Kepada Yth :
Rencana diajukan tgl : 25 Juni 2019
Moderator : dr. Surya Widjaya, Sp.S
Oleh:
1
KONTROL POSTURAL DUDUK PADA ANAK
Pada bab ini pertama tama kami akan menjelaskan tentang prevalensi dan
etiologi CP dan bagaimana grup anak-anak dengan kondisi bermacam macam
dengan CP dapat di klasifikasikan berdasarkan distribusi dari gejala dan fungsinya
dan duduk. Berikutnya defisit sensori dan kognitif yang pada anak-anak dengan
CP dapat mempengaruhi kontrol dari postural. Kemudian kita bahas tentang
informasi yang tersedia tentang penyesuaian postur selama gangguan internal dan
eksternal dari equilibrium selama duduk pada anak-anak dengan CP. Pada
akhirnya akan disajikan beberapa implikasi untuk pedoman terapetik. Masalah
tentang manajemen dan terapi akan dibahas lebih lanjut di chapter 13.
2
Cerebral Palsy- sebuah grup heterogen dari gangguan perkembangan
motorik
Cerebral Palsy adalah salah satu disablitas neurologis yang paling sering pada
anak-anak, dengan prevalensi di negara barat sekitar 2% (Hagberg et al. 2001,
Himmelman et al. 2005). Gangguan yang disebut dengan CP sangatlah beragam,
sehubungan dengan gejala klinis maupun lesi pada otak yang menyebabkan gejala
tersebut. Semua anak yang terkena hampir selalu memiliki gangguan gerakan dan
postur. Karena asal dari lesi pada pasien CP berasal dari sentral, gangguan
motorik sering disertai dengan gangguan sensasi, kognitif, komunikasi, behaviour,
dan kejang (Bax et al. 2005). Aspek komorbid ini mempengaruhi kemampuan
anak sehari-hari dan perkembangan fungsi dari motorik kasar (Rosenbaum et al.
2002).
CP ditandai dengan adanya lesi yang di sebabkan oleh gangguan yang muncul
di otak pada fase fetal atau infant ( <2 tahun). CP jarang hanya memiliki penyebab
tunggal tetapi lebih sering akibat hasil dari berbagai macam faktor yang saling
berhubungan ( Stanley et al. 2000). Adanya abnormalitas pada gen, penyakit
maternal selama kehamilan, intoksikasi dan infeksi adalah beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi migrasi dari neurons yang selanjutnya akan menyebabkan
gangguan pada diferesiansi dari motor cortex dan meningkatnya terjadinya CP.
Bayi yang sangat preterm (<32 minggu) juga menjadi salah satu prediktor yang
kuat untuk terjadinya CP. Bayi-bayi preterm tampaknya lebih rentan terhadap
faktor-faktor seperti hipoglikemia, hipoxia/asidosis dan gangguan pada aliran
darah cerebral, tetapi di lain pihak faktor antenatal juga berasosiasi dengan CP
yang juga dapat memicu kelahiran preterm. Anak-anak lain juga dapat beresiko
berkembang menjadi CP, seperti pada anak-anak dengan intrauterine growth
restriction, yang menyebabkan berat bayi rendah untuk usia gestasi. Maka dari itu
3
akan sulit mencari penyebab pasti dari CP akibat kerusakan neurologis yang
muncul selama kehamilan juga dapat menyebabkan pertumbuhan yang buruk,
Padahal di lain pihak fetus dengan growth restriction akibat masalah placenta atau
maternal akan lebih rentan pada hipoglikemia dan atau asfiksia. Neonatal
hypoxic-ischaemic encepalopathy juga menjadi penyebab CP tetapi yang lebih
penting untuk disadari adalah asfiksia pada saat bayi lahir sebagai penyebab
tunggal hanyalah faktor penentu minor dari munculnya CP. Perkembangan terbaru
dari neuroimaging dapat menentukan asal penyebab dari CP dan dapat
memfasilitasi dari identifikasi penentuan waktu munculnya lesi. Selama trimester
1 dan 2, malformasi dari central nervous system (CNS) lazim terjadi pada
anak-anak dengan CP. Di antara 24 minggu dan 34 minggu kehamilan, lesi pada
substansia alba di area periventricular (periventricular leukomalacia)- yang
disebabkan oleh masalah prenatal maupun perinatal yang berkontribusi pada
mayoritas kasus, Sedangkan kehamilan mulai 34 minggu dan seterusnya lesinya
sebagian besar ditemukan di basal ganglia dan di substansia nigra di otak
(Hagberg et al. 2001, Krägeloh-Mann et al. 2002, Flodmark et al. 2003,
Himmelman et al. 2005, Bax et al. 2006).
Klasifikasi dari CP
4
maupun kursi roda. Pada bab ini akan berfokus pada kemampuan anak untuk
duduk. Lebih lanjut kemampuan anak untuk menggunakan tangannya pada
aktivitas sehari-hari dapat di klasifikasikan berdasarkan Manual Activity
Classification System (MACS; Eliasson et al 2006). Klasifikasi MACS ini
menekankan pada kemampuan anak untuk memegang obyek pada ruang
personalnya, seperti contohnya ruang yang langsung dekat ke tubuh anak. Hal ini
digunakan untuk menurunkan pengaruh restriksi pada kemampuan anak untuk
mengontrol postur (Eliasson et al. 2006). Meskipun demikian harus disadari
bahwa aktivitas manual secara virtual akan selalu berhubungan dengan aktivitas
tangan, yang pada akhirnya membutuhkan kontrol postural.
5
Anak-anak yang di klasifikasikan di level V memiliki kontrol antigravitasi postur
kepala dan trunk yang sangat terbatas dan membutuhkan support yang lebih besar
untuk duduk. Keterbatasan fungsi sebenarnya sering dapat bersamaan
terkompensasi selama penggunaan peralatan adaptif.
6
Defisit sensori pada anak-anak dengan CP
7
dengan daya penggerak atau kemampuan berpindah manusia, dan mereka
mungkin juga dapat memiliki kesulitan pada navigasi visual contohnya kesulitan
saat mencari sesuatu dan mudah tersesat. Masalah-masalah pada proses visual dari
gerakan biologis berasosiasi dengan dengan lesi pada regio parietal kanan
( Pavlova et al. 2006, 2007a). Defisit pada navigasi visual berelasi dengan lesi
khusus pada area frontal kanan dan pada pengalaman berpindah/perpidahan
seseorang (PAvlova et al. 2007b). Maka dari itu, dari seluruh data yang ada
mengindikasikan bahwa anak-anak dengan CP sering menunjukkan defisit pada
pusat memrosesan informasi visual.
Tidak ada studi yang spesifik yang pernah dilakukan untuk menginvestigasi
apakah anak-anak dengan CP memiliki masalah pada memrosesan informasi
vestibular. Tetapi dapat diperkirakan anak-anak dengan bentuk CP yang berat
contohnya CP yang berhubungan dengan brainstem, biasanya disertai dengan
defisit pada memrosesan informasi vestibular.
8
Hal-hal diatas mengindikasikan bahwa anak-anak dengan CP mungkin dapat
memiliki gangguan pada kemampuan memrosesan informasi propioseptif.
Anak-anak ini pun mengalami spastisitas, contohnya motor unit mereka memiliki
sensitivitas berlebihan terhadap informasi propioseptif yang berhubungan dengan
regangan otot. Artinya bahwa anak-anak dengan CP memiliki ketidaksesuaian
antara pemrosesan segmental dan sentral dari informasi propioseptif (‘too well
versus ‘too little perceived).
9
2-point discrimination dengan keterkaitan yang asimetris dengan gangguan
motorik yang asimetri juga.
10
dengan bantuan setara NeuroCom EquiTest of Nashner (1993; see Chapter 2).
Nashner et al. (1983) meneliti pada sepuluh anak dengan CP, tiga dengan CP
bilateral spastik, tiga dengan CP unilateral spastik, tifa dengan CP ataxic dan satu
dengan athetosis. Satu anak dengan CP spastik bilateral dan satu anak dengan CP
unilateral spastik memiliki defisit sensori yang terbukti secara klinis , kedelapan
lainnya tidak memiliki masalah sensori yang nyata. Cherng et al. (1999) meneliti
tujuh anak dengan CP bilateral spastik tanpa masalah sensorik yang terbukti
secara klinis. Kedua Nashner et al. (1983) dan Cherng et al. (1999)
mendemonstrasikan bahwa pada kondisi terdapat support yang normal seperti
contohnya pada kondisi dimana informasi somatosensori yang dapat dipercaya,
respon dari postural sway untuk mengubah informasi visual pada anak-anak
dengan CP mirip dengan anak-anak yang khususnya sedang berkembang. Namun
pada kondisi dimana informasi somatosensori tidak dapat dipercaya , anak-anak
dengan CP lebih terganggu oleh perubahan informasi visula, khususnya pada
situasi sway-referenced visual sekitar dibandingkan dengan anak-anak seusianya
yang sedang berkembang. Destabilisasi postural akibat situasi dimana terjadi
pertentangan pada informasi sensori tampak jelas muncul pada anak-anak dengan
ataxia, dan tampak kurang jelas pada anak-anak dengn CP bilateral spastik dan
paling tidak terlihat pada CP unilateral spastik.
Retardasi mental Global ditemukan pada kurang lebih 40% anak-anak dengan
CP (Himmelmann et al. 2006, Odding et al. 2006). Hal ini muncul khususnya
pada anak-anak dengan CP bilateral spastik yang berat. Meskipun fakta
menunjukkan bahwa telah diketahui sejak bertahun-tahun lamanya bahwa lesi
pada otak yang sedang berkembang berasosiasi dengan defisit kongitif yang
spesifik seperti contohnya gangguan perhatian ( Rutter et al. 1970), (Aicardi and
Bax 1998), secara relatif masih sedikit diketahui tentang prevalensi dan dasar dari
defisit kongintif yang spesifik pada anak-anak dengan CP- defisit pada proses
visuospatial menjadi syarat pengecualian. Adanya defisit kognitif tidak
11
semata-mata hanya berhubungan dengan lokasi dan ukuran lesi pada otak, namun
juga bergantung pada adanya riwayat epilepsi dan terapi obat-obatan anti epilepsi
yang di dapat. Epilepsi muncul pada 20%-40% pada anak-anak dengan CP
(Himmelmann et al. 2006, Odding et al. 2006). Efek yang ditimbulkan akibat
epilepsi pada fungsi kognitif ditunjukan pada penelitian oleh Vargha-Khadem et
al. (1992). Mereka menemukan bahwa fungsi memori pada anak-anak dengan CP
unilateral spastik hanya mempengaruhi secara ringan jika gangguan tidak disertai
dengan gangguan kejang. Tetapi jika disertai dengan gangguan kejang dapat di
asosiasikan secara general akan terdapat defisit pada memori verbal dan no-verbal.
Menariknya derajat defisit memori tidak berhubungan dengan sisi dari lesi di otak.
Kontrol pada postur selama duduk diam pada anak-anak dengan CP hanya
pernah di investigasi pada satu studi (Liao et al. 2003). Anak-anak yang termasuk
pada studi ini berusia antara 3-8 tahun dan dianggap memilki kemampuan duduk
yang baik karena mereka memiliki kemampuan untuk duduk secara mandiri
selama beberapa menit. Level GMFCS pada anak-anak di studi ini tidak di
laporkan. Salah satu perbedaan yang bermakna ditemukan antara studi grup dan
kontrol grup selama 10 detik duduk statis. Anak-anak dengan CP lebih sering
bergerak terus menerus sebagaimana mereka menghabiskan lebih banyak waktu
lepas dari centre of balance dibandingkan dengan anak-anak yang sedang
berkembang lainnya. Peningkatan ayunan dari tubuh muncul khususnya pada
frontal plane. Penulis tidak memberikan informasi apakah bisa/mungkin
mengobservasi perbedaan antara anak CP dengan anak-anak seusianya yang
12
sedang berkembang secara khusus dengan mata tanpa bantuan khusus. Kami juga
ingin mengingatkan pembaca bahwa penemuan banyaknya ayunan postural pada
anak dengan CP dapat mencerminkan, diluar buruknya stabilitas, proses pencarian
aktid dimana gerakan memberikan umpan balik secara terus menerus tentang
batas batasan dari stabilitas.
Penyesuaian postur saat anak duduk pada anak dengan CP telah dipelajari
secara ekstensif menggunakan gangguan yang dipicu baik internal maupun
eksternal. Pada awalnya kompensasi penyesuain untuk slip atau push yang
tiba-tiba dapat muncul terpisah dari penyesuain yang telah mengantisipasi
disequilibrium yang menyebabkan gerakan volunter yang cepat. Pada kehidupan
sehari-hari, meskipun demikian feed-forward mode dan umpan balik dari kontrol
sering dikombinasi. Jika dorongan gangguan dari gerakan tidak diantisipasi secara
penuh, strategi kompensasi akan dimunculkan. Demi kepentingan, kedua moda
kontrol akan di jelaskan secara terpisah.
Kami akan menggunakan model dari Forrsberg dan Hirschfeld (1994) sebagai
kerangka kerja untuk membahasa deviasi dari kontrol postural pada anak-anak
dengan CP. Model ini mengemukakan bawa dua level fungsional dari sebuah
kontrol dapat dibedakan. Level pertama berisikan beberapa jaringan, yang
mengkoordinasikan struktur dasar dari penyesuaian postur; level kedua
memodulasi aktivitas otot dasar pada segmen basis afferen dan informasi
suprasipnal. Direct specificity menjadi karakter yang menonjol pada level pertama.
Ini artinya bahwa gangguan pada equibrilium memicu aktivitas otot untuk
menghalangi gangguan tersebut. Seperti disebutkan pada Chapter 3, Masih sedikit
diketahui pada struktur neural yang bertanggung jawab pada level dasar dari
kumpulan penyesuaian postural. Analogi pada kontrol neural locomotion, sudah
13
pernah di hipotesiskan bahwa struktur dasar dari sinergi postural dihasilkan oleh
jaringan spinal, yang berfungsi untuk berkolaborasi secara dekat dengan sistem
brainstem yang di mediasi oleh jalur vestibulospinal dan reticulospinal (Lyalka
et al.2005). Terdapat daftar dari pola penyesuaian direction-specific, yang artinya
bahwa orang tersebut hanya dapat merekrut satu orang dengan otot postural yang
direction-specific, komninasi dari beberapa, , atau seluruh otot postural yang
direction-specific yang sesuai (Hadders-Algra et al. 1996).
Pada level kedua, pola dasar ini mengontrol penyesuaian dari penyempurnaan
dari sebuah tugas/pekerjaan dan pada lingkungan sekitar dari input dasar afferen
multisensorik dari sistem somatosensori, visual dan vestibular. Modulasi dapat
muncul atas pertolongan :
(2) Penggunaan otot-otot antagonis, adalah sebuah adaptasi yang sebagian besar
berhubungan dengan kesulitan dalam pekerjaan yang membutuhkan
keseimbangan. Parameter lainnya dari aktivitas otot antagonis yang dapat
digunakan untuk fine-tuning adalah pengaturan waktu dari aktivitas otot
antagonis.
14
cara untuk berdapatasi pada aktivitas postural untuk melakukan tugas-tugas pada
kondisi spesifik, menunjukkan bahwa hal tersebut menjadi cara yang paling bijak
untuk fine-tune aktivitas postural. Secara umum, kontraksi otot meningkat saat
terjadi kesulitan pada keseimbangan ( Diener et al. 1998, Alllum and Honegger
1998, Brogren et al. 2001) dan meningkat pada saat latihan.
Saat anak dengan CP terpapar oleh gerakkan yang tiba-tiba, dibutuhkan reaksi
cepat untuk mengantasi gangguan tersebut (Nashner et al. 1983, Woollacoot et al.
1998, Hadders-Algra et al. 1999a, Brogren et al. 2001). Gangguan menyerupai
bus, yaitu berjalan dan berhenti tiba-tiba. Selama gangguan yang dipicu oleh
pergerakan kedepan dari permukaan penyangga, subyek ini melawan ayunan
tubuh ke belakang dengan menggunakan otot dari sisi ventral tubuh seperti
contohnya fleksor leher, otot abdomen, hip-flexor untuk mengembalikan
equilibrium. Saat permukaan penyangga bergeser kebelakang tubuh berayun
kedepan dan otot-otot ekstensor diaktifkan. Hanya sedikit anak-anak dengan CP
mengalami kesulitan pada level dasar dari kontrol selama gangguan eksternal.
(Hadders-Algra et al. 1999a, Brogren et al. 2001)
Aktivasi dar otot direction-specific yang tepat telah dilaporkan terjadi pada
kebanyakan anak yang telah di kaji pada posisi duduk (Brogen et al. 1996, 1998,
2001, Hadders-Algra et al. 1999a). Hanya anak-anak yang termasuk pada
klasifikasi GMFCS level IV-V yang menunjukkan masalah pada penyesuaian
posisi duduk tersebut (Hadders-Algra et al. 1999a, Brogren et al. 2001). Pada
kondisi penelitian anak-anak ini yang tidak dapat duduk secara mandiri diberikan,
penyangga oleh peneliti. Sesaat sebelum percobaan, penyangga diambil,
dipastikan anak-anak tersebut duduk bebas selama gangguan pergerakan platform.
15
Satu anak, usia 4 1/2 tahun dengan CP bilateral spastik berat (GMFCS V)
termasuk keterbatasan pada posisi head control, menunjukkan tidak ada aktivitas
otot direction-specific ventral selama tubuh berayun kebelakang. Selama tubuh
berayun kedepan, yang dipicu dari pergerakan keseimbangan kebelakang,
anak-anak tersebut menunjukkan aktivitas dari eksensor leher yang lemah. Defisit
yang berat ini tidak dapat dihubungkan dengan ketidakmampuan duduk
mandiri/duduk tanpa bantuan, seperti pada bayi yang sedang berkembang dari
usia 1 bulan menunjukkan direction-specific adjusment (lihat chapter 3). Kiranya
anak-anak dengan GMFCS level V memiliki kapasitas yang tidak cukup untuk
mengerahkan aktivitas postural yang direction-specific, defisit yang mungkin
dimaksud adalah bahwa anak-anak tersebut lemah pada persyaratan dasar untuk
duduk secara mandiri.
16
Kontrol level kedua dari gangguan eksternal
17
Keterlambatan saat memulai aktivasi otot-otot, adalah aspek penyesuaian lain
dari temporal, menunjukkan variasi inter individual yang besar pada anak-anak
dengan CP. Beberapa anak menunjukkan onset yang lebih cepat dibandingkan
dengan anak-anak normal, beberapa lebih lama dan beberapa lainnya memiliki
keterlambatan yang mirip. Hal ini menjadi sulit untuk memberikan aturan secara
umum, namun tendensi kepada keterlambatan yang lebih lama telah diobservasi
pada anak-anak dengan disabilitas yang berat (Brogren et al. 2001). Penemuan ini
mungkin dapat merefleksikan gangguan yang lebih berat pada memrosesan
informasi sensori, kemungkinan akibat lesi pada otak yang lebih luas.
Aktivasi antagonis selama gangguan eksternal secara virtual tidak ada pada
anak-anak normal baik gangguan yang memicu ayunan ke depan maupun ke
belakang pada posisi duduk (Hedberg et al. 2005). Penemuan yang ada kontras
dengan perkembangan awal fase aktivitas motorik yang lain, seperti gerakan
umum, meraih, berdiri dan berjalan (Lihat Chapter 3). Ketidakadaannya aktivitas
antagonis yang mendasari pemikiran bahwa direction specificity sebagai level
primer dari kontrol postural. Pada anak-anak dengan CP laju aktivasi antagonis
secara keseluruhan lebih tinggi selama gangguan yang mendesak (Brogren et al.
1998, 2001). Selama fase tubuh berayun kedepan aktivitas antagonis paling
terbatas pada hip fleksor dimanan aktivasi antagonis selama ayunan tubuh
kebelakang terutama muncul pada neck-extensor dan hip-extensor (Brogren et al.
1998). Cara aktivasi ini dapat bervariasi pada masing-masing anak, antara
pasangan agonis-antagonis dan antara posisi duduk. Cara yang mendukung
aktivasi pada panggul adalah coactivational, dimana burst pada hip ekstensor
selama tubuh berayun ke belakang terkadang dapat juga mendahului burst pada
hip fleksor, Yang sering terjadi pada anak dengan CP bilateral yang lebih berat.
Pada level setinggi leher, cara aktivasi selama ayunan tubuh kebelakang dapat
reciprocal maupun coactivational dengan variabilitas keduanya dapat terjadi pada
satu anak maupun beberapa anak dengan CP.
18
antagonis. Efek dari posisi duduk upright dan tegak selama gangguan eksternal
telah di investrigasi pada sepuluh anak, dengan maupun tanpa CP, dan
dibandingkan pada penyesuaian selama posisi duduk membungkuk (Brogren et al.
2001; Fig. 4.1 a,b). Pada kebanyakan anak dengan CP, duduk posisi tegak
memicu lebih banyak pengguanaan dari antagonis neck ekstensor dibandingkan
dengan posisi duduk membungkuk dimana kontrol pada anak menunjukkan
peningkatan pada lajur aktivasi dari otot trunk. Fokus untuk anak-anak dengan CP
adalah meningkatkan stabilitas kepada dimana biasanya pada anak-anak normal
berusaha untuk menstabilisasi trunk. Aktivasi dari otot-otot antagonis
memberikan tujuan fungsional yaitu memberikan anak stabilitas yang lebih baik.
Studi yang disebutkan diatas juga menunjukkan bahwa adaptasi dari amplitudo
EMG bervariasi pada posisi duduk. Baik anak normal maupun anak dengan CP
menunjukkan amplitudo yang lebih tinggi pada posisi tegak dibandingkan pada
posisi membungkuk dimana saat equilibrium terganggu, mengindikasikan posisi
duduk yang tegak pada posisi yang kurang stabil. Tetapi bagaimana amplitudo
muskular pada berbagai macam otot direction-specific yang berhubungan dengan
posisi pelvis pada awal percobaan. Kemampuan untuk memodulasi amplitudo
EMG untuk menginisiasi posisi duduk membutuhkan sebuah ide tentang orientasi
segmen tubuh dan posisi centre of gravity, dan reference frame pada postural
internal. Pada umum nya anak-anak normal pada studi ini, usia 3-5 tahun
menunjukkan modulasi kearah posisi pelvis. Pada posisi tegak dan posisi tidak
stabil lainnya, amplitudo EMG pada otot abdominal secara jelas berhubungan
dengan posisi pelvis. Pelvis yang berotasi lebih kearah belakang, mengindikasikan
batas stabilitas yang lebih kecil pada arah belakang, yang secara instan
menginduksi ( pada 100ms pertama ) amplitudo EMG yang lebih tinggi pada otot
direction specific ini. Saat anak-anak normal meniru posisi membungkuk yang
sering terlihat dilakukan oleh anak-anak dengan CP, modulasi justru muncul pada
neck-flexors. Pada mayoritas anak-anak dengan CP, tidak ada modulasi yang
terlihat berhubungan dengan konfigurasi tubuh pada posisi tegak,
Mengindikasikan kesulitan pada penyesuaian fine-tune pada basis dari input
sensori. Mengagetkannya kemampuan ini muncul pada otot abdominal saat anak
19
duduk membungkuk dengan pelvis lebih rotasi ke belakang. Dengan begitu data
ini mengindikasikan bahwa posisi duduk membungkuk tidak disebabkan oleh
penyesuaian postur yang buruk, tetapi lebih sebagai solusi dari masalah
sensorimotorik dari instabilitas pada situsasi eksperimental spesial ini.
20
Bagaimana belajar dapat mempengaruhi penyesuaian postural? Tim
penelitian kami melakukan studi pada sebelas anak dengan CP, GMFCS level
II-V dan sebelas anak dengan usia yang sama sebagai kontrol (Data tidak di
publikasi). Anak-anak ini didudukan pada sebuah platform keseimbangan yang
menghasilkan gerakan horizontal ke arah depan secara berulang. Tiap set
percobaan berisikan delapan translasi ke depan yang identik. Selama percobaan
delapan awal anak-anak di duduk kan tanpa penyangga, kemudian anak-anak
tersebut berpegangan di sebuah palang di depan mereka selama mengikut delapan
repetisi ( FIg. 4.2 a, b). Dua set trial ini kemudian digandakan. Tujuan utamanya
adalah untuk mengevaluasi efek jangka pendek dari learning dan support pada
penyesuaian postural.
21
Adaptasi yang muncul pada anak-anak, yakni ada anak normal juga anak dengan
CP, berpegangan pada palang selama gangguan berulang? Pada situasi ini hanya
kepala yang membutuhkan stabilisasi aktif, karena hanya bagian tubuh atas ini
yang membutuhkan sanggaan. Fakta ini secara jelas menunjukkan adaptasi,
terutama pada anak-anak normal. Neck-flexor sering aktif sebagai otot pertama,
derajat dari kontraksi otot menurun dan perpindahan kepala semakin besar,
mengindikasikan adaptasi yang nyata pada situasi yang kurang mendesak. Semua
otot dibawah penyangga sering jarang aktif dan dengan amplitudo yang secara
signifikan rendah dibandingkan pada situasi tanpa palang. Adaptasi yang serupa,
baik pada aktivitas otot maupun pada pergerakan, muncul pada anak-anak dengan
CP, sekalipun hanya sedikit dan dengan laju yang lambat. Anak-anak dengan CP
yang lebih berat membutuhkan repetisi yang lebih banyak untuk beradaptasi,
contohnya untuk memulai penyesuaian anak-anak dengan CP tidak menggunakan
hip-flexor tetapi menggunakan neck-flexor. Pada studi ini menunjukkan
komponen dasar dari penyesuaian postural dapat dipengaruhi oleh repetisi dan
latihan. Pertanyaan yang penting untuk dijawab pada studi klinis mendatang
adalah bagaimana latihan dapat dilakukan agar dapat memberikan
dampak/pengaruhin pada fungsi sehari-hari anak.
Gerakan volunter adalah sumber dari gangguan postural yang dipicu secara
internal. Pada posisi duduk akan mengganggu equilibeium terytana melibatkan
gangguan yang dipicu dari gerakan satu atau kedua tangan, seperti contohnya
gerakan menunjuk, meraih atau mendorong untuk membuka pintu.
Gerakan-gerakan ini dihasilkan beberapa kali per hari, hal tetdebut termasuk
pengalaman dan pembelajaran, tidak hanya pada gerakan tangan namun juga
berdampingan dengan penyesuaian postural. Pembelajaran ini memungkinkan
untuk mengontrol proses menggunakan hasil/efek yang sudah
diketahui/diantisipasi atau “anticipatory organisation of posture” (Massion et al.
2004).
22
Masih sedikit studi yang mempelajari penyesuaian postural selama gangguan
yang dipicu secara internal pada anak-anak dengan CP yang menilai postur
selama gerakan meraih saat duduk. Sebelum kita memindahkan perhatian kita
pada penyesuaian postus selama meraih pada anak dengan CP, Kita perlu
membahas isu tentang bagaimana anak dengan CP melakukan gerakan meraih.
23
Meraih pada anak dengan CP
Selama pertumbuhan gerakan meraih menjadi lebih cepat, lebih lurus dan
lebih halus dengan bertambahnya usia (Chapter 3). Peningkatan pada kehalusan
gerakan meraih diakibatkan oleh menurunnya koreksi dari jalur gerakan. Koreksi
ini disebut unit gerakan. Mereka adalah pergerakan yang besar dari gerakan
meraih yang ditentukan oleh bantuan dari puncak pada profil velocity dari tangan
yang meraih (Von Hofsten 1991). Gerakan meraih pada bayi yang memulai
belajar meraih berisikan 3-7 unit gerakan, dimana pada anak usia 12 sudah
memiliki konfigurasi orang dewasa yakni hanya terdapat 2 unit gerakan (Von
Hofsten 1991, Kuhtz-Buschbeck et qal. 1998, Fallang et al. 2000). Dengan
bersamaan, peningkatan yang relatif pada panjang dan durasi dari unit gerakan
pertama, yang di sebut juga unit gerakan transport, terlihat agar meliputi secara
bertahap proporsi yang besar pendekatan pada target.
Gerakan meraih pada anak dengan CP lebih lambat dan memerlukan waktu
lebih banyak dibandingkan anak-anak normal seusianya. Hal ini benar pada
tangan dominan dan non dominan (Chang et al. 2005, Van der Heide et al. 2005a,
Coluccini et al. 2007). Chang et al. (2005) mempelajari gerakan menunjuk adalah
gerakan yang pada tangan yang paling terkena di sepuluh sekolah anak dengan CP.
Dua anak memiliki CP unilateral spastik dan delapan CP bilateral spastik yang
bervariasi tingkat keparahannya. Anak-anak didudukkan di kursi dengan harness
bilateral, yang terfiksasi pada bagian belakang dari kursi untuk memberikan
stabilitas trunk, Studi ini mengindikasikan bahwa gerakan menunjuk pada anak
dengan CP kurang halus dan berisikan banyak unit gerakan dibandingkan
anak-anak normal seusianya sebagai kontrol. Jumlah unit gerakan berhubungan
dengan derajat spastisitas dari tangan yang digunakan untuk menunjuk. Studi ini
juga melaporkan bahwa penurunan kapasitas untuk melakukan gerakan meraih
secara halus lebih menonjol saat kebutuhan akurasi sebuah tugas meningkat. Van
Roon et al. (2005) yang menilai gerakan maju dari tangan saat memegang sendok
dengan dan tanpa air pada anak dan dewasa dengan CP, melaporkan efek yang
sebanding pada kebutuhan akurasi. Saat seseorang dengan CP harus
24
mentrasportasi sendok berisikan air derajat dari pembantu kontraksi pada otot
pundak meningkat dibandingkan pada sendok tanpa air.
Van der Heide et al. (2005a) menilai kualitas kinematik dari gerakan meraih
pada tangan yang dominan atau tangan yang paling sedikit terkena pada 51 anak
dengan CP usia antara 2-11 tahun selama duduk mandiri tanpa penyangga. Semua
anak-anak tersebut lahir preterm, 33 memiliki CP unilateral spastik dan 18
bilateral spastik. Gerakan meraih pada anak-anak dengan CP jarang hanya
berisikan satu unit gerakan dibandingkan anak-anak normal seusianya. Tambahan,
gerakan meraih pada anak-anak dengan CP bilateral spastik kurang lurus
dibandingkan dengan anak-anak normal dan proporsi dari gerakan meraih dan unit
gerakan transport yang meliputi lebih kecil pada anak dengan CP bilateral spastik
dibandingkan dengan anak-anak normal seusianya. Ini artinya gerakan meraih
pada tangan dominan anak dengan CP bilateral spastik secara umum lebih terkena
dibandingkan dengan anak CP unilateral spastik. Studi ini juga melaporkan bahwa
kualitas kinematik pada gerakan meraih berhubungan dengan keparahan dari lesi
yang ada pada ultrasound scan dari otak neonatus, keparahan dari gangguan
motorik, derajat spastisitas dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada kasus meraih saat duduk, direction specificity artinya bahwa otot pada
bagian dorsal tubuh, contoh nya neck-extensors, thoracic extensor, lumbar
extensor dan hamstrik, secara primer teraktivasi untuk mengatasi ayunan tubuh
kedepan. Level dasar dari kontrol intak hampir pada seluruh anak dengan CP,
kecuali pada beberapa anak GMFCS level IV atau V. Tidak adanya penyesuaian
direction specificity total menandakan defisit yang sangat berat. Hal ini tidak
dapat ditunjukkan dengan ketidakmampuan duduk tanpa bantuan, sebagaimana
bayi normal biasanya sudah mulai menunjukan penyesuaian direction-specific
pada usia yang sangat dini (see Chapter 3). Dua penjelasan untuk kurangnya
direction-specificity sebagai berikut (1) sinergi postural tidak dikode atau (2)
25
proses disfungsional pada informasi sensori menghambat perekrutan sinergi
direction-specific. Keseluruhan dari kurangnya spesifitas arah pada anak-anak ini
mengartikan bahwa dasar yang fundametal pada kontrol postur hilang dan
anak-anak ini tidak akan pernah mampu belajar untuk duduk secara mandiri
walaupun dengan banyak latihan.
Dengan demikian, mayoritas anak dengan CP, level dasar kontrol postural anak
selama meraih pada posisi duduk masih intak contohnya anak memiliki kapasitas
untuk memunculkan aktivitas postural dengan arah spesifik. Pengecualian pada
aturan ini pada fungsi ada pada GMFCS level V dimana anak-anak tidak memiliki
syarat mutlak neural untuk kontrol postural saat duduk.
26
distereotipkan dari atas kebawah muncul terutama pada anak dengan CP yang
ringan sampai sedang, dan jarang pada anak dengan CP yang berat, hal ini
mengindikasikan bahwa penggunaan cranio-caudal lebih disukai merefleksikan
strategi anak untuk memberikan tujuan terbaik pada kontrol postural contohnya
stabilisasi kepala (Pozzo et al. 1990, Latash and Anson 1996, Van der Heide et al.
2004). Tidak adanya kontraksi tambahan dari antagonis selama meraih saat duduk
kontras dengan penemuan kontraksi tambahan antagonis yang berlebihan pada
anak CP pada kondisi lain, seperti locomotion atau gangguan eksternal selama
duduk dan berdiri (lihat juga Chapter 5). Faktanya, adanya kontraksi tambahan
dari antagonis pada anak dengan CP pada situasi spesifik diduga bahwa kontraksi
tambahan antagonis tidak berhubungan dengan disfungsi neural, tetapi mungkin
berhubungan dengan strategi fungsional untuk mengatasi situasi dimana
keseimbangan sangat dibutuhkan.
27
Hal ini dapat diangan-angankan bahwa defisit utama pada anak dengan CP
pada kemampuan fine-tuning pada aktifitas postural diakibatkan oleh menurunnya
kapasitas untuk beradaptasi pada derajat kontraksi otot postural pada situasi
tertentu, dan fenomena postural lainnya contohnya urutan penggunaan dan
kontraksi tambahan yang berlebihan dari antagonis, adalah strategi kompensasi
untuk mengatasi defisit utamanya. Pada umumnya anak-anak normal dapat
menggunakan informasi yang berasal dari konfigurasi tubuh pada awal memulai
meraih dan velocity dari tangan yang meraih beradaptasi dengan derajat kontraksi
28
otot postural dari usia 9-10 bulan dan seterusnya. Yang sumber informasinya
digunakan berdasarkan usia anak, tetapi pada umur berapapun informasi sensori
berhubungan dengan postur trunk digunakan (Fig. 4.4). Anak-anak dengan CP
unilateral spastik mampu memodulasi derajat dari kontraksi otot postural pada
basis dari informasi sensori tubuh; Tetapi mereka tidak menggunakan informasi
sensori yang berasal dari trunk. Anak-anak dengan CP bilateral spastik
menunjukkan kapsitas modulasi derajat kontraksi otot postural yang sanagat
terbatas. Mereka mungkin dapat menggunakan informasi yang berhubungan
dengan velocity dari tangan yang meraih untuk mengadaptasi derajat kontraksi
otot postural, tetapi kelihatannya mereka tidak mampu menggunakan informasi
yang berhubungan dengan konfigurasi tubuh pada saat memulai meraih (FIg 4.4).
Disfungsi kontrol postural pada anak dengan CP selama meraih saat duduk juga
merefleksikan kinematik postur duduk mereka (Van Der Heide et al. 2005b).
Anak dengan CP duduk dengan pelvis yang lebih bersandar dan trunk yang lebih
jatuh. Semakin bersandar posisi pelvisnya saat mulai meraih berhubungan dengan
kualitas kinematik yang lebih baik pada meraih. Perbedaan pada posisi duduk
pada anak dengan CP tidak berhubungan dengan performa fungsi selama AKS.
Perpindahan kepala, trunk dan pelvis selama meraih pada anak dengan CP hampir
sama dengan anak-anak normal. Tetapi pada anak dengan CP kepala lebih stabil,
dan trunk yang lebih mobile dan pelvis yang lebih stabil berhubungan dengan
kualitas kinematik yang lebih baik dari meraih dan performa fungsional yang
lebih baik pada AKS (Van Der Heide et al. 2005b). Coluccini et al. (2007), yang
menginvestigasi lebih kompleks dari meraih, menggenggam, transport dan tugas
membebaskan mengindikasikan bahwa anak dengan CP menunjukkan
perpindahan yang lebih besar pada kepala dan trunk selama tugas berlangsung
dibandingkan anak-anak normal seusianya. Dari data tersebut menunjukkan
bahwa perpindahan pada anak dengan CP unilateral spastik lebih sedikit dan lebih
tidak kompleks dibandingan dengan anak dengan gangguan gerakan diskinetik.
29
Efek dari intervensi pada kontrol postural selama duduk
30
menunjukkan manfaat karena berhubungan dengan menurunnya aktivitas otot dari
ekstensor lumbar dam hip-adduktor dan dengan fungsi ekstremitas atas yang lebih
baik (Nwaobi et al. 1983, Nwaobi 1986, 1987). Hasil yang bertentangan diatas
menyebutkan dari penelitian diatas terdapat beberapa perbedaan pada metodologi
nya (contohnya: perbedaan pada posisi duduk), grup penelitian (Anak-anak
dengan bentuk CP yang berbeda-beda), usia (212-16 dan 4-15 tahun) dan tipe
tugas yang dikerjakan (contohnya test meraih dan menggambar). Baru-baru ini
kami melakukan sebuah penelitian pada efek dari kemiringan permukaan tempat
duduk pada kontrol postural dan kualitas meraih pada 34 anak dengan CP
unilateral spastik dan 24 anak dengan CP bilateral spastik dan anak dengan
perkembangan normal (2-11 years; Hadders-Algra et al. 2007). Pada anak yang
perkembangannya normal permukaan tempat duduk yang condong kedepan
sebesar 15° tidak mempengaruhi kontrol postural dan meraih, tetapi dengan
miring 15° kebelakang menghasilkan performa meraih yang lebih baik dengan
usaha kontrol postural yang lebih besar, contohnya derajat kontraksi otot postural.
Pada anak dengan CP unilateral spastik, kemiringan kedepan memberikan efek
merugikan pada kontrol postural dan tidak memberikan pengaruh pada kualitas
dari meraih. Efek yang serupa dari manipulasi postur pada grup anak-anak yang
berbeda dilaporkan oleh Van Roon et al (2005). Strapping pada trunk selama
gerakan tangan yang ditargetrkan menghasilkan kontraksi tambahan pada otot
pundak pada anak-anak normal, dan menurun derajat kontraksi tambahannya pada
anak dengan CP unilateral spastik dan tidak memberikan efek pada derajat
kontraksi tambahan otot pundak pada anak dengan CP bilateral spastik. Dari data
ini mengindikasikan bahwa anak-anak dengan CP unilateral spastik lebih dapat
memanfaatkan adaptasi spesifik duduk dibandingkan dengan anak-anak yang CP
bilateral spastik.
Studi terbaru mengevaluasi efek dari dua bentuk intervensi awal pada
perkembangan postural pada 20 bayi dengan resiko tinggi gangguan
perkembangan motorik seperti CP (De Graaf-Peters et al.2007). Bayi dengan
gerakan general abnormal yang nyata pada usia yang dapat dikoreksi pada usia 3
bulan secara acak diberikan fisioterapetik pediatrik tradisional (n=11) atau
31
program intervensi baru yang disebut COPCA (n=9). COPCA (Coping an caring
for infat with neurological dysfunction - a family centred programme; see
Blauw-Hospers et al. 2007), COPCA ini menggunakan prinsip perkembangan
motorik dari Neuronal Group Selection Theory (NGST; Hadders-Algra et al.
2000a, b; see Chapter 3) dan pada pemahaman baru pada bidang edukasi dan
family care (Dale 1996, Rosenbaum et al. 1998). Fisioterapi pediatrik tradisional
Belanda biasanya berisikan NeuroDevelopmental Treatment (NDT). Intervensi
diberikan selama 3 bulan. Aktivitas postural dinilai pada bulan ke 4 dan ke 6
selama meraih saat berbaring posisi supine dan saat duduk dengan penyangga.
Pada usia 4 bulan, kedua grup yakni pada grup bayi beresiko menunjukkan
aktivitas direction-specific yang lebih sedikit pada posisi supine dan duduk
dibandingkan pada bayi normal dengan usia yang sama. Pada usia 6 bulan,
performa postural pada bayi beresiko yang mendapatkan intervensi COPCA
terjadi perbaikan pada kontrol postural. Bayi yang mendapatkan intervensi
COPCA menunjukkan penyesuaian yang direction-specific saat duduk, lebih
sering memilih pola aktivasi otot yang paling sesuai dari repertoire mereka dari
direction-specific adjustment, dan menunjukkan sinkronisasi onset dari kativitas
otot postural yang signifikan lebih jarang. Pada usia 6 bulan, performa postural
pada bayi beresiko yang mendapatkan intervensi COPCA mengalami perbaikan
sampai pada tahap mendekati bayi normal seusianya. Dari data menunjukkan
bahwa intervensi yang membutuhkan pengalaman trial and error yang aktif
mampu memperbaiki kontrol postural. Data tersebut juga mengindikasikan bahwa
intervensi dengan pendekatan secara tradisional seperti NDT, yang melibatkan
perawatan/penanganan dan penyangga postural dengan jumlah yang substansial,
tidak efektif untuk memperbaiki perkembangan postural (Lihat juga Chapter 13).
32
level dimana mereka dapat mengontrol secara independen. Ketika kemampuan
duduk anak terjadi perbaikan penyangga diturunkan sampai kontrol penuh pada
trunk tercapai. Keseimbangan saat duduk mandiri tercapai pada semua anak antara
12 dan 25 minggu latihan (mean 16 minggu). Sayangnya informasi pada
penelitian ini masih terbatas pada level fungsi dari aktivitas sehari-hari anak,
sehingga menyulitkan untuk mengklasifikasikan anak berdasarkan level GMFCS.
Maka dari itu sulit untuk mengetahui apakah duduk mandiri sudah tercapai
terlebih dahulu tanpa targeted training. Namun, yang pasti bahwa anak-anak pada
penelitian ini memiliki head control yang normal sampai dengan adekuat yang
menunjukkan adanya direction specifity partial yang tidak hilang seluruhnya.
Sehingga dapat di hipotesiskan dari studi milik Woolalcott and colleagues (2005)
pada latihan keseimbangan selama stance pada anak dengan CP dimana adaptasi
berlangsung pada kedua lebel dari model kontrol postural. Pertama penelitian
Woollacott mengindikasikan saat kapasitas untuk menghasilkan direction-specific
adjusment ada namun terbatas, direction specifity akan muncul selama latihan.
Kedua pada peneilitan ini melaporkan bahwa perbaikan pada karakteristik respon
neuromuskular berlangsung pada level kedua dari kontrol: (1) perbaikan pada
pengaturan waktu dari otot direction-specific, (2) perbaikan pada urutan aktivitas
otot direction specific, (3) Menurunnya kontraksi tambahan dari agonis/antagonis,
(4) adaptasi dari derajat kontraksi otot pada stimuli gangguan (lihat juga Chapter
5).
Pendekatan COPCA meliputi pandangan ekologi pada anak dan bagaiman latihan
fungsi dapat digabungkan dan dapat dijadikan bagian dari aktivitas sehari-hari
keluarga (Bronfenbrenner 1986). Pendekatan dari Butler menjelaskan pandangan
intervensi yang berdasarkan pada gangguan dengan program training yang lebih
spesifik. Pro kontra dari pandangan ini akan didiskusikan lebih lanjut pada
Chapter 13.
33
Kesimpulan
34