Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN PUSTAKA

“LIMB ISCHEMIC”

Oleh:

Farihant Masruro
H1A 014 023

Pembimbing :

dr. Maz Isa Anshori, Sp. BTKV

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF BEDAH RSUD PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peripheral arterial disease (PAD) atau limb ischemia terjadi pada sekitar
200 juta orang di seluruh dunia, 8,5 juta di antaranya tinggal di Amerika. Penyakit
arteri perifer terkait dengan peningkatan risiko kematian, penyakit kardiovaskular,
keterbatasan fungsional, dan kehilangan anggota gerak. Setelah penyakit arteri
koroner (CAD) dan stroke, PAD adalah penyebab ketiga morbiditas akibat
aterosklerotik. Terlepas dari resiko kesehatan yang signifikan pada penyakit arteri
perifer, namun banyak kasus PAD yang tidak diobati dan underdiagnosis.1
Peripheral arterial disease (PAD) merupakan penyakit vaskular perifer
yang dapat mempengaruhi kualitas dan harapan hidup dengan meningkatkan
kejadian kardiovaskular. PAD juga sering underdiagnosed, undertreated, dan
kurang mendapat perhatian komunitas medis. Pasien dengan PAD sendiri sering
mengalami gejala-gejala patognomonis seperti claudication intermitten, ischemic
rest pain, luka/ulkus yang tidak sembuh.2
Peripheral arterial disease (PAD) sering terjadi pada pasien yang
menderita faktor risiko aterosklerosis meliputi: ras, jenis kelamin, bertambahnya
usia, merokok, diabetes mellitus, hipertensi, dislipidaemia, keadaan
hiperkoagulitas dan hiperviskositas, hiperhomosisteinemia, kondisi inflamasi
sistemik dan insufisiensi ginjal kronis.2,3
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan fisik yang baik untuk
screening dan diagnosis. Pemeriksaan dengan pencitraan (duplex ultrasound,
computed tomography angiography, atau magnetic resonance angiography) juga
bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan struktur anatomis ketika
tindakan revaskularisasi diperlukan.2 Oleh karena itu, identifikasi, manajemen,

2
dan modifikasi faktor risiko itu merupakan hal penting dalam menangani penyakit
arteri perifer.3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Penyakit arteri perifer (PAD) didefinisikan sebagai terjadinya


aterosklerosis pada arteri di karotis, subklavia, aorta, visceral, dan arteri
ekstremitas bawah, dengan pengecualian arteri di koroner. Aterosklerosis
merupakan penyakit sistemik yang dapat terjadi seiring bertambahnya usia, hal
ini disebabkan oleh penumpukan lemak dan sel protein, inflamasi, dan jaringan
parut pada lapisan endotel arteri yang akhirnya menjadi sempit (stenosis) atau
menutup lumen arteri.1
Mendefinisikan terminologi PAD secara tepat merupakan hal yang penting
dalam pengobatan pasien. Manifestasi klinis PAD dapat asimptomatik maupun
simptomatik (klaudikasio, critical limb ischemia, atau acute limb ischemia).
Sekitar 50% pasien dengan PAD asimptomatik, tidak menunjukkan gejala
(memiliki pasokan arteri yang cukup saat istirahat), sebagian besar terjadi karena
berkurangnya aktivitas terkait usia, masalah sendi, masalah kardiopulmonal, atau
neuropati tungkai bawah.1,4
Klaudikasio berasal dari bahasa Latin yang berarti “lemah”. Klaudikasio
didefinisikan sebagai kram pada non-joint (bukan sendi), ketidaknyamanan, atau
kelelahan pada otot-otot kaki yang aktif (karena tidak cukupnya pasokan arteri
untuk memenuhi kebutuhan aktivitas) dan secara konsisten berkurang dalam
waktu kurang dari 10 menit saat istirahat. Kelompok otot yang mengalami
klaudikasio terjadi di bawah area arteri yang stenosis. Sebagai contoh, karena
arteri femoralis superfisial memiliki insidensi stenosis yang tinggi, maka otot betis
umumnya akan mengalami klaudikasio selama aktifitas. Sekitar kurang dari 10%
sampai 15% pasien PAD dengan klaudikasio berkembang menjadi iskemia.1

3
Iskemia mengacu pada berkurangnya pasokan darah ke jaringan yang
dapat menyebabkan kehilangan anggota tubuh apabila tidak diobati. Acute limb
ischemia (ALI) yaitu terjadinya hipoperfusi tiba-tiba pada anggota tubuh,
biasanya dalam waktu kurang dari 2 minggu, hal ini dapat disebabkan oleh
trombus, embolus, atau trauma. Manifestasi gejala acute limb ischemia yaitu 5P :
pain, pulselessness, paresthesia, pallor, poikilothermia (sensasi dingin), dan
paralysis.1,4
Critical limb ischemia (CLI) adalah perkembangan kronis dari PAD.
Pasien CLI dapat mengalami nyeri pada kaki saat istirahat lebih dari 2
minggu (juga disebut sebagai rest pain), hal ini terjadi karena berkurangnya
pasokan darah ke saraf, akibat luka yang tidak sembuh, atau gangren.1
2.2 Epidemiologi

Penyakit arteri perifer (PAD) atau limb ischemia terjadi pada sekitar 200
juta orang di seluruh dunia, 8,5 juta di antaranya tinggal di Amerika. Penyakit
arteri perifer terkait dengan peningkatan risiko kematian, penyakit kardiovaskular,
keterbatasan fungsional, dan kehilangan anggota gerak. Setelah penyakit arteri
koroner (CAD) dan stroke, PAD adalah penyebab ketiga morbiditas akibat
aterosklerotik.1

Penyakit arteri perifer memengaruhi sekitar 13% populasi orang Barat


yang berusia lebih dari 50 tahun. Hal ini paling sering terjadi karena
aterosklerosis, di mana plak aterosklerotik menyebabkan stenosis atau oklusi
arteri. Kemudian, mengakibatkan semakin berkurangnya aliran darah ke anggota
tubuh yang terkena. Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala
(asimptomatik), namun banyak yang mengalami klaudikasio intermiten (nyeri saat
berjalan). Iskemia tungkai kronis kritis terjadi ketika penurunan aliran darah
sangat berat, sehingga menyebabkan rasa sakit saat istirahat atau kehilangan
jaringan (ulserasi) atau gangren).3

Aterosklerosis adalah penyakit sistemik. Sekitar 60% pasien dengan


penyakit arteri perifer akan mengalami penyakit jantung iskemik, dan sekitar 30%
mengalami penyakit serebrovaskular. Dalam waktu lima tahun setelah diagnosis,

4
10-15% pasien dengan klaudikasio intermiten akan meninggal dunia akibat
penyakit kardiovaskular.3

2.3 Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya penyakit arteri perifer adalah multifaktorial.
Penelitian menemukan bahwa lebih dari 95% pasien memiliki setidaknya satu
faktor risiko kardiovaskular.3
Merokok
Hasil dari 17 penelitian dengan subyek 20.278 pasien menyatakan bahwa
setengah dari semua kasus penyakit arteri perifer dapat disebabkan oleh merokok.
Disimpulkan bahwa perokok berat akan lebih mungkin untuk mengalami penyakit
arteri perifer dibandingkan dengan perokok ringan. Pada mantan perokok juga
terjadi peningkatan resiko penyakit arteri perifer dibandingkan dengan mereka
yang tidak pernah merokok.3
Diabetes
Pedoman TASC II menyimpulkan bahwa, pada semua pasien dengan
diabetes, terdapat resiko relatif terjadinya penyakit arteri perifer, hal ini serupa
dengan orang yang merokok. Sebuah penelitian prospektif pada 1894 pasien
diabetes menemukan bahwa kontrol diabetes yang buruk terkait dengan
peningkatan risiko penyakit arteri perifer. Pasien dengan diabetes lebih mungkin
menjadi asimptomatik karena ko-eksistensi neuropati pada diabetes. Penyakit
arteri perifer pada populasi ini, lebih banyak ditemukan pada pembuluh darah
distal di bagian betis. Peneltian berbasis populasi menemukan bahwa sekitar
setengah dari pasien dengan kaki ulkus diabetikum juga mengalami penyakit
arteri perifer.3

5
Tabel 1. Pasien yang memiliki resiko tinggi PAD.4

Lainnya
Prevalensi penyakit arteri perifer (PAP) meningkat pada
usia lanjut. Sebuah penelitian berbasis populasi pada 2.174 peserta menemukan
bahwa terjadi peningkatan resiko dari 1% pada usia 40-49 tahun menjadi 15%
pada usia lebih dari 70 tahun. Penelitian yang sama menemukan bahwa pada etnis
kulit hitam terjadi peningkatan resiko penyakit arteri perifer (odds ratio 2.83, 95%
CI 1,48-5,42). Pedoman TASC II menyimpulkan bahwa pria memiliki resiko PAP
pada usia yang lebih muda dibandingkan wanita, namun secara keseluruhan tidak
ditemukan perbedaan risiko yang bermakna antara pria dan wanita. Disimpulkan
juga bahwa tingginya kadar kolesterol serum saat puasa, hipertensi, dan penyakit
ginjal kronis masing - masing meningkatkan resiko penyakit arteri perifer sebesar
1,5 kali. Penyakit arteri perifer ini juga berhubungan dengan tingginya
homocysteine serum.3
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Rutherford (dibuat oleh persatuan bedah vaskular) adalah
klasifikasi yang paling banyak digunakan karena cukup sederhana. Klasifikasi
Rutherford antara lain, yaitu : 1
 Tahap 0 – Asimptomatik (tanpa gejala)
 Tahap 1 — Klaudikasio ringan

6
 Tahap 2 — Klaudikasiaso sedang
 Tahap 3 — Klaudikasio berat
 Tahap 4 — Rest pain (nyeri saat istirahat)
 Tahap 5 — Kehilangan jaringan minor dengan iskemik, ulkus atau
gangren fokal yang tidak sembuh
 Tahap 6 — Kehilangan jaringan mayor: penggunaan kaki secara
fungsional tidak dapat lagi diselamatkan.
Tabel 2. Klasifikasi Rutherford dan Fontaine pada PAD.5

Tabel 3. Tahapan Acute Limb Ischemia berdasarkan klasifikasi Rutherford.6

7
Tabel 4. Tahapan Acute Limb Ischemia.7

2.5 Patogenesis

Gambar 1. Patogenesis penyakit arteri perifer.2

Peripheral arterial disease (PAD) terjadi akibat berbagai hal yang


menyebabkan stenosis atau oklusi pada arteri ekstremitas bawah. Aterosklerosis
merupakan penyebab utama dari PAD merupakan penyakit sistemik pada arteri

8
dengan ukuran sedang sampai besar dimana lipid dan material fibrin terkumpul di
dalam lapisan intimal. Awalnya perubahan pada dinding arteri dan pembentukan
plak akan menyebabkan disfungsi endotel. Karena terjadi disfungsi endotel, maka
sel otot polos vaskular mengalami hipertrofi, lalu terjadi migrasi dan proliferasi
dari sel-sel otot polos vaskular. Kemudian terjadi elaborasi matriks, adhesi
molekul-molekul dan migrasi monosit. LDL kemudian semakin banyak dan
membentuk sel-sel busa (foam cell), selanjutnya terjadi pembentukan trombus,
angiogenesis dan neovaskularisasi.2

Penyakit arteri perifer (PAD) disebabkan oleh aterosklerosis dan proses


trombosis pada arteri ekstremitas bagian distal yang sering berujung pada iskemia
jaringan. Penyebab lainnya adalah vaskulitis dan trombosis terkait dengan
keadaan hiperkoagulasi. Patofisiologi aterotrombosis merupakan hal kompleks
yang melibatkan sejumlah sel. Sel penting yang berkontribusi pada aterotrombosis
termasuk sel-sel endotel vaskular (endothelial cells/ECs), sel otot polos pembuluh
darah (smooth muscle cells/SMCs), fibroblas, trombosit, sel-sel induk, pericytes
dan sel-sel inflamasi.8

Gambar 2. Patofisiologi penyakit arteri perifer.8


Pada awalnya anggota tubuh yang mengalami iskemik mencoba untuk
mengimbangi dan mengatasi hipoksia. Setelah itu terjadi adaptasi makrovaskuler

9
berupa angiogenesis dan arteriogenesis. Angiogenesis dan arteriogenesis
merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang bertujuan untuk
meningkatkan perfusi ke jaringan. Hal ini terjadi karena dilatasi pembuluh darah
yang dirangsang oleh aktivasi nitrit oxide (NO), vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan hypoxia induced factor-1α (HIF-1α). Mediator-mediator ini
keluar akibat diinduksi oleh keadaaan hipoksia kronis. Namun, apabila hipoksia
terjadi terus-menerus dan semakin parah, adaptasi mikrovaskular tidak mampu
mengimbangi sehingga terjadi penurunan perfusi ke jaringan, disfungsi endotel,
peradangan kronis dan stres oksidatif. Semua perubahan ini menyebabkan cedera
mitokondria, meningkatnya produksi radikal bebas, kerusakan serat otot,
degenerasi miofibril dan fibrosis. Semua hal ini akhirnya mengakibatkan suplai
oksigen menurun dan terjadi peningkatan kebutuhan metabolik yang mengarah
kepada semakin buruknya kondisi pasien, seperti nyeri saat istirahat yang semakin
kronis,ulserasi yang tidak sembuh, pembentukan gangren hingga mengakibatkan
terjadinya amputasi.8
2.6 Diagnosis
Tabel 5. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik sugestif PAD.4

Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang penting dalam
menegakkan diagnosa PAD. Anamnesis dilakukan dengan bertanya mengenai
keluhan pasien, apakah pasien sedang mengalami klaudikasio, nyeri tungkai saat

10
istirahat, gangguan berjalan atau sudah mengalami kehilangan jaringan pada
tungkai bwah. Nyeri pada saat istirahat (rest pain) merupakan indikator positif
terjadinya CLI terutama apabila pasien menyatakan bahwa nyeri pada kaki akan
berkurang apabila kaki dalam posisi menggantung.1
Diagnosis banding untuk nyeri pada kaki antara lain klaudikasio vena
(seluruh kaki sakit, perbaikan yang lambat dengan istirahat, nyeri berkurang
dengan elevasi kaki), stenosis tulang belakang (lega dengan fleksi tulang belakang
lumbar, nyeri memburuk dengan berdiri), kompresi akar saraf (nerve root) (nyeri
menjalar sepanjang kaki kebawah, nyeri semakin buruk dengan duduk, berdiri,
dan berjalan), dan radang sendi (nyeri kaki terjadi apabila berjalan agak jauh).1
Pemeriksaan Fisik

Gambar 3. Kulit kering dan menghitam akibat kekurangan suplai darah.2


Pemeriksaan Denyut Nadi
Pemeriksaan pada pasien berisiko PAD dilakukan dengan cara melepas
kaus kaki pasien, sehingga pemeriksa dapat melakukan palpasi nadi dan inspeksi
tungkai dan telapak kaki. Inspeksi, lihat apakah ada jaringan yang hilang,
perubahan warna kulit, dan bagaimana suhunya. Palpasi, raba denyut nadi pada
tungkai bawah, antara lain termasuk arteri femoralis, poplitea, dorsalis pedis, dan
tibialis posterior. Nilai pulsasi ekstremitas bawah sebagai berikut: 0, tidak ada; 1,
berkurang; 2, normal. Auskultasi untuk mendengarkan bruit arteri (bunyi yang
terjadi akibat turbulensi aliran darah, sering terjadi pada stenosis arteri) dari arteri
femoral dan iliaka.1,4

11
Pemeriksaan fisik dapat menegakkan dugaan PAD melalui observasi dari
perubahan warna kulit apabila pasien berubah posisi. Saat pasien terlentang, jika
kaki berubah pucat setelah kaki diangkat selama 60 detik pada elevasi 60 derajat,
maka hal ini disebut elevation pallor yang merupakan indikasi PAD. Sebaliknya,
apaila kaki pasien menjadi warna merah kehitaman ketika posisi menggantung,
maka hal ini disebut dependent rubor (disebabkan oleh dilatasi arteriola dalam
upaya untuk menghilangkan sisa metabolisme yang terbentuk akibat iskemia
kronis). Pemeriksaan fisik yang dapat mengindikasikan PAD antara lain yaitu
pulsasi nadi ekstremitas bawah abnormal, bruit vaskular, luka pada kaki yang
tidak sembuh, gangren, dan elevation pallor.1,4
Ankle-Brachial Index
Ankle-Brachial Index (ABI) merupakan salah satu alat skrining PAD yang
hemat biaya dan efektif. Pasien dengan riwayat atau pemeriksaan fisik
sugestif PAD atau beresiko PAD harus dilakukan pemeriksaan ABI. Biasanya,
tekanan darah di pergelangan kaki sama dengan (atau lebih besar) dari tekanan
darah di lengan. ABI adalah rasio dari tekanan sistolik pergelangan kaki yang
lebih tinggi dibandingkan tekanan sistolik pada lengan yang lebih tinggi
(keduanya diperiksa menggunakan Doppler). ABI dapat memberikan informasi
prognostik mengenai resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan dapat
memprediksi kelangsungan hidup anggota tubuh, potensi penyembuhan luka, dan
kematian. Sensitivitas ABI pada PAD berkisar dari 68% hingga 84% dan
spesifisitas dari 84% hingga 99%. Pada pasien dengan DM, penyakit ginjal kronis,
dan orang tua, nilai ABI dapat meningkat namun salah (false positive) karena
terjadinya kalsifikasi arteri medial.1

12
Gambar 4. Cara pemeriksaan Ankle-Brachial Index.1
Toe-Brachial Index
Toe-Brachial Index (TBI) dapat dilakukan untuk diagnosis pasien dengan
dugaan PAD apabila ABI tidak dapat dilakukan (non compressible > 1,40). TBI
dilakukan seperti ABI, dengan pengecualian darah manset tekanan ditempatkan di
jari kaki pertama (jempol) pada setiap kaki. TBI dihitung dengan membagi
tekanan arteri kaki dengan tekanan arteri lengan yang lebih tinggi. Arteri digital di
ujung jari kaki pertama jarang mengalami kalsifikasi, hal ini memungkinkan
diagnosis PAD apabila tekanan pergelangan kaki non compressible. TBI kurang

13
dari sama dengan 0,70 adalah abnormal dan diagnostic PAD dapat ditegakkan.
Tekanan jari kaki pertma (jempol) <30 hingga 50 mmHg merupakan indikasi
CLI.1,4
ABI saat istirahat dan saat aktifitas
ABI saat istirahat nilanya dapat normal pada pasien yang memiliki PAD
dengan gejala klaudikasio intermiten. Lakukan pemeriksaan ABI saat istirahat dan
aktiftas apabila riwayat pembuluh darah pernah mengalami klaudikasio. Arteri
mengalami dilatasi selama aktifitas, tekanan darah pada tungkai menurun,
terutama jika terdapat stenosis arteri, sehingga menurunkan nilai ABI. Penurunan
lebih dari 20% nilai ABI saat aktifitas dibandingkan dengan istirahat merupakan
indikasi PAD. Tes ini dapat bermanfaat untuk gejala tungkai bawah saat aktivitas,
dimana terjadi penurunan nilai ABI setelah berolahraga di treadmill. Latihan ABI
merupakan ukuran obyektif dari peningkatan fungsional dalam pengobatan
klaudikasio (misalnya, program latihan terstruktur atau revaskularisasi). Pasien
yang lebih tua, berusia lebih dari 70 tahun, dengan riwayat merokok dan penyakit
paru obstruktif kronis juga dapat terkait dengan nilai ABI latihan rendah.1
Tes Jalan Kaki Selama 6 Menit
Tes jalan kaki 6 menit merupakah latihan yang bersifat submaksimal
(sebelum tingkat intensitas latihan mencapai 85% dari detak jantung maksimum).
Uji ini mengukur jarak berjalan dalam rentang 6 menit. Tes jalan kaki 6 menit
adalah alternatif untuk membantu menilai ABI saat aktifitas serta untuk menilai
status fungsional kemampuan berjalan pasien. Tujuan dari tes jalan kaki 6 menit
adalah untuk mencapai jarak paling signifikan, dengan berjalan bolak-balik di
sepanjang koridor 100 kaki selama 6 menit.1
Pulse Volume Recording
Pulse volume recording (PVR), juga disebut sebagai Plethysmography,
adalah tes pencitraan noninvasif untuk mengevaluasi aliran darah ekstremitas
bawah menggunakan konsep yang sama dengan ABI. Teknik untuk PVR
melibatkan 2 manset tekanan darah pada kedua paha dan betis. Hasil tes lebih dari
20 sampai 30 mmHg antara tekanan manset merupakan indikasi PAD.1

14
Ultrasonografi Duplex Arteri
Dupleks arteri adalah USG noninvasif pada ekstremitas menggunakan
pencitraan aliran warna dan bentuk gelombang Doppler untuk mengidentifikasi
aliran darah di arteri dan lokasi anatomi / derajat stenosis di arteri. Dupleks arteri
seringkali dapat memberikan informasi yang cukup untuk membantu
merencanakan intervensi terapeutik pada pasien. Dupleks arteri digunakan setelah
revaskularisasi untuk memantau intervensi. Pada pasien yang diduga CLI (rest
pain, luka yang tidak sembuh, atau gangren), apabila tekanan arteri abnormal
(ABI <0,9 atau TBI <0,7), maka pemeriksaan seperti dupleks arteri sebaiknya
dilakukan.1
Tes Anatomi Tambahan
Selain pemeriksaan vaskular, metode lain untuk pengujian diagnostik
pasien PAD antara lain termasuk, computed tomography angiography, resonansi
magnetic angiografi, dan angiografi. Metode invasive untuk diagnostik dapat
menyebabkan peningkatan resiko pada pasien, yaitu berpotensi mengalami
nefropati yang diinduksi kontras, alergi kontras, paparan radiasi, dan kerusakan
arteri. Pemeriksaan dengan metode invasive hanya dapat dilakukan apabila
diajukan oleh spesialis vaskular. Pasien yang tidak membaik dengan terapi medis
komprehensif (olahraga, farmakoterapi) atau menderita CLI atau ALI harus segera
dirujuk ke spesialis vaskular.1

15
Tabel 6. Alternatif Diagnosa atau Diagnosa Banding pada pasien nyeri kaki yang
tidak terkait PAD.4

Kriteria diagnosis iskemia tungkai kronis tidak kritis (dengan klaudikasio


intermitten) menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI) : 9
1. Bukti kelainan anatomis (obstruksi arteri) dan fungsi (perfusi)
2. Uji Ankle-Brachial Index (ABI) < 0,9, atau
3. Uji ABI> 0,9 dengan uji beban tungkai 2 mph pada 12% (atau dengan
modifikasi jungkit), tekanan sistolik pada regio Achilles/dorsalis pedis <
50 mmHg dan kembali normal > 5 menit.

16
Kriteria diagnosis iskemia tungkai kronis kritis menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) : 9
1. Kriteria klinis rest pain atau ulkus / gangren
2. Ankle pressure < 50 mmHg
3. Toe pressure < 30 mmHg
Kriteria diagnosis iskemia ekstremitas bawah akut menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) : 9
1. Kriteria klinis 6P : Pain (nyeri), Parasthesia (kesemutan), Pulselessness
(nadi tidak teraba), Paralysis (lumpuh), Pallor (pucat), Perishing cold (rasa
dingin)
2. Penentuan stadium menurut Rutherford :
 Stadium I – tidak ada kehilangan rasa maupun kelemahan otot,
dopler arteri dan vena terdeteksi
 Stadium IIA – kehilangan rasa minimal terbatas pada jari, tidak
ada kelemahan otot, dopler arteri terdeteksi dan vena tidak
terdeteksi
 Stadium IIB – Kehilangan rasa minimal disertai nyeri pada jari
yang meluas ke arah proksimal, kelemahan otot ringan sampai
sedang, dopler arteri terdeteksi dan vena tidak terdeteksi
 Stadium III – hilang rsa menonjol, paralisis, dopler arteri dan vena
tidak terdeteksi
3. Bukti obstruksi total anatomis arteri tungkai
2.7 Penatalaksanaan
Apabila diagnosis PAD sudah ditegakkan, maka pengobatan dapat
dilakukan dengan olahraga, obat-obatan kardioprotektif (agen antiplatelet, statin,
dan antihipertensi), perubahan gaya hidup, dan modifikasi faktor resiko untuk
mengurangi kejadian kardiovaskular dan meningkatkan status fungsional pasien.1
Farmakoterapi: Antiplatelet
Dianjurkan mengonsumsi obat antiplatelet untuk mengurangi kejadian
miokard infark, stroke, atau kematian.1

17

Semua pasien dengan PAD simtomatik harus diberikan antiplatelet. Aspirin
saja (kisaran, 75-325 mg per hari) atau clopidogrel saja (75 mg per hari).
(Class of Recomendation (COR) I/ Level of Evidance (LOE) A).1

Penggunaan antiplatelet setiap hari juga boleh diberikan pada pasien dengan
PAD asimptomatik (ABI <0,90). (COR IIa/LOE C).1

Menggunakan terapi dual-antiplatelet tidak direkomendasikan pada pasien
asimptomatik dan simptomatik tanpa revaskularisasi. (COR IIb/LOE B).1

Terapi dual-antiplatelet dengan aspirin dan clopidogrel dapat mengurangi
resiko pada pasien dengan PAD simptomatik setelah
revaskularisasi ekstremitas bawah (COR IIb / LOE C).1
Farmakoterapi: Antikoagulan

Antikoagulasi oral dapat diberikan untuk maintanace ekstremitas yang sudah
dilakukan bypass graft (COR IIb / LOE B).1

Kecuali baru-baru ini dilakukan revaskularisasi, pasien dengan PAD
ekstremitas bawah dengan fibrilasi atrium sebaiknya mendapat antikoagulasi
saja dibandingkan terapi antiplatelet, terutama jika Skor CHA 2DS2-VASc
lebih dari 2 (C = Jantung kongestif atau disfungsi sistolik ventrikel kiri, 1
poin; H = Hipertensi, 1 poin; A2 = usia lebih dari sama dengan 75 tahun, 1
poin; D = DM, 1 poin; S2 = riwayat stroke sebelumnya atau serangan iskemik
sementara atau tromboemboli, 2 poin; V = penyakit pembuluh darah (infark
miokard sebelumnya, penyakit arteri perifer atau plak aorta), 1 poin; A= usia
65-74 tahun, 1 poin; Sc = Jenis kelamin perempuan, 1 poin. (COR I/ LOE
A).1
Terdapat penelitian yang dilakukan oleh The Cardiovascular Outcomes for
People Using Anticoagulation Strategies (COMPASS) , dimana hasil penelitiannya
menyatakan bahwa penggunaan kombinasi antikoagulan dan aspirin cukup baik.
Pada kombinasi rivaroxaban dan aspirin menunjukkan pengurangan angka
kejadian amputasi mayor pada pasien PAD.1
Farmakoterapi: Obat PAD Lainnya

Cilostazol (100 mg oral, 2 kali per hari) efektif dalam memperbaiki gejala
klaudikasio dan meningkatkan jarak berjalan 40% hingga 60% setelah 3

18
sampai 6 bulan terapi (COR I / LOE A). Cilostazol adalah inhibito
fosfodiesterase tipe 3 yang meningkatkan fleksibilitas sel darah (sel darah
merah), menurunkan agregasi trombosit, dan dapat menyebabkan
vasodilatasi, hal ini memungkinkan sel darah merah untuk lebih mudah
melewati arteri yang stenosis. Cilostazol harus dihindari pada penderita gagal
jantung karena dapat menyebabkan retensi cairan, bertindak sebagai inotrop
negatif, dan dapat meningkatkan resiko aritmia ventrikel. Pasien sebaiknya
diberikan edukasi tentang cilostazol: (1) awalnya dapat menyebabkan sakit
kepala ringan yang sembuh dari waktu ke waktu, (2) mungkin perlu terapi 6
minggu bagi pasien untuk melihat perubahan dalam jarak berjalannya.1

Pentoxifylline, juga inhibitor fosfodiesterase, dapat mengurangi kekentalan
darah dan meningkatkan fleksibilitas sel darah merah tetapi tidak efektif
untuk pengobatan klaudikasio (COR III / LOE B).1
Farmakoterapi: ACE Inhibitor / Angiotensin Receptor Blockers

Penderita hipertensi dan PAD harus mendapatkan terapi ACE inhibitor atau
angiotensin receptor blockers untuk mengurangi kejadian infark miokard,
stroke, atau kematian sebesar 25%. (COR I/LOE A).1

Selain ACE inhibitor atau angiotensin receptor blockers, belum ada golongan
antiihipertensi lainnya yang menunjukkan keunggulan dalam mengurangi
hipertensi pada pasien dengan PAD.1
Farmakoterapi: Statin
Dislipidemia adalah peningkatan kolesterol total, trigliserida, low-density
lipoprotein kolesterol, dan rendahnya high-density lipoprotein kolesterol. Terapi
menggunakan statin memberikan hasil yang baik pada pasien PAD. Selama
periode 4 tahun, penggunaan statin mampu mengurangi komplikasi terkait
ekstremitas (klaudikasio yang memburuk, CLI baru, amputasi) dan mengurangi
risiko relatif kejadian vaskular perifer (termasuk revaskularisasi non-koroner,
perbaikan aneurisma) dibandingkan dengan placebo.1

Semua pasien dengan PAD (baik simptomatik ataupun asimptomatik) harus
diberikan statin. (COR I / LOE A).1

19

Semua pasien dengan PAD ekstremitas bawah harus diberikan statin untuk
meningkatkan jarak berjalan. (COR I / LOE A).1
Berhenti Merokok
Salah satu penyebab utama kematian yang dapat dicegah adalah
penggunaan tembakau. Penelitian observasional telah menunjukkan bahwa infark
miokard, kematian, dan amputasi lebih tinggi pada pasien yang merokok.10

Anjurkan pasien PAD yang menggunakan tembakau (asap atau menggunakan
bentuk tembakau lain) untuk berhenti merokok di setiap kunjungan. (COR I /
LOE A).1

Bantu perokok dengan PAD dalam rencana untuk berhenti menggunakan
terapi nonfarmakologis maupun farmakologis (yaitu, varenicline, bupropion,
dan / atau terapi pengganti nikotin), atau mulai program berhenti merokok.
(COR I / LOE A).1

Anjurkan pasien PAD untuk menghindari paparan asap tembakau di
lingkungan rumah, pekerjaan, dan di tempat-tempat umum (COR I / LOE B).1
Tabel 7. Program 5A untuk membantu pasien berhenti merokok.10

Diabetes Mellitus

Koordinasikan perawatan pasien diabetes dengan PAD dengan tim kesehatan
lainnya. (COR I / LOE C).1

Pada pasien dengan CLI, kontrol glikemik dapat mengurangi efek buruk
terkait ekstremitas. (COR IIb / LOE B). Pasien dengan HbA1c <6,5%

20
memiliki resiko amputasi lebih rendah dibandingkan pasien dengan HbA1c>
6,5%.1
Olahraga
Pasien dianjurkan untuk olahraga selama 30 hingga 45 menit, minimal 3
kali per minggu minggu.1

Olahraga adalah terapi yang efektif untuk meningkatkan jarak berjalan
maksimal, dan kualitas hidup pasien. (COR I / LOE A).1

Latihan yang diawasi direkomendasikan sebagai pengobatan awal pada
pasien dengan klaudikasio. (COR I / LOE B).1

Gunakan latihan alternatif seperti ergometri ekstremitas atas untuk pasien
dengan amputasi, nyeri punggung, atau riwayat stroke, hal ini dapat
meningkat status fungsional pasien PAD. (COR IIa / LOE A).1
Perawatan Kaki dan Luka

Edukasi pasien diabetes tentang PAD, pemeriksaan kaki sendiri dan perilaku
kaki sehat, seperti menggunakan alas kaki yang sesuai, pembersihan kulit,
dan penggunaan topikal krim pelembab, terutama jika kaki pasien
mengalami neuropati. (COR I / LOE C).1

Anjurkan pasien PAD dengan kaki yang terinfeksi untuk mencari perawatan
segera guna menghindari amputasi. (COR I / LOE C).1
Tatalaksana Non Medis
Selama beberapa dekade terakhir, perawatan endovaskular PAD
(atherectomy, angioplasty dengan atau tanpa stenting) lebih populer daripada
bedah revaskularisasi. Prosedur endovaskular memiliki tingkat komplikasi lebih
rendah tetapi kurang tahan lama dibandingkan revaskularisasi bedah, seringkali
membutuhkan intervensi berulang. Arteri yang lebih proksimal harus diobati
sebelum stenosis.1

Revaskularisasi dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan
status fungsional pada pasien-pasien yang tidak respon terhadap terapi medis.
(COR IIa / LOE A).1

21

Tujuan revaskularisasi pada CLI adalah untuk meningkatkan aliran darah ke
ekstremitas sehingga meringankan gejala saat istirahat, menyembuhkan ulku
iskemik, dan mencegah terjadinya amputasi. (COR I / LOE B).1
Revaskularisasi: Endovaskular
Prosedur endovaskular adalah revaskularisasi berbasis kateter, dilakukan
pada saat arteriogram.1

Terapi endovaskular efektif sebagai pilihan revaskularisasi pada pasien
dengan klaudikasio berat dan penyakit oklusi aortoiliac. (COR I / LOE A).1

Revaskularisasi endovaskular adalah pilihan pada pasien dengan klaudikasio
berat dan penyakit femoropopliteal yang signifikan. (COR IIa / LOE B).1

Gambar 5. Akses arteri untuk revaskularisasi endovaskular pada ekstremitas


bawah.5
Revaskularisasi: Bedah

Pada revaskularisasi bedah, bypass ke arteri poplitea dengan vena autogenus
direkomendasikan dibandingkan penggunaan bahan cangkok prostetik. (COR
I / LOE A). Bypass vena autogenous lebih unggul daripada cangkok bypass
prostetik dan lebih paten dalam jangka panjang.1

Bypass arteri femoral-tibia dengan prostetik bahan graft tidak boleh
digunakan sebagai terapi klaudikasio. (COR III / LOE B).1

22

Pada pasien PAD dengan CLI, operasi bypass arteri poplitea atau
infrapopliteal harus dilakukan dengan vena autogenous. (COR I / LOE A).1

Gambar 6. Kesimpulan rekomendasi tatalaksana pada pasien PAD.10

23
Gambar 7. Alur Diagnosa pasien PAD.4

24
Gambar 8. Alur Diagnosa pasien CLI.4

25
Gambar 9. Alur Diagnosa dan Tatalaksana ALI.4

2.8 Prognosis
Jika tidak diobati, penyakit arteri perifer dapat menyebabkan amputasi.
Sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa sebagian besar pasien dengan
klaudikasio stabil gejalanya dapat membaik dalam lima tahun sejak diagnosis.
Penyakit asimptomatik merupakan penanda dari adanya sedentary lifestyle.
Sekitar 25% pasien yang bergejala membutuhkan intervensi, kurang dari 5% akan
berkembang menjadi iskemia tungkai kronis kritis. Dalam lima tahun sejak
diagnosis penyakit arteri perifer ditegakkan, resiko terjadinya amputasi sekitar 1-
3,3% dan menyebabkan kematian pada sekitar 20%.3
Jika pada pasien terjadi critical limb ischemia, kelangsungan hidup pasien
secara keseluruhan lebih buruk daripada kanker. Pada pasien dengan critical limb
ischemia dalam satu tahun, resiko terjadinya amputasi anggota tubuh sekitar 30%
dan dalam lima tahun dapat menyebabkan kematian pada sekitar 50% pasien.

26
Sebuah penelitian cross sectional pada 2.730.742 pasien dengan penyakit arteri
perifer, menemukan bahwa angka kematian pada semua pasien yang mengalami
amputasi kaki dua kali lebih tinggi daripada pasien yang tidak diamputasi
(P<0,001). Sebuah penelitian pada 136 pasien menemukan bahwa pasien dengan
diabetes lebih beresiko mengalami amputasi (odds ratio 5,4, P <0,0001) atau
kemungkinan meninggal dunia (odds ratio 3,1, P <0,002) dibandingkan dengan
pasien non-diabetes.3

CLI dikaitkan dengan tingginya resiko kejadian kardiovaskular, dan


dengan angka kematian sebesar 20% dalam 6 bulan setelah diagnosis dan lebih
dari 50% dalam 5 tahun setelah diagnosis. Angka kematian yang tinggi pada PAD
melebihi angka kematian pada CAD, hal ini mencerminkan kejadian
aterosklerotik sistemik terkait dengan CLI. Dalam 6 bulan pertama, angka
terjadinya amputasi berkisar dari 10% sampai 40% pada pasien CLI. Pasien etnis
kulit hitam dengan klaudikasio, DM, dan penyakit ginjal memiliki resiko amputasi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien kulit putih. Hampir setengah dari
semua pasien yang berusia lebih dari 65 tahun dengan PAD meninggal dunia
dalam 1 tahun pertama setelah amputasi tungkai bawah.1

BAB III

27
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peripheral arterial disease (PAD) merupakan penyakit vaskular perifer


yang dapat mempengaruhi kualitas dan harapan hidup dengan meningkatkan
kejadian kardiovaskular. Pasien dengan PAD sendiri sering mengalami gejala-
gejala patognomonis seperti claudication intermitten, ischemic rest pain,
luka/ulkus yang tidak sembuh.
PAD sering terjadi pada pasien yang menderita faktor risiko aterosklerosis
meliputi: ras, jenis kelamin, bertambahnya usia, merokok, diabetes mellitus,
hipertensi, dislipidaemia, keadaan hiperkoagulitas dan hiperviskositas,
hiperhomosisteinemia, kondisi inflamasi sistemik dan insufisiensi ginjal kronis.
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan fisik yang baik untuk
screening dan diagnosis. Pemeriksaan dengan pencitraan (duplex ultrasound,
computed tomography angiography, atau magnetic resonance angiography) juga
bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan struktur anatomis ketika
tindakan revaskularisasi diperlukan. Tujuan tatalaksana PAD adalah untuk
memperbaiki gejala klinis, mencegah kehilangan jaringan (amputasi),
meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan angka kejadian kardiovaskular.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Debra Kohlman. 2019. Update: Diagnosis and Management of Peripheral
Arterial Disease. Diakses melalui : https://www.npjournal.org/article/S1555-
4155(18)30645-7/pdf.
2. Yopie Afriandi Habibie. 2017. Peripheral Arterial Disease; What should we
know?. Diakses melalui :
http://conference.unsyiah.ac.id/ASUp/II/paper/download/701/46.
3. Rachael L Morley, Anita Sharma, Alexander D Horsch, et al. 2018.
Peripheral Artery Disease. BMJ 2018;360:j5842 doi: 10.1136/bmj.j5842.
Diakses melalui : https://doi.org/10.1136/bmj.j5842.
4. American Heart Association. 2016. 2016 AHA/ACC Guideline on the
Management of Patients With Lower Extremity Peripheral Artery Disease:
Executive Summary. Circulation. 2017;135:e686–e725. DOI:
10.1161/CIR.0000000000000470. Diakses melalui :
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/CIR.0000000000000470.
5. Scott Kinlay, 2017. Management of Critical Limb Ischemia. Circ Cardiovasc
Interv. 2016 February ; 9(2): e001946. doi:10.1161/CIRCINTERVENTIONS.
115.001946. Diakses melalui :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4827334/.
6. Mircea Olinic, Agata Stanek, Alexandru Tataru, et al. 2019. Acute Limb
Ischemia: An Update on Diagnosis and Management. J. Clin. Med. 2019, 8,
1215; doi:10.3390/jcm8081215. Diakses melalui :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6723825/pdf/jcm-08-
01215.pdf.
7. Hideaki Obara, Kentaro Matsubara, dan Yuko Kitagawa. 2018. Acute Limb
Ischemia. Ann Vasc Dis Vol. 11, No. 4; 2018; pp 443–448. Diakses melalui :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6326052/.
8. Krishna, S.M., Moxon, J. V dan Golledge, J., 2015. A Review of the
Pathophysiology and Potential Biomarkers for Peripheral Artery Disease,
pp.11294–11322. Diakses melalui: http://www.mdpi.com/1422-
0067/16/5/11294/pdf.

29
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2016.
Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah. Diakses melalui :
http://www.inaheart.org/upload/file/Buku_PPK_CP_05Apr16.pdf
10. Marc P. Bonaca, dan Mark A. Creager. 2015. Pharmacological Treatment
and Current Management of Peripheral Artery Disease. DOI:
10.1161/CIRCRESAHA.114.303505. Diakses melalui :
https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/CIRCRESAHA.114.303505.

30

Anda mungkin juga menyukai