Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di era globalisasi

saat ini mempengaruhi segala bidang, salah satunya adalah bidang kesehatan. Hal

ini dapat dilihat dari berkembangnya berbagai keluhan akibat aktivitas kerja yang

berlebihan. Keluhan tersebut bisa berupa keluhan nyeri pada anggota gerak tubuh

yang sering digunakan untuk beraktivitas. Keluhan nyeri merupakan sensasi yang

tidak menyenangkan yang dirasakan oleh setiap individu serta bersifat subjektif.

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah

sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait

dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan (IASP, 2014). Nyeri bisa terjadi bila ada stimulus yang

memenuhi syarat yang dimediasi atau difasilitasi oleh bahan kimiawi tertentu

seperti leukotrin, prostaglandin, interleukin dan tromboksan sehingga

menimbulkan impuls nyeri atau impuls nosiseptif di nosiseptor yang dikenal

sebagai proses transduksi yang kemudian ditransmisikan ke arah sentral melalui

tanduk belakang medulla spinalis, batang otak, mesensefalon, korteks serebri dan

korteks asosiasinya untuk kemudian disadari baik mengenai sifat, lokasi maupun

berat ringannya (Kuntono, 2011).

1
2

Keluhan nyeri bisa dirasakan oleh seluruh jaringan tubuh, karena sebagian

besar sistem informasi dalam tubuh dipengaruhi oleh sistem saraf yang bisa

menghantarkan informasi nyeri. Salah satunya adalah nyeri pinggang bawah.

Faktor pencetus dari nyeri tersebut bisa disebabkan karena aktivitas duduk yang

terlalu lama, posisi saat duduk, atau kebiasaan dalam meletakkan dompet dibawah

pantat. Aktivitas duduk yang terlalu lama yakni lebih dari 2 jam dalam satu hari

bisa menyebabkan otot-otot area pantat menjadi tertekan dan menyebabkan

ketegangan pada otot tersebut, sehingga munculah nyeri di area pantat yang

disebut dengan Piriformis Syndrome (Digiovanna dkk, 2005).

Piriformis Syndrome adalah neuritis perifer saraf sciatic yang disebabkan

oleh kondisi abnormal otot piriformis (Digiovanna dkk, 2005). Gejala klinisnya

hilang timbul atau terkadang salah didiagnosis. Piriformis Syndrome dapat

menyerupai disfungsi somatik lainnya yang umum, seperti intervertebralis

discitis, radiculopathy lumbal, sacral disfungsi primer, sakroilitis, linu panggul,

dan bursitis trokanterika. Hasil evaluasi dan pemeriksaan penyakit akibat kerja

menunjukkan lebih dari 16 % pasien mengalami keterbatasan sebagian atau total

terkait dengan keluhan nyeri kronik di pinggang bawah (MMWR, 2001). Hal ini

memperkirakan bahwa setidaknya 6 % dari pasien yang didiagnosis memiliki

nyeri pinggang bawah benar-benar memiliki Piriformis Syndrome (Papadopoulos

& Khan, 2004). Piriformis Syndrome paling sering terjadi selama empat sampai

dengan dekade kelima kehidupan dan mempengaruhi individu dari semua

pekerjaan dan aktivitas (Beaton & Anson, 2008). Dilaporkan tingkat insiden

untuk Piriformis Syndrome antara pasien dengan nyeri pinggang bawah bervariasi
3

luas, dari 5% menjadi 36% (Papadopoulos & Khan, 2004). Piriformis Syndrome

lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, mungkin karena terkait dengan

biomekanika otot quadriceps femoris yang lebih luas anglenya, yaitu,"Q sudut" di

coxae os pelvis dari wanita (Pace, 1976). Berdasarkan data kunjungan pasien di

Klinik “P” Denpasar tahun 2014 sedikitnya 2%-3% pasien dengan keluhan nyeri

pinggang bawah mengalami Piriformis Syndrome.

Piriformis Syndrome paling sering disebabkan oleh makro trauma pada area

pantat yang menyebabkan peradangan jaringan lunak, kejang otot, atau keduanya,

dengan mengakibatkan kompresi saraf (Digiovanna dkk, 2005). Namun, bisa juga

disebabkan oleh mikro trauma akibat dari terlalu sering menggunakan otot

Piriformis, seperti dalam jarak jauh berjalan atau berlari atau dengan kompresi

langsung, misalnya dompet neuritis, yaitu trauma berulang dari duduk pada

permukaan yang keras. Keluhan utama pasien dengan Piriformis Syndrome yaitu

rasa sakit meningkat setelah duduk lama lebih dari 15 sampai 20 menit. Banyak

pasien mengeluh sakit pada bagian atas otot piriformis terutama di sakrum dan

medial trokanter yang lebih besar. Gejala muncul secara tiba-tiba atau bertahap,

biasanya berhubungan dengan spasme otot Piriformis atau kompresi saraf sciatic.

Pasien mungkin mengeluh kesulitan berjalan dan nyeri ketika melakukan gerakan

rotasi internal (Boyajian dkk, 2008).

Keterlambatan dalam mendiagnosis Piriformis Syndrome dapat

menyebabkan kondisi patologis saraf sciatic, disfungsi somatik kronis, dan

perubahan kompensasi yang mengakibatkan rasa sakit, paresthesia, hyperesthesia,

dan kelemahan otot (Boyajian dkk, 2008). Pendekatan holistik untuk diagnosis
4

memerlukan pemeriksaan neurologis dan penilaian fisik pasien berdasarkan

karakteristik patologis Piriformis Syndrome. Para peneliti mencatat bahwa

beberapa terapi non farmakologi, termasuk terapi manipulatif, dapat digunakan

sendiri atau bersama dengan farmakoterapi pilihan dalam penanganan Piriformis

Syndrome (Boyajian dkk, 2008).

Penanganan non farmakologi dalam kasus Piriformis Syndrome melibatkan

Fisioterapi. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada

individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan

memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan

menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik,

elektroterapeutis, dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi (KEPMENKES,

2001). Penanganan Fisioterapi terkait dengan Piriformis Syndrome adalah

menggunakan modalitas Ultra Sound, teknik peregangan atau stretching,

myofascial release technique, muscle energy technique, dan latihan lingkup gerak

sendi (Boyajian dkk, 2008).

Ultra Sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik di

dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan frekuensi

antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan adalah gelombang

longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat diregistrasi oleh telinga manusia.

Dosis terapi yang digunakan untuk mengurangi nyeri yakni 1-2W/cm2 dengan

arus kontinyu terhadap serabut saraf selama 3-5 menit, sedangkan untuk efek

terhadap akar saraf dan ganglia adalah 0.5-1 W/cm2 kontinyu selama 3-4 menit
5

atau pulsed selama 6-8 menit diberikan selama 15 menit di setiap pengobatan

sebanyak 5 kali setiap 2-3 hari sekali (Pusdiknakes, 1993).

Sementara itu pemberian terapi dengan Myofascial Release Technique dapat

didefinisikan sebagai fasilitasi potensi adaptif mekanik, saraf dan psiko fisiologis

yang dihubungkan oleh sistem myofascial (Manheim, 2001). Myofascial Release

Technique merupakan kumpulan dari teknik yang digunakan untuk tujuan

menghilangkan fasia abnormal atau fasia yang mengalami keketatan. Indikasi dari

Myofascial Release Technique yakni nyeri akut atau kronis yang tidak dapat

disembuhkan oleh pengobatan fisioterapi tradisional, nyeri kompleks / global /

spesifik yang tidak mengikuti arah dermatom, myotom atau nyeri pola rujukan

visceral, tightness, fibromyalgia, nyeri akibat asimetri postural, dan kelemahan

otot. Adapun kontra indikasi dari Myofascial Release Technique yakni pasien

dengan angina yang tidak stabil, dermatitis, pasien yang mengonsumsi alkohol,

pasien dengan penyakit menular atau infeksi. Manfaat dari teknik tersebut adalah

mengurangi nyeri otot dan sendi, mengurangi neuromuscular hipertonus,

meningkatkan efisiensi neuromuscular dan memelihara fungsional panjang otot,

meningkatkan perluasan persimpangan musculotendinous, mengoreksi

ketidakseimbangan otot, dan meningkatkan lingkup gerak sendi (International

Journal of Health Sciences & Research, 2012).

Teknik manipulasi lainnya yang juga dianjurkan adalah muscle energy

technique. Muscle Energy Technique (MET) merupakan salah satu teknik dengan

tujuan relaksasi dengan menginduksi otot yang mengalami hipertonus dan

dikombinasi dengan peregangan otot. Tujuan kombinasi tersebut dirasa perlu


6

untuk memeriksa dan membandingkan manfaat potensial dan kelemahan dari

berbagai metode. Muscle Energy Technique (MET) diindikasikan untuk

mengurangi nyeri otot, spasme, kelemahan otot, otot yang mengalami trauma

akibat kecelakaan, keram atau kejang otot serta keterbatasan lingkup gerak sendi

dan postur (Chaitow, 2001). Mekanisme kerja dari teknik ini yakni menggunakan

prinsip isometrik kosentrik dengan kontraksi otot sekitar 25% kemudian secara

bertahap meningkat menjadi kurang dari 50%. Adapun kontraindikasi dari

dilakukannya teknik ini adalah pasien dengan disertai gangguan patologis dari

suatu penyakit tertentu seperti haemofilia. Sementara untuk pasien dengan

penyakit arthritis dan osteoporosis, hal yang harus diperhatikan adalah

penggunaan kekuatan kontraksi ototnya maupun pengulangan / repetisinya.

Beberapa penelitian yang sudah membuktikan efektivitas dari muscle energy

technique adalah Lewit, Dia mengutip hasil dalam satu rangkaian pasien di

kliniknya sendiri yakni 351 kelompok otot yang mengalami nyeri, diperlakukan

oleh MET dengan menggunakan postisometric relaksasi di 244 pasien. Efek

analgesia segera dicapai dalam 330 kasus dan tidak ada efek hanya 21 kasus. Ini

adalah hasil yang luar biasa dengan standar apapun (Lewit, 1999).

Sejauh ini masih banyak teman sejawat fisioterapis yang belum mengetahui

manfaat dari pemberian terapi Ultra Sound dan Muscle Energy Technique pada

kasus Piriformis Syndrome. Dari keadaan ini peneliti ingin mengetahui lebih

mendalam tentang Muscle Energy Technique dan Myofascial Release Technique

yang dikombinasikan dengan pemberian Ultra Sound serta ingin membuktikan

apakah pemberian intervensi Ultra Sound dan Muscle Energy Technique lebih
7

baik dalam menurunkan nyeri Piriformis Syndrome daripada intervensi Ultra

Sound dengan Myofascial Release Technique di Klinik “P” Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah intervensi Ultra Sound dan Muscle Energy Technique dapat

menurunkan nyeri pada Piriformis Syndrome di Klinik “P” Denpasar?

1.2.2 Apakah intervensi Ultra Sound dan Myofascial Release Technique dapat

menurunkan nyeri pada Piriformis Syndrome di Klinik “P” Denpasar?

1.2.3 Apakah intervensi Ultra Sound dan Muscle Energy Technique lebih baik

dalam menurunkan nyeri pada Piriformis Syndrome daripada intervensi

Ultra Sound dan Myofascial Release Technique di Klinik “P” Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran secara umum mengenai intervensi Ultra

Sound dan Muscle Energy Technique serta Myofascial Release Technique

terhadap kasus Piriformis Syndrome.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk membuktikan intervensi Ultra Sound dan Muscle Energy

Technique dapat menurunkan nyeri pada Piriformis Syndrome di Klinik

“P” Denpasar.
8

b. Untuk membuktikan intervensi Ultra Sound dan Myofascial Release

Technique dapat menurunkan nyeri pada Piriformis Syndrome di Klinik

“P” Denpasar.

c. Untuk membuktikan Ultra Sound dan Muscle Energy Technique lebih

baik dalam menurunkan nyeri pada Piriformis Syndrome daripada

intervensi Ultra Sound dan Myofascial Release Technique di Klinik “P”

Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

dan sebagai bahan acuan untuk referensi penelitian selanjutnya yang akan

membahas hal yang sama secara lengkap.

1.4.2 Praktisi

Membantu para Fisioterapis dalam menangani pasien Piriformis

Syndrome sehingga mempercepat proses penyembuhan pasien sehingga

dapat beraktivitas kembali.

Anda mungkin juga menyukai