pernapasan (atau PaCO2), suhu dan jumlah sel leukosit (Wiersinga

dan Seymour, 2018).

Tabel 2.1 Kriteria klinis SIRS

Suhu >38 atau <36 °C


Hitung leukosit >12,000 atau <4000/mm3
Frekuensi detak jantung >90 detak/menit
Frekuensi napas >20 napas/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

(Wiersinga dan Seymour, 2018)

Dalam tahun 2016, sebuah gugus tugas dari Society of Critical Care

Medicine (SCCM) dan European Society of Intensive Care Medicine (ESICM)

mengusulkan definisi baru sepsis, disebut Sepsis-3 (Marik dan Taeb, 2017).

Sekarang sepsis didefinisikan sebagai “keadaan disfungsi organ yang mengancam

jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh dalam menanggapi infeksi“.

Dibawah terminologi baru ini, istilah lama sepsis berat menjadi usang karena

sekarang keadaan disfungsi organ diperlukan untuk mendiagnosis sepsis. Kriteria

klinis khusus digunakan untuk mengidentifikasi sepsis yaitu Sequential (sepsis-

related) Organ Failure Assessment (SOFA) skor ≥2 (Wiersinga and Seymour,

2018). Bersadarkan penelitian skor SOFA ini menunjukkan akurasi yang cukup
9

baik untuk memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien dengan sepsis berat

(Jones, Trzeciak dan Kline, 2009).

Tabel 2.2 Skor SOFA

Sistem Organ Skor SOFA


0 1 2 3 4
Respiratory, ≥400 <400 <300 (40) <200 (26,7) <100 (13,3)
PaO2/FiO2 (53.3) (53.3) dengan dengan
mmHg (kPa) bantuan bantuan
respirasi Respirasi

Koagulasi ≥150 <150 <100 <50 <20


Platelet,
x103/mm3

Hepar, bilirubin, <1.2 1.2–1.9 2.0–5.9 6,0 – 11,9 >12,0


mg/dL (20) (20–32) (33–101)
(μmol/L)

Kardiovaskular MAP MAP Dopamin < 5 Dopamin 5,1 Dopamin > 15


>70 <70 atau – 15 atau atau Epinefrin
mmHg mmHg Dobutamin Epinefrin >
(dosis ≤0,1 atau 0,1 atau
berapapun) norepinefrin norepinefin >
≤0,1 0,1 μg/
μg/kg/menit kg/menit

Sistem Syaraf 15 13–14 10–12 6–9 <6


Pusat
Glasgow Coma
Scale (GCS)

Renal <1.2 1.2–1.9 2.0–3.4 3,5 – 4,9 >5,0


Renal, kreatinin, (110) (110– (171–299) <500 <200
mg/dL, urine 170)
output, mL/hari

(Wiersinga dan Seymour, 2018)


10

Skor SOFA dikenal sebagai metode yang penting untuk menggambarkan

disfungsi organ, tetapi agak rumit untuk identifikasi awal pasien dengan sepsis di

luar ICU (Dueñas-Castell, Ortiz-Ruiz dan Borré-Naranjo, 2018). Menyadari

keterbatasan praktis ini, gugus tugas SCCM / ESICM 2016 menjelaskan metode

sederhana yang disebut "quick SOFA" untuk memudahkan identifikasi pasien yang

berpotensi berisiko meninggal akibat sepsis. Skor ini adalah versi modifikasi dari

skor SOFA. qSOFA hanya terdiri dari tiga komponen yang masing-masing

dinilaikan satu poin. Skor qSOFA ≥2 poin menunjukkan adanya disfungsi organ

(Marik dan Taeb, 2017).

Tabel 2.3 Kriteria qSOFA

Kriteria qSOFA Poin


Laju pernapasan ≥ 22x/menit 1
Perubahan status mental/kesadaran 1
Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg 1

(Marik dan Taeb, 2017)

2.1.3 Komplikasi Sepsis

Sepsis dapat menyebabkan implikasi ke berbagai organ tubuh sehingga

memunculkan sindrom-sindrom seperti acute respiratory distress syndrome

(ARDS), acute kidney injury (AKI), disseminated intravascular coagulation (DIC),

hypoxic hepatitis, sepsis-induced cholestasis, sepsis-associated encephalopathy,

dan lain lain (Caraballo dan Jaimes, 2019).

Perkembangan sepsis yang paling umum adalah syok sepsis. Syok sepsis

disebabkan karena dilatasi arteri dan vena yang diinduksi oleh mediator inflamasi,

akibatnya aliran balik vena berkurang karena pelebaran ketiga komponen

mikrovaskuler: arteriol, venula, dan kapiler. Hal ini diperburuk oleh bocornya
11

cairan intravaskular ke dalam ruang intersisial sebagai akibat dari hilangnya fungsi

penghalang endotel yang disebabkan oleh perubahan cadherin endotel dan tight

junction. Semua perubahan hemodinamik tubuh tersebut dapat mengakibatkan

hipoperfusi jaringan dan organ (Gyawali, Ramakrishna dan Dhamoon, 2019).

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah komplikasi umum

dari sepsis. Seringkali trombositopenia menjadi petunjuk dari DIC karena pada

sepsis sistem koagulasi menjadi teraktivasi dan menggunakan banyak trombosit,

akibatnya sumbatan dari agregasi trobosit ini memenuhi mikrovaskular dan

menyebabkan hipoksia jaringan (Iba, Watanabe, et al., 2019).

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) adalah komplikasi paling

parah dari perkembangan dari infeksi sederhana akibat sepsis dan syok sepsis yang

dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi (Ziesmann and Marshall, 2018).

Disfungsi organ pada sepsis bukan hanya konsekuensi dari penurunan distribusi

oksigen ke jaringan, namun merupakan keterlibatan antara beberapa respon

inflamasi, termasuk disfungsi endotel dan mikrovaskular, disregulasi imun dan

sistem syaraf otonom, dan pemrograman ulang metabolisme seluler (Pool, Gomez

dan Kellum, 2018).

2.1.4 Epidemiologi

Secara global, diperkirakan ada 60,2 juta kasus sepsis pada tahun 1990 dan

48,9 juta kasus sepsis pada tahun 2017. Diperkirakan ada 11,0 juta kematian terkait

sepsis di seluruh dunia pada tahun 2017, mewakili 19,7% kematian tahun itu (Rudd

et al., 2020). Ada kekurangan data yang mengejutkan tentang jumlah kematian dan
12

biaya di antara pasien sepsis pada negara-negara berpenghasilan rendah seperti

sebagian besar negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia (Purba et al., 2020).

2.1.5 Patogenesis Sepsis

Sepsis bukan sekedar proses respon inflamasi sistemik atau gangguan

kekebalan, melainkan melibatkan perubahan fungsi beberapa organ dalam tubuh

(Huang, Cai and Su, 2019). Sepsis berat dapat berkembang dari infeksi lokal dan

dapat juga berasal dari sejumlah tempat seperti perut, kulit, jaringan lunak, saluran

kemih, paru-paru dan biasanya karena infeksi aliran darah primer (Pirozzi et al.,

2016).

Respon tubuh yang normal terhadap infeksi adalah proses kompleks yang

melokalisasi dan mengontrol invasi bakteri saat memulai perbaikan jaringan yang

terluka. Tubuh merespon infeksi dengan melibatkan aktivasi sirkulasi dan sel

fagositik, serta pembentukan proinflamasi dan mediator anti inflamasi. (Taeb,

Hooper dan Marik, 2017).

Sistem imun bawaan yang utamanya terdiri dari makrofag, monosit,

granulosit, sel natural killer, dan sel dendritik, telah berevolusi untuk mendeteksi

pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) dan damage-associated

molecular patterns (DAMPs) (Gotts dan Matthay, 2016). PAMPs adalah senyawa

yang ada di antara mikroorganisme tetapi tidak ada di sel inang (Cavaillon, 2017).

Sedangkan DAMPs adalah molekul endogen yang dilepaskan dari sel inang yang

rusak atau mati (Roh dan Sohn, 2018). Langkah pertama dalam inisiasi respon

tubuh terhadap patogen adalah aktivasi sel imun bawaan ini. yang terjadi melalui

pengikatan Pattern Recognition receptors (PRRs) dengan PAMPs (seperti


13

endotoksin bakteri dan β-glukan jamur dan DAMPs. Lebih detailnya molekul-

molekul tersebut akan berikatan dengan reseptor spesifik pada monosit dan

makrofag seperti toll-like receptors (TLR), nucleotide-binding oligomerization

domain (NOD)-like receptors dan retinoic acid inducible gene 1 (RIG-1) like

receptors) (Gyawali, Ramakrishna dan Dhamoon, 2019).

Pengikatan yang telah dijelaskan diatas menyebabkan aktivasi jalur

transduksi sinyal intraseluler yang menyebabkan transkripsi dan pelepasan sitokin

proinflamasi seperti TNFα, IL-1, dan IL-6. Selain itu, beberapa PPRs, seperti

kelompok NOD-like receptors, dapat beragregasi menjadi kompleks protein yang

lebih besar yang disebut inflammasome. Inflammasome terlibat dalam produksi

sitokin penting, seperti IL-1β dan IL-18 serta kaspase (Gyawali, Ramakrishna dan

Dhamoon, 2019).

Badai sitokin yang dihasilkan dari peningkatan akut berbagai sitokin pro-

inflamasi yang tiba-tiba dalam tingkat sirkulasi mengakibatkan berkumpulnya

berbagai sel imun seperti makrofag, neutrofil, dan sel T dari sirkulasi ke tempat

infeksi dengan efek destruktif pada jaringan akibat destabilisasi interaksi sel ke sel,

kerusakan sawar pembuluh darah, kerusakan kapiler, kerusakan alveolar difus,

trombosis mukrovakular, kegagalan multiorgan, dan akhirnya kematian (Ragab et

al., 2020).

Sel imun yang diaktifkan Sebagai respons terhadap infeksi mampu

melepaskan protein High mobility group box 1 (HMGB-1) yang merupakan protein

pengaktif sitokin yang terus meningkat pada pasien sepsis (Yuan et al., 2020)

(Simmons dan Pittet, 2015). Neutrofil juga dapat melepaskan Protein lainnya yaitu
14

neutrophil extracellular traps (NETS). Pengikatan protein ke NETS akan

mengaktifkan sistem koagulasi yang ikut andil dalam trombosis, NETS juga dapat

merusak jaringan karena protein yang dibawanya (Li et al., 2020). NETS dicetak

oleh sitokin inflamasi dan aktivasi trombosit dan terdiri dari serat DNA kaya histon

dan protein antimikroba. Histon (H3 dan H4) menginduksi pembentukan trombin

melalui berbagai mekanisme. Pertama, histon ekstraseluler merusak aktivasi

trombomodulin Protein C sehingga mengurangi activated protein C (APC) yang

merupakan antikoagulan alami dan menghilangkan sifat anti-inflamasinya. Kedua,

produksi trombin meningkat dengan aktivasi trombosit yang dimediasi histon dan

ekspresi p-selectin. Ekspresi P-selectin meningkatkan adhesi platelet ke sel endotel

dan leukosit. Dengan demikian, pelepasan HMGB-1 dan histon ke dalam sirkulasi

meningkatkan peradangan dan trombosis, meningkatkan kematian sel, dan

mempotensiasi disfungsi organ multisistem (Simmons dan Pittet, 2015).


15

(Wiersinga dan Seymour, 2018)

Gambar 2.2 Patogenesis sepsis. (a) Sepsis didefinisikan sebagai disregulasi respon tubuh
menyebabkan disfungsi organ. Keseimbangan inflamasi terganggu, sehingga terjadi hiperinflamasi
dan supresi imun. (b) Setelah patogen berhasil melewati mukosa tubuh, sistem pertahanan tubuh
dapat mengenali pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) dengan reseptor khusus (PRR).
Stimulasi PRR memiliki konsekuensi hiperinflamasi dan supresi imun. (c) Sepsis memiliki
manifesstasi klinis yang heterogen.

2.2 Sistem Hemostasis dan Pembekuan Darah

2.2.1 Definisi Sistem Hemostasis

Hemostasis adalah mekanisme yang menyebabkan penghentian perdarahan

dari pembuluh darah (LaPelusa dan Heeransh, 2021). Proses ini dimulai segera

setelah cedera endotel. Trombosit dan pembekuan darah bekerja secara sinergis

untuk memberikan kekuatan bekuan yang mampu menghentikan pendarahan

(Barcellona dan Marongiu, 2019). Gumpalan adalah produk akhir dari aktivasi
16

koagulasi darah yang dipicu oleh kompartemen ekstravaskular yang kaya akan

Tissue Factor (TF), sebuah molekul pemicu paling penting untuk jalur kaskade

koagulatif ekstrinsik (Østerud dan Bouchard, 2019). Mekanisme hemostasis dapat

dibagi menjadi empat tahap : (1) Penyempitan pembuluh darah, (2) Pembentukan

sumbat trombosit sementara, (3) Aktivasi kaskade koagulasi (4) Pembentukan

sumbat fibrin atau bekuan akhir (LaPelusa dan Heeransh, 2021).

2.2.2 Mekanisme Pembekuan Darah

Spasme vaskular terjadi setiap kali ada cedera atau kerusakan pada

pembuluh darah. Ini akan memicu vasokonstriksi yang pada akhirnya bisa

menghentikan aliran darah (Periayah, Halim dan Mat, 2017). Proses penyempitan

pembuluh darah ini terjadi dalam waktu sekitar 30 menit dari kerusakan/trauma

pada pembuluh darah. Di lokasi lapisan endotel yang rusak, darah akan mengalir

langsung di struktur subendotel termasuk jaringan ikat yang mengandung

persentase tinggi kolagen (Farndale et al., 2004) . Serat kolagen yang terpapar akan

melepaskan ATP dan mediator inflamasi lainnya untuk merekrut makrofag. Selain

itu, ECM menjadi sangat trombogenik, mendorong adhesi dan agregasi trombosit

(Periayah, Halim dan Mat, 2017). Trombosit kemudian berikatan dengan dimediasi

reseptor Glikoprotein Ib (Gplb) dan faktor von Willebrand (vWF) pada matriks

ekstrasel (ECM) yang terpapar dan diaktifkan. Saat terjadi perubahan bentuk dan

pelepasan granul trombosit, Adenosin difosfat (ADP) dan tromboksan A2 (TxA2)

menginduksi agregasi trombosit tambahan melalui ikatan reseptor-reseptor Gpllb-

llla dengan fibrinogen. Agregasi trombosit ini mengisi cedera pembuluh darah dan

membentuk plak hemostatik primer (Kumar, Abbas and Aster, 2014).


17

(Kumar, Abbas dan Aster, 2014)


Gambar 2.3 Hemostatis Primer. Trombosit tertaut melalui reseptor glikoprotein Ib (GpIb) kepada
faktor von Willebrand (vWF) karena paparan matriks ekstraseluler (ECM) dan akhirnya trombosit
diaktifkan, trombosit mengalami perubahan bentuk dan mengeluarkan granula. Pelepasan adenosin
difosfat (ADP) dan tromboksan A2 (TxA2) menginduksi agregasi trombosit tambahan melalui
reseptor GpIIb-IIIa yang mengikat fibrinogen, dan membentuk sumbat hemostatik primer.

Trombosit yang teraktivasi juga memicu trombosit untuk melepaskan

sitokin, faktor pertumbuhan, dan banyak mediator pro-inflamasi, menghasilkan

agregasi trombosit dan memicu jalur koagulasi intrinsik dan ekstrinsik (LaPelusa

and Heeransh, 2021).

Aktivasi jalur koagulasi ekstrinsik terjadi setelah cedera endotel ketika

tissue factor (TF), sebuah protein transmembran yang terletak di luar pembuluh

darah mengikat faktor VII (FVII) kemudian menjadi FVII teraktivasi (FVIIa)

(Spiezia et al., 2017). Kemudian terbentuklah kompleks TF-FVIIa yang secara

proteolitik mengaktifkan faktor koagulasi IX (FIX) dan faktor X (FX) (Chen et al.,

2019) (Biteker, 2016). Faktor IX yang diaktifkan (faktor IXa) berikatan dengan

kofaktornya – faktor VIII yang diaktifkan (faktor VIIIa), yang mengarah pada
18

aktivasi faktor X (faktor Xa) (LaPelusa dan Heeransh, 2021). Kemudian FXa dalam

kombinasinya dengan co-faktor FVa (faktor V yang diaktifkan) dan ion kalsium

membentuk kompleks 'protrombinase' yang selanjutnya akan mengkatalisis

protrombin menjadi trombin (Zaidi dan Green, 2019).

FXII adalah inisiator dari jalur intrinsik. Jalur ini juga disebut fase kontak

karena FXII dapat diaktifkan secara negatif oleh permukaan yang berubah seperti

polifosfat trombosit atau RNA ekstraseluler (Lagrange dan Wenzel, 2019). FXIIa

mengubah prekallikrein plasma menjadi kallikrein (PK), yang secara timbal balik

mengaktifkan FXII dan membebaskan bradikinin dari kininogen dengan berat

molekul tinggi (Didiasova et al., 2018). Bersama-sama, FXII, PK, dan HK disebut

sistem aktivasi kontak plasma (Renné dan Stavrou, 2019). kaskade ini mendorong

stabilisasi dan pertumbuhan bekuan darah/clotting (Simão dan Feener, 2017).

Faktor XIa dan kompleks faktor VIIa-tissue factor secara in vitro mengaktifkan

Faktor IX yang terlarut menjadi faktor IX teraktivasi (faktor IXa) (Moake, 2020)

(LaPelusa dan Heeransh, 2021). Kemudian FX diaktifkan oleh kompleks FIXa-

FVIIIa atau FVIIa-tissue factor (TF) (Wang et al., 2021). Faktor Xa kemudian

berperan dalam mengaktifkan protrombin menjadi trombin dengan adanya

kofaktornya yaitu faktor V yang diaktifkan (faktor Va) (Cain, 2018).Trombin

bertindak sebagai kofaktor dan katalisis dan meningkatkan bioaktivitas dari banyak

jalur proteolitik yang disebutkan di atas (LaPelusa dan Heeransh, 2021).

Langkah terakhir dalam kaskade koagulasi adalah konversi fibrinogen,

fibrinogen diubah menjadi fibrin yang tidak larut, monomer fibrin berpolimerisasi

dan membentuk jaring polimer fibrin dan menghasilkan bekuan fibrin yang
19

berikatan silang (LaPelusa dan Heeransh, 2021) (Kattula, Byrnes dan Wolberg,

2017).

faktor FXIII teraktivasi (FXIIIa) mengkatalisis langkah terakhir dalam

proses koagulasi. Faktor ini menstabilkan bekuan darah dengan hubungan silang α-

dan γ- rantai fibrin. FXIIIa juga melindungi bekuan yang baru terbentuk dari

fibrinolisis yang dimediasi plasmin, dengan menghubungkan 2-antiplasmin ke

fibrin. FXIIIa juga merupakan penentu utama ukuran bekuan dan kandungan sel

darah merah bekuan (Al-Horani dan Kar, 2020).

Setelah bekuan fibrin terbentuk, trombosit yang teraktivasi akan

terorganisasi dengan baik dan mengambil posisi untuk berkontraksi dengan aktin

intraseluler atau sitoskeleton miosin. Jaringan aktin intraseluler akan langsung

terhubung ke integrin GpIIbIIIa dan reseptor Fibrinogen secara internal.

Selanjutnya, komponen eksternal GpIIbIIIa akan menempel pada jaringan fibrin

bekuan darah, membuat bekuan menjadi padat dan menurunkan volume bekuan

secara perlahan, yang disebut retraksi bekuan (Periayah, Halim dan Mat, 2017).

Plasminogen proenzim yang tidak akti kemudian aktif menjadi plasmin, plasmin

kemudian mendegradasi fibrin menjadi produk degradasi fibrin yang larut

mengembalikan aliran darah di pembuluh darah yang rusak/tersumbat (Rijken dan

Uitte, 2017).
20

(Loof, Deicke dan Medina, 2014)

Gambar 2.4 Skema kaskade koagulasi dan fibrinolitik. Kaskade koagulasi (panah biru) dapat
diaktifkan selama hemostasis melalui jalur intrinsik (sistem kontak; panah merah) atau jalur
ekstrinsik (panah abu-abu) yang akhirnya menyatu pada jalur koagulasi umum. Kedua jalur tersebut
menyebabkan aktivasi faktor X dan selanjutnya trombin, yang diperlukan untuk konversi fibrinogen
menjadi fibrin dan untuk aktivasi faktor XIII. Gumpalan fibrin diikat silang dan distabilkan oleh
faktor XIII. Fibrinolisis (panah hijau) diaktifkan pada saat yang sama dengan sistem koagulasi tetapi
beroperasi lebih lambat dan penting untuk pengaturan hemostasis. Selama fibrinolisis, plasminogen
diubah menjadi plasmin yang mendegradasi jaringan fibrin. Faktor koagulasi ditunjukkan dengan
"F" diikuti dengan angka romawi, tambahan "a" menunjukkan bentuk yang diaktifkan; HK,
kininogen dengan berat molekul tinggi; uPA, aktivator plasminogen urokinase; tPA, aktivator
plasminogen jaringan.

2.2.3 Hiperkoagulasi pada Sepsis

Sebagai respons terhadap sitokin yang diproduksi oleh sel imun, endotelium

mengekspresikan molekul adhesi dan menghasilkan senyawa vasoaktif, sitokin

inflamasi, dan kemoatraktan, sehingga beralih dari keadaan antikoagulan ke

prokoagulan (Dolmatova et al., 2021). Upregulasi jalur prokoagulan ini diprakarsai

oleh lonjakan TF yang bersirkulasi, yang berinteraksi dengan sitokin inflamasi IL-
21

1, IL-6, dan TNF-α. Pada kondisi ini Platelet activating factor (PAF) mempercepat

pembentukan trombus melalui peningkatan sekresi TF dan adhesi trombosit dan

leukosit, menciptakan permukaan teraktivasi untuk propagasi trombin lebih lanjut.

Peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI) mengukuhkan bekuan darah

selama sepsis akut (Winer et al., 2020).

Hiperkoagulabilitas sepsis akut lebih lanjut didukung oleh endoteliopati

akut dan peredam mekanisme antikoagulasi asli, termasuk TF pathway inhibitor

(TFPI), activated protein C (APC), dan antitrombin (AT) (Winer et al., 2020).

Penurunah ekspresi atau fungsi TFPI mendukung peningkatan aktivitas TF (Tang

et al., 2007). Sedangkan aktivasi protein C yang seharusnya berguna pada beberapa

aktivitas biologis, termasuk antitrombotik, sitoprotektif, dan efek anti-inflamasi

untuk menjaga integritas pembuluh darah menurun pada sepsis yang parah (Iba,

Levy, et al., 2019). Disseminated intravascular coagulation (DIC) adalah

komplikasi umum pada sepsis. DIC tidak hanya menyebabkan disfungsi organ

tetapi juga merupakan faktor prognostik yang kuat (Hayakawa et al., 2016). Pada

DIC yang diinduksi sepsis, penurunan aktivitas AT (Antithrombin) sering diamati,


22

dan aktivitas AT awal merupakan prediktor independen prognosis pada pasien

dengan DIC yang diinduksi sepsis (Iba , Watanabe, et al., 2019)

(Winer et al., 2020)


Gambar 2.5 Perubahan pada kaskade koagulasi yang diketahui pada kasus sepsis parah. Faktor yang
disorot dengan warna merah menunjukkan penurunan regulasi, dan hijau menunjukkan upregulasi
selama sepsis. Perubahan ini telah terbukti bertahan selama penyakit kritis kronis.

2.3 Trombosit

2.3.1 Definisi Trombosit

Trombosit adalah sel kecil berinti yang awalnya berasal dari turunan

hematopoietik melalui megakariosit (Holinstat, 2017). Rentang hidup sirkulasi rata-

rata trombosit adalah 8-9 hari (Twomey, 2019). Trombosit telah lama dikenal

karena perannya dalam hemostasis. Dalam hal ini, adhesi dan aktivasi trombosit

mengarah pada pembentukan trombus yang kuat dan dengan demikian menyegel
23

pembuluh darah yang rusak (Margraf dan Zarbock, 2019). Melalui aktivitas

pembekuan dan aktivasi kaskade koagulasi ini, trombosit sangatlah penting untuk

mempertahankan volume darah yang memadai pada pasien dengan cedera vaskular.

Inisiasi aktivitas ini dimulai dengan cedera jaringan dan menghasilkan pelepasan

dan pengikatan beberapa glikoprotein, faktor pertumbuhan, dan faktor pembekuan.

Kompleksitas proses ini memungkinkan banyak target farmakologis, yang

memberikan beberapa pilihan dalam hal terapi antitrombotik (Fountain and Lappin,

2021).

Trombosit mempertahankan hemostasis dengan menempel menyebar, dan

berkumpul di tempat cedera pembuluh darah (Vinholt, 2019). Trombosit teraktivasi

juga mensekresi faktor koagulasi, mengekspos PS (phosphatidylserine), dan

mendukung pembentukan trombin dan fibrin yang secara signifikan mencegah

kehilangan darah (Swieringa et al., 2018). Trombosit juga penting dalam

peradangan, pertumbuhan jaringan, dan respon imun. Proses ini berada di bawah

mediasi pelepasan senyawa dari alfa dan granula padat, yang mencakup banyak

faktor pertumbuhan serta IgG dan komponen sistem komplemen (Fountain dan

Lappin, 2021).

2.3.2 Trombosit pada sepsis

Menariknya, jumlah trombosit merupakan bagian dari skor SOFA (Sepsis-

related Organ Failure Assessment) yang bertujuan untuk menilai tingkat keparahan

disfungsi organ pada pasien kritis (Vardon-Bounes, Ruiz, et al., 2019).

Trombositopenia sering terjadi pada sepsis. Kondisi ini dapat terjadi sebelum

masuk rumah sakit atau selama rawat inap di ICU, umumnya pada pasien yang kritis
24

dan telah lama dikenal sebagai faktor risiko independen untuk kematian pada pasien

ICU dan penanda sensitif untuk keparahan penyakit (Dewitte et al., 2017; Assinger

et al., 2019).

Beberapa mekanisme kemungkinan berkontribusi pada trombositopenia

berat, yang terjadi pada akhir perkembangan klinis sepsis. Penurunan produksi

trombosit, peningkatan aktivasi dan konsumsi trombosit dalam trombus, atau

peningkatan penghancuran dapat menurunkan jumlah trombosit dari sirkulasi

(Shannon, 2021).

Sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF

alpha), dan interferon-gamma (IFN-gamma) juga meningkatkan produksi

macrophage colony-forming stimulating factor (M-CSF) di atas tingkat konstitutif

(Hamilton, Filonzi and Ianches, 1993). Peningkatan produksi M-CSF pada pasien

sepsis yang menyebabkan hemofagositosis termasuk sel hematopoetik oleh monosit

dan makrofag (Levi, 2005; Cicarelli et al., 2015).

2.4 Mean Platelet Volume (MPV)

2.4.1 Definisi Mean Platelet Volume (MPV)

Mean platelet volume (MPV) adalah pengukuran yang dihitung dengan

mesin dari ukuran rata-rata trombosit yang ditemukan dalam darah dan biasanya

disertakan dalam tes darah sebagai bagian dari CBC (Rahul dan Anita, 2018).

Trombosit bervariasi dalam ukuran. Trombosit besar lebih reaktif, memiliki

potensi protrombotik yang lebih besar, dan lebih tahan terhadap penghambatan

dengan aspirin dan clopidogrel (P2Y12). Trombosit besar dianggap belum matang
25

dan jumlahnya meningkat bila ada peningkatan faktor yang mempengaruhi

turnover trombosit (Koupenova et al., 2017).

2.4.2 Mean Platelet Volume (MPV) pada sepsis

Saat ini terdapat penelitian-penelitian yang menjelaskan bahwa pengukuran

mean platelet volume (MPV) sebagai prediktor prognosis pada pasien dengan sakit

kritis, namun masih sangat jarang dilakukan penelitian mengenai hubungannya

dengan sepsis. Pemeriksaan MPV telah dilakukan sejak tahun 1970-an dan

sekarang telah menjadi pemeriksaan rutin untuk hampir semua pasien di rumah

sakit. Pemeriksaan MPV ini sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang

besar. Mean platelet volume adalah penanda sederhana dan akurat sebagai status

fungsional ukuran dari trombosit. Trombosit yang berukuran lebih besar bersifat

lebih reaktif. Ukuran trombosit ini ditentukan pada tingkat sel progenitor, yaitu

megakariosit. Dalam beberapa penelitian menunjukkan sitokin seperti interleukin-

3 (IL-3) atau interleukin-6 (IL-6) pada pasien sepsis akan memengaruhi ploidi

megakariosit serta dapat menyebabkan produksi trombosit yang lebih reaktif dan

berukuran lebih besar. Oleh sebab itu, volume trombosit dinyatakan merupakan

penanda tidak langsung dengan peningkatan reaktivitas trombosit pada sepsis.

(Prihardi, Hanafie dan Harto, 2016)


26

(Bessman, 1984)
Gambar 2.6 Diagram kemungkinan perubahan dalam trombopoiesis. (A) Pada pasien normal, sel
progenitor atau colony forming unit- macrophage (CFU-M) dan megakariosit 2N berproliferasi;
megakariosit yang matang dengan endoreduplikasi, dengan kelas 16N, 32N, 64N memproduksi
sebagian besar trombosit. Ploidi megakariosit yang lebih tinggi membuat trombosit yang lebih besar.
(B) Pada pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP). Ada peningkatan proliferasi dan CFU-
M, dan peningkatan ploidi (panah tebal). Produksi trombosit dengan ploidi megakariosit yang lebih
tinggi relatif meningkat (panah tebal, lebih banyak trombosit). (C) Pada pasien Trombositosis
reaktif. CFU-M normal; megakariosit meningkat, ploidi menurun. Produksi trombosit berasal dari
peningkatan jumlah megakariosit, sehingga jumlah trombosit meningkat. Proporsi produksi
megakariosit dengan ploidi yang lebih tinggi lebih sedikit menghasilkan trombosit dari pada sel
ploidi megakariosit yang lebih rendah. (D) Pada pasien dengan Trombositopenia hipoproliferatif
(misalnya : anemia aplastik, toksisitas obat). CFU-M dapat berkurang; proliferasi dan
endoreduplikasi terganggu (garis putus-putus). Berkurangnya jumlah megakariosit menghasilkan
jumlah trombosit yang berkurang pula; berkurangnya ploidi megakariosit yang lebih tinggi, dan
berkurangnya trombosit yang berukuran besar.
27

2.5 Plateletcrit (PCT)

2.5.1. Definisi Plateletcrit (PCT)

Plateletcrit (PCT) juga disebut massa trombosit adalah persentase volume

trombosit pada total volume darah, dan secara langsung berhubungan dengan

jumlah total trombosit (Ferreira et al., 2009). PCT bisa dihitung dari hitung darah

lengkap dengan rumus : jumlah trombosit x MPV/10.000 (Khan et al., 2020).

Jumlah trombosit dalam darah dipertahankan dalam keadaan ekuilibrium dengan

regenerasi dan eliminasi. Dalam kondisi fisiologis, laju produksi trombosit terus

diatur sehingga massa trombosit yang bersirkulasi (jumlah trombosit X MPV)

dijaga konstan, dan jumlah MPV dan trombosit berbanding terbalik (Mohamed et

al., 2019).

2.5.2. Plateletcrit (PCT) Pada Sepsis

Belum banyak penelitian tentang plateletcrit, terutama hubungannya

dengan sepsis bakteri (Djuang, Ginting and Hariman, 2018). Namun penelitian

baru-baru ini menduga bahwa jumlah trombosit yang rendah pada orang yang

meninggal dapat dikaitkan dengan rendahnya faktor koagulasi dan konsumsi

trombosit selama proses septik (Sayed et al., 2020). Penurunan jumlah trombosit

dan plateletcrit secara bersamaan menunjukkan bahwa trombosit telah digunakan

secara berlebihan (Atri et al., 2019).

Plateletcrit adalah cerminan dari jumlah trombosit dan ukuran trombosit,

Golwala et al., 2016 menemukan bahwa PCT pada pasien anak anak yang

meninggal secara signifikan berbeda dari pasien yang hidup serta nilainya paralel

dengan temuan jumlah trombosit.


28

Dalam penelitian pada pasien kritis di ICU yang meneliti jumlah platelet,

PDW, MPV, dan PCT menyimpulkan bahwa di antara keempat indeks tersebut,

PCT menempati peringkat tertinggi untuk akurasi prediksi mortalitas. Dengan

demikian, PCT disimpulkan sebagai indikator prediktif yang optimal (Yadav dan

Aslam, 2020).

Anda mungkin juga menyukai