Oleh:
Putri Arini, S.Ked 04054821820003
Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked 04054821820045
Fadhila Khairunnisa, S.Ked 04084821820040
Pembimbing:
dr. Bintang Arroyantri P, Sp.KJ
i
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Oleh:
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar Palembang periode 4 Juni
2018 – 9 Juli 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul Depresi pada
ODHA. Penulisan referat ini merupakan salah satu tugas dan ujian dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Sriwijaya, Palembang
Dalam penulisan referat ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang kepada pihak-pihak yang membantu, khususnya kepada dr. Bintang
Arroyantri P, SpKJ, sebagai pembimbing.
Dalam penulisan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun isi dari materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna dan memberikan pengetahuan
bagi kita semua, khususnya dalam bidang ilmu kedokteran jiwa, amin.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................7
2.1 ODHA (Orang dengan HIV AIDS) ..............................................................7
2.1.1 DEFINISI ODHA............................................................................7
2.1.2 EPIDEMIOLOGI ODHA...............................................................8
2.1.3 PENULARAN HIV.........................................................................9
2.2 DEPRESI........................................................................................................9
2.2.1 DEFINISI DEPRESI.....................................................................9
2.2.2 EPIDEMIOLOGI DEPRESI.......................................................10
2.2.3 KLASIFIKASI DEPRESI............................................................10
2.2.4 PATOFISIOLOGI DEPRESI......................................................12
2.2.5 GEJALA DEPRESI......................................................................15
2.2.6 DIAGNOSIS DEPRESI................................................................17
2.2.7 PROGNOSIS DEPRESI...............................................................22
2.2.8 TERAPI DEPRESI.......................................................................23
2.3 HUBUNGAN ODHA DENGAN DEPRESI...............................................25
2.3.1 DEPRESI PADA ODHA...............................................................25
2.3.2 MEKANISME REAKSI PADA ODHA......................................26
2.3.2.1 TAHAPAN REAKSI PADA ODHA.........................................26
2.3.2.2 MEKANISME COPING............................................................28
BAB III KESIMPULAN....................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................33
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita
selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh kita menjadi
lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem
kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada
biasanya. Individu yang AIDS rentan terjangkit berbagai penyakit yang
mengancam (Sarafino, 1998). Berikut ini tabel perjalanan virus HIV :
7
2.1.2 Epidemiologi ODHA
Infeksi HIV dan AIDS di Indonesia telah dilaporkan secara resmi sejak
tahun 1987. UNAIDS/WHO (2005) memperkirakan ada sekitar 53.000-180.00
orang yang hidup dengan HIV dan AIDS di Indonesia dan menurut Departemen
Kesehatan RI (2005) 48% kasus yang dilaporkan berasal dari kalangan pengguna
narkoba suntik (penasun). Data dari the Joint United Nation Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) pada Desember 2004 tercatat 35,9 – 44,3 juta ODHA Di
Indonesia berdasarkan data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan
PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan sejak 1 juli 1987 hingga Maret
2008, secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan AIDS yang telah meninggal
dunia total berjumlah 17998. Namun, data jumlah penderita HIV dan AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO
mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang
lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui (Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
8
2.1.3 Penularan HIV
HIV terdapat pada seluruh cairan tubuh manusia tetapi yang bisa menularkan
hanya yang terdapat pada sperma, air mani, darah, dan cairan vagina.
2.2 Depresi
9
gerakan yang paling ringan sekalipun membutuhkan usaha yang luar biasa
besar.2,4,5
Berdasarkan usia, Populasi dunia 18-64 tahun, onset depresi antara 24-35
tahun dengan rata-rata usia 27 tahun. Terdapat beberapa perkembangan yang
menyatakan bahwa usia yang lebih muda onset depresi meningkat. Sebagai
contoh, 40% individu dengan depresi memiliki episode depresi pertama kali pada
usia 20 tahun, 50 % episode pertama antara usia 20 sampai 50 tahun, dan 10%
setelah usia 50 tahun.1,5
10
o F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
o F32.8 Episode depresif lainnya
o F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan depresif berulang
o F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
Tanpa gejala somatik
Dengan gejala somatik
o F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
Tanpa gejala somatik
Dengan gejala somatik
o F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
o F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
o F33.4 Ganguan depresif berulang ,sekarang dalam remisi
o F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
o F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap
o F34.0 Siklotimia
o F34.1 Distimia
o F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap lainnya
o F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap YTT
F38 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) lainnya
o F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
o F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) berulang lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
o F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya YDT
F39 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) YTT
11
2.2.4 Patofisiologi Depresi
Genetik
Penemuan keluarga, kembar, dan adaptasi
Studi keluarga menunjukkan risiko relatif bahwa setidaknya dua atau tiga
kali lebih besar untuk MDD dalam keluarga garis pertama dengn MDD, dengan
onset umur dan depresi berulang memberikan resiko yang lebih besar. Studi
adopsi, kebanyakan dari mereka di Skandinavia, menemukan bahwa depresi jauh
lebih mungkin dengan adanya kekerabatan biologis dibandingkan dengan orang
tua asuh untuk menderita depresi. Studi anak kembar yang membandingkan
kembar monozigot dan dizygot, memperlihatkan pada pembedahan genetik dari
pengaruh lingkungan terhadap risiko penyakit. Perkiraan dari studi anak kembar
kapasitas depresi diturunkan secara genetic antara 33 dan 70%, tanpa memandang
jenis kelamin. hasil yang konsisten dari berbagai penelitian menunjukkan dasar
genetik untuk MDD.1
Neurobiologi
o Monoamin
Hipotesis monoamina telah menjadi dasar teori neurobiologis depresi
selama 50 tahun terakhir. Berdasarkan pengamatan dari mekanisme kerja
antidepresan, hipotesis ini menyatakan bahwa depresi merupkan hasil dari defisit
serotonin (5-HT) di otak atau neurotransmisi norepinefrin pada sinaps.
Antidepresan bertindak dengan menghalangi transpor serotonin (SERT), yang
meningkatkan ketersediaan neurotransmiter ke dalam celah sinaps. Namun, teori
ini tidak sesuai dengan penundaan onset efek terapi antidepresan karena kenaikan
12
neurotransmiter sinapsi terjadi segera penghambatan pengambilan kembali. Studi
tryptophan deplesi dan katekolamin juga belum menghasilkan bukti untuk defisit
sederhana di tingkat neurotransmitter atau fungsi pada MDD.1,2,5
o Axis hipotalamus-hipofisis-adrenal
Perubahan dalam sumbu hipothalamic-hipofisis-adrenal telah lama diakui
dikaitkan dengan MDD. Efek stes biologis dimediasi oleh sekresi faktor pelepasan
kortikotropin / hormon (CRF / CRH) meningkatkan sekresi hormone
adrenocortitrophic (ACTH) dan melepaskan glukokortikoid. Glukokortikoid
mengubah sensitivitas reseptor noradrenergik melalui peraturan adrenoceptors
beta-dengan adenilat siklase di otak. Hasil stres kronis pada
Hipersensitivitas sumbu hipotalamus hipofisis adrenal dan MDD dikaitkan
dengan immunoreactivity CRF meningkat dan ekspresi gen dari CRF dalam
nucleus hipotalamus paraventrikular, dan turun-regulasi reseptor CRF-R1 di
korteks frontal. sekresi glukokortikoid lama menyebabkan efek neurotoksik,
terutama pada neurogenesis di hippocampus.1
o Tidur
Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama dianggap sebagai fitur
utama dari depresi klinis sehingga tidak mengherankan bahwa studi biologi telah
difokuskan pada disregulasi tidur pada MDD. Polysomnography digunakan untuk
mendeteksi gangguan tidur di MDD, dan memperlihatkan beberapa dari tanda-
tanda biologis yang paling kuat di depresi. masih ada kontroversi tentang apakah
depresi menyebabkan perubahan dalam tidur adalah penanda karakteristik,
mendahului onset depresi, dan memprediksi relaps pada pasien yang dilaporkan,
sehingga menunjukkan peran pathoogenetic untuk gangguan tidur pada MDD.1,5
13
Peningkatan lamanya REM
Neuropsikologi
o Kognitif dan Daya Ingat
Pasien depresi memperlihatkan gangguan pada fungsi kognitif dan daya
ingat, terutama pada perhatian-perhatian tertentu dan daya ingat yang tersamar.
Sebagai tambahan, ada beberapa defisit ingatan dalam jangka panjang dan
pengambilan daya ingat yang diucapkan, dan fungsi kognitif khusus seperti
pemilihan strategi dan pemantauan performa.1
Hipokampus adalah yang terpenting dalam proses daya ingat, sebagai jalur
neuron dalam memproses informasi dan membenntuk emosi dan menjabarkan
ingatan. Volume hipokampus menurun pada pasien depresi, terutama dengan
episode yang berulang atau kronis atau trauma masa lalu.1
14
genetik yang rendah., tetapi kejadian saat hidup dapat meningkatkan resiko
depresi dengan adanya peningkatan faktor genetik pada depresi.1
15
dibuat, dimana pasien menggambarkan bahwa tubuhnya yang membuat hal ini
atau mereka seperti berjalan di air.1
o Bunuh diri. Beberapa ide bunuh diri, dimulai dari pemikiran bahwa
dengan bunuh diri diharapkan semuanya akan selesai bersamaan dengan rencana
16
bunuh diri tersebut, terjadi pada 2/3 orang dengan depresi. Walaupun ide bunuh
diri merupakan hal yang serius, pasien depresi sering kekurangan tenaga dan
motivasi untuk melaksanakan bunuh diri. Tetapi, bunuh diri merupakan hal yang
menjadi pusat perhatian karena 10-15% pasien yang dirawat inap adalah pasien
yang matinya karena bunuh diri. Waktu resiko tinggi untuk terjadinya bunuh diri
adalah saat awalan pengobatan, ketika tenaga dan motivasinya mulai berkembang
baik selain gejala kognitif (keputusasaan), membuat pasien depresi mungkin
bertindak seperti apa yang mereka pikirkan dan rencanakan untuk bunuh diri.1
17
Kriteria depresi menurut PPDGJ III
Gejala lainnya:
a. konsentrasi dan perhatian berkurang
b. harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. tidur terganggu
g. nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang
-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
18
- Hanya ada sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejalanya secara rinci
Dalam hal demikian, penilaian scara menyeluruh terhadap episode deprsif berat
masih dapat dibenarkan
19
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf sangat terbatas.
Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu, hadir
untuk hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar tidak
responsif terhadap keadaan, dan bertahan selama minimal 2 minggu
20
Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan tidak
tepat
3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri
6. Gangguan tidur
A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan
memperlihatkan perubahan fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood depresi
(2)kehilangan minat
1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan
dengan laporan yang subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat oleh
orang sekitar.
2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hamper setiap hari. Note : pada anak-anak, berat badan
yang tidak naik
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain,
21
bukan perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau lamban)
7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi
delusi) hampir setiap hari
9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa
perencanaan yang jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan.
C. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan secara
klinis
D. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat, obat-
obatan) atau kondisi medis umum (hipotiroid)
E. Gejala yang muncul lebih baik tidak masuk dalam kriteria bereavement
Proporsi yang signifikan dari individu dengan depresi kronis meunjukkan gejala
yang bervariasi. Sekitar dua per tiga dari pasien dengan episode depresi mayor
akan sembuh dengan sempurna, dimana satu per tiga pasien dengan depresi hanya
22
sembuh sementara atau menjadi kronis. Pada penelitian, pasien dengan satu tahun
terdiagnosis post MDD, 40% mengalami penyembuhan tanpa ada gejala depresi,
20% mengalami gejala berulang tetapi tidak memenuhi kriteria MDD, dan 40%
tetap menjadi menalami episode depresi mayor. Individu dengan gejala depresi
residual yang menetap memiliki resiko tinggi untuk kambuh, bunuh diri, fungsi
psikososial yang buruk, dan tingkat mortalitas yang tinggi dari kondisi medis
lainnya. Sebagai tambahan, 5-10% individu depresi yang memiliki pengalaman
dari episode depresi mayor akan sangat memungkinkan terjadinya manic atau
episode campuran yang mengindikasikan kepada gangguan bipolar. Beberapa
penemuan sudah difokuskan kepada indicator prognosis yang dapat
memprediksikan kemungkinan nilai dalam penyembuhan dan kemungkinan dalam
tingkat kekambuhan pada individu dengan depresi.1,2
23
spesifik perlu diperhatikan. Metabolit aktif fluoxetine memiliki waktu paruh yang
lebih panjang daripada SSRI lainnya, yang menyebabkan fluoxetine hanya
diperbolehkan untuk dimakan satu dosis per hari dan dengan demikian
mengurangi efek dari diskontinuasi pengobatan SSRI. Namun Fluoxetine perlu
digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan sindroma bipolar atau pasien
dengan riwayat keluarga sindroma bipolar, karena metabolit aktif yang terdapat
dalam darah selama beberapa minggu dapat memperburuk episode manik pada
saat perubahan episode dari depresi ke episode manik. SSRI juga dapat digunakan
pada pasien yang tidak berespons dengan pengobatan trisiklik antidepresan, serta
pada pasien yang memiliki daya toleransi yang rendah pada kasus diskontinuasi
obat SSRI dan efek kardiovaskular. Meskipun obat trisiklik antidepresan mungkin
memiliki tingkat kemanjuran yang lebih tinggi daripada SSRI pada kasus-kasus
depresi mayor yang parah atau pada depresi dengan fitur melankolis, trisiklik
antidepresan kurang efektif pada pengobatan kasus bipolar karena trisiklik
antidepresan dapat memacu episode mania atau episode hipomania. SSRI tidak
begitu efektif bila dibandingkan jenis lainnya dalam kasus depresi yang
berhubungan dengan penyakit-penyakit fisik, ataupun pada kasus dimana terdapat
nyeri yang mencolok. SSRI yang paling menunjukan efektivitas pada anak-anak
dan dewasa muda (18-24 tahun) adalah Fluoxetine.
24
paroxetine golongan SSRI, sementara venlafaxine dan duloxetine juga efektif
untuk meredakan sakit yang kronis dan diabteik neuropathy.
Antidepresan lainnya
Mirtazapine dapat meningkatkan pelepasan norepinefrin dengan
menghambat autoreseptor a2-adrenergic dan reseptor serotonin 5-HT2A, reseptor
serotonin 5-HT3, serta reseptor hitsamin H-1. Nefazodone, menghambat reseptor
serotonin 5-HT2A dan reuptake serotonin – dengan begitu memiliki efektivitas
yang mirip dengan SSRI namun dengan efek samping minimal. Nefazodone juga
sering dipakai pada depresi pasca melahirkan, depresi kronis dan depresi major
dengan gangguan cemas yang resisten terhadap pengobatan lainnya
25
Menurut Sarafino (1998), suatu penyakit dan akibat yang diderita, baik
akibat penyakit ataupun intervensi medis tertentu dapat menimbulkan perasaan
negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya dan
perasaan-perasaan negatif tertentu yang dialami terus-menerus ternyata dapat
memperbesar kecenderungan seseorang terhadap suatu penyakit tertentu. Kondisi
ini mendesak mereka untuk melakukan perubahan-perubahan sosial secara cepat.
Namun, tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan tersebut yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat jatuh sakit, atau
mengalami gangguan penyesuaian diri/adjustment disorder (Hawari, 2004).
Perubahan-perubahan psikososial pada sebagian orang dapat merupakan beban
atau tekanan mental yang disebut stresor psikososial. Stresor psikososial (Hawari,
2004), adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam
kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau
penyesuaian diri untuk menanggulanginya.
26
individu biasanya mengikuti pola-pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan
yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap penderita. Artinya setiap penderita
mempunyai tahapan tersendiri, dapat urut atau melompat, dapat juga maju
kemudian mundur kembali. Reaksi-reaksi tersebut adalah :
a. Denial
Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan
perasaan menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah,
menyangkal, gugup dan kemudian menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan
sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis
yang dideritanya.
b. Anger
Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa
bersalah bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang
yang menularinya, tidak berdaya dan kehilangan kontrol serta akal sehatnya.
c. Bargaining
d. Depression
Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang
tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam
keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya.
e. Acceptance
Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu
penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup
yang tidak banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi
mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.
27
2.3.2.2 Mekanisme Coping
Dari beberapa definisi coping yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha kognitif dan perilaku dalam
mengelola tekanan-tekanan yang berfungsi membantu seseorang untuk bisa
menerima dan mentoleransi situasi yang menekan.
28
c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis
b) Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
29
kognitif yang digunakan sebagai coping terhadap HIV & AIDS yang kesemuanya
di masukkan dalam empat kategori besar, yaitu menghindari ancaman kematian,
mengurangi perasaan sebagai korban, mengontrol perasaan, dan menyiapkan
mental untuk menghadapi kekacauan emosi.
30
BAB III
KESIMPULAN
Stigma, yaitu ciri negative yang menempel pada pribadi seorang karena
pengaruh lingkungannya serta diskriminasi yang dialami kelompok ODHA juga
menjadi beban tambahan bagi pengidap HIV dan keluarganya. Depresi sendiri
adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu pada satu kutub (arah)
atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi emosional, perubahan dalam
motivasi, perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik, dan perubahan kognitif.
Terdapat gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam perkembangan emosi
jangka pendek atau masalah-masalah perilaku, dimana dalam kasus ini, perasaan
sedih yang mendalam dan perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-sia,
sebagai reaksi terhadap stressor) dengan kondisi mood yang menurun.
31
berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari
penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin
biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi
perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
Maj M, Sartorius N. Depressive Disorder Second Edition. Evidence and
experience in psychiatry. 2002. p. 8-12.
Moeller HJ. Department of Psychiatry, Ludwig-Maxmillians University, Munich,
Germany. 2008. [online]. Update 0n 1997. Vol 9(2). p. 102-14.
N. Henrndon J. Personalized Depression Therapy (PDT). Vallis Solaris press.
2001. p. 4,19-20
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2004. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
di Jawa Timur. Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Peveler R, Carson A, Rodin G. Depression in medical patients, in Mayou R,
Sharpe M, Alan C. ABC of Psychological Medicine. BMJ Publishing
group 2003. p. 10-3. 5.
Rice,P. L. (1992). Stres and Health. Second edition. California : Brooks Cole
Publishing Company.
Sadock, Benjamin James,et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition Lippincott
Williams & Wilkins. 2007. p. 1- 89.
Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth
Edition. USA: John Wiley & Sons.
Schrimshaw, E.W., & Siegel. K. 2000. Coping with Negative Emotions : The
Cognitive Strategies of HIV-infected Gay/Besexual Men. Journal of
Health Psychology. 5 : 517-530.
UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS. 2005. Report on the Global
AIDS Epidemic. http://www.unaids.org. Diakses pada 18 Juni 2018.
W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck Institutes.
2000. p. 1-57.
W. Long P. Mayor depressive Disorder, Treatment. [online]. Updated on Feb. 9,
1998. p 1-31. Available from : http://www.mentalhealth.com
34