Anda di halaman 1dari 22

STIFF NECK / NECK PAIN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Stiff Neck

Disusun oleh:
Muhammad Roni R, Amd.kep.,
Sulaeman Novrijal, Amd. Kep.,

Instalasi Gawat Darurat


Rumah Sakit Unggul Karsa Medika
Bandung Jawa Barat

Pendahuluan
Stiff neck, Nyeri leher atau dikenal juga sebagai nyeri servikal merupakan
salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang berobat ke fasilitas
kesehatan. Setiap tahunnya, diperkirakan sekitar 16,6% populasi dewasa mengeluh
rasa tidak enak di leher, bahkan 0,6% akan berlanjut menjadi nyeri leher yang berat.
Insiden nyeri servikal semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Pada populasi
berusia diatas 50 tahun, sekitar 10% mengalami nyeri leher. Salah satu penyebab
nyeri leher adalah nyeri miofasial (Kornelis & Mark, 2007; Turana, dkk., 2006).
Nyeri miofasial servikal disebabkan oleh karena adanya titik nyeri atau
disebut myofascial trigger points (MTrPs). Palpasi pada MTrPs ini dapat
menimbulkan nyeri alih atau referred pain. MTrPs merupakan daerah hipersensitif
yang terletak pada taut band otot-otot skeletal, tepatnya pada endplate zone (Lowe,
2004). Nyeri miofasial dapat menyebabkan spasme otot, kontraktur kolagen, adhesi,
cross-link abnormal antara aktin dan myosin, serta penurunan sirkulasi darah pada
daerah tersebut (Yap, 2007). Apabila tidak segera ditangani dengan tepat, taut band
akan dapat meluas ke seluruh otot yang disebut dengan myosis (Daniel dkk., 2003).
Diagnosis serta edukasi terhadap pasien sangat vital pada penatalaksanaan
nyeri miofasial servikal. Hal ini dapat mencegah nyeri miofasial servikal menjadi
nyeri kronis.

I. Pengertian
Secara tradisional, nyeri miofasial dapat didefinisikan sebagai nyeri yang
berasal dari MTrPs pada otot. MTrPs merupakan daerah kecil dan sensitif pada otot
yang secara spontan atau pada palpasi akan menimbulkan nyeri alih atau referred
pain (Hong, 2006).
Nyeri leher merupakan rasa tidak nyaman di sekitar leher, sering dikeluhkan
dan menjadi alasan pasien datang berobat ke dokter, menurut The International
Association for the Study of Pain (IASP) nyeri leher merupakan sakit yang dirasakan
di daerah yang dibatasi oleh garis nuchal di bagian superior dan dibagain inferiornya
dibatasi oleh prosesus spinosus torakal satu dan daerah lateral leher, sedangkan
nyeri leher non spesifik merupakan nyeri mekanik yang dirasakan diantara oksiput
dan torakal satu dan otot-otot sekitarnya tanpa penyebab yang spesifik (Gupta dkk.,
2008).
Nyeri leher menurut Douglass dan Bope merupakan nyeri yang dihasilkan
dari interaksi yang komplek antara otot dari ligamen serta faktor yang berhubungan
dengan kontraksi otot, kebiasaan tidur, posisi kerja, stres, kelelahan otot, adaptasi
postural dari nyeri primer lain seperti bahu, sendi temporomandibular, craniocervikal
atau perubahan degeneratif dari discus cervikalis dan sendinya (Douglas dan Bope,
2004).

II. Etiologi
NMS dianggap terjadi akibat penggunaan secara berlebihan ataupun trauma
terhadap otot-otot daerah bahu dan leher (Duyur, 2009). Secara umum, penyebab
NMS dibagi dua, yaitu mekanik dan ergonomik. Penyebab mekanik adalah akibat
trauma akut atau mikrotrauma berulang. Sementara penyebab ergonomik adalah
akibat posisi tidur yang kurang baik ataupun posisi kerja yang buruk (Yap, 2007).
Pasien dengan NMS biasanya memiliki riwayat kecelakaan lalu lintas atau
riwayat aktivitas berat yang menggunakan ekstremitas atas (Phillips, 2012). Pada
tulang belakang servikal, otot-otot yang sering terlibat dalam nyeri miofasial servikal
adalah otot trapezius, levator skapula, rhomboid, supraspinatus, dan infraspinatus.
Nyeri miofasial trapezius biasanya terjadi pada orang-orang yang bekerja di depan
meja komputer tanpa menggunakan armrests (Phillips, 2012).
Selain itu, ada beberapa hal yang juga berperan terhadap insiden NMS
seperti disfungsi endokrin, infeksi kronis, defisiensi nutrisi, postur tubuh yang kurang
baik, dan stres psikologis (Yap, 2007; Phillips, 2012). Lesi neuromuskular patologis,
seperti strain, sprain, enthesophaty, artritis, dan lesi diskus vertebralis ditengarai
juga mampu mereaktivasi MTrPs dalam fase laten (Hong, 2006).
Menurut sumber lainnya menyebutkan bahwa penyebab utama dan berat dari
sakit leher meliputi:
1. Spondilosis : Artritis degeneratif dan osteofit.
2. Spinal stenosis : Penyempitan kanal tulang belakang.
3. Spinal herniasi : Menonjol atau menggelembungnya diskus.
Sedangkan penyebab umum yang sering juga diakibatkan oleh kebiasaan
ergonomis yang buruk adalah sebagai berikut:
1. Posisi yang salah dalam jangka waktu yang lama, banyak orang jatuh
tertidur di sofa dan kursi dan bangun dengan keluhan sakit leher.
2. Bekerja pada postur dan posisi tertentu dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan kontraksi otot berlebihan sehingga timbul nyeri.
3. Cedera atau penyakit pada suatu organ dan struktur yang terletak di dekat
leher, misalnya saraf, pembuluh darah, kelenjar tiroid, kelenjar getah
bening leher, sistem pencernaan, jalan napas, otot rangka leher dan saraf
tulang belakang.
4. Tekanan fisik dan emosional dapat menyebabkan otot tegang dan
peregangan, sehingga timbul rasa sakit dan kaku pada otot.
5. Penyakit degeneratif, misalnya spondilosis tulang leher.
6. Infeksi pada berbagai struktur pada leher, yang meliputi infeksi
tenggorokan, abses atau luka nanah di belakang faring, radang atau
pembesaran kelenjar getah bening, radang tulang belakang, dan penyakit
Pott atau tuberkulosis tulang belakang.
7. Meningitis atau infeksi pada selaput pembungkus otak, keganasan atau
kanker kepala dan leher, pembedahan arteri karotis, fibromyalgia, radang
pada sendi, radikulopati, penekanan pada saraf-saraf yang berasal dari
tulang leher.
8. Cedera akibat hentakan keras di area kepala-leher, kecelakaan mobil,
cedera kontak pada olahraga, dan juga patang tulang belakang dan pada
kasus yang berat yang melibatkan tulang belakang menyebabkan
kelumpuhan (Tulaar, 2008).

III. Tanda dan Gejala


Gambaran utama dari sindrom nyeri miofasial adalah adanya nyeri atau nyeri
tekan yang terlokalisir pada satu otot atau regio tertentu, dengan pola nyeri menjalar
yang unik dan stereotipik (Lowe, 2004).
Palpasi dari otot tersebut menunjukkan fokus yang hiperiritatif, yang
menyebar dan berada dalam struktur yang dikenal dengan taut band (Hong, 2006).
Sejalan dengan referred pain, efek eksitatori sentral juga dapat dirasakan oleh
pasien (Phillips, 2012). Ketika hiperalgesia sekunder muncul, biasanya akan terjadi
peningkatan sensitivitas ketika kulit kepala disentuh. Beberapa pasien akan
mengatakan rambutnya terasa nyeri atau terasa sakit saat menyisir rambutnya (Yap,
2007).
Ko-kontraksi merupakan kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri
miofasial. Titik nyeri pada bahu atau otot servikal dapat menghasilkan ko-kontraksi
pada otot mastikasi (Daniel dkk., 2003). Jika hal ini berlanjut, nyeri pada otot
mastikatori dapat muncul. Penatalaksanaan pada otot mastikatori tidak akan
menghilangkan keluhan karena MTrPs berasal dari servikospinal dan otot bahu
(Yap, 2007; Daniel dkk., 2003).
Efek autonomik juga dapat muncul (Phillips, 2012). Hal ini dapat
menyebabkan gejala klinis seperti mata kering dan perubahan vaskular. Terkadang
konjungtiva dapat menjadi merah, bahkan mungkin terjadi perubahan mukosa yang
memproduksi sekret nasal yang mirip dengan alergi (Phillips, 2012). Kunci untuk
menentukan apakah efek autonomik berhubungan dengan efek eksitatori sentral
atau reaksi lokal adalah unilateral atau bilateral (Hong, 2006). Efek eksitatori sentral
pada area trigeminal jarang melewati garis tengah. Maka efek autonomik akan
bersifat unilateral dan berada pada sisi yang sama dengan nyeri (Phillips, 2012).
Oleh karena itu, gejala klinis nyeri miofasial umumnya berhubungan dengan
efek eksitatori sentral yang dihasilkan oleh MTrPs dan MTrPs tersebut sendiri
(Phillips, 2012). Otot dengan MTrPs biasanya didapatkan disfungsi struktural yang
disebut dengan stiff neck (Hong, 2006).
Beberapa studi juga mendapatkan bahwa adanya MTrPs berhubungan
dengan beberapa kondisi nyeri lainnya, seperti migrain, tension-type headache,
kelainan temporomandibula, nyeri leher dan bahu, epicondylalgia, carpal tunnel
syndrome, low back pain, nyeri pelvis, dan sindrom whiplash (Fernandez dkk, 2007;
Vernon & Schneider, 2009).

IV. Patofisiologi
NMS merupakan nyeri myogenous regional yang ditandai dengan jaringan
otot hipersensitif dan area lokal keras yang disebut titik nyeri atau MTrPs (Yap,
2007; Hong, 2006; Duyur, 2009). Jaringan otot dan perlekatan tendon pada area ini
seringkali dirasakan sebagai taut band, yang ketika dipalpasi akan menghasilkan
nyeri (Yap, 2007). Asal dari MTrPs masih belum diketahui dengan pasti, diperkirakan
karena adanya ujung serat otot yang tersensitisasi oleh substansi alogenik yang
akan menghasilkan zona hipersensitif (Phillips, 2012).
Karakteristik unik dari NMS adalah adanya MTrPs yang merupakan sumber
nyeri konstan dan dapat menghasilkan efek eksitatori sentral (Yap, 2007). Jika
MTrPs mengeksitasi kelompok interneuron aferen, maka akan muncul nyeri alih
dengan pola yang khas sesuai dengan lokasi MTrPs yang terlibat (Phillips, 2012).
Perubahan morfologis berupa peningkatan kekauan yang signifikan pada taut band
dari MTrPs. Pada MTrPs ditemukan kadar neuropeptida (substansi P atau calcitonin
gene-related peptide), katekolamin (norepinephrine), dan sitokin proinflamasi (tumor
necrosis factor alpha,interleukin 1-beta, interleukin 6, dan interleukin 8) yang lebih
tinggi dibandingkan jaringan sekitarnya (Fernandez dkk., 2007).
Fitur neurosensoris meliputi adanya nyeri alih, hipersensitif terhadap stimulus
nosiseptif (hiperalgesia) dan stimulus non-nosiseptif (allodynia), dan perubahan
respon aliran darah lokal. Dari segi elektrofisiologi, beberapa penelitian menemukan
adanya aktivitas listrik spontan yang berasosiasi dengan meningkatnya endplate
potentials dan pelepasan asetilkolin yang berlebihan pada MTrPs. Selain itu, MTrPs
juga dapat menginduksi perubahan pola aktivasi otot normal sehingga menyebabkan
disfungsi motorik (Vernon & Schneider, 2009).
Jika NMS tidak ditangani segera, maka MTrPs dapat menjadi sebuah fokus
iritatif dan akan mengirim impuls nyeri secara persisten dan berlebihan melalui
neuron-neuron sensorisnya ke medula spinalis. Stimulus nyeri yang berlebihan
dapat memfasilitasi pelepasan neurotransmiter nosiseptif disertai dengan penurunan
ambang terhadap aktivasi sinaptik, amplifikasi, dan persepsi nyeri. Keadaan ini
disebut dengan spinal segemental sensitisation. Kondisi ini akan mempengaruhi
komponen sensoris, motorik, dan sklerotomal dari segmen medula spinalis yang
hiperaktif tersebut (Daniel dkk., 2003).
NMS juga ditengarai akibat peningkatan kadar asetilkolin. Stres pada otot
baik pada trauma akut ataupun penggunaan otot yang berlebihan akan
menyebabkan iskemia dan hipoksia. Hal ini berakibat pada kerusakan fiber otot,
peningkatan pelepasan kalsium, deplesi energi, dan pelepasan sitokin yang
menyebabkan nosisepsi otot dan menimbulkan referred pain. Iskemia dan hipoksia
juga meningkatkan kadar asam dan menghambat aktivitas asetilkolinesterase. Kadar
asam merangsang pelepasan dari calcitonin gene related peptide (CGRP). Keadaan
ini meningkatkan kadar asetilkolin yang berakibat pada meningkatnya miniature end
plate potential (MEPP) yang berakibat pada kontraksi sarkomer dan menimbulkan
taut band. Definisi dari taut band adalah daerah di dalam otot skeletal yang
konsistensinya bertambah keras dan menjalar di sepanjang otot tersebut paralel
terhadap arah dari serat otot. Nyeri terlokalisir di dalam taut band dikenal sebagai
MTrPs (Hong, 2006).

V. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NMS meliputi terapi fisik, injeksi MTrPs, terapi stretch-and-
spray, dan kompresi iskemik. Injeksi toksin botulinum juga telah digunakan, namun
manfaatnya masih diteliti lebih lanjut (Phillips, 2012; Travel & Simons, 1992). Terapi
fisik bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan otot yang bekerja sebagai unit
fungsional. Terapi fisik ini akan mengurangi rasa sakit pada NMS. Pendekatan
berbasis modalitas digunakan dalam terapi fisik yang dilakukan bersamaan dengan
teknik miofasial release dan pemijatan.
Peregangan servikal dan stabilisasi leher merupakan bagian integral dari
pendekatan berbasis modalitas ini. Pelatihan postural secara berulang sangat
penting dalam NMS, mengingat postur yang buruk merupakan salah satu penyebab
nyeri myofascia ini. Evaluasi ergonomis dapat dipertimbangkan apabila pengaruh
lingkungan kerja besar terhadap kejadian NMS tersebut (Phillips, 2012).
Selain terapi fisik dan olahraga, injeksi dari MTrPs merupakan salah satu cara
yang sudah banyak digunakan dalam terapi NMS(Gambar 2) [Phillips, 2012]. Injeksi
MTrPs umumnya dilakukan dengan pemberian anestesi lokal, namun tusukan jarum
kering juga dilaporkan memiliki efektivitas yang sama (Phillips, 2012; Lee dkk.,
2008).

Gambar 5.1 Injeksi MTrPs.


Palpasi datar untuk melokalisasi dan menahan trigger point untuk dilakukan injeksi.
(A) dan (B) menunjukkan menekan 2 jari secara bergantian untuk mengkonfirmasi
lokasi dari modul trigger point yang dapat teraba. (C) menunjukkan trigger point
diposisikan di tengah antara ujung jari agar tidak geser ke sisi lain selama injeksi
(Phillips, 2012).
Kompresi iskemik juga dapat dilakukan dengan melibatkan aplikasi tekanan
berkelanjutan pada MTrPs. Kompresi dilakukan dengan sebelumnya menempatkan
otot dengan MTrPs pada posisi yang teregang sepenuhnya. Tekan dengan kuat
daerah dengan MTrPs dengan ibu jari. Kemudian secara bertahap tekanan
ditingkatkan sehingga rasa sakit berkurang (Phillips, 2012).
Stretch and spray adalah metode lain yang digunakan untuk mengobati rasa
nyeri pada NMS. Teknik ini dilakukan dengan dengan menggunakan semprotan
vapocoolant yang disemprotkan pada otot yang terkena setelah ditempatkan dalam
keadaan peregangan pasif. Peregangan pada taut band dapat mengurangi tegangan
otot dan meningkatkan sirkulasi lokal. Semprotkan vapocoolant ke daerah sekitar
MTrPs dan area yang mengalami nyeri alih ditekan secara paralel ke arah yang
sama. Beberapa penulis merekomendasikan melakukan penyemprotan vapocoolant
terlebih dahulu, kemudian peregangan pasif otot dengan MTrPs, dan kemudian
mengulangi penyemprotan pada otot yang sudah diregangkan (Phillips, 2012).
Terapi injeksi toksin botulinum telah menuai pendapat yang beragam dalam
literatur. Injeksi langsung botulinum toksin ke titik pemicu dilaporkan menghasilkan
hasil yang tidak konsisten. Penggunaan terbaik dari botulinum toksin mungkin untuk
memperbaiki biomekanik abnormal yang memicu munculnya respon myofascia
(Harden, 2008; Jabbari, 2008; Jeynes, 2008).
Berbagai analgetik juga dapat digunakan dalam pengobatan, seperti obat
anti-inflamasi nonsteroids (OAINs), antidepresan trisiklik, relaksan otot, analgesik
non-narkotik dan antikonvulsan. Jika gambaran klinis berupa nyeri kronis disertai
gangguan tidur, pertimbangkan penggunaan antidepresan trisiklik (TCA). Relaksan
otot, meskipun biasanya diberikan untuk mengobati nyeri otot, harus digunakan
dengan hati-hati karena efek penenangnya dan dalam beberapa kasus terjadi
potensiasi adiktif (Phillips, 2012).
Analgesik opioid seperti tramadol juga dapat digunakan untuk nyeri myofascia
servikal. Tramadol adalah opioid lemah dan penghambat reuptake serotonin dan
norepinefrin di cornu dorsalis. Penelitian menunjukkan efektifitas tramadol ketika
digunakan untuk mengobati fibromyalgia, meskipun penelitian spesifik manfaatnya
untuk nyeri miofasial servikal belum ada. Tramadol dikenal dalam membantu
mengatasi nyeri punggung dan nyeri osteoartritis
kronis, yang keduanya sering dikaitkan dengan nyeri miofasial (Phillips, 2012).
Antikonvulsan dapat digunakan sebagai analgesik neuropatik, karena nyeri
miofasial mungkin diakibatkan oleh kelainan tulang belakang yang dimediasi
disfungsi neuropatik. Gabapentin telah terbukti efektif dalam mengobati nyeri
myofascia dan neuropatik. Gabapentin merupakan membrane stabilizer. Gabapentin
adalah analog struktural dari neruotransmiter inhibisi, gamma-aminobutyric acid
(GABA). Gabapentin tidak memiliki efek pada reseptor GABA, namun melalui
subunit α2δ1 dan α2δ2 pada kanal kalsium. Hal ini akan bermanfaat untuk
mengatasi rasa nyeri dan memberikan efek sedasi pada nyeri neuropatik (Phillips,
2012).
Pasien yang mengalami nyeri miofasial servikal perlu diedukasi dengan baik
mengenai faktor-faktor yang mendasarinya atau masalah yang dapat menyebabkan
nyeri dan mengganggu mobilitasnya. Ahli terapi fisik dapat memberikan edukasi
pada pasien tentang kebiasaan latihan yang tepat dan memerintahkan mereka untuk
melakukan program latihan di rumah untuk peregangan dan rekondisi. Pasien juga
dapat mengambil manfaat dari latihan dan strategi khusus untuk meningkatkan
kesadaran postural dan mekanika tubuh dengan aktivitas sehari-hari. Jika ergonomi
tempat kerja yang buruk berkontribusi pada kondisi pasien, berikan instruksi tentang
cara yang tepat untuk memodifikasi dan merubah keadaan tempat kerja. Nyeri
miofasial servikal adalah suatu kondisi yang dapat diobati jika pasien diberikan
edukasi tentang kondisi dan mengambil peran aktif dalam proses pemulihan (Duyur,
2009; Phillips, 2012).

VI. Komplikasi
Individu dengan nyeri leher mengeluh rasa tidak nyaman di daerah leher dan
punggung atas, sakit kepala, kekakuan dan tortikolis, leher terasa nyeri pada satu
atau kedua sisi, nyeri seperti terbakar, kesemutan, kekakuan, nyeri di sekitar tulang
belikat, nyeri yang menjalar sampai ke lengan, rasa berputar dan sakit kepala adalah
gejala yang bisa ditemukan pada nyeri leher. Tanda – tanda yang perlu diwaspadai
pada nyeri leher adalah nyeri leher yang disertai dengan gejala-gejala berikut:
1. Mati rasa.
2. Kelemahan.
3. Gejala kesemutan (Crowther, 2010).

5.1 Grade nyeri leher.


Nyeri leher dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan dan struktur
anatomi yang terlibat menurut Whisplash Asociated disorder (WAD).
1. Grade 0: Tidak ada keluhan nyeri leher dan tidak ada tanda-tanda fisik.
2. Grade I: Cedera yang melibatkan keluhan leher nyeri, kekakuan atau nyeri,
tapi tidak ada tanda-tanda fisik.
3. Grade II: Keluhan nyeri leher dengan penurunan rentang gerak dan titik
nyeri
4. Grade III: Nyeri leher disertai dengan tanda-tanda neurologis seperti
penurunan atau tidak ada refleks tendon, kelemahan atau defisit sensorik.
5. Grade IV: Keluhan leher disertai dengan fraktur atau dislokasi (Crowther,
2010).
Menurut awitannya nyeri leher dapat dibedakan menjadi:
1. Nyeri leher akut: nyeri leher berlangsung dari 3 bulan sampai 6 bulan atau
nyeri yang secara langsung berkaitan dengan kerusakan jaringan.
2. Nyeri leher kronik: nyeri leher yang berlangsung lebih dari 6 bulan, pada
nyeri kronis dibedakan menjadi nyeri kronis yang penyebabnya dapat
diidentifikasi seperti cedera dan proses degenaratif diskus. Nyeri leher
kronis yang penyebabnya tidak dapat diidentifikasi seperti cedera kronis
dan fibromialgia (Deardorff, 2003).
Klasifikasi nyeri leher berdasarkan diagnosis ICD 10 dan international
classification of fungtioning, disability, and health (ICF):
1. Nyeri leher dengan gangguan mobilisasi.
2. Nyeri leher dengan nyeri kepala.
3. Nyeri leher dengan gangguan kordinasi gerak.
4. Nyeri leher dengan nyeri yang menjalar.
Klasifikasi nyeri leher berdasarkan proses patofisiologi yang mendasarinya di
bedakan menjadi:
1. Nyeri leher non spesifik atau axial atau nyeri leher mekanik yaitu nyeri leher
yang disebabkan proses patologi pada otot-otot leher tanpa ada proses
penyakit tertentu yang mendasarinya, nyeri leher tipe ini biasanya
terlokalisir, sering kali dihubungkan dengan postur atau posisi leher yang
tidak ergonomis dalam jangka waktu tertentu saat melakukan pekerjaan.
2. Nyeri leher radikulopati yaitu nyeri leher yang diikuti dengan gangguan
sensoris atau kelemahan pada sistem motorik, nyeri ini timbul sebagai
akibat kompresi atau penekanan akar saraf.
3. Mielopati yaitu nyeri yang dirasakan sebagai akibat kompresi atau
penekanan pada medula spinalis dengan gejala seperti nyeri radikular,
kelainan sensoris dan kelemahan motorik (Robert, 2014).

VI. Pemeriksaan Penunjang


Umumnya tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan
diagnosis NMS, diagnosis dapat ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan radiologis
sering hanya menunjukkan perubahan yang tidak spesifik dan biasanya tidak
membantu dalam menegakkan diagnosis NMS (Phillips, 2012; Travel & Simons,
1992).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat membantu dalam mengevaluasi
kelainan yang signifikan dalam struktur tulang leher atau kanal spinalis. Diskus
servikal juga dapat dievaluasi. Jika ada rasa nyeri di bahu atau dinding dada, harus
disadari bahwa nyeri viseral dapat menghasilkan nyeri pada daerah-daerah ini dan
perlu dievaluasi lebih lanjut (Travel & Simons, 1992).
Pemanfaatan elektromiogram pada NMS masih kontroversial. Beberapa
penelitian menemukan manfaat yang berarti, namun beberapa penelitian lainnya
menemukan aktivitas listrik yang non spesifik (Phillips, 2012). Studi yang dilakukan
oleh Simons mendapatkan adanya potensial aksi amplitudo rendah yang tercatat
pada MTrPs. Aktivitas listrik spontan ternyata dapat dideteksi dengan menggunakan
rekaman bersensitivitas tinggi pada lokasi MTrPs tersebut. Aktivitas listrik spontan ini
dianggap merupakan suatu jenis endplate (Travel & Simons, 1992).
Gambar 6.1 Skematik dari taut bands, myofascial trigger points, dan local twich
response (Phillips, 2012).
VII. Asuhan Keperawatan
7.1 Pengkajian
Kriteria diagnosis untuk MTrPs masih diperdebatkan. Namun, menurut Fernandez,
dkk (2007), setidaknya ada tiga kriteria diagnostik minimum (1-3) dan 6 kriteria
konfirmatif (4-9) dari MTrPs, yaitu (Fernandez dkk., 2007):
1. Adanya taut band dalam otot rangka saat palpasi.
2. Adanya daerah hipersensitif di dalam taut band.
3. Reproduksi sensasi nyeri alih dengan stimulasi daerah tersebut.
4. Adanya local twitch response (LTR) dengan palpasi cepat dari taut band.
5. Terdapatnya jump sign.
6. Pengakuan pasien terhadap elicited pain.
7. Pola referred pain yang terprediksi.
8. Kelemahan otot atau kekakuan otot.

7.2 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan
oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas skeletal
Nyeri, ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
3. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal;
penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis
dan kebutuhan pengobatan berhubungan kurangnya
pemahaman atau mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

7.3 Intervensi Keperawatan


1. Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan
oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi. Kriteria Hasil:
- Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol,
- Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas
sesuai kemampuan.
- Mengikuti program farmakologis yang diresepkan,
- Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam
program kontrol nyeri.
Intervensi dan Rasional:
a. Kaji nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat faktor-faktor
yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
R/ Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program

b. Berikan matras/ kasur keras, bantal kecil,. Tinggikan linen tempat tidur
sesuai kebutuhan
R/Matras yang lembut/ empuk, bantal yang besar akan mencegah
pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada
sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada
sendi yang terinflamasi/nyeri

c. Tempatkan/ pantau penggunaan bantl, karung pasir, gulungan


trokhanter, bebat, brace. (R/ Mengistirahatkan sendi-sendi yang sakit dan
mempertahankan posisi netral. Penggunaan brace dapat menurunkan
nyeri dan dapat mengurangi kerusakan pada sendi)

d. Dorong untuk sering mengubah posisi,. Bantu untuk bergerak di tempat


tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan bawah, hindari gerakan yang
menyentak. (R/ Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan
sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/ rasa sakit pada sendi)

e. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada
waktu bangun dan/atau pada waktu tidur. Sediakan waslap hangat untuk
mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air
kompres, air mandi, dan sebagainya. (R/ Panas meningkatkan relaksasi
otot, dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di
pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal
dapat disembuhkan)
f. Berikan masase yang lembut (R/meningkatkan relaksasi/ mengurangi
nyeri)

g. Dorong penggunaan teknik manajemen stres, misalnya relaksasi


progresif,sentuhan terapeutik, biofeed back, visualisasi, pedoman
imajinasi, hypnosis diri, dan pengendalian napas. (R/ Meningkatkan
relaksasi, memberikan rasa kontrol dan mungkin meningkatkan
kemampuan koping)

h. Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk situasi individu. (R/
Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan
meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan sehat)

i. Beri obat sebelum aktivitas/ latihan yang direncanakan sesuai petunjuk.


(R/ Meningkatkan realaksasi, mengurangi tegangan otot/ spasme,
memudahkan untuk ikut serta dalam terapi)

j. Kolaborasi: Berikan obat-obatan sesuai petunjuk (mis:asetil salisilat) (R/


sebagai anti inflamasi dan efek analgesik ringan dalam mengurangi
kekakuan dan meningkatkan mobilitas.)

k. Berikan es kompres dingin jika dibutuhkan (R/ Rasa dingin dapat


menghilangkan nyeri dan bengkak selama periode akut)

2. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas skeletal


Nyeri, ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Kriteria Hasil :
- Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan
kontraktur.
- Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/ atau
konpensasi bagian tubuh.
- Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas
Intervensi dan Rasional:.
a. Evaluasi/ lanjutkan pemantauan tingkat inflamasi/ rasa sakit pada sendi
(R/ Tingkat aktivitas/ latihan tergantung dari perkembangan/ resolusi dari
peoses inflamasi)

b. Pertahankan istirahat tirah baring/ duduk jika diperlukan jadwal aktivitas


untuk memberikan periode istirahat yang terus menerus dan tidur malam
hari yang tidak terganmggu.(R/ Istirahat sistemik dianjurkan selama
eksaserbasi akut dan seluruh fase penyakit yang penting untuk mencegah
kelelahan mempertahankan kekuatan)

c. Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif, demikiqan juga latihan resistif


dan isometris jika memungkinkan (R/ Mempertahankan/ meningkatkan
fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum. Catatan : latihan tidak
adekuat menimbulkan kekakuan sendi, karenanya aktivitas yang
berlebihan dapat merusak sendi)

d. Ubah posisi dengan sering dengan jumlah personel cukup.


Demonstrasikan/ bantu tehnik pemindahan dan penggunaan bantuan
mobilitas, mis, trapeze (R/ Menghilangkan tekanan pada jaringan dan
meningkatkan sirkulasi. Memepermudah perawatan diri dan kemandirian
pasien. Tehnik pemindahan yang tepat dapat mencegah robekan abrasi
kulit)

e. Posisikan dengan bantal, kantung pasir, gulungan trokanter, bebat,


brace (R/ Meningkatkan stabilitas ( mengurangi resiko cidera ) dan
memerptahankan posisi sendi yang diperlukan dan kesejajaran tubuh,
mengurangi kontraktor)

f. Gunakan bantal kecil/tipis di bawah leher. (R/ Mencegah fleksi leher)

g. Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri,


dan berjalan (R/ Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan
mobilitas)
h. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi,
menggunakan pegangan tangga pada toilet, penggunaan kursi roda. (R/
Menghindari cidera akibat kecelakaan/ jatuh)

i. Kolaborasi: konsul dengan fisoterapi. (R/ Berguna dalam


memformulasikan program latihan/ aktivitas yang berdasarkan pada
kebutuhan individual dan dalam mengidentifikasikan alat)

j. Kolaborasi: Berikan matras busa/ pengubah tekanan. (R/ Menurunkan


tekanan pada jaringan yang mudah pecah untuk mengurangi risiko
imobilitas)

k. Kolaborasi: berikan obat-obatan sesuai indikasi (steroid). (R/ Mungkin


dibutuhkan untuk menekan sistem inflamasi akut)

3. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal;


penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
Kriteria Hasil :
- Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan
kemampuan individual.
- Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
- Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
Intervensi dan Rasional:
a. Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul awitan/ eksaserbasi
penyakit dan potensial perubahan yang sekarang diantisipasi. (R/ Mungkin
dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan adaptasi yang
diperlukan pada keterbatasan saat ini).

b.Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan. (R/


Mendukung kemandirian fisik/emosional)
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi
/rencana untuk modifikasi lingkungan. (R/ Menyiapkan untuk meningkatkan
kemandirian, yang akan meningkatkan harga diri)

d.Kolaborasi: Konsul dengan ahli terapi okupasi. (R/ Berguna untuk


menentukan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan individual. Mis;
memasang kancing, menggunakan alat bantu memakai sepatu,
menggantungkan pegangan untuk mandi pancuran)

e. Kolaborasi: Atur evaluasi kesehatan di rumah sebelum pemulangan


dengan evaluasi setelahnya. (R/ Mengidentifikasi masalah-masalah yang
mungkin dihadapi karena tingkat kemampuan aktual)

f. Kolaborasi : atur konsul dengan lembaga lainnya, mis: pelayanan


perawatan rumah, ahli nutrisi. (R/ Mungkin membutuhkan berbagai bantuan
tambahan untuk persiapan situasi di rumah)

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis dan


kebutuhan pengobatan berhubungan kurangnya pemahaman/
mengingat,kesalahan interpretasi informasi.
Kriteria Hasil :
- Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/ prognosis, perawatan.
- Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi gaya
hidup yang konsisten dengan mobilitas dan atau pembatasan aktivitas.
Intervensi dan Rasional:
a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan. (R/
Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi)

b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit melalui


diet,obat-obatan, dan program diet seimbang, l;atihan dan istirahat.(R/
Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi sendiri/ jaringan
lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah deformitas)
c. Bantu dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang
realistis,istirahat, perawatan pribadi, pemberian obat-obatan, terapi fisik, dan
manajemen stres. (R/ Memberikan struktur dan mengurangi ansietas pada
waktu menangani proses penyakit kronis kompleks)

d. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik. (R/


Keuntungan dari terapi obat-obatan tergantung pada ketepatan dosis)

e. Anjurkan mencerna obat-obatan dengan makanan, susu, atau antasida


pada waktu tidur. (R/ Membatasi irigasi gaster, pengurangan nyeri pada HS
akan meningkatkan tidur dan m,engurangi kekakuan di pagi hari)

f. Identifikasi efek samping obat-obatan yang merugikan, mis: tinitus,


perdarahan gastrointestinal, dan ruam purpuruik. (R/ Memperpanjang dan
memaksimalkan dosis aspirin dapat mengakibatkan takar lajak. Tinitus
umumnya mengindikasikan kadar terapeutik darah yang tinggi)

g. Tekankan pentingnya membaca label produk dan mengurangi


penggunaan obat-obat yang dijual bebas tanpa persetujuan dokter. (R/
Banyak produk mengandung salisilat tersembunyi yang dapat meningkatkan
risiko takar layak obat/ efek samping yang berbahaya)

h. Tinjau pentingnya diet yang seimbang dengan makanan yang banyak


mengandung vitamin, protein dan zat besi. (R/ Meningkatkan perasaan
sehat umum dan perbaikan jaringan)

i. Dorong pasien obesitas untuk menurunkan berat badan dan berikan


informasi penurunan berat badan sesuai kebutuhan. (R/ Pengurangan berat
badan akan mengurangi tekanan pada sendi, terutama pinggul, lutut,
pergelangan kaki, telapak kaki)

j. Berikan informasi mengenai alat bantu (R/ Mengurangi paksaan untuk


menggunakan sendi dan memungkinkan individu untuk ikut serta secara
lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan)

k. Diskusikan tekinik menghemat energi, mis: duduk daripada berdiri untuk


mempersiapkan makanan dan mandi (R/ Mencegah kepenatan, memberikan
kemudahan perawatan diri, dan kemandirian)

l. Dorong mempertahankan posisi tubuh yang benar baik pada sat istirahat
maupun pada waktu melakukan aktivitas, misalnya menjaga agar sendi
tetap meregang , tidak fleksi, menggunakan bebat untuk periode yang
ditentukan, menempatkan tangan dekat pada pusat tubuh selama
menggunakan, dan bergeser daripada mengangkat benda jika
memungkinkan. ( R: mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari
gaya hidup pasien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri ).

m. Tinjau perlunya inspeksi sering pada kulit dan perawatan kulit lainnya
dibawah bebat, gips, alat penyokong. Tunjukkan pemberian bantalan yang
tepat. ( R: mengurangi resiko iritasi/ kerusakan kulit )

n. Diskusikan pentingnya obat obatan lanjutan/ pemeriksaan laboratorium,


mis: LED, Kadar salisilat, PT. ( R; Terapi obat obatan membutuhkan
pengkajian/ perbaikan yang terus menerus untuk menjamin efek optimal dan
mencegah takar lajak, efek samping yang berbahaya.

o. Berikan konseling seksual sesuai kebutuhan ( R: Informasi mengenai


posisi-posisi yang berbeda dan tehnik atau pilihan lain untuk pemenuhan
seksual mungkin dapat meningkatkan hubungan pribadi dan perasaan harga
diri/ percaya diri.).

p. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis: yayasan arthritis ( bila ada).


(R: bantuan/ dukungan dari oranmg lain untuk meningkatkan pemulihan
maksimal).
7.4 Evaluasi
Dx 1 : Nyeri akut/kronis berhubungkan dengan : agen pencedera; distensi jaringan
oleh akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
Evaluasi : a. Menunjukkan nyeri hilang/ terkontrol,
b. Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas
sesuai kemampuan.
c. Mengikuti program farmakologis yang diresepkan,
d. Pasien dapat menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas
hiburan ke dalam program kontrol nyeri.

Dx 2 : Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan: Deformitas skeletal Nyeri,


ketidaknyamanan, Intoleransi aktivitas, penurunan kekuatan otot.
Evaluasi :a. Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/ pembatasan
kontraktur.
b. Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/
atau konpensasi bagian tubuh.
c. Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas

Dx 3 : Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal;


penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
Evaluasi :a. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten
dengan kemampuan individual.
b. Mendemonstrasikan perubahan teknik/ gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
c. Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/ komunitas yang dapat
memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Dx 4 : Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis dan


kebutuhan pengobatan berhubungan kurangnya pemahaman/ mengingat,kesalahan
interpretasi informasi.

Evaluasi : a. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/ prognosis, perawatan.


b. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi
gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas dan atau pembatasan
aktivitas.

VII. Daftar Pustaka


Daniels, JM, Ishmael T, Wesley RM, 2003, Managing Miofascial Pain Syndrome,
Phys Sport Med 31(10), pp. 39-45.

Duyur CB, Genc H, Altuntas V, dkk., 2009, Disability and Related Factors in Patients
with Chronic Cervical Miofascial Pain, Clin Rheumatol, 18(2), pp. 1-15.

Fernandez PC, Cuadrado ML, Arendt-Nielsen L, Simons DG, Pareja, JA, 2007,
Myofascial trigger points and sensitisation: an updated pain model for tension type
headache, Cephalgia, 27, pp. 383-93.

Harden RN, Cottrill J, Gagnon CM, dkk, 2008, Botulinum toxin A in the treatment of
chronic tension-type headache With cervical myofascial trigger points: a randomized,
doubleblind, placebo-controlled pilot study, Headache, 10(1), pp. 1-13.

Hong CZ, 2006, Treatment of Myofascial Pain Syndrome, Curr Pain Headache Re,
(10), pp. 345-349.

Jabbari B, 2008, Botulinum neurotoxins in the treatment of refractory pain, Nat Clin
Pract Neurol, 4(12), pp. 676-85.
Jeynes LC, Gauci CA, 2008, Evidence for the use of botulinum toxin in the chronic
pain setting--a review of the literature, Pain Pract, 8(4), pp. 269-76.

Kornelis AP, Mark FK, 2007, Managing Neck Pain: Evaluation and Treatment
Recommendations, Medical Progress, 34(4), pp. 1-13.

Lee SH, Chen CC, Lee CS, dkk, 2008, Effects of needle electrical intramuscular
stimulation on shoulder and cervical myofascial pain syndrome and microcirculation,
J Chin Med Assoc, 71(4), pp. 200-6.
Lowe JC, 2004, Miofascial Pain Syndrome (MPS). Tersedia pada URL:
http://www.clearpassage.com/what-we-treat/chronic-pain/miofascial-pain/ [Akses: 16
Februari 204].

Phillips D, 2012, Cervical Miofascial Pain. Tersedia pada: Medscape Reference.


URL: http://emedicine.medscape.com/article/305937 [Akses: 16 Februari 2014]
Travell JG, Simons DG, 1992, Myofascial Pain and Dysfunction, vol 2. Baltimore,
Md: Lippincott Williams & Wilkins.

Turana Y, Gorge D, Wita JS, 2006 Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana pada
Nyeri Servikal, Majalah Kedokteran Daminnus, (2), pp. 23-29.

Vernon H, Schneider M, 2009, Chiropractic management of myofascial trigger points


and myofascial pain syndrome: a systematic review of the literatur, J Manipulative
Physiol Ther, 32, pp. 14-24.

Yap EC, 2007, Miofascial Pain – an Overview, Annals Academy of Medicine 36(1),
pp. 43-48.

Anda mungkin juga menyukai