Anda di halaman 1dari 17

I.

TUJUAN
Pada akhir praktikum mahasiswa dapat memanipulasi resin akrilik aktivasi panas dan
aktivasi kimia dengan cara dan alat yang tepat, dapat mengamati tahap yang terjadi pada
pencampuran polimer dan monomer yaitu fase sandy, fase stringy, fase dough, fase ruberry, dan
fase striff serta dapat menganalisis hasil polimerisasi dari resin akrilik aktivasi panas dan kimia.

II. CARA KERJA


2.1 Resin akriklik aktivasi panas
2.1.1 Bahan
a. Bubuk polimer
b. Cairan monomer
c. Cairan cold mould seal (CMS)

Bubuk Polimer Cairan Monomer Cairan CMS

2.1.2 Alat
a. Kuvet yang telah dibuat cetakan (mould) dari gipsum keras (gipsum tipe III)
b. Pot Porselin dan Tutup
c. Pipet Ukur/gelas ukur
d. Stopwatch
e. Kuas Kecil
f. Kuvet Logam
g. Timbangan Digital
h. Press Hidrolik
i. Plastik
j. Pisau Malam
k. Pisau Model
l. Syringe
m. Handpress
n. Kompor
o. Panci /dandang

Kuvet dengan cetakan gipsum Pot Porselen dan Tutup Stopwatch

Kuvet Logam Timbangan Digital


Kuas kecil
Press Hidrolik Plastik Pisau Malam

2.2.3 Cara Kerja


Pengisian cetakan (mould) dengan adonan resin akrilik (acrylic packing)
a. Bahan resin akrilik dan peralatan untuk packing disiapkan di atas meja praktikum.
b. Permukaan mould dan sekitarnya diolesi dengan Cold Mould Seal (CMS) menggunakan kuas
ke satu arah sebanyak dua lapis dan ditunggu hingga kering.
c. Bubuk polimer ditimbang menggunakan timbangan digital sebanyak 6 gr kemudian diletakkan
di mangkuk porselin kemudian ditutup.
d. Cairan monomer diambil menggunakan syringe sebanyak 3 ml.
e. Cairan monomer yang telah diukur dimasukkan ke dalam pot porselin, kemudian bubuk
polimer yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam pot porselin secara perlahan sambil
digoyang-goyangkan agar seluruh polimer terbasahi oleh monomer.
f. Campuran polimer dan monomer diaduk menggunakan pisau malam bagian tumpul hingga
homogen, kemudian tutup menggunakan tutup porselen. Awal waktu pengadukan dicatat dengan
stopwatch.
g. Adonan ditunggu hingga mencapai tahap sandy, stringy, dough, rubbery, stiff dan cacat
waktunya menggunakan stopwatch.
h. Setelah fase yang dikehendaki tercapai, adonan resin akrilik dimasukkan ke dalam cetakan
(mould) yang ada pada kuvet bawah dengan menggulung adonan di plastik terlebih dahulu baru
diletakkan di dalam cetakan.
i. Permukaan resin akrilik ditutup plastik, kemudian kuvet dilakukan pengepresan dengan press
hidrolik (Press percobaan 1). Setelah itu kuvet dibuka dan plastik diangkat sebagian dan
kelebihan resin akrilik dipotong dengan pisau model.
j. Setelah kelebihan akrilik dipotong, dilakukan pengepresan lagi dengan press hidrolik, plastik
masih digunakan saat melakukan pengepresan yang kedua (Press Percobaan 2). Setelah itu kuvet
dibuka dan plastik diangkat sebagian dan kelebihan resin akrilik dipotong dengan pisau model.
k. Setelah kelebihan akrilik dipotong, dilakukan pengepresan lagi dengan press hidrolik, plastik
sudah dilepas pada pengepresan yang ketiga ini (Press Percobaan 3).
l. Kuvet dipindahkan pada handpress. Lalu setelah pengepresan, Kuvet dimasukkan ke dalam
ember berisi air.

Proses Polimerisasi/ kuring


a. Air dimasak dalam panci hingga mendidih (100oC)
b. Kuvet yang telah diisi akrilik dan dalam keadaan dipress diangkat dan dimasukkan ke dalam
panci dan diamkan selama 20 menit.
c. Setelah 20 menit kompor dimatikan.
d. Untuk mempercepat pendinginan, dapat dilakukan pengaliran air bersuhu ruangan ke dalam
dandang yang berisi kuvet, sehingga pendinginan lebih cepat.

Deflasking
a. Setelah proses kuring selesai, kuvet dibiarkan sampai dingin (suhu ruang) kemudian
kuvet dibuka. Akrilik hasil kuring diambil secara hati-hati dengan pisau malam.
2.2 Cara kerja resin akrilik aktivasi kimia
2.2.1 Bahan
a. Bubuk polimer (Hillon)
b. Cairan monomer (Hillon)
c. Cairan Cold Mould Seal (CMS)
Bubuk Polimer Cairan Monomer Cairan CMS

2.2.2 Alat
a. Pot Porselen
b. Syringe
c. Timbangan digital
d. Spatula
e. Kuvet yang telah dibuat cetakan (mould) dari gipsum tipe III
f. Kuvet Logam
g. Stopwatch
h. Plastik
i. Pisau model
j. Handpress
k. Termometer

2.2.3 Cara Kerja


1. Bahan resin akrilik dan peralatan untuk packing disiapkan.
2. Cairan monomer diukur menggunakan gelas ukur sebanyak 10 ml.
3.Bubuk polimer ditimbang sebanyak 20,5 gr, kemudian cairan monomer dituangkan ke dalam
pot porsolen kemudian bubuk dimasukan ke dalam pot porselen secara perlahan-lahan sedikit
demi sedikit sampai polimer terbasahi monomer.
4.Adonan polimer dan monomer diaduk dengan spatula sampai homogen. Lalu, tutup
menggunakan pentup porselen dan tunggu hingga tahap dough tercapai, kemudian adonan resin
akrilik dimasukkan ke dalam cetakan (mould).
5. Permukaan adonan resin akrilik dilapisi dengan plastik, kemudian kuvet ditutup dan dilakukan
pengerpresan. Setelah pengepresan, kuvet dibuka, plastik diangkat, dan kelebihan resin akrilik
dipotong dengan pisau malam tepat pada tepi cetakan. Pengepresan kedua dilakukan dalam
keadaan plastik sudah diambil, kemudian kelebihan resin akrilik dipotong lagi. Lakukan
pemotongan dengan cepat sebelum adonan terasa hangat.
6. Kemudian kuvet dipres dengan handpress
7. Setelah dipress minimal 30 menit sampel diambil dari cetakan.
8. Kuvet dibuka dan diambil akrilik hasil kuring secara hati-hati dengan pisau malam.

III. HASIL PRAKTIKUM


3.1 Manipulasi resin akrilik aktivasi panas (heat cured acrylic)

Tabel 1. Perbandingan waktu perubahaan fase tiap percobaan


Berdasarkan hasil pada tabel 2, pada percobaan I, percobaan II, dan percobaan III terdapat
banyak perbedaan karakteristik pada hasil cetakan resin akrilik di setiap fasenya. Perbedaan
karakteristik yang terlihat adalah kemunculan porus, bintil, dan sayap pada resin. Serta
perbedaan warna dan halus kasarnya permukaan pada resin.

Variabel yang Percobaan I Percobaan II Percobaan III


diamati Fase Stringy Fase Dough Fase Rubbery
Distorsi Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Bintil Banyak Lebih Banyak Sedikit

Warna Lebih Muda Sedang Lebih Gelap

Sayap Ada Ada Ada

Permukaan hasil Kasar Lebih Kasar Halus


cetakan

Porus Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tabel 2. Perbandingan hasil percobaan

3.2 Manipulasi resin akrilik aktivasi kimia (cold cured acrylic)

Fase Waktu (menit detik)

Pengadukan,packing, pressing 7:26

Deflasking 32:16

Stiff 58:02

Tabel 3 Data waktu hasil praktikum resin akrilik cold cured

Pada hasil akhir cetakan dapat terlihat bahwa cetakan cold cured memiliki tekstur yang
lebih halus dibandingkan dengan heat cured.

IV. TINJAUAN PUSTAKA


4.1 Resin Akrilik
Resin akrilik adalah material yang paling sering digunakan dalam pembuatan basis gigi
tiruan. Resin sangat popular karena kelebihannya yaitu mempunyai nilai estetika yang baik,
memiliki permukaan yang baik dan ketahanan terhadap suhu yang baik serta harganya yang tidak
terlalu mahal. Namun disamping hal tersebut, resin akrilik memiliki kekurangan yaitu
menghasilkan monomer sisa yang tinggi dan dapat menyebabkan alergi pada rongga mulut,
flexural strength rendah yang menyebabkan susah diaplikasikan di model gigi tiruan, fatique life
rendah dan radiolucent (McCabe and Walls).
Resin akrilik dibagi menjadi 4 berdasarkan proses curingnya, resin akrilik aktivasi
panas, resin akrilik aktivasi kimiawi, resin akrilik aktivasi gelombang, dan resin akrilik aktivasi
sinar tampak. Dalam manipulasinya resin akrilik kimiawi tidak memerlukan panas sehingga
cold-curing atau self-curing lebih sering digunakan untuk relining denture karena dapat
meminimalisir terjadinya distorsi saat proses relining (Anusavice, 2013).

4.2 Resin Akrilik Heat Cured


Pada resin akrilik heat cured diaktifkan dengan energi panas dan digunakan dalam
hampir semua basis gigi tiruan. Energi panas dapat dihasilkan dengan menggunakan air bak
(waterbath) atau dengan oven microwave. Komposisi dari resin ini terdiri dari bubuk dan cairan.
Komposisi bubuk berupa polimethyl metakrilat dengan tambahan inisiator berupa benzoil
preoksida yang bertanggung jawab untuk memulai proses polimerisasi. Selain itu komposisi
dalam cairan berupa methylmetakrilat yang di dalamnya terkandung sedikit hydroquinone yang
ditambah dengan glikol dimetakrilat sebagai bahan ikat silang. Hydroquinone juga berperan
sebagai sebagai inhibitor, yang berperan dalam pencegahan polimerisasi yang tidak diinginkan
atau ‘Setting’ cairan selama penyimpanan. Inhibitor juga menghambat proses curing sehingga
dapat meningkatkan waktu kerja. (Anusavice, 2013)

4.2.1 Manipulasi Resin Acrylic Heat Cured


Resin akrilik heat cured umumnya diproses dengan menggunakan teknik compression-
moulding. Sebelum melakukan manipulasi, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
1. Perbandingan polimer dan monomer dan proses pencampuran harus dalam
proporsi yang tepat sehingga menghasilkan massa seperti adonan. Rasio
tersebut disesuaikan dengan aturan pabrik. Dengan rasio yang tepat dapat
memberikan monomer yang cukup untuk membasahi partikel polimer secara
menyeluruh. (Anusavice, 2013)
2. Setelah pencampuran polimer dan monomer dengan perbandingan 20,5 g :
10 ml (aturan pabrik) telah mencapai fase dough-state, kemudian adonan
dimasukkan ke dalam mold dan dilakukan pengepresan pertama. Lalu sisa
resin akrilik dibuang dan dilanjutkan ke pengepresan kedua lalu kuvet
dikunci. (Anusavice, 2013)
3. Kuvet dipanaskan dengan menggunakan air bak (waterbath) pada suhu
74oC selama 120 menit dan dilanjutkan dengan suhu 100 oC selama 60 menit
(Anusavice, 2013).
4. Pendinginan Kuvet
Setelah dilakukan pemanasan, kuvet dikeluarkan dari dalam waterbath dan
dibiarkan selama 30 menit untuk proses pendinginan. (Anusavice, 2013).

4.2.2 Kelebihan Resin Acrylic Heat Cured


Kelebihan dari heat cured acrylic adalah nilai estetis unggul, dimana warna hasil
akhir akrilik sama dengan warna jaringan lunak rongga mulut. Selain itu, resin akrilik ini
tergolong mudah dimanipulasi dan harga terjangkau. (Anusavice, 2013)

4.2.3 Kekurangan Resin Acrylic Heat Cured


Kekurangan dari heat cured acrylic adalah daya tahan abrasi atau benturan masih
tergolong rendah, fleksibilitas juga masih rendah dan hasil akhir dari manipulasi akrilik akan
terjadi penyusutan volume. (Anusavice, 2013).

4.3 Resin Acrylic Cold Cured


Resin acrylic cold cured berbeda dengan resin acrylic heat cured. Jika heat cured, saat
aktivasi harus membutuhkan panas. Sedangkan, cold cured membutuhkan aktivasi kimia di suhu
ruangan. Komposisi dari keduanya cenderung sama, namun yang membedakan adalah
penambahan activator. Cold cured diaktivasi secara kimia dengan ditambahkan amin
tersier/tertiary amine berupa dimetil-para-toluidin yang bertindak sebagai aktivator kedalam
monomer cold cured acrylic resin. Dimetil-p-toluidin akan menyebabkan terpisahnya benzoil
peroksida dan bereaksi dengan activator dimetil-para-toluidin yang menghasilkan adanya radikal
bebas dan akhirnya polimerisasi terjadi. Pigmen yang biasanya digunakan adalah warna putih,
kuning, dan coklat. Warna ini dipakai agar mirip dengan gigi sebenarnya. Terdapat juga pigment
pink yang digunakan untuk denture base polimer. Dimetil-p-toluidin ini memiliki stabilitas warna
yang rendah terutama saat dibawah sinar ultraviolet. Dari wana yang putih menjadi coklat. Ini
menyebabkan perubahan material secara permanen. (McCabe and Walls 2008, hal. 195)
Proses polimerasasi cold cured tidak menghasilkan polimerisasi secara sempurna. Ini
dikarenakan tidak adanya suhu panas saat bereaksi. Saat bahan dicampurkan, maka polimerisasi
akan mulai selama masih adanya dimetil-para-toluidin di dalam monomer dan polimerisasi akan
ketika dimetil-para-toluidin ini sudah habis bereaksi yang artinya polimerisasinya tidak
sempurna. Tidak sempurnanya reaksi polimerisasinya ini menyebabkan monomer sisanya lebih
banyak dari pada heat cured acrylic resin. Monomer sisa ini dapat mengakibatkan dua masalah
utama yang pertama adalah sebagai plasticizer, yang mengakibatkan menurunkan kekuatan basis
denture, dan yang kedua monomer sisa dapat mengakibatkan iritasi jaringan. Cold cured resin
acrilic ini biasanya digunakan untuk individual tray, relining, rebasing, plat ortodonsi, dan
sebagai material reparasi. (McCabe and Walls 2008, hal. 195)
Manipulasi cold cured acrylic resin sebenarnya secara umum masih sama dengan heat cured
acrylic resin. Hanya saja yang membedakan adalah saat curing nya tidak diberikan panas dan
dilakukan di suhu ruangan. Perbandingan polimer dan monomer perlu digunakan sesuai anjuran
pabrik. Apabila jumlah bubuk lebih banyak daripada cairan maka akan menyebabkan adonan
menjadi bergranular karena bubuk tidak sepenuhnya dibasahi oleh cairan. Apabila cairan lebih
banyak daripada bubuk, maka akan menjadikan adonan terlalu encer dan menyebabkan kontraksi
pada adonan resin akrilik. (McCabe and Walls 2008, hal. 195)
Kelebihan
1. Perubahan dimensi lebih sedikit karena menurunkan penyusutan termal.
2. Prosedur curing lebih sederhana karena dapat dilakukan padasuhu ruangan.
3. Mudah dilakukan deflasking.
4. Menurunkan kemungkinan kerusakan pada elem gigi protesa serta basis protesa.
5. Fleksibilitas lebih tinggi dari pada heat cured acrylic resin. . (McCabe and Walls 2008, hal.
1956)

Kekurangan
1. Pergeseran elemen gigi protesa selama proses berlangsung.
2. Elastisitasnya lebih rendah dari pada heat cured acrylic resin.
3. Terjebaknya udara didalam basis protesa yang menyebabkan timbulnya porus. . (McCabe and
Walls 2008, hal. 196)

4.4 Tahapan Adonan


1. Tahap Pertama (sandy): pada tahap ini hanya sedikit terjadi
interaksi. Polymer beads tetap tidak berubah, dan konsistensi adonan
dapat digambarkan sebagai kasar atau berbutir.
2. Tahap Kedua (stringy):monomer bereaksi masih di permukaan
butiran polimer. Beberapa rantai polimer berikatan dalam monomer cair
. rantai polimer ini melepas ikatan sehingga adonan mengental . Pada
tahapan ini terbentuk massa yang lengket dan berserabut bila ditarik.
3. Tahap Ketiga (dough): pada tahap ini polimer telah jenuh di dalam
monomer. Dimana terbentuk massa yang lebih halus dan seperti adonan
(dough and gel stage), tidak melekat di permukaan, sehingga mudah
dibentuk tanpa melekat dan tanpa berserabut. Pada tahap ini, saat
terbaik adonan untuk dimasukkan ke dalam mould.
4. Tahap Keempat (rubbery): pada tahap ini monomer sebagian sudah
menguap. Massa menjadi lebih kohesif dan rubber-like sehingga bahan
menjadi elastis dan tidak dapat dimasukkan ke dalam mould (rubbery
hard).
5. Tahap Kelima (stiff): pada tahap ini campuran menjadi kaku. Ini
dapat dikaitkan dengan penguapan terus monomer yang tidak bereaksi
sehingga monomer telah habis. Secara klinis, campuran muncul sangat
kering dan tahan terhadap deformasi mekanik.

Pada ke lima tahap yang sudah disebutkan di atas, belum terjadi polimerisasi. Dikarenkanan
polimerasi heat cured terjadi kearena adanya panas.

4.5 Polimerisasi
Ada dua tipe polimerisasi, yaitu: polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Polimerisasi
adisi adalah polimerisasi yang melibatkan reaksi rantai dan dapat berupa radikal bebas atau
beberapa ion yang menghasilkan polimer yang memiliki atom sama seperti monomer dalam
gugus ulangnya. Radikal bebas pada polimerisasi heat cured terbentuk karena adanya reaksi
antara metyl metaklirat dengan benzoil peroxide. Benzoil peroxide dipecah untuk mendapatkan
radikal bebas. Sedangkan polimerisasi kondensasi adalah reaksi yang terjadi antar dua molekul
bergugus fungsi banyak yang menghasilkan molekul besar dengan disertai molekul kecil.

4.5.1 Tahapan polimerisasi :


1. Tahap inisiasi adalah tahap yang membutuhkan radikal bebas yang
akan menjadi penggerak proses polimerisasi. Molekul radikal bebas
memiliki hubungan kimia dengan elektron terikat. Pada sistem yang
teraktivasi secara kimia, radikal bebas secara umum dihasilkan dari reaksi
antara inisiator peroksida organik dan akselerator amin. Pada sistem yang
diaktivasi oleh cahaya, perpecahan camphorquinone akan menghasilkan dua
molekul dengan satu elektron terikat di setiap molekul. Apapun yang
dihasilkan, radikal bebas memecah ikatan ganda dari molekul monomer,
menghasilkan pergantian dari elektron terikat ke ujung monomer dan
membentuk molekul monomer teraktivasi.
2. Tahap propagasi monomer yang teraktivasi memecah ikatan ganda dari
tambahan monomer yang tersedia, menghasilkan penambahan yang cepat
dari molekul monomer menjadi radikal bebas. Tahap kedua ini, propagasi,
berlanjut seiring pertambahan panjang rantai.
3. Tahap terminasi terminasi dari pertumbuhan radikal bebas dapat terjadi
dengan beberapa mekanisme dan dapat menghasilkan pembentukan cabang
dan ikatan silang. Sejumlah kecil inhibitor, seperti hidroquinone dapat
ditambahkan ke monomer untuk meningkatkan usia dari suatu bahan
restorasi. Hidroquinone bereaksi dengan radikal bebas, oleh karena itu
menurunkan rasio dari inisiasi.
VI. PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan hasil resin akrilik aktivasi panas (heat cured acrylic resin)
Pada praktikum kali ini telah dilakukan percobaan sebanyak tiga kali dengan
variabel dimana packing dilakukan dengan fase yang berbeda, yaitu fase stringy, fase
dough, dan fase rubbery. Sebelum dilakukan packing, mould yang akan digunakan
terlebih dahulu dilapisi oleh cairan Cold Mould Seal (CMS) agar resin akrilik dapat
dilepas dengan mudah dan tidak menempel pada gipsum saat proses memanipulasi
telah selesai.
Percobaan pertama dimasukkan dalam mould ketika fase stringy. Pada fase ini
adonan terbentuk serat dan lengket. Adonan juga sulit untuk dibentuk sehingga pada
saat dilakukan press akan banyak adonan yang terbuang sehingga menghasilkan
banyak sayap. Adonan yang lengket menyebabkan banyak gypsum menempel pada
hasil akrilik yang telah di kuring. Hasil dari percobaan ini permukaannya yang lebih
kasar dari pada yang lainnya serta terdapat banyak sayap karena adonan yang lebih
berserat pada saat dimasukkan pada mould.
Percobaan kedua dimasukkan dalam mould ketika fase dough. Fase ini
merupakan saat yang paling tepat digunakan untuk pengaplikasian pada mould. Hal
tersebut dikarenakan fase ini memiliki sifat flow yang cukup sehingga adonan dapat
merata pada mould dan menghindari adanya udara terjebak, sehingga ketika
dilakukan press tidak terlalu banyak terbentuknya sayap dan porus.
Percobaan ketiga dimasukkan dalam mould ketika fase rubbery. Selama
percobaan, ketika adonan diangkat dari hidrolic press untuk yang terakhir kali tampak
tidak ada sayap-sayap di sekitar adonan. Hal ini dapat dijelaskan karena rubbery
adalah suatu tahap yang membuat adonan menjadi elastis dan minim flow. Sehingga
pada saat terjadi penekanan sebenarnya adonan masih mampu meluber keluar
cetakan. Namun ketika tekanan dihilangkan adonan akan kembali ke bentuknya
semula sehingga seakan-akan tidak terjadi perubahan. Namun ternyata pada saat
percobaan, ditemukan banyak sayap yang mengindikasikan bahwa terdapat banyak
kelebihan adonan. Sisa-sisa adonan akrilik mudah dibersihkan karena sudah tidak
lengket lagi.
Pada ketiga hasil percobaan ini setelah diamati terdapat 5 hal yaitu :
1. Sayap
Pada ketiga hasil percobaan terdapat sayap. Karena pengepresan yang
kurang efektif, ekspansi yang tinggi serta pemotongan yang kurang
presisi atau tidak sesuai dengan bentukan mould. Adanya sayap ini
sangat merugikan karena dapat mempengaruhi oklusi gigit dari pasien.
2. Bintil
Hal ini diduga akibat cetakan pada mould yang tidak rata yang
disebabkan oleh kesalahan dalam proses manipulasi gipsum.
3. Permukaan Kasar
Pada permukaan ketiga hasil percobaan terasa kasar. Permukaan yang
kasar ini disebabkan mikroporositas yang terdapat pada mould. Hal ini
juga dapat diakibatkan oleh pengolesan cairan CMS yang tidak efektif
sehingga mikroporositas pada mould tidak tertutupi dengan baik.
4. Warna
Warna yang terang pada percobaan pertama disebabkan karena jarak
antar molekul pada fase stringy ini berjauhan yang ditandai dengan
viskositas yang tinggi. Warna pada percobaan kedua lebih ideal daripada
warna pada fase lain, karena fase dough merupakan fase ideal untuk
packing akrilik. Di dalam fase ini jarak antar molekul yang saling
berikatan tidak teralu jauh dan tidak terlalu dekat sehingga menghasikan
viskositas yang cukup dan dapat menyesuaikan ruang cetakan dengan
baik. Warna pada percobaan ketiga lebih pekat dari dua percobaan
sebelumnya karena viskositas saat fase rubbery lebih tinggi dan flow
rendah hal ini diakibatkan karena jarak antar molekulnya sangat
berdekatan sehingga apabila diberi zat warna maka akan menghasilkan
warna yang paling pekat.
5. Distorsi
Pada ketiga percobaan diatas tidak ditemukan distorsi sama sekali. Hal
ini dapat terjadi karena pada ketiganya setelah dilakukan proses
polimerisasi yang berupa perebusan pada suhu 100 0C selama 20 menit
dilakukan penurunan suhu secara perlahan hingga mencapai suhu kamar
sebelum dilakukan proses deflasking. Distorsi dapat terjadi karena
adanya perubahan suhu yang drastis.
Ketiga hasil manipulasi memiliki hasil yang hampir sama yaitu terdapat
permukaan kasar, bintil, dan sayap.

5. 2 Pembahasan hasil resin akrilik aktivasi kimia (cold cured acrylic resin)
Pada percobaan resin akrilik aktivasi kimia ini terdapat kelebihan resin akrilik
(sayap) pada hasil manipulasi. sayap pada resin akrilik cold cured tersebut melebar tipis
ke bagian luar dari daerah manipulasi. Hal ini disebabkan oleh pemotongan kelebihan
resin akrilik yang kurang maksimal. Pada pengepresan pertama, kuvet dibuka dan
dilakukan pemotongan bagian kelebihan resin akrilik sampai sesuai dengan bentuk
manipulasinya, begitupun setelah pengepresan kedua. Ketika pemotongan kelebihan resin
akrilik tidak sempurna, akibatnya dapat timbul sayap pada akhir pengepresan selanjutnya.
Adanya sayap ini berdampak buruk pada oklusi gigit pasien dan menyebabkan oklusi
gigitnya menjadilebih kasar dan bergerigi. Pengaruh pengepresan dan pemotongan
kelebihan resin dalam waktu yang cukup cepat sangat berpengaruh pada hasil manipulasi
resin akrilik cold cured. Maka harus dilakukan teknik yang sempurna dan teliti agar tidak
menghasilkan sayap pada hasil akhir tapi tetap dalam waktu yang singkat. Keuntungan
dalam menggunakan cold cured ini dapat mengefisienkan waktu dan tenaga sehingga
pengerjaan dokter gigi dapat lebih mudah dan cepat.

VI. SIMPULAN
Dari hasil praktikum yang kami lakukan, proses pembuatan resin akrilik aktivasi panas akan
mendapatkan hasil yang maksimal apabila dibuat dengan adonan yang berada dalam fase dough
untuk kemudian dimasukkan ke dalam cetakan (mould). Hal itu terbukti sesuai dengan
pembahasan di atas, bahwa jika menggunakan campuran polimer dan monomer yang berada
dalam fase stringy dan rubbery, campuran tersebut akan lebih sukar untuk dimanipulasi. Pada
resin akrilik self cured memiliki jumlah sayap yang tidak sebanyak heat cured hal ini
dikarenakan waktu manipulasi dari self cured lebih cepat dibandingkan heat cured.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Anusavice, KJ, Shen, C & Rawls.HR. 2013.Phillip’s science of dental material.12th
edn. Saunders Elsevier, Missouri. pp. 475-476, 478, 482.
McCabe, JF, & Walls, AWG. 2008. Applied dental materials, 9thed, Blackwell
Publishing, Pp.112, 195-196.

Anda mungkin juga menyukai