Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

Disusun Oleh:
Maulida Narulita G99172009
Ahmad Yasin G99182003
Dinanisya Fajri S G991903013
Erlyn Tusara Putri H G991903014
Fabianus Anugrah P G991903015
Benedictus Aldo N P G991905013

Periode: 21 Oktober 2019 – 3 November 2019

Pembimbing:
Christianie, drg., SpPerio

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Lidah merupakan organ dalam rongga mulut penting pada tubuh manusia
yang memiliki banyak fungsi. Lidah memiliki peran dalam proses pencernaan,
mengisap, menelan, persepsi rasa, bicara, respirasi, dan perkembangan rahang.
Lidah dapat digunakan untuk melihat kondisi kesehatan seseorang, sebagai
indikator untuk mengetahui kesehatan oral dan kesehatan umum pasien
Glossitis merupakan salah satu kelainan pada lidah berupa perubahan
penampilan pada permukaan lidah akibat suatu peradangan akut ataupun kronis
yang mengakibatkan lidah membengkak, berubah warna dan tekstur permukaan.
Kondisi ini dapat menyebabkan papilla di permukaan lidah menghilang. Papilla
akan berwarna lebih putih dari daerah yang dikelilinginya. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan stress emosional, defisiensi nutrisi dan herediter.
Keadaan ini biasanya terbatas pada dorsal dan tepi lateral dua pertiga anterior
lidah dan hanya mengenai papilla filiformis sedangkan papilla fungiformis tetap
baik. Papilla berisi ribuan sensor kecil yang disebut taste buds. Radang parah
yang mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri, dapat mengubah cara
penderita makan ataupun berbicara (Langlais, 2001).
Glositis dapat timbul tiba-tiba dan menetap selama berbulan-bulan dan
bertahun-tahun.Dapat terlihat hilang spontan dan kambuh kembali. Pada kasus
yang berat, glossitis dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas ketika lidah
yang membengkak cukup parah sehingga membutuhkan penanganan segera
(Langlais, 2001).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. LIDAH
Lidah adalah suatu organ muskular yang berhubungan dengan
pengunyahan, pengecapan dan pengucapan yang terletak pada sebagian di
rongga mulut dan faring. Lidah berfungsi untuk merasakan rangsangan rasa
dari benda-benda yang masuk ke dalam mulut kita. Lidah dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu radiks, korpus, dan apeks. Radiks lidah melekat pada tulang
hioid dan mandibula, di bagian bawah kedua tulang terdapat musculus
genyoyoideus dan musculus mylohyoideus. Korpus lidah bentuknya cembung
dan bersama apeks membentuk dua per tiga anterior lidah. Radiks dan korpus
dipisahkan oleh alur yang berbentuk ”V” yang disebut sulkus terminalis

Gambar 1

Otot lidah ada 2 jenis, otot intrinsik dan ekstrinsik. Otot intrinsik membuat
kita mampu mengubah-ubah bentuk lidah (memanjang, memendek, membulat),
sedangkan otot ekstrinsik lidah membuat lidah dapat bergerak
mengelilingi rongga mulut dan faring. Secara garis besar lidah dapat terbagi
menjadi 2 bagian yaitu 2/3 depan (yang disebut apeks) dan 1/3 belakang (yang
disebut dorsum). Bagian depan lidah merupakan bagian yang fleksibel dan bekerja
sama dengan gigi dalam mengucap huruf. Bagian pangkal lidah berfungsi untuk
mengangkat dan mendorong makanan memasuki esofagus. Lidah dengan mulut
dihubungkan dengan frenulum. Lidah memiliki papillae yang memiliki kuncup
pengecap. Papillae pada lidah terdiri dari 4 macam yaitu papilla fungiformis,
papilla filiformis, papilla circumvallata, papilla fallata. Tunas pengecap atau taste
buds berada di tepi papilla. Tunas pengecap memiliki dua jenis sel yaitu sel
pengecap dan sel penyokong. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor dan sel
penyokonng berfungsi sebagai penopang. Lidah berfungsi sebagai indra pengecap
4 rasa yaitu:

1. Rasa manis : bagian depan lidah


2. Rasa asin : sepanjang sisi depan lidah
3. Pahit : bagian belakang lidah
4. Asam : sepanjang sisi belakang lidah (Eroschenko , 2007)

Gambar 2. Pembagian Lidah berdasarkan fungsinya

II. GLOSITIS
A. Definisi
Glossitis adalah keadaan suatu lidah yang ditandai dengan tanda –
tanda peradangan. Peradangan tersebut mengakibatkan lidah tampak halus
dan mengkilap. Keadaan ini bisa disebabkan penyakit sistemik yang
disebabkan oleh tubuh dan menunjukkannya pada lidah.
Gambar 3. Glositis

B. Etiologi
Glossitis disebabkan oleh :
1. Penyakit sistemik (Malnutrisi, HIV, anemia)
2. Infeksi (Bakteri, jamur)
3. Alergi
4. Trauma (luka bakar)
5. Keturunan
6. Mulut kering akibat sjogren syndrome

Faktor risiko :
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi

Kadangkala glossitis bisa disebabkan faktor keturunan. Suatu


pemeriksaan yang mendalam merupakan hal yang perlu dilakukan untuk
mendapatkan penyebab dari glossitis ini secara pasti. Kadangkala bila
penyebabnya tidak jelas dan tidak ada perbaikan setelah dilakukan
perawatan maka perlu dilakukan biopsi. Pada beberapa kasus, glositis
akan menyembuh pada pasien dengan rawat jalan. Rawat inap
diperlukan bila pembengkakan pada lidah ini membesar dan
menghalangi jalan nafas (Taqwa, 2009)
C. Klasifikasi
1. Idiopathic Glossitis
Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara keseluruhan.
2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Glositis atrofik adalah suatu kondisi yang ditandai
dengan tidak adanya papilla filiform atau fungiform pada
permukaan dorsal lidah. Akibatnya, tekstur dan penampilan
lidah dorsal yang biasa, ditentukan oleh tonjolan papiler,
berubah menjadi aspek yang lembut dan halus.

Gambar 4. Atropic glossitis

3. Herpetic Geometric Glossitis


Terdapat retakan pada dorsum lidah yang bercabang- cabang.
Gambar 5. Herpetic Geometric Glossitis

4. Benign Migratory Glossitis


Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih serpiginosa dan
hiperkeratotik.

Gambar 6. Benign Migratory Glossitis

5. Median Rhomboid Glossitis


Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian dorsum
lidah digaris tengah di depan papillae sirkumvalata (Ghabanchi, 2011)
Gambar 7. Median Rhomboid Glossitis

D. Patogenesis
Glossitis dapat diartikan sebagai radang pada lidah, atau secara umum
merupakan suatu inflamasi dengan depapilasi pada daerah dorsal lidah,
sehingga hanya tersisa permukaan yang halus dan berwarna merah (Scully,
2008). Beberapa penyebab dari glossitis :
1. Anemia
Anemia defisiensi besi seperti yang terjadi pada saat menstruasi atau
perdarahan pada gastrointestinal dapat menyebabkan depapilasi dan
atrofi pada papil lidah, sehingga menyebabkan lidah menjadi terlihat
halus dan berkilau, disertai dengan pucat pada bibir (Treister dan Bruch,
2010).
2. Defisiensi Vitamin B
3. Infeksi
Spesies candida secara umum menyebabkan glossitis dengan eritema,
rasa terbakar dan atrofi (Chi et al., 2010).

E. Gejala dan Tanda


Gejala glossitis adalah sulit mengunyah, menelan atau berbicara
karena ukuran lidah lebih besar, dan rasa sakit pada lidah.Tanda glossitis
adalah bengkak pada lidah, permukaan lidah mengkilat, warna lidah
berubah menjadi pucat atau merah terang. Pada pemeriksaan lidah akan
terlihat eritema, terutama pada daerah dorsum dan seringkali juga menyebar
ke daerah lateral pada lidah. Pada daerah yang mengalami eritema, struktur
lidah normal tidak terlihat, yaitu dengan hilangnya papil filiformis dan atrofi
pada mukosa. Mengitari daerah eritema terdapat batas yang jelas,
hiperkeratosis, dengan garis serpiginous berwarna putih-kuning tidak teratur
(Dennis et. al., 2012).

F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari glossitis dapat berupa kanker pada mukosa
oral, luka bakar kimia, stomatitis, fissure lidah, lichen planus¸ candidiasis
mukosa, psoriasis.

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi peradangan.
Penatalaksanaan pembengkakan dan rasa tidak nyaman di mulut dilakukan
dengan pemberian obat-obatan secara oral. Pengobatan glositis tergantung
pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri.
Bila penyebabnya adalah defisiensi besi, maka diperlukan suplemen zat
besi. Obat kumur yaitu campuran setengah teh, baking soda dan dicampur
dengan air hangat. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa diberikan
kortikosteroid. Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna untuk
penggunaan sesekali misalnya triamcinolone dalam pasta gigi yang
diterapkan beberapa kali sehari. Kebersihan mulut yang baik sangat penting.
Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas makanan dan alcohol
(Langlais, 2001).

H. Komplikasi
1. Airway Obstruksi
Udara yang masuk melalui mulut tersumbat karena lidah mengalami
pembengkakan.

2. Disfagia
Disfagia adalah kesulitan menelan. Kondisi ini biasanya menjadi gejala
akibat adanya masalah pada tenggorokan atau kerongkongan. Kondisi
ini terjadi karena adanya masalah pada otot dan saraf tenggorokan atau
kerongkongan dan karena terjadinya penyumbatan pada tenggorokan
atau kerongkongan.
3. Disfonia
Disfonia adalah gangguan produksi suara. Orang yang menderita
disfonia dapat mengeluarkan suara serak atau tidak ada suara sama
sekali. (Pindborg, 2009).

I. Prognosis
Dalam beberapa kasus, glossitis bisa menyebabkan lidah bengkak
yang dapat menghambatjalan nafas.Namun dengan penanganan yang tepat
dan adekuat, gangguan pada lidah ini dapat diatasi dan dicegah
kekambuhannya (Langlais, 2001).

J. Pencegahan
1. Kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus dilakukan.
2. Sikat gigi dan penggunaan dental floss atau benang gigi
3. Jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah makan.
4. Kunjungi dokter gigi secara teratur.
5. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang
lidah untuk terjadi iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini
termasuk makanan yang panas dan beralkohol.
6. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis
apapun.
7. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah
parah.
8. Bila lidah sudah menghalangi jalan nafas oleh karena proses
enlargement, bila hal ini terjadi, mutlak diperlukan perawatan yang
lebih intensif (Pindborg, 2009)
III. KORELASI GLOSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK
A. Hubungan Glossitis Dengan Psoriasis
Definisi
Psoriasis (PS) adalah penyakit kulit kronis karena kelainan genetik
dan imunologi yang dipicu oleh faktor lingkungan. Secara klinis, lesi
berbentuk papul eritematous , plak yang tertutupi skuama halus. Lesinya
biasanya simetris dengan daerah predileksi di kulit kepala, kuku, regio
posterior siku dan regio anterior lutut. Penyakit ini bisa bersifat lokal,
namun bisa juga menyeluruh, mempengaruhi seluruh permukaan kulit
(Jorge et al., 2017).
Kondisi oral yang berkaitan dengan PS adalah Benign Migratory
Glossitis (BMG) atau biasa disebut dengan Geographic Tongue. BMG
merupakan area ireguler yang mengalami hilangnya papillae filiformis,
yang dikelilingi batas putih dengan elevasi yang halus (Jorge et al., 2017).
Epidemiologi dan Etiologi
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis yang menyerang kulit
dan sendi dengan dasar genetik dan imunologis (Raut et al 2013). Psoriasis
terjadi pada sekitar 1-3% dari populasi dunia, dapat terjadi pada kedua
jenis kelamin. Secara klinis, psoriasis dibagi menjadi vulgaris, guttate,
inverse, psoriasis arthritis, palmoplantar, pustular, dan eritrodermal,
dengan ciri umum yaitu eritema, deskuamasi, dan elevasi (Johnson et al,
2013; Ladizinski et al 2013)
Sementara BMG pertama kali dijelakan oleh Reiter di tahun 1831,
Geographic tongue (GT) adalah lesi inflamasi oral kronis yang
diperantarai secara imunologis dengan etiologi yang belum diketahui
(Ishibashi et al, 2010). Mempengaruhi antara 0,6%-0,48% dari populasi
dunia, terjadi lebih sering pada anak, frekuensinya menurun seiring
bertambahnya usia. Remisi dan reaktivasi di berbagai lokasi membuat GT
sering disebut juga benign migratory glossitis (BMG) (Miloğlu et al,
2009).
Meningkatnya prevalensi BMG di antara pasien psoriasis dan
karakteristik mikroskopis yang serupa, mendukung gagasan bahwa PS dan
BMG merupakan dua kondisi yang berkaitan. Sementara etiologi dari
BMG masih belum diketaui pasti. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa salah satu etiologi yang paling berpengaruh adalah genetik (Jorge et
al, 2017).
Patofisiologi
Temuan mikroskopis psoriasis sangatlah khas: peningkatan teratur
lapisan spinosus dengan penebalan bagian bawah; penebalan dan
pembengkakan papila; hipotropi suprapapillary dengan kehadiran pustula
spongiform kecil; tidak adanya lapisan granular; parakeratosis; kehadiran
Munro microabcess; dan infiltrasi sel inflamasi, terutama limfosit-T,
makrofag, dan neutrofil, di dermis dan submukosa. Temuan mikroskopis
ini juga terlihat pada BMG. Namun, pada BMG dan psoriasis,
karakteristik histopatologis dapat bervariasi sesuai dengan tahap klinis lesi
dan daerah biopsi (Picciani et al., 2016).

Gambar 8. Gambaran Histopatologis BMG

Pada psoriasis, infiltrat inflamasi sebagian besar adalah


mononuklear, terutama terdiri dari sel-T, CD4 + di dermis dan CD8 + di
epidermis. Limfosit-T memainkan peran utama dalam perubahan
epidermal dan vaskular psoriasis, yang bertanggung jawab untuk produksi
beberapa sitokin dan kemokin. Sel makrofag dan Langerhans dan
merupakan sel utama yang menghadirkan antigen yang terlibat dalam
psoriasis. Makrofag yang diaktifkan melepaskan sitokin dan menstimulasi
keratinosit untuk menghasilkan sitokin seperti TNF-α.41 Sel-sel
Langerhans membentuk sekitar 25% dari sel-sel inflamasi psoriasis, yang
lebih melimpah di dermis. Infiltrat pada lesi oral psoriatik juga terdiri dari
makrofag dan sel-T, terutama CD4, dan beberapa studi imunohistokimia
pada lidah geografis menunjukkan jumlah CD4 + yang serupa (Picciani et
al., 2016).

Gambar 9. Imunohistokimia dengan marking CD3, CD4


dan CD8 pada lidah pasien BMG dengan dan tanpa
penyakit psoriasis
Manifestasi Klinis
Penampakan klinis dari oral psoriasis dapat terlihat seperti papul
eritema besar dengan ireguler erosi yang dikelilingi oleh bagian keratotic.
Pasien mungkin juga mengeluhkan sensasi terbakar pada saat
makan/minum. Penegakan diagnosis dari psoriasis dapat dilakukan dengan
3 hal penting: keberadaan psoriasis umum, keberlanjutan antara gejala
awal oral dengan krisis psoriatic umum, dan psoriasiform histologis
(Dreyer & Bone, 2012).
Gambar 10. Gambaran fissura (A) dan pola geografik pada BMG
pasien psoriasis

Untuk mendiagnosis BMG, dilakukan anamnesis riwayat penyakit


pasien maupun di keluarganya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan histopatologi.
Diagnosis Banding
- Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi jamur oral yang paling umum. Etiologi
penyakit ini biasanya disebabkan oleh Candida albicans, dan jarang
olehspesies jamur lainnya (C. glabrata, C. krusei, C. tropicalis, C.
parapsilosis).Faktor predisposisi lokal (kebersihan mulut yang buruk,
xerostomia, mukosa yang terluka, pemakaian gigi palsu, obat kumur
antibiotik) dan sistemik (antibiotik spektrum luas, steroid, obat
imunosupresif, radiasi, infeksi HIV, penyakit hematologi yang ganas,
anemia neutropenia, kekurangan zat besi, gangguan endokrin)
(Cawson & Odell, 2002; Field & Longman, 2003).
- Lichen planus
Oral lichen planus (OLP) adalah suatu kondisi inflamatori
autoimun kronis yang berdampak pada tepi mulut, biasanya tampak
sebagai lesi berwarna putih. Oral lichen planus paling sering timbul
pada mukosa pipi, tapi juga dapat timbul pada gingiva, bibir, dan
bagian lain dari mulut. Oral lichen planus terkadang juga meliputi
kerongkongan atau esophagus (Scully & Porter, 2003; Field &
Longman, 2003).
- SLE
- Glossitis karena trauma
Tatalaksana
Karena merupakan lesi yang jinak dan umumnya tanpa gejala,
pasien BMG tidak menerima perawatan yang cukup baik. Pengobatan
simtomatik didasarkan pada penggunaan obat kumur oral yang
mengandung anestesi, kortikosteroid topikal, vitamin A, antihistamin dan
suplemen Zinc. Disarankan juga untuk menghindari kontak dengan iritan
dan faktor infeksi, seperti gigi palsu dan kawat gigi, yang dapat
memperburuk situasi. Pasien harus diedukasi terkait dengan diet,
menghindari makanan asam dan pedas. Selain itu, pasien harus diedukasi
untuk selalu menjaga kebersihan mulut yang baik. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa BMG yang serius dan persisten dapat diobati dengan
penggunaan siklosporin oral secara sistemik. Ishibashi et al menunjukkan
dua kasus simtomatik lidah geografis yang menggunakan tacrolimus
topikal dengan regresi lesi mendapatkan hasil yang baik (Picciani et al.,
2016).
Pengobatan psoriasis dan radang sendi psoriatik membutuhkan
kompleksitas dan interaksi yang luas antara berbagai profesional
kesehatan, tergantung pada bentuk klinis dan tingkat keparahan penyakit.
Pengobatan dengan fotokemoterapi, imunomodulator, imunosupresan dan
imunobiologis dinilai efektif untuk penyakit ini (Picciani et al., 2016).

B. Hubungan Glossitis dengan Sjogren Syndrome


Sindrom Sjögren atau autoimmune exocrinopathy adalah penyakit
autoimun dan inflamasi kronik yang ditandai dengan hipofungsi kelenjar
endokrin akibat infiltrasi limfosit pada glandula sekretori dan pembentukan
autoantibodi. Prevalensinya kurang lebih 0.5 – 1% dari populasi dan lebih
sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 9:1, pada usia
20 – 30 tahun (Carr et al, 2012).
Sindrom Sjögren dibagi menjadi dua, yaitu primary Sjögren
Syndrome, apabila berdiri sendiri, dan secondary Sjögren Syndrome,
apabila co-exist dengan penyakit autoimun yang lain seperti systemic lupus
erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis. Manifestasi klinis yang khas
dari sindrom Sjögren adalah sicca syndrome yand ditandai dengan
kekeringan pada mata, rongga mulut (xerostomia), faring, laring, dan juga
vagina. Manifestasi klinis ekstraglandular dapat ditemukan, tergantung apa
penyakit co-exist nya (Hernanández-Molina et al, 2009).
Manifestasi klinis oral dari penyakit ini, yaitu xerostomia,
merupakan salah satu tanda yang paling mengganggu. Adanya infiltrasi
limfosit dan autoantibodi pada glandula saliva menyebabkan hipofungsi
kelenjar tersebut, sehingga terjadi hiposalivasi. Padahal, fungsi dari saliva
itu sendiri adalah sebagai pelumas alami dan proteksi terhadap bakteri dan
jamur (Both et al, 2017; Mathews et al, 2008; Mays et al, 2012).
Saliva sangat berperan dalam mencegah terjadinya infeksi
oportunistik C.albicans. Protein pada saliva akan membentuk salivary-
derived pellicle yang terdapat pada enamel dan epitel oral. Salah satu
komponen terbesar dari pellicle adalah mucin, suatu glikoprotein yang
berperan sebagai proteksi epitel terhadap enzim mikroba. Selain itu, pellicle
juga terdiri dari sIgA, cystatin S, basic proline-rich proteins (PRPs),
statherins, dan carbonic anhydrase yang berperan dalam pencegahan
pertumbuhan C. albicans (Salvatori et al, 2016).
Hiposalivasi dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi
oportunistik C. albicans sehingga terjadi candidiasis oral. Candidiasis oral
sendiri dapat menyebabkan glossitis; median-rhomboid glossitis atau
atrophic glossitis. Faktor virulensi dari candida adalah adherence, evasion,
invasion, dan destruction dari sel inang. Hifa candida akan berpenetrasi
secara perpendicular hingga ke lapisan spinosu oleh bantuan enzim
proteinase, lipase, dan enzim lainnya. Ketika C. albicans berhasil
menginvasi lapisan epitel, langkah terakhir dalam proses infeksi adalah
kerusakan, yang ditandai dengan hilangnya epitel superfisial (Tang et al,
2016). C. albicans menginduksi apoptosis dan nekrosis pada sel epitel oral
(Villar dan Zhao, 2010). Komponen hifa akan menyebabkan disorganisasi
dari epitel. Karena hiposalivasi juga, proses dinamik seperti pergerakan
lidah dan otot dalam rongga mulut dapat menyebabkan lepasnya lapisan
keratin (Silva et al, 2011).

Gambar 11. Mekanisme komponen saliva sebagai protektor


rongga mulut.
Tatalaksana
Karena pasien cenderung hiposalivasi, harus diedukasi untuk
menjaga kebersihan oral untuk mencegah infeksi. Tatalaksana dari glossitis
yang diakibatkan oleh xerostoma pada sindrom Sjögren yaitu dapat
diberikan saliva buatan atau obat antikolinergik. Untuk candidiasisnya
dapat diberikan antifungal seperti nystatin atau flukonazol. Konsultasikan
terlebih dahulu kepada dokter gigi (Villa, Christopher, dan Silvio, 2015).
Untuk penyakit dasarnya sendiri, yaitu Sindrom Sjögren, bisa
diberikan steroid tetapi harus dilakukan pemantauan ketat terhadap efek
sampingnya, mengingat bahwa steroid sendiri memiliki efek
immunosupresan. Konsultasikan pasien dengan ahli reumatologi untuk
diagnosis dan penatalaksanaan (Both et al, 2017).

C. Hubungan Glossitis dengan Anemia Defisiensi Besi


Definisi
Anemia defisiensi besi merupakan suatu keadaan penurunan mean
red cell volume (MCV) akibat penurunan produksi hemoglobin (Hb) (De
Franceschi et al., 2017). Konsentrasi hemoglobin adalah ukuran anemia
yang banyak digunakan, meskipun kadar feritin serum dianggap sebagai
penanda yang lebih sensitif. Ada korelasi kuat antara kadar Hb dan kadar
feritin serum. Kadar hemoglobin lebih mudah diukur dan juga berguna
dalam memantau efektivitas intervensi (Jadhav, 2017). Oleh karena itu
parameter ini saja sensitif dalam mendeteksi anemia. Tingkat keparahan
anemia diklasifikasikan sebagai ;
a) Ringan (10-10,9 g / dl untuk wanita hamil, 10-11,9 g / dl untuk
tidak hamil)
b) Sedang (7-9.9g / dl)
c) Parah (<7g / dl) berdasarkan konsentrasi Hb pada wanita (Lu,
2004; Jadhav, 2017)
Produksi Hb yang rendah diakibatkan oleh rendahnya kadar besi
sehingga terbentuk sel darah merah mikrositik hipokromik (Longo &
Camaschella, 2015). Anemia mikrositik memiliki ciri MCV <80 fL, sel
darah merah hipokromik >6% atau MCH <25 g/dL dan kandungan
hemoglobin retikulosit <29 pg (De Franceschi et al., 2017). Defisiensi besi
dengan atau tanpa anemia menjadi penyebab sebesar 80% terhadap
kejadian mikrositosis, sedangkan penyakit keturunan langka seperti
kegagalan metabolisme besi, rantai globin, dan sintesis heme hanya
menyumbang sebesar 20% terhadap kejadian anemia mikrositik (De
Franceschi et al., 2017).
Manifestasi Klinis
Kekurangan zat besi adalah salah satu faktor etiologi utama untuk
anemia (Lu,2004; Kawaljit, 2014). Penyebab utama dari hal ini adalah
asupan makanan yang rendah seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12,
dan faktor-faktor lainnya adalah penyakit kronis dan kehilangan darah
kronis akibat infestasi cacing tambang dan malaria(Rammohan,2012).
Tanda-tanda dan gejala-gejala anemia anemia dikenal dan mudah
dideteksi. Mereka adalah glossitis, glossodynia, cheilitis sudut, ulkus oral
berulang, kandidiasis oral, mucositis eritematosa, dan palor mukosa mulut.
Pada beberapa pasien seperti dalam kasus ini manifestasi awal anemia
penyakit kronis dapat hadir di rongga mulut sebelum gejala umum
berkembang (Pontes,2009; Adeyemo, 2011).

Gambar 1 Angular Cheilitis (Halim, 2018)


Gambar 2 Angular Cheilitis (Halim, 2018)

Gambar 3 Atrophic Glossitis (Halim,2018)


Gambar 4 Erosi pada Mukosa Pipi

Perubahan oral terjadi sebagai akibat dari perubahan mendasar


dalam metabolisme sel epitel oral. Perubahan-perubahan ini menimbulkan
kelainan pada struktur sel dan pola keratinisasi epitel oral. Pada
permukaan dorsal lidah, ia mengarah ke lesi makula eritematosa yang
berdaging berwarna merah dan meradang karena atrofi epitel yang ditandai
dan berkurangnya ketebalan lapisan epitel (Raju, 2014).
Tanda-tanda umum dan gejala anemia seperti pucat, kelelahan dan
dispnea dapat diabaikan pada lansia karena temuan ini dapat dikaitkan
dengan usia tua (Douglas, 2000). Tanda-tanda dan gejala oral menawarkan
dokter gigi kesempatan untuk berpartisipasi dalam diagnosis kondisi ini.

Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status besi pasien dewasa


(Longo & Camaschella, 2015).
Patofisiologi
a. Perubahan yang terjadi pada pasien dengan anemia defisiensi besi
Zat besi sangat penting dalam berbagai fungsi biologis, seperti
respirasi, produksi energi, sintesis DNA, dan proliferasi sel. Tubuh
manusia telah berkembang sedemikian rupa untuk mempertahankan
kandungan besi tetap normal melalui berbagai jalur, termasuk daur ulang
besi setelah penghancuran sel darah merah dan retensi besi tanpa adanya
mekanisme ekskresi. Namun kadar besi yang tingi dapat berakibat toksik
sehingga penyerapan harian terbatas pada angka 1 sampai dengan 2 mg,
dan kebutuhan besi harian (sekitar 25 mg/ hari) dapat tercukupi melalui
daur ulang zat besi oleh makrofag yang memfagositosis sel darah merah
yang sudah tua. Mekanisme penyerapan dan fagositosis oleh makrofag
diatur oleh hormon hepsidin yang menjaga kadar besi tetap normal (Longo
& Camaschella, 2015).
Apabila terjadi kehilangan besi hingga mengakibatkan cadangan besi
makin menurun akan terjadi kondisi negative iron balance. Keadaan ini
ditandai dengan penurunan kadar ferritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, dan pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Ketika
kondisi kekurangan besi terus berlanjut hingga menyebabkan cadangan
besi tidak tersisa sama sekali, maka akan terjadi kekurangan suplai besi
dalam proses eritropoesis sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit namun belum muncul anemia secara klinis, kejadian ini disebut
sebagai: iron deficient erythropoiesis. Jumlah besi yang terus menerus
menurun akan menyebabkan kadar hemoglobin menurun, akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositer, hal ini disebut dengan anemia defisiensi
besi. Pada kondisi ini kerja dari epitel dan beberapa enzim terganggu
sehingga muncul gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta berbagai
gejala lainnya (Setiawati et al., 2015).
Selain berperan penting dalam pembentukan hemoglobin, besi juga
menjadi komponen penting dalam mioglobin dan berbagai enzim yang
dibutuhkan dalam penyediaan energi dan transport elektron. Beberapa
dampak negatif pada tubuh selain anemia adalah:
1. Sistem neuromuskular yang mengakibatkan gangguan
kapasitas kerja
2. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan
3. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi
4. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya.

b. Perubahan yang terjadi pada mulut pada pasien dengan anemia


defisiensi besi
Anemia defisiensi besi secara morfologis ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositik. Zat besi memainkan peran utama dalam
pembentukan hemoglobin. Karena hemoglobin sangat penting untuk
transportasi oksigen, defisiensi besi mempengaruhi proses ini secara
signifikan. Zat besi juga menyusun mioglobin, dan juga diperlukan untuk
beberapa reaksi enzimatik. Kekurangan zat besi akan mengakibatkan
hambatan pada proses perkembangan dan pematangan epitel, yang pada
akhirnya mengubah struktur epitel. Perubahan struktur pada epitel
termasuk atrofi epitel dan penipisan papila fungiformis dan filiformis pada
permukaan dorsal lidah (Chiang et al., 2019; Gupta, 2018).
Atrophic glossitis juga dikenal sebagai smooth tongue karena
penampilannya yang halus dan mengkilap berwarna merah atau merah
muda (Gambar 3). Kondisi ini disebabkan oleh atrofi papila filiformis.
Kehilangan sebagian atau seluruh papila fungiformis dan filiformis pada
permukaan dorsal lidah bermanifestasi sebagai atrophic glossitis. Atrophic
glossitis disebabkan oleh berbagai faktor dan merupakan manifestasi dari
kondisi lokal atau sistemik yang mendasarinya. Beberapa faktor tersebut
adalah defisiensi nutrisi, riboflavin, niasin, piridoksin, vitamin B12
(anemia pernisiosa), asam folat, besi (anemia defisiensi besi dan Plummer-
Vinson sindrom), kekurangan gizi protein-kalori, infeksi, penyalahgunaan
alkohol, penyakit gastrointestinal, dan reaksi obat. Secara histologis,
atrophic glossitis ditandai dengan atrofi epitel dan berbagai tingkat
peradangan kronis pada jaringan ikat subepitel (Gambar 4) (Gupta, 2018).

Gambar 5. Gambaran mengkilap dari lidah pada atrophic glossitis.


Gambar 6. Gambaran histopatologi pada atrophic glossitis.

Tatalaksana
Tatalaksana anemia defisiensi sebagai berikut:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Contohnya
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan agar anemia tidak
kambu kembali

b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam


tubuh. Sulfas ferosus 3 x 200 mg.
c. Diet: makanan bergizi dengan protein tinggi terutama protein
hewani
d. Vitamin C 3 x 100 mg/ hari untuk meningkatkan reabsorbsi besi
e. Transfusi darah (dalam bentuk PRC (packed red cell), apabila
terdapat indikasi sebagai berikut:
- Ada penyakit jantung anemik dengan ancaman gagal jantung
- Anemia yang sangat simptomatik, misal anemia denan gejala
pusing yang sangat menyolok
- Diperlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi (Setiawati et al., 2015).

Sedangkan tatalaksana pada glositis adalah:


a. Menghindari iritan (makanan pedas, alkohol, dan rokok) untuk
mengurangi rasa tidak nyaman pada lidah
b. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi pada lidah
c. Menjaga oral hygiene (Gupta, 2018).
D. Hubungan Glossitis dengan Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik yang disebabkan
karena sekresi insulin atau gangguan kerja pada insulin yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan. Diabetes mellitus (DM)
merupakan faktor risiko untuk patologi mulut salah satunya yaitu glositis
(Verhulst et al., 2019).

Gambar. X Manifestasi oral dari diabetes, mekanisme dan


hubungannya (Mirza et al., 2016).

Saliva yang adekuat secara jumlah dan kualitas akan melindungi


mukosa oral dari segala patogen yang masuk ke dalam mulut. Saliva
memiliki fungsi melubrikasi, membersihkan, mempertahankan pH, sebagai
protein antimikrobial dengan mensekresi IgA, agregasi bakteri dan
membersihkan bakteri. Pada pasien diabetes mellitus fungsi dari kelenjar
saliva dan fungsi imun menjadi menurun sehingga meningkatkan risiko
terjad lesi mukosa dan kelainan lainnya. Dari beberapa studi menunjukkan
penyakit oral soft-tissue muncul 10 kali lebih tinggi pada pasien dengan
diabetes daripada pasien nondiabetes (Gandara dan Morton, 2011).
Gambar X. Diabetes mellitus dan mulut kering serta stomatitis
angular (Scully et al, 2011

Dipermukaan kulit dan mukosa mulut dapat kita temukan sepsis


Candida albican sebagai flora normal, namun dapat menjadi infeksi oportunistik
pada pasien dengan diabetes mellitus. Infeksi candida albican (candidiasis)
memiliki beberapa manifestasi klinik termasuk median rhomboid glossitis
(kemerahan dan hilangnya papil pada bagian sisi dorsal lidah), angular cheilitis
(inflamasi pada sudut mulut), denture stomatitis (inflamasi dan kemerahan di
bawah gigi tiruan). Median rhomboid glossitis yaitu suatu kondisi secara tipikal
berlokasi di sekitar midline sisi dorsal lidah yang muncul kemerahan, dan
rhomboid area yaitu memnunjukkan bentuk atrofi (Najmi et al., 2018).

Gambar 12. Median rhomboid glossitis (Scully et al, 2011)


Berdasarkan beberapa studi, prevalensi dari median rhomboid
glossitis (MRG) telah ditemukan lebih tinggi pada pasien diabetes, pasien
dengan imunosupresif, dan pasien yang menggunakan antibiotik broad-
spectrum. Berdasarkan Guggenheimer et al MRG merupakan yang
tersering pada pasien dengan candidiasis dan diabetes mellitus insulin-
dependent. Pada penelitian Farman et al Lesi lidah berupa atrofi
ditemukan 26,4% pada pasien diabetes dan 91,7% dari lesi tersebut adalah
MRG (Najmi et al., 2018).
Kondisi lain pada lidah yang sering ditemukan pada pasien diabetes
daripada pasien nondiabetes yaitu lidah geografik atau benign migratory
glossitis. Kondisi ini ditandai dengan fokal atrofi papil lidah yang irregular
atau disebut pola geografik dengan karakteristik tepi yang meninggi
berwarna putih atau kekuningan yang berpindah dari waktu ke waktu.
Kondisi ini tidak disebabkan oleh infeksi candida tapi merupakan suatu
inflamasi dengan menifestasi klinis berupa nyeri, gatal, rasa terbakar pada
mukosa (Gandara dan Morton, 2011).
.

Gambar 13. Benign migratory glossitis

Abses parodontal, infeksi, dan kerusakan periodontal yang cepat


adalah kelainan maksilofasial yang paling jelas. Mulut kering dapat
disebabkan oleh dehidrasi. Lesi oral lainnya mungkin termasuk kandidosis
seperti stomatitis sudut atau glositoid median rhomboid, sensasi terbakar
pada lidah dan permukaan mukosa mulut lainnya, dan lesi lichenoid yang
disebabkan oleh obat hipoglikemik (Scully et al, 2011).
Penanganan diabetes lebih bersifat tindakan pencegahan daripada
tindakan pengobatan. Penanganan infeksi pada pasien dengan DM
memerlukan terapi antibiotika agresif karena terkadang infeksi berasal dari
rongga mulut atau tempat lain menyebabkan peningkatan glukosa darah.
Beragam perawatan secara topikal dan sistemik dapat dilakukan untuk
menanggulangi kondisi kandidiasis pada penderita DM, mencakup
penggunaan antifungal, nistatin, dan amphotericin B. Beberapa derivat
imidazole dapat pula digunakan secara topikal (klotrimazol dan
mikonazol), dan penggunaan sistemik yaitu ketokonazol, bis-triconazol,
flukonazol (Verhulst et al., 2019).
Xerostomia yang disebabkan karena glukosa darah yang tidak
terkontrol di rawat dengan mengembalikan kontrol glikemik terlebih
dahulu. Penggunaan saliva pengganti berbahan dasar
karboksimetilsellulosa atau musin, dapat di peroleh secara bebas dan
memberikan sumber saliva yang baru. Namun, saliva pengganti hanya
bertahan beberapa menit saja.
Dokter gigi sebaiknya berusaha untuk menghilangkan atau
mengurangi kelainan yang terdapat dalam mulut penderita supaya tidak
menimbulkan komplikasi lebih serius. Pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut pada penderita diabetes sangatlah penting terutama kebersihan
rongga mulutnya. Untuk itu penderita dianjurkan datang ke dokter gigi
setiap tiga atau empat bulan sekali secara teratur.

E. Hubungan Glossitis dengan Celiac Dissease


Definisi
Penyakit Celiac (CD), juga dikenal sebagai "sariawan Celiac",
adalah penyakit autoimun di mana individu yang memiliki kecenderungan
genetik menunjukkan kerusakan pada vili usus halus sebagai konsekuensi
dari respon imun abnormal setelah konsumsi gluten. Diagnosis CD dibuat
dari temuan klinis dan histologis, yang juga memungkinkan untuk
mengklasifikasikan penyakit ini menjadi empat jenis utama; klasik, atipikal,
diam dan laten.
Patofisiologi
Gluten adalah protein kaya prolin dan glutamin yang terdapat dalam
gandum (gliadin), gandum hitam (secalin), dan barley (hordein), yang
mampu meningkatkan peradangan yang dimediasi oleh kekebalan pada
mukosa usus dan di luar usus.
Langkah-langkah kunci dalam patogenesis CeD. Peptida gluten yang
mengandung epitop sel T menahan degradasi gastrointestinal. tTG
mengatalisis deamidasi peptida gluten, yang kemudian dapat berikatan
lebih efisien dengan molekul HLA-DQ yang relevan dengan penyakit pada
APC. Sel T CD4 + spesifik gluten yang diaktifkan mengeluarkan berbagai
sitokin proinflamasi seperti IFN-γ dan IL-21 yang berkontribusi pada lesi
usus dan meningkatkan aktivasi IEL dan merangsang respons sel-B. IEL
yang teraktivasi berubah menjadi sel mirip-NK sitolitik yang memediasi
penghancuran enterosit yang mengekspresikan sinyal stres. IL-15
membuat sel T efektor tahan terhadap efek supresif Treg dan, dalam
lamina propria, memberikan DC mukosa dengan sifat inflamasi yang
mempromosikan respons pro-inflamasi dan mencegah diferensiasi Treg.
Peran potensial mikroba dan pemicu lingkungan dalam
patogenesis CeD. Mikroba yang mencakup komensal dan patogen
oportunistik dapat berkontribusi pada perkembangan CED dengan
memengaruhi pencernaan gluten peptide, fungsi sawar usus, tekanan sel
epitel, atau aktivasi / upregulasi IEL melalui regulasi IL-15. Bakteri
patogen, virus, dan komponen gandum non-gluten, seperti amylase-trypsin
inhibitor (ATIs), juga dapat menginduksi maturasi DC dan produksi sitokin
proinflamasi, memodulasi induksi respon sel T CD4 +.

Kemunculan proses inflamasi atau autoimun ini akan mempengaruhi


organ datau jaringan lain dengan manifestasi yang berbeda-beda seperti
enteropati inflamasi, dengan atrofi vili mukosa usus, hiperplasia kriptus,
dan infiltrat inflamasi di jaringan ikat yang berdekatan, terkait dengan
peningkatan limfosit intraepitelial.
Epidemiologi
Diperkirakan bahwa CD mempengaruhi sekitar 1% dari populasi
dunia, tetapi selama beberapa tahun terakhir, CD telah mengalami
peningkatan besar, mempengaruhi 1 dari setiap 85 hingga 300 orang.
Penyakit seliaka lebih sering terjadi di negara-negara Eropa serta daerah
berkembang seperti Amerika Selatan, Asia Selatan dan Afrika Selatan.
Meskipun biasanya dikembangkan pada masa kanak-kanak, studi terbaru
melaporkan peningkatan keterlibatan orang dewasa. Wanita jauh lebih
terpengaruh daripada pria, menyajikan rasio wanita-pria dari 7:
Manifestasi
Cacat email gigi: Pasien dengan CD menunjukkan peningkatan
risiko kelainan perkembangan email gigi, khususnya hipoplasia email gigi.
Pada gigi temporal gigi yang paling terkena adalah gigi molar kedua,
sedangkan pada gigi permanen, gigi seri sentral paling sering terkena.
Umumnya, hipoplasia email gigi didistribusikan secara bilateral dan
simetris pada kedua lengkung gigi.
Glositis atrofi dan glossodynia: Walaupun sensasi depapilasi dan
lidah terbakar telah digambarkan sebagai dampak oral dari CD,
manifestasi ini kurang umum dibandingkan dengan tanda dan gejala oral
lainnya. Meskipun demikian, analisis terhadap 128 kasus CD
membuktikan bahwa lidah sebagai situs oral yang paling banyak terkena
dampak. 29,6% kasus menunjukkan sensasi terbakar yang menyakitkan
dan 8,6% eritema atau atrofi lidah. Namun demikian, tanda-tanda dan
gejala-gejala ini mungkin sekunder akibat anemia dan defisiensi
hematinik, sering terlihat pada pasien celiac, daripada disebabkan oleh
penyakit itu sendiri.
Aliran saliva dan komposisi saliva: Penurunan laju aliran saliva telah
dilaporkan terkait dengan fase aktif penyakit, menghasilkan mulut kering
dan sensasi terbakar pada lidah.
Karies: Penelitian yang berbeda telah menggambarkan tingkat karies
yang lebih tinggi pada pasien celiac. Risiko kariogenik yang lebih tinggi
ini akan didukung oleh peningkatan kerentanan terhadap karies dari
enamel hipoplastik dan perubahan yang disebutkan di atas dalam laju
aliran saliva dan komposisi saliva yang terlihat pada pasien CD.
RAS yang menyerupai ulserasi oral: Sejauh ini, tidak ada konsensus
tentang hubungan antara ulkus aphthous dan CD. Beberapa penelitian
mendukung hubungan antara kedua penyakit ini, sementara yang lain
tidak. Sangat mungkin bahwa penampilan RAS seperti luka adalah
sekunder untuk anemia dan defisiensi hematinik.
Kecenderungan perdarahan: Penyakit seliaka telah dikaitkan dengan
perubahan koagulasi, yang akan memfasilitasi timbulnya perdarahan pada
pasien yang terkena (mis. Epistaksis dan perdarahan kulit). Koagulopati ini
adalah hasil dari kelainan pada protrombin yang disebabkan oleh buruknya
penyerapan vitamin K.
Dermatitis herpetiformis: Berkorespondensi dengan gangguan
dermatologis yang sangat terkait dengan penyakit celiac. Dalam sebagian
besar kasus tanda-tanda (terutama vesikel) dan gejala gatal, terbakar atau
nyeri mempengaruhi kulit (misalnya bokong, siku), meskipun beberapa
pasien mungkin mengalami lesi di mukosa mulut. Manifestasi oral
termasuk makula eritematosa-purpura, erosi, borok dan vesikel, yang dapat
mempengaruhi lidah, mukosa bukal, dan alveolar ridge. Secara klinis, sulit
untuk membedakannya dari penyakit terik lainnya seperti pemfigus atau
pemfigoid, sehingga studi histologis dan imunofluoresensi diperlukan jika
dicurigai.
Tatalaksana
Pengobatan CD terdiri dari penghilangan gluten dari makanan (misal
sereal, seperti gandum, gandum dan jelai) yang efektif dalam penurunan
tanda dan gejala, termasuk yang ada di rongga mulut. Pembatasan diet ini
juga berlaku dalam kasus-kasus tanpa gejala gastrointestinal, karena
mereka memainkan peran protektif terhadap komplikasi jangka panjang,
seperti pengembangan keganasan, khususnya limfoma non-Hodgkin, di
kedua situs gastrointestinal dan area diluar usus. Bila penghilangan gluten
dari makanan tidak efektif, pasien dapat diberikan kortikosteroid untuk
mengurangi inflamasi dengan meningkatkan permeabilitas kapiler dan
mengurangi aktivitas PMN.

F. Hubungan Glossitis dengan Defisiensi Vitamin B12


Vitamin B12 (kobalamin) merupakan koenzim yang penting untuk
sintesis DNA, produksi, dan diferensiasi eritrosit. Vitamin B12 juga
penting untuk fungsi neurologis secara normal. Defisiensi B12 dapat
mengakibatkan anemia megaloblastik, abnormalitas mukosa saluran
gastrointestinal, dan kerusakan parah neuropsikiatrik (Zhou, et al, 2018).
Vitamin B12 tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia. Vitamin B12 bisa
didapatkan dari daging, telur dan sumber protein hewani lainnya. Setiap
orang membutuhkan kobalamin sebanyak 1-2 mikrogram.
Defisiensi sering terjadi pada orang dengan usia tua, dan prevalensi
bertambah seiring bertambahnya umur. Penyebab terbanyak dari defisiensi
vitamin B12 adalah malabsorbsi. 10-30% orang usia lanjut dan 30-41,6%
orang sakit dan malnutrisi mengalami defisiensi vitamin B12 (Gröber, et
al, 2013).
Proses absorbsi vitamin B12 dimulai dari pelepasan kobalamin
yang kemudian ditangkap oleh protein penangkap kobalamin, R-binder,
yang sering ada di saliva dan cairan gastrik. R-binder dalam kompleks R-
binder dipecah dalam lingkungan alkalis dari jejunum oleh tripsin
pankreatik dan kobalamn yang dilepaskan berikatan dengan faktor
intrinsik yang dihasilkan oleh sel parietal gastrik di duodenum. Kobalamin
kemudian ditransporkan ke ileum distal, dimana kobalamin akan berikatan
dengan reseptor spesifik, kompleks faktor intrinsik B12. Hasilnya adalah
absorbsi B12. Ikatan ini bergantung pada kalsium yang disediakan oleh
pancreas (Wickramasinghe, 2006). Selain kegagalan absorbsi, defisiensi
vitamin B12 juga dapat terjadi akibat tidak adekuatnya asupan nutrisi,
penurunan sekresi faktor intrinsik, dan penggunaan jangka panjang obat-
obatan tertentu seperti H2 blocker, metformin, dan inhibitor pompa proton.
Salah satu akibat dari defisiensi vitamin B12 adalah makrositosis.
Makrositosis dapat terjadi akibat kegagalan pembelahan sel darah merah di
sumsum tulang, sehingga ukuran sel darah merah membesar (Green et al,
2017). Sel darah merah dikatakan makrositosis apabila MCV > 100 fl, dan
ini dapat digunakan sebagai penanda dari defisiensi vitamin B12. Salah
satu tanda klinis dari defisiensi vitamin B12 adalah glositis. Glositis dapat
terjadi pada orang dengan defisiensi vitamin B12 karena terjadinya
gangguan pada produksi hemoglobin (Erriu et al, 2016). Mekanisme dari
glositis akibat dari defisiensi kobalamin masih belum dapat diketahui pasti,
tetapi penurunan konsentrasi glutathione mengakibatkan regresi dari
mitosis dan abnormalitas dari sintesis DNA, sehingga, terjadi perubahan
mukosa yang bersifat atrofik. Manifestasi klinis glositis pada pasien
defisiensi vitamin B12 adalah:
- Eritema yang terang dan merata
- Eritema kadang berbentuk linear, seperti pita, atau berbentuk
ireguler
- Pada daerah dorsum terdapat daerah inflamasi yang disertai dengan
atrofi

Gambar 1. Glositis pada defisiensi B12

Komplikasi dari glositis atrofik ini adalah menurunnya pelindung


yang dapat menyebabkan stomatitis berulang. Tatalaksana yang dapat
diberikan pada pasien glositis akibat defisiensi B12 adalah dengan
pemberian vitamin B12 secara injeksi intramuskular sebanyak 1 ampul
setiap minggu selama 2 bulan lalu dilanjutkan dengan 1 ampul per bulan. 1
ampul injeksi tersebut berisi 1000 mikrogram hidroksokobalamin dalam 1
ml air distilasi. Selain itu juga dapat diberikan tablet asam folat sebanyak 2
tablet setiap harinya selama 2 bulan lalu dilanjutkan menjadi 1 tablet per
hari, dimana 1 tablet berisi asam folat sebanyak 5 mg, dan juga diberikan
tablet besi sebanyak 1 tablet setiap harinya.

BAB III
PENUTUP

Glositis merupakan peradangan lidah yang ditandai dengan deskuamasi


papila filiformis sehingga menghasilkan daerah kemerahan yang halus dan
mengkilat, dapat terjadi secara akut dan kronis. Penyebab glositis dapat terjadi
karena penyebab lokal maupun sistemik. Penatalaksanaan dari glositis
tergantung dari penyebabnya. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan rongga mulut, konsumsi makanan bergizi seimbang dan
menghindari agen iritan lidah.
DAFTAR PUSTAKA
Adeyemo TA, Adeyemo WL, Adediran A, Akinbami AA, Akanmu AS. (2011)
Orofacial manifestations of hematological disorders: Anemia and
hemostatic disorders. Indian J Dent Res 22(3): 454-461.
Andrès E, Loukili NH, Noel E, et al. Vitamin B12 (cobalamin) deficiency in
elderly patients. CMAJ. 2004;171(3):251–259
Bramanti, E., Cicciù, M., Matacena, G., Costa, S., & Magazzù, G. (2014). Clinical
Evaluation of Specific Oral Manifestations in Pediatric Patients with
Ascertained versus Potential Coeliac Disease: A Cross-Sectional
Study. Gastroenterology research and practice, 2014, 934159.
doi:10.1155/2014/934159
Chiang, C. P., Chang, J. Y. F., Wang, Y. P., Wu, Y. H., Wu, Y. C., & Sun, A. (2019).
Atrophic glossitis: etiology, serum autoantibodies, anemia, hematinic
deficiencies, hyperhomocysteinemia, and management. Journal of the
Formosan Medical Association.

De Franceschi, L., Iolascon, A., Taher, A., & Cappellini, M. D. (2017). Clinical
management of iron deficiency anemia in adults: Systemic review on
advances in diagnosis and treatment. European Journal of Internal
Medicine, 42, 16-23.

Douglas L Smith (2000) Anemia in the Elderly. Am Fam Physician 62(7): 1565-
1572.
Demir N, Dogan M, Koc A, et al. Dermatological findings of vitamin B12
deficiency and resolving time of these symptoms. Cuta Ocul ToxicolI.
2014; 33(1): 70-73

Erriu M, Pili FM, Cadoni S, Garau V. Diagnosis of lingual atrophic conditions:


associations with local and systemic factors. Adescriptive review. Open
Dent J 2016;10:619e35.

Gandara, B. K. and Morton, T. H. (2011) ‘Non-periodontal oral manifestations of


diabetes: A framework for medical care providers’, Diabetes Spectrum. doi:
10.2337/diaspect.24.4.199.
Gupta, Shreya. (2018). Atrophic Glossitis Burning Agony of Nutritional
Deficiency Anemia.

Gröber U, Kisters K, Schmidt J. Neuroenhancement with vitamin B12-


underestimated neurological significance. Nutrients. 2013;5(12): 5031–5045

Green R, Datta Mitra A. Megaloblastic anemias: nutritional and other causes. Med
Clin North Am. 2017;101(2):297–317
Ishibashi M, Tojo G, Watanabe M, Tamabuchi T, Masu T, Aiba S. Geographic
tongue treated with topical tacrolimus. J Dermatol Case Rep. 2010;4:57-9.

Jadhav SU, Khaparde (2017) Study of the red cell indices, hemogram and platelet
variations in anaemic (<10gm%) patients by automatic cell counter in a
tertiary care centre, Ahmednagar, Maharashtra, India. Int J Res Med Sci 5(4):
1582-1588

Jajam, M., Bozzolo, P., & Niklander, S. (2017). Oral manifestations of


gastrointestinal disorders. Journal of clinical and experimental
dentistry, 9(10), e1242–e1248. doi:10.4317/jced.54008

Johnson MA, Armstrong AW. Clinical and histologic diagnostic guidelines for
psoriasis: a critical review. Clin Rev Allergy Immunol. 2013;44:166-72.

Jorge, M., Gonzaga, H., Tomimori, J., Picciani, B. and Barbosa, C. (2017).
Prevalence and heritability of psoriasis and benign migratory glossitis in one
Brazilian population. Anais Brasileiros de Dermatologia, 92(6), pp.816-819.

Kawaljit Kaur (2014) Anaemia ‘a silent killer’ among women in India: Present
scenario. European Journal of Zoological Research 3(1): 32-36.
Ladizinski B, Lee KC, Wilmer E, Alavi A, Mistry N, Sibbald RG. A review of the
clinical variants and the management of psoriasis. Adv Skin Wound Care.
2013;26:271 84.
Lash AA, Coyer SM (2008) Anemia in older adults. Medsurg Nursing 17(5): 298-
304.

Longo, D. L., & Camaschella, C. (2015). Iron-deficiency anemia. N Engl J Med,


372(19), 1832-1843.
Lu SY, Wu HC (2004) Initial diagnosis of anemia from sore mouth and improved
classification of anemias by MCV and RDW in 30 patients. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 98(6): 679-685.
Mirza D, Raza G, Abbasi AZ (2016). Median rhomboid glossitis: a peculiar
tongue pathology, report of a case and review of literature. International
Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 6(4): 51-53.

Picciani B, Silva-Junior G, Carneiro S, Sampaio AL, Goldemberg DC, Oliveira J,


et al. Geographic stomatitis: an oral manifestation of psoriasis? J Dermatol
Case Rep. 2012;6(4):113-16.
Pontes HA, Neto NC, Ferreira KB, Fonseca FP, Vallinoto GM (2009) Oral
manifestations of vitamin B12 deficiency: a case report. J Can Dent Assoc
75(7): 533-537.
Raju V, Arora A, Saddu S (2014) Atrophic glossitis; an indicator of iron deficiency
anemia : Report of three cases. International Journal of Dental Clinics
6(3): 30-31.

Rammohan A, Awofeso N, Robitaille MC (2012) Addressing Female Iron-


Deficiency Anaemia in India: Is Vegetarianism the Major Obstacle? ISRN
Public Health 2012: 8.

Raut AS, Prabhu RH, Patravale VB. Psoriasis clinical implications and treatment:
a review. Crit Rev Ther Drug Carrier Syst. 2013;30:183-216.
Rodrigo, L., Beteta-Gorriti, V., Alvarez, N., Gómez de Castro, C., de Dios, A.,
Palacios, L., & Santos-Juanes, J. (2018). Cutaneous and Mucosal
Manifestations Associated with Celiac Disease. Nutrients, 10(7), 800.
doi:10.3390/nu10070800

Setiawati, S., Alwi, S., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B., &
Syam, A. F. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
Scully, Crispian. 2008. Oral and maxillofacial medicine : the basis of diagnosis
and treatment (2nd ed.). Edinburgh: Churchill Livingstone. p. 356. ISBN 978-
0443068188.
Verhulst M.JL, Loos BG, Gerdes VEA, Teeuw WJ (2019). Evaluating All
Potential Oral Complications of Diabetes Mellitus. Fontiers in
Endocrinology, 56(10): 1-49.
Volkov I, Rudoy I, Abu-Rabia U, et al. Case report: recurrent aphthous stomatitis
responds to vitamin B12 treatment. Can Fam Physician 2005;51:844–845.

Wickramasinghe SN. Diagnosis of megaloblastic anaemias. Blood Rev.


2006;20(6):299-318
Tye-Din, J. A., Galipeau, H. J., & Agardh, D. (2018). Celiac Disease: A Review of
Current Concepts in Pathogenesis, Prevention, and Novel
Therapies. Frontiers in pediatrics, 6, 350. doi:10.3389/fped.2018.00350

Zhou P, Hua H, Yan Z, et al. Diagnostic value of oral “beefy red” patch invitamin
B12 deficiency. Therapeutical and Clinical Risk Management. 2018;14:
1391-1397

Anda mungkin juga menyukai