Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

Peripheral Artery Disease (PAD)

A. DEFENISI

Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah gangguan vaskular yang disebabkan

oleh proses aterosklerosis atau tromboemboli, yang mengganggu struktur maupun

fungsi aorta dan cabang viseralnya serta arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah

(Bakal et al. American College of Cardiology Foundation/American Heart

Association, 2011). Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah aterosklerosis yang

menyebabkan penyempitan arteri terutama pada arteri distal dan aorta. Yang paling

umum adalah gejala Intermitten Claudication (Hennion and Siano, 2013).

PAD juga dikenal sebagai aterosklerosis, sirkulasi yang buruk, atau

pengerasan pembuluh darah. PAD berkembang dari waktu ke waktu pada tingkat

variabel dalam setiap individu tergantung pada daerah sirkulasi dan riwayat kesehatan

dan keluarga. Tanda-tanda dan gejala PAD mungkin tidak muncul sampai waktu yang

lama. Bagi banyak orang, indikasi terkena PAD tidak akan muncul sampai arteri

menyempit 60% atau bahkan lebih (Vienna et al, VA. Vascular Disease Foundation,

2012). Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah semua penyakit yang terjadi pada

pembuluh darah setelah keluar dari jantung dan aortailikia

Jadi penyakit arteri perifer meliputi ke empat ekstremitas, arteri karotis, arteri

renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah keluar dari aortoilikia

(Price and Wilson, 2005). Penyakit arteri perifer atau PAD dapat mengenai arteri

besar, sedang maupun kecil, antara lain thromboangitis obliterans penyakit Buerger’s,
fibromuskular displasia, oklusi arteri akut, penyakit Raynaud, arteritis Takayasu,

frostbite dan lain lain (Antono D dan Ismail D, 2006).

B. ETIOLOGI

PAD umumnya akibat aterosklerosis yaitu terbentuknya plak pada pembuluh

darah yang membentuk blok sehingga mempersempit dan melemahkan pembuluh

darah. Penyebab lain PAD antara lain :

1. Gumpalan atau bekuan darah yang dapat memblokir pembuluh darah

2. Diabetes dalam jangka panjang, gula darah yang tinggi dapat merusak

pembuluh darah. Penderita DM juga memiliki tekanan darah yang tinggi

dan lemak yang banyak dalam darah sehingga mempercapat

perkembangan aterosklerosis

3. Infeksi Arteri (arteritis)

4. Cidera, bisa terjadi akibat kecelakaan

5. Hiperlipidemia

6. Perokok

7. Hipertensi

8. Obesitas dan lain-lain.

C. KLASIFIKASI PAD

Klasifikasi PAD dibagi menjadi empat grade.

1. Grade I menunjukkan tidak adanya gejala

2. grade II ditemukan gejala klaudikasio intermiten

3. grade III di tunjukkan dengan gejala nyeri pada saat istirahat / malam hari
4. grade IV ditunjukkan dengan adanya ulkus / gangren (Scottish

Intercollegiate Guidelines Network, 2006).

Klasifikasi lain PAD yang dikutip dalam (Wilbert S, 2012) menurut

Rutherford PAD dibagi menjadi enam grade. Grade 0 tidak ditemukan gelaja,

grade 1 mengalami klaudikasio intermiten lemah, grade 2 mengalami

klaudikasio intermiten sedang, grade 3 mengalami klaudikasio intermiten

berat, grade 4 mengalami nyeri saat istirahat, grade 5 jika pasien mengalami

kehilangan jaringan kecil dan grade 6 jika sudah terdapat ulkus / gangren.

D. PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya aterosklerosis pada PAD sama seperti yang terjadi pada

arteri koronaria. Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri,

tempat yang turbulensinya meningkat dan kerusakan tunika intima. Aterosklerosis

pembuluh darah distal lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dan diabetes

mellitus. Aterosklerosis menyebabkan terbatasnya aliran darah arteri sehingga dapat

menimbulkan iskemia karena terdapat ketidakseimbangan antara suplai dengan

kebutuhan. Pada PAD, arteri yang terganggu tidak dapat berespon terhadap stimulus

untuk vasodilatasi. Selain itu, endotel yang mengalami disfungsi pada aterosklerosis

tidak dapat melepaskan substansi vasodilator seperti adenosin serta nitrit oksida dalam

jumlah yang normal. Jika aterosklerosis atau stenosis terjadi sedemikian parah hingga

menyebabkan tidak tercukupinya suplai darah atau oksigen bahkan pada saat istirahat,

akan terjadi kegawatan pada tungkai karena berpotensi besar terjadi nekrosis jaringan

dan ganggren. Iskemia yang terjadi secara intermiten lama kelamaan dapat

menyebabkan perubahan struktur dan fungsi otot seperti denervasi dan drop out.

Hilangnya serat-serat otot dapat menyebabkan penurunan kekuatan serta atropi otot.
Selain itu, serat-serat otot yang masih dapat digunakan sebenarnya juga sudah

mengalami abnormalitas metabolisme oksidatif pada mitokondria.

PAD dapat terjadi dari berbagai penyakit yang menyebabkan stenosis atau

oklusi pada arteri ekstremitas bawah. Aterosklerosis merupakan penyebab utama dari

PAD merupakan penyakit sistemik pada arteri dengan ukuran sedang sampai besar

dimana lipid dan material fibrin terkumpul di dalam lapisan intimal. Faktor risiko

aterosklerosis meliputi ras; jenis kelamin; bertambahnya usia; merokok; diabetes

mellitus; hipertensi; dislipidaemia; keadaan hiperkoagulitas dan hiperviskositas;

hiperhomosisteinemia; kondisi inflamasi sistemik (C-reactive protein yang tinggi) dan

insufisiensi ginjal kronis. Penyebab utama dari PAD adalah aterosklerosis, yaitu suatu

proses radang kompleks dan kronis yang secara perlahan menyumbat pembuluh arteri

yang bersifat elastis dan kuat. Faktor resiko utama pada aterosklerosis adalah penyakit

diabetes mellitus, kebiasaan merokok, penyakit hipertensi, obesitas, dan peningkatan

kadar lemak dalam darah. Faktor-faktor lain meliputi flebitis, operasi dan penyakit

autoimun (Black & Hawks, 2014). Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor resiko

utama terjadinya PAD, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Kehadiran diabetes mellitus sangat meningkatkan resiko serta mempercepat terjadinya

PAD (Thiruvoipati, Kielhorn, & Armstrong, 2015).


Pathway
E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang tampak :

1. Rasa nyeri pada kaki

2. Denyut nadi lemah

3. Perubahan suhu tubuh

4. Bulu kaki rontok

Gejala yang tidak tampak 90% hanya bisa diketahui dari ABI.

Gejala Non Spesifik

1. Kulit dingiN

2. kulit mengkilat

3. Kuku menebal

4. Kurangnya rambut atau bulu kaki

5. Nyeri di dada atau leher

6. Pingsan

7. Kebingungan

8. Sulit untuk melihat pada satu atau kedua mata

9. Kehilangan koordinasi

10. Sakit kepala mendadak

F. KOMPLIKASI

1. Iskemia berat dan nekrosis

2. Ulserasi kulit

3. Gangren yang dapat di ikuti oleh amputasi tungkai

4. Kerusakan pertumbuhan kuku dan rambut

5. Stroke atau serangan iskemia sepintas (TIA


6. Emboli perifer atau sistemik

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Ankle Brachial Indeks

Pemeriksaan ABI adalah uji noninvasif yang cukup akurat untuk mendeteksi

adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI merupakan

pengukuran non-invasif ABI didefinisikan sebagai rasio antara tekanan darah

sistolik pada kaki dengan tekanan darah sitolik padalengan.

2. Toe-Brachial Index (TBI)

TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada

pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi

pada pembuluh darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat

tertekan dengan menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30)

sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan

ABI. Nilai TBI yang ≥ 0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri.

3. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)

Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan

suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana

pulsasi yang mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam

bentuk gelombang. PVR juga dapat digunakan pada pasien PAD yang mengalami

kalsifikasi pada arteri bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada

pasien usia tua, pasien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien yang

menderita penyakit ginjal kronik.

4. Ultrasonografi dupleks/ Duplex ultrasonography

Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem

arteri perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras
yang nefrotoksik sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi

kebutuhan akan penggunaan angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas

diagnostik ini juga dapat digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum

dilakukan intervensi pada sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan

spesifisitas untuk mendeteksi dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar

antara 70% dan 90% (Favaretto et al, 2007) Dupleks ultrasonografi juga dapat

menggambarkan karakteristik dinding arteri sehingga dapat menentukan apakah

pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal bypass atau tidak. Selain itu,

alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu plak pada arteri

tersebut merupakan suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi pada bagian distal

pembuluh darah pada saat dilakukan intervensi endovascular.

5. Computed Tomographic Angiography (CTA), jika akan direncakan dilakukan

prosedur revaskularisasi. Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri

perifer telah berkembang seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau

64- slice)

6. Magnetic Resonance Angiography (MRA), jika akan direncakan dilakukan

prosedur revaskularisasi. MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki

resiko rendah terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki

rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of Evidence A)ini dapat memberikan

gambaran pembuluh darah yang hampir sama dengan gambaran pembuluh darah

pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al, 2006).

7. Contrast Angiography

Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan

direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien

PAD khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi.


8. Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen darah, fungsi

ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot.

9. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali

10. Hematokrit untuk melihat polisitemia

11. Analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine

12. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis.

13. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal.

14. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan penyempitan.

H. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Non-farmakologi

a. Perubahan pola hidup

1) Berhenti merokok

2) Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)

3) Menurunkan tekanan darah

4) Menurunkan kadar kolesterol dalam darah

5) Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes

6) Olahraga teratur

b. Terapi suportif

1) Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan

memberikan krim atau pelembab

2) Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dari bahan sintetis yang

berventilasi.

3) Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke kulit

4) Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40

menit
2. Penatalaksanaan Medis

a. Angioplasti dan bedah.

Dalam beberapa kasus, angioplasti atau pembedahan mungkin

diperlukan untuk mengobati penyakit arteri perifer yang menyebabkan

klaudikasio intermiten.

b. Angioplasti

Dalam prosedur ini, tabung hampa kecil (kateter) berulir dimasukkan

melalui pembuluh darah ke arteri yang terkena. Balon kecil di ujung kateter

mengembang untuk membuka kembali arteri dan meratakan penyumbatan ke

dinding arteri, sementara pada saat yang sama peregangan arteri terbuka untuk

meningkatkan aliran darah.

c. Operasi Bypass.

Graft bypass menggunakan pembuluh darah dari bagian lain dari tubuh

atau pembuluh darah sintetis. Teknik ini memungkinkan darah mengalir di

sekitar - atau memotong - arteri yang tersumbat atau menyempit.

d. Terapi trombolitik

Jika ada bekuan darah yang memblokir arteri, dokter akan

menyuntikkan obat untuk melarutkan gumpalan dalam arteri pada titik dari

bekuan itu.

I. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Tanda dan gejala kinis akibat proses arterosklerosis tergantung pada organ

atau jaringan yang terkena. Adanya penyakit arteri oklusif, lokasi dan beratnya

ditegakkan dengan riwayat gejala pada pasien dan dengan pemeriksaan fisik

terutama warna dan suhu ekstremitas dan denyut nadi. kuku mungkin menebal dan
keruh, kulit mengkilat, atropi dan kering dengan pertumbuhan rambut yang

jarang.

1) Identitas Kien

Meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama,

alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian

diambil) dan identitas penanggung jawab (nama, umur, pendidikan, agama,

suku, hubungan dengan klien, pekerjaan, alamat).

2) Keluhan Utama

3) Riwayat Kesehatan Sekarang

4) Riwayat Kesehatan Dahulu

Adapun riwayat kesehatan dahulu yaitunya memiliki riwayat hipertensi,

riwayat DM, memiliki penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,

riwayat kotrasepsi oral yang lama, riwayat penggunan obat-obat anti

koagulasi, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan.

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya riwayat keluarga dengan hipertensi, adanya riwayat DM, dan

adanya riwayat anggota keluarga yang menderita stroke.

6) Riwayat Psikososial

Adanya keadaan dimana pada kondisi ini memerlukan biaya untuk

pengobatan secara komprehensif, sehingga memerlukan biaya untuk

pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan yang sangat mahal dapat

mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.

7) Pemeriksaan Fisik

a. Tingkat Kesadaran

Gonce (2002) tingkat kesadaran merupakan parameter utama yang


sangat penting. Perludi kaji secara teliti dan secara komprehensif untuk

mengetahui tingkat kesadaran dari klien. Macam-macam tingkat

kesadaran terbagi atas: Metoda Tingkat Responsivitas

1) Composmentis : kondisi sesorang yang sadar sepenuhnya, baik

terhadap dirinya maupun terhadap dirinya maupun terhap

lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang dinyatakan

pemeriksa dengan baik

2) Apatis : yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak

acuh terhadap lingkungannya

3) Derilium : yaitu kondisi sesorang yang mengalami kekacauan

gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh

gelisah, kacau, disorientasi srta meronta-ronta

4) Somnolen : yaitu kondisi sesorang yang mengantuk namun masih

dapat sadar bila diransang, tetapi bila rangsang berhenti akan

tertidur kembali

5) Sopor : yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam,

namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,

misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan

tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.

6) Semi-Coma : yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan

respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali,

respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks

kornea dan pupil masih baik.

7) Coma : yaitu penurunan kesadaran yang salangat dalam,

memberikan respons terhadap pernyataan, tidak ada gerakan, dan


tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor yang

didapat dari penilaian GCS klien :

i. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14

ii. Nilai GCS Apatis : 13 – 12

iii. Nilai GCS Derilium : 11 – 10

iv. Nilai GCS Somnolen :9–7

v. Nilai GCS Semi Coma 4

vi. Nilai GCS Coma 3

b. Gerakan, Kekuatan dan Koordinasi

Pemeriksaan kekuatan otot dapt dilakukan oleh perawat dengan

menilai ektremitas dengan memberika tahanan bagi otot dan juga

perawat bisa menggunakan gaya gravitasi.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri kronis b/d gangguan fungsi metabolic

2. Perfusi perifer tidak efektif b/d penurunan aliran arteri

3. Gangguan integritas kulit b/d perubahan sirkulasi

4. Intoleransi aktivitas b/d klaudikasi (imobiltas)


A. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI


1. Nyeri kronis b/d gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Manajemen nyeri
fungsi metabolic 3x24 jam diharapkan tingkat nyeri Observasi :
menurun a. Identifikasi skala nyeri
b. Identifikasi faktor penyebab nyeri
c. Monitor TTV
Terapeutik
a. Terapi non farmakologi
b. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
a. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
b. Jelaskan penyebab nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi dalam pemberian analgetik jika perlu

2. Perfusi perifer tidak efektif b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Perawatan sirkulasi
penurunan aliran arteri 3x24 jam diharapkan perfusi perifer Observasi
meningkat a. Pantau ttv
b. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
c. Minitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstermitas
Terapeutik
a. Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
b. Hindari pengukuran TD pada ekstermitas keterbatasan perfusi
c. Lakukan pencegahan infeksi
d. Lakukan perawatan kaki dan kuku
e. Lakukan hidrasi
Edukasi
a. Anjurkan berhenti merokok
b. Anjurkan minum obat pengontrol TD
c. Anjurkan melakukan perawatan kulit yang benar

3. Gangguan integritas kulit b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Perawatan integritas kulit
perubahan sirkulasi 3x24 jam diharapkan integritas kulit dan Observasi
jaringan meningkat a. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Terapeutik
a. Ubah posisi setiap 2 jam jika tirah baring
b. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang jika perlu
c. Bersihkan perineal dengan air hangat
d. Gunakan baby oil
e. Hindari produk ber alkohol
Edukasi
a. Anjurkan menggunakan pelembab
b. Anjurkan minumm air yang cukup
c. Anjurkan asupan buah dan sayur

4. Intoleransi aktivitas b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Manajemen energi


klaudikasi (imobilitas) 3x24 jam diharapkan toleransi aktivitas Observasi
meningkat a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh penyebab kelemahan
b. Monitor pola tidur dan istirahat
Terapeutik
a. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus
b. Lakukan rentang gerak pasif atau aktif
Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktivitas bertahap
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Jakarta:


EGC Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta:
EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:
Prima Medika
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai