Anda di halaman 1dari 16

ANATOMI LARING-FARING

Gambar 1. Anatomi laring

Anatomi Bagian Laring Dalam


Kavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
1. Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas pita
suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan
pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring
Morgagni.
3. Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi
bawah kartilago krikoidea.
Anatomi Faring
Terbagi atas :
 Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil,

1
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting,
seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan
n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, Universitas
Sumatera Utara 7 bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan
muara tuba Eustachius.
 Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga
mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang
terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
lingual dan foramen sekum.
 Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior
ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah
valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral
pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab
pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di
situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar,
meskipun kadang – kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap
sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus

2
1. LARINGITIS DIFTERI
Laringitis difteri adalah suatu peradangan laring karena infeksi
Corynebacterium diphteriae. Biasanya dimulai dengan invasi lokal diikuti
nekrosis jaringan. Bakteri batang gram positif ini akan memproduksi
eksotoksin menyebabkan timbulnya gambaran klinis.
Patofisiologi
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang menembus ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang
mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini
akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai
dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini
merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase
(elongation factor-2) yang aktif. Toksin difteri mula-mula menempel pada
membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan
masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase melalui proses
NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid
ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi
kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung.
Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila

3
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan
terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
yang edema dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi
bisa terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-
bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria
hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel,
tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam
sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-
14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien
tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati
biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal
dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
Manifestasi Klinis
Penularan terutama melalui saluran napas dengan gejala bervariasi dari
asimtomatis (dan penderita bertindak sebagai karier) sampai berat yang
ditandai dengan obstruksi jalan nafas atau adanya komplikasi (miokarditis
yang dapat menyebabkan complete heart block, neuritis (paralisis palatum
mole, paralisis okular, paralisis diafragma, atau paralisis ekstremitas), gagal
ginjal). Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat
perlahan-lahan dimulai dengan gejala yang tidak spesifik seperti demam, lesu,
nafsu makan menurun sampai kemudian muncul gejala klinis yang khas
diantaranya; sekret hidung bercampur darah (serosanguinus) dan kemudian
mukopurulen, membran putih keabu-abuan di tonsil/faring/laring

4
(psudomembran) yang bila dilepaskan akan mengakibatkan perdarahan,
limfadenitis servikalis dan submandibula disertai dengan edema jaringan
lunak leher (bullneck), serta stridor akibat obstruksi jalan nafas atas.
Gejala klinis laringitis difteri sukar dibedakan dari tipe sindrom Croup
yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila laringitis
difteri terjadi sebagai perluasan dari faringitis difteri, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus
ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil
mikrobiologi. Karena preparat hapusan kurang dapat dipercaya, sedangkan
untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, namun
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi
Corynebacterium diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro
(tes Elek). Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik
untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya
membran. Namun, membran pada difteri agak berbeda dengan membran
penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan
disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya.
Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar
ke uvula.

5
Penatalaksanaan
a. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi
ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan
pemeriksaan ekokardiogram (EKG) pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu
selama 5 minggu. Khusus pada laringiis difteri di jaga agar nafas tetap
bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.

b. Pengobatan Khusus
Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-
6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%. ADS yang dipakai
untuk laringitis difteri adalah dengan dosis 40.000 KI yang dapat
diberikan intramuskular ataupun intravena. Sebelum Pemberian ADS
harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan
dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10
mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10
dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam
fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS
diberikan dengan cara desentisasi. Bila uji hipersensitivitas tersebut
diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis

6
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-
120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin
dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga
mencegah penularan organisme pada kontak. Corynebacterium
diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in-vitro, termasuk
penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada
resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah
digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
pemberantasan. Terapi diberikan selama 14 hari. Beberapa penderita
dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus
didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari
hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah
selesai terapi. Dosis penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m.,
tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o., tiap 6 jam selama
14 hari. Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m.
atau i.v., dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin, rifampisin, dan klindamisin
dapat juga diberikan.

7
2. LARINGITIS KRONIS
Laringitis kronik adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring
yang terjadi dalam jangka waktu lama. Infeksi pada laring dapat dibagi menjadi
laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi maupun non infeksi, inflamasi lokal
maupun sistemik yang melibatkan laring. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 7 hari dan biasanya
muncul dengan gejala yang lebih dominan seperti gangguan pernafasan dan
demam. Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan telah bermanifestasi
beberapa minggu.
Etiologi
Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis kronis. Infeksi bakteri
seperti difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi.
Laringitis dapat juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau setelah sembuh
dari suatu penyakit, seperti salesma, flu atau radang paru-paru (pnemonia).

Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi yang
terus menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan, banyak
merokok atau asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan
tenggorokan, suatu kondisi yang disebut gastroeosophageal reflex disease
(GERD). Tanpa mengkesampingkan bakteri sebagai penyebabnya

Laringitis Kronis terbagi menjadi non-spesifik dan spesifik.


Non-Spesifik laringitis kronis

Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada


saluran pernapasan, seperti selesma,influensa,bronkhitis atau sinusitis. Akibat
paparan zat-zat yang membuat iritasi,seperti asap rokok, alkohol yang berlebihan,
asam lambung atau zat-zat kimia yang terdapat pada tempat kerja.Terlalu banyak
menggunakan suara, dengan terlalu banyak bicara, berbicara terlalu keras atau
menyanyi (vokal abuse). Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis,
permukaan yang tidak rata dan menebal.

8
Gejala klinis yang sering timbul adalah berdehem untuk membersihkan
tenggorokan. Selain itu ada juga suara serak, Perubahan pada suara dapat
berfariasi tergantung pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa hanya sedikit serak
hingga suara yang hilang total, rasa gatal dan kasar di tenggorokan, sakit
tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit waktu menelan. Gejala
berlangsung beberapa minggu sampai bulan.

Pada pemeriksaan ditemukan mukosa yang menebal, permukaannya tidak


rata dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka
perlu dilakukan biopsi.

Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab terjadinya


laryngitis dan simtomatis. Pengobatan terbaik untuk langiritis yang diakibatkan
oleh sebab-sebab yang umum, seperti virus, adalah dengan mengistirahatkan suara
sebanyak mungkin dan tidak membersihkan tenggorokan dengan berdehem. Bila
penyebabnya adalah zat yang dihirup, maka hindari zat penyebab iritasi tersebut.
Dengan menghirup uap hangat dari baskom yang diisi air panas mungkin bisa
membantu. Bila anak yang masih berusia batita atau balita mengalami langiritis
yang berindikasi karahcroup, bisa digunakan kortikosteroid seperti
dexamethasone. Untuk laringitis kronis yang juga berhubungan dengan kondisi
lain seperti rasa terbakardi uluh hati, merokok atau alkoholik, harus dihentikan.

Pada laringitis kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset


bertahap dengan gejala yang ringan. Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi
mukus berlebih dalam laring. Dalam pemeriksaan laringoskopi biasa dijumpai
sekresi mukus endolaringeal tebal dalam kadar ringan hingga sedang, eritema dan
edema lipatan pita suara serta inkompetensi glotis episodik selama fase fonasi.

Pada kasus laringitis kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada


pasien untuk menghindari faktor pemicu. Medikasi antihistamin loratadine atau
fexofenadine dipilih karena tidak memiliki efek samping dehidrasi. Sekresi mukus
yang tebal dan lengket dapat di atasi dengan pemberian guaifenesin.

9
Laringitis kronis spesifik

 Laringitis Tuberkulosa

Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru. Sering
kali setelah diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi laringitis
tuberkulosanya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat
lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila
infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama. Infeksi kuman ke
laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum yang mengandung kuman,
atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe. Tuberkulosis dapat menimbulkan
gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa inter aritenoid, kemudian ke
aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta subglotik.

Secara klinis, laringitis tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu :

 Stadium infiltrasi. Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan


hiperemis, kadang pita suara terkena juga, pada stadium ini mukosa laring
tampak pucat. Kemudian di daerah sub mukosa terbentuk tuberkel,
sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan.
Tuberkel itu makin besar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu,
sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat
meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus. Pada stadium ini pasien
dapat merasakan adanya rasa kering ditenggorokan, panas dan tertekan di
daerah laring, selain itu juga terdapat suara parau.
 Stadium ulcesari. Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi
membesar. Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan, serta
dirasakan nyeri waktu menelan yang hebat bila dibandingkan dengan nyeri
karena radang (khas), dapat juga terjadi hemoptisis.
 Stadium perikondritis. Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago
laring, dan yang paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan
epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga
terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk

10
sekuester. Pada stadium ini pasien dapat terjadi afoni dan keadaan umum
sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat bertahan maka
proses penyakit berlanjut dan masuk dalam stadium fibrotuberkulosis.
 Stadium fibrotuberkulosa. Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis
pada dinding posterior, pita suara dan subglotik.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan THT
termasuk pemeriksaan laring tak langsung untuk melihat laring melalui kaca
laring, maupun pemeriksaan laring langsung dengan laringoskopi. Pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium dapat di temukannya tes BTA positif, dan patologi
anatomi.

Penatalaksanaannya berupa pembeian obat antituberkulosis primer dan


sekunder. Selain itu pasien juga harus mengistirahatkan suaranya. Beberapa
macam dan cara pemberian obat antituberkulosa :

 Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol,


Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi
dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar
penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
 Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,
Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

 Laryngitis Leutika

Disebabkan oleh kuman treponema palidum, sudah sangat jarang dijumpai


pada bayi ataupun orang dewasa. laring tidak pernah terinfeksi pada stadium
pertama sifilis. Pada stadium kedua, laring terinfeksi dengan tanda-tanda adanya
edema yang hebat dan lesi mukosa berwarna keabu-abuan. Sumbatan jalan nafas
dapat terjadi karena adanya pembengkakan mukosa. Pada stadium ketiga,
terbentuknya guma yang nanti akan pecah dan menimbulkan ulcerasi,
perikondritis dan fibrosis.

11
Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis.
Disfagia timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini,
pasien tidak merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang saraf-saraf di
perifer.

Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang sangat
dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan
eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan
menjalar sagat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan FTA-


ABS) dan biopsi. Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan
penicilin dosis tinggi, pengengkatan sekuester, bila terdapat sumbatan laring
karena stenosis dapat dilakukan trakeostomi dan operasi rekonstruksi.

3. 0BSTRUKSI LARING

Obstruksi laring dapat bersifat total ataupun parsial. Obstruksi total di laring
akan menimbulkan keadaan gawat, dan apabila tidak ditatalaksana dalam 4 menit
akan menyebabkan kematian akibat asfiksia. Obstruksi parsial di laring dapat
menyebabkan gejala suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai
sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subjektif benda asing.
Obstruksi laring dapat disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain
radang akut, dan radang kronis, benda asing, trauma akibat kecelakaan,
perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam, trauma akibat tindakan
medis, tumor laring, dan kelumpuhan nervusrekuren bilateral.
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab
sumbatan dengan cepat atau membuat jalan nafas baru yang dapat menjamin
ventilasi . Tindakan pada pasien dengan obstruksi laring dilakukan sesuai dengan
derajat obstruksi. Untuk derajat ringan yang disebabkan peradangan dapat
diberikan tindakan konservatif berupa pemberian obat-obatan. Sedangkan untuk

12
derajat berat diperlukan tindakan operatif yang memerlukan keterampilan dan
peralatan khusus.
Laring di lapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis
yang di lapisi oleh sel epitelium berlapis. Pita suara ini berjumlah dua buah di
bagian atas adalah pita suara palsu dan tidak mengeluarkan suara yang di sebut
dengan ventrikularis di bagian bawah adalah pita suara yang sejati yang
membentuk suara yang di sebut vokalis, terdapat dua otot. Oleh gerakan dua buah
otot ini maka pita suara dapt bergetar dengan demikian pita suara (rima glotidis)
dapat melebar dan mengecil, sehingga di sini terbentuknya suara.
Fungsi laring sebagai proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda
asing masuk kedalam trakea, dengan jalan menutup auditus laring dan rima glotis
secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan
laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
Selanjutnya mariepigloitika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis
karena adduksi plika vokalis. Kartilago ariteniod kiri dan kanan mendekat karena
adduksi otot-otot intrinsik.

Etiologi
Obstruksi laring disebabkan oleh :
1. Kelainan congenital Laringomalasia
Tidak ditemukan gangguan patologi dasar ataupun gangguan yang
bersifat progresif pada laringomalasia. Kondisi ini lebih merupakan keadaan
laring neonatus yang terlalu lunak dan kendur jika dibandingakan normalnya.
Saat bayi menarik nafas, laring yang lunak akan saling menempel,
mempersempit aditus dan timbul stridor. Proses menelan tidak terganggu.
Proses menangis mestinya normal. Pertambahan berat dan perkembangan bayi
biasanya normal. Stridor merupakan gejala utama dan dapat berlangsung
konstan atau hanya saat bayi tereksitasi. Bersama stridor dapat timbul retraksi
sternum dan dada. Biasanya bayi berusia beberapa minggu saat mulainya
laringomalasia. Prognosisnya cukup baik karena kartilago akan menjadi kaku.

13
Bila sumbatan laring makin hebat sebaiknya dilakukan intubasi trakea
dan jangan dilakukan trakeastomi karena biasanya juga diikuti trakeomalsia.
Orang tua pasien dinasehatkan supaya lekas datang ke dokter jika ada
peradangan saluran nafas atas misalnya pilek.
2. Trauma laring
 Kontusio laring
Bermanifestasi sebagai hematoma internal dan terkadang sebagai
dislokasikartilago aritenoidea. Trauma biasanya disebabkan benda
tumpul. Kunci pada terapi adalah dengan diagnosis segera. Kontusio
dapat diobservasi sementarapersiapan trakeotomi tetap dilakukan.
Biasanya pasien dengan kontusio cukup kooperatif untuk dilakukan
visualisasi laring. Hematoma biasanya terlihat.
 Stenosis laring dan subglotis
Jaringan parut yang mempersempit jalan nafas merupakan sekuele dari
suatu penyakit atau cedera, dan penatalaksanaannya sering kali sangat
sulit. Trauma tumpul atau tembus, trakeotomi tinggi, penelanan zat
kaustik, luka tembak, iritasibalon tuba endotrakea merupakan penyebab
stenosis laring yang paling sering dijumpai. Biasanya pasien
memerlukan intubasi trakea jangka panjang bagi merekayang sangat
sakit walaupun ini juga dapat mneyebabkan stenosis laring lagi.

3. Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat
pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga
menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi
balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan
rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari
pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering
menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan
fistulatrakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri
inominata,dan ruptur bronkial.

14
Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan
etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan
cuff dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis
trakeapada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan
menjadiindikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada
beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma
intubasi.
Saat ini tersedia cuff plastic bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi.
Cuff ini dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap di bawah
25cmHO sehingga mengurangi insiden stenosis akibat cuff trakea. Tekanan
cuff harus dipantau sedikitnya 8 jam dengan menempelkan diameter tekanan
genggam pada pilot balon sedang atau melakukan teknik penggunaan volume
kebocoran minimal atau volume oklusi minimal. Secara umum dapat dikatakan
bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya
sebaiknya dilakukan trakeostomi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Unit Kerja Kordinasi Infeksi dan
Penyakit Tropis. Difteri Pada Anak. IDAI 2009;
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi keenam.
Jakarta: EGC. 1999. Hal 369-377.
3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring,
Edisi keenam. Jakarta: EGC. 2006. Hal 805-813.
4. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher: Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal 238-241.

16

Anda mungkin juga menyukai