Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut

RDC/TMD

(Research

Diagnostic

Criteria

for

Temporomandibular Disorder), kelainan sendi temporomandibula diklasifikasikan


menjadi 3 kelompok. Kelainan otot termasuk dalam kelompok I, yaitu Muscle
disorders. Muscle disorders terdiri dari (Ia) Myofascial pain dan (Ib) Myofascial
pain with limited opening. Kelompok II merupakan kelompok diagnosis untuk
Disc displacement, yang terdiri dari (IIa) Disc displacement with reduction, (IIb)
Disc displacement without reduction with limited opening, dan (IIc) Disc
displacement without reduction without limited opening. Kelompok III merupakan
diagnosis untuk nyeri sendi dan arthrosis, yang terdiri dari (IIIa) Arthralgia, (IIIb)
Osteoarthritis, dan (IIIc) Osteoarthrosis.1
Pada makalah ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan kasus disc
displacement with reduction yang disertai myofascial pain with limited opening
dan arthralgia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri miofasial


Dalam literatur dental, nyeri otot dengan atau tanpa pembukaan mulut
terbatas umum disebut sebagai MPDS (Myofascial Pain Dysfunction Syndrome)
dan kadang disebut sebagai MPS (Myofascial Pain Syndrome). MPS adalah gejala
sensoris, motoris, dan autonom yang disebabkan oleh myofascial trigger point.
Trigger point ini secara klinis didefinisikan sebagai daerah dengan hiperiritabilitas
pada otot skeletal yang berkaitan dengan nodul hipersensitif yang dapat dipalpasi
pada taut band. Daerah ini terasa nyeri jika ditekan dan dapat menimbulkan
karakteristik nyeri rujukan (refered pain), refered tenderness, disfungsi motorik
dan fenomena autonom.2
Myofascial pain cenderung tumpul, sulit dilokalisasi, dan dalam, bertolak
belakang dengan nyeri gigi dan nyeri kutaneus yang dapat ditentukan lokasinya
dengan pasti. Otot dapat merujuk rasa nyeri ke struktur somatic lain yang dalam,
seperti fascia, sendi, viscera, dan otot lain. Secara klinis, nyeri rujukan ini dapat
membingungkan banyak klinisi, karena seringkali pasien lebih mengeluhkan nyeri
pada daerah nyeri rujukan dan bukan nyeri pada daerah trigger.2
Menurut Okeson (2013), walaupun myofascial pain diamati secara klinis
sebagai trigger point dalam otot skeletal, kondisi ini tidak hanya berasal dari
jaringan otot. Fakta mengindikasikan sistem saraf pusat memainkan peranan
penting dalam penyebab kondisi rasa sakit ini. Kombinasi kedua faktor sentral dan

perifer membuat kondisi ini lebih sulit untuk ditangani. Simons dan Travell telah
mendeskripsikan faktor etiologi yang nampak berhubungan dengan myofascial
pain. Sayangnya, karena kurangnya pemahaman mendalam mengenai kondisi rasa
sakit miogen, sulit untuk mengetahui seluruh faktor etiologi spesifik myofascial
pain. Kondisi berikut berhubungan secara klinis dengan myofascial pain:3
1) Nyeri otot lokal yang terus menerus. Otot yang mengalami nyeri otot
berkelanjutan cenderung membentuk myofascial trigger point dan akan
membentuk karakteristik klinis dari myofascial pain.
2) Deep pain yang konstan. Deep pain input yang konstan dapat menghasilkan efek
eksitasi sentral di daerah yang jauh. Jika efek eksitasi sentral melibatkan
neuron (motor) eferen, dua jenis efek otot dapat diamati: (1) protective cocontraction, dan (2) perkembangan trigger point. Ketika trigger point terjadi,
trigger point akan menjadi sumber deep pain dan dapat menghasilkan efek
eksitasi sentral tambahan. Trigger point sekunder ini disebut sebagai titik
satellite trigger point. Ekspansi kondisi myofascial pain ini mempengaruhi
diagnosis dan penanganan, dan dapat membuat sebuah kondisi siklik yang
sama dengan rasa sakit otot siklik.
3) Peningkatan stress emosional. Peningkatan stress emosional dapat memperparah
myofascial pain.
4) Gangguan tidur. Penelitian menunjukkan gangguan siklus tidur normal dapat
menghasilkan gejala muskuloskeletal. Apakah gangguan tidur menyebabkan
rasa sakit muskuloskeletal atau rasa sakit muskuloskeletal menyebabkan
gangguan tidur (atau keduanya) masih belum jelas. Hubungan tersebut
memang ada dan perlu dipertimbangkan oleh klinisi. Oleh karena itu, klinisi

harus mampu mengenali keluhan umum yang berhubungan dengan gangguan


tidur yang menyertai.
5) Faktor lokal. Kondisi lokal tertentu dapat mempengaruhi aktivitas otot seperti
kebiasaan, postur, tegangan, dan regangan nampak mempengaruhi myofascial
pain.
6) Faktor sistemik. Faktor sistemik tertentu dapat mempengaruhi atau bahkan
menghasilkan myofascial pain. Faktor sistemik seperti hipovitaminosis,
kondisi fisik buruk, kelelahan, dan infeksi virus telah dilaporkan
mempengaruhi myofascial pain.
7) Mekanisme trigger point idiopatik.
Pasien yang mengalami myofascial pain akan cenderung datang dengan
riwayat yang membingungkan. Keluhan utama pasien seringkali berupa rasa sakit
heterotropik dan bukan sumber rasa sakit sebenarnya (trigger point). Oleh karena
itu, pasien akan mengarahkan klinisi pada lokasi sakit kepala tension-type atau
protective co-contraction. Jika klinisi tidak teliti, maka klinisi akan mengarahkan
perawatan pada rasa sakit sekunder yang tentu saja akan menyebabkan gagalnya
perawatan. Klinisi harus memiliki pengetahuan dan kemampuan diagnostik yang
dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber rasa sakit primer, sehingga perawatan
yang tepat dapat dipilih.3
Pasien dengan myofascial pain biasanya memiliki riwayat pembebanan
berlebih otot akut atau kronis. Myofascial pain biasa dijumpai pada pasien yang
memiliki kebiasaan bruxism atau clenching. Penyebab iatrogenik myofascial pain
terjadi ketika pasien membuka mulut dalam waktu yang lama selama prosedur
dental. Pasien dengan myofascial pain di daerah kepala-leher sering tidak dapat

merelaksasi otot, misalnya otot masseter, sternocleidomastoid, dan trapezius. Otot


adalah kontraktur yang berkelanjutan, sehingga ketegangan yang terus menerus
dapat menyebabkan iskemia, kelelahan, dan nyeri.3
Untuk membedakan myofascial pain (Ia) dengan myofascial pain with
limited opening (Ib), pemeriksaan pembukaan mulut (jarak interinsisal
maksimum) perlu dilakukan. Pemeriksaan otot tidak lengkap hingga efek fungsi
otot terhadap rahang bawah telah diperiksa. Kisaran normal pembukaan mulut
jika diukur secara interinsisal adalah antara 53 dan 58 mm. Anak usia 6 tahun
dapat melakukan pembukaan mulut maksimum secara normal sebesar 40 mm atau
lebih. Karena gejala otot sering meningkat pada saat gerakan fungsional, maka
terkadang diasumsikan sebagai pola pergerakan yang terbatas. Pasien diminta
untuk membuka mulut secara perlahan hingga sakit terasa untuk pertama kali
(gambar 1A). Pada titik ini, jarak antara tepi insisal gigi anterior atas dan bawah
diukur. Jarak ini adalah batas pembukaan mulut yang nyaman bagi pasien.
Kemudian pasien diminta untuk membuka mulut secara maksimal walaupun
terasa sakit (gambar 1B). Jarak ini dianggap pembukaan mulut maksimum.
Dengan tidak adanya rasa sakit, jarak pembukaan mulut maksimal yang nyaman
bagi pasien dan pembukaan mulut maksimal akan sama.3
Keterbatasan pembukaan mulut dianggap sebagai jarak kurang dari 40
mm. Jarak ini diukur dengan mengamati tepi insisial gigi insisivus sentralis
rahang bawah yang bergerak menjauhi posisinya pada saat intercuspasi
maksimum. Jika pasien memiliki vertikal overlap gigi anterior 5 mm dan jarak
interincisal maksimum adalah 57 mm, rahang bawah dapat bergerak 62 mm pada

saat membuka mulut. Pada subjek yang memiliki deep bite yang dalam, hal ini
perlu dipertimbangkan pada saat penentuan kisaran pergerakan normal.3

Gambar 1. Pengukuran pembukaan mulut. A. Pasien diminta untuk membuka


mulut hingga merasakan sakit untuk pertama kali. Pada titik ini, jarak antara tepi
insisal gigi anterior diukur. Pengukuran ini disebut pembukaan mulut maksimum
yang masih terasa nyaman bagi pasien. B. Pasien kemudian diminta untuk
membuka mulut selebar mungkin meskipun terasa sakit. Pengukuran ini disebut
pembukaan mulut maksimum.3
Jika terjadi keterbatasan pembukaan mulut, maka sebaiknya dilakukan
pemeriksaan end feel. End feel menjelaskan karakteristik keterbatasan
pergerakan yang membatasi pergerakan sendi. End feel dapat diperiksa dengan
meletakkan jari di antara gigi atas dan bawah pasien dan mengaplikasikan tekanan
yang pelan tapi kuat untuk mencoba meningkatkan jarak interincisal secara pasif
(gambar 2). Jika end feel terasa mudah, peningkatan pembukaan mulut dapat
dilakukan tapi secara perlahan. Soft end feel menunjukkan keterbatasan gerakan
yang disebabkan oleh otot. Jika peningkatan pembukaan mulut tidak dapat
dilakukan, end feel terasa keras. Hard end feel lebih cenderung berhubungan
dengan sumber intracapsular (misalnya dislokasi diskus).3

Gambar 2. Pemeriksaan End Feel. Tekanan yang pelan tapi kuat diberikan pada
insisivus bawah sekitar 10 hingga 15 detik. Peningkatan pembukaan rahang
bawah menunjukkan soft end feel (biasanya berhubungan dengan gangguan otot
pengunyahan).3
2.1.1 Perawatan Myofascial pain
Perawatan nyeri myofascial diarahkan pada eliminasi atau penurunan
faktor etiologi. Klinisi dapat melakukannya dengan perawatan berikut:3
1) Menghilangkan sumber deep pain input yang sedang terjadi dengan cara yang
tepat sesuai dengan etiologi
2) Mengurangi faktor-faktor lokal dan sistemik yang mempengaruhi nyeri
myofascial. Teknik PSR berguna dalam menangani nyeri myofascial. Teknik
PSR ini antara lain:
a) Menyarankan pasien untuk membatasi penggunaan mandibula hingga
batas bebas nyeri. Makanan lunak dianjurkan, dengan gigitan yang
kecil dan pengunyahan pelan.
b) Pasien dianjurkan menggunakan rahangnya hingga batas tanpa nyeri
sehingga

proprioseptor

dan

mekanoseptor

pada

system

musculoskeletal distimulasi. Aktivitas ini mendorong kembali ke


fungsi otot normal.
c) Pasien dianjurkan untuk mengurangi kontak gigi nonfungsional. Pasien
diinstruksikan untuk membiarkan bibir bersama dan gigi-gigi terpisah.

d) Pasien seharusnya disadarkan hubungan antara peningkatan tingkat


stress emosional dan kondisi nyeri otot. Ketika stress emosional
tampaknya menjadi kontributor signifikan pada nyeri otot lokal, teknik
untuk mengurangi stress dan mendukung relaksasi dianjurkan.
3) Meskipun pasien dapat mengontrol kontak gigi di siang hari, sebagian besar
memiliki sedikit kontrol atas kontak gigi nocturnal. Ketika clenching pada
malam hari atau bruxism dicurigai (adanya nyeri pagi hari), alat oklusal dapat
dibuat untuk penggunaan pada malam hari. Alat oklusal ini terbuat dari aklirik
yang menutup gigi dalam lengkung rahang dan memberi kontak oklusal tepat
dengan lengkung yang berlawanan (gambar 3). Alat stabilisasi (CR) akan
memberikan kontak oklusal yang rata ketika kondilus berada pada posisi
anterosuperior pada diskus artikular terhadap lereng posterior dari eminensia
articular (menyediakan stabilitas musculoskeletal). Penuntun eksentrik
(eccentric guidance) diperoleh hanya dari kaninus. Pasien diinstruksikan
untuk menggunakan alat pada malam hari selama tidur dan kadang-kadang
pada siang hari untuk membantu mengurangi nyeri.

Gambar 3. A. Alat stabilisasi. B. Kontak oklusal ditandai. Pada posisi


musculoskeletal yang stabil dari kondilus (relasi sentrik), ada kontak yang
simultan pada gigi posterior (ujung cusp berkontak pada permukaan datar).
Eccentric guidance disediakan oleh gigi kaninus.

4) Jika gangguan tidur dicurigai, evaluasi yang tepat dan rujukan harus dibuat.
Sering kali dosis rendah antidepresan trisiklik, seperti 10 20 mg
amitriptyline sebelum tidur dapat membantu.
5) Salah satu pertimbangan yang penting dalam menangani nyeri myofascial
adalah perawatan dan eliminasi trigger point. Hal ini dilakukan dengan
peregangan tanpa rasa nyeri pada otot yang terdapat trigger point. Teknik
berikut dapat digunakan untuk mencapai hal ini, antara lain:
a) Semprotan dan Regangan (spray and stretch)
Teknik ini terdiri dari semprotan spray vapocoolant (misalnya
fluoromethane) pada jaringan diatas otot dengan trigger point dan kemudian
secara aktif meregangkan otot.
b) Tekanan dan Pijatan
Perawatan

harus

dilakukan

tanpa

nyeri.

Beberapa

ahli

menyarankan bahwa peningkatan tekanan yang dilakukan pada trigger point


merupakan teknik yang efektif untuk meghilangkan nyeri. Tekanan dinaikkan
kira-kira 20 lb dan dipertahankan 30-60 detik. Jika teknik ini menimbulkan
nyeri, pijatan harus dihentikan karena nyeri dapat memperkuat siklus nyeri
otot.
c) Stimulasi Ultrasound dan Elektrogalvanik
Ultrasound menghasilkan panas yang tinggi pada daerah trigger
point menyebabkan relaksasi otot lokal. Tegangan rendah EGS digunakan
untuk stimulasi atau tekanan pada otot. Terapi ini menyebabkan penurunan
aktivitas otot dan relaksasi otot.
d) Injeksi dan Peregangan

Umumnya, anestesi lokal diinjeksikan dan otot diregangkan tanpa


nyeri. Meskipun anestesi berguna mengurangi nyeri, namun bukan faktor
yang paling penting dalam eliminasi trigger point. Sebaliknya gangguan
mekanik pada trigger point dari jarum tampaknya memberikan efek terapi
yang berguna.
Anestesi lokal digunakan karena dua alasan: 1) Menghilangkan nyeri
sedang, memungkinkan peregangan otot tanpa nyeri dan 2) diagnostik
(misalnya saat trigger point dianestesi, bukan hanya nyeri lokal dikurangi
tetapi nyeri alih juga dihilangkan).

2.2 Disc displacement with reduction / disc dislocation with reduction


Disc displacement with reduction termasuk dalam salah satu gangguan
kompleks kondil-diskus berasal dari kerusakan fungsi rotasi normal diskus pada
kondil. Hilangnya pergerakan diskus secara normal ini dapat terjadi ketika
terdapat elongasi ligamen kolateral diskal dan lamina retrodiskal inferior.
Penipisan batas posterior diskus juga merupakan predisposisi gangguan ini.4
Jika lamina retrodiskal inferior dan ligamen kolateral diskus mengalami
elongasi dan batas posterior diskus mengalami penipisan, diskus dapat bergeser
atau terdorong ke ruang diskus. Karena diskus dan kondil tidak lagi berartikulasi,
kondisi ini dinamakan sebagai dislokasi diskus. Jika pasien dapat memanipulasi
rahang untuk mereposisi kondil ke batas posterior dikus, maka diskus dikatakan
mengalami reduksi.4

10

Secara normal, terdapat riwayat panjang mengenai kliking sendi dan


beberapa sensasi catching. Pasien melaporkan ketika sendi berkontak dan
tersangkut, pasien dapat sedikit menggerakkan rahang, dan rahang kembali dapat
berfungsi secara normal. Catching mungkin atau tidak terasa sakit, tetapi jika
terdapat rasa sakit, maka kondisi tersebut berhubungan dengan gejala disfungsi.4
Sampai rahang bergeser pada titik yang mereduksi diskus, pasien
mengalami keterbatasan rentang pembukaan. Ketika pembukaan mereduksi
diskus, terdapat deviasi yang dapat diamati dalam siklus pembukaan. Dalam
beberapa kondisi, sebuah suara keras akan terdengar selama diskus kembali.
Setelah diskus mengalami reduksi, rentang pergerakan mandibula normal akan
terlihat. Dalam kebanyakan kasus, mempertahankan mulut dalam sebuah posisi
sedikit protrusi setelah pengembalian diskus akan mengeliminasi sensasi catching,
bahkan ketika pembukaan dan penutupan. Jarak interinsisal dengan kondisi diskus
mengalami reduksi selama pembukaan biasanya lebih besar dibandingkan diskus
mengalami dislokasi kembali selama penutupan.4

Gambar 4. Dislokasi diskus ke anterior dengan reduksi. A. Posisi sendi tertutup


sewaktu istirahat. B. Selama tahapan awal translasi, kondil bergerak ke atas batas
posterior diskus. Kondisi ini dapat disertai dengan suara kliking. C. Selama
pembukaan, kondil mengasumsikan sebuah posisi lebih normal di zona
pertengahan diskus karena diskus berotasi ke posterior kondil. Selama penutupan,
terjadi sebaliknya. Dalam penutupan akhir, diskus kembali mengalami dislokasi
fungsional ke anteromedial. Seringkali kondisi ini disertai oleh klik kedua
(resiprokal).4

11

2.2.1 Perawatan disc discplacement with reduction


Tujuan perawatan disc discplacement with reduction adalah untuk
mengurangi rasa nyeri intracapsular, dan bukan menangkap kembali diskus. Splin
stabilisasi sebaiknya digunakan sedapat mungkin karena dapat meminimalkan
efek jangka panjang yang merugikan. Jika alat ini tidak efektif, splin reposisi
dapat dibuat.4
Secara umum terdapat 2 jenis splin oklusal, yaitu splin stabilisasi dan splin
reposisi. Splin stabilisasi biasanya digunakan untuk merawat hiperaktivitas otot.
Alat ini dipakai pada posisi kondilus berada pada posisi muskuloskeletal yang
paling stabil pada saat gigi-gigi berkontak secara rata dan simultan. Tujuan splin
ini adalah untuk menghilangkan ketidakstabilan ortopedi antara posisi oklusal dan
posisi sendi.4
Splin reposisi diindikasikan untuk merawat kelainan gangguan diskuskondil. Tujuannya adalah untuk mendapatkan hubungan antara kondilus dan
diskus yang lebih baik pada fossa sehingga jaringan bisa mempunyai kesempatan
untuk beradaptasi atau memperbaiki. Tujuan splin ini adalah bukan untuk
merubah posisi mandibula secara permanen tetapi hanya mengubah posisi
sementara sehingga didapatkan adaptasi jaringan retrodiskal. Setelah adaptasi
jaringan terjadi maka alat dilepas, memungkinkan kondilus untuk menerima posisi
muskuloskeletal yang stabil dan fungsi yang tidak nyeri pada jaringan fibrous
adaptif.4
Fungsi splin oklusal adalah sebagai berikut:5
1) Menghilangkan gangguan oklusi
2) Menstabilkan hubungan gigi dan sendi

12

3)
4)
5)
6)
7)

Merelaksasi otot
Menghilangkan kebiasaan parafungsi
Melindungi gigi terhadap abrasi
Mengurangi beban sendi temporomandibula
Menghilangkan rasa nyeri akibat disfungsi sendi temporomandibula berikut

otot-ototnya
8) Sebagai alat

diagnostik

untuk

memastikan

bahwa

oklusilah

yang

menyebabkan rasa nyeri dan gejala-gejala yang sulit diketahui sumbernya.


Pasien diinstruksikan untuk selalu menggunakan alat pada malam hari
selama tidur dan selama siang hari bila diperlukan untuk mengurangi nyeri.
Penggunaan paruh waktu ini dapat meminimalkan perubahan oklusal yang
merugikan. Jika gejala sudah membaik, pasien dapat mengurangi penggunaan
splin. Dengan perubahan adaptif, sebagian besar pasien dapat mengurangi
penggunaan splin secara bertahap tanpa perubahan dental. Perubahan adaptif ini
dapat berlangsung 8-10 minggu atau lebih lama.4
Ketika penghentian penggunaan alat menghasilkan gejala kembali, dua
kondisi

perlu

dievaluasi.

Pertama,

proses

adaptif

tidak

cukup

untuk

memungkinkan perubahan jaringan retrodiskal untuk menerima gaya fungsional


dari kondil. Pada kasus ini, pasien harus menggunakan alat lebih lama untuk
adaptasi. Alasan kedua kembalinya rasa nyeri adalah kurangnya ketidakstabilan
ortopedi sehingga penghentian alat menyebabkan ketidakstabilan ortopedi
kembali. Ketika ketidakstabilan ortopedi kembali terjadi, terapi dental untuk
memperbaiki kondisi ini perlu dipertimbangkan.4
Sebagai terapi suportif, pasien diinformasikan dan diedukasi mekanik dari
kelainan dan proses adaptif. Pasien diminta untuk mengurangi pembebanan pada
sendi bila memungkinkan, makan makanan lunak, mengunyah lebih pelan, dan

13

makan dalam potongan kecil. Pasien diinstruksikan untuk tidak memberi


kesempatan sendi untuk kliking. Jika ada inflamasi, NSAID dapat diberikan.
Terapi panas dan dingin juga dapat berguna. Walaupun ini kelainan intrakapsular,
teknik regulasi fisik diperlukan, untuk mengurangi pembebanan pada sendi dan
menurunkan pengaturan dari sistem saraf pusat. Teknik ini membantu mengurangi
rasa nyeri.4

2.3 Arthralgia
Tujuan utama pasien dengan gangguan sendi mencari perawatan adalah
karena adanya rasa nyeri. Pada gangguan TMJ, sulit untuk menentukan sumber
rasa nyeri. Berdasarkan kuesioner, keraguan sering muncul apakah rasa nyeri
berasal dari sendi atau dari otot. Bahkan jika pemeriksaan klinis dilakukan, timbul
pertanyaan apakah nyeri yang dilaporkan terletak di sendi atau pada daerah otot
sekitar TMJ, karena kedekatan anatomis dari origo otot maseter dan lateral pole
TMJ.6
TMJ arthralgia merupakan nyeri yang diakibatkan dari trauma atau
pembebanan berlebih baik intrinsik maupun ekstrinsik (seperti pada clenching
gigi) yang dapat melebihi kemampuan adaptif dari jaringan sendi. Kemampuan
adaptif dari TMJ dapat dikurangi oleh faktor intrinsik seperti penurunan suplai
darah dan nutrisi. Genetik dan jenis kelamin dapat berpengaruh dalam
patofisiologi dari osteoarthritis. Produksi dari radikal bebas, proinflamasi dan
neuropeptida nosiseptif, enzim, protein morfogenetik tulang, dan faktor

14

pertumbuhan akan mengarah pada inflamasi, nyeri, dan perubahan jaringan


progresif.6
Nyeri pada arthralgia merupakan nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tajam
dengan intensitas sedang, yang terletak pada TMJ dan jaringan sekitar, berkisar
terutama di daerah telinga. Nyeri akan meningkat selama pembebanan dan fungsi
sendi dan dapat membatasi pergerakan normal dan fungsi. Nyeri TMJ sering
berkaitan dengan pergeseran diskus atau disfungsi artikular diskus yang
menyebabkan kliking dan/atau locking sendi, yang dapat menambah sebab
terbatasnya pergerakan. Jika nyeri kronis terjadi, baik berasal dari nyeri miofasial
dan arthralgia, dapat diikuti oleh sensitisasi sentral dan masalah psikologis seperti
depresi, somatisasi, dan kecemasan.7
Dalam membuat diagnosis dari RDC/TMD subtipe arthralgia, kriteria
yang perlu ditemukan:6,7
1) Nyeri dan tenderness pada kapsul sendi dan/atau lining synovial dari TMJ.
2) Nyeri pada satu atau kedua daerah sendi (lateral pole dan/atau meatus
akustikus eksterna) selama palpasi; dan
3) Satu atau lebih nyeri yang dilaporkan dari: nyeri pada daerah sendi, nyeri pada
sendi selama pembukaan maksimum tanpa bantuan, nyeri pada sendi selama
pembukaan dengan bantuan, nyeri pada sendi selama ekskursi lateral.
4) Tidak adanya krepitus

2.3.1 Perawatan arthralgia


Jika penyebab dari arthralgia adalah makrotrauma, kondisi ini merupakan
self-limitting karena, makrotrauma tidak lagi terjadi. Oleh karena itu, tidak ada
terapi definitif diindikasikan untuk kondisi ini. Namun, jika kondisi makrotrauma

15

dapat berulang, usaha untuk melindungi sendi dari trauma lebih lanjut (athletic
appliance) dapat dilakukan. Jika arthralgia disebabkan oleh mikrotrauma yang
berkaitan dengan gangguan diskus, maka gangguan diskus perlu diatasi.4
Sebagai terapi suportif, pasien diinstruksikan untuk membatasi semua
pergerakan mandibula dalam batas nyeri. Pasien diminta untuk makan makanan
lunak, bergerak lambat, dan makan dengan gigitan yang kecil. Jika pasien
mengeluhkan rasa nyeri konstan, dapat diberikan analgesic NSAID. Terapi termal
pada daerah sendi dapat berguna. Pasien diminta kompres hangat selama 10-15
menit, empat sampai lima kali sehari. Terapi ultrasound dapat membantu 2-4 kali
seminggu. Pada pasien dengan arthralgia yang menetap, arthrocentesis dapat
dipertimbangkan.4,7

16

BAB III
LAPORAN KASUS

Nama pasien
Umur

: Nn. LS
: 19 tahun

Alamat pasien

: Dago asri

Pekerjaan

: Mahasiswi

Anamnesa

: Pasien datang dengan mengeluhkan bunyi sendi pada


kedua sendi. Pasien mengeluhkan pernah sakit pada
sendi kanan saat bangun tidur 4 bulan yang lalu. Pasien
juga pernah merasa kesemutan di daerah telinga kanan
beberapa bulan yang lalu. Saat menekukkan kepala,
kadang terasa ada persendian leher yang bunyi. Bunyi
sendi disadari muncul 3 tahun yang lalu yang terjadi
sesekali. Setahun yang lalu baru disadari tiap buka tutup
mulut kedua sendi berbunyi. Rahang bawah bagian pipi
sering terasa pegal siang dan malam hari. Pasien tidak
bisa buka mulut lebar, hanya bisa masuk 2 jari.
Kebiasaan buruk pasien:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Parafungsi : clenching
Mengunyah dua sisi tidak bersamaan
Menggigit bibir
Menghisap bibir dan permen
Bernafas melalui mulut
Mengernyitkan otot wajah
Menyandarkan kepala di atas meja
Postur tubuh membungkuk pada saat
bekerja dengan komputer
9. Bertopang dagu
10. Bersandar satu sisi
11. Membaca di tempat tidur dengan posisi
leher menekuk
12. Tidur satu sisi (kiri-kanan bergantian)
dan telugkup
13. Kepala ke depan
14. Menyilangkan kaki
15. Duduk tanpa sandaran kursi
17

16. Menggunakan gadget dengan posisi menunduk


PEMERIKSAAN KLINIS DAN INTRA ORAL
INTRA ORAL:
1. Karies superficial : 16, 36, 46
2. Impaksi : 18, 28, 38, 48
KLINIS:
1. Nyeri kepala
: +
2. Tinnitus
: 3. Vertigo
: +
4. Migrain
: +
5. Nyeri sendi
: +
6. Kliking
: +
7. Krepitasi
: 8. Trismus
:+
9. Locking
:10. Deviasi
:11. Defleksi
: + (kanan)
12. Gerak lateral terbatas
:13. Nyeri M. Masseter
:14. Nyeri M. Pterigoid lat.
: + (kanan-kiri)
15. Nyeri M. Pterigoid med. : 16. Nyeri M. Temporalis
:17. Nyeri M. SCM
: + (kanan-kiri)
18. Nyeri M. Trapezius
:+
19. Bukaan mulut tanpa nyeri : 25 mm
20. Bukaan mulut maksimal tanpa nyeri : 35 mm
21. Bukaan mulut maksimal bantuan operator: 40 mm
22. Over bite
: 3 mm
23. Over jet
: 4 mm
24. Gerak lateral kanan
: 9 mm
25. Gerak lateral kiri
: 7 mm
26. Gerak protrusi
: 4 mm
27. Pergeseran garis median : tidak ada
Pemeriksaan Foto Rongent
1. Panoramik

Gambar 5. Foto Panoramik


18

GAMBAR EKSTRA ORAL DAN INTRA ORAL

Gambar 6. Tampak depan

Gambar 7. Foto intraoral

Gambar 8. Foto postur depan, samping kanan, samping kiri, belakang

19

Gambar 9. Model RA dan RB


Diagnosa:
Klasifikasi Aksis I/diagnosis fisik:
1. Nyeri miofasial dengan keterbatasan pembukaan mulut
2. Sendi kanan pergeseran sendi dengan reduksi
3. Sendi kiri pergeseran sendi dengan reduksi dan arthralgia
Klasifikasi Aksis II
1. Klasifikasi Nyeri Kronis Bertingkat.
Ketidakmampuan rendah derajat 1: intensitas rendah (CPI: 43, poin
ketidakmampuan : 1)
2. Depresi kriteria Berat (> 1,1,05)
3. Gejala fisik non spesifik termasuk item nyeri kriteria Berat (>1,000)
4. Gejala fisik non spesifik tidak termasuk item nyeri kriteria Berat (>0,857)
Rencana Perawatan
A.TAHAP I
1. Eliminasi kebiasaan buruk : clenching, mengunyah dua sisi tidak
bersamaan, menggigit bibir, menghisap bibir dan permen, bernafas melalui
mulut, mengernyitkan otot wajah, menyandarkan kepala diatas meja,
membungkuk saat bekerja dengan komputer, membawa tas pada satu
pundak, bertopang dagu, bersandar satu sisi, membaca di tempat tidur
dengan posisi leher menekuk, tidur satu sisi dan telungkup, kepala ke
depan, menyilangkan kaki, duduk tanpa sandaran kursi, dan menggunakan
gadget.
2. Self-Management Therapy:
a. Pemijatan otot yang nyeri
b. Terapi panas/dingin
c. Diet makanan lunak
d. Menghindari membuka mulut lebar
e. Latihan postur
f. Latihan rahang : peregangan otot mastikasi

20

g. Relaksasi (yoga, bersantai, olahraga)


3. Pembuatan splin stabilisasi pada rahang atas
4. Manajemen stress dan depresi
B. TAHAP II
1. Occlusal equilibirium
2. Ortodonsia

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Schiffman EL et. al. The revised research diagnostic criteria for


temporomandibular disorders: methods used to establish and validate revised
axis I diagnostic algorithms. J Orofac Pain. 2010; 24(1): 63-78. Available in
PMC 2011 June 15.
2. Dommerholt J. Myofascial pain syndrome in the craniomandibular region.
[Accesed

2013

Oktober

10].

Available

from:

http://www.bethesdaphysiocare.com/
professionals/pdf/book_craniomandibularMPS.pdf
3. Okeson JP. Management of temporomandibular disorders and occlusion. 7 th
ed. St. Louis: Elsevier Mosby. 2013.
4. Okeson JP. Management of temporomandibular disorders and occlusion. 6th
ed. St Louis: Mosby. 2008.
5. Kurnikasari E. Perawatan disfungsi sendi temporomandibula secara paripurna.
2009.

[Accesed

2013

Agustus

10].

Available

from:

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/perawatan_disfungsi_sendi.pdf
6. Ohlmann B, Rammelsberg P, Henschel V, Nat R, Kress B, Gabbert O,
Schmitter M. Prediction of TMJ arthralgia according to clinical diagnosis and
MRI findings. Int J Prosthodont 2006; 19(4):333-338. [Accessed 2013
Oktober

11].

Available

from:

http://www.quintpub.com/userhome/ijp/ijp_19_4_Ohlmann_4.pdf
7. International Association for the Study of Pain. Temporomandibular Disorder
Pain. 2009. [Accesed 2013 Oktober 11]. Available from: http://www.iasppain.org/AM/AMTemplate.cfm?

22

Section=HOME,HOME&TEMPLATE=/CM/ContentDisplay.cfm&CONTEN
TID=9294&SECTION=HOME,HOME

23

Anda mungkin juga menyukai