Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN
DEEP VAIN THROMBOSIS (DVT)
Dosen Pembimbing: Noor Diani, Ners, M.Kep.,Sp.Kep.MB

Disusun oleh:
NOOR FITRI ARIYANI NIM. 1610913420003
HARTANTI WISNU WARDANI NIM. 1610913420005
RIZKA KHAIRUNISA NIM I1b115615

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan
Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah “Asuhan
Keperawatan Deep Vain Thrombosis”.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada Noor Diani,Ners, M.Kep.,Sp.Kep.MB selaku pengajar mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang telah memberi bimbingan hingga selesai
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat sederhana dan banyak
kekurangan karena keterbatasan pengetahuan penulis. Karena itu penulis mohon
saran, bimbingan dan kritik yang sifatnya menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya besar harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan
Rahmat dan Petunjuk-Nya kepada kita sekalian.

Banjarbaru, Maret 2017


Penulis

ii
Daftar Isi

Cover
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan ........................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Konsep Dasar Medik ...................................................................... 2
B. Konsep Asuhan Kepeawatan ......................................................... 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .................................................................................... 20
B. Saran .............................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Tujuan
1. Mengetahui konsep dasar medic Deep Vain Thrombosis
2. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan Deep Vain Thrombosis

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medik


1. Definisi
Deep Vein Thrombosis (DVT) dan Pulmonary Emboli (PE) adalah
manifestasi dari satu penyakit entitas, yaitu, Tromboemboli Vena (TEV).
DVT adalah adanya suatu keadaan darah yang mengental yang disebut
sebagai trombus, di salah satu saluran dalam vena yang berfungsi agar
darah kembali ke jantung. Pada penderita DVT, gejala utama yang terjadi
adalah nyeri dan pembengkakan. Namun gejala-gejala tersebut sering tidak
muncul. Jika tidak diobati, trombus akan terpecah-pecah atau lepas dan
bermigrasi sehingga menghalangi pasokanarteri ke paru-paru,
menyebabkan berpotensi Pulmonary Emboli yang mengancam kehidupan
(Patel, 2014).

2. Epidemiologi
DVT dan tromboemboli tetap menjadi morbiditas dan mortalitas
yang umum pada pasien rawat-inap atau terbaring di tempat tidur, serta
individu yang umumnya sehat. Insiden yang tepat dari DVT tidak diketahui
karena kebanyakan studi dibatasi oleh ketidaktepatan diagnosis klinis.
Data insiden DVT menunjukkan bahwa sekitar 80 kasus per 100.000
penduduk terjadi setiap tahun. Kira-kira 1 dari 20 orang mengalami DVT
dalam hidupnya. Rawat-inap sekitar 600.000 per tahun terjadi DVT di
Amerika Serikat (Patel, 2014). Di Australia, sekitar 30.000 orang di rawat
inap akibat TEV dan menyebabkan sekitar 5000 pasien meninggal setiap
tahunnya (Moheimani, 2011).
Insiden TEV rendah pada anak-anak. Insiden tahunan 0,07 sampai
0,14 per 10.000 anak dan 5.3 per 10.000 penerimaan rumah sakit telah
dilaporkan dalam studi Kaukasia. Insiden rendah ini mungkin disebabkan
penurunan kemampuan untuk menghasilkan trombin, kemampuan yang

2
meningkat dari alfa-2- makroglobulin untuk menghambat trombin, dan
meningkatkan potensi antithrombin dinding pembuluh (Keseima, 2011).

3. Etiologi

4. Patofisiologi
Menurut Bakta (2007) Lebih dari 100 tahun yang lalu Rudolph
Virchow pada tahun 1854 mengemukakan trias Virchow, yang prisipnya
sampai sekarang masih dianggap valid. Berdasarkan teori trias Virchow,
trombosis timbul karena tiga hal:
a. Kerusakan endotel pembuluh darah (vascular injury)
Cedera mungkin jelas, seperti trauma, pembedahan, atau cedera
iatrogenik, tetapi mereka juga mungkin mengaburkan, seperti
orang-orang karena asimptomatik atau trauma kecil. Riwayat DVT
sebelumnya merupakan faktor risiko besar untuk DVT lebih lanjut.
Peningkatan kejadian DVT pada infeksi akut saluran kemih atau
pernapasan mungkin karena peradangan yang menyebabkan
perubahan dalam fungsi endotel (Patel, 2014).
Penurunan kontraktilitas dinding pembuluh darah vena dan
hilangnya fungsi katup vena berkontribusi terhadap insufisiensi
vena yang kronis. Peningkatan tekanan vena ambulatori
menyebabkan berbagai gejala klinis pada penderita DVT seperti
edema ekstremitas bawah dan ulserasi vena (Patel, 2014).
b. Statis aliran darah vena
Aliran darah vena yang statis dapat terjadi sebagai akibat dari
sesuatu yang memperlambat atau menghambat aliran darah vena.
Hal ini mengakibatkan peningkatan viskositas dan pembentukan
microthrombi, yang tidak dihapuskan oleh gerakan fluida. Trombus
yang terbentuk kemudian dapat tumbuh dan menyebar. Aliran
darah yang statis ini dapat muncul sebagai akibat dari trauma yang
tidak disengaja dan juga dapat dipicu oleh pembedahan.
Hiperkoagulasi dapat terjadi karena ketidakseimbangan biokimia

3
antara faktor-faktor yang bersirkulasi. Hal ini terjadi sebagai hasil
dari peningkatan faktor aktivasi jaringan yang beredar di sirkulasi
sekaligus dengan penurunan antithrombin dan fibrinolisin (Patel,
2014).
c. Aktivasi koagulasi
Untuk sebagian besar, mekanisme koagulasi terdiri dari
serangkaian langkah-langkah yang mengatur diri sendiri yang
menghasilkan produksi fibrin untuk penggumpalan darah.
Langkah-langkah ini dikendalikan oleh sejumlah kofaktor relatif
tidak aktif atau zymogens, yang ketika diaktifkan akan
mempromosikan atau mempercepat proses pembekuan. Reaksi ini
biasanya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit, sel-sel
endotel atau makrofag. Umumnya, inisiasi dari proses koagulasi
dapat dibagi menjadi 2 jalur yang berbeda, yaitu jalur intrinsik dan
ekstrinsik (Patel, 2014).
Setelah gumpalan fibrin telah terbentuk dan telah melakukan fungsi
hemostasis, fibrinolisin (plasmin) memulihkan aliran darah dengan
cara melisiskan deposit fibrin. Plasmin akan mencerna fibrin dan
juga menginaktivasi faktor pembekuan V dan VIII dan fibrinogen
(Patel, 2014).
Trombus paling sering terbentuk di betis. Biasanya terbentuk di
belakang katup vena atau pada cabang vena poin. Venodilasi akan
mengganggu barier sel endotel dan mengekspos subendothelium.
Platelet melekat pada permukaan subendothelial dengan faktor von
Willebrand atau fibrinogen di dinding pembuluh. Neutrofil dan
platelet yang diaktivasi akan melepaskan prokoagulant dan
mediator inflamasi. Neutrofil juga melekat pada dasar membran
dan bermigrasi ke subendothelium. Kompleks ini membentuk
permukaan platelet dan meningkatkan jumlah trombin generasi dan
pembentukan fibrin. Leukosit yang dirangsang akan berikatan
secara ireversibel dengan reseptor endotel dan melakukan

4
ekstravasasi menuju dinding pembuluh darah vena dengan
kemotaksis mural (Patel, 2014).
5. Manifestasi Klinik
6. Tanda dan Gejala
Pada kebanyakan pasien, DVT muncul tanpa tanda dan gejala,
ataupun sangat tersamar, sehingga pasien tidak menyadari bahwa kondisi
ini ada. Ketika tanda dan gejala sudah ada, intensitas dan berbagai gejala
berhubungan langsung dengan derajat dari obstruksi aliran vena dan
inflamasi dari dinding pembuluh darah. (Skinner N, Mocan P. 2007)
Tanda dan gejala yang sering dijumpai dari DVT termasuk
pembengkakan yang tiba-tiba dari salah satu ekstremitas, kemerahan atau
perubahan warna kulit, rasa panas di daerah yang terlibat, nyeri yang
diperparah dengan aktivitas tetapi tidak hilang setelah istirahat, sedikit
demam, dan takikardia (Skinner N, Mocan P. 2007).
Emboli paru merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa
karena terbentuknya emboli dapat menghalangi aliran darah pulmonal. Hal
ini dapat menyebabkan syok kardiogenik yang diikuti dengan kegagalan
sirkulasi hingga kematian. Lebih dari 60% emboli paru tidak terdiagnosa
secara klinis, dan kematian dapat terjadi dalam waktu yang singkat sekitar
30 menit. Emboli paru yang simptomatis biasanya dikarakteristikkan
dengan nafas yang memendek, hipoksia, takikardia, nyeri dada pleuritis,
hemoptisis, hipotensi, kelelahan, atau kegagalan sirkulasi perifer (Skinner
N, Mocan P. 2007).
7. Faktor resiko
Menurut CDC (2014) beberapa faktor yang dapat menjadi faktor risiko
terkena DVT, antara lain:
a. Cedera vena, sering disebabkan oleh:
 Patah tulang
 Cedera otot parah, atau
 Operasi besar (terutama melibatkan perut, panggul,
pinggul, atau kaki).
b. Memperlambat aliran darah, sering disebabkan oleh:

5
 Tirah baring (misalnya karena kondisi medis atau paska
operasi)
 Gerakan yang terbatas
 Duduk untuk waktu yang lama, terutama dengan
menyilangkan kaki
 Kelumpuhan.
c. Meningkatnya estrogen, sering disebabkan oleh:
 Pil
 Terapi penggantian hormon, kadang-kadang digunakan
setelah menopause
 Kehamilan, hingga 6 minggu setelah melahirkan
d. Beberapa penyakit medis kronis, seperti:
 Penyakit jantung
 Penyakit paru-paru
 Kanker dan penatalaksanaannya
 Penyakit inflamasi usus (penyakit Crohn atau kolitis
ulseratif)
e. Faktor lainnya:
 DVT sebelumnya atau PE
 Sejarah keluarga DVT atau PE
 Usia (umur meningkat risiko meningkat)
 Obesitas
 Kateter terletak di vena sentral
 Mewarisi gangguan pembekuan darah

8. Test Diagnostik
Beberapa evaluasi diagnostik yang digunakan untuk menegakkan
atau menyingkirkan diagnosis dari DVT, termasuk pemeriksaan:
a. D-Dimer
D-Dimer yang menggambarkan degradasi fibrin di dalam darah,
sering digunakan sebagai pemeriksaan awal adanya DVT.
Penelitian klinis mendukung hipotesa bahwa kadar D-Dimer yang

6
rendah dapat menyingkirkan DVT pada pasien-pasien dengan
resiko rendah sampai sedang dan skor Well kurang dari 2. Perlu
diingat bahwa spesifisitas D-Dimer untuk menyingkirkan DVT
tinggi (96%), namun karena sensitivitas D-Dimer untuk
menegakkan DVT rendah (40%),hasil dari pemeriksaan ini lebih
terbatas untuk menyingkirkan daripada menegakkan diagnosis
DVT. (Schreiber DH. 2002). Kadar D-Dimer serum yang dianggap
normal atau negatif untuk DVT adalah kurang dari 500 ng/mL,
sementara kadar D-Dimer 500 ng/mL atau lebih dianggap sebagai
positif untuk DVT (Brown T. 2013). Beberapa penelitian lain
menyebutkan batasan kadar D-Dimer yang lebih rendah yaitu 400
ng/mL sebagai batasan untuk menegakkan atau menyingkirkan
adanya DVT (Wells PS, et al. 2003). Namun pemeriksaan D-Dimer
dengan nilai cut-off sebesar 500 ng/mL mempunyai spesifisitas
paling tinggi yaitu lebih kurang 99% untuk menyingkirkan adanya
DVT (Setiabudy RD. 2012).
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi duplex dengan kompresi merupakan suatu
pemeriksaan non invasif yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis
DVT dengan sensitifitas untuk thrombosis vena proximal mencapai
97%. Ultraonografi menjadi alat diagnostik yang baik, yang banyak
digunakan saat ini sebagai standar untuk menegakkan DVT
(Skinner N, Mocan P. 2007).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI sensitif dan spesifik dalam menegakkan trombosis pada vena
pelvis. Biaya MRI cukup mahal, dan alat ini tidak boleh digunakan
pada pasien-pasien dengan alat pacu jantung atau implan metal lain,
namun MRI dapat menjadi pilihan diagnostik yang efektif pada
beberapa pasien (Skinner N, Mocan P. 2007).
d. Contrast venography
Venografi dengan kontras dapat mendeteksi trombus pada betis dan
paha, serta dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosa DVT

7
pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan lain tidak dapat
memberi kesimpulan. Tetapi masalah biaya merupakan
kontroversi, selain itu venografi ini membutuhkan suatu fasilitas
radiologi yang lengkap. Beberapa dokter menganggap venorafi
sebagai prosedur yang invasif dan mahal. Sebagai tambahan,
kontras pada venografi dapat menjadi penyebab dari DVT pada
pasien yang menjalani prosedur diagnostik ini. Selain itu, berbagai
alasan lain seperti adanya reaksi alergi, kesulitan secara teknis,
penelitian yang tidak adekuat, variabilitas dan kurang tersedianya
interobserver menyebabkan pemeriksaan ini menjadi
kontraindikasi atau tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik
pada 20%-25% pasien. Walaupun dulu venografi pernah dianggap
sebagai standar baku (gold standard) untukmendiagnosis DVT,
namun saat ini alat ini semakin jarang digunakan. Penelitian-
penelitian telah menetapkan bahwa venografi ini telah digantikan
perannya sebagai pilihan lini pertama sebagai pemeriksaan
diagnostik untuk DVT (Schreiber DH. 2002). Pemeriksaan
venografi ini masih dianggap sebagai gold standard untuk
menegakkan DVT sampai tahun 1995, namun setelah itu dengan
dilakukannya berbagai penelitian, USG duplex telah diakui secara
luas perannya sebagai gold standard (Skinner N, Mocan P. 2007).
9. Penatalaksanaan Medik
Terapi standar untuk DVT adalah unfractionated heparin intravena.
Heparin dapat membatasi pembentukan bekuan darah dan meningkatkan
proses fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan
antikoagulan oral tunggal sebagai terapi awal untuk DVT, karena
antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko tromboemboli disebabkan
inaktivasi protein C dan protein S sebelum menghambat faktor pembekuan
eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah activated PTT 1,5 sampai 2,5
kali lipat untuk mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat dicapai
dengan dosis heparin ≥30.000 U/hari atau >1250 U/jam. Metode yang
sering dipakai adalah bolus intravena inisial diikuti dengan infus heparin

8
kontinu. Selain itu metode pemberian subkutan dua kali sehari juga efektif.
Pada tahun 1991 Cruikshank dkk mempublikasikan normogram standar
untuk dosis heparin. Menurut protokol ini, pasien diberikan bolus inisial
5000 U UFH diikuti dengan 1280 U/jam UFH. Dosis heparin dititrasi
menurut nilai aPTT selanjutnya. Pada penelitian Cruikshank tersebut nilai
aPTT sasaran tercapai dalam 24 sampai 48 jam. Untuk sebagian besar
pasien dengan DVT, heparin harus diberikan ≥5 hari dan tidak dihentikan
sampai INR (internationalized normalized ratio) pada kisaran terapeutik ≥2
hari (Davis J.D. 2001).
Low molecular weight heparin (LMWH) juga efektif terhadap DVT,
bila dibandingkan dengan UFH, maka LMWH lebih mempunyai
keuntungan yaitu pemberian subkutan satu atau dua kali sehari dengan
dosis yang sama dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium.
Keuntungan yang lain yaitu kemungkinan risiko perdarahan yang lebih
sedikit dan dapat diberikan dengan sistem rawat jalan di rumah tanpa
memerlukan pemberian intravena kontinu (Davis J.D. 2001).
Warfarin adalah antikoagulan oral yang paling sering digunakan
untuk tatalaksana jangka panjang DVT. Warfarin adalah antagonis vitamin
K yang menghambat produksi faktor II, VII, IX dan X, protein C dan
protein S. Efek warfarin dimonitor dengan pemeriksaan protrombin time
(PT) dan diekspresikan sebagai internationalized normalized ratio (INR).
Terapi warfarin harus dimulai segera setelah PTT berada pada level
terapeutik, baiknya dalam 24 jam setelah inisiasi terapi heparin. Sasaran
INR yang ingin dicapai adalah 2.0 sampai 3.0. Dosis inisial warfarin adalah
5 mg dan biasanya mencapai INR sasaran pada hari ke-4 terapi. Dosis
warfarin selanjutnya harus diindividualisasi menurut nilai INR (Davis J.D.
2001).
Terapi trombolitik jarang diindikasikan untuk DVT, biasanya
diberikan pada pasien dengan DVT iliofemoral yang ekstensif dan risiko
rendah terhadap perdarahan. Kontraindikasi absolut untuk terapi
trombolitik adalah perdarahan internal aktif, stroke dalam kurun waktu 2
bulan belakangan, abnormalitas intrakranial, hipertensi berat tidak

9
terkontrol dan adanya kelainan diatesis perdarahan. Kontraindikasi relatif
terhadap terapi trombolitik adalah tindakan bedah mayor atau persalinan
pervaginam dalam kurun waktu 10 hari sebelumnya, riwayat perdarahan
gastrointestinal, tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik ≥110
mmHg, kehamilan, usia >75 tahun dan hemorrhagic diabetic retinopathy
(Davis J.D. 2001).
.
10. Komplikasi
Emboli paru merupakan komplikasi yang paling segera dan
signifikan dari DVT. Emboli paru dapat dideteksi pada lebih dari 50%
pasien dengan diagnosa DVT. Lebih dari 80% pasien yang telah
dikonfirmasi diagnosa emboli paru memiliki DVT asimptomatik.
Walaupun emboli paru merupakan penyebab terbesar mortalitas yang
berhubungan dengan DVT, komplikasi lain juga dapat muncul. (Skinner
N, Mocan P. 2007)
Komplikasi lain yang penting adalah DVT rekuren dan post-
thrombotic syndrome. Lebih dari 30% pasien dapat mengalami DVT
rekuren dalam waktu delapan tahun setelah diagnosa awal. Banyak pasien
dengan DVT rekuren memerlukan terapi jangka panjang, jika tidak seumur
hidup, untuk menangani keadaan ini. Post-thrombotic syndrome (PTS)
merupakan komplikasi lain dari DVT yang terjadi pada lebih kurang 29%
pasien dengan DVT simptomatis dalam kurun waktu 8 tahun setelah
kejadian awal. PTS biasanya terjadi secara sekunder akibat kerusakan
katup vena, yang memicu hipertensi vena dan dapat mempengaruhi
integritas dari system vaskular pada ekstremitas bawah. Gejala primer dari
PTS termasuk nyeri, varikosa vena, edema, ektasia vena, indurasi, dan
ulserasi. (Skinner N, Mocan P. 2007)

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Fokus Pengkajian Keperawatan
a. Tes Diagnostik

10
Lihat Konsep Medis

2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
4. Perencanaan Pulang

11
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
1.Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa agar dapat meningkatkan pengetahuannya


tentang macam-macam penyakit dan juga meningkatkan kemampuan dalam
pembuatan asuhan keperawatan pada pasien dengan Deep Vain
Thrombosis.
2. Bagi perawat

Diharapkan bagi perawat agar dapat meningkatkan keterampilan dalam


memberikan asuhan keperawatan serta pengetahuannya sehingga dapat
memberikan asuhan keperawatan yang optimal terkhususnya pada pasien
dengan penyakit Deep Vain Thrombosis.
3.Bagi Dunia keperawatan

Diharapkan asuhan keperawatan ini dapat terus diperbaiki


kekurangannya sehingga dapat menambah pengetahuan yang lebih baik
bagi dunia keperawatan, serta dapat diaplikasikan untuk mengembangkan
kompetensi dalam keperawatan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Davis J.D. 2001. Prevention, diagnosis, and treatment of venous thromboembolic


complications of gynecologic surgery. Am J Obstet Gynecol.
Setiabudy RD. 2012. Trombosis pada Keganasan. Hemostasis dan Trombosis, edisi
kelima. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Skinner N, Mocan P. 2007. Deep Vein Thrombosis (DVT), Case Management
Adherence Guidelines. Case Management Society of America.
Schreiber DH. 2002. The Role of D-Dimer in the Diagnosis of Venous
Thromboembolism. Laboratory Medicine, No.2,Vol.33.
Brown T. 2013. Targeted D-Dimer Testing Best for DVT Diagnosis. Medscape
Medical News.
Wells PS, et al. 2003. Evaluation of D-Dimer in the Diagnosis of Suspected Deep-
Vein Thrombosis. The New England Journal of Medicine, Vol.340.
Sudewo, Yudha, 2015. Nilai Titik Potong D-Dimer Sebagai Penanda Terjadinya Trombosis
Vena Dalam pada Pasien Kanker Ovarium sebelum Operasi.

13
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/48303 . Diakses tanggal 03
Maret Pukul 20.05 WITA
Yaznil, Muhammad Rizki. 2011. Prevalensi Trombosis Vena Dalam (Deep Vein
Thrombosis) Dengan Compression Ultrasound B-Mode Image Pada Pasien Tumor
Ginekologi Resiko Tinggi Dan Resiko Rendah Di RS H. Adam Malik Medan.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21641 . Diakses tanggal 03
Maret Pukul 20.05 WITA

14

Anda mungkin juga menyukai