PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia akan merasakan sensasi nyeri yang tentutanya akan
mengganggu aktivitasnya sehari hari. Menurut IASP (International Association
for the Study of Pain) definisi tentang nyeri dalam buku Encyclopedia of Pain
yang ditulis oleh Robert dan William (2007) adalah perasaan dan pengalaman
emosi yang tidak menyenangkan atau rasa tidak enak dan berhubungan secara
nyata atau potensial dengan ditandai adanya kerusakan jaringan. Kondisi nyeri
yang sering kita jumpai salah satunya adalah Myofascial Pain Syndrome (MSP).
Myofascial Pain Syndrome adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu
atau beberapa titik picu (trigger points) dan dicirikan oleh nyeri otot kronis
dengan peningkatan sensitivitas terhadap tekanan (Werenski, 2011). Penelitian
yang dilakukan di Spanyol oleh Fernandez dalam David G (2007) sebanyak 30
pasien dengan keluhan nyeri leher menjalar yang sebelumnya didiagnosa dengan
neck pain syndrome dan shoulder pain syndrome yang mereka masukan dalam
penelitiannya, kemudian setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dihasilkan
bahwa 66.6% mengalami myofasial trigger points (MTrPs) pada otot
Sternocleidomastoid kiri, dan 83.3% pada kanannya, lalu pada otot upper
trapezius kiri 70.0%, kanan 63.3% dan pada otot levator scapula kiri 30.0% dan
kanan 26.6% mengalami MTrPs. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lestari
(2009) pada penjahit di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang dari 25 orang
yang telah diteliti terdapat 16 orang yang didiagnosa mengalami Syndroma
Myofascial Leher.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya myofascial pain
syndrome yaitu: trauma pada otot, postur yang buruk saat beraktivitas, dan
ergonomi kerja yang kurang baik. Faktor-faktor tersebut sering dipicu oleh
aktivitas yang statis, seperti penggunaan laptop dan gadget dalam waktu yang
lama. Penggunaan teknologi tersebut selalu dilakukan dalam posisi yang tidak
ergonomis atau buruk, sehingga menyebabkan terjadinya trauma pada otot akibat
pembebanan yang berlebih (Anggraeni, 2013) Otot upper trapezius merupakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Myofascial Pain Syndrome
Myofascial pain syndrome merupakan suatu kondisi dengan banyak
kumpulan tanda dan gejala yang di akibatkan adanya gangguan kerusakan struktur
jaringan fascia dan otot. Adapun tanda dan gejala-nya ialah terdapat trigger point
yakni regio otot yang mengalami hiperiritasi dan menjadi hipersensitif pada taut
band pada otot yang mengalami myofascial pain syndrome, dan akan terasa nyeri
apabila dilakukan penekanan (Kumala, 1998). Gejala khas dari penyakit ini adalah
Referred Pain (Nyeri Menjalar), Motor Dysfunction (Gangguan gerak), dan
Autonomic Phenomena (McPartland dan Simons, 2006)
Travel and Simon membagi Trigger Point (TrP) menjadi dua yaitu TrPaktif dan TrP-laten. TrP-aktif menimbulkan nyeri MTPS, pada pemeriksaan fisik
(tekanan jari) menimbulkan nyeri setempat, nyeri rujukan serta reaksi local
twitch yaitu berupa kontraksi lokal sekilat dari otot yang diperiksa pada saat TrP
ditekan, dan juga reaksi lain berupa jump sign yaitu ditunjukkan dengan gerak
menjauhkan diri dari sumber tekanan, yang dalam keadaan ekstrim dapat dengan
gerakan melonjak. Sedang TrP-laten secara klinik tidak menimbulkan nyeri, jika
ditekan hanya menimbulkan rasa tidak nyaman di area sekitar. Untuk kepentigan
klinis, TrP dibagi atas 2 kelompok, yaitu :
(1) MTP (Myofascial Trigger Point), yaitu trigger point yang berada di otot
atau fascianya yang menjadi sentra MTPS.
(2) Non-Myofascial Trigger Point, yang terdiri dari ; TrP pada jaringan
parut, TrP pada ligament, dan TrP pada periosteum.
Pola rujukan nyeri dari MTP tidak mengikuti distribusi myotom ataupun
dermatom dan tidak juga mengikuti jalannya saraf tepi. Daerah rujukan nyeri
disebut reference zone, yang dapat terletak dekat dengan TrP tetapi umumnya
berada jauh dari TrP. Lokasi TrP dan reference zone adalah khusus pada setiap
otot, sehingga seakan-akan terdapat Peta MTP. Nyeri rujukan biasanya berupa
nyeri dalam, sehingga penderita sering mengatakan sakitnya sampi ke tulang.
Myofascial pain syndrome sering terjadi pada masyarakat umum dengan
angka kejadian dapat mencapai 54% pada wanita dan 45% pada pria. Myofascial
pain syndrome biasanya ditemukan pada pekerja kantoran, musisi, dokter gigi,
dan jenis profesi lainnya yang aktifitas pekerjaannya banyak menggunakan low
level muscle. Myofascial pain syndrome tidak hanya terjadi pada orang usia tua
saja, namun bisa terjadi pada usia muda. Menurut Delgado, et al. (2009),
presentasi usia yang paling sering ditemukan kasus myofascial pain syndrome
adalah usia 27-50 tahun.2 Berdasarkan data tersebut, maka disimpulkan bahwa
usia produktif adalah usia yang rentan mengalami kasus myofascial pain
syndrome.
dan pergerakan pada kedua sisi akan memberikan gerakan ekstensi leher. Inervasi
dari otot upper trapezius adalah nervus accesorius dan rami trapezius (C2-C4).
Penyebab terjadinya sindrom myofascial otot upper trapezius disebabkan oleh
beberapa faktor mekanik, trauma pada jaringan myofascial dan degenerasi pada
otot. Postural pada otot upper trapezius yang berfungsi sebagai fiksator leher dan
sebagai fiksator scapula ketika lengan beraktivitas, maka kesalahan postur
berupaya forward head akan menyebabkan kerja statis yang terus menerus pada
saat aktifitas dalam posisi duduk atau berdiri. Pada lateral head posture maka
posisi kepala yang miring ke salah satu sisi juga akan menyebabkan overload
work pada otot upper trapezius. Kerja statis yang terus menerus dan overload
work menyebabkan trigger points dan taut band pada sebuah otot (Widodo, 2011).
2.3 Infrared
Infrared merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang
o.
gelombang 7.700 sampai 4 juta A Infrared dapat digunakan untuk mengatasi
keluhan yang hanya sampai di bagian kulit. Sebagian besar radiasi infrared yang
datang pada kulit akan langsung diserap oleh lapisan kulit bagian luar. Bagian
dalam kulit akan mengalami pemanasan dari aliran darah sehingga terjadi
vasodilatasi pembuluh darah. Apabila sinar infrared diabsorbsi oleh kulit, maka
akan terjadi peningkatan suhu secara lokal. Berdasarkan panjang gelombangnya,
inframerah dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Gelombang panjang (non luminous) merupakan panjang gelombang
o
o
yang dihantarkan 12.000 A sampai 150.000 A dengan penetrasi sekitar
0,5 mm. Ada juga yang menyebutkan antara 14.000 hingga 120.000 A
dengan penetrasi sekitar 2mm. Daya penetrasi dari gelombang ini hanya
sampai pada lapisan superficial epidermis.
b. Gelombang
pendek
(luminous)
merupakan
panjang
gelombang
o
yangdihantarkan antara 7.700 sampai 12.000 A . Gelombang ini
mempunyai daya penetrasi yang lebih dalam dari pada gelombang
panjang. Daya penetrasi dari gelombang ini mencapai jaringan subkutan
kapiler,
bawah kulit.
Efek Fisiologis Infrared
a. Meningkatkan proses metabolisme.
Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas atau
kenaikan temperatur akibat pemanasan. Proses metabolisme yang terjadi
pada lapisan superficial kulit akan mengalami peningkatan sehingga
pemberian oksigen dan nutrisi ke jaringan menyebabkan pengeluaran
sampah-sampah sisa hasil pembakaran dalam tubuh dan adanya
perbaikan pada jaringan.
b. Vasodilatasi pembuluh darah
Efek thermal yang dihasilkan oleh sinar infrared dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit akan mengadakan
reaksi dan berwarna kemrah-merahan yang disebut erythema. Untuk ini
mekanisme vasomotor mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran
pembuluh darah sehingga jumlah panas daratakan keseluruh jaringan
lewat sirkulasi darah. Dengan sirkulasi darah yang miningkat, maka
pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan meningkat, sehingga
pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap
radang juga baik.
c. Pigmentasi
Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infrared
dapat
pada jaringan fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi normal
(Riggs and Grant, 2009). Myofascial release technique dapat digunakan untuk
mengurangi nyeri muskulosceletal karena adanya teori yang dapat menjelaskan
hal tersebut. Teori yang dimaksud yaitu gate control theory, interpersonal
attention, parasympathetic respon pada saraf otonom, dan pelepasan serotonin
(Werenski, 2011).
Gate Control Theory menyatakan bahwa adanya rangsangan sensorik, seperti
tekanan, perjalanan jalur sistem saraf akan bergerak bebih cepat pada sistem saraf
daripada stimulasi nyeri. Stimulasi tekanan akan berpengaruh pada transmisi rasa
nyeri yang menuju otak, sehingga terjadi penutupan pintu gerbang yang menuju
pada reseptor rasa nyeri di otak (Werenski, 2011). Ketika pasien menerima suatu
sentuhan atau pijatan seringkali mendapatkan efek yang menyenangkan sekaligus
mampu untuk menurunkan persepsi nyeri. Hal ini berkaitan dengan adanya respon
parasimpatis yang dapat menurunkan pelepasan hormon stress, kecemasan,
depresi dan rasa sakit (Paloni, 2009).
Manfaat utama yang dapat diperoleh dari myofascial release yaitu untuk
meningkatkan kebebasan gerak dan mengurangi rasa sakit akibat adanya
pembatasan dari suatu jaringan, menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan,
meningkatkan proprioception dan interoception, meningkatkan fungsi jangkauan
gerak sendi dan otot, memulihkan keseimbangan dan postur tubuh yang benar
(Duncan, 2014).
Efek Penurunan Nyeri Sindrom Myofascial Melalui Myofascial Release
Technique Menurut Cantu and Grodin, 2001 efek-efek yang dapat ditimbulkan
dari pemberian myofascial release technique yaitu:
1. Efek terhadap aliran darah dan temperatur
Ketika otot diberikan myfascial release, maka akan terjadi peningkatan
aliran darah secara signifikan dan bertahan selama 30 menit. Kemudian
setelah 30 menit akan terjadi penurunan aliran darah. Tekanan yang
dihasilkan oleh myofascial release technique dapat membuka kapilerkapiler darah sehingga terjadi proses vasodilatasi pembuluh darah
sehingga aliran darah meningkat. Reaksi kapiler berdilatasi oleh stimulus
kekuatan
regangan
akan
menurun.
Beberapa
ahli
telah
dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda
yang diberi oleh pasien (ukuran mm) dan skorenya menunjukkan level intensitas
nyeri. Kemudian score tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi
selanjutnya (Witri, 2013).
Dalam penggunaan VAS terdapat beberapa keuntungan dan kerugian yang
dapat diperoleh. Keuntungan penggunaan VAS antara lain VAS adalah metode
pengukuran intensitas nyeripaling sensitif, murah dan mudah dibuat. VAS
mempunyai korelasi yang baik dengan skala-skala pengukuran yang lain dan
dapat diaplikasikan pada semua pasien bahkan dapat digunakan pada anak-anak di
atas 5 tahun, serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri.
Namun kekurangan dari skala ini adalah VAS memerlukan pengukuran yang lebih
teliti dan sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut.
Vas sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut.
Sehingga edukasi pengukur tentang VAS terhadap pasien sangat diperlukan
(Hawker et al, 2011).
BAB III
METODE PENULISAN
3.1
yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Jenis data yang diperoleh
berupa data sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
3.2
Pengumpulan Data
Pengumpulan data digunakan metode telaah pustaka yang didasarkan atas
hasil pengkajian terhadap berbagai sumber data yang telah teruji validitasnya,
berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan, serta mendukung
uraian atau analisis pembahasan.
3.3
Analisis Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data
dengan menyusun secara sistematis dan logis. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis deskriptif argumentatif.
3.4
Penarikan Simpulan
Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan
Overuse Injury
Spasme otot
Nyeri leher
Penurunan ROM
Manajemen Fisioterapi
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Metode Infrared
Sebelum memberikan intervensi muscle energy technique, subjek
diberikan intervensi infrared. Menurut teori yang disampaikan oleh Prentice
(2002) bahwa infrared merupakan salah satu terapi panas yang diberikan sebelum
melakukan manual terapi. Efek panas dari infrared akan menyebabkan
peningkatan suhu di area superfisial. Hal ini dapat menstimulasi reseptor saraf
pada kulit dan impulsnya akan diteruskan ke hipothalamus, sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah di area terapi dan jaringan
dibawahnya
Posisi pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang akan disinari
baik duduk atau tengkurap. Daerah yang disinari harus bebas dari logam dan
pakaian. Lakukan tes sensibilitas terhadap panas atau dingin. Daerah yang akan
disinari dalam keadaan kering dan pastikan memberitahu pasien tentang rasa
panas yang akan dirasakan. Posisikan lampu infrared tegak lurus dengan daerah
yang diterapi. Durasi waktu diberikan pada terapi adalah 10 menit dengan jarak
35 cm. Selama proses terapi berlangsung harus dikontrol rasa hangat yang
diterima oleh pasien.
4.2 Metode Myofascial Release Technique
Teknik myofascial release technique berupa tekanan dan peregangan pada
otot ke arah yang ditargetkan. Teknik
memanjangkan struktur fascia dan otot. Selain itu tujuan dari myofascial release
technique adalah untuk memulihkan kualitas cairan atau pelumas dari jaringan
fascia dan mobilitas jaringan serta fungsi normal sendi. Dalam myofascial release
technique terdapat beberapa teknik yaitu teknik general, skin rolling, direct
technique, dan lifting atau rolling. Dalam penelitian ini hanya dijelaskan direct
technique. Pada direct technique terapis menggunakan lengan bawah, kedua
palmar tangan, atau suatu permukaan yang kasar. Perlu diingat bahwa penting
melakukan stretch yang cepat pada fascia baik dengan menggunakan posisi tubuh
untuk memanjangkan komponen fascia (meletakkan jaringan dalam posisi cukup
stretch untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan
yang dapat
stretch sehingga
membantu reprogram
radang juga semakin baik. Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat P juga
akan ikut terbuang, sehingga rasa nyeri berkurang dan terjadi relaksasi otot
(Prentice, 2002). Peningkatan sirkulasi menyebabkan metabolisme meningkat
pada jaringan, sehingga zat-zat yang menyebabkan nyeri dapat dikeluarkan dari
jaringan.13 Hal ini dapat menurunkan nyeri pada myofascial pain syndrome otot
upper trapezius. Selain itu, teori ini juga diperkuat oleh penelitian dari Gale, et
al., (2006) yang menunjukkan adanya penurunan nyeri setelah pemberian
infrared dan tidak ditemukannya efek yang merugikan dari infrared.
Grant dan Riggs pada tahun 2009 menyatakan bahwa myofascial release
technique dapat berperan untuk memberikan stretch atau elongasi pada struktur
otot dan fascia dengan tujuan melepas adhesion atau perlengketan, mengurangi
nyeri dengan gate control theory, memulihkan kualitas cairan pelumas dari
jaringan fasia, mobilitas jaringan dan fungsi normal sendi. Penelitian sebelumnya
telah dibuktikan oleh Werenski pada tahun 2011 dalam studi literaturnya yang
berjudul The Effectifness of Myofascial Release Techniques in the Treatment of
Myofascial Pain bahwa penerapan myofascial release technique dapat mengurangi
nyeri musculoskeletal dengan menggunakan Gate Control Theory, interpersonal
attention, parasympathetic respon pada saraf otonom, dan pelepasan serotonin.
Fryer pada tahun 2005 menyatakan bahwa secara fisiologis apanya pelepasan
biokimia dari tubuh seperti histamin dan serotonin akan menyebabkan
vasodilatasi dan permeabilitas pembuluh darah yang secara mekanis melakukan
penataan kembali pada struktur jaringan pada otot.
Jadi kombinasi dari infrared dan myofascial release techniques bertujuan
untuk mengurangi nyeri pada myofascial pain syndrome otot upper trapezius
dengan meningkatkan aliran darah ke otot agar otot mendapatkan nutrisi sehingga
akan terjadi perbaikan jaringan otot yang lebih cepat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari pembahasan adapun yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemberian
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan melalui penulisan karya tulis ini yaitu :
1. Gagasan karya tulis ini memiliki potensi untuk diterapkan lebih lanjut