Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Stiff Neck
Disusun oleh:
Muhammad Roni R, Amd.kep.,
Sulaeman Novrijal, Amd. Kep.,
Pendahuluan
Stiff neck, Nyeri leher atau dikenal juga sebagai nyeri servikal merupakan
salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang berobat ke fasilitas
kesehatan. Setiap tahunnya, diperkirakan sekitar 16,6% populasi dewasa mengeluh
rasa tidak enak di leher, bahkan 0,6% akan berlanjut menjadi nyeri leher yang berat.
Insiden nyeri servikal semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Pada populasi
berusia diatas 50 tahun, sekitar 10% mengalami nyeri leher. Salah satu penyebab
nyeri leher adalah nyeri miofasial (Kornelis & Mark, 2007; Turana, dkk., 2006).
Nyeri miofasial servikal disebabkan oleh karena adanya titik nyeri atau
disebut myofascial trigger points (MTrPs). Palpasi pada MTrPs ini dapat
menimbulkan nyeri alih atau referred pain. MTrPs merupakan daerah hipersensitif
yang terletak pada taut band otot-otot skeletal, tepatnya pada endplate zone (Lowe,
2004). Nyeri miofasial dapat menyebabkan spasme otot, kontraktur kolagen, adhesi,
cross-link abnormal antara aktin dan myosin, serta penurunan sirkulasi darah pada
daerah tersebut (Yap, 2007). Apabila tidak segera ditangani dengan tepat, taut band
akan dapat meluas ke seluruh otot yang disebut dengan myosis (Daniel dkk., 2003).
Diagnosis serta edukasi terhadap pasien sangat vital pada penatalaksanaan
nyeri miofasial servikal. Hal ini dapat mencegah nyeri miofasial servikal menjadi
nyeri kronis.
I. Pengertian
Secara tradisional, nyeri miofasial dapat didefinisikan sebagai nyeri yang
berasal dari MTrPs pada otot. MTrPs merupakan daerah kecil dan sensitif pada otot
yang secara spontan atau pada palpasi akan menimbulkan nyeri alih atau referred
pain (Hong, 2006).
Nyeri leher merupakan rasa tidak nyaman di sekitar leher, sering dikeluhkan
dan menjadi alasan pasien datang berobat ke dokter, menurut The International
Association for the Study of Pain (IASP) nyeri leher merupakan sakit yang dirasakan
di daerah yang dibatasi oleh garis nuchal di bagian superior dan dibagain inferiornya
dibatasi oleh prosesus spinosus torakal satu dan daerah lateral leher, sedangkan
nyeri leher non spesifik merupakan nyeri mekanik yang dirasakan diantara oksiput
dan torakal satu dan otot-otot sekitarnya tanpa penyebab yang spesifik (Gupta dkk.,
2008).
Nyeri leher menurut Douglass dan Bope merupakan nyeri yang dihasilkan
dari interaksi yang komplek antara otot dari ligamen serta faktor yang berhubungan
dengan kontraksi otot, kebiasaan tidur, posisi kerja, stres, kelelahan otot, adaptasi
postural dari nyeri primer lain seperti bahu, sendi temporomandibular, craniocervikal
atau perubahan degeneratif dari discus cervikalis dan sendinya (Douglas dan Bope,
2004).
II. Etiologi
NMS dianggap terjadi akibat penggunaan secara berlebihan ataupun trauma
terhadap otot-otot daerah bahu dan leher (Duyur, 2009). Secara umum, penyebab
NMS dibagi dua, yaitu mekanik dan ergonomik. Penyebab mekanik adalah akibat
trauma akut atau mikrotrauma berulang. Sementara penyebab ergonomik adalah
akibat posisi tidur yang kurang baik ataupun posisi kerja yang buruk (Yap, 2007).
Pasien dengan NMS biasanya memiliki riwayat kecelakaan lalu lintas atau
riwayat aktivitas berat yang menggunakan ekstremitas atas (Phillips, 2012). Pada
tulang belakang servikal, otot-otot yang sering terlibat dalam nyeri miofasial servikal
adalah otot trapezius, levator skapula, rhomboid, supraspinatus, dan infraspinatus.
Nyeri miofasial trapezius biasanya terjadi pada orang-orang yang bekerja di depan
meja komputer tanpa menggunakan armrests (Phillips, 2012).
Selain itu, ada beberapa hal yang juga berperan terhadap insiden NMS
seperti disfungsi endokrin, infeksi kronis, defisiensi nutrisi, postur tubuh yang kurang
baik, dan stres psikologis (Yap, 2007; Phillips, 2012). Lesi neuromuskular patologis,
seperti strain, sprain, enthesophaty, artritis, dan lesi diskus vertebralis ditengarai
juga mampu mereaktivasi MTrPs dalam fase laten (Hong, 2006).
Menurut sumber lainnya menyebutkan bahwa penyebab utama dan berat dari
sakit leher meliputi:
1. Spondilosis : Artritis degeneratif dan osteofit.
2. Spinal stenosis : Penyempitan kanal tulang belakang.
3. Spinal herniasi : Menonjol atau menggelembungnya diskus.
Sedangkan penyebab umum yang sering juga diakibatkan oleh kebiasaan
ergonomis yang buruk adalah sebagai berikut:
1. Posisi yang salah dalam jangka waktu yang lama, banyak orang jatuh
tertidur di sofa dan kursi dan bangun dengan keluhan sakit leher.
2. Bekerja pada postur dan posisi tertentu dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan kontraksi otot berlebihan sehingga timbul nyeri.
3. Cedera atau penyakit pada suatu organ dan struktur yang terletak di dekat
leher, misalnya saraf, pembuluh darah, kelenjar tiroid, kelenjar getah
bening leher, sistem pencernaan, jalan napas, otot rangka leher dan saraf
tulang belakang.
4. Tekanan fisik dan emosional dapat menyebabkan otot tegang dan
peregangan, sehingga timbul rasa sakit dan kaku pada otot.
5. Penyakit degeneratif, misalnya spondilosis tulang leher.
6. Infeksi pada berbagai struktur pada leher, yang meliputi infeksi
tenggorokan, abses atau luka nanah di belakang faring, radang atau
pembesaran kelenjar getah bening, radang tulang belakang, dan penyakit
Pott atau tuberkulosis tulang belakang.
7. Meningitis atau infeksi pada selaput pembungkus otak, keganasan atau
kanker kepala dan leher, pembedahan arteri karotis, fibromyalgia, radang
pada sendi, radikulopati, penekanan pada saraf-saraf yang berasal dari
tulang leher.
8. Cedera akibat hentakan keras di area kepala-leher, kecelakaan mobil,
cedera kontak pada olahraga, dan juga patang tulang belakang dan pada
kasus yang berat yang melibatkan tulang belakang menyebabkan
kelumpuhan (Tulaar, 2008).
IV. Patofisiologi
NMS merupakan nyeri myogenous regional yang ditandai dengan jaringan
otot hipersensitif dan area lokal keras yang disebut titik nyeri atau MTrPs (Yap,
2007; Hong, 2006; Duyur, 2009). Jaringan otot dan perlekatan tendon pada area ini
seringkali dirasakan sebagai taut band, yang ketika dipalpasi akan menghasilkan
nyeri (Yap, 2007). Asal dari MTrPs masih belum diketahui dengan pasti, diperkirakan
karena adanya ujung serat otot yang tersensitisasi oleh substansi alogenik yang
akan menghasilkan zona hipersensitif (Phillips, 2012).
Karakteristik unik dari NMS adalah adanya MTrPs yang merupakan sumber
nyeri konstan dan dapat menghasilkan efek eksitatori sentral (Yap, 2007). Jika
MTrPs mengeksitasi kelompok interneuron aferen, maka akan muncul nyeri alih
dengan pola yang khas sesuai dengan lokasi MTrPs yang terlibat (Phillips, 2012).
Perubahan morfologis berupa peningkatan kekauan yang signifikan pada taut band
dari MTrPs. Pada MTrPs ditemukan kadar neuropeptida (substansi P atau calcitonin
gene-related peptide), katekolamin (norepinephrine), dan sitokin proinflamasi (tumor
necrosis factor alpha,interleukin 1-beta, interleukin 6, dan interleukin 8) yang lebih
tinggi dibandingkan jaringan sekitarnya (Fernandez dkk., 2007).
Fitur neurosensoris meliputi adanya nyeri alih, hipersensitif terhadap stimulus
nosiseptif (hiperalgesia) dan stimulus non-nosiseptif (allodynia), dan perubahan
respon aliran darah lokal. Dari segi elektrofisiologi, beberapa penelitian menemukan
adanya aktivitas listrik spontan yang berasosiasi dengan meningkatnya endplate
potentials dan pelepasan asetilkolin yang berlebihan pada MTrPs. Selain itu, MTrPs
juga dapat menginduksi perubahan pola aktivasi otot normal sehingga menyebabkan
disfungsi motorik (Vernon & Schneider, 2009).
Jika NMS tidak ditangani segera, maka MTrPs dapat menjadi sebuah fokus
iritatif dan akan mengirim impuls nyeri secara persisten dan berlebihan melalui
neuron-neuron sensorisnya ke medula spinalis. Stimulus nyeri yang berlebihan
dapat memfasilitasi pelepasan neurotransmiter nosiseptif disertai dengan penurunan
ambang terhadap aktivasi sinaptik, amplifikasi, dan persepsi nyeri. Keadaan ini
disebut dengan spinal segemental sensitisation. Kondisi ini akan mempengaruhi
komponen sensoris, motorik, dan sklerotomal dari segmen medula spinalis yang
hiperaktif tersebut (Daniel dkk., 2003).
NMS juga ditengarai akibat peningkatan kadar asetilkolin. Stres pada otot
baik pada trauma akut ataupun penggunaan otot yang berlebihan akan
menyebabkan iskemia dan hipoksia. Hal ini berakibat pada kerusakan fiber otot,
peningkatan pelepasan kalsium, deplesi energi, dan pelepasan sitokin yang
menyebabkan nosisepsi otot dan menimbulkan referred pain. Iskemia dan hipoksia
juga meningkatkan kadar asam dan menghambat aktivitas asetilkolinesterase. Kadar
asam merangsang pelepasan dari calcitonin gene related peptide (CGRP). Keadaan
ini meningkatkan kadar asetilkolin yang berakibat pada meningkatnya miniature end
plate potential (MEPP) yang berakibat pada kontraksi sarkomer dan menimbulkan
taut band. Definisi dari taut band adalah daerah di dalam otot skeletal yang
konsistensinya bertambah keras dan menjalar di sepanjang otot tersebut paralel
terhadap arah dari serat otot. Nyeri terlokalisir di dalam taut band dikenal sebagai
MTrPs (Hong, 2006).
V. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan NMS meliputi terapi fisik, injeksi MTrPs, terapi stretch-and-
spray, dan kompresi iskemik. Injeksi toksin botulinum juga telah digunakan, namun
manfaatnya masih diteliti lebih lanjut (Phillips, 2012; Travel & Simons, 1992). Terapi
fisik bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan otot yang bekerja sebagai unit
fungsional. Terapi fisik ini akan mengurangi rasa sakit pada NMS. Pendekatan
berbasis modalitas digunakan dalam terapi fisik yang dilakukan bersamaan dengan
teknik miofasial release dan pemijatan.
Peregangan servikal dan stabilisasi leher merupakan bagian integral dari
pendekatan berbasis modalitas ini. Pelatihan postural secara berulang sangat
penting dalam NMS, mengingat postur yang buruk merupakan salah satu penyebab
nyeri myofascia ini. Evaluasi ergonomis dapat dipertimbangkan apabila pengaruh
lingkungan kerja besar terhadap kejadian NMS tersebut (Phillips, 2012).
Selain terapi fisik dan olahraga, injeksi dari MTrPs merupakan salah satu cara
yang sudah banyak digunakan dalam terapi NMS(Gambar 2) [Phillips, 2012]. Injeksi
MTrPs umumnya dilakukan dengan pemberian anestesi lokal, namun tusukan jarum
kering juga dilaporkan memiliki efektivitas yang sama (Phillips, 2012; Lee dkk.,
2008).
VI. Komplikasi
Individu dengan nyeri leher mengeluh rasa tidak nyaman di daerah leher dan
punggung atas, sakit kepala, kekakuan dan tortikolis, leher terasa nyeri pada satu
atau kedua sisi, nyeri seperti terbakar, kesemutan, kekakuan, nyeri di sekitar tulang
belikat, nyeri yang menjalar sampai ke lengan, rasa berputar dan sakit kepala adalah
gejala yang bisa ditemukan pada nyeri leher. Tanda – tanda yang perlu diwaspadai
pada nyeri leher adalah nyeri leher yang disertai dengan gejala-gejala berikut:
1. Mati rasa.
2. Kelemahan.
3. Gejala kesemutan (Crowther, 2010).
b. Berikan matras/ kasur keras, bantal kecil,. Tinggikan linen tempat tidur
sesuai kebutuhan
R/Matras yang lembut/ empuk, bantal yang besar akan mencegah
pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada
sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada
sendi yang terinflamasi/nyeri
e. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada
waktu bangun dan/atau pada waktu tidur. Sediakan waslap hangat untuk
mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air
kompres, air mandi, dan sebagainya. (R/ Panas meningkatkan relaksasi
otot, dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di
pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal
dapat disembuhkan)
f. Berikan masase yang lembut (R/meningkatkan relaksasi/ mengurangi
nyeri)
h. Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk situasi individu. (R/
Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan
meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan sehat)
l. Dorong mempertahankan posisi tubuh yang benar baik pada sat istirahat
maupun pada waktu melakukan aktivitas, misalnya menjaga agar sendi
tetap meregang , tidak fleksi, menggunakan bebat untuk periode yang
ditentukan, menempatkan tangan dekat pada pusat tubuh selama
menggunakan, dan bergeser daripada mengangkat benda jika
memungkinkan. ( R: mekanika tubuh yang baik harus menjadi bagian dari
gaya hidup pasien untuk mengurangi tekanan sendi dan nyeri ).
m. Tinjau perlunya inspeksi sering pada kulit dan perawatan kulit lainnya
dibawah bebat, gips, alat penyokong. Tunjukkan pemberian bantalan yang
tepat. ( R: mengurangi resiko iritasi/ kerusakan kulit )
Duyur CB, Genc H, Altuntas V, dkk., 2009, Disability and Related Factors in Patients
with Chronic Cervical Miofascial Pain, Clin Rheumatol, 18(2), pp. 1-15.
Fernandez PC, Cuadrado ML, Arendt-Nielsen L, Simons DG, Pareja, JA, 2007,
Myofascial trigger points and sensitisation: an updated pain model for tension type
headache, Cephalgia, 27, pp. 383-93.
Harden RN, Cottrill J, Gagnon CM, dkk, 2008, Botulinum toxin A in the treatment of
chronic tension-type headache With cervical myofascial trigger points: a randomized,
doubleblind, placebo-controlled pilot study, Headache, 10(1), pp. 1-13.
Hong CZ, 2006, Treatment of Myofascial Pain Syndrome, Curr Pain Headache Re,
(10), pp. 345-349.
Jabbari B, 2008, Botulinum neurotoxins in the treatment of refractory pain, Nat Clin
Pract Neurol, 4(12), pp. 676-85.
Jeynes LC, Gauci CA, 2008, Evidence for the use of botulinum toxin in the chronic
pain setting--a review of the literature, Pain Pract, 8(4), pp. 269-76.
Kornelis AP, Mark FK, 2007, Managing Neck Pain: Evaluation and Treatment
Recommendations, Medical Progress, 34(4), pp. 1-13.
Lee SH, Chen CC, Lee CS, dkk, 2008, Effects of needle electrical intramuscular
stimulation on shoulder and cervical myofascial pain syndrome and microcirculation,
J Chin Med Assoc, 71(4), pp. 200-6.
Lowe JC, 2004, Miofascial Pain Syndrome (MPS). Tersedia pada URL:
http://www.clearpassage.com/what-we-treat/chronic-pain/miofascial-pain/ [Akses: 16
Februari 204].
Turana Y, Gorge D, Wita JS, 2006 Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana pada
Nyeri Servikal, Majalah Kedokteran Daminnus, (2), pp. 23-29.
Yap EC, 2007, Miofascial Pain – an Overview, Annals Academy of Medicine 36(1),
pp. 43-48.