Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sepsis adalah respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat
berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik.3 Sepsis merupakan komplikasi berbahaya
akibat disregulasi respon tubuh terhadap infeksi mikroorganisme patogenik atau toksinnya ke
dalam darah atau jaringan lainnya, sehingga terjadi respon sistemik berlebihan terhadap
infeksi1, yang menyebabkan kumpulan gejala klinis serta berakhir pada keadaan disfungsi
organ yang mengancam jiwa.2

Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama dan menyebabkan
kematian terhadap jutaan orang setiap tahunnya.12 Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan
kondisi disfungsi organ, yang disebabkan karena inflamasi sisitemik dan respon prokoagulan
terhadap infeksi.13 Syok septic di definisikan sebagai kondisi sepsis dengan keadaan
hipotensi refrakter (tekanan darah sistolik <90 mmHg, Mean arterial pressure <65 mmHg,
atau penurunan > 40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik yang tidak responsif
setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20 sampai 40 ml/kg).5

Sepsis berdasarkan “Surviving Sepsis Campaign” didefinisikan sebagai adanya


infeksi (termasuk diduga suatu infeksi) bersamaan dengan manifestasi sistemik infeksi.
Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis ditambah disfungsi organ akibat sepsis atau adanya
hipoperfusi jaringan (Tabel 1 dan 2).8 Syok septik diartikan sebagai hipotensi yang diinduksi
sepsis yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat. Hipoperfusi
jaringan yang diinduksi sepsis didefinisikan sebagai hipotensi di induksu oleh infeksi,
peningkatan laktat, atau oliguria.9

Tabel 1. Definis sepsis 1992-2016 8,14,15

Definisi Sepsis (1992) Sepsis (2011) Sepsis (2016)


Sepsis Sindrom respons Tidak ada Gangguan fungsi
inflamasi sistemik (SIRS) perubahan organ akibat renspons
yang disebabkan infeksi definisi tubuh terhadap infeksi
yang menganjcam
jiwa
Sepsis Berat Sepsis disertai salah satu Tidak ada Definis sepsis berat
gejala gangguan fungsi perubahan dihilangkan
organ, hipoperfusi, definisi
hipotensi, asidosis laktat,
oligouria atau gangguan
status mental akut
Renjatan/syok Sepsis disertai hipotensi Tidak ada Sepsis disertai
septic walaupun telah dilakukan perubahan gangguan sirkulasi,
terapi cairan yang definisi dan metabolik yang
adekuat, sepsis dengan mengancam jiwa
terapi obat inotropika
atau vasopressor
2.2 EPIDEMIOLOGI

Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada pasien
dengan kondisi kritis.10 Pada tahun 2004, WHO menerbitkan laporan mengenai beban
penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab tersering dari
kematian pada negara berpendapatan rendah.19

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health Organization) pada
tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif pada negara
maju, dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi 750.000 kasus sepsis di
Amerika Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara berkembang, dimana sebagian besar
populasi dunia bermukim. Kondisi seperti standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi,
infeksi kuman akan meningkatkan angka kejadian sepsis.1

Dinegara maju seperti Amerika Serikat, CDC (Centre for Disease Control and
Prevention) menyatakan bahwa 1,5 juta orang Amerika terkena sepsis dalam setahun. Sekitar
250.000 orang meninggal. Morbiditas dan mortalitas dapat meningkat jika tidak segera
dikenali dan diobati. Orang yang lebih tua memegang proporsi yang lebih besar (58-65%)
dari pasien sepsis.2

Ditentukan bahwa kejadian sepsis berat meningkat lebih dari 100 kali lipat seiring
bertambahnya usia dan mortalitas meningkat dari 10% pada anak-anak menjadi 26% pada
pasien 60-64 tahun dan 38% pada mereka yang usianya ≥ 85 tahun. Sayangnya, kelompok
usia yang rentan terdiri dari mereka yang berusia ≥ 80 tahun, yang meningkat pada nilai 3,8%
per tahun dan diperkirakan mencapai 20% dari semua orang tua pada tahun 2050.16 Dalam
sebagian besar penelitian sebelumnya, infeksi saluran pernapasan, intra-abdominal, saluran
kemih, dan aliran darah, merupakan fokus utama infeksi sepsis, terhitung > 75% dari
kasus.17

Berdasarkan hasil dari Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes, penyakit
infeksi utama yang ada di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis, hepatitis, diare,
malaria.4 Dimana infeksi saluran pernafasan dan tuberkulosis termasuk 5 besar penyebab
kematian di Indonesia.18
Kondisi serupa juga terjadi di negara Mongolia, dimana penyakit infeksi merupakan
10 penyebab kematian tertinggi di negara tersebut. Dan pada suatu penelitian yang diadakan
pada tahun 2008, angka kejadian sepsis pada pasien yang masuk ke ICU di RS Mongolia
didapatkan dua kali lebih besar dibandingkan dengan angka di negara maju.19

2.3 PATOFISIOLOGI

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon
pro-inflamasi dan anti- inflamasi tubuh.20 Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas
sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi
miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidak seimbangan antara
penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia
jaringan sistemik atau syok.21

Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia,


penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang
mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.22

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel
endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari
aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species,
nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.23

Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6


akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang
teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan
meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.13

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai
hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini
akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.5

Respons utama inflamasi dan prokoagulan terhadap infeksi berhubungan sangat erat.
Beberapa agen infeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan
interleukin-1 mengaktifkan sistem koagulasi dengan cara menstimulasi pelepasan faktor
jaringan dari monosit dan endothelium yang memicu terhadap pembentukan trombin dan
bekuan fibrin. Sitokin inflamasi dan trombin dapat mengganggu potensi fibrinolitik endogen
dengan merangsang pelepasan inhibitor plasminogen-activator 1 (PAI-1) dari platelet dan
endothelium. PAI-1 merupakan penghambat kuat aktivator plasminogen jaringan, jalur
endogen untuk melisiskan bekuan fibrin. Efek lain dari trombin prokoagulan mampu
merangsang jalur inflamasi multipel dan lebih menekan sistem fibrinolitik endogen dengan
mengaktifkan inhibitor fibrinolisis thrombin-activatable (TAFI).8
Mekanisme kedua melalui aktivasi protein aktif C yang berkaitan dengan respons
sistemik terhadap infeksi. Protein C adalah protein endogen yang mempromosikan
fibrinolisis dan menghambat trombosis dan peradangan, merupakan modulator penting
koagulasi dan peradangan yang terkait dengan sepsis. Kondisi tersebut memberikan efek
antitrombotik dengan menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, membatasi pembentukan trombin.
Penurunan trombin akan berdampak terhadap proses inflamasi, prokoagulan, dan
antifibrinolitik. Menurut data in vitro menunjukkan bahwa protein aktif C memberikan efek
antiinflamasi dengan menghambat produksi sitokin inflamasi (TNF-α, interleukin-1, dan
interleukin-6) oleh monosit dan membatasi monosit dan neutrofil pada endothelium yang
cedera dengan mengikat selectin.8

Hasil akhir respons jaringan terhadap infeksi berupa pengembangan luka


endovaskuler difus, trombosis mikrovaskuler, iskemia organ, disfungsi multiorgan, dan
kematian (gambar 1, gambar 2).8
2. 4 KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria untuk diagnosis sepsis dan sepsis berat kali dibentuk tahun 1991 oleh
American collafe of Chest Physican and Society of Critical Care Medicine Consensus (tabel
1).3 Pada tahun 2001, SSCM, ACCP dan European Society of Critical Care (ESICM)
merevisi definis sepsis dan menambahkan tingkatan dari sepsi dengan akronim PIRO
(Predisposition, Infection, Response to the infectious challenge, and Organ dysfunction).10

Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus


internasional yang ketiga yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu
perawatan di ICU dan risiko kematian yang meningkat. Konsensus ini menggunakan skor
SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan
menambahkan kriteria baru seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan
cairan resusitasi dan penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.10

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu
lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi
menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria
SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS
sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.11
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis segera
tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA. Sistem
skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment
(SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu.
Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ (tabel 4) (8). Skor qSOFA
direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan dan
memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien diasumsikan berisiko
tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih dari 3 kriteria klinis. Untuk
mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA
(Gambar 6).9

Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis
berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari
respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan
skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA)
untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU (10). Walaupun penggunaan qSOFA kurang
lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan
qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan
dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.20

Tabel 2. Kriteria Sepsis 1992-2016 8,9

Definisi Sepsis (1992) Sepsis (2011) Sepsis (2016)

Sepsis Kriteria SIRS bila ditemukan 2 Kriteria SIRS Skor SOFA ≥2


gejala atau lebih tanda sebagai ditambah
berikut : dengan fokal qSOFA ≥2

- Suhu >38°C atau <36°C infeksi


- Detak jantung >90 kali/menit Disertai
dengan
- Frekuensi pernapasan >20
kriteria
kali/menit atau PaCO2<32
hemodinamik,
mmHg
inflamasi, dan
- Jumlah leukosit >12000 atau kriteria
<4000/mm3 atau ditemukan gangguan
sel leukosit muda >10% fungsi organ
- Disertai dengan fokal infeksi
Sepsis Berat Kriteria sama Kriteria sama Definis sepsis berat
dihilangkan
Renjatan/syok Kriteria sama Kriteria sama Sepsis dengan
septic hipotensi
Kadar serum laktat ≥2
mmol/L yang
menetap walaupun
telah diberikan terapi
cairan sehingga
dibutuhkan
pemberian
vasopressor untuk
mempertahankan
MAP > 65 mmHg

Tabel 3 Sequential organ failure assessment (SOFA) score

NO Sistem organ SOFA Score


0 1 2 3 4
1 Respiratory >400 <400 <300 <200 dengan <100
po/Fio2 (kpa) bantuan dengan
respirasi bantuan
respirasi
2. Koagulasi >150 <150 <100 <50 <20
Platelet, x
105/mm5
3. Hepar, bilirubin <1,2 <1,2-1,9 2,0 – 5.9 6,0 – 11,9 >12,0
mg/dl
4. Kardiovaskuler MAP > MAP Dopamin Dopamin Dopamin
70 <70 <5 5,1-15 >15 atau
mmHg mmHg ug/kg/menit ug/kg/ epinefrin
atau menit atau >0,1
Dobutamin epinefrin ≤ ug/kg/
(dosis 0,1 menit
berapapun) ug/kg/menit
atau
norepinefrin
≤ 0,1 ug/
kg/ menit
5. Sistem saraf 15 13-14 10-12 6-9 <6
pusat, GCS
6. Renal, kreatinin <1,2 1,2 – 1,9 2,0 -3,4 3,5 – 4,9 >5,0
dan urine output <500 <200

Tabel 4. Skor quickSOFA (qSOFA)

Point
Kriteria Qsofa
Laju pernafasan > 22x/menit 1
Perubahan status mental/kesadaran 1
Tekanan darah sistolik <100 mmHg 1

2.4 TATALAKSANA
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali
dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari
2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan
tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine
dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru.23

Komponen dari penanganan sepsis dan syok spetic adalah resusitasi awal,
vasopresor/inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber
infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiolog), tatalaksana suportif (ventilasi, dialisis,
transfusi) dan pencegahan infeksi.10

A. Terdapat perubahan bermakna surviving sepsis campaign 2018 dari rangkaian 3 jam,
6 jam, menjadi rangkaian 1 jam awal. Tujuan perubahan ini adalah diharapkan
terdapat perubahan manajemen resusitasi awal, terutama mencakup penanganan
hipotensi pada syok sepsis.8,24,25,26
B. Pengukuran Kadar Laktat
Peningkatan kadar laktat dapat menunjukkan beberapa kondisi di antaranya hipoksia
jaringan, peningkatan glikolisis aerobik yang disebabkan peningkatan stimulasi beta
adrenergik atau pada beberapa kasus lain. Peningkatan kadar laktat >2mmol/L harus diukur
pada kondisi 2-4 jam awal dan dilakukan tindakan resusitasi segera.27

C. Kultur Darah
Pengambilan kultur darah dilakukan segera, hal tersebut berguna untuk meningkatkan
optimalisasi pemberian antibiotik dan identifikasi patogen. Kultur darah sebaiknya dalam 2
preparat terutama untuk kuman aerobik dan anaerobik. Pengujian kultur juga dapat
menyingkirkan penyebab sepsis, apabila infeksi patogen tidak ditemukan maka pemberian
antibiotik dapat dihentikan.28,29

D. Antibiotik Spektrum Luas


Protokol baru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik diberikan maksimal
dalam waktu 1 jam. Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada
manajemen awal. Pemilihan antibitiotik disesuaikan dengan bakteri empirik yang
ditemukan.20,31,32

Karena infesi menyebabkan sepsis penangan infeksi merupakan komponen penting dalam
penangana sepsis, tingkat kematian meningkat dengan adanya penundaan penggunaan
antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik
berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan indentifikasi sumber penularan
kuman.33

Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikroba artinta bahwa diberikan
antimikroba sebelum hasil kultur dan sensitivitas terhadap kuman didapatkan. Pemberian
antimikroba secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah
hasil kultur dan sensitivitas di dapatkan maka terapi empirik diubah menjadi terapi rasional
sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.25

E. Cairan Intravena
Pemberian cairan merupakan terapi awal resusitasi pasien sepsis, atau sepsis dengan
hipotensi dan peningkatan serum laktat. Cairan resusitasi adalah 30 ml/kgBB cairan
kristaloid; tidak ada perbedaan manfaat antara koloid dan kristaloid. Pada kondisi tertentu
seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati-hati. Beberapa
teknik untuk menilai respon:12
1. Passive leg raising test. Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis kategori responder
atau non-responder, dengan sensitivitas 97% dan spesifisitas 94%. Bila pulse pressure
bertambah > 10% dari baseline, dianggap responder. Penilaian ini bertujuan untuk
menilai peningkatan cardiac output dengan penambahan volume.
2. Fluid challenge test . Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung (stroke
volume) atau tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure). Pemberian
cairan dapat mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan perfusi ke organ vital
untuk mencegah ganguan kerusakan organ.
3. Stroke Volume Variation (SVV). Penilaian variasi isi sekuncup jantung akibat
perubahan tekanan intra-toraks saat pasien menggunakan ventilasi mekanik. Syarat
penilaian responsivitas cairan dengan metode ini adalah:
a. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh
b. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight),
c. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV ≥12%.
Selain SVV, Pulse Pressure Variation (PPV) juga dapat dipergunakan untuk menilai
responsivitas cairan.14

F. Pemberian Vasopressor

Manajemen resusitasi awal bertujuan untuk mengembalikan perfusi jaringan, terutama


perfusi organ vital. Jika tekanan darah tidak meningkat setelah resusitasi cairan,
pemberian vasopressor tidak boleh ditunda. Vasopressor harus diberikan dalam 1 jam
pertama untuk mempertahankan MAP >65 mmHg. Dalam review beberapa literatur
ditemukan pemberian vasopressor/inotropik sebagai penanganan awal dari sepsis.8

G. Pemilihan Vasopressor

Norepinefrin direkomendasi sebagai vasopresor lini pertama. Penambahan


vasopressin (sampai 0,03 U/menit) atau epinefrin untuk mencapai target MAP dapat
dilakukan.8

Dopamin sebagai vasopresor alternatif norepinefrin hanya direkomendasikan untuk


pasien tertentu, misalnya pada pasien berisiko rendah takiaritmia dan bradikardi relatif.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal sudah tidak direkomendasikan
lagi. Dobutamin disarankan diberikan pada hipoperfusi menetap meskipun sudah diberi
cairan adekuat dan vasopresor.24

Dobutamin dapat diberikan sampai dosis 20 ug/kgBB/menit atau ditambahkan


bersama vasopresor lain apabila terdapat: disfungsi miokard yang ditandai peningkatan
tekanan pengisisan jantung dan curah jantung yang rendah dan penurunan perfusi yang
terus berlanjut meskipun volume intravaskular dan tekanan rerata arteri adekuat telah
tercapai. Dobutamin tidak dipakai untuk meningkatkan indeks curah jantung sampai
supranormal. Steroid dapat digunakan apabila dengan norepinefrin target MAP masih
belum tercapai.8,24

Anda mungkin juga menyukai