Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri miofasial merupakan bentuk spesifik dari rematik jaringan lunak yang
disebabkan oleh fokus iritabel (trigger point) dalam otot-otot skeletal dan ligamentum terkait.
Fenomena trigger point dilaporkan pertama kali oleh travel dan kawan-kawan pada tahun 1942
dan penyebab umum untuk nyeri leher dan nyeri punggung.1
Menurut Shah dan kawan-kawan (2008) melaporkan bahwa nyeri miofasial atau
Myofascial Trigger Point Syndrom (MTPS) terjadi pada lebih 95 % kasus nyeri kronik. Friction
dan kawan-kawan (1985) melaporkan bahwa 54,6 % pasien dengan nyeri kepala dan nyeri
leher adalah nyeri miofasial.2
Nyeri miofasial menimbulkan manifestasi nyeri kronik sehingga menimbulkan
disabilitas pada penderita, kehilangan waktu kerja dan biaya pengobatan yang tinggi. Gejala
klinis nyeri miofasial yang kompleks, etiologi dan mekanisme yang belum diketahui dengan
jelas menyebabkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis dan penanganannya. Penanganan
yang tidak tepat dapat memperberat gejala klinis penderita.3
Pasien-pasien dengan nyeri miofasial mengalami nyeri kronik dengan gambaran klinik
yang kompleks. Tatalaksana yang diberikan untuk penanganan nyeri miofasial bertujuan untuk
mengobati etiologi yang mendasari yang penyebab aktivasi MTP, mengeliminasi faktor-faktor
pencetus dan melakukan deaktivasi trigger point. Tatalaksana untuk nyeri miofasial harus
komprehensif meliputi modalitas, manual terapi, needling dan pemberian medikamentosa,
edukasi pasien. Pemberian terapi kombinasi memberikan hasil lebih secara klinik dibanding
pemberian terapi tunggal.6,9
Salah satu modalitas yaitu ultrasond dipertimbangkan sebagai enhancer karena sifat -
sifatnya yang mampu menghantarkan obat melalui kulit. Phonophoresis merupakan suatu
teknik di mana ultrasound digunakan untuk meningkatkan penghantaran obat-obat tertentu ke
dalam jaringan tubuh.21
Keuntungan terbesar phonophoresis adalah bahwa obat dapat dihantarkan melalui
teknik yang aman, bebas nyeri dan noninvasif, seperti halnya iontophoresis yang menggunakan
energi elektrik untuk menghantarkan obat. Diperkirakan bahwa transpor aktif terjadi sebagai
hasil dari mekanisme termal dan non termal yang bersama-sama meningkatkan permeabilitas
stratum korneum, meskipun menggunakan parameter termal tampaknya paling bermanfaat.22

1
Karena menggunakan ultrasound sebagai enhancer, berbagai sifat-sifat ultrasound
harus diperhatikan dalam pengaplikasian ultrasound, demikian juga indikasi dan kontra
indikasi pengaplikasian ultrasound.21

2
BAB II

NYERI MIOFASIAL

2.1. DEFINISI
Nyeri miofasial adalah nyeri yang bersumber dari suatu titik picu (trigger point) pada
suatu otot skelet, fascia, tendon, ligamen, periosteum dan area perikapsular. Trigger point (TP)
pada otot biasanya melibatkan fascia dan dikenal dengan istilah Myofascial Trigger Point
(MTP). Gejala-gejala dan disfungsi yang ditimbulkan bisa disebabkan oleh satu atau lebih
Myofascial Trigger Point, sehingga dikenal sebagai Myofascial Trigger Point Syndrome
(MTPS).4
Miofascial Trigger point (MTP) yang aktif pada suatu otot akan menimbulkan nyeri
setempat pada otot tersebut dan juga diproyeksikan ke tempat lain (reffered pain) yang spesifik
untuk masing-masing trigger point dari miofascial tersebut, umumnya ke arah distal dan
adapula ke arah proksimal. Nyeri proyeksi (reffered pain) yang timbul tidak mengikuti pola
persyarafan baik yang berdasarkan dermatomal maupun miotomal. MTP yang aktif sangat
nyeri dengan penekanan pada taut band/ palpable band (fibrositic nodule) di serat otot skelet
dan menimbulkan Local Twitch Respon (LTR) yang merupakan kontraksi yang cepat dari serat
otot skelet yang berada pada taut band. Pada kondisi yang berat, MTP yang aktif dapat
menimbulkan fenomena otonom.2,3,4
MTP aktif merupakan sebuah titik picu aktif yang menyebabkan nyeri spontan saat
istirahat, dengan terjadi peningkatan nyeri saat kontraksi. MTP laten adalah area fokal nyeri
dan tegang pada otot yang tidak menghasilkan nyeri spontan. MTP laten dapat diidentifikasi
pada otot skelet manusia dewasa pada umumnya tetapi tidak ditemukan pada bayi yang baru
lahir atau bayi yang berumur kurang dari satu tahun.4,5
Pasien dengan nyeri miofasial bisa mempunyai banyak MTP aktif. Sindroma ini
dimulai dengan pasien yang awalnya mempunyai satu MTP aktif pada otot yang terkena
sebagai hasil dari adanya lesi pada jaringan lunak. Bila tidak diobati dengan tepat atau bila lesi
patologi yang mendasarinya tidak dihilangkan, maka area nyeri akan meluas ke area lain dan
berkembang menjadi MTP aktif tambahan, oleh karena itu dikenal istilah MTP primer dan
MTP sekunder. Inaktivasi MTP primer selanjutnya dapat menghilangkan MTP sekunder.6

3
2.2. PREVALENSI
Sekitar 44 juta penduduk Amerika mengalami masalah nyeri miofasial. Menurut
laporan dari sebuah klinik spesialis nyeri kepala dan leher menyatakan penyebab miofasial
terdapat pada 55 kasus nyeri kepala dan nyeri leher. Suatu penelitian dari bagian penyakit
dalam di Amerika menemukan 30 % pasien-pasien dengan keluhan nyeri terdapat myofascial
trigger point. Pusat penangan nyeri di Amerika menemukan bahwa nyeri miofasial merupakan
95 % kasus nyeri pada pasien-pasien yang dirawat.1,7

2.3. ETIOLOGI
Etiologi Myofascial Trigger Point masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa
penulis menyebutkan terdapat faktor-faktor pencetus atau stimulus baik langsung maupun tidak
langsung (perpetuating factor). Stimulus langsung antara lain trauma langsung pada struktur
miofasial, stress emosional, aktifitas fisik yang berlebihan, akut overload dari otot, pergerakan
repetitif yang berlangsung lama (repetitif microtrauma) atau kontraksi otot yang dipertahankan
dalam waktu lama selama bekerja (overload fatique), lingkungan terlalu dingin atau terlalu
panas dan polusi. Stimulus tidak langsung antara lain trigger point primer, alergi, gangguan
metabolisme dan endokrin (hipotiroid, defisiensi estrogen), lesi neuromuskuloskeletal (strain,
sprain, bursitis, arthritis), penyakit visera, radikulopati, immobilisasi lama, infeksi kronis,
defisiensi vitamin (vitamin C dan B kompleks), asupan mineral yang tidak adekuat
(hipokalemia dan hipokalsemia), psikologis (kecemasan), stress mekanik (long leg
discrepancy, skoliosis, postur tubuh yang salah).2,4,5,6,7

2.4. PATHOGENESIS
Mekanisme terjadi nyeri miofasial yang masih belum dapat dijelaskan dengan
memuaskan. Beberapa peneliti mengajukan hipotesis mengenai Myofascial Trigger Point.
Simon dan Travell (1991) mengajukan postulat dimana terdapat tiga ciri pada MTPS yaitu
pelepasan asetilkolin, pemendekan sarkomer dan pelepasan sensitizing substance. Peningkatan
pelepasan asetilkolin pada neuromuskular junction (motor end plate) menimbulkan
peningkatan ketegangan pada serabut-serabut otot (taut band). Keadaan ini akan menimbulkan
krisis energi dimana terjadi peningkatan metabolisme dan iskemia lokal disertai hipoksia
sehingga menginduksi pelepasan sensitizing substance yang menimbulkan nyeri. Kemudian
adanya sensitizing substance akan menimbulkan pelepasan asetilkolin abnormal sehingga
terjadilah siklus lingkaran setan (vicious cycle).6

4
Pelepasan asetilkolin yang abnormal awalnya terjadi karena dicetuskan oleh sensitisasi
nosiseptor (sensitisasi perifer) atau reaksi inflamasi awalnya menyebabkan pelepasan substansi
inflamasi dan substansi nyeri dan kemudian akan merangsang pelepasan asetilkolin yang
abnormal (‘pertanyaan ayam – telur’). Faktanya, penemuan Shah mendukung teori diatas
karena reaksi inflamasi dapat terjadi sekunder terhadap reaksi iskemia. Sensitisasi nosiseptor
dapat menyebabkan nyeri spontan. Sensitisasi sentral juga dapat menyebabkan nyeri spontan
tanpa stimulasi nosiseptor. Sensitisasi sentral merupakan penyebab aktifnya MTPS pada area
lesi yang jauh (remote lesion). Nosiseptor pada daerah MTPS berhubungan ke sekelompok sel
pada kornu dorsal (syaraf sensorik) pada medula spinalis. Hubungan inilah yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya sensitisasi sentral dan untuk penyampaian informasi nyeri ke otak.
Jaringan syaraf yang terhubung antara MTPS dengan syaraf sensorik disebut MTPS sirkuit.
Hubungan ini juga mengirimkan percabangan syarafnya untuk berhubungan dengan kelompok
neuron lainnya pada kornu dorsal sesuai dengan MTPS di tempat lain. Hubungan ini bersifat
silent (ineffetive synaptic connection) pada kondisi normal. Bila ada stimulasi yang cukup kuat
diberikan pada nosiseptor yang terdapat pada MTPS, maka impuls yang kuat ini akan
dikirimkan ke syaraf sensorik yang ada di kornu dorsal medula spinalis dan juga menyebarkan
ke syaraf sensorik yang sesuai dari MTPS di tempat lain untuk menyebabkan terjadinya
referred pain, dan kemudian menyebar ke motor neuron yang sesuai pada kornu anterior untuk
mendapatkan LTR melalui medula spinalis. Sirkuit MTPS inilah yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya nyeri alih (referred pain), LTR, disfungsi motorik dan fenomena otonom
seperti pada gambar 1,2 dan 3.6

5
Gambar 1. Hubungan “ sirkuit MTPS “ pada medulla spinalis.6

Peningkatan asetilkolin abnormal akan memicu reaksi inflamasi, selanjutnya terjadi pelepasan
substansi inflamasi dan nyeri, dan menginduksi asetilkolin abnormal.6,7

Gambar 2. Hipotesis Simon’s mengenai MTPS.6

6
Gambar 3. Kebocoran Asetilkolin yang berlebihan menyebabkan krisis energi dan
Pembentukan taut band.6

Menurut Hong et al, mengajukan teori tentang pathogenesis trigger point yang
menyebabkan nyeri miofasial seperti yang terlihat pada gambar 4.6

Gambar 4. Proposal pathogenesis dari MTPS.6,18

7
The local twitch response (LTR) yang digambarkan sebagai respon yang khas dari
myofascial trigger points. LTR merupakan suatu kontraksi yang cepat dari serat otot pada taut
band dan di sekitar taut band yang didapatkan melalui snapping palpation atau insersi yang
cepat dari jarum ke dalam myofascial trigger points. Sisi sensitif dimana LTR ditemukan
diistilahkan dengan lokus sensitif. Dalam studi histologi akhir-akhir ini, lokus sensitif
berhubungan dengan reseptor sensorik.18
Dalam studi Hubbard dan Berkoff, aktivitas listrik spontan ditunjukkan pada sisi
dimana regio trigger point berlokasi, sedangkan aktivitas yang sama tidak ditemukan pada sisi
yang tidak nyeri (nontender site). Sisi dimana aktivitas listrik spontan tercatat diistilahkan
dengan lokus aktif. Untuk mendapatkan dan mencatat aktivitas listrik spontan, digunakan
pencatatan dengan sensitifitas yang tinggi dan teknik insersi yang gentle kedalam trigger point.
Bentuk gelombang dari aktifitas listrik spontan berhubungan erat dengan motor endplate noise
yang telah dilaporkan sebelumnya. Dengan demikian, aktivitas listrik spontan merupakan salah
satu jenis dari potensial endplate dan lokus aktif mungkin berhubungan erat dengan motor
endplate.18
Telah dihipotesakan bahwa lokus myofascial trigger point dibentuk saat lokus sensitif,
nosiseptor, lokus aktif dan motor endplates bergabung. Sangat mungkin bahwa lokus sensitif
didistribusikan secara luas pada keseluruhan otot, namun terkonsentrasi pada regio trigger
point. Ini menjelaskan temuan didapatkannya referred pain saat jaringan otot normal dijarum
atau diberikan tekanan tinggi.18

Struktur trigger point dapat timbul pada satu atau beberapa bagian dari otot, diameter
berkisar antara beberapa milimeter (1/6 – 1/8 inch), kadang-kadang 5 sampai 6 TP bergerombol
sehingga memberikan kesan zona TP sekitar 1/8 inch (1 cm) atau lebih. Saat menusuk TP
dengan jarum akan terasa liat seperti menusuk karet keras atau seperti menembus struktur lunak
berkapsul.5,6

8
Gambar 5. Ilustrasi trigger point complex tampak pada potongan longitudinal otot.4

2.5. GAMBARAN KLINIS


Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai gejala sensorik, motorik, dan gejala
otonom yang ditimbulkan oleh myofascial trigger points. Gangguan sensorik yang ditimbulkan
seperti disestesi, hiperalgesia, dan nyeri alih (reffered pain). Manifestasi otonom berupa
Coryza, lakrimasi, salivasi, perubahan dalam suhu kulit, berkeringat, piloereksi, gangguan
proprioseptik, dan eritema pada kulit di atasnya.18
Travell and Simons mendefinisikan myofascial trigger points sebagai hyperirritable
spot, biasanya berada pada taut band dalam otot lurik atau pada fascia otot yang sangat nyeri
pada penekanan (kompresi) dan dapat memberikan gambaran referred pain, disfungsi motorik
dan fenomena autonom. Saat trigger point ditekan, nyeri akan timbul dan menghasilkan efek
pada suatu target, referral zone.19 Gambaran reffered pain inilah yang membedakan myofascial
pain syndrome dari fibromialgia. Referred pain ini jarang yang bersamaan dengan distribusi
dermatom atau distrubusi syaraf, namun mengikuti suatu pola tertentu (consistent pattern).20
Gambaran klinis pada nyeri miofasial adalah terdapat nyeri rujukan yang khas, relatif
konstan dan dapat diprediksi. Titik ini mudah teriritasi, terletak pada area taut band / palpable
band dari serabut otot, dimana otot tersebut memendek dan lemah. TP memberi respon
terhadap perubahan tekanan yang cepat, berupa gejala patognomonik yaitu local twitch respon
(LTR). Beratnya gejala mulai dari keterbatasan luas gerak sendi sampai nyeri yang hebat. Sifat
nyeri tumpul atau nyeri dalam dengan variasi intensitas nyeri, timbul waktu istirahat atau
dengan pergerakan. TP jarang simetris dan nyeri tidak mengikuti pola segmental persyarafan.

9
Terdapat fenomena lain disamping nyeri yaitu gejala otonom (vasokonstriksi, berkeringat,
lakrimasi).2,6
TP yang aktif umumnya di jumpai pada otot-otot postural seperti muskulus
sternokleidomastoideus, splenius, temporalis, masseter, upper trapezius, levator skapula dan
posterior cervikal, quadratus lumborum, illiopsoas dan quadrisep. MTP juga menyebabkan
kekakuan sendi dan kelemahan otot yang disebabkan inhibisi sentral untuk memproteksi otot
terhadap nyeri akibat kontraksi.5

Gambar 6. Nyeri myofascial (X) dan pola rujukan nyeri myofascial (hitam dan titik-titik)4

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis dari myofascial pain paling baik dibuat melalui riwayat nyeri yang dianalisis
secara hati-hati yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik yang konsistent.
Diagnosis myofascial pain syndrome, yang didefinisikan oleh Simon dan teman-teman
berdasarkan pada 8 tanda klinis ( Kotak 1).18

10
Identifikasi distribusi nyeri merupakan salah satu element yang paling penting dalam
identifikasi dan pengobatan myofascial pain. Dokter sebaiknya meminta pasien untuk
mengidentifikasi area yang paling nyeri dengan menggunakan satu nyeri. Selain itu terdapat
pola referred pain yang khas dan konsisten pada palpasi pada trigger point. Nyeri dapat
diproyeksikan pada pola referral perifer, pola referral sentral, atau pola nyeri lokal (gambar 7).
Bila area yang hiperintens diidentifikasi, maka area referred pain nya seharusnya
teridentifikasi.18

Gambar 7. Trigger points dan zona referralnya18

Taut band (palpable band) merupakan pertimbangan yang penting dalam identifikasi
trigger point. Tiga metoda yang diidentifikasi untuk palpasi trigger point adalah flat palpation,
pincer palpation dan deep palpation. Flat palpation dilakukan dengan cara menggeser ujung
jari disepanjang serat otot pada kelompok otot yang terkena. Kulit di dorong ke satu sisi, dan
jari lainnya menyeret disepanjang serat otot. Proses ini diulangi dengan kulit didorong ke sisi

11
lainnya. Taut band dirasakan berjalan di bawah jari dokter. Snapping palpation seperti
“memainkan biola” yang digunakan untuk identifikasi trigger point yang spesifik. Pincer
palpation merupakan sebuah metoda yang meliputi memegang (grasping) otot dengan kuat
diantara ibu jari dan jari telunjuk. Serat otot dipencet diantara jari dengan pola menggulung
(rolling) sambil mencoba untuk melokalisasi taut band. Deep palpation digunakan untuk
menemukan trigger point yang tidak jelas melalui jaringan superficial. Ujung jari ditempatkan
diatas otot di area dimana dicurigai trigger point berlokasi. Saat gejala pasien dihasilkan
melalui penekanan pada salah satu arah tertentu, trigger point mungkin diduga berlokasi
disana.18
Beberapa alat telah berkembang untuk membantu dalam melokalisasi myofascial
trigger point. Fisher mengembangkan sebuah taksiran pengukuran ambang penekanan untuk
membantu dan menentukan lokasi myofascial trigger point. Sebuah alat yang dipertahankan
dengan tangan (hand held) dikalibrasi dalam kg/cm2. Tekanan ditingkatkan secara bertahap dan
bahkan sampai pasien melaporkan rasa tidak nyaman. Pengukuran tekanan kemudian dicatat.
Pengukuran tekanan kontralateral dilakukan untuk menentukan sensitifitas relatif dari poin
dalam pertanyaan; adanya perbedaan 2 kg/cm2 dipertimbangkan suatu pembacaan yang
abnormal. Elektron iogram (EMG) juga membantu dalam mendiagnosis trigger point. Saat
lokus aktif dimasukkan, peak amplitudo sering berskala “off” pada monitor EMG. Meskipun
metoda ini memperlihatkan manfaat secara keilmuan, namun hasil klinis yang signifikan belum
dapat ditemukan.18
Untuk menegakkan diagnosis MTPS memerlukan pemeriksaan yang teliti meliputi
sebagai berikut: 3,5
1. Anamnesa: karakteristik nyeri yang dialami, riwayat aktivitas, pekerjaan dan
kebiasaan/AKS, termasuk emosi penderita, riwayat alergi, hormonal, infeksi dan faktor
pencetus lainnya.
2. Pemeriksaan fisik rutin: pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal (pola jalan,
postur, asimetri tubuh, keterbatasan luas gerak sendi, kelemahan otot).
3. Pemeriksaan khusus TP : pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui pola rujukan TP,
dengan melakukan inspeksi dan palpasi pada bagian tubuh yang dirasakan paling nyeri,
dengan penekanan pada bagian superfisial dan bagian dalam dari jaringan otot dengan
kekuatan penekanan sekitar 3 lbs untuk mendapatkan TP pada taut band, LTR, dapat
menyebabkan pasien melompat atau menjerit (Jump sign) karena nyeri.

12
 Pemeriksaan pada TP dilakukan dengan palpasi menggunakan ujung jari tangan
untuk menemukan TP yang peka dengan diameter 3-5 mm. Saat TP teridentifikasi
sensitifitasnya dibandingkan dengan otot kontralateral pada segmen yang sama.
 Pemeriksaan taut band dilakukan pada posisi otot terulur, sehingga dapat dengan
mudah ditemukan dengan cara meraba tegak lurus terhadap arah serat otot tersebut.
Teknik yang digunakan teknik flat palpation pada otot dengan serat otot satu arah
seperti otot supraspinatus (Gambar 8).

Gambar 8. Gambaran skematik potongan melintang dari teknik palpasi datar

pada trigger point. Cincin berwarna gelap menunjukkan sebuah

taut band dan lingkaran di dalamnya adalah trigger point.

A. Kulit dirdorong ke satu sisi untuk memulai palpasi.


B. Ujung jari digeser melintang terhadap serabut otot untuk merasakan taut band
di bawahnya.
C. Kulit didorong ke sisi yang lain untuk menyelesaikan palpasi “snapping”

 Pemeriksaan LTR (local twitch response), dengan cara merubah tekanan dengan
cepat (transverse snapping palpation) atau insersi jarum pada TP, akan tampak
kontraksi transien kurang dari 1 detik.

Gambar 9. Pemeriksaan Taut band dan local twich response

A. Garis 2 lurus menunjukkan taut band yang menyerupai benang pada otot
normal yang relaks (garis-garis bergelombang). Densitas titik-titik pada taut
band berhubungan dengan derajat tenderness pada palpasi. Daerah yang
paling tender (cincin berwarna gelap) adalah trigger point.

13
B. Menekan sambil menggeser taut band di bawah ujung jari pada trigger point
(snapping palpation) seringkali menimbulkan “local twitch response”
dengan pemendekan band pada otot.

 Pemeriksaan adanya nyeri rujukan dengan cara memberikan tekanan yang terus-
menerus pada TP atau insersi jarum pada TP yang menimbulkan nyeri rujukan dalam
5-10 detik.
4. Pemeriksaan penunjang
 Tidak ada pemeriksaan laboratorium rutin yang diperlukan, karena tidak
menunjukkan abnormalitas.
 Electromyography pada area TP dengan taut band menunjukkan motor end plate like
potential dengan frekuensi tinggi dan spike./

Untuk membuat diagnosis klinis nyeri miofasial yang disebabkan active TP tanda dan
gejala harus meliputi lima kriteria mayor dan setidaknya satu dari tiga kriteria minor (
Simon’s criteria) yaitu : 5,6
Kriteria mayor :
1. Keluhan nyeri regional.
2. Keluhan nyeri atau perubahan sensasi pada daerah yang diharapkan sebagai daerah
referred pain yang berasal dari suatu myofascial trigger point.
3. Terabanya taut band pada otot yang sakit.
4. Adanya nyeri hebat pada suatu titik yang terletak di sepanjang taut band.
5. Keterbatasan lingkup gerak sendi.
Kriteria minor :
1. Timbulnya keluhan nyeri atau perubahan sensasi dengan penekanan pada tender spot.
2. Timbulnya respon twitch lokal dengan palpasi secara cepat dan tiba-tiba secara
transversal pada tenderspot atau dengan penusukan dengan jarum pada tender spot di
taut band.
3. Nyeri berkurang dengan peregangan (stretching) otot atau dengan injeksi pada tender
spot (trigger point).

2.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Miofascial Trigger Point Syndrome (MTPS) adalah
fibromialgia, polimiositis, polimialgia reumatika, somatization disorder, poor sleep, reumatik

14
psikogenik, migraen dan tension headache, shoulder impingement, sprain dan strain, bursitis
dan tendinitis, radikulopati, complex regional pain syndrome.8

Diagnosis Banding Myofascial Pain syndrome Fibromyalgia Syndrome


Nyeri Asimetri, tidak ada pola Simetri
Gender Laki = perempuan Perempuan lebih banyak
Distribusi nyeri Satu regio tapi tidak banyak Banyak
Mode ofonset Muscle strain, overuse Menyebar, simetris
Respon treatment Hilang dengan needling, Tidak diketahui
anestesi lokal, tehnik manual Anestesi lokal tidak
mengurangi keluhan

15
BAB III
REHABILITASI MEDIK PADA NYERI MIOFASIAL

Pasien-pasien dengan nyeri miofasial mengalami nyeri kronik dengan gambaran klinik
yang kompleks. Tatalaksana yang diberikan untuk penanganan nyeri miofasial bertujuan untuk
mengobati etiologi yang mendasari yang penyebab aktivasi MTP, mengeliminasi faktor-faktor
pencetus dan melakukan deaktivasi trigger point. Tatalaksana untuk nyeri miofasial harus
komprehensif meliputi modalitas, manual terapi, needling dan pemberian medikamentosa,
edukasi pasien. Pemberian terapi kombinasi memberikan hasil lebih secara klinik dibanding
pemberian terapi tunggal.6,9

3.1. MODALITAS
 Terapi panas
Terapi panas dapat diberikan untuk mengobati nyeri miofasial. Ultrasound merupakan
salah satu jenis terapi panas yang menggunakan getaran akuistik Gelombang suara yang
terjadi frekuensinya > 17.000-20.000Hz, sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia.
Sebuah generator menghasilkan arus bolak balik frekuensi tinggi sekitar 0,8-1 MHz dan
3 MHz yang dikonversikan oleh sebuah tranduser menjadi vibrasi mekanik. Ultrasound
efektif untuk mengatasi nyeri serta meningkatkan ambang nyeri. Mekanisme terapi
panas ultrasound dalam menghilangkan nyeri dengan menimbulkan efek vasodilatasi
sehingga memperbaiki sirkulasi darah lokal, menurunkan spasme otot pada taut band
dan efek stimulasi mekanik gelombang suara.6,9. Menurut Majlesi dan Ulnan (2004),
terapi ultrasound dengan teknik static high power pain threshold lebih efektif mengatasi
nyeri miofasial dibanding dengan teknik stroking. Pada teknik static high power pain
threshold ultrasound diberikan dengan mode kontinyu, probe diletakkan langsung pada
TP dan tanpa digerakkan/statis, intensitas ultrasound dinaikan ke level maksimal (1,5
W/cm2) dan dipertahankan selama 4-5 detik. Kemudian diturunkan ke level setengah
intensitas awal, dipertahankan selama 15 detik. Prosedur ini diulang selama 3 kali.10

16
Gambar 11. Terapi ultrasound teknik static high power threshold pada pasien MTP10

 Elektroterapi
Elektroterapi merupakan suatu metode terapi yang menggunakan arus listrik.
Pemberikan electrical stimulation untuk saraf seperti TENS dengan arus intensitas
rendah untuk mengatasi rasa nyeri melalui gate control mechanism dan arus intensitas
tinggi untuk mengatasi rasa nyeri melalui hyperstimulasi analgesia. Elektroterapi lain
yang dapat dipakai untuk mengatasi nyeri myofascial trigger point yaitu interferensial
current therapy yang bekerja pada otot. Mekanisme terapi interferensial current
memberikan efek massage (pemijatan) pada otot sehingga membebaskan otot yang
tegang pada taut band.6,9

Gambar 12. Elektroterapi pada pasien MTP6,9

17
 Low energy laser
Laser adalah akronim dari light amplification by stimulated emission of radiation.
Pemberian terapi laser untuk nyeri miofasial menggunakan low energy laser kurang
dari 90 mW. Suatu penelitian melaporkan terapi low energy laser pada nyeri miofasial
dengan dosis 58 mW/cm2, durasi 2 menit selama 3 minggu memberikan hasil perbaikan
bermakna. Low energy laser ditujukan pada trigger point. Efek low energy laser
mengurangi rasa nyeri. Mekanisme laser therapy terhadap myofascial trigger pain
dengan menginaktivasi trigger point, dimana laser akan mengaktivasi reseptor
somatosensoris dan menurunkan persepsi nyeri lokal, selanjutnya menyebabkan
relaksasi pada taut band. 9,11,12

Gambar 13. Terapi low energy laser pada pasien MTP9,11,12

3.2. TERAPI MANUAL


 Stretch dan spray
Stretch merupakan komponen penting dalam terapi, sedangkan spray untuk
memfasilitasi stretch. Stretch dan spray menginaktivasi trigger point dengan cara
menghilangkan ketegangan otot dan menghilangkan fokus yang sensitif dan nyeri
rujukan. Spray menfasilitasi stretching sehingga meningkatkan lingkup gerak sendi
penuh dengan cara inhibisi nyeri dan stretch refleks melalui aferen kulit. Teknik stretch
dan spray merupakan teknik yang mudah, relatif tidak nyeri. Teknik ini dapat dilakukan
jika injeksi atau insersi jarum merupakan kontraindikasi. Spray menggunakan ethyl
chloride atau fluorimethane.

18
Travell dan Simon menggunakan fluorimethane yang disemprotkan sampai
kulit menjadi dingin tapi tanpa berembun, tunggu sampai kulit hangat sebelum
mengulangi aplikasi. Gunakan pola sapuan satu arah (1-2 sapuan) sesuai denagn arah
serat otot dengan kecepatan ringan rata-rata 10 cm (4inci) per detik dari sudut 30o dan
jarak 45 cm (18 inci) di atas keseluruhan otot termasuk area referred pain. Saat
menyemprot, otot diregangkan secara pasif (kira-kira 30 detik secara pelan) dilakukan
oleh pasien atau tangan klinisi yang bebas secara gentle, halus dan tegangan yang tetap.
Kemudian hangatkan kulit dengan menggunakan sebuah kantong hangat (hot moist
pack) selama beberapa menit diikuti oleh gerakan pasien secara perlahan, aktif, latihan
full ROM dengan cara memanjangkan dan memendekkan kelompok otot yang sedang
diterapi, seperti yang ditunjukkan pada gambar 12.6
Spray and stretch terapi bertujuan untuk mencapai relaksasi dari otot yang
spasme atau area trigger point melalui efek dingin dari vapocoolant yang secara tidak
langsung menghambat nyeri dan reflex regang spinal, yang secara reflektif merelaksasi
otot dan memudahkan dilakukannya terapi peregangan.
Indikasi
 Spasme otot
 Tender spot area
 Myofascial trigger point syndrome (MTPS)
 Fibromyalgia
Kontra Indikasi
 Penderita dalam keadaan tidak sadar
 Adanya luka dikulit/ infeksi
 Adanya oedema
 Dugaan fraktur, dislokasi sendi
Efek Samping / Komplikasi
Dapat terjadi patah tulang
Dapat terjadi dislokasi sendi
Bahan dan Alat
Vapocoolant spray yang digunakan :
o Aethylchlorida
o Fluorimethan
Fluorimethan lebih aman karena tidak mudah terbakar, tidak mudah meledak
dan secara kimia stabil, tidak beracun dan tidak mengiritasi kulit

19
Prosedur Tindakan
1. Persiapan peralatan
2. Persiapan pasien
 Menjelaskan kepada pasien tujuan tindakan
 Menjelaskan tahapan tindakan
 Menjelaskan efek samping dan komplikasi dari tindakan
 Pasien tidak boleh merasa terlalu dingin, bagian yang tidak diterapi
diselimuti atau sebelumnya diberi kompres panas
 Pastikan pasien tidak dalam keadaan lapar atau hipoglikemi
 Periksa adakah keterbatasan gerak dan aktivitas yang terganggu
3. Pelaksanaan tindakan
Pasien diposisikan pada posisi nyaman dan relaks
Penentuan otot-otot yang spasme atau otot dimana terdapat trigger points
yang aktif dan otot nyeri rujukan
Fiksasi salah satu ujung otot sehingga tekanan dapat dilakukan pada ujung
otot yang lain, agar dapat diregang secara pasif
Lindungi area mata bila menyemprot di daerah wajah
Pegang vapocoolant spray setinggi 45 cm dari kulit, arahkan semprotan
dengan membentuk sudut tajam 300 dengan permukaan kulit.
Vapocoolant spray disemprotkan parallel satu arah dengan serabut otot,
dengan kecepatan semprotan sekitar 10 cm per detik. Bersamaan dengan
menyemprot vapocoolant lakukan peregangan secara pasif selama 30 detik
perlahan-lahan dengan tekanan tetap. Semprotan harus diberikan dimulai
dari tempat perlekatan otot diatas trigger points dan melewati reference
zone.
Kemudian hangatkan kulit dengan hot moist pack untuk beberapa menit,
diikuti oleh latihan peregangan sendi secara aktif dan perlahan-lahan oleh
pasien sampai mencapai lingkup gerak sendi penuh. Peregangan otot
sebaiknya dilakukan bersamaan dengan ekspirasi pernafasan.
Proses ini dapat diulang sampai 5 kali.
Bila kulit sudah kembali hangat, prosedur spray and stretch dapat kembali
diulang.
4. Mendokumentasikan hasil tindakan

20
Penilaian
Berkurangnya nyeri, dan spasme otot
Hilangnya nodul dan taut band area trigger

 Deep Pressure Massage


Massage merupakan stimulasi mekanik sistematik pada soft tissue ditubuh secara ritmik
dengan aplikasi penekanan dan peregangan yang bertujuan therapeutik. Massage
diberikan pada daerah myofascial trigger point berupa deep pressure soft tissue massage
Deep pressure massage diaplikasikan dengan pemberian pemijatan/ penekanan dalam,
arah tegak lurus pada trigger point. Mekanisme massage terhadap trigger point aktif
akan menimbulkan efek peregangan pada taut band, kemudian akan memperbaiki
sirkulasi darah setempat dan efek relaksasi serta sedatif. Waktu terapi tergantung dari
ukuran area yang diterapi. Menurut Hong et al (1996) melaporkan pemberian deep
pressure massage terapi efektif untuk menghilangkan nyeri pada myofascial trigger
point dibandingkan penggunaan hot packs, ultrasound.6,9

Gambar 20. Teknik Deep Pressure Massage6,9


 Teknik kontraksi-relaksasi
Teknik ini merupakan kombinasi dari teknik kontraksi dan relaksasi. Penggunaannya
sesuai dengan metode yang dikembangkan Lewit et al. Metode ini diberikan dengan
cara: pasien berbaring relaks ditempat tidur, terapist memerintahkan pasien untuk
melakukan minimal kontraksi isometrik (10-25%) selama 5 detik diikuti dengan
menarik nafas dan terapist menstabilkan otot yang mengalami peregangan. Kemudian
pasien kembali relaksasi dan mengeluarkan nafas, diikuti pasien melakukan peregangan
secara pasif yang dibantu therapist. Teknik ini diulang 3-5 kali.

21
Pemberian teknik kontraksi-relaksasi ini efektif untuk meregangkan taut band dan
menghilangkan nyeri, disertai dengan kombinasi kontraksi diikuti relaksasi otot.
Serabut-serabut otot yang tegang dapat dengan mudah diregangkan setelah kontraksi
isometrik.6,9

Gambar 21. Teknik kontraksi relaksasi6,9

22
BAB IV

ULTRASOUND DIATHERMY

4.1. DEFINISI
Ultrasound adalah jenis suara, dan segala bentuk suara yang terdiri dari gelombang
yang memancarkan energi dengan bergantian mengompresi dan menjernihkan materi yang
dilewatinya. Gelombang ultrasound adalah gelombang suara yang berada di atas ambang batas
dengar dengan frekuensi lebih dari 20.000 siklus per detik (hertz [Hz]) (> 20 kHz). Sedangkan
ultrasound diatermi merupakan salah satu modalitas pemanasan dalam di mana energi listrik
dikonversi menjadi gelombang suara ultrasonik (dengan frekuensi tinggi, yaitu 0.8-1 Mhz),
yang disebarkan menyeluruh, dan diserap oleh jaringan, lalu dikonversi menjadi panas.22, 23

4.2. SEJARAH PERKEMBANGAN ULTRASOUND


Metode untuk menghasilkan dan mendeteksi ultrasound pertama kali tersedia di
Amerika Serikat pada abad ke-19. Namun demikian, penggunaan ultrasound berskala besar
pertama kali adalah sebagai alat navigasi yang dikenal dengan sound navigation and ranging
(SONAR) pada Perang Dunia II. Peralatan SONAR awal menggunakan ultrasound berintensitas
tinggi untuk memudahkan pendeteksian, namun, kemudian diketahui bahwa alat ini
menghasilkan panas sehingga dapat merusak daerah yang terpapar.23
Ultrasound telah diketahui dapat memanaskan jaringan dengan kandungan kolagen
tinggi, seperti tendon, ligamen dan fascia sehingga selama lebih dari 50 tahun telah digunakan
secara klinis. Kemudian juga diketahui bahwa ultrasound juga memiliki efek non termal, dan
selama lebih dari 20 tahun aplikasi klinis dari efek-efek ini telah berkembang.23

4.3. PRINSIP ULTRASOUND


Ultrasound dihasilkan dengan memberikan arus listrik bolak-balik berfrekuensi tinggi
kepada kristal-kristal di dalam transducer dari suatu unit ultrasound. Kristal ini terbuat dari
suatu bahan dengan sifat piezoelectric, menyebabkannya merespon terhadap arus listrik bolak-
balik dengan mengembang dan berkontraksi pada frekuensi yang sama di mana arus mengubah
polaritas. Saat kristal mengembang, ia akan mengkompresi materi di hadapan nya, dan saat
berkontraksi, kristal akan menjernihkan (rarefy) materi di hadapannya. Kompresi-penjernihan
(compression–rarefaction) bergantian inilah gelombang ultrasound.23

23
Gambar 22. Gelombang compression-rarefraction ultrasound

Sifat piezoelectric, atau kemampuan untuk menghasilkan listrik sebagai respon


terhadap gaya mekanik atau untuk berubah bentuk sebagai respon terhadap suatu arus listrik,
pertama kali ditemukan oleh Paul-Jacques dan Pierre Currie pada tahun 1880. Berbagai bahan
merupakan piezoelectric, seperti tulang, kuarsa alam, plumbium zirconium titanate (PZT)
sintetis dan barium titanate. Saat ini, transducer ultrasound biasanya terbuat dari PZT karena
lebih murah dan merupakan bahan piezoelectric paling efisien yang tersedia.22, 23
Sifat–sifat ultrasound dijelaskan oleh amplitudo dan frekuensi dari gelombang yang
memanjang. Mirip dengan suara yang terdengar, gelombang ultrasound mengalami refleksi,
refraksi, atau absorpsi ketika menemui media lain dengan sifat berbeda. Jika sifat dari media
yang ditemui berbeda dengan sifat-sifat media yang ditransmisikan, energi akustik dari
pancaran ultrasound yang ditransmisikan dilemahkan. Atenuasi ultrasound dalam jaringan
membatasi kedalaman penetrasinya. Prinsip ini akan berlaku baik untuk ultrasound yang
diberikan dengan gel konduktif saja atau untuk ultrasound dengan gel yang mengandung agen
obat aktif. Biasanya, menggunakan gel konduktif, yang larut dalam air, ultrasound 3 MHz telah
dilaporkan dapat menembus 1-2 cm, sedangkan ultrasound pada 1 MHz telah dilaporkan dapat
menembus 2-4 cm.22, 23

4.4. EFEK ULTRASOUND21, 24


Ultrasound memiliki berbagai efek biofisik. Ultrasound dapat meningkatkan suhu
jaringan superfisial dan dalam dan memiliki beberapa efek non-termal.
 Efek Termal
Efek termal ultrasound meliputi :
 percepatan laju metabolism
 pengurangan atau kontrol nyeri dan spasme otot

24
 perubahan kecepatan hantar saraf
 meningkatnya sirkulasi
 meningkatnya ektensibilitas jaringan lunak
Faktor–faktor yang mempengaruhi jumlah peningkatan panas :
 Frekuensi
 Intensitas
 Durasi
Ultrasound akan memanaskan jaringan yang kaya kolagen seperti tendon,
ligamen, kapsul sendi & fascia, dan jaringan parut. Ultrasound tidak digunakan untuk
memanaskan otot karena otot memiliki koefisien absorbsi yang rendah (banyak
mengandung air) dan lebih besar daripada transducer ultrasound.
 Efek Non-Termal
Ultrasound memiliki berbagai efek terhadap proses biologis yang diperkirakan
tidak berhubungan dengan kenaikan suhu jaringan. Efek ini merupakan hasil dari proses
mekanis yang dihasilkan ultrasound terutama dalam mode pulsed, meliputi:
 Kavitasi : pembentukan, pertumbuhan dan pulsasi dari gelembung yang
diisi dengan gas atau uap
 Microstreaming : pusaran arus berskala mikro yang menarik semua objek
kecil dan bergetar di dekatnya. Terjadi di sekitar gelembung gas yang
terosilasi oleh kavitasi
 Acoustic streaming: aliran sirkuler cairan sel yang tetap
Efek non-termal lainnya :
 Meningkatkan kalsium intrasel
 Meningkatkan permeabilitas kulit dan sel
 Meningkatkan degranulasi sel mast
 Meningkatkan pelepasan histamin dan faktor kemotaksis
 Meningkatkan respon makrofag
 Meningkatkan laju sintesis protein oleh fibroblas dan sel tendon
Kesemua efek non-termal di atas akan mempercepat penyembuhan jaringan

4.5. INDIKASI22, 23, 25


- Pemendekan jaringan lunak
Pemendekan jaringan ikat bisa terjadi akibat imobilisasi, inaktifitas atau jaringan parut
yang menyebabkan terbatasnya lingkup gerak sendi (LGS), nyeri, keterbatasan
25
fungsional. Peningkatan sementara suhu jaringan lunak akan meningkatkan
ekstensibilitasnya, meningkatkan panjang seperti yang didapatkan dengan stretching
namun mengurangi risiko kerusakan jaringan. Dapat diberikan ultrasound kontinyu
ditambahkan dengan stretching, dengan intensitas 0,5-1,0 W/cm2 bila frekuensi 3 MHz,
dan 1,5-2,5 W/cm2 bila frekuensi 1 MHz. Diberikan selama 5-10 menit
- Kontrol nyeri
Ultrasound dapat mengontrol nyeri dengan mengganggu transmisi nyeri atau persepsi
nyeri atau dengan memodifikasi kondisi yang mendasari nyeri. Efek ini merupakan
hasil stimulasi reseptor suhu kulit atau meningkatnya ekstensibilitas jaringan lunak
akibat peningkatan suhu jaringan. Untuk kontrol nyeri digunakan ultrasound kontinyu
dengan frekuensi 1 atau 3 MHz (tergantung dari kedalaman jaringan), dengan intensitas
0,5-3,0 W/cm2, diberikan selama 3-10 menit
- Ulkus dermal (varicose ulcer, diabetic ulcer, infected pressure ulcer)
Penambahan ultrasound ke prosedur perawatan luka konvensional akan membantu
percepatan penyembuhan jaringan. Efek didapatkan dengan ultrasound pulsed dengan
parameter : 20% duty cycle, intensitas 0.8 - 1.0 W/cm2, frekuensi 3 MHz selama 5-10
menit. Diberikan dengan mengaplikasikan gel ke kulit yang intak di sekitar luka dan
melakukan terapi hanya di sekitar daerah ini, atau ultrasound diaplikasikan langsung di
atas luka yang ditutup dengan ultrasound coupling sheet, atau dengan memasukkan
daerah yang luka dan transducer ultrasound ke dalam air
- Luka insisi bedah (luka operasi ginekologi, episiotomi, jaringan parut episiotomi)
parameter ultrasound yang diberikan : intensitas 0,5-0,8 W/cm2, pulsed 20%, selama 3-
5 menit, 3-5 kali seminggu
- Cedera tendon dan ligamen
o Mode Pulsed dengan intensitas rendah (0,5-1,0 W/cm2) diberikan pada fase akut
inflamasi tendon (untuk meminimalisir risiko memperburuk kondisi yang ada dan
meningkatkan penyembuhan)
o Ultrasound kontinyu dengan intensitas tinggi diberikan pada tendinitis kronis
(menghasilkan kenaikan suhu jaringan dan dapat ditambah dengan stretching)
o Dosis ultrasound yang efektif : 0,5-2,5 W/cm2, pulsed atau kontinyu, 1 atau 3 MHz,
selama 3-5 menit
o Ultrasound Pulsed dengan dosis rendah (0,5-1,0 W/cm2) dapat diberikan pada
penyembuhan ligamen (untuk meningkatkan mediator inflamasi, proporsi kolagen

26
tipe 1 dan biomekanik atau kemampuan untuk menahan beban yang lebih besar
dan menyerap energi lebih)
- Resorpsi deposit kalsium
Akan mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi
- Fraktur tulang
Digunakan ultrasound pulsed dengan dosis sangat rendah 0,15 W/cm2; pada intensitas
1,5 MHz; 20% duty cycle, 15-20 menit setiap hari
- Carpal tunnel syndrome
Digunakan mode pulsed 1:4, frekuensi 1 MHz, intensitas 1,0 W/cm2; bila ultrasound
kontinyu diberikan dengan intensitas 0,5 W/cm2 selam 10 menit. Ultrasound akan
berperan sebagai anti inflamasi, menstimulasi jarigan

4.6. KONTRA INDIKASI23


- Keganasan
- Kehamilan
- Jaringan susunan saraf pusat : post laminectomy
- Joint cement dan komponen plastik pada prostetik sendi akan dipanaskan dengan
cepat. Ultrasound dapat digunakan untuk implan logam seperti screw, plate (tidak
dipanaskan dengan cepat)
- Pacemaker : ultrasound akan memanaskan dan mengganggu sirkuit elektrik
pacemaker
- Thromboplebitis
- Mata : kavitasi pada cairan okuler dapat merusak mata
- Organ reproduksi
- Epiphyseal plate

4.7. EFEK SAMPING22


 Luka bakar : dengan intensitas tinggi, ultrasound kontinyu, pemberian yang di 1 tempat,
sirkulasi dan sensasi yang terganggu
 Standing wave
- Intensitas maksimal dan minimal pada posisi yang tetap berjarak 1½ panjang
gelombang

27
- Menyebabkan stasis sel-sel darah karena pengumpulan gelembung gas dan plasma
pada antinodes dan pengumpulan sel pada nodes, serta kerusakan endothelial
lining pembuluh darah
- Dihindari dengan menggerakkan transducer selama terapi
 Kontaminasi dan infeksi silang antar pasien dari kepala transducer dan gel transmisi

28
BAB V
PHONOPHORESIS

5.1. DEFINISI22
Phonophoresis adalah penggunaan ultrasound untuk meningkatkan penghantaran obat
topikal.

5.2. SEJARAH PENGGUNAAN PHONOPHORESIS21


Laporan pertama penggunaan ultrasound dalam transmisi obat-obatan transdermal
muncul pada tahun 1954. Sejak itu telah terdapat banyak penelitian untuk membuktikan bahwa
ultrasound aman, tidak ada efek samping jangka pendek dan panjang.

5.3. STRUKTUR DAN ANATOMI KULIT DALAM HUBUNGANNYA DENGAN


PENGGUNAAN PHONOPHORESIS 24
Kulit adalah salah satu organ yang paling mudah diakses dari tubuh manusia, meliputi
luas permukaan sekitar 2 m2 dan menerima sekitar sepertiga sirkulasi darah. Kulit merupakan
suatu sistem yang kompleks yang terdiri dari epidermis, dermis, dan skin appendages yang
terjalin di dalam dua lapisan tersebut. Lapisan terluar kulit yaitu epidermis, merupakan jaringan
avaskuler, menerima nutrisi dari kapiler kulit di lapisan bawahnya oleh difusi melalui membran
basalis.
Lapisan terluar dari epidermis disebut stratum korneum, suatu pelindung yang
berfungsi sebagai penghalang untuk mencegah keringnya jaringan di bawahnya dan untuk
menghalangi masuknya zat berbahaya dari lingkungan, termasuk zat-zat yang diaplikasikan ke
kulit. Dalam penghantaran obat transkutan, stratum korneum dianggap sebagai penghalang
yang membatasi kecepatan penghantaran dan merupakan target sebagian besar enhancer,
termasuk ultrasound.

29
Gambar 23. Lapisan kulit

Kulit memiliki permeabilitas selektif, yang ditentukan oleh sifat alami dari kondisi
physiochemical nya (misalnya, ketebalan, struktur lipid, kapasitas membran), viskositas,
kelenturan kolagen yang saling menyilang, banyaknya skin appendages (misalnya, folikel
rambut, kelenjar keringat apokrin, otot erektor pili, kelenjar sebasea), usia kulit, dan tingkat
penyakit. Stratum korneum tidaklah tersusun kontinyu maupun homogen pada seluruh tubuh.
Sel-sel stratum korneum bertingkat dan berbentuk heksagonal kasar (corneocytes), tumpang
tindih di bagian tepi dengan sel di sebelahnya. Daerah yang dibentuk corneocytes bervariasi
pada area tubuh yang berbeda. Sel-sel ini terus-menerus berubah dari sel hidup menjadi mati,
diratakan, berstruktur menyerupai sisik (keratinisasi), dan secara alami mengelupas.
Permukaan ekstensor kulit yang ditumbuhi rambut umumnya halus, tipis, dan dilengkapi
dengan kelenjar sebasea dan sel-sel folikel rambut. Pada permukaan yang tidak berambut atau
fleksor, kulit lebih tebal dan lebih diperkaya dengan kelenjar keringat. Sebagai konsekuensi
dari variasi ini, efektivitas penghantaran obat transkutan akan tergantung pada anatomi daerah
yang diterapi, hidrasi kulit, adanya asam lemak, kondisi kesehatan atau patologis dari kulit,
keadaan metabolisme kulit dan sistemik, dan usia pasien.
Hidrasi stratum korneum penting untuk efektivitas penghantaran obat transkutan. Pada
individu tanpa gejala, stratum korneum selalu terhidrasi sebagian, dengan rata-rata konsentrasi
air sekitar 0,90 g-1 'dari jaringan kering. Jumlah air ini meningkatkan permeabilitas stratum
korneum terhadap obat-obat hidrofilik sekitar sepuluh kali lipat. Jika kadar air dipertahankan,

30
stratum korneum dapat menyerap air hingga 3-5 kali beratnya sendiri, mengakibatkan
tambahan 2-3 kali lipat peningkatan dalam permeabilitas air dan molekul-molekul bermuatan
lainnya. Penggunaan pembalut oklusif yang dilapiskan dengan ringan, yang menyegel luka dan
mencegah kelembaban luka berkurang, akan meningkatkan hidrasi lebih lanjut.
Kulit manusia berubah secara dramatis seiring usia. Stratum korneum pada orang
dewasa tua jauh lebih kering dari orang dewasa muda, mengandung jumlah lipid yang lebih
sedikit, dan seringkali berkurang mikrosirkulasi nya. Bagaimana tepatnya penghalang
penetrasi kulit berubah dengan usia tidaklah jelas. Dengan demikian, harus diasumsikan bahwa
kulit yang menua menyebabkan lingkungan yang lebih bervariasi untuk difusi obat-obat
topikal.
Kulit yang tidak mempunyai stratum korneum (seperti pada kulit yang tergores ringan,
kulit kering, atau akibat mencukur) memiliki potensi yang lebih besar untuk memungkinkan
difusi obat. Setiap proses yang menyebabkan stratum korneum menipis akan menstimulasi
produksi sel-sel berkeratin, yang mengembalikan kapasitas perlindungan stratum korneum
hampir sempurna dalam 2-3 hari. Di sisi lain, kondisi patologis kulit dapat mengganggu stratum
korneum untuk waktu yang lama (misalnya, ulkus dekubitus), meningkatkan potensi untuk
penyerapan obat topikal.
Molekul obat dapat menembus epitel secara transeluler atau interseluler melalui saluran
di antara sel-sel, tapi difusi yang paling mudah melalui folikel rambut, kelenjar sebasea, dan
duktus kelenjar keringat. Mengingat persilangan pori-pori kelenjar keringat dan sebasea
bersama dengan peluruhan keluar keringat atau sebum, bagaimanapun, folikel rambut
berfungsi sebagai sarana utama difusi obat.
Kulit manusia memiliki kapasitas penyimpanan, yang awalnya ditunjukkan oleh
Guillot. Guillot menunjukkan bahwa asam salisilat yang diaplikasikan topikal diekskresikan
ke dalam urin selama berjam-jam (bahkan hari), sedangkan injeksi intradermal asam salisilat
dikaitkan dengan ekskresi cepat dan lengkap dalam beberapa jam. Efek penyimpanan ini
terlihat ketika perban oklusif dibalutkan mengikuti administrasi obat topikal. Guy dan
Hadgraft, misalnya, menunjukkan bahwa proses penyembuhan dengan kortikosteroid pada
pasien dengan discoid eczema dan psoriasis meningkat hanya untuk 24 jam saat daerah yang
diterapi dibiarkan terbuka. Ketika daerah itu ditutupi dengan perban oklusif, penyembuhan
difasilitasi selama 48-72 jam, meskipun tanpa penambahan kortikosteroid. Rupanya, beberapa
molekul obat tetap berada di kulit dan dapat diaktifkan dengan lingkungan yang lembab.
Keadaan jaringan vaskuler dermis akan mempengaruhi penghantaran obat transkutan.
Aliran darah yang terbatas akan membatasi kesempatan bagi penghantaran sistemik obat.

31
Pemanasan sebelum aplikasi topikal dari obat akan mendilatasi folikel rambut, meningkatkan
energi kinetik dan gerakan partikel pada daerah yang diterapi, dan memfasilitasi penyerapan
obat. Pemanasan kulit setelah aplikasi topikal obat akan meningkatkan absorpsi obat ke dalam
jaringan pembuluh darah, meningkatkan penghantaran sistemik tetapi menurunkan
penghantaran lokal karena molekul obat telah diangkut dari daerah penghantaran lokal.
Singkatnya, tingkat difusi obat topikal akan bervariasi baik karena faktor internal
(fisiologis) maupun eksternal (lingkungan). Kulit pasien harus dievaluasi dengan hati-hati
untuk meminimalkan hambatan alami dan internal untuk penghantaran obat trankutaneus
(misalnya, kulit kering, kulit tebal, dehidrasi, sirkulasi yang buruk, metabolisme yang buruk)
dan untuk memaksimalkan enhancer alami (misalnya, memastikan pasien terhidrasi dengan
baik dan memilih area kulit yang tipis, hangat, lembab, dan baik perfusinya). Difusi obat
topikal melalui stratum korneum juga dapat ditingkatkan dengan pemanasan kulit sebelumnya
untuk meningkatkan energi kinetik dan mendilatasi folikel rambut, atau dengan menutup
daerah yang diterapi dengan perban oklusif setelah aplikasi obat untuk menjaga kelembaban
dan mengaktifkan kapasitas penyimpanan kulit.

5.4. ULTRASOUND SEBAGAI ENHANCER PENGHANTARAN OBAT


TRANSKUTAN21, 25, 26
Enhancer obat transkutan digunakan untuk mengubah sifat stratum korneum untuk
memudahkan difusi. Perubahan ini dapat terjadi akibat denaturasi protein-protein keratin
struktural di dalam stratum korneum, menipiskan atau menghilangkan lapisan cornified
stratum korneum, mengubah permeabilitas sel, atau mengubah struktur interseluler yang
diperkaya lipid di antara corneocytes. Enhancer dapat meningkatkan tingkat penyerapan lima
hingga sepuluh kali lipat atau secara substansial mengurangi durasi jeda waktu sebelum
aktivasi obat. Enhancer dapat digabungkan sistem penghantaran obat transdermal, atau
digunakan sebelum, selama, atau setelah aplikasi obat topikal. Enhancer yang ideal
memungkinkan obat berdifusi aktif dan cepat, tetapi tidak menonaktifkan molekul obat,
menyebabkan kerusakan epidermis sehat, menyebabkan rasa sakit, atau memiliki efek samping
toksik.
Baik karakteristik termal dan nontermal gelombang suara berfrekuensi tinggi dapat
meningkatkan difusi obat topikal. Pemanasan dari US meningkatkan energi kinetik dari
molekul-molekul di dalam obat dan di dalam membran sel, melebarkan titik-titik masuk seperti
folikel rambut dan kelenjar keringat, dan meningkatkan sirkulasi ke daerah yang terpapar US .
Perubahan–perubahan fisiologis ini meningkatkan kesempatan bagi molekul-molekul obat

32
untuk menyebar melalui stratum korneum dan diterima oleh jaringan kapiler di dermis. Kedua
efek termal dan nontermal US meningkatkan permeabilitas sel. Karakteristik mekanis
gelombang suara juga meningkatkan difusi obat dengan mengosilasi sel-sel dengan kecepatan
tinggi, mengubah potensial istirahat membran sel dan berpotensi memecah membran sel dari
beberapa sel di daerah tersebut.
Fellinger dan Schmid mempelajari US sebagai enhancer difusi obat dengan
menentukan apakah gelombang suara bertindak langsung pada kulit atau bertindak pada
pelepasan obat dari formulasi gel. Ketika penetrasi obat diukur dari gel dengan atau tanpa
adanya US, tidak ada bukti yang menemukan bahwa US memfasilitasi pelepasan obat dari gel.
Ketika kulit itu diberikan US sebelum aplikasi topikal obat, terukur transportasi obat yang
meningkat, mendukung prinsip bahwa US meningkatkan difusi obat dengan bertindak terutama
pada kulit.
Penjelasan paling sederhana untuk efektivitas US sebagai enhancer penghantaran obat
adalah berdasarkan efek pemanasan nya. Panas meningkatkan energi kinetik baik molekul obat
dan protein, lipid, dan karbohidrat dalam membran sel. Efek termal energi suara mudah
dipantau melalui pengukuran suhu. Meskipun rumusan untuk aliran panas transien dapat
digunakan untuk memperkirakan konversi dari beberapa energi suara ke panas, rumusan ini
tidak memungkinkan penentuan proporsi panas yang hilang secara konduksi, konveksi, dan
radiasi. Perubahan suhu sekitar 5o C diperlukan untuk menyebabkan perubahan permeabilitas
membran sel yang dapat diukur. Tingkat peningkatan pemanasan ini diduga hanya terjadi
ketika intensitas US 1.5 W/crn2 atau lebih tinggi. Elemen-elemen termal dapat dikurangi
dengan menggunakan US mode pulsed atau dengan menggunakan intensitas yang sangat
rendah (misalnya, 0,5 W/cm2 atau kurang).
Gelombang suara berhubungan dengan efek nontermal, mekanis seperti osilasi, tekanan
radiasi, dan kavitasi sel akibat gelombang menembus jaringan. Efek mekanis dapat
memfasilitasi difusi obat dengan mengosilasi partikel di jaringan dan media obat, menurunkan
potensial membran, mengubah struktur lipid, meningkatkan permeabilitas sel, meningkatkan
konduktansi ion, atau memecah membran sel. Beberapa efek ini mirip dengan efek yang
dihasilkan dari pemanasan.
Secara mekanis, ketika US melewati media tertutup, partikel-partikel di dalam media
mengalami osilasi periodik dari posisi istirahat mereka. Perpindahan maksimal sebuah partikel
sebanding dengan intensitas (kandungan energi dari pancaran US yang sama dengan akar
kuadrat dari intensitas) dimodifikasi oleh frekuensi gelombang. Partikel-partikel bergetar lebih
cepat pada frekuensi tinggi tetapi membutuhkan input lebih banyak energi untuk mencapai

33
sama amplitudo perpindahan maksimum. Pada setiap intensitas yang diberikan, amplitudo
perpindahan maksimum (A) partikel-partikel media menurun dengan meningkatnya frekuensi
(f) (A = l/f). Frekuensi gelombang suara 1 MHz pada intensitas 1,0 W/cm2 memiliki amplitudo
0,018 µm dengan percepatan partikel maksimal sama dengan 71.000 kali percepatan gravitasi
bumi.
Partikel-partikel kembali ke posisi semula setelah gelombang menyingkir. Gelombang
ultrasonik memiliki beberapa daya tekanan radiasi yang secara efektif dapat mendorong atau
menarik sel dan kumpulan gas pada medan akustik yang tidak homogen. Selain itu, ketika
permeabilitas membran sel meningkat, acoustic streaming (aliran peredaran darah stabil)
dihasilkan seiring dengan sel-sel berdifusi melalui membran. Penjelasan mekanik yang paling
mungkin dari meningkatnya penyerapan obat dengan US didasarkan pada difusi interseluler
yang meningkat akibat vibrasi yang terjadi hampir bersamaan dan berkecepatan tinggi dari
molekul obat bersama dengan vibrasi dari membran sel dan komponen-komponennya.
Faktor penting lain yang dapat mempengaruhi difusi obat terkait dengan gaya geser
(atau gelombang kejut) yang terjadi ketika bagian-bagian yang berdekatan dari struktur
membran yang sama bergetar dengan amplitudo perpindahan yang berbeda. Benda-benda yang
mudah terkompresi seperti gas, "gelembung" berisi uap atau "kavitas" diciptakan oleh dan
mengekstrak energi dari terjadinya medan akustik. Ketika gelembung ini terjadi di sel-sel
spesifik kulit, otot, saraf, arteri, atau vena, kelelahan atau pecahnya sel dapat terjadi ketika
gelembung mencapai ukuran yang tidak stabil. Kerusakan sel pada jalur transmisi US bisa
memfasilitasi difusi interseluler molekul-molekul obat.
Kavitasi yang terjadi dapat bersifat stabil atau sementara. Kavitasi stabil terjadi ketika
gelembung berosilasi secara radial sekitar untuk sejumlah siklus tanpa meninggalkan
medannya (lokasi asli sel). Kavitasi transient terjadi selama fase kompresi ketika media
mengalami tegangan selama sebagian fase refraksi dari gangguan akustik, diikuti dengan
hancur secara cepat. Kavitasi sementara ini diketahui terjadi dalam jaringan tubuh, tetapi hanya
pada frekuensi yang lebih tinggi (516 MHz). Terjadinya kavitasi stabil di dalam jaringan
berkurang ketika US digunakan pada level terapi (870 Hz–3 MHz). Namun, di dalam darah,
US intensitas tinggi (130-260 W/cm2) dapat menghasilkan kavitasi stabil.

34
Gambar 24. Kavitasi dan microstreaming

Terdapat beberapa penelitian in vitro yang telah meneliti efek intensitas dan frekuensi
US yang berbeda terhadap kavitasi, tetapi tidak dapat menemukan bahwa kavitasi berkorelasi
langsung dengan phonophoresis. Dalam satu yang penelitian tidak dipublikasikan dalam
penelitian in vitro tentang fibroblas, 3 menit paparan US kontinyu dengan 0,5-1,0 W/cm2 pada
1 MHz memiliki efek ledakan pada koloni sel dalam cawan petri, menghancurkan sel-sel dan
meninggalkan fragmen - fragmen terdorong ke cawan petri.
Gelombang sonik frekuensi tinggi (> 3 MHz) menyimpan lebih banyak energi pada
volume jaringan tertentu dibandingkan gelombang dengan frekuensi rendah karena
peningkatan osilasi partikel, meskipun frekuensi juga mempengaruhi kedalaman penetrasi
gelombang suara. Sedikit penelitian telah dilakukan terhadap efek unik phonophonoresis pada
kedalaman penetrasi obat ke dalam jaringan yang berbeda dan korelasinya dengan frekuensi
US yang berbeda.

5.5 INDIKASI
 tendinitis (Achilles, patellar, atau bicipitalis)
 tenesynovitis
 epicondilitis (tennis elbow)
 impingement bahu kronik
 osteoarthritis
 bursitis
 capsulitis
 strain
 fascitis

35
 kontraktur
 jaringan parut
 neuroma
 adhesi

5.6. KONTRA INDIKASI27


Secara umum kontra indikasi phonophoresis sama dengan kontra indikasi ultrasound,
ditambah dengan kontra indikasi obat-obatan yang digunakan.

5.7. PROTOKOL TERAPI PHONOPHORESIS22


1. Bersihkan daerah yang akan diterapi dengan alkohol atau air dan sabun
2. Aplikasikan obat dalam krim gliserol, minyak atau media lainnya dalam bentuk
coupling gel
3. Tentukan durasi terapi bergantung pada luas daerah yang akan diterapi (misalnya, 5
menit untuk setiap 16 inci2)
4. Pertahankan kontak antara transducer dengan permukan daerah yang diterapi, gerakkan
transducer dalam gelombang sirkuler atau linear yang saling bertumpang tindih dengan
kecepatan 2-4 inci/detik; amati terjadinya gelembung udara
5. Atur intensitas terapi : 0,5-1,0 W/cm2 untuk jaringan superfisial dan 1,0-2,0 W/cm2
untuk jaringan yang lebih dalam. Intensitas kemungkinan perlu diturunkan
6. Amati respon pasien selama terapi, jika pasien melaporkan rasa hangat atau nyeri,
kurangi intensitasnya 10% dan lanjutkan terapi
7. Bersihkan permukaan yang diterapi dengan alkohol atau air dan sabun

5.8. OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN DALAM PHONOPHORESIS21, 25, 27-29


Obat-obatan yang umumnya diaplikasikan melalui phonophoresis paling sering adalah
anti inflamasi seperti hidrokortison, kortisol, salisilat, atau deksametason, atau analgesik
seperti lidokain. Saat mengaplikasikan phonophoresis, penting untuk memilih obat yang tepat
untuk patologi yang ada. Karena phonophoresis dapat meningkatkan penetrasi obat, maka
meningkatkan pula manfaat klinis seperti halnya risiko pada aplikasi obat topikal.
 Kortikosteroid
Penggunaan paling luas teknik phonophoresis adalah untuk menghantarkan
hidrokortison, yang memiliki efek anti inflamasi. Biasanya, baik krim hidrokortison 1%
atau 10% digunakan dalam terapi bersamaan dengan ultrasound termal. Sediaan krim

36
hidrokortison 10% tampaknya lebih baik dibandingkan 1%. Beberapa penelitian telah
meneliti manfaat dari teknik ini. Menggunakan phonophoresis dengan hidrokortison
telah menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan ultrasound saja dalam
menghilangkan nyeri dan mengurangi inflamasi pada pasien-pasien artritis.
Phonophoresis dengan hidrokortison telah digunakan untuk menangani pasien dengan
berbagai kelainan inflamasi termasuk bursitis, tendinitis dan neuritis. Teknik ini juga
telah digunakan dalam penanganan disfungsi sendi temporomadibuler. Griffin,
Kleinkort, dan rekan-rekannya telah menunjukkan efektivitas penetrasi kortikosteroid
ke dalam jaringan dengan ultrasound. Namun, Benson dan McElnay telah menunjukkan
bahwa beberapa terapi phonophoresis tidak efektif.
Tampaknya kini beberapa klinisi menggunakan dexamethasone sodium
phosphate (Decadron) sebagai alternatif hidrokortison. Dexamethasone paling baik
digunakan dengan ultrasound termal untuk 2-3 hari. Ketoprofen telah digunakan juga
dengan phonophoresis.
 Salisilat
Salisilat adalah komponen yang memiliki beberapa efek farmakologis termasuk
analgesik dan berkurangnya inflamasi akibat berkurangnya prostaglandin. Terdapat
beberapa laporan yang menunjukkan bahwa phonophoresis menggunakan salisilat
meningkatkan efek analgesik atau anti inflamasi. Namun, telah dilaporkan bahwa
phonophoresis dengan salisilat dapat digunakan untuk menurunkan kelelahan otot
dengan onset lambat tanpa merangsang perubahan seluler yang menyerupai respon
inflamasi.
 Sodium Diklofenak
Penggunaan diklofenak topikal dapat mengurangi nyeri pada permasalahan
muskuloskeletal secara efektif. Phonophoresis dengan gel sodium diklofenak telah
dilaporkan memberikan hasil yang baik dalam meredakan nyeri dan meningkatkan
fungsional penderita dengan epicondilitis lateral dan tendinitis supraspinatus.
 Analgetik – Anestetik
Lidokain adalah obat analgesik lokal yang sering digunakan. Penggunaan
phonophoresis dengan lidokain telah terbukti efektif dalam terapi beberapa trigger
point.
 Dimethyl sulfoxide
Pengaplikasian amfoterisin dengan ultrasound sebagai enhancer memiliki efek
jangka panjang. Sedangkan pengaplikasian dimethyl sulfoxide (DMSO) ke kulit setelah

37
aplikasi amfoterisin B menunjukkan efek jangka pendek. Sementara itu phonophoresis
dengan papain bersama dengan DMSO efektif untuk luka yang purulen dan infiltrasi
inflamasi.
 Obat Lainnya
Ultrasound secara efektif meningkatkan penghantaran obat lokal dan sistemik.
Beberapa obat telah dicoba dan memberikan efek yang positif. Phonoporesis dengan
methyl nicotinate (suatu vasodilator) meningkatkan absorpsi perkutan nya.
Phonophoresis dengan D-Mannitol telah dicobakan pada tikus dan marmut dapat
meningkat difusinya. Amfoterisin B dengan kombinasi ultrasound meningkatkan
konsentrasi nya dalam kulit.

38
BAB VI

KESIMPULAN

Nyeri miofasial menimbulkan manifestasi nyeri kronik dengan gambaran klinik yang
komplek. Pada nyeri miofasial terdapat titik yang hipersensitif (Trigger Point) di dalam taut
band dari otot skeletal, terletak di dalam jaringan ikat dan atau fasia yang terkait. Titik ini
sangat nyeri dengan penekanan dan menimbulkan nyeri rujukan (referred pain) serta fenomena
otonomik yang nantinya menimbulkan keterbatasan fungsional pada penderita. Penderita
dengan MTPS dapat mengalami pengurangan kekuatan, ketahanan dan fleksibilitas akibat dari
nyeri yang ditimbulkan sehingga dapat terjadi gangguan dalam hal mobilitas, aktivitas
kehidupan sehari-hari, pekerjaan, kesenangan (rekreasi), seks dan tidur.
Penggunaan ultrasound sebagai enhancer penghantaran obat transkutan atau yang
dikenal dengan phonophoresis memberikan manfaat yang cukup signifikan. Perlu diingat sifat–
sifat ultrasound dalam pengaplikasian phonophoresis. Harus diperhatikan pula bahwa obat
yang ditransmisikan secara transkutan akan beredar pula secara sistemik.
Baik ultrasound pulsed maupun kontinyu telah digunakan dalam phonophoresis.
Ultrasound kontinyu dengan intensitas yang cukup besar untuk menghasilkan efek termal dapat
menginduksi respon proinflamasi. Jika tujuannya adalah untuk mengurangi inflamasi,
ultraound pulsed dengan intensitas spatial-average temporal peak rendah dapat menjadi
pilihan terbaik. Jika tujuan terapi adalah untuk mengurangi nyeri, telah ditunjukkan bahwa
tanpa memandang apakah digunakan pulsed ultrasound atau tidak, stretching, strengthening
dan cryotherapy secara signifikan lebih efektif dalam mengurangi nyeri yang dialami.
Berbagai obat transdermal dapat digunakan dalam phonoporesis, di antaranya
kortikosteroid, anti inflamasi dan analgetik. Berbeda dengan iontophoresis, obat-obatan yang
digunakan tidak perlu mengalami ionisasi terlebih dahulu. Namun konsistensi dan jenis krim
akan mempengaruhi penyerapannya melalui kulit dengan phonophoresis.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Cakit BD, Suhan T. Comorbidity of fibromyalgia and cervical pain syndrome. Clinical
Rheumatology. 2010;29:405-11.
2. Laswati H, Imam S. Nyeri muskuloskeletal pada fibromyalgia dan myofascial trigger
point syndrome. Dalam: Simposium nyeri muskuloskeletal. Surabaya;2009:1-9.
3. Mardi Yanto Y. Nyeri myofascial. Dalam: Simposium nyeri pengenalan dan
tatalaksana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.1991:181-97.
4. Tan JC. PM&R Management Tools:Trigger Point Therapy. In: Practical Manual of
Physical Medicine & Rehabilitation. Mosby. St Louis;2000:411-23.
5. Bennet R. Myofascial pain syndromes and their evaluation. Best practice & research
clinical rheumatology. 2007; 21:427-35.
6. Hong et al. Myofascial trigger point. In: Braddom Physical Medicine and
Rehabilitation 4th ed. Elsivier philadelphia. 2011:976-94.
7. Mc Partland JM, David GS. Pathophysiologi Myofascial Trigger Point. In: Myofascial
trigger point, pathophysiology and evidence informed diagnosis & management.
Jones and Bartlett Publisher, Massachusetts 2011:3-12.
8. Weiss. Lyn D, Weis. Day M, Pobre Thomas. Oxford American Handbook of Physical
Medicine and Rehabilitation. 172-174.
9. Laswati H, Imam S. Penanganan komprehensif nyeri pada fibromyalgia dan
myofascial trigger point syndrome. Dalam: Simposium nyeri muskuloskeletal.
Surabaya; 2009:10-16.
10. Majlesi J, Halil U. High power pain threshold ultrasound technique in the treatment
of active myofascial trigger points: a randomized, double blind, placebo controlled
study. Clinical Rheumatology Int. 2005;25:23-27.
11. Dundar U, Deniz E. The effect of galium arsenide aluminium laser therapy in the
management of cervical myofascial pain syndromes: a double blind, placebo
controlled study. Clinical Rheumatology 2007;26:930-34.
12. Altan L, Umit B. Investigation of the effect of Ga As laser therapy on cervical
myofascial pain syndrome. Rheumatology Int. 2005;25:23-27.
13. Ay S, Denisz E. Comparison of injection technics in myofascial pain syndromes: a
randomized controlled trial. Clinical Rheumatology 2010;29:19-23.
14. Boswell, Mark V, Cole, Eliot B. Weiner’s Pain Management. In: Treatment of
Myofascial Pain Syndrome. Taylor and Francis, New York 479-488.

40
15. Frontera, MD.PhD, R. Walter, Silver K Julie,MD. Essential of Physical Medicine and
Rehabilitation, 1st ed. Chapter 117.
16. Dommerholt J, Orlando MM. Trigger Point Dry Needling. In: Myofascial trigger
point, pathophysiology and evidence informed diagnosis & management. Jones and
Bartlett Publisher, Massachusetts 2011:3-12.
17. Fleckenstein J, Daniela Z. Discrepancy between prevalence and perceived
effectiveness of treatment methods in myofascial pain syndrome: Results of a cross
sectional nationwide survey. BMC Musculoskeletal Disorder. 2010;11:2-9.
18. Lavelle ED, Lavelle W, Smith HS. Myofascial Trigger Points. Journal of
Anesthesiology Clin 25 (2007) : 841-851.
19. Dommerholt Jan PT, Mayorel del Moral Orlando PT, Grobli Christian PT. Tigger
Point Dry Needling. The Journal of Manual and manipulatif Therapy.Vol.14 No.4
(2006), E70-E87.
20. Travell JG, Simons DG. Myofascial Pain and Dysfunction. The Trigger Point Manual.
Baltimore, William & Wilkins, 1983: 60-61,83-84.
21. Byl NN. The Use of Ultrasound as an Enhancer for Transcutaneous Drug Delivery :
Phonophoresis. Physical Therapy. 1995;75(6):539-553.
22. David O Draper WEP. Therapeutic Ultrasound. In: Prentice WE, editor. Therapeutic
Modalities in Rehabilitation. Fourth Edition ed. New York: Mc Graw Hill; 2011. p.
363-400.
23. Cameron MH. Ultrasound. In: Cameron MH, editor. Physical Agents in Rehabilitation
From Research to Practice. 4th ed. Missouri: Elsevier Sanders; 2013. p. 173-201.
24. Mark D Klaiman JAS, Jerome V Danoff, Jeanne E Hicks, William J Pesce, James
Ferland. Phonophoresis versus ultrasound in the treatment of common
musculoskeletal conditions. Medicine & Science in Sports & Exercise.
1998;30(9):1349-1355.
25. Barbara Cagnie EV, Steven Rimbaut and Guy Vanderstaeten. Phonophoresis Versus
Topical Application of Ketoprofen: Comparison Between Tissue and Plasma Levels.
Physical Therapy. 2003;83:707-712.
26. Mohamed Faisal C.K. MS, Lawrence Mathias & Ajith S. Comparative study on the
effectiveness of low level laser therapy versus phonophoresis in the management of
lateral epicondylitis. Nitte University Journal of Health Science. 2013;3(1):35-44.
27. A. Burke Gurney DW, Robert Schenck, Alexandria Tennison, and Bettina Jaramillo.
Absorption of Hydrocortisone Acetate in Human Connective Tissue Using
Phonophoresis. Sports Physical Therapy. 2011;3(4):346-351.
28. Faisal M SM, Mathias L, Ajith S. Comparative Study On The Effectiveness Of Low
Level Laser Therapy Versus Phonophoresis In The Management Of Lateral
Epicondylitis. Nitte University Journal of Health Science. 2013;3(1):35-46.
41
29. Susan Saliba DJM, David H. Perrin, Joe Gieck, Arthur Weltman. Phonophoresis and
the Absorption of Dexamethasone in the Presence of an Occlusive Dressing. Journal
of Athletic Training. 2007;42(3):349-354.

42

Anda mungkin juga menyukai