TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sepsis
ilmu pengetahuan dan teknologi (Kundu, Tabassum dan Kumar, 2020). Saat ini
sepsis didefinisikan kondisi yang mengancam jiwa akibat disfungsi organ yang
yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi (Singer et al.,
2016). Infeksi sendiri adalah suatu proses patologis yang dimulai oleh invasi
mikroorganisme ke jaringan atau cairan atau rongga tubuh yang biasanya steril dari
Awal dari definisi sepsis dikembangkan pada konferensi konsensus tahun 1991
syndrome (SIRS) atau respon inflamasi sistemik terhadap infeksi akan disebut
sepsis (Gül et al., 2017). Modifikasi lebih lanjut terjadi dalam konferensi tahun
Dalam tahun 2016, sebuah satuan tugas kembali merevisi definisi sepsis -
menjadi sebuah pola akibat disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
diakibatkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi (Font, Thyagarajan dan
6
7
Gambar 2.1
(a) Keterkaitan antara sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), sepsis dan infeksi dan (b) definisi
terkini dari sepsis-3
8
atau systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Hal ini bisa mengarah ke
keadaan disfungsi organ (sepsis berat) dan berlanjut ke kondisi syok (syok septik).
Definisi ini menempatkan respons hiperinflamasi sistemik sebagai hal yang paling
penting. SIRS ditandai dengan kelainan pada ≥2 dari 4 kriteria klinis: denyut
jantung, laju pernapasan (atau PaCO2), suhu dan jumlah sel leukosit (Wiersinga
Dalam tahun 2016, sebuah gugus tugas dari Society of Critical Care
mengusulkan definisi baru sepsis, disebut Sepsis-3 (Marik dan Taeb, 2017).
jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon tubuh dalam menanggapi infeksi“.
Dibawah terminologi baru ini, istilah lama sepsis berat menjadi usang karena
2018). Bersadarkan penelitian skor SOFA ini menunjukkan akurasi yang cukup
9
baik untuk memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien dengan sepsis berat
disfungsi organ, tetapi agak rumit untuk identifikasi awal pasien dengan sepsis di
keterbatasan praktis ini, gugus tugas SCCM / ESICM 2016 menjelaskan metode
sederhana yang disebut "quick SOFA" untuk memudahkan identifikasi pasien yang
berpotensi berisiko meninggal akibat sepsis. Skor ini adalah versi modifikasi dari
skor SOFA. qSOFA hanya terdiri dari tiga komponen yang masing-masing
dinilaikan satu poin. Skor qSOFA ≥2 poin menunjukkan adanya disfungsi organ
Perkembangan sepsis yang paling umum adalah syok sepsis. Syok sepsis
disebabkan karena dilatasi arteri dan vena yang diinduksi oleh mediator inflamasi,
mikrovaskuler: arteriol, venula, dan kapiler. Hal ini diperburuk oleh bocornya
11
cairan intravaskular ke dalam ruang intersisial sebagai akibat dari hilangnya fungsi
penghalang endotel yang disebabkan oleh perubahan cadherin endotel dan tight
dari sepsis. Seringkali trombositopenia menjadi petunjuk dari DIC karena pada
parah dari perkembangan dari infeksi sederhana akibat sepsis dan syok sepsis yang
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi (Ziesmann and Marshall, 2018).
Disfungsi organ pada sepsis bukan hanya konsekuensi dari penurunan distribusi
sistem syaraf otonom, dan pemrograman ulang metabolisme seluler (Pool, Gomez
2.1.4 Epidemiologi
Secara global, diperkirakan ada 60,2 juta kasus sepsis pada tahun 1990 dan
48,9 juta kasus sepsis pada tahun 2017. Diperkirakan ada 11,0 juta kematian terkait
sepsis di seluruh dunia pada tahun 2017, mewakili 19,7% kematian tahun itu (Rudd
et al., 2020). Ada kekurangan data yang mengejutkan tentang jumlah kematian dan
12
sebagian besar negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia (Purba et al., 2020).
(Huang, Cai and Su, 2019). Sepsis berat dapat berkembang dari infeksi lokal dan
dapat juga berasal dari sejumlah tempat seperti perut, kulit, jaringan lunak, saluran
kemih, paru-paru dan biasanya karena infeksi aliran darah primer (Pirozzi et al.,
2016).
Respon tubuh yang normal terhadap infeksi adalah proses kompleks yang
melokalisasi dan mengontrol invasi bakteri saat memulai perbaikan jaringan yang
terluka. Tubuh merespon infeksi dengan melibatkan aktivasi sirkulasi dan sel
granulosit, sel natural killer, dan sel dendritik, telah berevolusi untuk mendeteksi
molecular patterns (DAMPs) (Gotts dan Matthay, 2016). PAMPs adalah senyawa
yang ada di antara mikroorganisme tetapi tidak ada di sel inang (Cavaillon, 2017).
Sedangkan DAMPs adalah molekul endogen yang dilepaskan dari sel inang yang
rusak atau mati (Roh dan Sohn, 2018). Langkah pertama dalam inisiasi respon
tubuh terhadap patogen adalah aktivasi sel imun bawaan ini. yang terjadi melalui
endotoksin bakteri dan β-glukan jamur dan DAMPs. Lebih detailnya molekul-
molekul tersebut akan berikatan dengan reseptor spesifik pada monosit dan
domain (NOD)-like receptors dan retinoic acid inducible gene 1 (RIG-1) like
proinflamasi seperti TNFα, IL-1, dan IL-6. Selain itu, beberapa PPRs, seperti
sitokin penting, seperti IL-1β dan IL-18 serta kaspase (Gyawali, Ramakrishna dan
Dhamoon, 2019).
Badai sitokin yang dihasilkan dari peningkatan akut berbagai sitokin pro-
berbagai sel imun seperti makrofag, neutrofil, dan sel T dari sirkulasi ke tempat
infeksi dengan efek destruktif pada jaringan akibat destabilisasi interaksi sel ke sel,
al., 2020).
melepaskan protein High mobility group box 1 (HMGB-1) yang merupakan protein
pengaktif sitokin yang terus meningkat pada pasien sepsis (Yuan et al., 2020)
(Simmons dan Pittet, 2015). Neutrofil juga dapat melepaskan Protein lainnya yaitu
14
mengaktifkan sistem koagulasi yang ikut andil dalam trombosis, NETS juga dapat
merusak jaringan karena protein yang dibawanya (Li et al., 2020). NETS dicetak
oleh sitokin inflamasi dan aktivasi trombosit dan terdiri dari serat DNA kaya histon
dan protein antimikroba. Histon (H3 dan H4) menginduksi pembentukan trombin
produksi trombin meningkat dengan aktivasi trombosit yang dimediasi histon dan
dan leukosit. Dengan demikian, pelepasan HMGB-1 dan histon ke dalam sirkulasi
Gambar 2.2 Patogenesis sepsis. (a) Sepsis didefinisikan sebagai disregulasi respon tubuh
menyebabkan disfungsi organ. Keseimbangan inflamasi terganggu, sehingga terjadi hiperinflamasi
dan supresi imun. (b) Setelah patogen berhasil melewati mukosa tubuh, sistem pertahanan tubuh
dapat mengenali pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) dengan reseptor khusus (PRR).
Stimulasi PRR memiliki konsekuensi hiperinflamasi dan supresi imun. (c) Sepsis memiliki
manifesstasi klinis yang heterogen.
dari pembuluh darah (LaPelusa dan Heeransh, 2021). Proses ini dimulai segera
setelah cedera endotel. Trombosit dan pembekuan darah bekerja secara sinergis
(Barcellona dan Marongiu, 2019). Gumpalan adalah produk akhir dari aktivasi
16
koagulasi darah yang dipicu oleh kompartemen ekstravaskular yang kaya akan
Tissue Factor (TF), sebuah molekul pemicu paling penting untuk jalur kaskade
dibagi menjadi empat tahap : (1) Penyempitan pembuluh darah, (2) Pembentukan
Spasme vaskular terjadi setiap kali ada cedera atau kerusakan pada
pembuluh darah. Ini akan memicu vasokonstriksi yang pada akhirnya bisa
menghentikan aliran darah (Periayah, Halim dan Mat, 2017). Proses penyempitan
pembuluh darah ini terjadi dalam waktu sekitar 30 menit dari kerusakan/trauma
pada pembuluh darah. Di lokasi lapisan endotel yang rusak, darah akan mengalir
persentase tinggi kolagen (Farndale et al., 2004) . Serat kolagen yang terpapar akan
melepaskan ATP dan mediator inflamasi lainnya untuk merekrut makrofag. Selain
itu, ECM menjadi sangat trombogenik, mendorong adhesi dan agregasi trombosit
(Periayah, Halim dan Mat, 2017). Trombosit kemudian berikatan dengan dimediasi
reseptor Glikoprotein Ib (Gplb) dan faktor von Willebrand (vWF) pada matriks
ekstrasel (ECM) yang terpapar dan diaktifkan. Saat terjadi perubahan bentuk dan
llla dengan fibrinogen. Agregasi trombosit ini mengisi cedera pembuluh darah dan
agregasi trombosit dan memicu jalur koagulasi intrinsik dan ekstrinsik (LaPelusa
tissue factor (TF), sebuah protein transmembran yang terletak di luar pembuluh
darah mengikat faktor VII (FVII) kemudian menjadi FVII teraktivasi (FVIIa)
proteolitik mengaktifkan faktor koagulasi IX (FIX) dan faktor X (FX) (Chen et al.,
2019) (Biteker, 2016). Faktor IX yang diaktifkan (faktor IXa) berikatan dengan
kofaktornya – faktor VIII yang diaktifkan (faktor VIIIa), yang mengarah pada
18
aktivasi faktor X (faktor Xa) (LaPelusa dan Heeransh, 2021). Kemudian FXa dalam
kombinasinya dengan co-faktor FVa (faktor V yang diaktifkan) dan ion kalsium
FXII adalah inisiator dari jalur intrinsik. Jalur ini juga disebut fase kontak
karena FXII dapat diaktifkan secara negatif oleh permukaan yang berubah seperti
polifosfat trombosit atau RNA ekstraseluler (Lagrange dan Wenzel, 2019). FXIIa
mengubah prekallikrein plasma menjadi kallikrein (PK), yang secara timbal balik
molekul tinggi (Didiasova et al., 2018). Bersama-sama, FXII, PK, dan HK disebut
sistem aktivasi kontak plasma (Renné dan Stavrou, 2019). kaskade ini mendorong
Faktor XIa dan kompleks faktor VIIa-tissue factor secara in vitro mengaktifkan
Faktor IX yang terlarut menjadi faktor IX teraktivasi (faktor IXa) (Moake, 2020)
FVIIIa atau FVIIa-tissue factor (TF) (Wang et al., 2021). Faktor Xa kemudian
bertindak sebagai kofaktor dan katalisis dan meningkatkan bioaktivitas dari banyak
fibrinogen diubah menjadi fibrin yang tidak larut, monomer fibrin berpolimerisasi
dan membentuk jaring polimer fibrin dan menghasilkan bekuan fibrin yang
19
berikatan silang (LaPelusa dan Heeransh, 2021) (Kattula, Byrnes dan Wolberg,
2017).
proses koagulasi. Faktor ini menstabilkan bekuan darah dengan hubungan silang α-
dan γ- rantai fibrin. FXIIIa juga melindungi bekuan yang baru terbentuk dari
fibrin. FXIIIa juga merupakan penentu utama ukuran bekuan dan kandungan sel
terorganisasi dengan baik dan mengambil posisi untuk berkontraksi dengan aktin
bekuan darah, membuat bekuan menjadi padat dan menurunkan volume bekuan
secara perlahan, yang disebut retraksi bekuan (Periayah, Halim dan Mat, 2017).
Plasminogen proenzim yang tidak akti kemudian aktif menjadi plasmin, plasmin
Uitte, 2017).
20
Gambar 2.4 Skema kaskade koagulasi dan fibrinolitik. Kaskade koagulasi (panah biru) dapat
diaktifkan selama hemostasis melalui jalur intrinsik (sistem kontak; panah merah) atau jalur
ekstrinsik (panah abu-abu) yang akhirnya menyatu pada jalur koagulasi umum. Kedua jalur tersebut
menyebabkan aktivasi faktor X dan selanjutnya trombin, yang diperlukan untuk konversi fibrinogen
menjadi fibrin dan untuk aktivasi faktor XIII. Gumpalan fibrin diikat silang dan distabilkan oleh
faktor XIII. Fibrinolisis (panah hijau) diaktifkan pada saat yang sama dengan sistem koagulasi tetapi
beroperasi lebih lambat dan penting untuk pengaturan hemostasis. Selama fibrinolisis, plasminogen
diubah menjadi plasmin yang mendegradasi jaringan fibrin. Faktor koagulasi ditunjukkan dengan
"F" diikuti dengan angka romawi, tambahan "a" menunjukkan bentuk yang diaktifkan; HK,
kininogen dengan berat molekul tinggi; uPA, aktivator plasminogen urokinase; tPA, aktivator
plasminogen jaringan.
Sebagai respons terhadap sitokin yang diproduksi oleh sel imun, endotelium
oleh lonjakan TF yang bersirkulasi, yang berinteraksi dengan sitokin inflamasi IL-
21
1, IL-6, dan TNF-α. Pada kondisi ini Platelet activating factor (PAF) mempercepat
(TFPI), activated protein C (APC), dan antitrombin (AT) (Winer et al., 2020).
et al., 2007). Sedangkan aktivasi protein C yang seharusnya berguna pada beberapa
untuk menjaga integritas pembuluh darah menurun pada sepsis yang parah (Iba,
komplikasi umum pada sepsis. DIC tidak hanya menyebabkan disfungsi organ
tetapi juga merupakan faktor prognostik yang kuat (Hayakawa et al., 2016). Pada
2.3 Trombosit
Trombosit adalah sel kecil berinti yang awalnya berasal dari turunan
rata trombosit adalah 8-9 hari (Twomey, 2019). Trombosit telah lama dikenal
karena perannya dalam hemostasis. Dalam hal ini, adhesi dan aktivasi trombosit
mengarah pada pembentukan trombus yang kuat dan dengan demikian menyegel
23
pembuluh darah yang rusak (Margraf dan Zarbock, 2019). Melalui aktivitas
pembekuan dan aktivasi kaskade koagulasi ini, trombosit sangatlah penting untuk
mempertahankan volume darah yang memadai pada pasien dengan cedera vaskular.
Inisiasi aktivitas ini dimulai dengan cedera jaringan dan menghasilkan pelepasan
memberikan beberapa pilihan dalam hal terapi antitrombotik (Fountain and Lappin,
2021).
peradangan, pertumbuhan jaringan, dan respon imun. Proses ini berada di bawah
mediasi pelepasan senyawa dari alfa dan granula padat, yang mencakup banyak
faktor pertumbuhan serta IgG dan komponen sistem komplemen (Fountain dan
Lappin, 2021).
related Organ Failure Assessment) yang bertujuan untuk menilai tingkat keparahan
Trombositopenia sering terjadi pada sepsis. Kondisi ini dapat terjadi sebelum
masuk rumah sakit atau selama rawat inap di ICU, umumnya pada pasien yang kritis
24
dan telah lama dikenal sebagai faktor risiko independen untuk kematian pada pasien
ICU dan penanda sensitif untuk keparahan penyakit (Dewitte et al., 2017; Assinger
et al., 2019).
berat, yang terjadi pada akhir perkembangan klinis sepsis. Penurunan produksi
(Shannon, 2021).
(Hamilton, Filonzi and Ianches, 1993). Peningkatan produksi M-CSF pada pasien
mesin dari ukuran rata-rata trombosit yang ditemukan dalam darah dan biasanya
disertakan dalam tes darah sebagai bagian dari CBC (Rahul dan Anita, 2018).
potensi protrombotik yang lebih besar, dan lebih tahan terhadap penghambatan
dengan aspirin dan clopidogrel (P2Y12). Trombosit besar dianggap belum matang
25
mean platelet volume (MPV) sebagai prediktor prognosis pada pasien dengan sakit
dengan sepsis. Pemeriksaan MPV telah dilakukan sejak tahun 1970-an dan
sekarang telah menjadi pemeriksaan rutin untuk hampir semua pasien di rumah
sakit. Pemeriksaan MPV ini sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang
besar. Mean platelet volume adalah penanda sederhana dan akurat sebagai status
fungsional ukuran dari trombosit. Trombosit yang berukuran lebih besar bersifat
lebih reaktif. Ukuran trombosit ini ditentukan pada tingkat sel progenitor, yaitu
3 (IL-3) atau interleukin-6 (IL-6) pada pasien sepsis akan memengaruhi ploidi
megakariosit serta dapat menyebabkan produksi trombosit yang lebih reaktif dan
berukuran lebih besar. Oleh sebab itu, volume trombosit dinyatakan merupakan
(Bessman, 1984)
Gambar 2.6 Diagram kemungkinan perubahan dalam trombopoiesis. (A) Pada pasien normal, sel
progenitor atau colony forming unit- macrophage (CFU-M) dan megakariosit 2N berproliferasi;
megakariosit yang matang dengan endoreduplikasi, dengan kelas 16N, 32N, 64N memproduksi
sebagian besar trombosit. Ploidi megakariosit yang lebih tinggi membuat trombosit yang lebih besar.
(B) Pada pasien Immune Thrombocytopenic Purpura (ITP). Ada peningkatan proliferasi dan CFU-
M, dan peningkatan ploidi (panah tebal). Produksi trombosit dengan ploidi megakariosit yang lebih
tinggi relatif meningkat (panah tebal, lebih banyak trombosit). (C) Pada pasien Trombositosis
reaktif. CFU-M normal; megakariosit meningkat, ploidi menurun. Produksi trombosit berasal dari
peningkatan jumlah megakariosit, sehingga jumlah trombosit meningkat. Proporsi produksi
megakariosit dengan ploidi yang lebih tinggi lebih sedikit menghasilkan trombosit dari pada sel
ploidi megakariosit yang lebih rendah. (D) Pada pasien dengan Trombositopenia hipoproliferatif
(misalnya : anemia aplastik, toksisitas obat). CFU-M dapat berkurang; proliferasi dan
endoreduplikasi terganggu (garis putus-putus). Berkurangnya jumlah megakariosit menghasilkan
jumlah trombosit yang berkurang pula; berkurangnya ploidi megakariosit yang lebih tinggi, dan
berkurangnya trombosit yang berukuran besar.
27
trombosit pada total volume darah, dan secara langsung berhubungan dengan
jumlah total trombosit (Ferreira et al., 2009). PCT bisa dihitung dari hitung darah
regenerasi dan eliminasi. Dalam kondisi fisiologis, laju produksi trombosit terus
dijaga konstan, dan jumlah MPV dan trombosit berbanding terbalik (Mohamed et
al., 2019).
dengan sepsis bakteri (Djuang, Ginting and Hariman, 2018). Namun penelitian
baru-baru ini menduga bahwa jumlah trombosit yang rendah pada orang yang
trombosit selama proses septik (Sayed et al., 2020). Penurunan jumlah trombosit
Golwala et al., 2016 menemukan bahwa PCT pada pasien anak anak yang
meninggal secara signifikan berbeda dari pasien yang hidup serta nilainya paralel
Dalam penelitian pada pasien kritis di ICU yang meneliti jumlah platelet,
PDW, MPV, dan PCT menyimpulkan bahwa di antara keempat indeks tersebut,
demikian, PCT disimpulkan sebagai indikator prediktif yang optimal (Yadav dan
Aslam, 2020).