Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

PERIPHERAL ARTERY DISEASE

(PAD)

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya di Lab/SMF Ilmu


Bedah FK UNEJ - RSUD dr. Soebandi Jember

Oleh :

EDDA RACHMADENAWANTI

122011101018

SMF BEDAH RSUD DR. SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016

1
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Peripheral Artery Disease (PAD)

Penyakit arteri perifer atau Peripheral Artery Disease (PAD) merupakan


kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan (stenosis) atau penyumbatan
(oklusi) arteri yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke
ekstremitas.1 Presentasi klinis PAD pada ekstremitas bawah bervariasi mulai dari
yang asimptomatik (mencapai 40-50%) sampai kondisi darurat yaitu iskemia
tungkai akut.2 Penyakit arteri perifer paling banyak menyerang penyakit arteri
pada ekstremitas bawah. Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan
arteri iliaka (30% dari pasien yang simptomatik), arteri femoralis dan poplitea
(80-90%), termasuk arteri tibialis dan peroneal (40-50%). 2,3

1.2 Epidemiologi Peripheral Artery Disease (PAD)

Di Amerika PAD mengenai 8-10 per juta jiwa penduduk. Jumlah ini akan
terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020 mencapai 3,5 juta jiwa, di mana
insiden iskemia tungkai akut mencapai 1,5 kasus per 10.000 orang pertahun. Di
Negara Barat, angka amputasi di Rumah Sakit akut, dimana beberapa kematian
terjadi peri operatif.4

1.3 Etiologi Peripheral Artery Disease (PAD)

Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga dapat


dikatakan bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP.
Faktor risiko klasik PAP adalah usia tua, hipertensi, dislipidemia, diabetes
mellitus, dan merokok. Jenis kelamin dan ras diketahui juga merupakan faktor

2
risiko dari PAP. Faktor risiko potensial lainnya adalah peningkatan kadar c-
reactive protein, fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b, lipoprotein a dan
viskositas plasma. 4

1.4 Klasifikasi Peripheral Artery Disease (PAD)

Penyakit arteri perifer atau Peripheral Artery Disease (PAD) merupakan


khususnya penyakit arteri ekstremitas bawah memiliki berbagai gambaran klinis
berdasarkan kriteria Fontaine dan Rutherford, meskipun sebagian besar pasien
tidak mengalami gejala apapun. 2,5

Tabel 1. Klasifikasi PAP berdasarkan presentasi klinis Fontaine classification dan


Rutherford classification

Pada terminologi klinis maka PAP, dibagi 4 berdasarkam klasifikasi


Fontaine, antara lain :

Tingkat I Asymptomatic Arteriopathy

3
Tingkat II Iskemia yang diinduksi Olah raga

Tingkat IIa Intermitten Claudicatio (Klaudikasio Intermitten), rasa sakit waktu


berjalan, berkurang ketika istirahat, pada keadaan terkompensasi
jarak 200 m

Tingkat IIb Dekompensasi : jarak berjalan 200 m

Tingkat III Rasa sakit ketika istirahat

Tingkat IV Ulkus/ Gangren

1.5 Patofisiologi Peripheral Artery Disease (PAD)

Patogenesis terjadinya aterosklerosis pada PAP sama seperti yang terjadi


pada arteri koroner. Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi
biasanya terjadi pada pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi
tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika
media, destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi lamina elastika interna, dan
dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin.1

Aterogenesis dimulai dengan lesi di dinding pembuluh darah dan


pembentukan plak aterosklerotik. Proses ini dikuasai oleh leokocyte-mediated
inflammation lokal dan oxidized lipoprotein species terutama low-density
lipoproteins (LDL). Merokok, hiperkolesterolemia, diabetes, dan hipertensi
menurut beberapa penelitian mempercepat pembentukan aterosklerosis.1

Lesi awal (tipe I) terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan dan terdiri dari
akumulasi lipoprotein intima dan beberapa makrofag yang berisi lipid. Makrofag
tersebut bermigrasi sebagai monosit dari sirkulasi ke lapisan intima subendotel.
Kemudian lesi ini berkembang menjadi lesi awal atau "fatty-streak" (tipe II), yang
ditandai dengan banyaknya "foam cell". Foam cell memiliki vakuola yang
dominan berisi cholesteryl oleate dan dilokalisir di intima mendasari endotel. 1

Lesi tipe II dapat dengan cepat berkembang menjadi lesi preatheromic


(tipe III), yang didefinisikan dengan peningkatan jumlah lipid ekstraseluler dan

4
kerusakan kecil 12 jaringan lokal. Ateroma (tipe IV) menunjukkan kerusakan
struktural yang luas pada intima dan dapat muncul atau silent. Perkembangan lesi
selanjutnya adalah lesi berkembang atau fibroateroma (tipe V), secara
makroskopis terlihat sebagai bentuk kubah, tegas, dan terlihat plak putih mutiara.
Fibroateroma terdiri dari inti nekrotik yang biasanya terlokalisasi di dasar lesi
dekat dengan lamina elastik interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel debris
dan fibrotic cap, yang terdiri dari kolagen dan sel otot polos di sekitarnya. Ruptur
plak memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi platelet dan aktivasi
fibrinogen, namun tidak menyebabkan oklusi arteri atau manifestasi klinis.1

Lesi tipe VI (complicated lesion) digunakan untuk menggambarkan


berbagai lesi aterosklerotik yang lebih lanjut yang menunjukkan karakteristik
khusus yang tidak ditemukan di fibroatheroma klasik, seperti lesi ulseratif
(dibentuk oleh erosi cap), lesi hemoragik (ditandai dengan pendarahan di inti
nekrotik), atau lesi trombotik (membawa deposit trombotik). Tipe VII adalah lesi
kalsifikasi, ditandai pengerasan arteri dan tipe VIII adalah lesi fibrotik,
predominan terdiri dari kolagen. 1

Gambar 1. Patofisiologi Lesi PAP

5
Ada 3 hal yang berpengaruh dalam pembentukan/ timbulnya trombus ini
(trias Virchow) :

 Kondisi dinding pembuluh darah (endotel)

 Aliran darah yang melambat/ statis

 Komponen yang terdapat dalam darah sendiri berupa peningkatan


koagulabilitas

Patofisiologi yang terjadi pada pasien PAP meliputi keseimbangan suplai


dan kebutuhan nutrisi otot skeletal. Klaudikasio intermiten terjadi ketika
kebutuhan oksigen selama latihan atau aktivitas melebihi suplainya dan
merupakan hasil dari aktivasi reseptor sensorik lokal oleh akumulasi laktat dan
metabolit lain. Pasien dengan klaudikasio dapat mempunyai single atau multiple
lesi oklusif pada arteri yang mendarahi tungkai. Pasien dengan clinical limb
ischemic biasanya memiliki multiple lesi oklusif yang mengenai proksimal dan
distal arteri tungkai sehingga pada saat istirahat pun kebutuhan oksigen dan nutrisi
tidak terpenuhi. 5

PAP terjadi karena tidak normalnya regulasi suplai darah dan penggantian
struktur dan fungsi otot skelet. Regulasi suplai darah ke tungkai dipengaruhi oleh
lesi yang membatasi aliran (keparahan stenosis, tidak tercukupinya pembuluh
darah kolateral), vasodilatasi yang lemah (penurunan nitrit oksida dan penurunan
responsifitas terhadap vasodilator), vasokonstriksi yang lebih utama (tromboksan,
serotonin, angiotensin II, endotelin, norepinefrin), abnormalitas reologi
(penurunan deformabilitas eritrosit, peningkatan daya adesif leukosit, agregasi
platelet, mikrotrombosis, peningkatan fibrinogen). 5

Adanya stenosis pada pembuluh darah maka resistensi meningkat, selain


itu pada saat latihan tekanan intramuskuler meningkat sehingga diperlukan
tekanan darah yang lebih tinggi namun setelah melewati daerah stenosis tekanan
darah menjadi rendah. Tercukupinya kebutuhan oksigen dan nutrisi pada pasien
dengan stenosis bergantung pada diameter lumen dan adanya kolateral yang dapat
menyuplai darah secara cukup pada saat istirahat namun tetap tidak mencukupi

6
kebutuhan saat latihan.

Abnormalitas dari reaktifitas vasomotor mengganggu aliran darah.


Normalnya arteri dilatasi terhadap respon farmakologi dan stimulus biokimia
seperti asetilkolin, serotonin, trombin, dan bradikinin. Respon vasodilatasi ini
merupakan hasil dari pelepasan zat aktif biologi dari endotelium terutama nitrit
oksida. Pada arteri yang aterosklerosis mengalami respon vasodilatasi yang buruk
terhadap stimulus arus atau farmakologi. NO tidak hanya terlibat dalam
vasodilatasi dengan relaksasi otot polos, tetapi juga memediasi penghambatan
aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi; mencegah proliferasi otot polos
pembuluh darah; dan mencegah adhesi leukosit pada endotel. 5

Gambar 2. Patofisiologi PAP

Penggantian struktur dan fungsi otot skelet dipengaruhi oleh denervasi


axon dari otot skelet, kehilangan serabut otot tipe IIA yang berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot, dan aktivitas enzimatik mitokondria yang lemah.

7
Gambar 3. Proposed biological pathways for the association of lower
extremity ischemia with mobility loss in peripheral artery disease

1.6 Manifestasi Klinik Peripheral Artery Disease (PAD)

Spektrum manifestasi Peripheral Artery Disease (PAD), antara lain : 4,5

 Asimtomatik, tanpa gejala namun aliran darah terganggu saat istirahat,


sehingga menimbulkan ketidak seimbangan fungsional.

 Klaudikasio intermiten, menimbulkan gejala pada ekstremitas inferior kaki


selama beraktivitas, dan akan membaik ketika istirahat

 Atypical Leg Pain, menimbulkan gejala nyeri saat istirahat (rest pain),
terdekompensasi pada jarak tertentu.

 Critical Limb Ischemic, menimbulkan iskemia pada tungkai, nyeri pada saat
istirahat, progresifitas menimbulkan gangren

8
 Acute Limb Ischemic, tanda klinis klasik 6P, antara lain Pain, Palor,
Pulselessness, Parasthesia, Paralysis, Poikilothermia.

Gejala klasik yang terjadi adalah klaudikasio intermiten, yang merupakan


ketidaknyamanan otot ekstremitas bawah yang terjadi karena latihan atau aktivitas
dan hilang dengan istirahat dalam 10 menit. Pasien mungkin mendeskripsikan
kelelahan otot, sakit atau kram saat aktivitas yang hilang dengan istirahat. Gejala
yang paling sering yaitu pada betis, tapi juga terdapat pada paha atau daerah
glutea. Klaudikasio khas terjadi pada sepertiga dari semua pasien PAP. Pasien
tanpa klaudikasio klasik juga memiliki keterbatasan berjalan yang mungkin terkait
dengan gejala atipikal. 4

Gejala khas klaudikasio mungkin tidak terjadi pada pasien yang memiliki
penyakit penyerta yang mencegah aktivitas yang cukup untuk menyebabkan
timbulnya gejala (yaitu gagal jantung kongestif, penyakit paru berat, penyakit
muskuloskeletal) atau pada pasien yang tidak memungkinkan untuk melakukan
latihan atau aktivitas. Oleh karena itu, pasien yang diduga menderita PAP harus
ditanya tentang beberapa pembatasan latihan selama latihan ekstremitas inferior. 5

Gejala lain yang mungkin dialami pasien adalah nyeri pada tungkai dan
kaki saat istirahat, ulkus pada tungkai yang tidak sembuh, nyeri pada lengan
dengan klaudikasio. Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran darah
yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada
kaki saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-otot kaki
dapat dibatasi oleh sumbatan aterosklerosis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan metabolik otot, sehingga
memunculkan gejala klaudikasio.5

Pemeriksaan fisik yang baik pada tungkai diperlukan untuk mendeteksi


tanda danya iskemia meliputi kaki tampak dingin dan pucat, mungkin tampak
bintik-bintik kehitaman pada kulit jari yang dapat memanjang sampai proksimal
tergantung pada tingkat oklusi arteri. Adanya nyeri pada betis apabila dengan
posisi dorsofleksi pasif jempol kaki dapat mendukung iskemia ekstremitas.
Tanda-tanda lainnya adanya bintik kebiruan yang memucat dengan tekanan.

9
Pewarnaan kulit tetap (nonblanching) dan kekakuan kompartemen tungkai
umumnya menunjukkan adanya nekrosis jaringan dan kaki yang tidak dapat
diselamatkan. 5

1.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Peripheral Artery Disease


(PAD)

Diagnosis klinis PAPO tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan penggunaan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif.

a) Artery Brachial Index

Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif

untuk mengidentifikasi penyakit arteri perifer. ABI adalah rasio yang


berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan
tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri dibandingkan dengan
lengan brakialis. Studi yang melakukan evaluasi vaskular pada 1.762
subyek, melaporkan bahwa ABI meningkat pada 8,4% individu dan
prevalensi PAPO pada individu ini adalah 62,2%. ABI dapat digunakan
tensimeter atau doppler gelombang. 6

Kontraindikasi
ABI :

 Apabila terdapat rasa sakit luar biasa atau luka di kaki bagian bawah / kaki.

 Pada kondisi terdapat trombosis vena dalam, yang dapat menyebabkan


lepasnya trombus, sebaiknya dirujuk untuk dilakukan tes duplex
ultrasound.

10
Gambar 4. Ankle Brachial Index

Pemeriksaan ankle brachial index (ABI) adalah uji noninvasif yang cukup
akurat untuk mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini..
Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan sebagai berikut: Toe-
Brachial Index (TBI) juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang
dilakukan pada pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang
mengalami kalsifikasi pada pembuluh darah ekstremitas bawah yang
menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan teknik tradisional
(ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai
indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥ 0,75 dikatakan normal atau

11
tidak terdapat stenosis arteri. 6,7

b) Doppler Ultrasonografi

Ultrasonografi Doppler merupakan suatu alat yang menggunakan


gelombang suara untuk dapat mengetahui aliran darah di pembuluh darah.
Ultrasonografi Doppler merupakan alat yang sama dengan ultrasonografi biasa,
namun pada ultrasonografi biasa hanya dapat menampilkan gambar dari pantulan
gelombang suara dari organ yang diperiksa, sedangkan
ultrasonografi Doppler memiliki efek Doppler. Dengan memanfaatkan efek
Doppler, ultrasonografi tersebut dapat mendeteksi arah aliran darah dan juga
kecepatan relatif aliran darah tersebut. Selama pemeriksaan ultrasonografi
Doppler, sebuah alat seukuran sabun batang (transducer) berfungsi sebagai
pengirim gelombang suara sekaligus penerima gelombang suara yang dipantulkan
oleh organ padat yang diperiksa, termasuk sel-sel darah merah. Transducer
tersebut diaplikasikan pada kulit di atas organ yang akan diperiksa. Adanya
pergerakan dari sel-sel darah merah menyebabkan perubahan frekuensi
gelombang suara yang dipantulkan dan diterima transducer(disebut dengan efek
Doppler). 6,8

Pada pasien-pasien dengan peripheral artery disease yang signifikan pada


tungkai-tungkai, tekanan-tekanan darah pada pergelangan-pergelangan kaki akan
menjadi lebih rendah daripada tekanan-tekanan darah pada lengan-lengan
(tekanan darah brachial).

c) Angiography

Penggunaan Computed Tomographic Angiography (CTA) untuk


mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang seiring perkembangan
multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk
mendeteksi suatu stenosis sekitar 50% atau oklusi adalah sekitar 95- 99%. Seperti
halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding arteri

12
dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,
karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia
tunika intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki
keterbatasan dalam hal penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal
sedang-berat yang belum menjalani dialysis.6,8

Magnetic Resonance Angiography (MRA) merupakan pemeriksaan


noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap kejadian gagal ginjal.
Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of
Evidence A) ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama
dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi. Modalitas
pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan
(gadolinium-based contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan
kontras yang digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan
spesifisitas alat ini untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan
angiografi kontras adalah sekitar 80-90%. Walaupun MRA merupakan modalitas
pemeriksaan yang cukup aman dan merupakan teknologi yang cukup
menjanjikan, namun pemeriksaan yang masih merupakan standar baku emas
untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi kontras. Pemeriksaan ini
menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan direkomendasikan oleh
ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD khususnya yang
akan menjalani tindakan revaskularisasi. 6,9

1.8 Manajemen Terapi Peripheral Artery Disease (PAD)

Pengobatan yang segera berguna untuk mencegah komplikasi sistemik atau


kematian yang diakibatkan oleh abnormalitas metabolisme karena nekrosis
jaringan. Tingkat darurat dan pilihan strategi terapi tergantung pada persentasi
klinis, terutama adanya defisit neurologis dan penyebab iskemia tungkai akut
tersebut (trombotik atau emboli).

13
Terdapat tiga modalitas algoritma pengobatan iskemia tungkai akut
meliputi, : 4,5

a) Revaskularisasi Endovaskular

b) Revaskularisasi Bedah

c) Amputasi

d) Pencegahan Faktor Resiko Kardiovaskuler

a) Revaskularisasi Endovaskuler

Metode ini merupakan teknik perkutan invasif yang minimal, merupakan


pilihan yang baik bila lesi di segmen femoro-poplitea. Tujuan dari revaskularisasi
endovaskuler berbasis kateteter adalah untuk memulihkan aliran darah secepat
mungkin ke anggota tubuh yang terancam dengan menggunakan obat, perangkat
mekanik, dan keduanya. Prosedur ini umumnya dilakukan di cathlab dengan
anestesi lokal dan diindikasikan pada pasien kategori Rutherford IIa. Cathlab
merupakan kamar operasi dengan kemampuan angiography dan teknik
endovaskuler untuk tromboembolektomi yang dapat melakukan pencitraan dan
revaskularisasi dalam suatu tempat. Kontraindikasi terapi kateter perdarahan
intrakranial baru, operasi besar baru, neoplasma pembuluh darah otak, atau
perdarahan aktif. 4,5

 Teknik Catheter Directed Thrombolysys

Teknik ini digunakan untuk arteri, arteriol, dan kapiler pembuluh darah
yang jelas untuk mengembalikan dan melestarikan perfusi ke ekstremitas bawah.
Trombolitik dengan agen modern seperti plasminogen aktivator yang
mengkonversi trombin terikat plasminogen menjadi plasmin aktif, selanjutnta
terjad degradasi fibrin dan disolusi trombin. 4,5

14
Prosedur ini dirancang untuk memberikan dosis maksimal agen
trombolitik ke trombus sekaligus mengurangi efek samping trombolitik sistemik.
Agen saat ini digunakan adalah alteplase (Genentech), sebuah rekombinan
aktivator plasminogen jaringan; Reteplase (EKR Theraupetics), sebuah rekayasa
genetika mutan direkayasa dari aktivator plasminogen jaringan. Agen ini
dimaksudkan untuk selektif mengaktifkan plasminogen terikat dalam trombus dan
diberikan selama periode 24-48 jam. Streptokinase, sebuah aktivator plasminogen
tidak langsung, adalah agen yang pertama digunakan untuk trombolisis
intraarterial, namun penggunaannya sebagian besar telah ditingkalkan karena
efikasinya yang kurang dan efek perdarahan besar,serta potensi terjadi alergi.4

Diagnosis angiografi dilakukan sebelumnya untuk menilai inflow dan


outflow arteri, sifat, dan panjang trombosis. Pemeriksaan klinis dan angiografi
juga dilkakukan untuk menilai keberhasilan terapi dan memantau komplikasi yang
terjadi. Komplikasi CDT meliputi perdarahan (sampai 12,5% dalam satu
penelitian) dan embolisasi distal.

 Teknik Percutaneus Mechanical Thrombectomy

Teknik ini menggunakan kateter aspirasi sederhana untuk aspirasi


trombur, dengan atau tanpa trombolitik. PMT secara bersamaan melakukan
aspirasi trombus melalui sistem kateter kusus, dengan teknik hidrodinamis atau
sistem rotasi. Perangkat ini dapat dengan cepat memulihkan aliran melalui segmen
yang tersumbat dan mempersingkat durasi terapi. Namun, data dari uji coba
membandingkan dengan trombolisis farmakologis masih saja kurang. Komplikasi
teknik PMT meliputi embolisasi distal, hemolisis, dan kelebihan cairanm. 4

b) Revaskularisasi Bedah

Pendekatan revaskularisasi bedah untuk pengobatan iskemia tungkai akut


termasuk meliputi balon kateter embolektomi, trombektomi transluminal,
prosedur bypass vaskuler endarterektomi, dan patchplasty, trombolisis
intraoperatif, dan prosedur hybrid (operasi dan prosedur endovaskuler yaitu

15
angioplasti atau stenting). Penyumbatan tromboemboli arteri di bawah lutut
dilakukan dengan trombolisis intraarterial atau trombektomi. Pemulihan ditandai
dengan teraba pulsasi kaki, sinyal arteri terdengar Doppler dan terlihat perbaikan
perfusi kaki (misalnya pengisian kapiler, peningkatan temperatur, dan produksi
keringat). Bila dalam observasi belum berhasil, terapi antikoagulansia dengan
heparin dilakukan setelah prosedur. Vasodilator misalnya nitrogliserin dan
papaverin terbukti apabila ada vasospasme. 4

c) Amputasi

Ekstremitas irreversibel atau yang tidak dapat diselamatkan mungkin


memerlukan amputasi sebelum memburuknya kondisi klinis pasien. Amputasi
dilakukan untuk membatasi tingkat amputasi dan tindakan ini dilakukan dengan
mempertimbangkan perfusi yang cukup untuk memungkinkan penyembuhan.
Amputasi primer mencapai 5%-20%, terutama pada pasien yang tidak
memungkinkan untuk revaskularisasi, gangguan neurologis atau non-ambulatori.
Adanya penyakit kardiovaskuler atau serebrovaskuler, iskemia jantung,
kardiomiopati, gagal jantung kongestif, penyakit paru yang parah, atau gagal
ginjal merupakan risiko yang besar perioperatif yang merugikan. 4,5

Amputasi tungkai bawah mempunyai resiko lebih besar, dikaitkan dengan


resiko kematian 30 hari mencapai 4%-30% dan resiko morbiditas seperti infark,
stroke, infeksi mencapai 20% - 37%. Kesulitan rehabilitasi dan tingginya ketidak
mampuan untuk ambulansi dengan prothesis pada pasien usia tua merupakan
dampak negatif jangka panjang yang signifikan terhadap kualitas hidup dan
kemandirian. Pemeriksaan evaluasi secara berkala post operasi bermanfaat
mengetahui adanya restenosis. 4,5

d) Pencegahan Resiko Faktor Kardiovaskuler

Pencegahan terdapat penyakit kardiovaskuler, meliputi menghentikan


merokok, penurunan kolesterol Low Density Lipoprotein, penurunan tekanan
darah, mengkontrol diabetes, dan manajemen gagal jantung. Pencegahan terhadap
resiko kardiovaskuler dapat diberikan terapi dual antiplatelet dengan aspirin dan

16
clopidogrel yang dikombinasi dengan cliotaszol. Terapi medikamentosa berperan
sebagai terapi kombinasi dengan revaskularisasi sebagai terapi tambahan, bila
prosedur gagal memperbaiki gejala, beberapa obat yang bisa diberikan : 4,6

 Prostanoid

Vasodilator prostaglandin, termasuk prostaglandin E-1 (PGE-1), iloprost,


dan ciprostene. Pemberian intraarteri atau intravena, jangka waktu 3-4 hari
atau jangka panjang 7-28 hari. Efek samping pusing, muka terasa terbakar,
mual-muntah, dan diare.

 Pentoxifilline

Pentoxifilline memperbaiki aliran darah ke anggota-anggota tubuh dengan


mengurangi viskositas ("kelengketan") dari darah, memungkinkan aliran
darah yang lebih efisien

 Cilosztazol

Obat yang dapat menmbantu meningkatkan aktivitas fisik


(memungkinkan seseorang untuk berjalan jarak yang lebih jauh tanpa
nyeri dari claudication). Cilostazol bekerja dengan menyebabkan
pelebaran arteri-arteri dan peningkatan suplai oksigen yang dikirim ke
lengan-lengan dan tungkai-tungkai. Cilostazol direkomendasikan untuk
beberapa pasien-pasien dengan claudication jika modifikasi-modifikasi
gaya hidup dan latihan tidak efektif. Cilostazol harus diminum pada
lambung yang kosong setengah jam sebelum atau dua jam setelah makan.
Makanan-makanan yang tinggi lemak, grapefruit juice, dan obat-obat
tertentu seperti omeprazole (Prilosec) dan diltiazem (Cardizem) dapat
meningkatkan penyerapan (absorpsi) dan oleh karenanya tingkat-tingkat
darah dari Cilostazol. Efek-efek sampingan umumnya ringan yang
termasuk sakit kepala, diare dan dizziness. Cilostazol harus tidak
digunakan pada pasien-pasien dengan gagal jantung karena kekhawatiran
atas kematian yang meningkat pada pasien-pasien gagal jantung yang
menggunakan obat-obat yang serupa pada Cilostazol.

17
1.9 Prognosis Peripheral Artery Disease (PAD)

Angka kematian dan komplikasi pada pasien dengan iskemia tungkai akut
cukup tinggi. Meskipun revaskularisasi segera dengan trombolitik dan
pembedahan, kejadian amputasi mencapai 10-15% pada pasien yang menjalani
perawatan di rumah sakit. Amputasi yang tersering terjadi di atas lutut. Sekitar 15-
20% pasien meninggal dalam 1 tahun setelah adanya persentasi klinis. 4

18
BAB II

LAPORAN KASUS

Nama : Sdr. Sudarsono

Usia : 34 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Diponegoro, Bondowoso

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan :-

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status : Belum menikah

No. Rekam Medis : 143531

Tgl. Masuk RS : 24 Oktober 2016

Tgl. Keluar RS : 02 November 2016

Tgl. Pemeriksaan : 24 Oktober 2016

2.1 Anamnesis

 Keluhan Utama:

Nyeri pada kaki kanan bagian bawah

 Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengeluhkan nyeri pada kaki kanan sejak 8 bulan belakangan ini
dan memberat dalam satu bulan terakhir. Satu bulan ini kaki tiba-tiba terasa kaku
dan sakit terutama sakit apabila digunakan untuk berjalan. Nyeri dimulai dari
bagian bawah dari ujung jari-jari kemudian menjalar ke bagian atas tungkai.
Nyeri terutama dirasakan pada saat malam hari. Ketika merasa nyeri pasien
19
biasanya menggantung kakinya sehingga merasa lebih baik.

Pasien juga mengeluhkan kaki yang terasa nyeri muncul bintik-bintik


warna hitam kemudian meluas. Bintik hitam mulai muncul sekitar satu bulan
yang lalu. Bintik hitam muncul dari bagian bawah (jari-jari kaki) kemudian
meluas ke atas. Kaki bawah mulai berwarna hitam, kemudian kulitnya
mengelupas, dan baunya busuk.

Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia remaja, sekarang


konsumsi rokok sehari satu pak rokok. Dahulu pasien konsumsi rokok sehari
tiga sampai 4 pak. Pasien tidak pernah sesak. Batuk (-) Sesak (-) Demam (-).

Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Bondowoso, pasien di rujuk


ke BTKV RS. Dr. Soetomo untuk dilakukan angiography tetapi pasien menolak
kemudian lebih memilih di RS. Dr. Subandi.

 Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien pernah dilakukan amputasi pada kaki sebelah kiri dengan gejala
dan keluhan yang sama (kaki juga sampai berwarna hitam) dengan diagnosis :
PAD (Peripheral Artery Disease). Diabetes Melitus (-) Hipertensi (-).

 Riwayat Penyakit Keluarga: (-)

 Riwayat Pengobatan: (-)

2.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Cukup

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital :

TD : 115/75 mmHg RR : 18 x/menit

N : 84 x/menit Tax : 36,4º C

Kesimpulan : tanda-tanda vital dalam batas normal

20
Pemeriksaan Khusus

Kepala

Bentuk : normocephal

Rambut : rambut berwarna hitam, dan tidak mudah rontok

Wajah :

Mata

 Konjungtiva anemis : -/-


 Sklera ikterus : -/-
 Oedem palpebra : -/-
 Mata cowong : -/-
 Perdarahan : -/-
 Reflek cahaya : +/+

Hidung : sekret (-), mukosa hiperemi (-)

Telinga : sekret (-), perdarahan (-)

Mulut : sianosis (-), mukosa lembab, pucat(-), hiperemis(-)

Kesimpulan : dalam batas normal

Leher

 KGB : tidak ada pembesaran

 Kaku kuduk : tidak ada

 Deviasi trakea : tidak ada

 Tiroid : tidak membesar

 Vena jugular : tidak terdapat distensi

Kesimpulan : dalam batas normal

Dada

a. Jantung :

21
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba MCL V Sinistra

Perkusi :

Kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra

Kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra

Kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra

Kiri bawah : ICS V Linea Medio Clavicularis Sinistra

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, ekstrasistol/gallop/murmur : -/-/-

Kesimpulan: dalam batas normal

b. Paru :

Kanan Kiri

Depan I = simetris, retraksi (-) I = simetris, retraksi (-)

  P = fremitus raba normal P = fremitus raba normal

  P = sonor P = sonor

  A = Ves (+), Rh (-), Wh (-) A = Ves (+), Rh (-), Wh (-)

Belakan I = simetris, retraksi (-) I = simetris, retraksi (-)


g

  P = fremitus raba normal P = fremitus raba normal

  P = sonor P = sonor

  A = Ves (+), Rh (-), Wh (-) A = Ves (+), Rh (-), Wh (-)

Kesimpulan: dalam batas normal

Perut

Inspeksi : cembung

Auskultasi : bising usus (+) normal


22
Perkusi : timpani

Palpasi : soepel, tidak teraba massa

Hati : tidak terdapat pembesaran

Limpa : tidak terdapat pembesaran

Anogenital : anus (+), genital laki-laki

Anggota gerak :

Atas : akral hangat di kedua ekstremitas, edema (-), deformitas (-)

Bawah :

Sinistra : Amputasi below knee (+)

Dextra : Akral dingin (+) gangren (+) nekrosis (+)

Kesimpulan : regio abdomen, anogenital dalam batas normal, ekstrimitas inferior


didapatkan nekrosis

Status Lokalis

Regio : Cruris Dextra

Inspeksi : Nekrosis (+) Gangren (+) Oedema (-) Akral dingin (+)

23
Palpasi : Nyeri (+), Pulsasi (+) lemah

2.4 Pemeriksaan Penunjang

a) Hasil Laboraturium

HEMATOLOGI LENGKAP
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Hemoglobin 11,2 gr/dL 12-16 gr/dL
Laju Endap Darah - 0-15 mm/jam
Leukosit 9,9 x109/L 4,5-11 x109/L
Hitung Jenis - Eos/Bas/Stab/Seg/Lim/Mono
0-4/0-1/3-5/54-62/25-33/2-6
Hematokrit 31,3 % 36-46%
Trombosit 235 x109/L 150-450 x109/L
GULA DARAH
Glukosa Sewaktu 104 mg/dL stik <200 mg/dL

b) Foto Rontgen

24
Foto Rontgen Dada

Posisi AP

a. Inspirasi Cukup

b. Soft Tissue : dbn

c. Diagfragma : memanjang memotong pada ICS 8-9

d. Sinus Costophrenicus tajam

e. ICS melebar

f. Jantung : CTR <50% , teardrop

g. Lapang paru : Hiperlusen , Hiperaerasi, Infiltrat (-)

Kesimpulan : Ditemukan kemungkinan COPD dengan bronkitis kronis

c) EKG

HR : 98 kali/menit

Axis jantung : nomal

Pembesaran atrium kanan (-) atrium kiri (-) ventrikel kanan (-) ventrikel kiri (-)

25
Kesimpulan : Tidak ditemukan kelainan pada jantung

2.5 Diagnosa

Death Limb Extremitas Inferior e.c Peripheral Artery Disease

2.7 Planning

Pro Below Knee Amputation

 IVFD RL 1500 cc/24 jam


 Injeksi Ceftriaxon 2x1 g
 Injeksi Antrain 3x1 g
 Injeksi Metronidazole 3x500 mg

2.8 Prognosa
Dubia ad Malam

2.9 Laporan Operasi

26
 Diagnosis pra-operasi :
Death Limb Extremitas Inferior e.c Peripheral Artery Disease
 Diagnosis post-operasi :
Death Limb Extremitas Inferior e.c Peripheral Artery Disease
 Jenis Operasi :
Release of Necrosis Foot
 Macam Operasi :
Kotor
 Uraian pembedahan :

 Anastesi dengan SAB

 Pasien posisi supinasi

 Desinfeksi dengan povidine iodine dan alkohol

 Insisi Below Knee

 Didapatkan Nekrosis Extremitas Inferior setinggi cruris 1/3 tengah

 Dilakukan amputasi below knee


27
Dengan Ligasi arteri tibialis, vena saphena magna

Pasang redon drain

 Jahit

2.10 Terapi Post Op

 IVFD RL 1500 cc/24 jam


 Injeksi Ceftriaxon 2x1 g
 Injeksi Antrain 3x1 g
 Injeksi Metronidazole 3x500 mg

Observasi drainage

2.11 Follow Up

Post Operasi H-1 (01 November 2016)

• Subyektif

Nyeri pada luka post operasi

• Obyektif

KU : Lemah TD : 110/80 mmHg RR : 18 x/m

Kes : Allert N : 82 x/m Tax : 36,4 C

K/L : a/i/c/d = -/-/-/-

Tho : S1S2 Tunggal, e/g/m = -/-/-

Ves +/+, Wh -/-, Rh -/-

Abd : Flat, Bu +, Timpani, Sopel

Ekst : AH +, OE –

Drain : Darah ± 15 cc

Assesment

28
Death Limb Extremitas Inferior e.c Peripheral Artery Disease + post amputasi below
knee H-1

Plannning

inf RL 1500cc/ 24 jam

Inj. Ceftriaxone 2x1 g

Inj. Antrain 3x1 g

Inj. Metronidazole 3x500 mg

Diet bebas TKTP

Post Operasi H-2 (02 November 2016)

• Subyektif

Nyeri pada luka post operasi

• Obyektif

KU : Lemah TD : 110/70 mmHg RR : 18 x/m

Kes : Allert N : 84 x/m Tax : 36,2 C

K/L : a/i/c/d = -/-/-/-

Tho : S1S2 Tunggal, e/g/m = -/-/-

Ves +/+, Wh -/-, Rh -/-

Abd : Flat, Bu +, Timpani, Sopel

Ekst : AH +, OE –

Assesment

Death Limb Extremitas Inferior e.c Peripheral Artery Disease + post amputasi below
knee H-2

Plannning

29
inf RL 1500cc/ 24 jam

Inj. Ceftriaxone 2x1 g

Inj. Antrain 3x1 g

Inj. Metronidazole 3x500 mg

Diet bebas TKTP

Aff Drain

Pro KRS + Kontrol Poli Bedum

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Crager MA and Joseph L. Vascular disease of the extrimities. In:

editors. Harrison’s principles of internal medicine, vol.2. 18th ed. New


York: McGraw-Hill Companies; 2012. p. 988-1003.

2. American College of Cardiology Foundation/American Heart Association


(ACCF/AHA). Pocket guideline: management of patient with peripheral
artery disease (lower extrimity, renal, mesenteric and abdominal aortic).
Am Coll Cardiol. 2011:58:2020-2045.

3. American Heart Association. Management of patients with perhiperal


artery disease. Dallas:. 2011.

4. Nugroho, J, & Mawarti, R. Save The Limb, Recignize Acute Limb


Ischemia. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler. RSU Dr.
Soetomo-Fakultas Kedokteran. Universitas Airlangga. 2016

5. European Heart Journal. ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of


peripheral artery diseases. Document covering atherosclerotic disease of
extracranial carotid and vertebral, mesenteric, renal, upper and lower
extremity arteries. 2011

6. National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral
arterial disease : diagnosis and management. UK: 2012.

7. TASC Working Group. TransAtlantic Inter-Society Concensus (TASC).


Management of peripheral arterial disease (PAD). J Vasc Surg. 31: 2000.

8. Colin Deane , Sergio Castellani , Boris Brkljačić, Ultrasound in Peripher


Arterial Disease. Vascular Laboratory, Department of Medical
Engineering and Physics, King’s College, London, UK.

9. American institute of Ultrasound Medicine. Peripheral Arterial Ultrasound


Examinations Using Color and Spectral Doppler Imaging. Parameter
developed in collaboration with the American College of Radiology

31
(ACR) and the Society of Radiologists in Ultrasound (SRU). 2014

32

Anda mungkin juga menyukai