Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN

KOMUNIKASI/KONSELING PADA PASIEN DENGAN HIV/AIDS

Di Susun Oleh :

Abdul Karim NIM. P07220318001


Abdurrahman Nata Negara NIM. P07220318004
Bertolomeus Seda NIM. P07220318011
Indah Nurimamah NIM. P07220318022
Neny Hardiyani NIM. P07220318026
Ramsyah NIM. P07220318030

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Keperawatan HIV/AIDS dengan sub pokok bahasan tentang
komunkasi/konseling pada pasien dengan HIV/AIDS.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ns. Nilam Noorma, S.Kep,
M.Kes selaku Koodinator mata jara dan kepada ibu dr. Hilda, M.Kes selaku
Dosen Pengampu yang telah membimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak ada
kekurangan baik dari isi materi maupun penyusunan kalimat. Namun demikian,
perbaikan merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis menyampaika terimakasih kepada pembaca dan teman-
teman sekalia yang telah membaca dan mempelajari makalah ini.

Samarinda, Januari 2019

Kelompok

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan masalah.........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................4
D. Manfaat.........................................................................................................4
E. Sistematika Penulisan...................................................................................5
BAB II TELAAH PUSTAKA..................................................................................6
A. Konsep Komunikasi/Konseling....................................................................6
B. Konsep VCT................................................................................................14
C. Contoh Komunikasi Dengan Pasien HIV/AIDS.........................................21
BAB III PENUTUP...............................................................................................27
A. Kesimpulan.................................................................................................27
B. Saran............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Komunikasi merupakan hal yang fundamental bagi kehidupan manusia.
Dengan berkomunikasi, manusia dapat menyampaikan gagasan dan
mentransferkan pesannya kepada khalayak luas dengan tujuan mempengaruhi
perilaku orang lain untuk mengambil keputusan tertentu. Upaya
penyebarluasan informasi tidak hanya diperlukan di kehidupan sehari-hari saja,
namun juga memiliki peranan penting dalam bidang kesehatan. Komunikasi
dalam bidang ini berfungsi untuk mendorong individu maupun kelompok
masyarakat agar dapat mengambil keputusan tepat demi mendapatkan kondisi
yang sehat secara fisik, mental, dan sosial.
Proses penyampaian informasi mengenai isu-isu kesehatan oleh
komunikator kepada komunikan inilah biasa dikenal dengan komunikasi
kesehatan. Sebagai usaha yang sistematis dalam mempengaruhi perilaku
kesehatan masyarakat, komunikasi kesehatan ini memanfaatkan 2 metode
komunikasi yaitu komunikasi antarpribadi dan komunikasi massa. Tujuan
utama dari dilakukannya komunikasi kesehatan ini yaitu adanya perubahan
perilaku kesehatan dalam masyarakat, dimana perilaku masyarakat yang sehat
akan berpengaruh pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan
bagi masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS yang terjadi
diibaratkan seperti fenomena gunung es, sebab apa yang terlihat di atas itu
hanya nampak kecil, sementara kondisi dibawah yang lebih besar justru tidak
terdeteksi. Karenanya, setiap tahun jumlah penderita mengalami peningkatan
dan tidak sedikit yang meninggal. Laporan Kementerian Kesehatan, sejak
pertama kali kasus HIV ditemukan pada tahun 1987 hingga bulan September
2014, tercatat sebanyak 150.296 orang telah terinfeksi HIV, dimana 55.799
orang di antaranya telah pada tahap AIDS. Persentase AIDS pada laki-laki
sebanyak 54%, dan perempuan 29%, sementara itu 17% tidak melaporkan jenis

1
kelamin. Jumlah AIDS tertinggi tercatat pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti
wiraswasta (6.203), tenaga non-profesional/karyawan (5.638) dan
petani/peternak nelayan (2.324). (www.aidsindonesia.or.id).
Program penanggulangan HIV/AIDS yang ada yaitu melalui pengamanan
darah, komunikasi-informasi dan edukasi (KIE) telah berjalan cukup baik,
namun program pelayanan dan dukungan tersebut masih sangat terbatas,
khususnya program konseling dan tes sukarela atau biasa dikenal dengan
Voluntary Counselling and Testing (VCT). Di negara maju, VCT sudah
menjadi komponen utama dalam program penanggulangan HIV/AIDS, namun
di negara berkembang seperti di Indonesia, VCT belum merupakan strategi
yang besar. (Rimawati dkk, 2011). Karena strategi kesehatan hanya difokuskan
untuk mengurangi angka kematian dari penyakit menular yang dapat dicegah
saja.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) menyatakan kegiatan
pengendalian terhadap HIV/AIDS lebih diprioritaskan pada pencegahan,
namun seiring meningkatnya infeksi HIV dan kasus AIDS yang memerlukan
pengobatan Anti Retro Viral (ARV), maka strategi pengendalian HIV saat ini
dilaksanakan dengan memadukan pencegahan, perawatan, dukungan serta
pengobatan. Untuk mencapai target akses ARV, di tahun 2005, Indonesia
mengembangkan pelayanan untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) secara
komprehensif. Salah satu unsurnya yaitu menyiapkan petugas konselor yang
profesional dan mahir di rumah sakit melalui pelatihan VCT dengan
menggunakan standar modul pelatihan profesional yang diadopsi dari WHO-
SEARO (World Health Organization-South East Asian Regional Office) dan
sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Konselor diberikan pelatihan VCT guna menunjang program
penanggulangan dan penyebaran HIV/AIDS. Dalam membantu ODHA,
konselor diharapkan memiliki keterampilan komunikasi antarpribadi yang baik
untuk membangun kepercayaan dari klien sehingga tujuan komunikasi
kesehatan akan tercapai secara efektif. Konselor yaitu pihak yang memberikan
pertolongan, waktu, perhatian, dan keahliannya untuk membantu klien

2
(ODHA) mempelajari keadaan dirinya dan melakukan pemecahan masalah
terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan seperti stigma negatif dan
diskriminasi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Eksistensi klinik VCT terutama di rumah sakit sangatlah dibutuhkan.
Selain membantu tugas pemerintah dalam mewujudkan Getting to Zero sebagai
indikator keberhasilan pembangunan nasional, VCT juga merupakan gerbang
utama untuk memperoleh informasi mengenai HIV/AIDS, melakukan
konseling dan tes, pencegahan dan pelayanan bagi ODHA. Tak terkecuali di
Kabupaten Karanganyar, keberadaan klinik VCT merupakan wadah kepedulian
terhadap permasalahan HIV/AIDS di wilayah tersebut. Sejak tahun 2000
hingga akhir Oktober 2014, jumlah penderita HIV/AIDS di Karanganyar
ditemukan mencapai angka 238 orang dan 68 orang diantaranya telah
meninggal dunia. (www.timlo.net).

Hasil penelitian Rizka Wandari Nasution (2008) terkait komunikasi pada


ODHA menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi yang terjadi antara
konselor dan klien sangat berpengaruh dalam pembentukkan konsep diri
ODHA. Selain mengandung ke lima unsur; keterbukaan (openness); empati
(empathy); dukungan (support); rasa positif (positiveness); dan kesamaan
(equality), komunikasi ini dapat menumbuhkan lagi rasa percaya diri para
klien. Meski ODHA mengalami shock, takut, sedih, dan cemas ketika mereka
mengetahui bahwa status mereka positif HIV yang disebabkan kurangnya
pemahaman dan informasi mereka mengenai HIV/AIDS. Namun, setelah
melakukan konseling dan bertambahnya pemahaman mereka mengenai
HIV/AIDS, semakin kuat pula keinginan mereka untuk hidup lebih baik dan
menjadikan hidup lebih berarti.

Hasil penelitian Nugraheni Arumsari, Yulius Slamet, dan Eko Setyanto


(2013) juga menunjukkan bahwa saat seseorang divonis mengidap HIV, dia
tidak memiliki pengetahuan dan informasi mengenai hal tersebut secara
lengkap, serta mempunyai pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS itu
sendiri. Membangun kedekatan dengan pasien HIV mutlak diperlukan agar

3
suatu hubungan dapat tumbuh dan berkembang yang dilakukan dengan jalan
menanamkan kepercayaan pada diri pasien HIV kepada dokter/konselor sampai
timbul keterbukaan dalam proses komunikasi dalam pelaksanaan HIV
Voluntary Counseling and Testing antara dokter dan pasien, kemudian
ditemukan penggunaan komunikasi antar pribadi yang pada akhirnya
menimbulkan perasaan empati, keakraban dan keterbukaan antara dokter dan
pasien. Tujuan akhir dalam program konseling VCT ini adalah agar pasien HIV
tersebut dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan
mempunyai motivasi dan semangat yang kuat untuk berjuang hidup.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membahas


komunikasi/konseling pada pasien dengan HIV/AIDS.

B. Rumusan masalah
Bagaimanakah komunikasi/konseling pada pasien dengan HIV/AIDS

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui konsep teori komunikasi dan konseling pada pasien
HIV/AIDS serta Mendemonstrasikan komunikasi dan konseling pada
klien dengan HIV/AIDS)
2. Tujuan khusus
a. Mampu menjelaskan konsep komunikasi dan konseling pasien
HIV/AIDS
b. Mampu melakukan teknik komunikasi
c. Mampu melakukan konseling pada klien dengan HIV-AIDS

D. Manfaat
1. Bagi institusi
Menjadi sumber rujukan pembelajaran mata ajar HIV/AIDS lingkungan
poltekkes kemenkes kaltim
2. Bagi praktisi/perawat
Memberikan peningkatan pengetahuan terkait tekhnik
komunikasi/konseling pada pasien HIV/AIDS
3. Bagi mahasiswa ners

4
Memberikan gambaran konsep teori dan praktik tekait
komunikasi/konseling pada pasien HIV/AIDS

E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab 1 terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, manfaat dan sistematika penulisan. Bab 2 terdiri dari telaah
pustaka, bab 3 terdiri atas kesimpulan dan saran.

BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Konsep Komunikasi/Konseling
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi
dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang
lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampaian pikiran-
pikiran atau informasi (Komaruddin, 1994:Schermerhorn, Hunt & Osborn,
1994: Koontz & Weihrich, 1988).

5
Komunikasi berarti pemberitahuan, pembicaraan, percakapan,
pertukaran pikiran atau hubungan Hardjana, 2003) Secara etimologis, kata
efektif (effective) sering diartikan dengan mencapai hasil yang diinginkan
(producing desired result), dan menyenangkan (having a pleasing effect).
Komunikasi efektif adalah sebuah proses penyampaian pikiran atau
informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu
sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh
penyampai pikiran-pikiran atau informasi”. (Komaruddin,
1994;Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994).
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mencakup hal-hal
berikut:
a. Bagaimana mengubah sikap (how to change the attitude)
b. Mengubah opini (to change the opinion)
c. Mengubah perilaku (to change behavior)
Menurut Onong Uchjana Effendy (1981: 44), efek komunikasi yang
timbul pada komunikan sering kali di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Efek Kognitif: adalah yang terkait dengan pikiran nalar atau rasio,
misalnya komunikan yang semula tidak tau, tidak mengerti menjadi
mengerti atau tidak sadar menjadi sadar.
b. Efek Afektif: adalah efek yang berkaitan dengan perasaan, misalnya
komunikan yang semula merasa tidak senang menjadi senang, sedih
menjadi gembira.
c. Efek Konatif: adalah efek yang berkaitan timbulnya keyakinan dalam diri
komunikan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh komunikator berdasarkan pesan atau message yang ditransmisikan,
sikap dan perilaku komunikan pasca proses komunikasi juga tercermin
dalam efek konatif.
Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk
menciptakan hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal
kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam
memenuhi kebutuhan tersebut. Komunikasi dalam profesi keperawatan
sangatlah penting sebab tanpa komunikasi pelayanan keperawatan sulit untuk
diaplikasikan. Dalam proses asuhan keperawatan, komunikasi ditujukan
untuk mengubah perilaku klien guna mencapai tingkat kesehatan yang

6
optimal (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Oleh karena bertujuan untuk
terapi, maka komunikasi dalam keperawatan disebut komunikasi terapeutik.
Jadi inti dari komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilaksanakan
untuk tujuan terapi.
Menurut Purwanto (1994) tujuan dari komunikasi terapeutik adalah
sebagai berikut:
a. membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan
pikiran mempertahakan kekuatan egonya.
b. Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk mengubah situasi yang
ada.
c. Mengulang keraguan membantu dalam pengambilan tindakan yang efektif
dan mempengaruhi orang lain lingkungan fisik dan dirinya.
2. Pengertian konseling
Konseling merupakan bagian dari bimbingan. Menurut Ketut Sukardi
(2000:21) dalam bukunya menyatakan bahwa layanan konseling adalah
jantung hati layanan bimbingan secara keseluruhan. Bisa dikatakan bahwa
konseling adalah inti kegiatan yang paling penting dalam bimbingan. Oleh
karena itu, konseling sangat memberi arti pada bimbingan, dimana
konseling ini merupakan suatu proses kegiatan yang didalamnya terdapat
seorang konselor dan konseli. Konselor berarti orang atau individu yang
berkompeten atau berwenang memberikan layanan konseling, sedangkan
konseli merupakan orang atau individu yang menerima bantuan layanan
konseling. Jadi tanpa adanya unsur konselor dan konseli, maka proses
konseling tidak akan terjadi.
Konseling merupakan satu jenis layanan yang merupakan bagian
terpadu dari bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan
timbal balik antara dua individu, dimana seorang, yaitu konselor berusaha
membantu orang lain dalam hal ini klien, untuk mencapai pengertian
tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang
dihadapinya pada waktu yang akan datang (Rohman Natawijaya, dalam
Sukardi, D.K, 2000:22).
Konseling merupakan suatu proses dengan ciri-ciri sebagai berikut
(Pepinsky & Pepinsky,dalam Shertzer & Stone,1974 dalam D. Gunarsa,
2004) :

7
a. Interaksi antara dua orang (antara konselor dan klien)
b. Konseli datang mempunyai masalah
c. Konseli datang atas kemauan sendiri atau saran orang lain untuk
meyelesaikan masalah
d. Konselor adalah seorang yang terlatih (profesional) dalam bidangnya
e. tujuan konseling Konseling merupakan suatu proses dengan ciri-ciri
sebagai berikut:adalah menolong dan memberikan banuan kepada
konseli agar ia mengerti dan menerima keadaannya serta dapat
menemukan jalan keluar dengan menggunakan potensi yang ada
pada dirinya.
f. Proses konseling menitik beratkan kepada masalah yang jelas, nyata,
dan dalam kesadaran diri.
Tujuan bimbingan dan konseling bidang kesehatan dan perawatan
memiliki pandangan lain mengenai yaitu sebagai berikut (Agus Priyanto,
2009:84)
a. Memberikan bantuan bagi pengembangan dan pemahaman mengenai
ilmu pengetahuan dan pemahaman klien terhadap permasalahan
kesehatan, seperti jenis dan tindakan medis atau jenis dan tindakan
keperawatan.
b. Mengeksplorasi atau menunjukkan segala kemampuan atau potensi
atau kelemahan (bio-psiko-sosial-spiritual) yang dimiliki klien untuk
menghadapi permasalahan kesehatannya berupa tindakan media atau
tindakan keperawatan.
c. Klien bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya baik yang
berdampak bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya.
3. Fungsi konseling
Menurut sifat layanannya konseling dapat berfungsi sebagai berikut (Agus
Priyanto, 2009:81)
a. Fungsi Pemahaman, fungsi ini dimaksudkan untuk menghasilkan
pemahaman tentang sesuatu oleh individu atau klien sesuai dengan
kepentingan individu atau kelompok yang mendapat pelayanan
tersebut. Pemahaman ini mencakup hal-hal berikut: Pemahaman
tentang diri klien , terutama oleh klien itu sendiri atau keluarga klien,
Pemahaman tentang lingkungan klien, terutama klien sendiri,

8
kluarga klien, sesama klien dan klien juga paham terhadap
lingkungan perawat atau dokter.
b. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor
untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin
terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh
klien. Layanan yang diberikan dalam fungsi pencegahan ini berupa
pelyanan bantuan dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul
agar masalah tersebut tidak menghambat program atau kegiatan dan
perkembangannya. Kegiatan yang berfungsi pencegahan tersebut
dapat berupa program informasi, orientasi, inventarisasi data atau
pengkajian data, analisis data dan sebagainya
c. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan yang sifatnya lebih
proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Fungsi konseling menyiratkan
bahwa layanan bimbingan dan konseling yang diberikan bermanfaat
bagi klien dalam memelihara dan mengembangkan keseluruhan
pribadinya dengan percaya diri, terarah, dan berkelanjutan sehingga
klien dapat mempertahankan hal-hal yang dipandang positif. Dengan
demikian diharapkan klien dapat menjaga dirinya agar tetap baik dan
percaya diri dalam memelihara dan mengembangkan potensi dan
kondisi untuk menghadapi permasalahan yang akan datang.
d. Fungsi Perbaikan (Pengentasan), yaitu fungsi pencegahan dan
pemahaman telah dilaksanakan dengan baik, tetapi mungkin saja
masih ada atau masih terjadi masalah-masalah lain. Fungsi perbaikan
dalam bimbingan dan konseling adalah bagaimana klien atau
kelompok dapat memecahkan dan mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi. Fungsi ini juga menghasilkan kondisi bagi terentasnya atau
teratasinya berbagai permasalahan dalam kehidupan dan atau
perkembangan yang dialami oleh individu atau kelompok yang
mendapatkan pelayanan.
e. Fungsi advokasi, yaitu fungsi konseling yang menghasilkan kondisi
pembelaan terhadap pengingkaran atas hak-hak dan atau kepentingan
pendidikan atau informasi atau pekembangan atau perawatan

9
biologis, psikologis, sosial, spiritual (bio-psiko-sosio-spiritual) yang
dialami klien atau pengguna pelayanan konseling.
Pelaksanaan konseling haruslah mengacu pada satu fungsi atau beberapa
fungsi yang telah dijelaskan tersebut, agar hasil yang dicapai jelas dan
dapat diidentifikasi serta dievaluasi dengan tepat. Dalam fungsinya sebagai
pelaksana konseling, konselor bertugas untuk membantu klien dalam
mencari pemecahan masalah kesehatan dan melihat adanya perubahan
perilaku yang terjadi dan dihadapi klien.
4. Konselor dalam menangani pasien HIV/AIDS
Pelayanan dalam menangani pasien HIV/AIDS haruslah dilaksanakan
oleh petugas yang sangat terlatih dan berkualitas tinggi dalam melakukan
konseling testing HIV sukarela (KTS) yang berasal dari tenaga kesehatan
(medis) atau non kesehatan (non medis) yang telah mengikuti pelatihan
KTS. Tenaga konselor KTS minimal dua orang dan tingkat pendidikan
konselor KTS adalah SLTA. Seorang konselor sebaiknya menangani untuk
5-8 orang perhari terbagi antara klien konseling pra testing dan klien
konseling pasca testing. Tugas Konselor dalam Konseling dan Testing
Sukarela adalah:
a. Mengisi kelebngkapan pengisian formulir klien, pendokumentasian
dan pencatatan konseling klien dan menyimpannya agar terjaga
kerahasiaannya.
b. Pembaruan data dan pengetahuan HIV/AIDS
c. Membuat jejaring eksternal dengan layanan pencegahan dan
dukungan di masyarakat dan jejaring internal dengan berbagai bagian
rumah sakit yang terkait
d. Memberikan informasi HIV/AIDS yang relevan dan akurat, sehingga
klien merasa berdaya untuk membuat pilihan untuk melaksanakan
testing atau tidak. Bila klien setuju melakukan testing, konselor perlu
mendapat jaminan bahwa klien betul menyetujuinya melalui
penandatanganan inform consent (persetujuan tertulis)
e. Menjaga bahwa informasi yang disampaikan klien kepadanya adalah
bersifat pribadi dan rahasia. Selama konseling pasca testing konselor
harus memberikan informasi lebih lanjut seperti, dukungan psikososial

10
danrujukan. Informasi ini diberikan baik kepada klien dengan HIV
positif maupun negatif.
f. Pelayanan khusus diberikan kepada kelompok perempuan dan mereka
yang dipinggirkan, sebab mereka rawan terhadap tindak kekerasan
dan diskriminasi.

Kualifikasi dasar seorang konselor KTS adalah:


a. Berlatar belakang kesehatan atau non kesehatan yang mengerti
tentang HIV/AIDS secara menyeluruh, yaitu yang berkaitan dengan
gangguan kesehatan fisik dan mental.
b. Telah mengikuti pelatihan sesuai dengan standar modul pelatihan
konseling dan testing sukarela HIV yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 2000. (Departemen Kesehatan,
2008: 15)
5. Kegiatan, materi dalam konseling terhadap pasien HIV/AIDS
Konseling sangat dibutuhkan bagi pasien HIV/AIDS yang sudah
terdiagnosis maupun pada kelompok beresiko tinggi agar mau melakukan
tes, bersikap terbuka dan bersedia mencari perolongan dokter. Menurut
AUSAID (2002), konseling merupakan salah satu program pengendalian
AIDS/HIV, selain pengamanan SARA, komunikasi-informasi-edukasi,
pelayanan, dukungan dan pengobatan.
Konseling HIV/AIDS dikenal juga dengan sebutan Konseling dan
Testing Sukarela (KTS) yaitu pembinaan dua arah atau dialog yang
berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk
mencegah penularanHIV, mengubah perilaku ODHA, pemberian informasi
dan dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka, meningkatkan
kualitas hidup ODHA. Berdasarkan hasil penelitian terhadap pasien
HIV/AIDS di RSU Dr.Soetomo yang dilakukan oleh Patola L.N. (2005)
diketahui bahwa VCT efektif dalam mengubah pengetahuan, sikap, dan
tindakan pasien beresiko tinggi untuk melakukan tes HIV dimana 100%
responden penelitiannya bersedia melakukan tes HIV setelah diberikan
konseling.
Konseling HIV/AIDS meliputi konseling untuk pencegahan,
konseling pra-tes, konseling pasca-tes, konseling keluarga, konseling

11
berkelanjutan dan konseling pada mereka yang menghadapi kematian.
Konseling yang diberikan pada pasien akan membantunya dalam
memperoleh akses informasi yang benar, memahami dirinya secara lebih
baik, mampu menghadapi masalah lebih baik, dan mampu berkomunikasi
lancar (Nursalam, 2007:70).
Secara garis besar kegiatan atau tahapan KTS (Depkes RI, 2008)
adalah:
a. Konseling Pre Test
b. Test
c. Konseling Post Test (Pasca Test)
d. Pembukaan Hasil
e. Konseling Lanjutan
Konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien)
dengan pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi
diri dengan stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan
dengan HIV/AIDS.
Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun
keterampilan dasar yang dibutuhkn adalah sama. Konseling HIV menjadi
hal yang unik karena (Nursalam, 2007:73)
a. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/AIDS.
b. Membutuhkan pembahasan mengenai praktik seks yang bersifat
pribadi.
c. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian.
d. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai
yang dianut oleh konselor itu sendiri.
e. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV yang
positif.
f. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan
maupun anggota keluarga pasien.
6. Tujuan konseling HIV
Tujuan penting dalam konseling HIV adalah:
a. Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah perilaku. Untuk
mengubah perilaku, ODHA tidak hanya membutuhkan informasi

12
belaka, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemberian dukungan
yang dapat menumbuhkan motivasi mereka.
b. Mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi atau pengetahuan
ODHA tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV
c. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup
secara positif.
d. Mengembangkan perubahan perilaku, sehingga secara dini
mengarahkan mereka menuju program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi
stigma dalam masyarakat.

B. Konsep VCT
1. Sejarah Perkembangan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di
Dunia dan di Indonesia
Voluntary Counseling and Testing (VCT) pertama kali dicetuskan
oleh World Health Organization (WHO) pada Oktober 1999 saat 30th
Regional Health Ministers’ Conference di Seychelles. Kemudian
penerapannya sendiri di Indonesia dilakukan tidak lama setelah itu. Namun
perundangan secara jelas yang mengatur tentang pemberlakuan VCT baru
dicanangkan pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan
RI No. 1507 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelayanan dan Tseting
HIV/AIDS secara Sukarela (Depkes RI, 2005).
Kini layanan VCT telah banyak dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia baik itu oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta, dimana
pelayanan VCT oleh pihak swasta telah diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 04 Tahun 2002 tentang Laboratorium Klinik
Swasta (LKS) (Depkes RI, 2002). Selain itu aturan lain mengenai Tim
Pelatih Konseling dan Testing HIV Secara Sukarela diatur dalam
Keputusan Menkes RI No. 060 tahun 2009 (Depkes RI, 2009).
2. Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah

13
penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang
bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan memastikan
pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS yang bertujuan
untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman
(Pedoman Pelayanan VCT, 2006).
3. Prinsip Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan
sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS
berkelanjutan yang berdasarkan prinsip:.
a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV Pemeriksaan HIV hanya
dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa tekanan.
Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan klien.
Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan
untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual,
Injecting Drug User (IDU), rekrutmen pegawai / tenaga kerja Indonesia
dan asuransi kesehatan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan harus
bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua
informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan
diluar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus
disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang
tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin
klien maka informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.
c. Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan
mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi prilaku
beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien
dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing
positif.
d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT. WHO dan
Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing

14
senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama
atau konselor lain yang disetujui oleh klien.
4. Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang
dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), klinik
Tuberkulosa (TB), Klinik Tumbuh Kembang Anak dan sebagainya. Lokasi
layanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang jelas hingga
mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Namun klinik cukup
mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana
pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi. Model
layanan VCT terdiri atas :
a. Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling) Mobile VCT adalah model
layanan dengan penjangkauan dan keliling yan dapat dilaksanakan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau layanan kesehatan
yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang
memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah
tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas
kelompokmasyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan
kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
b. Statis VCT (Klinik VCT tetap) Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi
dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya
bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada.
Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan VCT, layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan
HIV/AIDS.
5. Tahapan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
a. Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang
bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan
pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang
disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS,
menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima

15
hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien
memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent
dan konseling seks yang aman

Gambar 1. Alur Pre-test Counseling (VCT Toolkit : HIV Voluntary


Counseling and Testing 2004)

16
b. HIV Testing
Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi
dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh seseorang,
maka di dalam darah akan terbentuk protein khusus yang disebut
antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan
tubuh manusia sebagai reaksi untuk membendung serangan bibit
penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi terbentuk di dalam
darah seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan tetapi
ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki

17
antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu
telah terinfeksi HIV. Tes HIV yang umumnya digunakan adalah
Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test dan
Western Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk
mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas
adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang
sangat spesifik.
1) Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA) Tes ini digunakan
untuk mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV.
Tes ELISA ini dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur,
atau air kencing. Hasil positif pada ELISA belum dapat dipastikan
bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV karena tes ini
mempunyai sensitivitas tinggi tetapi spesifisitas rendah. Oleh
karena itu masih diperlukan tes pemeriksaan lain untuk
mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun
ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan,
orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul
telah terinfeksi HIV.
2) Rapid Test Penggunaan dengan metode rapid test memungkinkan
klien mendapatkan hasil tes pada hari yang sama dimana
pemeriksaan tes hanya membutuhkan waktu 10 menit. Metode
pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah jari dan air liur.
Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi (mendekati 100%) dan
spesifisitas (>99%). Hasil positif pada tes ini belum dapat
dipastikan apakah dia terinfeksi HIV. Oleh karena itu diperlukan
pemeriksaan tes lain untuk mengkonfirmasi hasil tes ini.
3) Western Immunoblot Test Sama halnya dengan ELISA, Western
Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot
digunakan sebagai tes konfirmasi untuk tes HIV lainnya karena
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi untuk memastikan apakah
terinfeksi HIV atau tidak.

18
Gambar 2. Alur Strategi Tes HIV ((VCT Toolkit : HIV Voluntary
Counseling and Testing 2004)

c. Post-test counseling Post-test counseling adalah diskusi antara


konselor dengan klien yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV
klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan
hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien,
membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna
dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang
kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko
dan perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.
Gambar 3. Alur Post-test Counseling (VCT Toolkit : HIV Voluntary
Counseling and Testing 2004)

19
C. Contoh Komunikasi Dengan Pasien HIV/AIDS

Di UGD
RS
Pasien : Selamat siang, sus !
Perawat : Selamat siang, saya mau mencatat identitas bapak dan
apa keluhan bapak !
Pasien : Sus !! identitas saya dapat di catat sesuai dengan KTP dan
keluhan saya :
Bab cair selama + 3 bulan walaupun sudah berobat di
praktek dokter, badan lemas, nafsu makan kurang, berat
BB menurun, sariawan.
Perawat : Bapak !! Apa ada yang lainnya keluhannya dan saya mau
periksa vital signnya, maksudnya . T/D, Temperatur, Nadi,
Napas dan BB
Pasien : Keluhan saya tidak ada yang lain.
Perawat : Dokter !! Ini ada pasien baru dengan keluhan Bab cair
selama + 3 bulan walaupun sudah berobat di praktek
dokter, badan lemas, nafsu makan kurang, berat BB
menurun, sariawan dan vital signnya. T/D 100/60 mmhg,
Temperatur 35 0C, Nadi 76 x/mnt, Napas 28 x/mnt dan BB
50 kg.
Dokter : Selamat siang pak !! Apa benar keluhan bapak : ”
selama + 3 bulan walaupun sudah berobat di praktek
dokter, badan lemas, nafsu makan kurang, berat BB
menurun, sariawan ”
Pasien : Selamat siang !! Benar dok, keluhan saya seperti itu.
Dokter : Kalau begitu, saya mau periksa bapak !!
Paisen : Iya, silahkan !!

20
Dokter : Bapak harus di rawat untuk pemeriksaan dan pengobatan
yang lebih lanjut oleh spesialis penyakit dalam, jadi saya
memberikan resep obat !!
Pasien : Saya serahkan kepada dokter, mana yang terbaik buat
saya.
Dokter : Suster, bapak ini di bawa kee Ruang Mawar untuk di rawat
!!
Perawat : Oh, yaa dok !! saya bawa sekarang pasiennya !!
(1)

Di
Ruang
Cempak
a
Perawat : Mba !! ini ada pasien baru dari UGD untuk di rawat di
(1) Ruang Cempaka dan ini status pasiennya !!
Perawat : Iya mba !! Pasiennya taruh di ranjang ini !!
(2)
Perawat : Bapak !!! Sebentar lagi dokter spesialis penyakit dalam
(2) mau datang untuk memeriksa bapak, jadi bapak jangan
kemana-mana !!
Pasien : Iya sus.
Dokter : Sus, apa ada pasien saya di Ruang dahlia ini !!!
internis
Perawat : Ada dok !! pasien dari UGD dengan Bab cair selama + 3
(2) bulan walaupun sudah berobat di praktek dokter, badan
lemas, nafsu makan kurang, berat BB menurun, sariawan
dan vital signnya. T/D 100/60 mmhg, Temperatur 35 0C,
Nadi 76 x/mnt, Napas 28 x/mnt dan BB 50 kg
Dokter : Bapak !!! Apa benar bapak sakit selama + 3 bulan BAB cair
internis walaupun sudah berobat di praktek dokter, badan lemas,
nafsu makan kurang, berat BB menurun, sariawan dan
saya mau periksa bapak !!
Pasien : Benar dok, sakit saya seperti yang dokter sebutkan dan
silahkan periksa dok !!!
Dokter : Bapak, ada resep obat untuk di beli di Apotik RS dan juga
internis ada pemeriksaan laboratorium !!
Pasien : Iya dok, nanti saya beli obatnya di Apotik RS ini !!!
Dokter : Sus !! Komfirmasi dengan analis laboratorium untuk
internis pemeriksaan laboratorium serum HIV dan hasilnya
sampaikan kepada saya !!!
Perawat : Iya, dok !!
(2)
Perawat : Mba, ada pasien untuk pemeriksaan serum HIV
(2)
Analis : O, yaa !!! nanti saya kesana.

21
Lab.
Analis : Mba, pasien mana yang mau saya ambil darahnya !!
Lab.
Perawat : Yang ini, mba !!!
(2)
Analis : Analis : Selamat siang bapak, saya kristine saya petugas
Lab. laboratorium, bapak pasien atas nama........? tempat
tanggal lahir ? (sambil mencocokkan dengan gelang pasien
Pasien : Iya saya..........
Analis Bapak apakah tadi sudah di berikan penjelasan oleh
Lab. perawat dan dokter kalau bapak akan di ambil darahnya
untuk di periksakan di laboratorium guna mendukung
dalam menegakan jenis penyakit yang bapak alami
Pasien : Sudah mba..
Analis : Prosesnya saya akan suntik di daerah lengan untuk
Lab. mencari pembuluh darahnya dan saya akan ambil
darahnya sedikit.
Pasien : Silahkan, Pak !!
Analis Permisi saya lihat tangannya ya pak..... ( sambil
Lab. mengerjakan )........
Maaf sakit sedikit yaa......
Analis Sudah selesai pak, darah ini akan saya periksa, untuk
Lab. hasilnya nanti akan saya sampaikan ke perawat yang
bertugas
terimakasih dan permisi
Pasien : Terima kasih, pak !!!
1 jam
kemudi
an
Analis : Mba, ini hasil pemeriksaan lab. Bapak (Herman) dengan
Lab. serum (+) HIV
Perawat : Oya, terima kasih !!

Hari ke
2
Dokter : Sus, Bagaimana dengan hasil laboratoriumnya !!
internis
Perawat : Hasil lab. Nya serumnya (+) HIV, dok !!
(2)
Dokter : Sus, saya mau ketemu pasiennya dan mana status
internis pasiennya !!!!
Perawat : Ini status pasiennya, dok !!!
(2)
Dokter : Selamat siang pak !!!
internis
Pasien : Selamat siang dok !!!

22
Dokter : Apakah bapak pernah atau sering gonta ganti pasangan
internis pada saat berhubungan dengan lain jenis !!!!

Pasien : Benar dok !!! saya suka ganti pasangan saat berhubungan
dengan lawannya jenis + 1 tahun terakhir.
Dokter : Dari hasil pemeriksaan Lab. Ternyata bapak menghidap
internis penyakit HIV
Pasien : Aaaaakh, saya menghidap penyakit HIV !!!
Dokter : Iya, nanti penjelasan lebih lanjut untuk bapak tentang HIV,
internis saya serahkan kepada konselor RS !!!
Dokter : Sus, sampaikan kepada konselor untuk memberikan
internis penjelasan dan pengarahan kepada pasien Herman !!!
Perawat : Iya dok !!
(2)
Bapak : Sus !!! Apa sakit anak saya !!!
Perawat : Sakit anak bapak adalah berak-berak, sariawan dan
(2) kondisinya lemah, perlu pengobatan dan perawatan di RS
ini.
Ibu : Apa penyakit anak saya bisa disembuhkan !!!
Perawat : Bu !!!! In syaa allah bisa disembuhkan, yang terpenting
adalah pasien mau mengikuti arahan dokter dan
perawatnya dalam pengobatan dan keperawatan di RS ini.
Ibu : Saya berdoa semoga anak saya cepat sembuh, yaa sus !!!
Perawat : Halo, Mba El, ada permintaan dari dokter internis untuk
(2) menjelaskan dan mengarahkan pasein HIV ini !!!
Konselor : Ooo Iya, nanti saya kesana.
(1)
Konselor : Selamat siang Mba !!! mana pasiennya
(1)
Perawat : Ini pasiennya
(2)
Konselor : Selamat siang ibu,
(1)
Pasien : Selamat siang.
Konselor : Perkenalkan nama saya elsye sebagai konselor bapak
(1) sekarang, saya mau berbicara kepada bapak tentang
penyakit yang bapak derita atau alami sekarang, apakah
bersedia dan bapak ada waktu buat saya !!!
Pasien : Silahkan, apa yang akan kita bicarakan !!
Konselor : Saya harapkan ibu dapat tabah dan sabar atas penyakit
(1) yang bapak derita, sebagaimana yang di sampaikan dr. Edi
K,S.PD tentang penyakit bapak yaitu HIV !!
Pasien : iya Sus, saya sudah tahu tentang penyakit saya !!
Pasien : Apa yang harus saya lakukan, sus !!! sekarang
Konselor : Yang bapak lakukan sekarang, bapak menerimanya
(1) dengan sabar dan tabah, berusaha untuk berobat,

23
mendekatkan diri kepada Tuhan YME, dan beraktifitas
seperti biasa !! Apakah bapak pernah menikah !!!
Pasien : Belum
Konselor : Kapan bapak melakukan gonta ganti pasangan saat
(1) berhubungan dengan lawan jenis !!
Pasien : Se tahun yang lalu !!!
Konselor : Kemungkinan, penularan HIV nya lewat hubungan sexual
(1)
Pasien : Ooo, itu jadi tempat penularannya !!
Konselor : Apakah bapak tahu tentang penyakit HIV !!
(1)
Pasien : Saya tidak tahu
Konselor : Penyakit HIV di sebabkan oleh virus HIV yang menyerang
(1) kekebalan
tubuh dan penularannya lewat persalinan, hubungan sex,
transfusi darah, bekas jarum yang digunakan oleh
penderita HIV !!!
Pasien : Ohh, jadi itu penyebab dan penularan penyakit HIV !!!
Konselor : Apakah bapak, mau orang tuanya diberitahu tentang
(2) penyakit bapak !!!
Pasien : Jangan diberitahu orang tua saya, agar tidak timbul
kemarahan, kebencian, sehingga mengganggu hubungan
keharmonisan saya !!
Konselor : Bapak, ikuti arahan dokter, suster dan konselor selama
(2) bapak di dalam pengobatan, perawatan dan konseling HIV
di RS
Pasien : Iya, saya mengerti dan mengikuti arahannya !!
Konselor : Saya berdoa semoga penyakit bapak ini dapat di
(2) sembuhkan, paling tidak dapat mengurangi penderitaan
yang bpak alami !!
Pasien : Terima kasih atas doanya.
Konselor : Saya kira cukup pembicaraan kita pada hari ini,
(2) sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas waktu yang
diberikan !!
Pasien : Saya juga mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan
tentang penyakit saya dan nasehat-nasehatnya, sus !!!
Konselor : Selamat siang, ibu
(2)
Pasien : Selamat siang, sus !!!

Kesimpulan :

1. Secara klinik seharusnya sebagai dokter dan perawat harus mengetahui


seorang pasien terkena HIV atau tidak. Sehingga dapat mengantisipasi
terjadinya resiko penularan terhadap pasien.

24
2. Hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan serum (+) HIV, sehingga
diagnose sudah dapat ditegakkan dan keperawatan sudah dapat dilakukan
sesuai pasien dengan kasus HIV (+).

3. Dokter internis menjelaskan diagnosa HIV (+) terhadap pasien, agar ada
kepastian penyakit yang di derita pasein, sehingga pasien tidak binggung
dan bertanya-tanya tentang masalah penyakitnya.

4. Konselor mengexpelor atau mengali riwayat pasein HIV saat gonta ganti
pasangan ketika berhubungan dengan lawan jenis selama satu tahun, agar
lebih jelas dan terarah terhadap konseling yang dilakukan terhadap pasien.

5. Pasien dapat mengerti dan memahami tentang penyakit yang dialami,


sehingga membangkitkan semangat beraktifitas dalam kehidupan sehari-
hari dan bersosialisasi dengan baik terhadap keluarga dan masyarakat.

6. Privasi pasien HIV (+) untuk tidak menceritakan penyakit terhadap keluarga,
harus di jaga dan di lindungi sesuai etika ODHA, agar jangan timbul
kemarahan dan kebencian dalam lingkungan keluarga dan masyarakat,
sehingga tidak mengganggu hubungan keharmonisan keluarga dan
masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konseling sangat dibutuhkan bagi pasien HIV/AIDS yang sudah
terdiagnosis maupun pada kelompok beresiko tinggi agar mau melakukan
tes, bersikap terbuka dan bersedia mencari perolongan dokter. Voluntary
Counseling and Testing (VCT) pertama kali dicetuskan oleh World Health
Organization (WHO) pada Oktober 1999 saat 30th Regional Health
Ministers’ Conference di Seychelles. Konseling dalam VCT adalah
kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan
perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral

25
(ARV) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan
HIV/AIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih
sehat dan lebih aman (Pedoman Pelayanan VCT, 2006).

B. Saran
1. Bagi institusi
Agar dapat menambah bahan kajian untuk VCT di mata ajar
komunikasi maupun promosi kesehatan
2. Bagi perawat
Agar menumbuhkan minta untuk mengetahui konseling bagi ODHA,
mengingat jumlah ODHA semakin meningkat setiap tahun

DAFTAR PUSTAKA

Arumsari, Nugraheni., dkk. 2013. Proses Komunikasi Dokter-Pasien


dalam Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) di RSUD
Tugurejo Semarang. Dalam Jurnal Kajian Komunikasi dan Media Massa Vol. I,
No. 1, 2013. Hal : 1-8. Surakarta: Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS.
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi. Teori dan Praktek,
Bandung, Rosda.
Enjang. 2009. Komunikasi Konseling dari Wawancara, Seni Mendengar,
sampai Soal Kepribadian. Bandung: Penerbit Nuansa
Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional Tes
Dan Konseling HIV Dan AIDS. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV (Vountary Counseling dan Testing = VCT) untuk Konselor HIV
Panduan Peserta. Jakarta.

26
Liliweri, Alo. 2008. Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Nasution, Rizka Wandari. 2008. Peran Komunikasi Antar Pribadi dalam
Voluntary Counselling and Testing (Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep
Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary
Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan. Skripsi pada Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara. Medan: Tidak Dipublikasikan.
Peraturan Menteri Kesehatan Rebuplik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

27

Anda mungkin juga menyukai