Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HUBUNGAN THALASEMIA DENGAN MAKROGNATIA

Disusun oleh:
Arfan Surya Adhitama G99181011

Periode: 23 September 2019 - 6 Oktober 2019

Pembimbing:
Sandy Trimelda, drg., Sp.Ort.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019

BAB I

0
PENDAHULUAN

Setiap manusia akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial.


Meskipun bervariasi antar individu, tetapi kecepatan pertumbuhannya mengikuti
suatu pola. Pertumbuhan tulang fasial (maksila dan mandibula) pada bayi,
berlangsung dengan kecepatan yang cukup tinggi, melambat secara progresif selama
kanak-kanak, dan mencapai kecepatan minimal pada periode prapubertas. Penting
untuk dapat membedakan standar variasi pertumbuhan normal dengan pertumbuhan
ekstrem diluar batas pola normal yang disebut deviasi (abnormal). Waktu
pertumbuhan setiap organ dari tubuh tidak selalu sama pada satuan waktu, hal ini
dapat dipengaruhi genetik dan faktor lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan antara lain nutrisi, penyakit sistemik maupun
nonsistemik, sosial ekonomi, kebiasaan, trauma, dan sistem endokrin.

Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh


defek genetik pada pembentukan rantai globin (Taher et al., 2018). Indonesia
termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan
frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari
penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen
thalassemia beta berkisar 3-10% (Depkes, 2018).

Pada penyakit thalasemia terdapat ekspansi rongga sumsum yang disebabkan


oleh hiperplasia kompensasi pada sel-sel sumsum tulang. Menurut beberapa studi
sefalometrik, deformitas dentoskeletal pada pasien thalasemia berhubungan erat
dengan retardasi dan disproporsi komponen tulang (Zen dan Sjahruddin, 2011). Dapat
diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara kelainan perkembangan kraniofasial
dan thalasemia, yang pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang salah satu
kelainan tersebut yaitu makrognatia.
BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

I. MAKROGNATIA

A. DEFINISI

Makrognatia adalah suatu keadaan dimana dagu berukuran lebih besar


daripada ukuran normal. WHO menyebut bahwa makrognatia sama dengan
maxillary hyperplasia atau mandibular hyperplasia, yang mengindikasikan
bahwa makrognatia berhubungan dengan pembesaran patologis (hiperplasia)
maksila maupun mandibula (Gateno et al., 2015).

Makrognatia mengalami gejala klinis yaitu dagu berkembang lebih besar


(Patel, 2009). Makrognatia digambarkan dengan pertumbuhan berlebih dari
mandibula atau maxilla di atas ukuran yang seharusnya diamana klinisnya
tampak jelas saat puncak pertumbuhan rahang sekitar umur 12,2 tahun pada
perempuan dan 14 tahun pada laki-laki (Joshi et al., 2014).

Gambar 1. (Kiri) Makrognatia, (Kanan) Mikrognatia

B. ETIOLOGI

2
Etiologi makrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberantia
yang berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat didapat
melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan macrognatia
adalah gigantisme pituitary, Paget’s disease, dan akromegali. Pertumbuhan
berlebihan ini akibat pelepasan hormon pertumbuhan berlebihan yang
disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma). Penderita biasanya
menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang muka dan
rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal,
hipertrofi tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula)
yang dapat menyebabkan rahang menonjol (prognatisme) (Morokumo, 2010).

C. PATOFISIOLOGI

Makrognatia disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan akibat pelepasan


hormon pertumbuhan yang berlebihan yang disebabkan oleh tumor hipofisa
jinak (adenoma). Selain itu, ligamen articular menjadi longgar dan
memungkinkan mandibula untuk bergerak ke depan. Ketika gigi anterior
rahang bawah tumbuh untuk pertama kali, rahang bawah akan mendesak maju
sehingga bagian posterior rahang bawah lebih luas dibandingkan bagian
anterior rahang atas. Peristiwa ini terus terjadi dan berkembang sehingga
menyebabkan makrognatia (Lubowitz, 2011).

D. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinis dari makrognatia meliputi:

1. Rahang bawah lebih besar dari normal menyebabkan dagu protrusi

2. Peningkatan volume maxilla sehingga terlihat seperti senyum

3. Dagu prominen

3
4. Sudut rahang yang curam

Makrognatia digambarkan dengan pertumbuhan berlebih dari mandibula


atau maxilla di atas ukuran yang seharusnya diamana klinisnya tampak jelas
saat puncak pertumbuhan rahang sekitar umur 12,2 tahun pada perempuan dan
14 tahun pada laki-laki. Deteksi sonografi digunakan untuk diagnosis prenatal
pada makrognatia terisolasi (manifestasi maloklusi tingkat II) yang normalnya
berbeda dari keadaan actual kelahiran pada sebagian besar kasus.

E. DIAGNOSIS

makrognatia dapat di diagnosis dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan rahang lebih besar dari
ukuran normal, terdapat kerusakan keselarasan gigi, maloklusi, serta sulitnya
artikulasi. Modalitas yang dapat digunakan untuk mendiagnosis makrognatia,
yaitu sebagai berikut (Copel, 2012):

1. Two-dimensional ultrasound

2. Three-dimensional ultrasound

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

F. MASALAH LAIN YANG DIKAITKAN

Organ tubuh dan struktur oral dapat mengalami sejumlah besar kelainan,
yang terjadi dalam hidup janin atau setelah kelahiran atau kadang-kadang
muncul saat lahir. Kemudian setiap tahap kehidupan berkembang, begitu pula
pada gigi. Anomali perkembangan secara luas diklasifikasikan sebagai dua
jenis:

4
1. Anomali kongenital: yang cacat saat lahir atau sebelum lahir atau melalui
gen, mungkin tidak menular.

2. Cacat yang didapat atau cacat bawaan yang tidak turun temurun.

Cacat tulang rahang juga merupakan masalah umum dan terbaru. Hal ini
terutama disebabkan oleh kelainan genetik dan faktor lingkungan lain yang
mempengaruhi kesehatan.

a. Agnathia, merupakan hal yang langka, pengembangannya mencerminkan


kegagalan lengkap. Lebih sering pada bagian dari rahang, untuk premaxila
misalnya, kondilus dan ramus.

b. Mikrognathia berarti rahang kecil, di sisi lain mikrognati dapat dikaitkan


dengan mikrognatia kongenital, sindrom Pierre Robin atau cacat jantung
bawaan. Mikrognathia adalah salah satu penyebab abnormal alignment
gigi.

c. Makrognatia yaitu ukuran rahang leih besar dari normal. Jika rahang kecil
dibandingkan dengan ukuran rahang yang lain normal, maka kemudian
terlihat lebih besar. Ini yang disebut pseudomakrognatia.

G. PENATALAKSANAAN

Makrognatia membutuhkan tatalaksana perpaduan dari (Soni, 2013):

1. Bedah reduksi dagu (genioplasty)

2. Osteotomi

3. Terapi ortodontik

II. THALASEMIA

5
A. DEFINISI
Thalassemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan
oleh defek genetik pada pembentukan rantai globin (Taher et al., 2018).

B. EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari
thalassemia. Fakta ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit
turunan yang terbanyak; menyerang hampir semua golongan etnik dan
terdapat pada hampir seluruh negara di dunia (Taher et al., 2018).
Beberapa tipe thalassemia lebih umum terdapat pada area tertentu di
dunia. Talasemia  ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan
Mediterania, talasemia  tersebar di Afrika, Mediterania, Timor Tengah,
India dan Asia Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%.
Thalassemia  memiliki distribusi sama dengan thalassemia  Dengan
kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di
mediterania dan bervariasi di Timor Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE
yang merupakan varian thalassemia sangat banyak dijumpai di India, Birma
dan beberapa negara Asia Tenggara. Adanya interaksi HbE dan thalassemia 
 menyebabkan thalassemia HbE sangat tinggi di wilayah ini.
Data dari World Bank menunjukan bahwa 7% dari populasi dunia
merupakan pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000
bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga
100.000 anak meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut
berasal dari negara berkembang.
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia,
yaitu negara dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang
tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian epidemiologi di Indonesia yang
mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia beta berkisar 3-10% (Depkes,
2018).

6
C. MORTALITAS DAN MORBIDITAS
Thalassemia-α mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin
yang terkena akan lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat.
Beberapa laporan pernah mendeskripsikan adanya neonatus dengan
thalassemia-α mayor yang bertahan setelah mendapat transfusi intrauterin.
Penderita seperti ini membutuhkan perawatan medis yang ekstensif
setelahnya, termasuk transfusi darah teratur dan terapi khelasi, sama dengan
penderita thalassemia-β mayor. Terdapat juga laporan kasus yang lebih jarang
mengenai neonatus dengan thalassemia-α mayor yang lahir tanpa hydrops
fetalis yang bertahan tanpa transfusi intrauterin. Pada kasus ini, tingginya
level Hb Portland, yang merupakan Hb fungsional embrionik, diperkirakan
sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut (Taher et al., 2018).
Pada pasien dengan berbagai tipe thalassemia-β, mortalitas dan
morbiditas bervariasi sesuai tingkat keparahan dan kualitas perawatan.
Thalassemia-β mayor yang berat akan berakibat fatal bila tidak diterapi. Gagal
jantung akibat anemia berat atau iron overload adalah penyebab tersering
kematian pada penderita. Penyakit hati, infeksi fulminan, atau komplikasi
lainnya yang dicetuskan oleh penyakit ini atau terapinya termasuk merupakan
penyebab mortalitas dan morbiditas pada bentuk thalassemia yang berat.
Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita yang tidak
diterapi; mereka yang mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap
berisiko mengalami bermacam-macam komplikasi. Kerusakan organ akibat
iron overload, infeksi berat yang kronis yang dicetuskan transfusi darah, atau
komplikasi dari terapi khelasi, seperti katarak, tuli, atau infeksi, merupakan
komplikasi yang potensial (Taher et al., 2018).

7
D. DIAGNOSIS
Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor
umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6 bulan (Depkes, 2018).
1. Anamnesis:
a. Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan. a. Pada
thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia
yang lebih tua.
b. Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor
memerlukan transfusi berkala.
c. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
d. Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
e. Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Thalassemia
paling banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%,
dan Makasar 8%.
f. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.

2. Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada
anak dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera
ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata
melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal
tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan
hiperpigmentasi kulit.

E. DIAGNOSIS BANDING
Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi
Fe, hal ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan

8
gambaran eritrosit mikrositik hipokrom (Taher et al., 2018). Namun kedua
penyakit ini dapat dibedakan, karena pada anemia defisiensi Fe didapatkan:
- Pucat tanpa organomegali
- SI rendah
- IBC meningkat
- Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
- Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi

Anemia sideroblastik dimana didaptkan pula gambaran apusan darah


tepi mikrositik hipokrom dan gejala-gejala anemia, yang membedakan dengan
thalassemia adalah kadar besi dalam darah tinggi, kadar TIBC (Total Iron
Binding Capacity) normal atau meningkat sedangkan pada thalassemia kadar
besi dan TIBC normal.
Dapat juga dibandingkan dengan anemia defisiensi G6PD, dimana
enzim ini bekerja untuk mencegah kerusakan eritrosit akibat oksidasi.
Merupakan salah satu anemia hemolitik juga. Dapat dibedakan dengan
thalassemia dengan gambaran apusan darah tepi dimana pada defisiensi G6PD
nomositik-normokrom dan pemeriksaan enzim G6PD.
Thalassemia juga didiagnosis banding dengan jenis thalassemia
lainnya, yang memberi gambaran klinis yang sama. Namun pada pemeriksaan
elektroforesis hemoglobin dapat diketahui jenis thalassemia α atau
thalassemia β. Pada thalassemia α dengan HbH ditemukan jaundice dan
splenomegali.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis
thalassemia ialah:
1. Darah

9
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah:
- Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan penurunan jumlah eritrosit,
peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula peningkatan dari sel PMN.
Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah trombosit.
- Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
- Gambaran darah tepi
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom.
Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit,
poikilositosis, tear drops sel dan target sel.

Gambar 2. Sapuan darah tepi normal dan thalassemia.

- Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
- Tes Fungsi Hepar

10
- Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan
hepatitis, obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT
akan meningkat dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari
kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan
darah.

2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita
thalassemia saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika
ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar HbA2.
Petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H.
Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam
keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

3. Pemeriksaan sumsum tulang


Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang
sangat aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8.
pada keadaan normal biasanya nilai perbandingannya 0,3.

4. Pemeriksaan rontgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila
tidak mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat,
mineralisasi berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi
darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga
sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran
mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas,

11
disebut dengan ‘hair on end’ yaitu menyerupai rambut berdiri potongan
pendek pada anak besar (Permono et al., 2010).

Gambar 3. Gambar rontgen kepala ‘hair on end’ dan tulang panjang yang terjadi
penipisan korteks.

5. EKG dan echocardiography untuk mengetahui dan memonitor keadaan


jantungnya. Kadang ditemukan jantung yang kardiomegali akibat
anemianya.

G. KOMPLIKASI

Splenomegali karena penimbunan besi dan eritrosit abnormal, leukosit dan
trombosit.

Anak dengan β thalassemia mayor dengan transfuse yang tidak adekuat
dapat menyebabkan pertumbuhan kurang dan mudah terinfeksi,
hepatosplenomegali, penipisan cortex tulang dan mudah fraktur.

Hemosdierosis akibat pemberian transfuse, sehingga kadar serum besi yang
berlebihan.

Kerusakan hepar yang disebabkan oleh besi yang berhubungan dengan
komplikasi sekunder dari transfuse dan infeksi hepatitis C merupakan
penyebab tersering hepatitis pada anak dengan thalassemia.

Congestive heart failure dan cardiac aritmia pada transfusi tanpa chelating
agent.

Thrombosis dan septikemia pada splenektomi

12

Wanita dengan fetus α-thalassemia meningkatkan komplikasi pada
kehamilan karena toksikemia dan peradarahan post partum (Permono et al.,
2010).
H. TERAPI
Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan
lanjut setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak
diberikan kecuali memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera
dihentikan apabila nilai Hb yang potensial pada penderita tersebut telah
tercapai. Diperlukan konseling pada semua penderita dengan kelainan genetik,
khususnya mereka yang memiliki anggota keluarga yang berisiko untuk
terkena penyakit thalassemia berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen
transfusi darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup.
Transfusi darah harus dimulai pada usia dini ketika anak mulai mengalami
gejala dan setelah periode pengamatan awal untuk menilai apakah anak dapat
mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa transfusi (Permono et al.,
2010).

13
BAB III
HUBUNGAN THALASEMIA DAN MAKROGNATIA

Makrognatia adalah suatu keadaan dimana dagu berukuran lebih besar daripada
ukuran normal. WHO menyebut bahwa makrognatia sama dengan maxillary
hyperplasia atau mandibular hyperplasia, yang mengindikasikan bahwa makrognatia
berhubungan dengan pembesaran patologis (hiperplasia) maksila maupun mandibula.
Telah disebutkan bahwa pada thalasemia terdapat ekspansi rongga sumsum
yang disebabkan oleh hiperplasia kompensasi pada sel-sel sumsum tulang.
Menurut beberapa studi sefalometrik, deformitas dentoskeletal pada pasien
thalasemia berhubungan erat dengan retardasi dan disproporsi komponen tulang (Zen
dan Sjahruddin, 2011). Kelainan orofasial pada pasien thalasemia dihubungkan
dengan perubahan tulang yang terkait dengan eritropoesis yang inefektif. Tulang
menjadi tipis, dan fraktur patologis dapat terjadi. Perubahan pada tulang fasial dan
kranial juga berasal dari overekspansi tulang sumsum yang berujung pada
penampakan wajah yang tipikal (Helmi et al., 2017).
Komplikasi ortodonti pada pasien thalasemia yang sering ditemukan termasuk
maloklusi kelas II (rahang atas dan gigi atas secara signifikan tumpang tindih dengan
rahang bawah dan gigi bawah atau overbite/retrognatia), spacing antara gigi anterior,
dan open-bite (Mulimani et al., 2012).
Elangovan et al. (2013). menyebutkan bahwa pasien thalasemia, terutama
pasien thalasemia β major biasanya memiliki berbagai macam kelainan orofasial.
Tingkat maloklusi yang tinggi, terutama maloklusi kelas I dan kelas II dapat
ditemukan. Pada maloklusi kelas I dan II pada pasien thalasemia, hiperplasia sumsum
tulang yang disebabkan oleh turnover sel darah merah yang terlalu cepat di maksila
melebihi mandibula. Elangovan et al. juga menyatakan bahwa deformitas tulang dan
wajah berkaitan erat dengan umur pasien, keparahan anemia, dan waktu pertama kali

14
diberi transfusi. Pasien yang mendapat transfusi darah yang adekuat saat kecil akan
memiliki perubahan tulang yang lebih parah saat remaja.
Pada studi yang dilakukan Gupta et al. (2016) terdapat temuan satu kasus
maloklusi kelas III di antara sampel pasien thalasemia lainnya yang kebanyakan
memiliki maloklusi kelas II. Pada pasien tersebut, ditemukan underbite yang parah
dan ukuran mandibula yang lebih besar dari biasanya (makrognatia). Keluarga pasien
tidak memiliki riwayat maloklusi kelas III. Menurut Gupta et al., temuan ini belum
pernah disebutkan dalam studi-studi sebelumnya dan belum ada literatur yang
menyebutkan hubungan makrognatia dan thalasemia yang jelas.
Temuan makrognatia atau hiperplasia mandibula pada pasien thalasemia
sebelumnya pernah dipaparkan oleh Lagia et al. (2007) yang melakukan studi
radiografi pada kerangka tulang seorang pasien perempuan berusia 14 tahun yang
diperkirakan meninggal tahun 1966 karena thalasemia. Pada mandibula pasien
tersebut, ditemukan pembengkakan kontur tulang dan ukuran mandibula yang lebih
besar dari normal. Hal ini membuktikan bahwa terdapat kemungkinan bahwa
makrognatia berhubungan dengan thalasemia.
Menurut teori klasik, wajah membentuk fitur mongoloid karena prominennya
tulang pipi, pertumbuhan berlebih maksila, depresi hidung dan protrusi gigi anterior
maksila (Karakas et al., 2016). Normalnya, mandibula mengalami pelebaran yang
lebih sedikit dibanding maksila. Hal ini dapat dikarenakan maksila terdiri atas tulang
spons dan mandibula kebanyakan tersusun atas tulang kompak (Einy et al., 2016).
Madhok dan Madhok (2014) menyatakan bahwa mandibula secara umum akan lebih
sedikit mengalami protrusi dibandingkan maksial karena lapisan korteks mandibula
yang tebal akan melawan ekspansi.
Menurut Zen dan Sjahruddin (2011), postur, aktivitas, dan gerakan otot-otot
orofasial serta proses mengunyah dapat menyebabkan penyempitan lengkung dental.
Kondisi retrognatia posisi mandibula juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu kurangnya tekanan otot melawan permukaan labial dari gigi seri maksila,
koordinasi fungsi otot yang terganggu, dan faktor tekanan mekanik yang dapat

15
menghambat pertumbuhan mandibula ke arah anterior. Faktor-faktor ini akan
menyebabkan pertumbuhan dentofasial yang disproporsional dan berujung pada
kelainan orofasial yang dapat ditemukan pada pasien thalasemia. Selain itu, menurut
Toman et al. (2011), kelainan pada mandibula pada pasien thalasemia dapat
dihubungkan dengan faktor kelemahan otot, bernapas dari mulut, dan defisiensi
pertumbuhan ramus dan kondilus.
Walaupun belum ada studi yang menggambarkan dengan jelas hubungan
makrognatia dengan thalasemia, temuan oleh Lagia et al. (2007) dan Gupta et al.
(2016) membuktikan bahwa makrognatia dapat menjadi salah satu manifestasi
kelainan orofasial pada thalasemia. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor
internal dan eksternal yang menyebabkan hiperplasia mandibula dan kelainan arah
pertumbuhan mandibula.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Makrognatia merupakan kelainan pada rahang yang dapat disebabkan oleh


berbagai faktor. Diagnosis mikrognatia dan makrognatia ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai.
Telah disebutkan bahwa pada thalasemia terdapat ekspansi rongga sumsum
yang disebabkan oleh hiperplasia kompensasi pada sel-sel sumsum tulang.
Menurut beberapa studi sefalometrik, deformitas dentoskeletal pada pasien
thalasemia berhubungan erat dengan retardasi dan disproporsi komponen tulang (Zen
dan Sjahruddin, 2011). Kelainan orofasial pada pasien thalasemia dihubungkan
dengan perubahan tulang yang terkait dengan eritropoesis yang inefektif. Tulang
menjadi tipis, dan fraktur patologis dapat terjadi. Perubahan pada tulang fasial dan
kranial juga berasal dari overekspansi tulang sumsum yang berujung pada
penampakan wajah yang tipikal (Helmi et al., 2017).
Walaupun belum ada studi yang menggambarkan dengan jelas hubungan
makrognatia dengan thalasemia, temuan oleh Lagia et al. (2007) dan Gupta et al.
(2016) membuktikan bahwa makrognatia dapat menjadi salah satu manifestasi
kelainan orofasial pada thalasemia. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor
internal dan eksternal yang menyebabkan hiperplasia mandibula dan kelainan arah
pertumbuhan mandibula.
Tenaga kesehatan dalam konsep interprofessional collaboration sebaiknya
mampu menerapkan kolaborasi antar profesi untuk melakukan tatalaksana
makrognatia pada thalasemia ini. Dokter umum atau spesialis kandungan dan anak,
bersama bidan, melakukan deteksi dini mengenai kelainan rahang pada bayi/anak,
terutama pada pasien yang beresiko tinggi lahir dengan thalassemia, kemudian

17
melakukan konsultasi kepada dokter gigi supaya pasien dapat segera mendapatkan
pelayanan kesehatan yang sesuai.

18
DAFTAR PUSTAKA

Copel, J.A. (2012). Obstetric Imaging. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.


Einy, S., Hazan-Molina, H., Ben-Barak, A., & Aizenbud, D. (2016). Orthodontic
Consideration in Patients with Beta-Thalassemia Major: Case Report and
Literature Review. The Journal of Clinical Pediatric Dentistry, 40(3), 241–
246. https://doi.org/10.17796/1053-4628-40.3.241
Elangovan, A., Mungara, J., Joseph, E., & Guptha, V. (2013). Prevalence of
dentofacial abnormalities in children and adolescents with β-thalassaemia
major. Indian Journal of Dental Research: Official Publication of Indian
Society for Dental Research, 24(4), 406–410. https://doi.org/10.4103/0970-
9290.118360
Gateno, J., Alfi, D., Xia, J. J., & Teichgraeber, J. F. (2015). A Geometric
Classification of Jaw Deformities. Journal of Oral and Maxillofacial
Surgery : Official Journal of the American Association of Oral and
Maxillofacial Surgeons, 73(12 0), S26–S31.
https://doi.org/10.1016/j.joms.2015.05.019
Gupta, D. K., Singh, S. P., Utreja, A., & Verma, S. (2016). Prevalence of
malocclusion and assessment of treatment needs in β-thalassemia major
children. Progress in Orthodontics, 17. https://doi.org/10.1186/s40510-016-
0120-6
Helmi, N., Bashir, M., Shireen, A., & Ahmed, I. M. (2017). Thalassemia review:
features, dental considerations and management. Electronic Physician, 9(3),
4003–4008. https://doi.org/10.19082/4003
Joshi N, Hamdan AM, Fakhouri WD. (2014). Skeletal Malocclusion: A
Developmental Disorder with a Life-Long Morbidity.
http://www.jocmr.org/Review.pdf -diakses pada 28 November 2018.
Karakas, S., Tellioglu, A. M., Bilgin, M., Omurlu, I. K., Caliskan, S., & Coskun, S.
(2016). Craniofacial Characteristics of Thalassemia Major Patients. The
Eurasian Journal of Medicine, 48(3), 204–208.
https://doi.org/10.5152/eurasianjmed.2016.150013

19
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1/2018 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia. Jakarta: Depkes.
Lagia, A., Eliopoulos, C., & Manolis, S. (2007). Thalassemia: macroscopic and
radiological study of a case. International Journal of Osteoarchaeology,
17(3), 269–285. https://doi.org/10.1002/oa.881
Lubowits A. Macrognathia. 2011. (http://www.medindia.net/patients
/patientinfo/pagets_macrognathia.htm).
Madhok, S., & Madhok, S. (2014). Dental considerations in Thalassemic
patients. Journal of Dental and Medical Sciences, 13(6), 57-62.
Mulimani, P., Abas, A. B., Karanth, L., Colombatti, R., & Kulkarni, P. (2018).
Treatment of dental and orthodontic complications in thalassaemia. Cochrane
Database of Systematic Reviews, (2).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD012969
Patel A (2009). The Developmental Disturbences of Jaws. Philadelphia: Oxford
University Press.
Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. (2010). Hemoglobin Abnormal:
Talasemia. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta: 2010. Hal 64-84.
Soni P. (2013). Macrognathia: Its Causes, Signs, Symptoms & Treatment. Pulp.
Taher, A. T., Weatherall, D. J., & Cappellini, M. D. (2018). Thalassaemia. Lancet
(London, England), 391(10116), 155–167. https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(17)31822-6
Toman, H. A., Nasir, A., Hassan, R., & Hassan, R. (2011). Skeletal, dentoalveolar,
and soft tissue cephalometric measurements of Malay transfusion-dependent
thalassaemia patients. European Journal of Orthodontics, 33(6), 700–704.
https://doi.org/10.1093/ejo/cjq147
Zen, Y., & Sjahruddin, L. D. (2011). Posterior transverse interarch discrepancy on
HbE β thalassemia patients. Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi),
44(1), 1–6. https://doi.org/10.20473/j.djmkg.v44.i1.p1-6

20

Anda mungkin juga menyukai