Anda di halaman 1dari 58

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

(PKPA) FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK INGGIT FARMA
GELOMBANG I
PERIODE 03 – 29 OKTOBER 2022

SUHARMADINAH SUWAKBUR
N014221015

SEMESTER AWAL 2022 - 2023


PROGRAM STUDI PROFESI
APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
PRAKTIK KERJA PROFEI APOTEKER
(PKPA) PERAPOTEKAN FARMASI

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK INGGIT FARMA
GELOMBANG I
PERIODE 03 – 29 OKTOBER 2022

SUHARMADINAH SUWAKBUR
N014221015

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator PKPA Farmasi Pembimbing PKPA Farmasi
Perapotekan Program Studi Profesi Perapotekan Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. apt. Hj. Latifah Rahman, DESS. Yayu Mulsiani Evary, S.Si., M.Pharm.Sci., Apt.
NIP. 19570615 198403 2 002 NIP. 19850417 201504 2 001

Makassar, 2022

ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta’ala,


yang telah memberikan limpahan nikmat setiap harinya. Mulai dari nikmat
kemampuan, kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekan, guna
memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Studi Profesi
Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.

Laporan ini disusun sebagai bagian dari Program Studi Profesi


Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa
proses pembuatan laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin meyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof.Dr.rer.nat. marianti A. Manggau,Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Muhammad Rahim , S.Si., M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Prof. Dr. apt. Hj. Latifah Rahman, DESS. selaku Koordinator PKPA Farmasi
Perapotekan, Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin
4. Ibu Yayu Mulsiani Evary, S.Si., M.Pharm.Sci., Apt. selaku pembimbing PKPA
Farmasi Perapotekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
5. Ibu Dr.dr.Jumariani selaku pemilik sarana Apotek Inggit Farma
6. Bapak apt.Zulfikar Usman,S.Farm selaku Apoteker penanggung jawab Apotek
Inggit Farma yang telah banyak membantu selama pelaksanaan PKPA
perapotekan

7. Seluruh kakak-kakak Apotek Inggit Farma

8. Seluruh teman-teman apoteker yang mendukung dan membantu dalam


penyelesaian laporan ini.

iii
Tidak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada
ayahanda H.Supardi dan ibunda Hj.Hasnah W yang begitu banyak memberikan
kasih sayang dan motivasi serta pengorbanan yang besar baik moril maupun
materil, saudara penulis, serta teman-teman seperjuangan PKPA penulis.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa
laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan. Besar harapan kiranya laporan ini
dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Farmasi. Amin
Ya Rabbal Alamin.

Makassar, November 2022

Suharmadinah Suwakbur

iv
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Tujuan Pelayanan Resep 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.1 Definisi Apotek 3
II.2 Tujuan Apotek 3
II.3 Legalitas Pendirian Apotek 3
II.4 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek 5
II.5 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai (BMHP) 6
II.6 Pelayanan Farmasi Klinik 11
II.7 Penggolongan Obat 17
II.7.1 Berdasarkan Permenkes No 917 tahun 1993 17
II.7.2 Berdasarkan Permenkes No 3 tahun 2015 26
II.7.3 Golongan Obat Tradisional 27
BAB III PELAYANAN RESEP DI APOTEK 31
III.1 Contoh Resep 31
III.2 Skrining Resep 31
III.2.1 Skrining Adminstratif 32
III.2.2 Skrining Farmasetik 33
III.2.3 Skrining Klinis 34
III.2.4 Pertimbangan Klinis 36

v
III.3 Uraian Obat 38
III.4 Penyiapan Obat 44
III.4.1 Obat Racikan 44
III.4.2 Obat non-racikan 44
III.5 Etiket dan Copy Resep 45
III.6 Penyerahan Obat 47
BAB IV PENUTUP 52
IV.1 Kesimpulan 52
IV.2 Saran 52
DAFTAR PUSTAKA 53
LAMPIRAN 56

vi
DAFTAR TABEL

Tabel halaman
1. Kelengkapan Administratif Resep 32

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Penandaan Golongan Obat Bebas 17
2. Penandaan Golongan Obat Bebas Terbatas 18
3. Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas 18
4. Penandaan Golongan Obat Keras 19
5. Penandaan Golongan Obat Narkotika 23
6. Penandaan Jamu 28
7. Penandaan Obat Herbal Terstandar 28
8. Penandaan Fitofarmaka 28
9. Contoh Resep 31
10. Etiket Resep Racikan 45
11. Etiket Resep Non Racikan 45
12. Copy Resep 47

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman
1. Form Surat Pesanan Narkotika 56
2. Form Surat Pesanan Psikotropika 56
3. Form Surat Pesanan Prekursor 57

ix
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Apotek adalah sebuah sarana tempat dimana dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker. Dalam sebuah apotek hendaklah memiliki standar
pelayanan kefarmasian sebagai tolak ukur untuk digunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam melakukan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.
Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi beberapa standar diantaranya
yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Kemudian yang kedua adalah pelayanan farmasi klinik, yang dimana termasuk
didalamnya yaitu pelayanan dan pengkajian resep, dispensing, pelayanan
informasi obat (PIO), memberikan konseling, memberikan pelayanan kefarmasian
dirumah, memantau terapi obat dan memonitoring efek samping obat
(PerMenKes, No.73, 2016).
Tahapan-tahapan dalam pelayanan farmasi klinik menuntut seorang
praktisi kefarmasian khususnya apoteker untuk selalu meningkatkan keterampilan
dan pengetahuan agar proses pelayanan farmasi klinik kepada pasien berjalan
dengan lancar sehingga tidak ada keraguan dari pasien dalam masalah
pengobatannya. Dari hal diatas menjelaskan bahwa peran apoteker sangatlah
penting dalam menjalankan praktik kefarmasian dan sebagai tenaga professional
di apotek dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, terutama dalam bidang
kefarmasian, maka calon apoteker harus mempersiapkan diri dengan baik.
Pelayanan resep merupakan salah satu bagian dari pelayanan
kefarmasian di apotek yang mempunyai peranan penting dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan resep di apotek saat ini
sebaiknya harus berubah orientasi dari drug oriented menjadi patient oriented
artinya yaitu pelayanan yang sebelumnya hanya berfokus pada pengelolaan obat,
berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Bogadenta A, 2012).

1
2

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian tersebut harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi Obat dan
konseling kepada pasien yang membutuhkan.
Apoteker sangat berperan penting dalam sistem pelayanan kesehatan dan
harus memiliki keahlian manajemen dalam mengolah sebuah Apotek.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah PKPA untuk meningkatkan
kemampuan dari para mahasiswa apoteker dalam pelaksanaan pelayanan
kefarmasian sehingga diharapkan dapat melaksanakan perannya dalam
menjalankan dan tugasnya dalam memberikan informasi obat.

I.2 Tujuan Pelayanan Resep


Adapun tujuan dari pelayanan resep adalah memberikan kesempatan kepada
mahasiswa calon apoteker agar dapat:
1. Mengetahui alur pelayanan resep dan meningkatkan keterampilan dalam
memberikan pelayanan di apotek mulai dari penerimaan resep dengan
memperhatikan persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik,
pertimbangan klinis hingga penyerahan obat kepada pasien.
2. Mengetahui cara berkomunikasi dan konseling yang baik serta jelas dalam
memberikan informasi terkait obat yang diberikan ke pasien.
3. Mampu mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait
resep yang diterima (Medication Eror).
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Apotek
II.1.1 Definisi Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik


kefarmasian oleh apoteker. Praktik kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan
pekerjaan kefarmasian yaitu pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
(PerMenkes, No.51, 2009).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi
apotek adalah sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan, sebagai sarana farmasi yang melaksanakan
peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan
obat, dan yang terakhir sebagai sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus
menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata
(PerMenkes, No.51, 2009).

II.1.2 Tujuan Apotek


Pengaturan apotek bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kefarmasian di apotek, memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kefarmasian di apotek, dan menjamin kepastian hukum
bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian di apotek (UU
No. 9, 2017).

II.1.3 Legalitas Pendirian Apotek


Pendirian suatu apotek memiliki beberapa persyaratan pendirian yang
tercantum dalam PerMenKes Normor 9 tahun 2017 tentang Apotek, yaitu:
a. Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

3
30

b. Apoteker yang mendirikan apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka


pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang
bersangkutan.
1) Lokasi
Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengatur persebaran apotek di
wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan kefarmasian.
2) Bangunan
Bangunan apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan
dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-
anak, dan orang lanjut usia. Bangunan apotek harus bersifat permanen.
Bangunan bersifat permanen dapat merupakan bagian dan/atau terpisah
dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah
susun, dan bangunan yang sejenis.
3) Sarana, prasarana, dan peralatan
Bangunan apotek sebagaimana dimaksud paling sedikit memiliki sarana
ruang yang berfungsi:
a) Penerimaan resep;
b) Pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas);
c) Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
d) Konseling;
e) Penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan
f) Arsip.
Prasarana apotek paling sedikit terdiri dari:
a) Instalasi air bersih;
b) Instalasi listrik;
c) Sistem tata udara; dan
d) Sistem proteksi kebakaran.
30

Peralatan apotek sebagaimana yang dimaksud adalah:


a) Peralatan apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian
b) Peralatan tersebut antara lain meliputi rak obat, alat peracikan, bahan
pengemas obat, lemari pendingin, meja, kursi, komputer, sistem
pencatatan mutasi obat, formulir catatan pengobatan pasien dan
peralatan lain sesuai dengan kebutuhan.
c) Formulir catatan pengobatan pasien merupakan catatan mengenai
riwayat penggunaan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan atas
permintaan tenaga medis dan catatan pelayanan apoteker yang
diberikan kepada pasien.
4) Ketenagaan
a) Apoteker pemegang Surat Izin Apotek (SIA) dalam menyelenggarakan
apotek dapat dibantu oleh apoteker lain, tenaga teknis kefarmasian
dan/atau tenaga administrasi.
b) Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian wajib memiliki surat izin
praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

II.1.4 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, maka diperlukan suatu standar yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian di apotek.
Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan agar dapat
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, dapat menjamin kepastian hukum
bagi tenaga kefarmasian; dan dapat melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient
safety) (PerMenkes, No.35, 2014).
Standar pelayanan kefarmasian adalah acuan yang dipergunakan sebagai
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian di apotek menurut Permenkes No.73
tahun 2016 meliputi standar:
30

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
2. Pelayanan farmasi klinik

II.1.5 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai (BMHP)
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan, dan pelaporan (PerMenKes RI, No. 73, 2016).
a. Perencanaan
Pada proses perencanaan ini, perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi,
budaya dan kemampuan masyarakat dalam membuat perencanaan pengadaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (PerMenKes,
No. 73, 2016).
Tujuan perencanaan: (JukNis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
2019)
 Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang mendekati kebutuhan
 meningkatkan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
secara rasional
 menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
 menjamin stok sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP tidak berlebih
 efisiensi biaya
 memberikan dukungan data bagi estimasi pengadaan, penyimpanan dan
biaya distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
Proses Perencanaan: (JukNis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
2019)
 Persiapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana
kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP:
30

 Perlu dipastikan kembali komoditas yang akan disusun


perencanaannya
 Perlu disusun daftar spesifik mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang akan direncanakan, termasuk di dalamnya kombinasi
antara obat generik dan bermerk.
 Perencanaan perlu memperhatikan waktu yang dibutuhkan,
mengestimasi periode pengadaan, mengestimasi safety stock dan
memperhitungkan leadtime .
 Pengumpulan data
Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP pasien periode sebelumnya (data konsumsi), sisa
stok dan data morbiditas.
 Penetapan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
yang direncanakan menggunakan metode perhitungan kebutuhan.
 Evaluasi Perencanaan.
 Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).
 Apotek yang bekerjasama dengan BPJS diwajibkan untuk mengirimkan
RKO yang sudah disetujui oleh pimpinan Apotek melalui aplikasi E-
Money.
b. Pengadaan
Pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan untuk menjamin kualitas pelayanan
kefarmasian (PerMenKes, No. 73, 2016).
Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP di apotek dilaksanakan
dengan pembelian. Pembelian merupakan suatu metode penting untuk
mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga. Apabila ada dua
atau lebih pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kriteria berikut: mutu
produk (kualitas produk terjamin ada NIE/Nomor Izin Edar), reputasi
produsen (distributor berijin dengan penanggung jawab Apoteker dan mampu
memenuhi jumlah pesanan), harga, berbagai syarat, ketepatan waktu
pengiriman (lead time cepat), mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya,
30

kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan pengemasan (JukNis


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 2019).
Pengadaan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Sediaan farmasi diperoleh dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang
memiliki izin.
 Alat Kesehatan dan BMHP diperoleh dari Penyalur Alat Kesehatan (PAK)
yang memiliki izin.
 Terjaminnya keaslian, legalitas dan kualitas setiap sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP yang dibeli.
 sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang dipesan datang tepat
waktu.
 Dokumen terkait sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP mudah
ditelusuri
 Sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP lengkap sesuai dengan
perencanaan
Waktu pengadaan obat dilakukan berdasarkan kebutuhan dengan
mempertimbangkan hasi analisa dari data:
 Sisa stok dengan memperhatikan waktu (tingkat kecukupan obat dan
perbekalan kesehatan).
 Kapasitas sarana penyimpanan.
 Waktu tunggu.
c. Penerimaan (JukNis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 2019).
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima. Penerimaan dan pemeriksaan merupakan
salah satu kegiatan pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis,
jumlah dan mutunya berdasarkan Faktur Pembelian dan/atau Surat Pengiriman
Barang yang sah.
Penerimaan sediaan farmasi di Apotek harus dilakukan oleh Apoteker. Bila
Apoteker berhalangan hadir, penerimaan sediaan farmasi dapat didelegasikan
kepada Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker Pemegang SIA.
30

Pemeriksaan sediaan farmasi yang dilakukan meliputi:


 Kondisi kemasan termasuk segel, label/penandaan dalam keadaan baik.
 Kesesuaian nama, bentuk, kekuatan sediaan obat, isi kemasan antara arsip
surat pesanan dengan obat yang diterima.
 Kesesuaian antara fisik obat dengan Faktur pembelian dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:
 kebenaran nama produsen, nama pemasok, nama obat, jumlah, bentuk,
kekuatan sediaan obat dan isi kemasan; dan
 nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
Apabila hasil pemeriksaan ditemukan sediaan farmasi yang diterima tidak
sesuai dengan pesanan seperti nama, kekuatan sediaan sediaan farmasi, jumlah
atau kondisi kemasan dan fisik tidak baik, maka sediaan farmasi harus segera
dikembalikan pada saat penerimaan. Apabila pengembalian tidak dapat
dilaksanakan pada saat penerimaan misalnya pengiriman melalui ekspedisi
maka dibuatkan Berita Acara yang menyatakan penerimaan tidak sesuai dan
disampaikan ke pemasok untuk dikembalikan. Jika pada hasil pemeriksaan
dinyatakan sesuai dan kondisi kemasan baik maka Apoteker atau Tenaga
Kefarmasian yang mendapat delegasi wajib menandatangani Faktur Pembelian
dan/atau Surat Pengiriman Barang dengan mencantumkan nama lengkap,
nomor SIPA/SIPTTK dan stempel sarana.
d. Penyimpanan (PerMenKes, No. 73, 2016)
Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas
pada wadah baru. Wadah sekurang- kurangnya memuat nama obat, nomor
batch dan tanggal kadaluwarsa.
Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya. Sistem penyimpanan dilakukan dengan
memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara
alfabetis. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)
dan FIFO (First In First Out).
30

e. Pemusnahan dan Penarikan (JukNis Standar Pelayanan Kefarmasian di


Apotek, 2019)
Sediaan farmasi kedaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan sediaan farmasi kedaluarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan sediaan
farmasi selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau
surat izin kerja. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima)
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara
dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara
Pemusnahan Resep sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan dan penarikan Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall ) atau berdasarkan inisiasi sukarela
oleh pemilik izin edar (voluntary recall ) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis
Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
f. Pengendalian (PerMenKes, No. 73, 2016)
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik.
30

g. Pencatatan dan Pelaporan (PerMenKes, No. 73, 2016)


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal
merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi pelaporan narkotika,
psikotropika dan pelaporan lainnya.

II.2 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Adapun pelayanan farmasi klinik meliputi (PerMenKes, No. 73, 2016) :
a. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik, dan
pertimbangan klinis. Untuk kajian administrasi meliputi nama pasien, umur,
jenis kelamin, dan berat badan pasien, nama dokter, nomor Surat Izin Praktik
(SIP), alamat, nomor telepon serta paraf, dan tanggal penulisan resep. Kajian
farmasetik meliputi bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas, dan kompatibilitas
(ketercampuran obat). Kajian klinis meliputi ketepatan indikasi dan dosis obat,
aturan, cara, dan lama penggunaan obat, duplikasi dan atau polifarmasi, reaksi
obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain).
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian, maka apoteker
harus menghubungi dokter penulis resep.
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai-
30

termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian


informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Petunjuk teknis
mengenai pengkajian dan pelayanan resep akan di atur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.
b. Dispensing
Dispensing terdiri atas penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat.
Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut :
 Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep meliputi menghitung
kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep, mengambil obat yang
dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama obat,
tanggalkadaluwarsa dan keadaan fisik obat
 Melakukan peracikan obat bila diperlukan
 Memberikan etiket sekurang - kurangnya meliputi warna putih untuk obat
dalam/oral, warna biru untuk obat luar dan suntik, menempelkan label
“kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi
 Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan
yang salah
Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali
mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan
jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep), memanggil
nama dan nomor tunggu pasien, memeriksa ulang identitas dan alamat pasien,
menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat, memberikan
informasi cara penggunaan obat dan hal - hal yang terkait dengan obat antara
lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan
efek samping, cara penyimpanan obat dan lain – lain, penyerahan obat kepada
pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik mengingat pasien dalam
kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil, memastikan bahwa yang
menerima obat adalah pasien atau keluarganya, membuat salinan resep sesuai
30

dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker (apabila diperlukan), menyimpan
resep pada tempatnya, dan apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas
atau bebas terbatas yang sesuai.
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker
dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi
dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat
kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai
obat termasuk obat yang tercantum dalam resep, obat bebas dan obat bebas
terbatas serta herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
kontraindikasi, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia
dari obat dan lain- lain yang menunjang keamanan, kualitas, dan efikasi obat.
Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek meliputi menjawab pertanyaan
baik lisan maupun tulisan, membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan), memberikan informasi dan edukasi
kepada pasien, memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa
farmasi yang sedang praktik profesi, melakukan penelitian penggunaan obat,
membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah, dan melakukan
program jaminan mutu.
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat. Adapun hal-hal yang
harus diperhatikan dokumentasi pelayanan informasi obat:
 Topik pertanyaan
 Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan
 Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon)
30

 Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium
 Uraian pertanyaan
 Jawaban pertanyaan
 Referensi
 Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan data apoteker
yang memberikan pelayanan informasi obat kepada pasien harus
didokumentasikan
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan
sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Tahap kegiatan konseling,
yaitu:
 Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
 Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime
Questions, yaitu:
 Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat anda?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
anda menerima terapi obat tersebut?
 Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
 Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
 Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien

Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:


 Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
30

 Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,


AIDS, epilepsi).
 Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
 Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
 Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis Obat.
 Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis
pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi
penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan, identifikasi kepatuhan pasien, pendampingan pengelolaan obat
dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma,
penyimpanan insulin, konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum,
monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien, dan dokumentasi pelaksanaan
pelayanan kefarmasian di rumah
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan terapi obat merupakan proses yang memastikan bahwa seorang
pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien yang akan dilakukan pemantauan terapi obat yaitu anak-anak
dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, menerima obat lebih dari 5 (lima)
jenis, adanya multidiagnosis, pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati,
menerima obat dengan indeks terapi sempit, dan menerima obat yang sering
30

diketahui menyebabkan reaksi obat yang


merugikan. Kegiatan pemantauan terapi obat terdiri
dari:
 Memilih pasien yang memenuhi kriteria
 Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang
terdiri oleh riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi
melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga
kesehatan lain
 Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara
lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa
indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu
rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya
interaksi obat
 Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi
 Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
 Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait
untuk mengoptimalkan tujuan terapi
 Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis
normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan monitoring efek samping
obat meliputi mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping obat, mengisi formulir Monitoring Efek Samping
Obat (MESO), dan melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat
Nasional. Adapun faktor yang perlu diperhatikan meliputi kerjasama dengan
tim kesehatan lain, dan ketersediaan formulir monitoring efek samping obat.
30

II.3 Penggolongan Obat


Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (PerMenkes
No. 73 Tahun 2016).

II.3.1 Berdasarkan PerMenkes No 917 tahun 1993


1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli
tanpa resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran
berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam (BPOM RI, 2020).
Obat golongan ini digunakan untuk menangani penyakit simptomatis
ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat
dilakukan sendiri oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self
medication atau pengobatan sendiri (DepKes, 2006). Contoh Obat bebas:
Bodrex®, Magasida®, Sanmol®, Dulcolactol®.

Gambar 1. Penandaan Obat Bebas


(Sumber: DirBinFar, 2007)

2. Obat Bebas Terbatas


Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli
tanpa dengan resep dokter, tapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus
untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam (BPOM RI,
2020).
30

Gambar 2. Penandaan Obat Bebas Terbatas


(Sumber: DirBinFar, 2007)

Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus


lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya
dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman dipergunakan untuk
pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf
putih pada dasar hitam yang terdiri dari 6 macam, yaitu:

Gambar 3. Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas


(Sumber : DinBinfar, 2007)

Beberapa contoh obat bebas terbatas:


1. P.No.1 : Awas! Obat keras. Bacalah aturan pakainya.
Contoh : Etaflusin®, Benadryl®, Neozep®, Decolgen® dan Refagen®
2. P.No 2 : Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, Jangan ditelan.
Contoh : Betadine® , Molexdine® MW, Tantum Verde®, Forinfec® Gargle
3. P.No.3 : Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari
badan. Contoh :Canesten® krim, Solinfec® krim, Micrem® krim.
4. P.No.4 : Awas! Obat keras. Hanya untuk
dibakar. Contoh : Asthma Soho®
5. P.No.5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
30

Contoh: Dulcolax®, Lisol®


6. P.No.6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan
ditelan. Contoh: Anusol® suppositoria

3. Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep
dokter. Ciri-cirinya adalah bertanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi
berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi. Obat ini
hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan resep dokter pada saat membelinya
(BPOM, 2020).

Gambar 4. Penandaan Golongan Obat Keras


(Sumber : DirBinfar, 2007)

Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin,


penisilin, dan sebagainya), obat-obatan yang mengandung hormon, obat diabetes,
Simvastatin, Ranitidin, Klonidin, Piroksikam, Pyrazinamid, Omeprazol.

a. Obat Wajib Apotek


Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri
guna mengatasi masalah kesehatan yang ringan, dirasa perlu ditunjang dengan
sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendirisecara tepat, aman dan
rasional. Melakukan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat
dicapai melalui bimbingan apoteker yang disertai dengan informasi yang tepat
sehingga menjamin penggunaan yang tepat dari obat tersebut (BPOM, 2020).
Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa
resep dokter, namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan
penggunaan obat DOWA harus dengan bimbingan apoteker. Daftar obat wajib
apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan. Sampai
saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep
dokter (BPOM, 2020).
30

Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam: (BPOM, 2020).
1. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/ MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat
Wajib Apotek berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1
Contoh: Bromhexin, Levonorgestrel, Salbutamol
2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 924/ Menkes / Per / X / 1993 tentang
Daftar Obat Wajib Apotek No.2
Contoh: Dexametason, Omeprazol, Sukralfat
3. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar
Obat Wajib Apotek No.3
Contoh: Famotidin, Cetirizin, Allopurinol

b. Obat Psikotropika
Obat psikotropika adalah zat/ bahan baku atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku (PerMenkes RI, No.3, 2015).
Menurut PerMenkes No. 2 tahun 2021 tentang Penetapan dan
Perubahan Psikotropika:
1. Psikotropika golongan I adalah psikotopika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan,
contohnya antara lain : Deskloroketamin, Flubromazolam, Flualprazolam
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan, contohnya antara lain: Amineptina, Metilfenidat, Sekobarbital,
Etizolam, Diclazepam
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan, contohnya antara lain penthobarbital, amobarbital dan
Flunitrazepam
30

4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk


pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantunagan, contohnya antara lain: Alprazolam, Diazepam, Fenobarbital,
Fludiazepam, Flurazepam, Klobazam, Lorazepam, Midazolam
PerMenkes RI No. 3 tahun 2015 mengatur tentang Pengelolaan
Psikotropika, meliputi:
a. Pemesanan Psikotropika
Apoteker penanggung jawab membuat Surat Pesanan (SP) untuk pemesanan
psikotropika dalam bentuk obat jadi. Surat pesanan psikotropika hanya dapat
digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis psikotropika. Surat pesanan yang
dimaksud harus terpisah dari pesanan barang lain dan dibuat sekurang-
kurangnya 3 rangkap.
b. Penyimpanan Psikotropika
Lemari khusus penyimpanan psikotropika harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
 Lemari khusus harus terbuat dari bahan yang kuat.
 Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
 Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
 Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
c. Pencatatan Psikotropika
Pencatatan psikotropika berdasarkan PerMenkes RI No. 3 tahun 2015 pasal 43
ayat 1 dan 3; dan pasal 44 meliputi:
 Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan psikotropika, wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
psikotropika.
 Pencatatan paling sedikit terdiri atas:
 Nama, bentuk sediaan, kekuatan dan jumlah persediaan
 Tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan
 Jumlah yang diterima
30

 Tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan


 Jumlah yang disalurkan/diserahkan
 Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
penyerahan
 Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
 Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen
penyaluran,dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan
psikotropika wajib disimpan secara terpisah paling singkat 5 tahun.
d. Pelaporan Psikotropika
Berdasarkan PerMenkes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45 ayat 6,7 dan 10
pelaporan psikotropika meliputi:
 Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan
penggunaan psikotropika setiap bulan, yang disampaikan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.
 Pelaporan penyerahan/penggunaan psikotropika terdiri atas :
 Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
 Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
 Jumlah yang diterima
 Jumlah yang diserahkan
e. Pemusnahan Psikotropika
Apoteker penanggung jawab menyampaikan surat pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai
Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan disaksikan
oleh petugas yang telah ditetapkan (PerMenkes RI No. 3, 2015).
Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yang melaksanakan
pemusnahan psikotropika harus membuat berita acara pemusnahan. Berita
acara pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya
disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat (PerMenkes RI No. 3, 2015).
30

4. Obat Narkotika
Berdasarkan PerMenKes No. 3 tahun 2015, narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.

Gambar 5. Penandaan Obat Narkotika


(Sumber: DirBinfar, 2007)

Berdasarkan PerMenkes No 4 tahun 2021 Narkotika digolongkan menjadi tiga


golongan, yaitu:
1. Narkotika Golongan 1
Golongan ini dilarang penggunaannya dalam pelayanan kesehatan, melainkan
digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
reagensia diagnostik dan reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan dari Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Golongan ini memiliki potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
Daftar Narkotika golongan I dalam lampiran I telah ditambahkan sehingga
menjadi sebagaimana tercantum pada PerMenkes No 4 tahun 2021. Beberapa
obat yang termasuk narkotika golongan I adalah tanaman Papaver
somniferum L. (kecuali bijinya), opium mentah, opium masak (candu, jicing,
jicingko), tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja,
etorfina, heroina, MDMA, amfetamina, dan deksamfetamina.
2. Narkotika Golongan II
Golongan ini berkhasiat pengobatan dan digunakan sebagai pilihan terakhir
dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
sehingga potensi untuk menimbulkan ketergantungan juga tinggi. Contohnya:
fentanil, alfasetilmetadol, pethidin, morfin dan garam-garamnya.
30

3. Narkotika Golongan III


Golongan ini berkhasiat pengobatan sehingga sangat luas digunakan dalam
terapi dan mengakibatkan ketergantungan ringan. Golongan ini juga
digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan distribusinya diatur
oleh pemerintah. Contohnya yaitu asetildihidrokodeina, dekstropropoksifena,
dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina, campuran atau sediaan difenoksin
dengan bahan lain bukan narkotika, campuran atau sediaan difenoksilat
dengan bahan lain bukan narkotika.
PerMenkes No. 3 tahun 2015 mengatur tentang Pengelolaan Narkotika,
meliputi:
a. Pemesanan Narkotika
 Surat pemesanan (SP) khusus narkotika yang terdiri atas minimal tiga
rangkap yaitu untuk BPOM, untuk DINKES Kabupaten/Kota, dan untuk
arsip Apotek.
 Surat pemesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu jenis
narkotika dan harus terpisah dari pesanan barang lain.
b. Penyimpanan Narkotika
Lemari khusus penyimpanan narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
 Lemari khusus harus terbuat dari bahan yang kuat.
 Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
 Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
 Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
c. Pencatatan Narkotika
 Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan narkotika, wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan / atau
pengeluaran narkotika.
 Pencatatan paling sedikit terdiri atas:
 Nama, bentuk sediaan, kekuatan dan jumlah persediaan
 Tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan
30

 Jumlah yang diterima


 Tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan
 Jumlah yang disalurkan/diserahkan
 Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
penyerahan
 Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
 Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,
dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan narkotika wajib
disimpan secara terpisah paling singkat 5 tahun (PerMenkes No. 3, 2015).
d. Pelaporan Narkotika
 Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan
penggunaan narkotika setiap bulan, yang disampaikan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.
 Pelaporan penyerahan/penggunaan narkotika terdiri atas:
 Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
 Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
 Jumlah yang diterima
 Jumlah yang diserahkan (PerMenkes No. 3, 2015).
e. Pemusnahan Narkotika
Apoteker penanggung jawab menyampaikan surat pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai
Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan disaksikan
oleh petugas yang telah ditetapkan (PerMenkes No. 3, 2015).

Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yang melaksanakan


pemusnahan Narkotika,harus membuat berita acara pemusnahan. Berita acara
pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan
kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat (PerMenkes No. 3, 2015).
30

II.3.2 Berdasarkan PerMenkes No 3 tahun 2015


Menurut PerMenkes No. 3 Tahun 2015, Prekursor Farmasi adalah
zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan
baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk
antara, produk ruahan dan produk jadi/obat jadi yang mengandung efedrin,
pseudoefedrin, norefedrin/ fenilpropanolamine, ergotamine, ergometrine atau
potassium permanganat.
Pengelolaan prekursor meliputi:
1. Pemesanan Prekursor
a. Surat pemesanan (SP) khusus prekursor farmasi
b. Surat pesanan prekursor farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu)
atau beberapa jenis prekursor farmasi.
c. Surat pesananyang dimaksud harus terpisah dan pesanan barang lain dan
dibuat sekurang-kurangnya 3 rangkap
2. Penyimpanan Prekursor
Lemari khusus penyimpanan prekursor dalam bentuk bahan baku harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Lemari khusus harus terbuat dari bahan yang kuat.
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
c. Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan
3. Pelaporan prekursor farmasi
Adapun pelaporan obat prekursor adalah sebagai berikut (PerMenkes No. 3,
2015):
a. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan prekursor farmasi setiap bulan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai
setempat dan disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
b. Pelaporan penyerahan/penggunaan prekursor farmasi terdiri atas:
 Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan prekursor farmasi
30

 Jumlah persediaan awal dan akhir bulan


 Jumlah yang diterima
 Jumlah yang diserahkan
4. Pemusnahan Prekursor
Apoteker penanggung jawab menyampaikan surat pemberitahuan dan
permohonan saksi kepadaDinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai
Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan disaksikan
oleh petugas yang telah ditetapkan (PerMenkes, No.3, 2015).
Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yang melaksanakan
pemusnahan prekursor, harus membuat berita acara pemusnahan. Berita acara
pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan
kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat (PerMenkes, No.3, 2015).

II.3.3 Golongan Obat Tradisional


Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan,
dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (PerBPOM
No 32, 2019). Obat tradisional terbagi dalam 3 golongan yaitu :
1. Jamu
Jamu termasuk Obat Tradisional yang dibuat dari bahan atau ramuan dari
tumbuhan, hewan atau mineral dan sediaan sarian atau campurannya yang
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan norma
yang berlaku di masyarakat. Jamu adalah obat tradisional yang disediakan
secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang
berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta
digunakan secara tradisional. Jamu yang telah digunakan secara turun-
menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah
membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan
tertentu (BPOM RI, 2015).
30

Gambar 6. Penandaan Jamu


(Sumber : BPOM RI, 2015)

2. Obat Herbal Terstandar


Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam
yang dapat berupa tanaman obat, hewan, maupun mineral. Selain proses
produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang
dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti
standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat,
standar pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut
maupun kronis (BPOM RI, 2015).

Gambar 7. Penandaan Obat Herbal Terstandar


(Sumber : BPOM RI, 2015)

3. Fitofarmaka
Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan
dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar,
ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan
uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat
herbal di sarana pelayanan kesehatan (BPOM RI, 2015).

Gambar 8. Penandaan Fitofamaka


(Sumber : BPOM RI, 2015)
BAB III
PELAYANAN RESEP
III.1 Contoh
Resep

Gambar 9. Contoh Resep


III.2 Skrining Resep
Menurut PerMenKes No.73 Tahun 2016, dalam proses pelayanan
resep oleh Apoteker dilakukan skrining resep yang mencakup 3 aspek utama,
yaitu pengkajian administratif, farmasetik, dan pertimbangan klinis. Resep yang
tidak memenuhi persyaratan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya medication
error.

29
32

III.2.1 Skrining Administratif


Berdasarkan skrining administratif pada resep maka diperoleh
kelengkapan administratif seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelengkapan Administratif Resep

Bagian Tidak Keterangan


Kelengkapan Ada
Resep Ada
Nama Dokter  dr. I

SIP  Tidak Tercantum


Inscriptio Alamat Dokter  Klinik Pratama Inggit Medika,
BTP Blok I No.33 Makassar
No. Telp  081266619997
Tempat dan Tanggal   Makassar, 05 Oktober 2022
Penulisan Resep
Subscriptio Paraf/Tanda tangan  Tidak ada
dokter
Invocatio Tanda R/  Tercantum (terdapat 3 tanda R/)
Prescriptio Nama Obat, Dosis,  R/ Ciprofloxacin 500 mg No.IV
Bentuk Sediaan,
R/ Paracetamol 300 mg
Jumlah yang
diminta, Cara Natrium Diclofenac 25 mg
Pembuatan
m.f pulv da in caps No.IV
R/ Vitamin B Comp No.II
Sigantura Aturan Pemakaian  2 dd 1 pc
2 dd 1 pc
1 dd 1 pc
Nama Pasien  Ny. M
Umur Pasien  Tidak tercantum
Bobot Badan Pasien  Tidak tercantum
Jenis Kelamin  Tidak tercantum
Alamat Pasien  Tidak tercantum
No. Telp Pasien  Tidak tercantum

Berdasarkan standar pelayanan kefarmasian dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.


73 tahun 2016, bahwa pengkajian administratif meliputi:
1. Skrining Administrasi Pasien
Kelengkapan administratif berupa identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, berat
badan, jenis kelamin, alamat dan nomor telepon pasien. Berat badan dibutuhkan untuk
menentukan dosis, terutama pada pasien pediatri, geriatri, kemoterapi, gangguan ginjal,
epilepsi, gangguan hati dan pasien bedah. Tetapi dalam resep tersebut tidak terdapat umur
atau dapat dilakukan penimbangan diapotek apabila diperlukan. Apabila dalam resep tidak
33
menuliskan umur pasien maka kita dapat memperoleh nya dengan menanyakan langsung
ke pasien atau keluarga pasien. Alamat dan nomor telepon pasien berfungsi untuk
memudahkan penelusuran pasien jika terjadi kesalahan dalam pemberian obat sehingga
dapat mencegah terjadinya medication error. Terutama untuk pasien yang mendapatkan
resep narkotika dan psikotropika, maka nomor telepon dan alamat pasien harus jelas. Hal
ini diperlukan untuk mendata dan pelaporan penggunaan narkotika atau psikotropika dan
memudahkan penelusuran jika terjadi penyalahgunaan. Jika di resep tidak tertera hal ini
dapat diatasi dengan menanyakan alamat dan nomor telepon pasien saat penyerahan resep
atau setelah penyerahan obat ke pasien.
2. Skrining Administrasi
Kajian administrasi berdasarkan Permenkes No 73 Tahun 2016 menyebutkan kelengkapan
administratif berupa identitas dokter harus tercantum diantaranya nama dokter, nomor
telepon, nomor Surat Izin Praktek, alamat, nomor telpon, paraf serta tanggal penulisan
resep. Pada resep ini tidak tercantum tanda tangan atau paraf dokter yang berguna untuk
menghindari pemalsuan resep. Pada resep ini juga tidak tercantum nomor SIP, informasi
tersebut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apabilah terjadi masalah terhadap resep.
III.2.2 Skrining Farmasetik
1. Kesesuaian bentuk sediaan
Pada resep, dokter meresepkan obat racikan bentuk kapsul dari sediaan tablet.
Untuk bentuk sediaan tablet tersebut tidak sesuai karena salah satu obat yang
diresepkan pasien ada diantara yang bentuk sediaan obatnya yaitu tablet salut enteric.
Tablet salut interik merupakan salah satu sediaan yang digunakan untuk sediaan obat
dengan sistem pelepasan tertunda yaitu menahan pelepasan obat dilambung dan lepas
dengan cepat ketika memasuki usus. Tujuan obat dilapisi salut enterik yaitu untuk
melindugi inti tablet sehingga tidak hancur pada lingkungan asam lambung, mencegah
kerusakan bahan aktif yang tidak stabil pada pH rendah, melindungi lambung dari efek
iritasi dari obat tertentu dan memfasilitasi penghantaran obat yang diabsorbsi di usus.
Dimana sediaan natrium diklofenac berupa sediaan tablet salut enteric. Oleh karena
itu, penggerusan tidak boleh dilakukan pada tablet natrium diklofenac agar obat dapat
melewati lambung tanpa mengalami kerusakan dan menjaga stabilitas obat.
Pada resep terdapat obat racikan dimana stabilitas resep racikan pada suhu 15- 30 °C,
sehingga racikan kapsul dapat disimpan pada suhu ruangan. Untuk batas penggunaan racikan
kapsul tidak lebih dari 25 % dari waktu kadaluarsa masing-masing bahan atau 6 bulan dari
waktu racikan. Untuk obat sediaan kaplet dalam bentuk strip dapat disimpan hingga batas
tanggal kadaluarsa dan untuk penyimpanannya stabil pada suhu 25oC.
2. Inkompatibilitas
Tidak terdapat inkompatibilitas secara farmasetika pada komponen resep racikan yaitu
antara obat-obat yang tertera di dalam resep racikan.
34
III.2.3 Skrining Klinis
III.2.3.1 Kesesuaian Dosis
A. Obat Racikan Kapsul
1. Paracetamol (BNF, 2021: 465)
Dosis lazim (sekali) : 500 mg-1gr tiap 3-4 kali sehari
Dosis maksismum : 4 gram perhari
Dosis yang diterima pasien
Dosis sekali : 300 mg
Dosis sehari : 300 mg x 2 = 600 mg
Berdasarkan perhitungan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberian
Paracetamol sekali minum yang diberikan pada pasien belum memenuhi dosis
lazim (sekali).
2. Diclofenac sodium (BNF 2021 hal. 1198)
Dosis lazim (sekali) : 75-150 mg 2-3 kali sehari
Dosis maksimum : 150 mg perhari
Dosis yang diterima pasien
Dosis sekali : 25 mg
Dosis sehari : 25 mg x 2 = 50 mg
Berdasarkan perhitungan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberian natrium
diklofenac sekali minum yang diberikan pada pasien belum memenuhi dosis lazim
(sekali).

B. Obat non-racikan
1. Ciprofloxacin ()
Dosis lazim (sehari) : 500 mg 2 kali sehari
Dosis maksimum : 1000 mg perhari
Dosis yang diterima pasien
Dosis sekali : 500 mg
Dosis sehari : 500 mg x 2 = 1000 mg

Berdasarkan perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian


ciprofloxacin sekali minum dan dosis sehari yang diberikan kepada pasien telah
memenuhi dosis lazim.
2. Vitamin B Complex (BNF 2021 hal. 1156)
Dosis lazim (sehari) :10 mg 1-2 kali sehari
Dosis maksimum : 20 mg perhari
Dosis yang diterima pasien
35
Dosis sekali : 10 mg
Dosis sehari : 10 mg

Berdasarkan perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin B


complex sekali minum dan dosis sehari yang diberikan kepada pasien telah
memenuhi dosis lazim.
III.2.4 Pertimbangan Klinis
Pasien diresepkan obat racikan yang dibuat dalam bentuk kapsul yang berisi
Paracetamol dan Natrium Diclofenac, serta diresepkan Ciprofloxacin dan Vitamin B
Complex. Berdasarkan resep yang diberikan kepada pasien, pasien mengalami demam
tifoid yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi. Pasien mengalami demam yang
disertai dengan nyeri otot sehingga diberikan obat racikan dalam bentuk kapsul yang
berisi paracetamol dan natrium diclofenac. Ciprofloxacin diberikan untuk mengatasi
infeksi bakteri. Dan untuk mengatasi rasa lelah dan lemas, pasien diberikan vitamin b
kompleks.
Pada resep tidak diberi tanda penggunaan racikan kapsul sebelum atau setelah
makan, tetapi berdasarkan efek samping yang akan ditimbulkan dari obat- obat yang
terkandung dalam kapsul maka disimpulkan obat tersebut digunakan setelah makan. Obat
yang terkandung dalam racikan kapsul tidak kontraindikasi pada pasien Ny. M tetapi
sebaiknya penggunaan obatnya tetap dipantau karena usia pasien hampir termasuk usia
lansia.
Parasetamol dan NSAID adalah analgesik pilihan pertama untuk mengobati nyeri
ringan sampai sedang dan juga digunakan dalam nyeri sedang hingga berat untuk
mempotensiasi efek opioid. Obat ini cocok untuk digunakan pada nyeri akut atau kronis.
Efektif menghilangkan nyeri akut dapat dicapai dengan NSAID oral dan dengan
parasetamol. Parasetamol tidak memiliki efek samping hematologis atau gastrointestinal
aspirin tetapi dosis besar dapat menghasilkan hepatotoksisitas berat atau terkadang fatal.
Pemberian parasetamol dengan NSAID meningkatkan analgesia.
Natrium diklofenac merupakan obat analgesik dan antiinflamasi yang dapat
digunakan secara oral oleh masyarakat. Natirum diklofenac digunakan sebagai terapi
awal dan akut untuk rematik yang disertai inflamasi dan degeneratif (atritis rematoid,
osteoritis dan spondilartritis), sindrom nyeri dan kolumna vertebralis, rematik non-
artikular, serangan akut dari gout, dan nyeri pascabedah. Natrium diklofenac tersedia
dalam tablet salut enterik 25 mg, tablet konvensional 75-150 mg/hari, injeksi dan rektal
supositoria. Pada resep racikan ini menggunakan natrium diklofenac 25 mg dalam bentuk
tablet salut enterik. Tablet salut enterik pada tablet natrium diklofenac digunakan untuk
menutupi efek samping obat yaitu iritasi lambung.
Ciprofloxacin adalah antibiotik untuk pengobatan beberapa infeksi bakteri.
36
Antibiotik ini termasuk dalam golongan fluoroquinolon generasi II, bekerja dengan
menghambat relaksasi DNA, menghambat DNA girase pada organisme yang rentan
sehingga terjadi kerusakan pada DNA yang mengebabkan tidak terjadinya
perkembangbiakan bakteri. Pada resep digunakan 500 mg 2 kali sehari selama 3
hari,dimana penggunaan ciprofloxacin untuk bakteri salmonella thypi 500 mg 2 kali
sehari 5-10 hari, sehingga sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut terhadap
pasien.
Vitamin B komplek terdiri dari vitamin B1 (Thianin); B2 (Riboflavin); B3 (Niasin);
B5 (Asam Pentatonat); B6 (Piridoksin); B7 (Biotin); B9 (Asam Folat); B12 (Kobalamin)
dan vitamin C (Ascorbic Acid) termasuk golongan vitamin larut air. Salah satu fungsi
yang paling penting dari vitamin ini adalah penggunaannya dalam proses metabolisme
tubuh. Vitamin B1 berkontribusi dalam fungsi syaraf. Vitamin B2 untuk membantu
proses metabolisme energi yang baik untuk membantu kesehatan penglihatan dan kulit,
B3 sangat baik untuk membantu mengubah karbohidrat, lemak dan alkohol ke dalam
bentuk energi. B5 berperan dalam kesehatan syaraf dan otak, penghasil senyawa asam
dan hormon. B6 berfungsi untuk kesehatan gigi, pembentukan sel darah merah, untuk
kesehatan sistem syaraf dan pembentuk antibodi. Vitamin B7 untuk reaksi kimia dalam
tubuh. Vitamin B9 adalah untuk menurunkan resiko jantung, pembentuk sel-sel darah
merah dan pencegah kecacatan otak janin, dan vitamin B12 untuk pertumbuhan,
kesehatan sistem syaraf dan pencegah anemia. dan berperan penting membantu
pembentukan sel darah merah dan membantu sirkulasi darah dalam tubuh. Pada resep
diberikan 1 kali sehari selama 2 hari. Jika pasien masih mengalami gejala yang serupa,
maka perlunya dilakukan pemeriksaan kembali.

III.3 Uraian Obat

1. Paracetamol (Lexi, 2013; Sweetman, 2009)


Komposisi Setiap tablet mengandung 500mg paracetamol
Nama generic Paracetamol
Nama dagang Sanmol, Hufagesic, Biogesic, Pamol, Panadol
Farmakologi Menghambat pembentukan prostaglandin yang
merupakan mediator nyeri.

Indikasi Meringankan rasa sakit pada keadaan sakit


kepala, sakit gigi dan menurunkan demam.
Kontraindikasi Penderita gangguan fungsi hati yang berat.
Penderita hipersensitif terhadap paracetamol
Efek samping Penggunaan jangka lama dan dosis besar dapat
37
menyebabkan kerusakan hati. - Reaksi
hipersensitifitas.
Dosis Dapat digunakan 325-650 mg per oral setiap 4
jam maksimal 4 gram per hari.
Peringatan dan perhatian Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita
penyakit ginjal. Bila setelah 2 hari demam
tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, segera hubungi Unit Pelayanan
Kesehatan.
Penggunaan obat ini pada penderita yang
mengkonsumsi alkohol, dapat meningkatkan
resiko kerusakan fungsi hati.
2. Natrium Diclofenac
Komposisi Tiap tablet mengandung Na.Diklofenak 25 mg/
50 mg
Nama generic Natrium diklofenak
Nama dagang Voltadex, voltaden, flamar
Farmakologi Bekerja dengan menghambat kerja enzim
siklooksigenase sehingga prostaglandin lebih
sedikit diproduksi
Indikasi Rematoid artritis, osteoartritis
Kontraindikasi Pasien asma, hipertensi, gagal jantung
Efek samping Kram perut, sakit kepala, diare, mual
Dosis 50 mg, 2-3 kali sehari
Peringatan dan Memiliki riwayat penyakit atau faktor resiko
perhatian gangguan kardiovaskular, hipertensi, gangguan
fungsi hati.
3. Ciprofloxacin
Komposisi Tiap tablet mengandung Ciprofloxacin 500 mg
Nama generic Ciprofloxacin
Nama dagang Ciproxin, Girabloc, Floxifar, Licoprox
Farmakologi Bekerja dengan menghambat sintesis asam
nukleat, sehingga pertumbuhan dan reproduksi
bakteri terganggu
Indikasi Infeksi Saluran Kemih, Infeksi saluran cerna
Kontraindikasi Pasien miastenia gravis, hipersensitivast terhadap
38
ciprofloxacin atau kuinolon.
Efek samping Mual, muntah, diare, nyeri perut, dispepsia, sakit
kepala, ruam kulit,
Dosis 125-750 mg, 2 kali sehari
Peringatan dan Pasien dengan gangguan SSP, kejang-kejang,
perhatian penyakit jantung,
4. Vitamin B Complex
Komposisi Vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niacin),
B5 (asam pantotenat), B6 (pirodoksin), B7
(biotin), B9 (asam folat), B12 (kobalamin).
Nama generic Vitamin B Complex
Nama dagang Vitamin B Complex IPI
Farmakologi Berperan dalam meningkatkan energi, fungsi
otak, dan metabolisme tubuh. Salah satu
mekanisme kerja dalam meningkatkan fungsi
memori dan konsentrasi. Dimana bekerja dengan
cara membangun perisai pelindung di sekitar
saraf otak dari ancaman homosistein yang dikenal
sebagai racun bagi sel-sel saraf.
Indikasi Vitamin
Kontraindikasi Hipersensitif
Efek samping Diare ringan, nyeri lambung,
Dosis 10 mg, 1- 2 kali sehari
Peringatan dan Ibu hamil dan ibu menyusui, disimpan pada
perhatian tempat kering dan terlindungi dari cahaya.

III.4 Penyiapan Obat


III.4.1 Obat racikan
a. Perhitungan resep
300 mg
Paracetamol : x 4=2,4 tablet
500 mg
25 mg
Natrium diclofenat : x 4=2tablet
50 mg
b. Peracikan
 Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
 Dimasukkan semua obat ke dalam lumpang dengan urutan jumlah obat yang paling
39
kecil ke jumah obat yang paling besar, kemudian gerus hingga homogen.
 Dimasukkan serbuk obat kedalam cangkang kapsul dengan ukuran yang sesuai
menggunakan alat bukan mesin. Kapsul dibuka dan badan kapsul dimasukkan
kedalam lubang dari bagian alat yang tidak bergerak. Serbuk obat dimasukkan
kedalam badan kapsul dan ratakan dengan kertas film, lalu kapsul ditutup.
c. Pengemasan
Kapsul dimasukkan ke dalam sak obat dan diberi etiket berwarna putih dengan
aturan pakai 2 kali sehari 1 kapsul sesudah makan.

III.4.2 Obat non-racikan


a. Penyiapan
Obat Ciprofloxacin dan Vitamin B Compelx di ambil dilemari obat sesuai tempatnya.
b. Pengemasan
Obat Ciprofloxacin dimasukkan dalam sak obat diberikan etiket putih diberi tanda
diminum 2 kali sehari harus dihabiskan dan pada obat Vitamin B Compelx
dimasukkan dalam sak obat dan diberikan etiket putih, dan diberi tanda diminum 1
kali sehari.
III.5 Etiket dan Copy Resep
1. Etiket untuk R/ Racikan Kapsul

APOTEK INGGIT FARMA


Jl.Tamalanrea Raya (BTP) Blok I No.33
Tlp/081366619997
APOTEKER: apt Zulfikar Usman .,S.Farm
No.SIPA:503/366.1.14/SIPA-KES/DPM-PTSP/VII/
2022
Tgl : 05/10/22

Nama Pasien: Ny.M


Aturan Pakai Sehari 2 X 1 Tab / Kaps / Bungkus
Pagi / Siang / Malam Setiap 1
2 Jam
Nama Obat Racikan Jml 4 ED
Untuk Nyeri

Gambar 10. Etiket Racikan Kapsul

2. Etiket untuk Ciprofloxacin®

APOTEK INGGIT FARMA


Jl.Tamalanrea Raya (BTP) Blok I No.33
Tlp/081366619997
APOTEKER: apt Zulfikar Usman .,S.Farm
No.SIPA:503/366.1.14/SIPA-KES/DPM-PTSP/VII/
2022
Tgl : 05/10/22

Nama Pasien: Ny.M


Aturan Pakai Sehari 2 X 1 Tab / Kaps / Bungkus
Pagi / Siang / Malam Setiap 1
2 Jam
Nama Obat Ciprofloxacin Jml 4 ED
Untuk Antibiotik (dihabiskan)

Gambar 11. Etiket Non Racikan (Ciprofloxacin®)

3. Etiket Vitamin B Complex ®


APOTEK INGGIT FARMA
Jl.Tamalanrea Raya (BTP) Blok I No.33
Tlp/081366619997
APOTEKER: apt Zulfikar Usman .,S.Farm
No.SIPA:503/366.1.14/SIPA-KES/DPM-PTSP/VII/
2022
Tgl : 05/10/22

Nama Pasien: Ny.M


Aturan Pakai Sehari 1 X 1 Tab / Kaps / Bungkus
Pagi / Siang / Malam Setiap 24 Jam
Nama Obat Vitamin B Complex Jml 2 ED
Untuk Vitamin

SEBELUM MAKAN / SESUDAH MAKAN

Gambar 13. Etiket Non Racikan (Vitamin B Complex ®)


4. Copy Resep

APOTEK INGGIT FARMA


JL. TAMALANREA RAYA BTP BLOK I NO. 33 MAKASSAR
TLP: 0813 6661 9997
APOTEKER: apt ZULFIKAR USMAN.,S.FARM
No.SIPA : 503/366.1.14/SIPA-KES/DPM-PTSP/VII/2022
SALINAN RESEP
NO : TGL: 05/10/22
UNTUK : Ny.M
DARI Dr : I

R/ Ciprofloxacin 50 mg No.IV
S 2 dd 1
det
R/ Paracetamol 300 mg
Natrium Diclofenac 25 mg
m.f pulc da in caps No. IV
S 2 dd 1
det
R/ Vit. B Comp No. II
S 1 dd 1
det

PCC

Gambar 15. Copy Resep

III.6 Penyerahan Obat


Setelah obat disiapkan, diracik dan dikemas, selanjutnya diserahkan
kepada pasien. Namun, terlebih dahulu dilakukan pengecekan akhir atau double
crosscheck untuk menyesuaikan antara obat dengan resep. Sesuai dengan
Permenkes No. 73 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, maka saat
penyerahan obat kepada pasien atau keluarga pasien dilakukan pelayanan
informasi obat (PIO). Informasi yang diberikan kepada pasien pada saat
penyerahan obat yaitu :
1. Jumlah obat yang diresepkan dokter ada 3 yang terdiri dari 1 racikan kapsul, 2
obat luar yang diberikan secara oral.

2. Obat racikan kapsul diindikasikan untuk anti nyeri diminum 2 kali sehari 1
kapsul setelah makan.
3. Ciprofloxacin® diindikasikan untuk pengobatan antibakteri diminum 2 kali
sehari setelah makan.
4. Vitamin B Complex® diindikasikan sebagai suplementasi atau vitamin untuk
memenuhi kebutuhan vitamin B dalam tubuh diminum 1 kali sehari setelah
makan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan resep yang telah dikaji sebelumnya, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Berdasarkan obat dan dosis yang diresepkan, pasien diduga mengalami
nyeri
2. Berdasarkan skrining administratif yang telah dilakukan, didapatkan bahwa
pada resep tersebut tidak memiliki beberapa data pasien seperti bobot badan,
jenis serta adanya ketidak lengkapan dari data dokter berupa nomor SIP
dokter. Apoteker sangat perlu untuk menanyakan kembali kepada orang tua
atau wali pasien mengenai data pasien pada saat resep ditebus.
3. Berdasarkan skrining farmasetik, bentuk sediaan kapsul yang diberikan
kepada pasien kurang tepat meskipun tidak terdapat inkompatibilitas pada
obat racikan. Karna natrium diclofenac merupakan obat tablet salut yang
tidak untuk digerus
4. Berdasarkan pertimbangan klinis, adanya dosis obat yang kurang tepat serta
lama penggunaan obat yang tidak sesuai.
4.2 Saran
Diharapkan bagi seorang tenaga kefarmasian untuk memeriksa secara teliti
kelengkapan administratif resep, kesesuaian farmasetik, pemberian konseling dan
edukasi pada saat melayani resep. Serta melakukan komunikasi antara apoteker
dengan dokter terkait pemberian obat agar pasien mendapatkan obat yang aman
sesuai dengan dosis terapi sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Aberg J.A., Lacy C., Amstrong L., G. M. 2009. Drug Information Handbook,
17th Edition. In American Pharmacists Association.

Ari Estuningtyas., Azalia Arif. 2008. Obat Lokal. In Farmakologi dan Terapi.
Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. Hal 517-41

Anonim. 2012. Informasi Ipesialite Obat Indoneisa (ISO). Isfi Penerbit. Jakarta.
Vol. 48

Bogadenta, Aryo. 2012. Manajemen Pengelolaan Apotek. D-Medika. Jogjakarta.

British National Formulary, 2015. British National Formulary 57th ed.,


Lamberth High Street. BMJ Group and RPS Publishing. London.

British National Formulary, 2020. British National Formulary 58th ed.,


Lamberth High Street. BMJ Group and RPS Publishing. London.

Badan Pengawa Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan RI No. HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. BPOM
Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2019. Peraturan BPOM
Nomor 32 Tahun 2019 Persyaratan Keamanan Dan Mutu Obat
Tradisional. Jakarta

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2020. Pusat Informasi
Obat Nasional. www.pionas.pom.go.id diakses tanggal 19 Oktober 2021

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Surat Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia No.1027/MenKes/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta

Dipiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod,
V. 2020. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas
Terbatas. Depkes RI. Jakarta.

Juel-Berg N, Darling P, Bolvig J, et al. 2017. Intranasal corticosteroids compared


with oral antihistamines in allergic rhinitis: a systematic review and
metaanalysis. Am J Rhinol Allergy.

53
54

Katzung, Bertram G. 2004. Histamine, serotonin, & the ergot alkaloids. In:
Katzung, Bertram G., ed. Basic & clinical pharmacology. 9th edition.
Singapore. The McGraw-Hill Companies, Inc. p. 270.

Katzung, B.G., Hall, M.K., dan Trevor, A.J. 2019. Katzung 2019’s and
Trevors’s Pharmacology Examination and Board Review 12th Ed. New
York: McGraw Hill Education.
Linnisaa, U.H. dan Wati, S.E. 2014. Rasionalitas Peresepan Obat Batuk
Ekspektoran dan Antitusif di Apotek Jati Medika Periode Oktober-
Desember 2012. Indonesia Journal on Medical Science (IJMS).

Megawati dan Santoso. 2017. Pengkajian Resep Secara Administratif Berdasarkan


Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 Pada Resep Dokter
Spesialis Kandungan di Apotek Sthira Dhipa. Journal Of Medicamento.
Vol. 3. No. 1. h: 14-15

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2014 tentang Narkotik. Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Pekursor Farmasi. Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Apotek. Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan


Kefarmasian Di Apotek. Jakarta.

MIMS. 2021. MIMS drug Research. Diakses pada Tanggal 19 Oktober 2021.
Makassar

Munawaroh, S., Munasir, Z., Bramantyo, B., & Pudjiadi, A. 2008. Insidens dan
Karakteristik Otitis Media Efusi pada Rinitis Alergi Anak. 10(3), 212–
218.

Palmer RB, Reynolds KM, Banner W, et al. Adverse events associated with
diphenhydramine in children, 2008–2015. Clin Toxicol.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan No.2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin


Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Jakarta
55

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017. Tentang


Apotek. Jakarta

Rubin. 2007. Mucolytics, Expectorant, and Mucokinetic Medications.


Respiratory Care. Vol 52.

Scadding, G. K. Ã., Durham, S. R., Mirakian, R., Jones, N. S., Leech, S. C.,
Farooque, S., & Dixon, T. A. 2008. Guidelines for the management of
allergic and non-allergic rhinitis. Clinical and Experimental Allergy,
38(1), 19–42.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale 36th The Complete Drug Reference. London:
The Pharmaceutical Press.

Sweetman, S.C. 2014. Martindale 38th The Complete Drug Reference. London:
The Pharmaceutical Press

Yuni Tiara. 2014. Koloni bakteri yang ditemukan pada pasien Rhinitis alergi
melalui swab mukosa nasal. Jakarta. EGC Medical Publisher.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Form Surat Pesanan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras, dan Obat
Wajib Apotek

56
57

Lampiran 2 Form Surat Pesanan Psikotropika


Lampiran 3 Form Pelaporan Obat Psikotropika
Lampiran 4 Form Surat Pesanan Narkotika
Lampiran 5 Form Pelaporan Obat Narkotika

Anda mungkin juga menyukai