Anda di halaman 1dari 23

BAB I

KONSEP PENYAKIT

Peripheral Arterial Disease (PAD)

A. Definisi
Peripheral Artery Disease (PAD) adalah suatu penyakit dimana
terganggunya atau tersumbatnya aliran darah dari atau ke jaringan organ.
Sumbatan itu disebabkan oleh plak yang terbentuk di arteri yang membawa
darah ke seluruh anggota tubuh. Plak ini terdiri atas lemak, kalsium, jaringan
fibrosa dan zat lain di dalam darah (Prasetyo, 2003).
Menurut Fran (2004), Peripheral Artery Disease (PAD) adalah semua
penyakit yang menyangkut sindrome arterial non koroner yang disebabkan
oleh kelainan struktur dan fungsi arterial yang mengaliri otak, organ viseral
dan keempat ekstremitas.

B. Etiologi
PAD umumnya akibat aterosklerosis yaitu terbentuknya plak pada
pembuluh darah yang membentuk blok sehingga mempersempit dan
melemahkan pembuluh darah.
Penyebab lain PAD antara lain :
1. Gumpalan atau bekuan darah yang dapat memblokir pembuluh darah,
2. Diabetes dalam jangka panjang, gula darah yang tinggi dapat merusak
pembuluh darah. Penderita DM juga memiliki tekanan darah yang tinggi
dan lemak yang banyak dalam darah sehingga mempercapat
perkembangan aterosklerosis,
3. Infeksi Arteri (arteritis),
4. Cidera, bisa terjadi akibat kecelakaan,
5. Hiperlipidemia,
6. Perokok,
7. Hipertensi,
8. Obesitas dan lain-lain.
C. Klasifikasi/Tingkatan Penyakit

Fontaine
Rutherford classification
classification
Stage Symptoms Grade Category Symptoms
I Asymptomatic 0 0 Asymptomatic
Intermittent I 1 Mild
II claudication claudication
I 2 Moderate
claudication
I 3 Severe
claudication
III Ischaemic rest II 4 Ischaemic rest
pain pain
Ulceration or III 5 Minor tissue
IV gangrene loss
III 6 Mayor tissue
loss

D. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya aterosklerosis pada PAD sama seperti yang terjadi
pada arteri koronaria. Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada
percabangan arteri, tempat yang turbulensinya meningkat dan kerusakan
tunika intima. Aterosklerosis pembuluh darah distal lebih sering terjadi pada
pasien usia lanjut dan diabetes mellitus. Aterosklerosis menyebabkan
terbatasnya aliran darah arteri sehingga dapat menimbulkan iskemia karena
terdapat ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan.
Pada PAD, arteri yang terganggu tidak dapat berespon terhadap stimulus
untuk vasodilatasi. Selain itu, endotel yang mengalami disfungsi pada
aterosklerosis tidak dapat melepaskan substansi vasodilator seperti adenosin
serta nitrit oksida dalam jumlah yang normal. Jika aterosklerosis atau stenosis
terjadi sedemikian parah hingga menyebabkan tidak tercukupinya suplai
darah atau oksigen bahkan pada saat istirahat, akan terjadi kegawatan pada
tungkai karena berpotensi besar terjadi nekrosis jaringan dan ganggren.
Iskemia yang terjadi secara intermiten lama kelamaan dapat menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi otot seperti denervasi dan drop out. Hilangnya
serat-serat otot dapat menyebabkan penurunan kekuatan serta atropi otot.
Selain itu, serat-serat otot yang masih dapat digunakan sebenarnya juga sudah
mengalami abnormalitas metabolisme oksidatif pada mitokondria.

E. Manifestasi Klinis
1. Gejala yang tampak :
a. Rasa nyeri pada kaki
b. Denyut nadi lemah
c. Perubahan suhu tubuh.
d. Bulu kaki rontok
2. Gejala yang tidak tampak
90% hanya bisa diketahui dari ABI.
3. Gejala Non Spesifik
a. Kulit dingin, kulit mengkilat
b. Kuku menebal
c. Kurangnya rambut atau bulu kaki
d. Nyeri di dada atau leher
e. Pingsan
f. Kebingungan, sulit untuk melihat pada satu atau kedua mata
g. Kehilangan koordinasi
h. Sakit kepala mendadak

F. Komplikasi
1. Iskemia berat dan nekrosis
2. Ulserasi kulit
3. Gangren yang dapat di ikuti oleh amputasi tungkai
4. Kerusakan pertumbuhan kuku dan rambut
5. Stroke atau serangan iskemia sepintas (TIA)
6. Emboli perifer atau sistemik

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lanjutan yang diperlukan pada kecurigaan adanya PAD
adalah pengukuran anklebrachial index (ABI) yang merupakan rasio tekanan
sistolik pada ankle (kaki) serta brachial (lengan). ABI dianggap normal
apabila ≥1.0 sedangkan indeks kurang dari 0.9 dapat membantu menegakan
diagnosis PAD. Pada kondisi tersebut pasien seringkali sudah mengeluhkan
klaudikasio. Sementara itu, jika indeks sudah mencapai <0.5, pasien biasanya
sudah mengalami klaudikasio pada saat istirahat.
Beberapa tes lain yang dapat digunakan untuk menilai perfusi perifer
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Ankle Brachial Indeks
Pemeriksaan ABI adalah uji noninvasif yang cukup akurat untuk
mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI
merupakan pengukuran non-invasif ABI didefinisikan sebagai rasio
antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan darah sitolik
padalengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan
sebagai berikut:

2. Toe-Brachial Index (TBI)


TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan
pada pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang
mengalami kalsifikasi pada pembuluh darah ekstremitas bawah yang
menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan teknik
tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih
terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥
0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri.
3. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)
Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography
merupakan suatu tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas
bawah dimana pulsasi yang mewakili aliran darah pada arteri
diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk gelombang. PVR juga dapat
digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada arteri
bagian medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua,
pasien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien yang menderita
penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan PAD berat, PVR juga dapat
memprediksi apakah kaki yang terkena PAD ini memiliki cukup aliran
darah atau tidak untuk bertahan atau jika akan dilakukan amputasi pada
kaki tersebut. Interpretasi dari tes ini dapat menyediakan informasi
mengenai derajat obstruksi PAD secara spesifik. Pada arteri yang masih
sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi dengan puncak yang tajam
yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar. Namun jika
arteri tersebut mengalami penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat
gelombang yang pendek dan memiliki puncak yang kecil dan datar.
Tingkat keakuratan pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD
berkisar antara 90-95%.
4. Ultrasonografi dupleks/ Duplex ultrasonography
Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam
menilai sistem arteri perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak
memerlukan bahan kontras yang nefrotoksik sehingga alat skrining ini
digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan penggunaan angiografi
dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini juga dapat
digunakan sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi
pada sekitar 90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas
untuk mendeteksi dan menentukan derajat stenosis pada PAD berkisar
antara 70% dan 90% (Favaretto et al, 2007) Dupleks ultrasonografi juga
dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri sehingga dapat
menentukan apakah pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal
bypass atau tidak. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu
resiko tinggi terjadinya embolisasi pada bagian distal pembuluh darah
pada saat dilakukan intervensi endovascular.
5. Computed Tomographic Angiography (CTA), jika akan direncakan
dilakukan prosedur revaskularisasi.
Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah
berkembang seiring perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-
slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis
50% atau oklusi adalah sekitar 95-99%. Seperti halnya ultrasonografi
dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding arteri dan jaringan
sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,
karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak,
hiperplasia tunika intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap
memiliki keterbatasan dalam hal penggunaannya pada pasien dengan
insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani dialysis.
6. Magnetic Resonance Angiography (MRA), jika akan direncakan
dilakukan prosedur revaskularisasi.
MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko
rendah terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki
rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of Evidence A)ini dapat
memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama dengan
gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al,
2006). Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media
kontras yang digunakan (gadolinium-based contrast) tidak terlalu
nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada CTA
maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk
mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi kontras
adalah sekitar 80-90%.
7. Contrast Angiography
Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup
aman dan merupakan teknologi yang cukup menjanjikan namun
pemeriksaan yang masih merupakan standar baku emas untuk
mendiagnosis PAD adalah angiografi kontras.Pemeriksaan ini
menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan
direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk
pasien PAD khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi.
Seperti halnya pemeriksaan yang menggunakan media kontras, prosedur
angiografi kontras juga memerlukan perhatian khusus mengenai resiko
terjadinya nefropati kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya
mendapatkan hidrasi yang cukup sebelum tindakan. Pemberian n-
acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat dilakukan
sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien
diabetes yang menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita
asidosis laktat setelah angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari
sebelum tindakan dan 2 hari setelah tindakan untuk menurunkan resiko
asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral sebaiknya dihentikan
penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi klinis
termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal
direkomendasikan untuk dilakukan dua minggu setelah prosedur
angiografi untuk mendeteksi adanya efek samping lanjut seperti
perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah akses kateter
pembuluh darah.
8. Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen
darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot.
9. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali,
10. Hematokrit untuk melihat polisitemia,
11. Analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin
di urine.
12. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis.
13. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta abdominal.
14. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan
penyempitan.
H. Pentalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
a. Perubahan pola hidup
1) Berhenti merokok
2) Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan
olahraga)
3) Menurunkan tekanan darah
4) Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
5) Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes
6) Olahraga teratur
b. Terapi suportif
1) Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan
memberikan krim atau pelembab
2) Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dari bahan
sintetis yang berventilasi.
3) Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran
darah ke kulit
4) Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama
30-40 menit
2. Penatalaksanaan Medis
a. Angioplasti dan bedah.
Dalam beberapa kasus, angioplasti atau pembedahan mungkin
diperlukan untuk mengobati penyakit arteri perifer yang
menyebabkan klaudikasio intermiten.
b. Angioplasti.
Dalam prosedur ini, tabung hampa kecil (kateter) berulir
dimasukkan melalui pembuluh darah ke arteri yang terkena. Balon
kecil di ujung kateter mengembang untuk membuka kembali arteri
dan meratakan penyumbatan ke dinding arteri, sementara pada saat
yang sama peregangan arteri terbuka untuk meningkatkan aliran
darah.
c. Operasi Bypass.
Graft bypass menggunakan pembuluh darah dari bagian lain dari
tubuh atau pembuluh darah sintetis. Teknik ini memungkinkan darah
mengalir di sekitar - atau memotong - arteri yang tersumbat atau
menyempit.
d. Terapi trombolitik.
Jika ada bekuan darah yang memblokir arteri, dokter akan
menyuntikkan obat untuk melarutkan gumpalan dalam arteri pada
titik dari bekuan itu.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Peripheral Arterial Disease (PAD)

A. Pengkajian
1. Data Biografi
Nama : Ny. S
Umur : 68 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Urip Sumoharjo / 085255051039
Tgl MRS : 24 Oktober 2013
Ruangan : CVCU bed 5
No. Rekam Medik : 532314
2. Keluhan Utama
Keluhan Utama : Nyeri pada kaki kanan dan kiri
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Anamnesis Terpimpin :
Di alami sejak 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit, Pasien
mengeluh sulit menggerakkan kakinya. Awalnya pasien mengeluh nyeri
ketika berjalan, nyeri dirasakan seperti tertusuk- tusuk pada bagian
bawah lututnya yang menjalar hingga ke ujung kaki. Nyeri dirasakan
secara terus menerus walaupun sedang beristirahat.

4. Riwayat Kesehatan yang Lalu


a. Riwayat Atrial Fibrilasi (+) 1 bulan yang lalu , berobat teratur ke
poliklinik RS dan diberi obat digoxin 0,25 mg, simorc 2 mg,
furosemid 40 mg, disolf ,
b. Riwayat dirawat di RSWS dengan penurunan kesadaran e.c NHS e.c
infark cerebri sinistra 1 minggu yang lalu dan diberi obat lancon
250mg, lanabax , clopidogrel 70mg dan diminum secara teratur.
c. Riwayat Diabetes Melitus (+) yang baru diketahui 1 minggu yang
lalu saat pasien dirawat di RS.
d. Riwayat Hipertensi (+)
e. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya tidak ada.
f. Riwayat merokok (-) minum berakohol (-) minum jamu- jamuan (-).

5. Keadaan Umum
Pasien tampak berbaring di ranjang CVCU RS. Wahidin
Sudirohusodo dengan penurunan kesadaran, keadaan (somnolen), sakit
sedang, keadaan gizi cukup (Status Presens : Sakit Sedang/Gizi
Cukup/uncompos Mentis)

6. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Heart Rate : 120x / menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu ( axilla) : 36,5 º C

7. Pemeriksaan Fisis
a. Kepala dan Leher :
Mata : Anemis (-), Ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : DVS R+2 cmH20, deviasi trachea (-)
b. Thorax :
Inspeksi : Simetris kiri = kanan
Palpasi : Massa tumor(-), nyeri tekan (-), vocal fremitus kiri=kanan
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Batas paru-hepar ICS IV anterior kanan
Auskultasi : BP : Vesikuler
BT : Ronki - /-, Wheezing -/-
c. Jantung
Inspeksi : Apex Cordis tidak tampak
Palpasi : Apex Cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kanan linea parasternal kanan,
batas jantung kiri 1 jari ke lateral dari linea
midclavicularis kiri ICS V
Auskultasi : BJ I/II murni regular, bising (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-), Hepar dan Lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+), Ascites (-)
e. Ekstremitas
Ekstremitas superior kanan dan kiri :
Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, jejas (-), udem (-)
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada
Ekstremitas Inferior kanan dan kiri :
Inspeksi : Edema (+) bulla (+)
Palpasi : teraba dingin pada regio cruris, dorsum pedis, dan plantar
pedis. Pulsasi arteri poplitea (-), pulsasi arteri dorsalis pedis (-)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Interpretasi EKG
Irama dasar : asinus
P wave : tidak ditemukan
Heart rate : 170 x/menit, irreguler
PR interval : tidak ditemukan
Axis : Right Axis Deviation (+120)
QRS complex : 0,06 sec
Kesimpulan : irama asinus, HR 170 x/menit, Right axis
Deviation, Atrial Fibrilasi

b. Pemeriksaan Laboratorium ( 24/10/2013)


HEMATOLOGI HASIL NILAI UNIT

RUJUKAN

WBC 15,5 4,00-10,0 (10³/UI)

RBC 5,46 4,00-6,00 (106/UI)

HGB 12,9 12,0-16,0 (gr/dL)

HCT 48,9% 37,0-48,0 (%)

PLT 353 150-400 (103/uL)

Ureum 18 10-50 Mg/Dl

Kreatinin 0,8 <1,3 Mg/dL

GDS 216 140 Mg/dL

Natrium 140 136-145 Mmol/L

Kalium 4,10 3,5-5,1 Mmol/L

Klorida 106 97-111 Mmol/L

SGOT 64 <41 u/L

SGPT 51 <38 u/L


CK 85 L<190,P<167 U/L

CK-MB 15 <25 U/L

Troponin T <0,1 <0,05 ----

PT 13,2 c 11,2 10-14 detik

APTT 23,9 c 27,2 22,0-30,0 detik

Albumin 2,7 3,5-5,0 gr/dL

c. Pemeriksaan Radiologi Foto Thorax PA (24 Oktober 2013)

Kesan : Kardiomegaly dengan dilatation et elangatio aortae.


d. Pemeriksaan Arteriography ( 2 November 2013)

Kesan :

- pada daerah arteri iliaka eksterna tidak tampak kontras mengisi

arteri iliaka eksterna.

- tampak thrombus setinggi arteri iliaka eksterna hingga ke arteri

poplitea

9. Data subjektif

1) Jalan pincang setelah melakukan gerakan badan, terutama jalan.


2) Rasa nyeri atau kram pada betis, punggung bawah, paha, kaki,
yang dapat timbul ketika berjalan dan hilangnya rasa nyeri
ketika istirahat.
3) Iskemia pada ekstremitas.
4) Adanya rasa nyeri sekalipun ketika istirahat.
5) Rasa kebas pada betis atau kaki.
10. Data objektif
1) Nadi pada kedua ekstremitas bawah teraba pada kedua tungkai.
2) Pengisian kapiler lama (3 detik) atau tidak ada pengisian kapiler.
3) Warna kulit pucat, sianosis.
4) Temperatur kulit dingin.
5) Adanya gangren pada jari-jari kaki, tumit kaki.

B. Diagnosis Keperawatan
1) Nyeri kronis berhubungan dengan iskemia otot.
2) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah arteri.
3) Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
sirkulasi.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan klaudikasi.

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan
1. Nyeri berhubungan Tujuan : Intervensi :
dengan iskemia Nyeri berkurang - Observasi
jaringan sekunder setelah dilakukan karakteristik,
terhadap sumbatan tindakan perawatan lokasi, waktu,
arteri ditandai selama di RS. dan perjalanan
dengan : Kriteria Hasil: nyeri dada.
- nyeri dada dengan - Nyeri dada - Anjurkan pada
/ tanpa penyebaran berkurang misalnya klien
- wajah meringis dari skala 3 ke 2, menghentikan
- gelisah atau dari 2 ke 1 aktifitas selama
- delirium - ekpresi wajah ada serangan dan
- perubahan nadi, rileks / tenang, tak istirahat.
tekanan darah. tegang - Bantu klien
- tidak gelisah melakukan tehnik
- nadi 60-100 x relaksasi,
menit, misalnya nafas
- TD 120/ 80 mmHg dalam, perilaku
distraksi,
visualisasi, atau
bimbingan
imajinasi.
- Pertahankan
oksigenasi
dengan bikanul
contohnya ( 2-4
L/ menit)
- Monitor tanda-
tanda vital (nadi
& tekanan darah)
tiap dua jam.
- Kolaborasi
dengan tim
kesehatan dalam
pemberian
analgetik.
2. Gangguan perfusi Tujuan : Intervensi :
jaringan Gangguan perfusi - Monitor
berhubungan dengan jaringan Frekuensi dan
iskemik, berkurang/tidak irama jantung
penyempitan/ meluas selama - Observasi
penyumbatan dilakukan tindakan perubahan status
pembuluh darah perawatan di RS. mental
arteri ditandai Kriteria Hasil: - Observasi warna
dengan : - Daerah perifer dan suhu kulit /
- Daerah perifer hangat membran mukosa
dingin - Tidak sianosis - Ukur haluaran
- RR lebih dari 24 - Gambaran EKG urin dan catat
x/menit tak menunjukan berat jenisnya
- Kapiler refill perluasan infark - Kolaborasi
lebih dari 3 detik - RR 16-24 x/ menit berikan cairan IV
- Nyeri dada - Tidak terdapat sesuai indikasi
- Gambaran foto clubbing finger - Pantau
torak terdapat - Kapiler refill 3-5 pemeriksaan
pembesaran detik diagnostik / dan
jantung & - Nadi 60-100x / laboratorium
kongestif paru menit misal EKG,
( tidak selalu ) - TD 120/80 mmHg elektrolit, GDA
- HR lebih dari 100 (PaO2, PaCO2 dan
x/menit, TD > saturasi O2 ) dan
120/80 AGD pemberian
dengan : pa O2 < oksigen.
80 mmHg, pa
CO2 > 45 mmHg
dan Saturasi < 80
mmHg
- Nadi lebih dari
100 x/menit
- Peningkatan
enzim jantung
yaitu CK, AST,
LDL/HDL
3. Risiko gangguan Tujuan : Intervensi :
- Anjurkan pasien
integritas kulit b.d. Gangguan integritas
untuk
perubahan sirkulasi kulit tidak terjadi.
menggunakan
ditandai dengan : Kriteria Hasil :
pakaian yang
Eksternal: - Integritas kulit
longgar.
- Hipertermia atau yang baik bisa
- Hindari kerutan
hipotermia dipertahankan
- Perubahan status - Melaporkan padaa tempat
metabolik adanya gangguan tidur.
- Tulang menonjol sensasi atau nyeri - Jaga kebersihan
- Defisit imunologi pada daerah kulit kulit agar tetap
- Perubahan status yang mengalami bersih dan
nutrisi gangguan. kering.
- - Perubahan turgor - Menunjukkan - Mobilisasi pasien
(elastisitas kulit) pemahaman dalam (ubah posisi
- proses perbaikan pasien) setiap
kulit dan dua jam sekali.
mencegah - Monitor kulit
terjadinya sedera akan adanya
berulang. kemerahan.
- Mampu - Oleskan lotion
melindungi kulit atau
dan minyak/baby oil
mempertahankan pada derah yang
kelembaban kulit tertekan.
dan perawatan - Monitor aktivitas
alami. dan mobilisasi
- Status nutrisi pasien.
adekuat. - Monitor status
- Sensasi dan warna nutrisi pasien.
kulit normal - Memandikan
pasien dengan
sabun dan air
hangat
- Gunakan
pengkajian risiko
untuk memonitor
faktor risiko
pasien (Braden
Scale, Skala
Norton).
- Inspeksi kulit
terutama pada
tulang-tulang
yang menonjol
dan titik-titik
tekanan ketika
merubah posisi
pasien.
- Jaga kebersihan
selimut.
- Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk pemberian
tinggi protein,
mineral dan
vitamin.
- Monitor serum
albumin dan
transferin.
4. Intoleransi aktivitas Tujuan : Intervensi :
berhubungan dengan Terjadi peningkatan - Catat frekuensi
ketidakseimbangan toleransi pada klien jantung, irama,
antara suplai oksigen setelah dilaksanakan dan perubahan
dengan kebutuhan, tindakan keperawatan TD selama dan
adanya selama di RS sesudah aktivitas
iskemik/nekrosis Kriteria Hasil : - Tingkatkan
jaringan miokard - Klien berpartisipasi istirahat (di
ditandai dengan : dalam aktifitas tempat tidur)
- Gangguan sesuai kemampuan - Batasi aktivitas
frekuensi jantung, klien pada dasar nyeri
tekanan darah dalam - Frekuensi jantung dan berikan
aktivitas 60-100 x/menit aktivitas sensori
- Terjadinya - TD 120-80 mmHg yang tidak berat.
disritmia - Jelaskan pola
- Kelemahan umum peningkatan
bertahap dari
tingkat aktivitas,
contoh bangun
dari kursi bila
tidak ada nyeri,
ambulasi dan
istirahat selam 1
jam setelah
makan.
- Kaji ulang tanda
gangguan yang
menunjukan tidak
toleran terhadap
aktiVitas atau
memerlukan
pelaporan pada
dokter.

D. Evaluasi
1. Nyeri Berkurang.
2. Mengidentifikasi / melakukan pola hidup yang benar dan perubahan
perilaku untuk meningkatkan sirkulasi.
3. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktunya / penyembuhan lesi
terjadi.
4. Dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, Yuli Reni. 2015. BUKU AJAR: Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskuler Aplikasi NIC Dan NOC. Jakarta: EGC

Fran, H.M. 2004. Handbook of Emergency Cardiovascular Care for Healthcare


Providers. United States of America: AHA.
Prasetyo, J.B. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University.
Levefer, J. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan
Implikasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Wilkinson, Judith. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA,
Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC Ed. 9. Jakarta : EGC

Anonymous. 2014. Peripheral artery disease. Diakses dari


https://www.scribd.com/doc/200363569/Peripheral-artery-disease. Pada 19
September 2018 Pukul 16.25

Atmajaya, Feri. 2017. Laporan Pendahuluan PAD. Diakses dari


https://id.scribd.com/document/349090308/Laporan-Pendahuluan-PAD .
Pada 19 September 2018 Pukul 16.31

Awkila_12. 2014. PENYAKIT ARTERI PERIFER BUERGER SYNDROME.


Diakses dari https://id.scribd.com/document/224129307/Penyakit-Arteri-
Perifer-Buerger-Syndrome. Pada 30 September 2018 Pukul 20.35

Anda mungkin juga menyukai