Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FAMAKOTERAPI LANJUTAN

Dosen : Tahoma Siregar, Drs. M.Si. Apt

Disusun Oleh :
Dhian Rachma Maulida (20340073)
Kelas: (B)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
1. PENCICLOVIR.
a. Farmakologi : Farmakodinamik.
Penciclovir adalah nukleosida purin asiklik sintetik analog dari guanin
yang mempunyai efek sebagai antivirus. Secara struktur mirip dengan
ganciclovir tetapi secara farmakologi dan mikrobiologi berhubungan dengan
acyclovir.
Penciclovir dipasarkan dalam bentuk sediaan topikal karena
bioavailabilitinya melalui oral hanya sekitar 5%. Penciclovir tidak diabsorpsi
ke dalam sirkulasi sistemik setelah pemberian topikal pada dosis tunggal atau
berulang sampai total pemberian 180 mg (sekitar 67 kali dari dosis klinik).
Secara farmakologi penciclovir dikonversi menjadi metabolit trifosfat aktif
yang secara invitro dan invivo menghambat aktivitas various Herpesviridae,
termasuk virus herpes simplex tipe 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2), virus
varicella-zoster (VZV) dan virus Epstein-Barr (EBV). Penciclovir terbatas
menghambat aktivitas cytomegalovirus (CMV) secara invitro.
Secara invitro, penciclovir trifosfat 10-20 kali lebih stabil daripada
acyclovir trifosfat terhadap sel yang terinfeksi dengan HSV, dan menghasilkan
aktivitas antiviral yang lebih panjang. Walaupun secara klinis banyak
acyclovir-resistant yang diisolasi dari HSV dan VZV (misalnya kekurangan
timidin kinase) adalah resisten silang terhadap penciclovir, tetapi resisten silang
ini tidak mutlak, dan beberapa virus timidin kinase atau DNA polymerase-
altered dari acyclovir-resistant masih sensitif terhadap penciclovir.
Penciclovir trifosfat menggunakan efek antivirusnya pada HSV dan
VZV dengan mengganggu sintesis DNA dan menghambat replikasi virus.
Aktivitas inhibitor dari penciclovir trifosfat sangat selektif karena afinitasnya
terhadap enzim timidin kinase disandikan oleh HSV dan VZV. Virus-
encoded timidin kinase merubah penciclovir menjadi penciclovir
monofosfat, suatu analog nukleotida.
Monofosfat dikonversi lebih lanjut menjadi difosfat melalui kinase selular
dan kemudian menjadi trifosfat melalui enzim selular lain. Secara invitro,
penciclovir trifosfat menghentikan replikasi dari DNA virus herpes secara
kompetitif dengan deoxyguanosine trifosfat untuk virus DNA polimerase
dan menghambat perpanjangan rantai virus DNA.
b. Farmakokinetik.
Konsentrasi penciclovir tidak terdeteksi dalam plasma atau urin pada
pemberian tunggal atau pemberian berulang krim 1% pada dosis penciclovir
180 mg sehari (sekitar 67 kali dari dosis klinik).
Absorpsi sistemik dari penciclovir pada pemberian topikal belum dievaluasi
pada pasien berusia dibawah 18 tahun.
c. Mekanisme Kerja.
Penciclovir tidak aktif dalam bentuk awalnya. Dalam sel yang terinfeksi
virus, virus timidin kinase menambahkan gugus fosfat ke molekul
penciclovir; ini adalah langkah pembatas kecepatan dalam aktivasi
penciclovir. Kinase seluler (manusia) kemudian menambahkan dua gugus
fosfat lagi, menghasilkan penciclovir triphosphate yang aktif. Bentuk yang
diaktifkan ini menghambat polimerase DNA virus, sehingga mengganggu
kemampuan virus untuk mereplikasi di dalam sel.
Selektivitas penciclovir dapat dikaitkan dengan dua faktor. Pertama,
timidin kinase seluler memfosforilasi bentuk induk secara signifikan kurang
cepat daripada timidin kinase virus, sehingga trifosfat aktif hadir pada
konsentrasi yang jauh lebih tinggi dalam sel yang terinfeksi virus daripada
dalam sel yang tidak terinfeksi. Kedua, obat yang diaktifkan mengikat DNA
polimerase dengan afinitas yang jauh lebih tinggi daripada DNA polimerase
manusia. Akibatnya, penciclovir menunjukkan sitotoksisitas yang dapat
diabaikan pada sel sehat.
Struktur dan cara kerja penciclovir sangat mirip dengan analog
nukleosida lainnya, seperti asiklovir yang lebih banyak
digunakan. Perbedaan antara asiklovir dan penciclovir adalah bahwa bentuk
aktif penciclovir trifosfat bertahan di dalam sel untuk waktu yang lebih lama
daripada bentuk asiklovir yang diaktifkan, sehingga konsentrasi di dalam sel
penciclovir akan lebih tinggi jika diberikan dosis seluler yang setara. 
d. Indikasi.
Pengobatan recurrent herpes labialis (cold sores) pada dewasa.
e. KontraIndikasi.
Hati – hati penggunaan pada gangguan hati, kehamilan, dan menyusui.
Tidak dianjurkan penggunaan pada anak.
f. Efek Samping.
Reaksi pada tempat pemberian, hypesthesia/lokal anestesi, taste perversion,
eritema. Efek samping sistemik yang dilaporkan sakit kepala.
g. Dosis.
Terapi penciclovir topikal harus dimulai pada permulaan gejala (yaitu 1
jam dari prodromal atau kelihatan pertama kali dari lesi) dari herpes labialis.
Krim harus dioleskan sampai menutupi semua lesi, setiap 2 jam (6-9 kali
sehari) selama 4 hari. Pada pasien usia 65 tahun atau lebih, penciclovir
topikal ditoleransi sama baiknya seperti dewasa muda.
h. Peringatan dan Perhatian.

 Hanya digunakan pada cold sores pada bibir dan sekitar mulut.
Tidak direkomendasikan pemberian untuk membran mukosa.
 Pada pasien immunocompromised yang berat (seperti pasien
AIDS atau pada pasien transplantasi sumsum tulang), dianjurkan
konsultasi ke dokter.
 Hindari penggunaan pada masa kehamilan dan laktasi.

 Keamanan dan keefektifan untuk anak usia dibawah 18 tahun


belum dibuktikan.
2. ADEFOVIR.
a. Farmakologi.
Adefovir dipivoxil adalah obat golongan acyclic nucleoside analog
reverse transcriptase inhibitor yang segera berubah menjadi metabolit aktif
di dalam tubuh setelah dikonsumsi peroral. Obat ini bekerja dengan cara
menjadi kompetitor substrat alami yang dibutuhkan oleh DNA virus untuk
menjalankan proses replikasi.
b. Farmakodinamik.
Farmakodinamik adefovir dipivoxil adalah bekerja dengan cara
menginhibisi sintesis DNA virus dengan berperan sebagai analog nukleotida
asiklik dari DNA virus. Adefovir dalam bentuk adefovir diphosphate
menghalangi proses reverse transkripsi DNA virus dengan cara mengelabui
DNA virus, yaitu berpura-pura sebagai substrate deoxyadenosine
triphosphate alami yang diperlukan oleh virus untuk bereplikasi. Rantai
DNA yang ditempati oleh adefovir diphosphate akan mengalami terminasi,
hal ini terjadi karena adefovir diphosphate tidak memiliki 3′ hydroxyl,
sehingga senyawa yang terbentuk menginisiasi terjadinya terminasi
prematur sintesis DNA virus.
Efektivitas dalam menginhibisi DNA virus hepatitis B mencapai 50%
dalam penelitian secara in vitro, dengan kadar adefovir berkisar antara
0,2−2,5 mcM. Penelitian ini dilakukan pada wadah pada sel hepatoma
manusia yang terinfeksi hepatitis B. Selain itu, pemberian  secara kombinasi
antara adefovir dan lamivudine dapat meningkatkan efektivitas adefovir.
c. Farmakokinetik.
Farmakokinetik adefovir dipivoxil dimulai segera setelah obat
dikonsumsi peroral. Adefovir dipivoxil, yang merupakan prodrug dari
adefovir, mengalami proses fosforilasi menjadi metabolit aktif berupa
adefovir diphosphate dengan bantuan selular kinase. Farmakokinetik
adefovir dipivoxil antara pria dan wanita tidak ada perbedaan, begitu pula
pada ras Kaukasia dan Asia, secara umum memiliki farmakokinetik yang
relatif sama.

 Absorbsi.

Adefovir dipivoxil dengan sediaan 10 mg, diberikan dalam rute


peroral. Proses absorbsinya tidak dipengaruhi oleh makanan.
Diperkirakan bioavailabilitas obat ini dapat mencapai 59%. Puncak
konsentrasi plasma adefovir adalah 18,4±6,26 ng/mL, dan dapat dicapai
dalam waktu 0,58−4 jam setelah dosis obat diberikan.

Pemberian adefovir dipivoxil selama 7 hari, tidak menyebabkan


perubahan efek farmakokinetik yang signifikan dalam hal absorbsi.

 Distribusi

Distribusi adefovir dipivoxil yang berikatan dengan protein di dalam


darah hanya ≤4%, dengan konsentrasi adefovir berkisar antara 0,1−25
mcg/mL di dalam darah.

 Metabolisme

Proses metabolisme adefovir dipivoxil tidak melalui bantuan enzim


sitokrom P450. Adefovir dipivoxil segera mengalami proses metabolisme
di dalam tubuh dan diubah menjadi bentuk adefovir oleh enzim esterase
intraseluler sel hepar. Adefovir selanjutnya mengalami proses fosforilasi
menjadi adefovir diphosphate. Bentuk adefovir diphosphate inilah yang
merupakan analog dari deoxyadenosine triphosphate (dATP) yang
nantinya akan berkompetisi dengan dATP untuk berikatan dengan DNA
polimerase virus.

 Ekskresi
Ekskresi adefovir dipivoxil melalui ginjal dengan mekanisme
campuran antara filtrasi glomerulus dan ekskresi tubulus. Hampir
setengah dari dosis adefovir yang diberikan, yaitu sekitar 45%, akan
ditemukan di urin dalam waktu 24 jam.

d. Mekanisme Kerja.
Adefovir bekerja dengan memblokir reverse transcriptase , enzim yang
penting untuk reproduksi HBV di dalam tubuh. Ini disetujui untuk
pengobatan hepatitis B kronis pada orang dewasa dengan bukti replikasi
virus aktif dan bukti peningkatan terus-menerus dalam
serum aminotransferase (terutama ALT) atau penyakit yang aktif secara
histologis.
Manfaat utama adefovir dibandingkan lamivudine (NRTI pertama yang
disetujui untuk pengobatan HBV) adalah dibutuhkan waktu yang lebih lama
bagi virus untuk mengembangkan resistansi terhadapnya.
Adefovir dipivoxil mengandung dua unit pivaloyloxymethyl ,
menjadikannya bentuk prodrug dari adefovir.
e. Indikasi.
Indikasi adefovir dipivoxil adalah untuk pasien infeksi hepatitis B
kronik. Pasien yang menerima terapi adefovir dipivoxil harus berusia di atas
12 tahun.
Bagi pasien berusia di antara 12−18 tahun, adefovir dipivoxil hanya
diberikan pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg positif disertai
adanya kompensasi fungsi hepar. Selain itu, modalitas terapi ini juga
diindikasikan pada pasien hepatitis B kronik yang resisten
terhadap lamivudine.
f. KontraIndikasi.
Adefovir dipivoxil dikontraindikasikan pada pasien yang sebelumnya
pernah mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap obat adefovir dipivoxil,
atau obat yang mengandung sediaan adefovir. Pasien yang menerima terapi
tenofovir, pretomanid, dan bacitracin juga menjadi kontraindikasi
pemberian adefovir karena bersifat sinergis dalam meningkatkan toksisitas
kedua obat tersebut.
Adefovir tidak dianjurkan untuk tidak diberikan pada pasien hepatitis
B kronik dengan kondisi:

 Gangguan ginjal.

 Terbukti resisten terhadap adefovir.

 Tidak memberi respon perbaikan setelah minggu ke-24 terapi.

g. Peringatan.
Peringatan yang perlu untuk diperhatikan pada pasien yang menerima terapi
adefovir dipivoxil antara lain efek nefrotoksik, kemungkinan overdosis, dan efek
terapi pada pasien dengan komorbid.

 Efek Nefrotoksik obat

Telah dilaporkan adanya efek nefrotoksik dari sediaan adefovir


dipivoxil pada binatang uji, dengan dosis hingga 3−10 kali lipat dari
dosis yang dianjurkan pada manusia.

 Overdosis Obat

Pemberian dosis adefovir dipivoxil hingga 500 mg perhari selama 2


minggu atau 250 mg perhari selama 12 minggu, terbukti dapat
menyebabkan efek overdosis seperti gangguan gastrointestinal. Bila
muncul reaksi tersebut maka perlu dilakukan pengawasan efek
toksisitasnya pada organ tubuh seperti hati dan ginjal.

 Efek Terapi pada Pasien dengan Komorbid

Asidosis laktat serta hepatomegali berat dapat terjadi pada pasien


hepatitis B, dapat dipengaruhi oleh lamanya pemakaian obat serta derajat
obesitas pasien. Kedua kondisi ini lebih sering ditemukan pada wanita.
Bila ditemukan pasien dengan kondisi tersebut, maka terapi Adefovir
dipivoxil harus segera dihentikan, walaupun pasien memiliki kadar SGPT
yang masih dalam batas normal.

h. Dosis.
Dosis adefovir dipivoxil yang dianjurkan untuk dewasa dan anak di atas
12 tahun adalah 10 mg perhari, diberikan secara peroral. Makanan tidak
mempengaruhi tingkat penyerapan sehingga tidak ada aturan khusus
mengenai waktu pemberian obat. Saat ini belum diketahui berapa lama
durasi optimal terapi dengan adefovir dipivoxil perlu dilakukan.
Penelitian oleh Hadziyannis et al pada pasien hepatitis B kronik dengan
HbeAg negatif yang menerima terapi adefovir dipivoxil, menunjukkan
hanya 3% pasien yang mengalami peningkatan kadar serum kreatinin
setelah 5 tahun menjalani terapi. Kesimpulan penelitian ini adalah pasien
umumnya dapat mentoleransi dengan baik terapi adefovir dipivoxil selama 5
tahun terapi.
Penelitian uji acak terkontrol yang dilakukan oleh Zhao et al, memantau
efektivitas terapi adefovir dipivoxil dibandingkan dengan entecavir setelah
menerima terapi selama 24 minggu dan 48 minggu. Hasil menunjukkan
entecavir lebih bermakna dalam menurunkan kadar serum HBV DNA virus
dibanding adefovir.
i. Efek Samping.
Efek samping adefovir dipivoxil yang berat dan perlu diperhatikan
adalah eksaserbasi akut berat hepatitis B saat penghentian konsumsi
adefovir dipivoxil. Sedangkan interaksi obat yang perlu diperhatikan adalah
pada pemberian obat lain yang dapat mengganggu fungsi ginjal, karena
dapat menyebabkan nefrotoksisitas.
Efek samping adefovir dipivoxil yang pernah dilaporkan adalah
asthenia, sakit kepala, abdominal pain, flatulence, nausea, diare, dan
dispepsia. Selain itu, perlu diperhatikan juga adanya adalah gangguan fungsi
ginjal, yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin,
hipofosfatemia, hiperurisemia, dan asidosis tubular renalis.
3. ENTECAVIR.
a. Farmakologi.
Mekanisme aksi
Entecavir, analog nukleosida guanosin dengan aktivitas melawan
polimerase HBV, secara efisien terfosforilasi menjadi aktif.
bentuk trifosfat, yang memiliki waktu paruh intraseluler 15 jam. Dengan
bersaing dengan deoxyguanosine substrat alami
trifosfat, entecavir trifosfat secara fungsional menghambat ketiga aktivitas
polimerase HBV (reverse transcriptase, rt):
(1) cat dasar dasar, (2) transkripsi balik untai negatif dari RNA pembawa
pesan pregenomik, dan (3) sintesis untai
untai positif DNA HBV. Entecavirtriphosphate adalah penghambat lemah
polimerase DNA seluler α, β, dan δ dan mitokondria
DNA polimerase γdengan nilai K mulai dari 18 hingga> 160 µM.
b. Farmakokinetik.
 Absorpsi.
Entecavir cepat diserap pada subjek sehat dan mencapai konsentrasi
plasma puncak dalam 0,5 ~ 1,5 jam. Stabil dicapai antara 6-10 hari
setelah pemberian dosis sekali sehari dengan akumulasi kurang lebih 2
kali. Pemberian entecavir 0,5 mg dengan makanan standar tinggi lemak
atau makanan ringan mengakibatkan keterlambatan penyerapan yang
minimal, penurunan Cmaks (44-46%), dan penurunan dalam AUC (18-
20%).
 Distribusi:
Perkiraan volume distribusi Entecavir melebihi total air tubuh, yang
berarti permeabilitas ke dalam jaringan adalah luar biasa. Dalam studi in
vitro, kombinasi protein dari protein serum manusia kira-kira 13%.
 Metabolisme dan Ekskresi.
Entecavir bukanlah substrat enzim CYP450, inhibitor, atau agen
penginduksi. Setelah mencapai konsentrasi maksimal, dilakukan ekskresi
akhir Waktu paruh konsentrasi plasma Entecavir menurun dua kali lipat
menjadi sekitar 128-149 jam. Obat yang diamati akumulasi dua kali lipat
dalam satu hari administrasi, yang berarti sekitar 24 jam valid akumulasi
waktu paruh. Entecavir terutama diekskresikan melalui ginjal, dan
pembersihan ginjal adalah 360 ~ 471 mL / menit terlepas dari dosisnya
dan melewati filtrasi glomerulus dan total proses sekresi tubulus ginjal.
c. Mekanisme Kerja.
Entecavir bekerja dengan cara mencegah perkembangan dan
menurunkan jumlah virus hepatitis B dalam tubuh. Obat ini tidak dapat
digunakan untuk menyembuhkan hepatitis B, melainkan hanya mencegah
virus berkembang biak. Entecavir dapat dikonsumsi oleh dewasa dan anak
berusia 2 tahun dengan berat badan 10 kg.
d. Indikasi.
Entecavir diindikasikan untuk pengobatan infeksi virus hepatitis B
kronis pada orang dewasa dengan bukti replikasi virus aktif dan
baik bukti peningkatan persisten dalam serum aminotransferase (ALT atau
AST) atau penyakit yang aktif secara histologis.
Poin-poin berikut harus dipertimbangkan saat memulai terapi dengan
Entecavir:
 Indikasi ini didasarkan pada respons histologis, virologi, biokimia, dan
serologis pada perawatan nukleosida-naif dan subjek dewasa resisten
lamivudine dengan infeksi HBV kronis HBeAg-positif atau HBeAg-
negatif dan penyakit hati terkompensasi.
 Data virologi, biokimia, serologi, dan keamanan tersedia dari studi
terkontrol pada subjek dewasa dengan HBV kronis infeksi dan penyakit
hati dekompensasi.
 Data virologi, biokimia, serologi, dan keamanan tersedia untuk sejumlah
subjek dewasa dengan koinfeksi HIV / HBV yang telah menerima terapi
3TC sebelumnya [lihat PERINGATAN DAN PENCEGAHAN].
e. KontraIndikasi.
Entecavir dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas
yang ditunjukkan sebelumnya terhadap entecavir atau komponen
produk.
f. Peringatan dan Pencegahan.
 Hepatitis B Eksaserbasi Akut Parah
Eksaserbasi akut yang parah dari hepatitis B telah dilaporkan pada
pasien yang telah menghentikan terapi anti-hepatitis B, termasuk
entecavir (lihat REAKSI IKLAN). Fungsi hati harus dipantau secara
ketat dengan klinis dan laboratorium tindak lanjut selama setidaknya
beberapa bulan pada pasien yang menghentikan terapi anti-hepatitis B.
Jika sesuai, mulai anti-hepatitis Terapi B mungkin diperlukan.
 Pasien koinfeksi HIV dan HBV
Entecavir belum dievaluasi pada pasien koinfeksi HIV / HBV yang
tidak secara bersamaan menerima pengobatan HIV yang efektif.
Pengalaman klinis yang terbatas menunjukkan bahwa ada potensi
pengembangan resistansi terhadap reverse transcriptase nukleosida HIV
inhibitor jika entecaviris digunakan untuk mengobati infeksi virus
hepatitis B kronis pada pasien dengan infeksi HIV yang tidak diobati.
Karena itu, terapi dengan Entecaviris tidak direkomendasikan untuk
pasien koinfeksi HIV / HBV yang juga tidak menerima antiretroviral
yang sangat aktif. terapi (HAART). Sebelum memulai terapi Entecavir,
tes antibodi HIV harus ditawarkan kepada semua pasien. Entecavir
belum telah dipelajari sebagai pengobatan untuk infeksi HIV dan tidak
direkomendasikan untuk penggunaan ini.
 Asidosis Laktat dan Hepatomegali Parah dengan Steatosis
Asidosis laktat dan hepatomegali parah dengan steatosis, termasuk
kasus fatal, telah dilaporkan dengan penggunaan nukleosida analog,
termasuk Entecavir, sendiri atau dalam kombinasi dengan antiretroviral.
Mayoritas kasus ini terjadi pada wanita. Obesitas dan paparan nukleosida
yang berkepanjangan dapat menjadi faktor risiko. Perhatian khusus harus
dilakukan saat memberikan analog nukleosida kepada pasien yang
diketahui memiliki faktor risiko penyakit hati; namun, kasus juga telah
dilaporkan pada pasien tanpa faktor risiko yang diketahui. Asidosis laktat
dengan penggunaan Entecavir sering dilaporkan sehubungan dengan
dekompensasi hati, kondisi medis serius lainnya, atau pajanan obat.
Pasien dengan dekompensasi penyakit hati mungkin berisiko lebih tinggi
untuk asidosis laktat. Pengobatan dengan Entecavir harus ditangguhkan
pada setiap pasien yang berkembang temuan klinis atau laboratorium
yang menunjukkan asidosis laktat atau hepatotoksisitas yang diucapkan
(yang mungkin termasuk hepatomegali dan steatosis bahkan tanpa
adanya peningkatan transaminase yang ditandai).
 Gangguan ginjal
Penyesuaian dosis Entecavir direkomendasikan untuk pasien dengan
klirens kreatinin kurang dari 50 ml / menit, termasuk pasien pada
hemodialisis atau CAPD (lihat DOSIS DAN PEMASANGAN).
 Penerima transplantasi hati
Data terbatas tersedia tentang keamanan dan kemanjuran penerima
transplantasi hati Entecavirin. Fungsi ginjal harus dipantau dengan
cermat sebelum dan selama terapi Entecavir pada penerima transplantasi
hati yang menerima imunosupresan yang dapat mempengaruhi fungsi
ginjal, seperti siklosporin atau tacrolimus (lihat DOSIS DAN TATA
CARA: Renal Penurunan).
g. Dosis.
Dosis yang Direkomendasikan
Penyakit hati terkompensasi: Dosis yang dianjurkan Entecavir untuk
infeksi virus hepatitis B kronis pada orang dewasa dan remaja naif
pengobatan-nukleosida berusia 16 tahun ke atas adalah 0,5 mg sekali sehari
dengan atau tanpa makanan. Dosis Entecavir yang dianjurkan pada dewasa
dan remaja (> 16 tahun) dengan riwayat virus hepatitis B sementara
menerima lamivudine atau mutasi resistensi lamivudine yang diketahui
adalah 1 mg sekali sehari, yang harus diminum saat perut kosong (pada
minimal 2 jam setelah makan dan 2 jam sebelum makan berikutnya).
Penyakit hati dekompensasi: Dosis yang dianjurkan Entecavir pada orang
dewasa dengan penyakit hati dekompensasi adalah 1 mg sekali sehari, yang
harus diminum saat perut kosong (minimal 2 jam setelah makan dan 2 jam
sebelum makan berikutnya).

h. Efek Samping.
Efek samping yang mungkin terjadi setelah mengonsumsi entecavir
adalah:
 Sakit kepala.
 Mual.
 Sakit maag.
 Tubuh terasa lemah.
i. Interaksi Obat.
Karena entecavir terutama dieliminasi oleh ginjal, pemberian bersama
Entecavir dengan obat yang mengurangi fungsi ginjal atau bersaing untuk
sekresi tubular aktif dapat meningkatkan konsentrasi serum baik entecavir
atau obat yang diberikan bersama. Bersama pemberian entecavir dengan
lamivudine, adefovir dipivoxil, atau tenofovir disoproxil fumarate tidak
menghasilkan obat yang signifikan. interaksi. Efek pemberian Entecavir
bersama dengan obat lain yang dieliminasi melalui ginjal atau diketahui
mempengaruhi fungsi ginjal. fungsi belum dievaluasi, dan pasien harus
dipantau secara ketat untuk efek samping ketika Entecavir Bersama
diberikan dengan obat tersebut.
4. BRIVUDIN.
a. Farmakologi.
Spektrum aktivitas
Obat tersebut menghambat replikasi virus varicella zoster (VZV) - yang
menyebabkan herpes zoster - dan virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1),
tetapi tidak dengan HSV-2 yang biasanya menyebabkan herpes genital.
Secara in vitro, konsentrasi penghambatan terhadap VZV adalah 200 hingga
1000 kali lipat lebih rendah dibandingkan asiklovir dan penciclovir, secara
teoritis menunjukkan potensi brivudine yang jauh lebih tinggi. Strain VZV
yang relevan secara klinis sangat sensitif.
b. Mekanisme Kerja.
Brivudine adalah analog dari nukleosida timidin. Senyawa aktifnya
adalah brivudine 5'-triphosphate, yang dibentuk dalam fosforilasi berikutnya
oleh virus (tetapi bukan manusia) timidin kinase dan mungkin oleh
nukleosida-difosfat kinase. Brivudine 5'-triphosphate bekerja karena
dimasukkan ke dalam DNA virus, tetapi kemudian menghalangi kerja DNA
polimerase, sehingga menghambat replikasi virus.
c. Farmakokinetik.
Brivudine diserap dengan baik dan cepat dari usus dan mengalami
metabolisme jalur pertama di hati, di mana enzim timidin fosforilase dengan
cepat memisahkan komponen gula, yang mengarah ke ketersediaan hayati
sebesar 30%. Metabolit yang dihasilkan adalah bromovinyluracil (BVU),
yang tidak memiliki aktivitas antivirus. BVU juga merupakan satu-satunya
metabolit yang dapat dideteksi dalam plasma darah.
Konsentrasi plasma darah tertinggi dicapai setelah satu jam. Brivudine
hampir seluruhnya (> 95%) terikat pada protein plasma. Waktu paruh
terminal adalah 16 jam; 65% zat ditemukan di urin dan 20% di feses,
terutama dalam bentuk turunan asam asetat (yang tidak terdeteksi di
plasma), tetapi juga metabolit yang larut dalam air lainnya, yaitu turunan
urea. Kurang dari 1% diekskresikan dalam bentuk senyawa aslinya.

d. Indikasi.
Brivudine digunakan untuk pengobatan herpes zoster pada pasien
dewasa. 
e. KontraIndikasi.
Obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang
menjalani imunosupresi (misalnya karena transplantasi organ ) atau terapi
kanker, terutama dengan fluorourasil (5-FU) dan obat - obatan
yang berhubungan secara kimiawi (pro) seperti capecitabine dan tegafur ,
serta obat antimikotik flucytosine , yang juga terkait dengan 5-FU. Itu
belum terbukti aman pada anak-anak dan wanita hamil atau menyusui.
f. Dosis.
Brivudine tersedia sebagai tablet 125mg dan sebagai salep 0,1% untuk
penggunaan oftalmologi. Dosis standar untuk herpes zoster adalah 125mg
per oral sekali sehari selama 7 hari.
g. Efek Samping.
Obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Satu-satunya efek
samping yang umum adalah mual (pada 2% pasien). Efek samping yang
lebih jarang (<1%) termasuk sakit kepala, peningkatan atau penurunan
jumlah sel darah ( granulocytopenia , anemia , limfositosis , monositosis ),
peningkatan enzim hati, dan reaksi alergi.
h. Interaksi Obat.
Brivudine berinteraksi kuat dan dalam kasus yang jarang terjadi
mematikan dengan obat antikanker fluorouracil (5-FU), prodrugs dan zat
terkait. Bahkan 5-FU yang dioleskan secara topikal bisa berbahaya jika
dikombinasikan dengan brivudine. Hal ini disebabkan oleh metabolit utama,
bromovinyluracil (BVU), yang secara ireversibel menghambat
enzim dihydropyrimidine dehydrogenase (DPD) yang diperlukan untuk
menonaktifkan 5-FU. Setelah terapi brivudine standar, fungsi DPD dapat
terganggu hingga 18 hari. Interaksi ini juga terjadi pada
obat sorivudine yang juga memiliki BVU sebagai metabolit utamanya.

5. FAVIPIRAVIR.
a. Farmakologi.
Farmakologi favipiravir merupakan suatu prodrug yang harus
dimetabolisme oleh enzim aldehid oksidase dan enzim xanthine oxidase,
menjadi bentuk aktifnya yaitu ribofuranosil fosfat (favipiravir-RTP).
Favipiravir-RTP menghambat aktivitas RNA-dependent RNA-
polimerase virus sehingga menyebabkan penghambatan proses transkripsi
dan replikasi virus.
b. Farmakodinamik.
Farmakodinamik favipiravir adalah prodrug yang mengalami ribosilasi
dan fosforilasi intraseluler menjadi bentuk aktif ribofuranosil fosfat
(favipiravir-RTP). Di dalam sel, favipiravir-RTP berikatan dan menghambat
aktivitas RNA-dependent RNA-polimerase (RdRp) virus yang pada akhirnya
menghambat proses transkripsi dan replikasi virus. Terdapat beberapa
hipotesis tentang bagaimana favipiravir-RTP berinteraksi dengan RdRp
virus. Beberapa studi menunjukkan bahwa favipiravir-RTP bergabung
dengan rantai RNA yang baru terbentuk, lalu menghambat pemanjangan 
rantai RNA dan proliferasi virus. Half-maximal inhibitory
concentration (IC50) favipiravir-RTP adalah 0,022 µg/mL.
c. Farmakokinetik.
Makanan menunda pencapaian kadar puncak favipiravir dalam plasma
selama 1,5 jam, menurunkan Cmax sekitar 50%, dan menurunkan AUC
sebanyak 13%. Sekitar 54% favipiravir terikat protein plasma. Favipiravir
terdisitribusi luas di dalam tubuh, termasuk ke trakhea dan paru. Favipiravir
dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama (M1) oleh enzim aldehyde
oxidase (AO), sedangkan metabolit aktif (favipiravir-RTP) dibentuk
intraseluler. Nilai Cmax linear pada dosis 30 mg hingga 1600 mg. Waktu
paruhnya +/- 6 jam, dan memanjang pada dosis tinggi (≥800 mg).6
Metabolit favipiravir diekskresi melalui ginjal.
d. Mekanisme Kerja.
Favipiravir adalah prodrug yang mengalami ribosilasi dan fosforilasi
intraseluler menjadi bentuk aktif favipiravir-RTP. Favipiravir-RTP
berikatan dengan dan menghambat RNA- dependent RNA polymerase
(RdRp) virus, mengakibatkan hambatan transkripsi dan replikasi genom
virus3,4 Domain katalitik RdRp tersebut serupa di antara virus-virus RNA,
membuat favipiravir memiliki spektrum antivirus RNA yang luas.
Karena manusia tidak memiliki RdRp, Favipiravir relatif aman
digunakan.4 Akan tetapi penggunaan favipiravir harus dihindari pada ibu
hamil karena berisiko teratogenik dan embriotoksik.
e. Indikasi.
Favipiravir diindikasikan untuk terapi infeksi virus influenza pandemik
baru, terbatas untuk pengobatan kasus yang tidak membaik dengan antivirus
lainnya. Saat ini obat ini digunakan sebagai obat uji untuk COVID-19.
Belum ada penelitian mengenai dosis untuk terapi flu burung maupun virus
ebola.
f. KontraIndikasi.
Kontraindikasi pemberian favipiravir adalah untuk pasien hipersensitif
terhadap favipiravir atau komponen lain dalam obat ini, serta pada
kehamilan. Pada wanita yang menyusui, pemberian favipiravir dapat
menyebabkan metabolit aktif favipiravir ditemukan pada air susu ibu.
Favipiravir juga terdistribusi dalam sperma, sehingga pasien pria harus
diedukasi mengenai penggunaan kontrasepsi.
g. Dosis.
Menurut penelitian yang sedang dilakukan, favipiravir diberikan dalam
dosis 1.600 mg sebanyak 2 kali sehari pada hari pertama, dilanjutkan
dengan 600 mg sebanyak 2 kali sehari pada hari ke-2 hingga hari ke-5.
Penggunaan favipiravir dalam penanganan infeksi virus Corona akan
dipertimbangkan oleh dokter sesuai keparahan penyakit dan kondisi
penderita secara umum.
h. Efek Samping.
Efek samping favipiravir diantaranya berupa efek samping hepatik
dengan peningkatan enzim, gastrointestinal seperti diare, mual, muntah, dan
nyeri abdomen, gangguan hematologi, respiratorik, metabolik,
hipersensitivitas, serta efek samping lain seperti vertigo, ekimosis,
pandangan kabur, dan polip tonsil. Terdapat beberapa potensi interaksi
antara favipiravir dengan obat atau zat lain, di antaranya dengan
paracetamol, pirazinamid, repaglinid, dan famsiklovir.
6. REMDESIVIR.
a. Farmakologi.
Remdesivir adalah analog nukleotida adenin dengan aktivitas antiviral
spektrum luas terhadap berbagai virus RNA, seperti SARS, MERS, dan
Ebola. Remdesivir mengalami konversi metabolik yang efisien dalam sel
dan jaringan menjadi metabolit nukleosida trifosfat aktif yang
menghambat RNA dependent RNA polymerase (RdRp) virus, tetapi tidak
menghambat RdRp pasien. Hal ini menyebabkan sintesis RNA berhenti
secara prematur. Dengan demikian remdesivir menghambat COVID-19
pada stadium awal replikasi virus.
b. Farmakodinamik.
Remdesivir bekerja sebagai penghambat RNA dependent RNA
polymerase (RdRp), yang menarget proses replikasi genom virus. RdRp
adalah komplek protein virus SARS-CoV-2 yang digunakan untuk replikasi
genom. Remdesivir merupakan suatu prodrug adenosin nukleotida yang
didistribusikan ke dalam sel dan kemudian dimetabolisme untuk
membentuk metabolit aktif yaitu remdesivir trifosfat. Remdesivir trifosfat
merupakan analog dari adenosin trifosfat (ATP) dan berkompetisi dengan
substrat ATP alami untuk bergabung ke dalam rantai RNA yang baru
terbentuk. Penggabungan ini menyebabkan berhentinya sintesis RNA secara
prematur.
c. Farmakokinetik.
 Absorpsi.
Remdesivir diserap dengan cepat; konsentrasi plasma maksimal
setelah infus intravena 30 menit tunggal dicapai dalam waktu 0,67-0,68
jam (Tmax). Dosis berulang menghasilkan Cmax (koefisien variasi
sebagai persen) dari 2229 (19,2) ng / mL dan AUCtau dari 1585 (16,6)
ng * h / mL.
Metabolit remdesivir GS-441524 memiliki nilai yang diukur: Tmax
1.51-2.00 jam, Cmax 145 (19.3) ng / mL, AUCtau 2229 (18.4) ng * h /
mL, dan Ctrough 69.2 (18.2) ng / mL. Metabolit lain, GS-704277, telah
mengukur nilai: Tmax 0,75 jam, Cmax 246 (33,9) ng / mL, AUCtau 462
(31,4) ng * h / mL, dan Ctrough yang belum ditentukan.
Dosis intravena 10mg / kg yang diberikan kepada monyet
cynomolgus didistribusikan ke testis, epididimis, mata, dan otak dalam 4
jam.
 Distribusi.
Data mengenai volume distribusi remdesivir tidak tersedia.
 Metabolisme.
Remdesivir adalah prodrug fosforamidat yang harus dimetabolisme
di dalam sel inang menjadi metabolit trifosfatnya agar aktif secara
terapeutik. Setelah masuk ke sel, remdesivir dianggap menjalani
hidrolisis pertama yang dimediasi esterase menjadi bentuk karboksilat
diikuti dengan siklisasi untuk mengeluarkan gugus fenoksida dan
akhirnya hidrolisis. dari anhidrida siklik untuk menghasilkan metabolit
alanin terdeteksi (GS-704277). Metabolit alanin kemudian dihidrolisis
untuk menghasilkan bentuk monofosfat remdesivir, yang dihidrolisis lagi
untuk menghasilkan metabolit nukleosida GS-441524 atau difosforilasi
oleh kinase seluler untuk menghasilkan bentuk trifosfat aktif.
 Ekskresi.
Remdesivir 74% dihilangkan dalam urin dan 18% dihilangkan dalam
tinja.16 49% dari dosis yang pulih dalam bentuk metabolit GS-441524,
dan 10% pulih sebagai senyawa induk yang tidak termetabolisme.16
Sejumlah kecil (0,5%) dari metabolit GS-441524 ditemukan dalam tinja.
d. Mekanisme Kerja.
Remdesivir merupakan analog nukleosida adenosine. Obat ini
dikembangkan oleh Gilead. Data sebelumnya menunjukan kemampuan obat
ini sebagai antivirus spektrum luas terhadap filoviruses, paramyxoviruses,
pneumoviruses, dan coronavirus patogen.
Coronavirus yang dapat dihambat oleh obat ini termasuk SARS-CoV,
MERS-CoV serta pada studi kultur jaringan aktif terhadap coronavirus
endemik lain yang menginfeksi manusia yakni HCoV-OC43 dan HCoV-
229E 
Adapun mekanisme kerja dari remdesivir sebagai analog nukleosida
adalah dengan menghambat kerja RNA polimerase dari virus. Seperti kita
ketahui bahwa salah satu fase replikasi dari virus adalah duplikasi genom
virus oleh RNA polimerase. Dengan menghambat enzim ini maka
perkembangbiakan virus dapat ditekan.
e. Indikasi.
Indikasi remdesivir saat ini adalah sebagai obat uji untuk pengobatan
COVID-19. Pedoman pemberian berdasarkan pengalaman pengembangan
pengobatan infeksi virus Ebola, SARS-CoV, dan MERS-CoV. Dari
beberapa uji in vitro, selain memiliki aktivitas antivirus yang kuat,
remdesivir juga terbukti dapat mengurangi patologi pulmonal.
f. KontraIndikasi.
Remdesivir dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitivitas
terhadap remdesivir. Selain itu, remdesivir juga tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada penderita COVID-19 dengan gangguan ginjal sedang
sampai berat. Semua pasien harus dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal
sebelum pemberian remdesivir. Remdesivir tidak direkomendasikan untuk
pasien dewasa dan anak usia >28 hari dengan eGFR kurang dari 30
ml/menit, atau pada neonatus cukup bulan (≥7 hari hingga ≤28 hari) dengan
serum kreatinin ≥ 1 mg/dl, kecuali jika potensi keuntungan melebihi potensi
risiko.
g. Dosis.
Hingga saat ini, data yang tersedia mengenai dosis remdesivir untuk
mengatasi COVID-19 masih sangat terbatas.
Pada beberapa uji coba yang dilakukan, dosis yang diberikan adalah
200 mg pada hari pertama, dilanjutkan 100 mg pada hari kedua dan
selanjutnya. Lama pengobatan dalam penelitian ini berkisar antara 5–10
hari.
h. Efek Samping.
Efek samping remdesivir di antaranya berupa diare, peningkatan enzim
hepatik, cedera ginjal akut, pneumotoraks, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), hipernatremia, demam, syok septik, hematuria, dan
delirium. Penggunaan remdesivir bersamaan dengan penginduksi kuat
CYP3A4, seperti obat rifampisin, fenitoin, dan karbamazepin dapat
mengurangi kadar remdesivir sehingga sebaiknya tidak diberikan secara
bersamaan.

Anda mungkin juga menyukai