Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sebelumnya lebih dikenal dengan Multiple Organ
Failure (MOF) atau Multisystem Organ Failure (MSOF) didefinisikan sebagai adanya penurunan
fungsi organ pada pasien dengan penyakit akut yang menyebabkan ketidakmampuan untuk
mempertahankan homeostasis tanpa intervensi, biasanya melibatkan dua atau lebih sistem organ
(SCCM Consensus Conference Commitee, 1992).
ETIOLOGI
Pada survey dari 2475 pasien dengan MODS, didapatkan sebagian besar (76%) dialami oleh oleh
pasien dengan diagnosa non bedah. Didapatkan 6 penyebab utama perawatan ICU antara lain:
sepsis, pneumonia, gagal jantung kongestif, henti jantung, dan perdarahan gastrointestinal. Sepsis
adalah diagnosis yang seringkali ditemukan yang mengarah kepada kejadian MODS baik pada
pasien bedah ataupun non bedah. Pasien dapat berkembang menjadi MODS sebagai konsekuensi
dari infeksi primer atau ditumpangi dengan infeksi nosokomial. Namun pada lebih dari sepertiga
kasus, tidak dijumpai adanya fokus infeksi pada pemeriksaan fisik ataupun studi postmortem.
Sistem skoring APACHE II mengenali faktor resiko yang dapat mengarah ke insiden MODS yaitu
umur lebih dari 65 tahun, adanya defisit persisten oxygen delivery setelah resusitasi pada kondisi
shock akibat gangguan sirkulasi, jaringan mati, trauma berat, operasi mayor, dan gagal hati yang
telah ada sebelumnya (Slotman, 1997).
MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda tanda sepsis
non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise,
gelisah, atau kebingungan. Pada pasien sepsis kemungkinan ditemukan:
1. Perubahan sirkulasi
2. Penurunan perfusi perifer
3. Takikardia
4. Tachypnea
5. Pyresia atau temperature <36oc
6. Hipotensi
PATOFISIOLOGI
Disfungsi progresif dari sistem organ yang menjadi karakteristik dari MODS pada umumnya
mengikuti urutan yang dijabarkan pada SOFA yang dirumuskan pada pertemuan konsensus The
European Society of Intensive Care Medicine (EISCM) menjadi 4 fase sebagai berikut:
Fase pertama : peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis respiratorik ringan yang diikuti dengan
oliguria, hiperglikemia, dan peningkatan kebutuhan insuliln.
Fase kedua : pasien menjadi takipnea, hipokapnia, dan hipoksemia, kemudian berkembang menjadi
disfungsi hati dan abnormalitas hematologi
Fase ketiga : pasien jatuh ke dalam kondisi shock dengan azotemia dan gangguan asam basa, dengan
abnormalitas koagulasi yang signifikan
Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria atau anuria, kemudian berkembang
menjadi ischemic colitis dan asidosis laktat
KOMPLIKASI
Sindrom disfungsi multi-organ (MODS) merupakan komplikasi buruk yang sering terjadi sepanjang
perjalanan klinis pasien trauma mayor di Unit Gawat Darurat (UGD) maupun di ruang perawatan
intensif. Suatu nilai patokan yang dapat memprediksi MODS pascatrauma secara akurat sejak dini
tentunya sangat berharga bagi tatalaksana pasien terutama pada kasus multitrauma.
PENATALAKSANAAN
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Hitung darah lengkap. Kenaikan jumlah neutrofil atau adanya granula toksik
menunjukkan sepsis bacterial. Jumlah netrofil rendah terjadi pada imunosupresi
iatrogenic atau infeksi tifoid, bruselosis atau riteksi merupakan indicator prognosis buruk
pada sepsis berat.
2. Jumlah trombosit rendah, bisa menunjukkan koagulasi intravascular diseminata (DIC)
pada sepsis berat.
3. Kultur darah, urin dan jaringan. Sangat penting karena bacteremia bisa menunjukkan
adanya sepsis di berbagai tempat
HEMODINAMIK PASIEN MODS
1. WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
2. Hiperglikemia > 120 mg/dl
3. Peningkatan Plasma C-reaktif protein
4. Peningkatan plasma procalcitonin.
5. Serum laktat > 1 mMol/L
6. Creatinin > 0,5 mg/dl
7. INR > 1,5
8. APTT > 60
9. Trombosit < 100.000/mm3
10. Total bilirubin > 4 mg/dl
11. Biakan darah, urine, sputum hasil positif.
EBN
Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu instrumen yang dapat memrediksi perkembangan MODS
pada pasien dewasa multitrauma dengan menggunakan data klinis dan laboratorium yang tersedia pada 24
jam pertama pasca trauma pada seting fase prahospital maupun di fase hospital sejak di UGD. Jenis
penelitian ini prospektif, mengumpulkan pasien multitrauma dengan Injury Severity Score (ISS) ≥16,
rentang usia 16-65 tahun, di 4 pusat trauma level-1 rumah sakit pendidikan selama 1 tahun (September
2014-2015). Dilakukan pencatatan data klinis dan laboratorium sesuai perkembangan pasien. Skor
sequential organ failure assessment (SOFA) digunakan untuk menentukan adanya MODS selama
perawatan. Skor prediksi dibuat dengan membangun model regresi logistik yang signifikan untuk
memrediksi terjadinya MODS pasca multitrauma. Hasil penelitian mendapatkan 98 sampel multitrauma
yang memenuhi kriteria inklusi dengan rerata usia 35,2 tahun, sebagian besar laki-laki (85,71%) dengan
rerata ISS 23,6, dan disebabkan oleh trauma tumpul (76,53%). MODS terjadi pada 43 pasien (43,87%).
Skor prediksi terdiri dari RTS dengan (cut off point 7,25) dan kadar laktat serum (cut off point 3,44
mmol/mL). Penelitian ini juga memverifikasi beberapa faktor risiko individual terjadinya MODS pasca
multitrauma yaitu ISS>25, adanya SIRS, syok derajat 2 atau lebih, dan leukositosis >12.000
ASKEP
KASUS
Pasien Tn. A, 68 tahun masuk UGD dengan keluhan demam, sesak napas dan perut
kembung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 110/60, demam 40,2C, takikardia HR
115x/menit, takipneu RR 26 x/menit serta pada pemeriksaan lab didapatkan Lekosit
16.100. Tn. A didiagnosis dengan obs febris dan diharuskan opname. Selama
diruangan pasien dilakukan foto polos abd 3 posisi dan CT scan abdomen dengan hasil
meteorismus, tak tampak udara bebas dan tak jelas tanda-tanda ileus obstruksi
sehingga pasien hanya diterapi konservaif dan pemasangan rectal tube. Selama di
ruangan pasien bertambah sesak, distensi abdomen bertambah sehingga pasien
dipindahkan ke ICU dengan keadaan umum: sakit berat, apatis, sesak dengan oksigen
kanul 5 l/m. TD 80/40, HR 124x/m, RR 40x/m, S 39 C, sat 92%. Jtg : BJ I-II murni,
murmur (-), gallop (-). Paru: Vesikuler, rh +/+, Akral : dingin, sianosis (-).
Dari hasil laboratorium didapatkan laktat 4,1; L 29.000; Tr 194.000; Ur 29; Cr 1,3; PCT
61,5. Ro Toraks: Paru normal. Terapi: Midazolam 5 mg/jam, Dob 10ug/kg/m, Noradr 0,3
ug/kg/m, Meropenem 3×1 gr, Ca gluconas 2x1amp, Omeprazol 1×1 amp, KCL 50 meq,
TE 1000cc, Amiparen 500cc, RL 1000 cc. Produksi urin 210 cc/8 jam dengan imbang
cairan + 1480 cc.
Primary Survey
1. Airway : Tidak ada sumbatan pada jalan napas
Manajemen: –
1. Circulation : Akral (dingin, basah, pucat), sianosis (-), perdarahan (-), TD 80/40; HR
124x/m; S 39 C
Manajemen :
1. Resusitasi cairan : loading RL 300 cc, diulang lagi 200 cc. TD tidak meningkat dan HR
130x/m. Diberikan volume 250 cc + 250 cc.
2. pasien diberikan inotropik dob 5-10 ug/kg/m dan vasopresor noradrenalin 0,1-0,3
ug/kg/m.
3. Disability : kesadaran apatis
Manajemen :
Secondary Survey
1. Pemeriksaan fisik
B1 (Breath) : Klien mengalami sesak napas dengan RR 40x/menit dan Paru Vesikuler,
rh +/+
B5 (Bowel) : –
B6 (Bone) : –
1. Pemeriksaan penunjang
AGD: pH 7,3; pO2 132,2; pCO2 44,6; HCO3 26; sat 99;BE 0,7;kadar laktat darah 4,1.
Elektr : Na 139; K 2,8; Cl 102; Ca 6,9; Mg 1,7.
Hematologi : Hb 11,7; Ht 35; L 29.000; Tr 194.000; Ur 29; Cr 1,3; GD 148. Alb 2,4;
SGOT 14; SGPT 40; PCT 61,5.
Foto Toraks : Paru normal
Analisis Data
Masalah
Data Etiologi Keperawatan
Infeksi bakteri
↓
Aktivasi makrofag
DS : Pelepasan mediator
pasien mengatakan inflamasi
sesak napas Lipopolisakarida
DO: ↓
Terpasang oksigen ↓
kanul 5 lpm
Sirkulasi O2 tidak
adekuat Pola napas
tidak efektif
Infeksi bakteri
↓
Aktivasi makrofag
DS: – ↓
DO:
Pelepasan mediator
akral dingin basah inflamasi
pucat Lipopolisakarida
TD : 80/40 mmHg ↓
Gangguan
HR : 124x / menit Kolaps kardiovaskuler perfusi
jaringan
Bakteri
↓
DS: – ↓
DO:
Peradangan
S: 39 C
o
↓
Demam
hipertermi
Diagnosa Keperawatan
1. Hipertemi berhubungan dengan respons inflamasi
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sirkulasi oksigen yang tidak adekuat
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan kolaps kardiovaskular
Intervensi Keperawatan
1. Hipertemi berhubungan dengan respons inflamasi
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi 1 x 24 jam hipertermi teratasi
Kriteria hasil:
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sirkulasi oksigen yang tidak adekuat
Tujuan: Mempertahankan pola nafas normal atau efektif
Kriteria Hasil:
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
Intervensi Rasional
Kriteria Hasil: