Anda di halaman 1dari 34

Referat

DEPRESI PADA ODHA

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RS dr. Ernaldi Bahar Palembang

Oleh:
Putri Arini, S.Ked 04054821820003
Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked 04054821820045
Fadhila Khairunnisa, S.Ked 04084821820040

Pembimbing:
dr. Bintang Arroyantri P, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA ERNALDI BAHAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

DEPRESI PADA ODHA

Oleh:

Putri Arini, S.Ked 04054821820003


Dwi Lisa Nur’aini, S.Ked 04054821820045
Fadhila Khairunnisa, S.Ked 04084821820040

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar Palembang periode 4 Juni
2018 – 9 Juli 2018.

Palembang, Juni 2018

dr. Bintang Arroyantri P, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul Depresi pada
ODHA. Penulisan referat ini merupakan salah satu tugas dan ujian dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Sriwijaya, Palembang
Dalam penulisan referat ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang kepada pihak-pihak yang membantu, khususnya kepada dr. Bintang
Arroyantri P, SpKJ, sebagai pembimbing.
Dalam penulisan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun isi dari materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna dan memberikan pengetahuan
bagi kita semua, khususnya dalam bidang ilmu kedokteran jiwa, amin.

Palembang, Juni 2018

dr. Bintang Arroyantri P, Sp.KJ

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................7
2.1 ODHA (Orang dengan HIV AIDS) ..............................................................7
2.1.1 DEFINISI ODHA............................................................................7
2.1.2 EPIDEMIOLOGI ODHA...............................................................8
2.1.3 PENULARAN HIV.........................................................................9
2.2 DEPRESI........................................................................................................9
2.2.1 DEFINISI DEPRESI.....................................................................9
2.2.2 EPIDEMIOLOGI DEPRESI.......................................................10
2.2.3 KLASIFIKASI DEPRESI............................................................10
2.2.4 PATOFISIOLOGI DEPRESI......................................................12
2.2.5 GEJALA DEPRESI......................................................................15
2.2.6 DIAGNOSIS DEPRESI................................................................17
2.2.7 PROGNOSIS DEPRESI...............................................................22
2.2.8 TERAPI DEPRESI.......................................................................23
2.3 HUBUNGAN ODHA DENGAN DEPRESI...............................................25
2.3.1 DEPRESI PADA ODHA...............................................................25
2.3.2 MEKANISME REAKSI PADA ODHA......................................26
2.3.2.1 TAHAPAN REAKSI PADA ODHA.........................................26
2.3.2.2 MEKANISME COPING............................................................28
BAB III KESIMPULAN....................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................33

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

ODHA adalah suatu istilah yang sering digunakan yang merupakan


singkatan dari Orang dengan HIV dan AIDS. HIV adalah virus golongan RNA
yang spesifik menyerang system kekebalan tubuh/ imunitas manusia, system
syaraf dan menyebabkan AIDS. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
adalah sekumpulan gejala klinis akibat penurunan system imun yang timbul akibat
infeksi HIV. AIDS sering bermanifestasi dengan munculnya berbagai penyakit
infeksi oportunistik, keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya. Stigma, yaitu
ciri negative yang menempel pada pribadi seorang karena pengaruh
lingkungannya serta diskriminasi yang dialami kelompok ODHA juga menjadi
beban tambahan bagi pengidap HIV dan keluarganya.

Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang mungkin merupakan penyulit


psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk
menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai kejadian depresi yang
pasti pada ODHA, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di
dalam masyarakat umum. Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV
berhubungan dengan tekanan social dan kehidupan tertentu, seperti stigma yang
mungkin mempengaruhi seseorang untuk menjadi depresi.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ODHA (Orang dengan HIV AIDS)

2.1.1 Definisi ODHA

ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV AIDS. Menurut


Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2004 tentang tentang
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, ODHA adalah orang yang sudah
terinfeksi HIV baik pada tahap belum bergejala maupun yang sudah bergejala.

AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita
selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh kita menjadi
lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem
kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada
biasanya. Individu yang AIDS rentan terjangkit berbagai penyakit yang
mengancam (Sarafino, 1998). Berikut ini tabel perjalanan virus HIV :

Tabel 1. Perjalanan virus HIV

Perjalanan Virus HIV

3 bulan 10-15 tahun 1-2 tahun

Terinfeksi HIV HIV Positif AIDS

Tanpa gejala -Gejala ringan -Infeksi oportunistik

-Belum perlu ke RS -Perlu ke RS

7
2.1.2 Epidemiologi ODHA

Infeksi HIV dan AIDS di Indonesia telah dilaporkan secara resmi sejak
tahun 1987. UNAIDS/WHO (2005) memperkirakan ada sekitar 53.000-180.00
orang yang hidup dengan HIV dan AIDS di Indonesia dan menurut Departemen
Kesehatan RI (2005) 48% kasus yang dilaporkan berasal dari kalangan pengguna
narkoba suntik (penasun). Data dari the Joint United Nation Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) pada Desember 2004 tercatat 35,9 – 44,3 juta ODHA Di
Indonesia berdasarkan data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan
PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan sejak 1 juli 1987 hingga Maret
2008, secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan AIDS yang telah meninggal
dunia total berjumlah 17998. Namun, data jumlah penderita HIV dan AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO
mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang
lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui (Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan RI, 2011).

Situasi yang sama juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang


merupakan salah satu propinsi di Indonesia dengan jumlah penderita HIV dan
AIDS yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari statistik kasus HIV dan AIDS di
Indonesia hingga Desember 2008, prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk
untuk wilayah DIY mencapai peringkat kedua untuk pulau jawa yaitu 8,01.8
Jumlah penderita HIV/AIDS di wilayah Provinsi DIY terus mengalami
peningkatan. Data Dinas Kesehatan Propinsi DIY tahun 2006 menyebutkan
jumlah ODHA sebanyak 291 orang dengan kasus HIV Positif 91 orang, dan data
tahun 2008 mencatat sebanyak 567 penderita HIV dan AIDS tersebar di lima
Kabupaten/kota Yogyakarta.4 Berdasarkan hasil serosurvey pada 2004, Kota
Yogyakarta juga masuk dalam level epidemic terkonsentrasi, sebuah situasi
dimana 5% atau lebih dari populasi beresiko tinggi disinyalir telah terinfeksi HIV
(Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY, 2012).

8
2.1.3 Penularan HIV

HIV terdapat pada seluruh cairan tubuh manusia tetapi yang bisa menularkan
hanya yang terdapat pada sperma, air mani, darah, dan cairan vagina.

Dengan demikian cara penularannya adalah sebagai berikut:

1. Berganti-ganti pasangan seksual, atau berhubungan dengan orang yang


positif terinfeksi virus HIV

2. Memakai jarum suntik bekas orangyang terinfeksi virus HIV

3. Menerima tranfusi darah yang tercemar HIV

2.2 Depresi

2.2.1 Definisi Depresi

Depresi merupakan salah satu gangguan mood (mood disorder). Depresi


sendiri adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu pada satu kutub
(arah) atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi emosional, perubahan
dalam motivasi, perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik, dan perubahan
kognitif. Terdapat gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam perkembangan
emosi jangka pendek atau masalah-masalah perilaku, dimana dalam kasus ini,
perasaan sedih yang mendalam dan perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-
sia, sebagai reaksi terhadap stressor) dengan kondisi mood yang menurun. 2,3

Depresi Mayor merupakan gangguan yang lebih berat, membutuhkan lima


atau lebih simptom-simptom selama dua minggu, salah satunya harus ada
gangguan mood, atau ketidaksenangan pada anak-anak. Sedangkan episode
depresi berat menurut kriteria DSM-IV- TR, adalah suasana perasaan ekstrem
yang berlangsung paling tidak dua minggu dan meliputi gejala-gejala kognitif
(seperti perasaan tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi fisik yang terganggu
(seperti perubahan pola tidur, perubahan nafsu makan dan berat badan yang
signifikan, atau kehilangan banyak energi) sampai titik dimana aktivitas atau

9
gerakan yang paling ringan sekalipun membutuhkan usaha yang luar biasa
besar.2,4,5

2.2.2 Epidemiologi Depresi

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi dari Major Depressive Disorder


(MDD) adalah 1,6-3,1 kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan
pria dengan insiden yang besar di Amerika dan Eropa Barat. Episode depresi
meningkat karena perbedaan hormonal pada saat haid dan menopause, stress
psikososial, dan kelahiran anak.1,5

Berdasarkan usia, Populasi dunia 18-64 tahun, onset depresi antara 24-35
tahun dengan rata-rata usia 27 tahun. Terdapat beberapa perkembangan yang
menyatakan bahwa usia yang lebih muda onset depresi meningkat. Sebagai
contoh, 40% individu dengan depresi memiliki episode depresi pertama kali pada
usia 20 tahun, 50 % episode pertama antara usia 20 sampai 50 tahun, dan 10%
setelah usia 50 tahun.1,5

2.2.3 Klasifikasi Depresi

Depresi mayor termasuk di dalam Gangguan Mood yang menurut ICD 10


Termasuk dalam bagian F30-F39, yakni:

 F32 Episode depresif


o F32.0 Episode depresif ringan
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
o F32.1 Episode depresif sedang
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
o F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

10
o F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
o F32.8 Episode depresif lainnya
o F32.9 Episode depresif YTT
 F33 Gangguan depresif berulang
o F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
o F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
 Tanpa gejala somatik
 Dengan gejala somatik
o F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
o F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
o F33.4 Ganguan depresif berulang ,sekarang dalam remisi
o F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
o F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
 F34 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap
o F34.0 Siklotimia
o F34.1 Distimia
o F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap lainnya
o F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) menetap YTT
 F38 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) lainnya
o F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya
 .00 Episode afektif campuran
o F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) berulang lainnya
 .10 Gangguan depresif singkat berulang
o F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) tunggal lainnya YDT
 F39 Gangguan suasana perasaan (mood[afektif]) YTT

11
2.2.4 Patofisiologi Depresi

Patofisiologi MDD belum diketahui secara pasti, tetapi etiologi selalu


dihubungkan oleh banyak faktor sebagai diagnosis MDD dengan melihat
beberapa sindrom yang ada dengan gejala yang berhubungan. Faktor biologis,
psikologis, dan sosial berkaitan dengan MDD, tetapi penemuan terbaru
menyatakan genetik, gambaran neurologis, dan biologi molekuler sudah
menjelaskan beberapa hubungan dengan tekanan yang besar ini, terutama pada
modulasi dari kehidupan pada proses genetic dan neurobiology.1,2,5

 Genetik
Penemuan keluarga, kembar, dan adaptasi
Studi keluarga menunjukkan risiko relatif bahwa setidaknya dua atau tiga
kali lebih besar untuk MDD dalam keluarga garis pertama dengn MDD, dengan
onset umur dan depresi berulang memberikan resiko yang lebih besar. Studi
adopsi, kebanyakan dari mereka di Skandinavia, menemukan bahwa depresi jauh
lebih mungkin dengan adanya kekerabatan biologis dibandingkan dengan orang
tua asuh untuk menderita depresi. Studi anak kembar yang membandingkan
kembar monozigot dan dizygot, memperlihatkan pada pembedahan genetik dari
pengaruh lingkungan terhadap risiko penyakit. Perkiraan dari studi anak kembar
kapasitas depresi diturunkan secara genetic antara 33 dan 70%, tanpa memandang
jenis kelamin. hasil yang konsisten dari berbagai penelitian menunjukkan dasar
genetik untuk MDD.1

 Neurobiologi
o Monoamin
Hipotesis monoamina telah menjadi dasar teori neurobiologis depresi
selama 50 tahun terakhir. Berdasarkan pengamatan dari mekanisme kerja
antidepresan, hipotesis ini menyatakan bahwa depresi merupkan hasil dari defisit
serotonin (5-HT) di otak atau neurotransmisi norepinefrin pada sinaps.
Antidepresan bertindak dengan menghalangi transpor serotonin (SERT), yang
meningkatkan ketersediaan neurotransmiter ke dalam celah sinaps. Namun, teori
ini tidak sesuai dengan penundaan onset efek terapi antidepresan karena kenaikan

12
neurotransmiter sinapsi terjadi segera penghambatan pengambilan kembali. Studi
tryptophan deplesi dan katekolamin juga belum menghasilkan bukti untuk defisit
sederhana di tingkat neurotransmitter atau fungsi pada MDD.1,2,5

o Axis hipotalamus-hipofisis-adrenal
Perubahan dalam sumbu hipothalamic-hipofisis-adrenal telah lama diakui
dikaitkan dengan MDD. Efek stes biologis dimediasi oleh sekresi faktor pelepasan
kortikotropin / hormon (CRF / CRH) meningkatkan sekresi hormone
adrenocortitrophic (ACTH) dan melepaskan glukokortikoid. Glukokortikoid
mengubah sensitivitas reseptor noradrenergik melalui peraturan adrenoceptors
beta-dengan adenilat siklase di otak. Hasil stres kronis pada
Hipersensitivitas sumbu hipotalamus hipofisis adrenal dan MDD dikaitkan
dengan immunoreactivity CRF meningkat dan ekspresi gen dari CRF dalam
nucleus hipotalamus paraventrikular, dan turun-regulasi reseptor CRF-R1 di
korteks frontal. sekresi glukokortikoid lama menyebabkan efek neurotoksik,
terutama pada neurogenesis di hippocampus.1

o Tidur
Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama dianggap sebagai fitur
utama dari depresi klinis sehingga tidak mengherankan bahwa studi biologi telah
difokuskan pada disregulasi tidur pada MDD. Polysomnography digunakan untuk
mendeteksi gangguan tidur di MDD, dan memperlihatkan beberapa dari tanda-
tanda biologis yang paling kuat di depresi. masih ada kontroversi tentang apakah
depresi menyebabkan perubahan dalam tidur adalah penanda karakteristik,
mendahului onset depresi, dan memprediksi relaps pada pasien yang dilaporkan,
sehingga menunjukkan peran pathoogenetic untuk gangguan tidur pada MDD.1,5

Kotak 1. Abnormalitas Tidur Polisomnografi pada gangguan depresi mayor 1

 Onset awal REM (Rapid Eye Movement)

 Peningkatan tidur REM

13
 Peningkatan lamanya REM

 Penurunan tidur gelombang lambat/slow wave sleep (SWS)

 Perubahan SWS yang terjadi pada awal saat malam

 Gangguan pada slow wave activity (SWA)

 Neuropsikologi
o Kognitif dan Daya Ingat
Pasien depresi memperlihatkan gangguan pada fungsi kognitif dan daya
ingat, terutama pada perhatian-perhatian tertentu dan daya ingat yang tersamar.
Sebagai tambahan, ada beberapa defisit ingatan dalam jangka panjang dan
pengambilan daya ingat yang diucapkan, dan fungsi kognitif khusus seperti
pemilihan strategi dan pemantauan performa.1

Hipokampus adalah yang terpenting dalam proses daya ingat, sebagai jalur
neuron dalam memproses informasi dan membenntuk emosi dan menjabarkan
ingatan. Volume hipokampus menurun pada pasien depresi, terutama dengan
episode yang berulang atau kronis atau trauma masa lalu.1

o Lingkungan dan kejadian kehidupan


Depresi selalu diikuti oleh stres psikososial yang berat, terutama pada
episode depresi pertama atau kedua. Pengalaman masa kanak yang berat seperti
kekerasan pada anak, kehilangan orang tua, dan dukungan sosial yang buruk
adalah stres yang paling umum yang terjadi pada pasien depresi. Peningkatan
bukti yang menyatakan bahwa stres dan trauma dapat mengakibatkan gangguan
sistem biologik pada depresi.1,2,5

Studi kembar memperlihatkan innteraksi antara resiko genetik dan kejadian


saat hidup dalam berkembangya depresi. Kehidupan yang penuh dengan stress
tidak terdapat resiko dalam menghasilkan depresi pada wanita dengan faktor

14
genetik yang rendah., tetapi kejadian saat hidup dapat meningkatkan resiko
depresi dengan adanya peningkatan faktor genetik pada depresi.1

2.2.5 Gejala Depresi

o Mood yang rendah. Selama orang depresi memperlihatkan suasana


perasaannya dengan mood yang rendah, pengalaman emosional yang buruk
selama depresi berbeda secara kualitatif dengan orang yang mengalami kesedihan
dalam batas normal atau rasa kehilangan yang dialami oleh orang pada umumnya.
Beberapa menyampaikannya dengan menangis, atau merasa seperti ingin
menangis, lainnya memperlihatkan respon emosional yang buruk.1

o Minat. Kehilangan minat pada aktivitas atau interaksi sosial yang


biasanya ada merupakan salah satu tanda penting pada depresi. Anhedonia juga
memperlihatkan sebagai pembedanya, dan tetap ada walaupun penderita tidak
memperlihatkan mood yang turun. Kehilangan minat seksual, keinginan, atau
fungsi juga umum terjadi, dimana dapat menyebabkan masalah dalam hubungan
terdekat atau konflik rumah tangga.1,6

o Tidur. Kebanyakan pasien depresi mengalami kesulitan tidur. Hal yang


klasik adalah terbangun dari tidur pada pagi buta dan tidak dapat tidur lagi
(terminal insomnia), tetapi tidur dengan kelelahan dan frekuensi terbangun pada
tengah malam (insomnia pertengahan) juga umum terjadi. Kesulitan tertidur pada
malam hari (insomnia awal atau permulaan) biasanya terlihat saat cemas
menyertai. Tetapi, hipersomnia atau tidur yang berlebihan juga bisa menjadi
gejala yang umum terjadi pada pasien depresi.1

o Tenaga. Kelelahan adalah keluhan yang sering disampaikan pada depresi,


seperti sulit untuk memulai suatu pekerjaan. Kelelahan dapat bersifat mental atau
fisik, dan bisa berhubungan dengan kurangnya tidur dan nafsu makan, pada kasus
yang berat, aktivitas rutin seperti kebersihan sehari-hari atau makan kemungkinan
terganggu. Pada bentuk yang ekstrem dari kelelahan adalah kelumpuhan yang

15
dibuat, dimana pasien menggambarkan bahwa tubuhnya yang membuat hal ini
atau mereka seperti berjalan di air.1

o Rasa bersalah. Perasaan tidak berguna dan merasa bersalah dapat


menjadi hal yang umum dipikirkan oleh pasien yang dalam episode depresi.
Pasien depresi sering salah menginterpretasikan kejadian sehari-hari dan
mengambil tanggung jawab kejadian negative diluar kemampuan mereka, ini
dapat menjadi suatu porsi delusi. Rasa cemas yang berlebihan dapat menyertai
dan rasa bersalah yang muncul kembali.1

o Konsentrasi. Kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengambil keputusan


adalah hal yang sering dialami oleh pasien depresi. Keluhan tentang daya ingat
biasanya menyebabkan permasalahan pada perhatian. Pada pasien lanjut usia,
keluhan kognitif bisa salah didiagnosis sebagai dementia onset dini.1

o Nafsu makan/berat badan. Kehilangan nafsu makan, rasa, dan nikmat


dalam makan akan menyebabkan kehilangan berat badan yang signifikan dan
beberapa pasien harus memaksa dirinya sendiri untuk makan. Bagaimanapun,
pasien lainnya harus mendapatkan karbohidrat dan glukosa ketika depresi, atau
perlakuan sendiri dalam mendapatkan kenyamanan dalam makan. Tetapi,
berkurangnya aktifitas dan olahraga akan menyebabkan peningkatan berat badan
dan sindrom metabolic. Perubahan berat badan juga dapat berdampak pada
gambaran diri dan harga diri.1

o Aktivitas psikomotor. Perubahan psikomotor, dimana terjadi perubahan


pada fungsi motorik tanpa adanya kelainan pada tes secara objektif, sering terlihat
pada depresi. Kemunduran psikomotor meliputi sebuah perlambatan
(melambatnya gerakan badan, buruknya ekspresi wajah, respon pembicaraan yang
lama) dimana pada keadaan yang ekstrem dapat menjadi mutisme atau katatonik.
Kecemasan juga dapat bersamaan dengan agitasi psikomotorik (berbicara cepat,
sangat berenergi, tidak dapat duduk diam).1,6

o Bunuh diri. Beberapa ide bunuh diri, dimulai dari pemikiran bahwa
dengan bunuh diri diharapkan semuanya akan selesai bersamaan dengan rencana

16
bunuh diri tersebut, terjadi pada 2/3 orang dengan depresi. Walaupun ide bunuh
diri merupakan hal yang serius, pasien depresi sering kekurangan tenaga dan
motivasi untuk melaksanakan bunuh diri. Tetapi, bunuh diri merupakan hal yang
menjadi pusat perhatian karena 10-15% pasien yang dirawat inap adalah pasien
yang matinya karena bunuh diri. Waktu resiko tinggi untuk terjadinya bunuh diri
adalah saat awalan pengobatan, ketika tenaga dan motivasinya mulai berkembang
baik selain gejala kognitif (keputusasaan), membuat pasien depresi mungkin
bertindak seperti apa yang mereka pikirkan dan rencanakan untuk bunuh diri.1

o Gejala lain. Kecemasan, dengan berbagai manifestasi klinis, adalah hal


yang umum pada depresi. Mudah marah dan perubahan mood yang cepat,
berlebihan dalam kemarahan dan kesedihan, dan frustasi juga mudah terganggu
untuk hal kecil adalah yang sering terlihat. variasi diurnal mood, dengan
kekhawatiran pada pagi hari, dapat muncul. Depresi sering menyebabkan
berkurangnya kepercayaan diri dan harga diri dengan pemikiran bahwa dirinya
tidak berguna didukung dengan keputusasaan. Depresi juga berhubungan dengan
peningkatan frekuensi sakit fisik, seperti sakit kepala, sakit punggung, dan kondisi
nyeri kronis lainnya.1,6

2.2.6 Diagnosis Depresi

DSM-IV-TR, membagi depresi menjadi tiga bagian besar : gangguan


depresi mayor/ major depressive disorder (MDD), distimia, dan depresi yang tidak
terklasifikasikan.1

MDD memiliki karakteristik dengan adanya satu atau lebih episode


depresi mayor (Kotak 2). kriteria diagnosis menunjukkan beberapa gejala yang
harus ada pada waktu yang sering, sekurang-kurangnya dalam 2 minggu,
walaupun durasinya terkadang lebih lama dari waktu yang terlihat. Gejala yang
muncul juga harus memperlihatkan perubahan fungsi yang signifikan. Akhirnya,
bereavement dan beberapa penyebab gejala depresi harus dapat disingkirkan.1,5

17
Kriteria depresi menurut PPDGJ III

F32 Episode depresif


Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan dan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas

Gejala lainnya:
a. konsentrasi dan perhatian berkurang
b. harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. tidur terganggu
g. nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang
-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.2) hanya digunakan untuk


episode depresif tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya harus
diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33-)

F32.0 Episode depresif ringan


Pedoman diagnostic

- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut di


atas
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya sampai dengan (g)
- Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu

18
- Hanya ada sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya

Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatic


F 32.01 = dengan gejala somatik

F32.1 episode depresif sedang


Pedoman diagnostik
- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
depresi ringan
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga

F 32.2 episode depresif berat tanpa gejala psikotik


Pedoman diagnostik
- Semua 3 gejala utama depresi harus ada

- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di


antaranya harus berintensitas berat

- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejalanya secara rinci

Dalam hal demikian, penilaian scara menyeluruh terhadap episode deprsif berat
masih dapat dibenarkan

- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2


minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.

19
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf sangat terbatas.

F 32.3 episode depresif berat dengan gejala psikotik


- Episode depresi berta yang memenuhi kriteria menurut F 32.2 tersebut di atas;
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan
pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menunjukkan stupor.
Jika diperlikan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak
serasi dengan afek (mood-congruent)

F 32.8 episode depresif lainnya

F32.9 episode depresif YTT


Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik
F 32.01 = dengan gejala somatic

Episode depresi berdasarkan ICD-10 6


Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi kriteria untuk
episode hypomanic atau manik pada setiap saat dalam kehidupan individu

3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental organik

Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu, hadir
untuk hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar tidak
responsif terhadap keadaan, dan bertahan selama minimal 2 minggu

2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya


menyenangkan

3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat

20
Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri

2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan tidak
tepat

3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri

4. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau berkonsentrasi,


seperti keraguan atau kebimbangan

5. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis

6. Gangguan tidur

7. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan perubahan berat


badan yang sesuai

Kotak 2. DSM-IV-TR kriteria diagnosis episode depresi mayor 1,5

A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan
memperlihatkan perubahan fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood depresi
(2)kehilangan minat

1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan
dengan laporan yang subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat oleh
orang sekitar.

Note : pada anak dan remaja, dapat mudah marah

2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal

3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hamper setiap hari. Note : pada anak-anak, berat badan
yang tidak naik

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari

5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain,

21
bukan perasaan yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau lamban)

6. Cepat lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari

7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi
delusi) hampir setiap hari

8. Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari

9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa
perencanaan yang jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan.

B. Gejala-gejalanya tidak memenuhi episode campuran

C. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan secara
klinis

D. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat, obat-
obatan) atau kondisi medis umum (hipotiroid)

E. Gejala yang muncul lebih baik tidak masuk dalam kriteria bereavement

2.2.7 Prognosis Depresi

Beberapa pasien, MDD dapat menjadi kronis, penyakit yang berulang.


Relaps terjadi pada enam bulan pertama dari masa penyembuhan terjadi pada 25%
pasien, 58% akan relaps setelah lima tahun, dan 85% akan relaps setelah 15 tahun
setelah penyembuhan yang terdahulu. Individu yang mengalami dua episode
depresi terdahulu memiliki 70% kemungkinan untuk menjadi ke tiga kalinya, dan
yang sudah mengalami episode ke tiga memiliki kemungkinan 90% untuk relaps.
Berdasarkan prodres dari penyakitnya, interval antara episode depresi menjadi
lebih pendek dan lebih berat untuk setiap episodenya menjadi lebih luas. Lebih
dari 20 tahun, kekambuhan terjadi sekitar lima sampai enam kali.1,8

Proporsi yang signifikan dari individu dengan depresi kronis meunjukkan gejala
yang bervariasi. Sekitar dua per tiga dari pasien dengan episode depresi mayor
akan sembuh dengan sempurna, dimana satu per tiga pasien dengan depresi hanya

22
sembuh sementara atau menjadi kronis. Pada penelitian, pasien dengan satu tahun
terdiagnosis post MDD, 40% mengalami penyembuhan tanpa ada gejala depresi,
20% mengalami gejala berulang tetapi tidak memenuhi kriteria MDD, dan 40%
tetap menjadi menalami episode depresi mayor. Individu dengan gejala depresi
residual yang menetap memiliki resiko tinggi untuk kambuh, bunuh diri, fungsi
psikososial yang buruk, dan tingkat mortalitas yang tinggi dari kondisi medis
lainnya. Sebagai tambahan, 5-10% individu depresi yang memiliki pengalaman
dari episode depresi mayor akan sangat memungkinkan terjadinya manic atau
episode campuran yang mengindikasikan kepada gangguan bipolar. Beberapa
penemuan sudah difokuskan kepada indicator prognosis yang dapat
memprediksikan kemungkinan nilai dalam penyembuhan dan kemungkinan dalam
tingkat kekambuhan pada individu dengan depresi.1,2

2.2.8 Terapi Depresi

Memilih pengobatan harus mencakup evaluasi seberapa parah episode


depresif telah terjadi, ketersediaan sumber daya pengobatan, dan keinginan
pribadi pasien. Untuk depresi ringan sampai berat, psikoterapi berbasis bukti sama
efektifnya dengan farmakoterapi. Terdapat sedikit bukti bahwa kombinasi antara
farmakoterapi dan psikoterapi untuk Beberapa jenis obat tersebut adalah SSRIs,
NRI dan obat-obatan dengan cara kerja ganda yang menghambat pengambilan
serotonin dan norepinefrin. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs) bekerja
dengan menghambat degradasi monoamine oleh Monoamine oxidase A atau B.
Sementara obat-obat antidepresan yang lain mengantagonis kerja autoreseptor α2-
adrenergik yang mengakibatkan meningkatnya pelepasan norepinefrin,
mengantagonis reseptor 5-hydroxytryptamine2A, atau keduanya.

 SSRIs(Selective Serotonine Reuptake inhibitor)


Pada percobaan klinis, didapatkan bahwa keberhasilan pengobatan dengan
beberapa macam SSRIs bila dibandingkan dengan dengan beberapa jenis
antidepressan lain adalah kurang bermakna, namun beberapa perbedaan yang

23
spesifik perlu diperhatikan. Metabolit aktif fluoxetine memiliki waktu paruh yang
lebih panjang daripada SSRI lainnya, yang menyebabkan fluoxetine hanya
diperbolehkan untuk dimakan satu dosis per hari dan dengan demikian
mengurangi efek dari diskontinuasi pengobatan SSRI. Namun Fluoxetine perlu
digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan sindroma bipolar atau pasien
dengan riwayat keluarga sindroma bipolar, karena metabolit aktif yang terdapat
dalam darah selama beberapa minggu dapat memperburuk episode manik pada
saat perubahan episode dari depresi ke episode manik. SSRI juga dapat digunakan
pada pasien yang tidak berespons dengan pengobatan trisiklik antidepresan, serta
pada pasien yang memiliki daya toleransi yang rendah pada kasus diskontinuasi
obat SSRI dan efek kardiovaskular. Meskipun obat trisiklik antidepresan mungkin
memiliki tingkat kemanjuran yang lebih tinggi daripada SSRI pada kasus-kasus
depresi mayor yang parah atau pada depresi dengan fitur melankolis, trisiklik
antidepresan kurang efektif pada pengobatan kasus bipolar karena trisiklik
antidepresan dapat memacu episode mania atau episode hipomania. SSRI tidak
begitu efektif bila dibandingkan jenis lainnya dalam kasus depresi yang
berhubungan dengan penyakit-penyakit fisik, ataupun pada kasus dimana terdapat
nyeri yang mencolok. SSRI yang paling menunjukan efektivitas pada anak-anak
dan dewasa muda (18-24 tahun) adalah Fluoxetine.

 NRIs (Norepinephrine Reuptake Inhibitor)


Nortriptyline, maprotiline, dan desipramine adalah NRI trisiklik dengan
efek antikolinergik, sementara reboxetine adalah NRI selektif fengan efektivitas
yang mirip dengan trisiklik antidepresan dan SSRI.

 Antidepresan kerja ganda


Serotonin–norepinephrine reuptake inhibitors seperti venlafaxine,
duloxetine, dan milnacipran memblok transporter monoamine lebih efektif
daripada trisiklik antidepresan, dengan efek samping jantung minimal. Kerja
ganda dari antidepresan seperti venlafaxine menunjukan efektivitas yang lebih
tinggi dan nilai remisi yang lebih tinggi pada depresi yang parah bila dibandingan
dengan fluoxetine atau trisiklik antidepresan Efektivitas duloxetine mirip dengan

24
paroxetine golongan SSRI, sementara venlafaxine dan duloxetine juga efektif
untuk meredakan sakit yang kronis dan diabteik neuropathy.

 MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitor)


MAOI generasi lama yang secara ireversibel dan nonselektif memblok
isoenzim MAO A dan B memiliki efektivitas yang mirip dengan trisiklik
antidepresan. Namun MAOI bukanlah obat pilihan pertama dikarenakan pasien
yang memilih pengobatan dengan MAOI diharuskan untuk mengikuti diet dengan
tyramine rendah untuk mencegah munculnya krisis hipertensi, serta karena MAOI
juga memiliki resiko interaksi obat yang tinggi dengan pengobatan lainnya.
MAOI biasanya dipakai pada pasien yang tidak berespons pada pengobatan
trisiklik antidepresan.

 Antidepresan lainnya
Mirtazapine dapat meningkatkan pelepasan norepinefrin dengan
menghambat autoreseptor a2-adrenergic dan reseptor serotonin 5-HT2A, reseptor
serotonin 5-HT3, serta reseptor hitsamin H-1. Nefazodone, menghambat reseptor
serotonin 5-HT2A dan reuptake serotonin – dengan begitu memiliki efektivitas
yang mirip dengan SSRI namun dengan efek samping minimal. Nefazodone juga
sering dipakai pada depresi pasca melahirkan, depresi kronis dan depresi major
dengan gangguan cemas yang resisten terhadap pengobatan lainnya

2.3 Hubungan ODHA dengan Depresi

2.3.1 Depresi pada ODHA

Depresi pada ODHA dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya


buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun,
depresi, berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak
alami dari penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau
kemarahan mungkin biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit,
tetapi perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal.

25
Menurut Sarafino (1998), suatu penyakit dan akibat yang diderita, baik
akibat penyakit ataupun intervensi medis tertentu dapat menimbulkan perasaan
negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya dan
perasaan-perasaan negatif tertentu yang dialami terus-menerus ternyata dapat
memperbesar kecenderungan seseorang terhadap suatu penyakit tertentu. Kondisi
ini mendesak mereka untuk melakukan perubahan-perubahan sosial secara cepat.
Namun, tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan tersebut yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat jatuh sakit, atau
mengalami gangguan penyesuaian diri/adjustment disorder (Hawari, 2004).
Perubahan-perubahan psikososial pada sebagian orang dapat merupakan beban
atau tekanan mental yang disebut stresor psikososial. Stresor psikososial (Hawari,
2004), adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam
kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau
penyesuaian diri untuk menanggulanginya.

Penelitian mengenai ODHA yang memfokuskan pada perkembangan


status identitas pada penderita HIV & AIDS dengan menggunakan metode
kualitatif yang dilakukan oleh Yunita dan Ginanjar (2001), menghasilkan bahwa
secara khusus terdapat perubahan status identitas pada tiga area yang di alami oleh
penderita pada saat sebelum dan sesudah ia mengetahui bahwa menderita HIV
positif, yaitu area pekerjaan, kepercayaan religius, dan tingkah laku seksual.
Keduanya menambahkan bahwa penderita HIV mengalami semua reaksi
psikologis yang umumnya dialami oleh penderita HIV & AIDS, seperti terkejut,
penyangkalan dan kemarahan, menarik diri dan depresi, membuka diri, mencari
teman, status spesial, tingkah laku altruistik, dan menerima.

2.3.2 Mekanisme Reaksi pada ODHA

2.3.2.1 Tahapan Reaksi ODHA

Kubler-Ross’s (Sarafino, 2006) melakukan wawancara terhadap 200


individu yang mengalami terminal illnes dan mengatakan bahwa penyesuaian

26
individu biasanya mengikuti pola-pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan
yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap penderita. Artinya setiap penderita
mempunyai tahapan tersendiri, dapat urut atau melompat, dapat juga maju
kemudian mundur kembali. Reaksi-reaksi tersebut adalah :

a. Denial
Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan
perasaan menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah,
menyangkal, gugup dan kemudian menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan
sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis
yang dideritanya.

b. Anger
Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa
bersalah bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang
yang menularinya, tidak berdaya dan kehilangan kontrol serta akal sehatnya.

c. Bargaining

Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan


melakukan tawar-menawar atau berusaha untuk bernegosiasi dengan Tuhan.

d. Depression

Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang
tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam
keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya.

e. Acceptance

Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu
penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup
yang tidak banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi
mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.

27
2.3.2.2 Mekanisme Coping

Matheny, dkk. (Rice, 1992), mendefinisikan coping sebagai segala usaha,


sehat maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau
ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan stresor, atau
untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres. Billing dan Moss (Rice,
1992), menguraikan perilaku coping bisa dikategorikan pertama-tama dalam
istilah metode coping (coping method) menghadapi atau menghindari (active or
avoidance), lebih terperinci dalam fokus responnya coping bisa dikategorikan
pada orientasi masalah (problem oriented), atau orientasi emosi (emotion
oriented).

Dari beberapa definisi coping yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha kognitif dan perilaku dalam
mengelola tekanan-tekanan yang berfungsi membantu seseorang untuk bisa
menerima dan mentoleransi situasi yang menekan.

Lazarus & Folkman (1984), menggolongkan dua strategi coping yang


biasanya digunakan oleh individu, yaitu problem focused coping dan emotion
focused coping.

1. Problem focused coping


Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari
masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres.
Problem focused coping terdiri dari :

a) Confrontative coping, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan


dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan
resiko.

b) Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan dan


bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.

28
c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis

2) Emotion focused coping

Merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam rangka


menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang penuh tekanan, sedangkan kondisi objektif yang menimbulkan
masalah tidak ditangani. Emotion focus coping terdiri dari :

a) Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan


secara emosional maupun sosial dari orang lain.

b) Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.

c) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar


dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan
pandanganpandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.

d) Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan


berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat
religious.

e) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri


dalam permasalahan yang di hadapinya, dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah
terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak
baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.

f) Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari


situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan,
minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Pada ODHA Schrimashaw dan Siegel (2000), dalam penelitiannya


mengenai strategi kognitif penderita HIV pada gay menemukan ada 40 strategi

29
kognitif yang digunakan sebagai coping terhadap HIV & AIDS yang kesemuanya
di masukkan dalam empat kategori besar, yaitu menghindari ancaman kematian,
mengurangi perasaan sebagai korban, mengontrol perasaan, dan menyiapkan
mental untuk menghadapi kekacauan emosi.

Sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Kurniawati (2006),


mengenai coping stres pada ODHA menunjukkan bahwa ODHA memiliki
kecenderungan untuk melakukan emotion focus coping daripada problem focus
coping. Pengeksplorasian emosi ternyata merupakan proses penting bagi ODHA
untuk kemudian dapat menerima keadaan. Problem focus coping dilakukan
ODHA untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Strategi ini dilakukan
ODHA dengan menjaga pola hidup sehatnya ataupun dengan mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang HIV & AIDS untuk mengantisipasi adanya
penurunan kesehatan.

30
BAB III

KESIMPULAN

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala


klinis akibat penurunan system imun yang timbul akibat infeksi HIV. ODHA
adalah suatu istilah yang sering digunakan yang merupakan singkatan dari Orang
dengan HIV dan AIDS. HIV adalah virus golongan RNA yang spesifik
menyerang system kekebalan tubuh/ imunitas manusia, system syaraf dan
menyebabkan AIDS. UNAIDS/WHO (2005) memperkirakan ada sekitar 53.000-
180.00 orang yang hidup dengan HIV dan AIDS di Indonesia dan menurut
Departemen Kesehatan RINamun, data jumlah penderita HIV dan AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO
mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang
lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui (Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan RI, 2011).

Stigma, yaitu ciri negative yang menempel pada pribadi seorang karena
pengaruh lingkungannya serta diskriminasi yang dialami kelompok ODHA juga
menjadi beban tambahan bagi pengidap HIV dan keluarganya. Depresi sendiri
adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu pada satu kutub (arah)
atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi emosional, perubahan dalam
motivasi, perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik, dan perubahan kognitif.
Terdapat gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam perkembangan emosi
jangka pendek atau masalah-masalah perilaku, dimana dalam kasus ini, perasaan
sedih yang mendalam dan perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-sia,
sebagai reaksi terhadap stressor) dengan kondisi mood yang menurun.

Depresi pada ODHA dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk,


rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun, depresi,

31
berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari
penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin
biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi
perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal.

Penyesuaian individu biasanya mengikuti pola-pola yang dapat diprediksi


dalam 5 tahapan yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap penderita. Artinya
setiap penderita mempunyai tahapan tersendiri, dapat urut atau melompat, dapat
juga maju kemudian mundur kembali. Terdapat 5 tahapan penyesuaian/reaksi
individu terhadap penyakitnya yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan
acceptance.

Pengeksplorasian emosi ternyata merupakan proses penting bagi ODHA


untuk kemudian dapat menerima keadaan. Problem focus coping dilakukan
ODHA untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Strategi ini dilakukan
ODHA dengan menjaga pola hidup sehatnya ataupun dengan mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang HIV & AIDS untuk mengantisipasi adanya
penurunan kesehatan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos GS, Katz IR, et al. The Expert Consensus Guidelines®:


Pharmacotherapy of Depressive Disorders in Older Patients. A
Postgraduate Medicine Special Report. The McGraw-Hill Companies,
Inc. October 2001.
Altshuler LL, Cohen LS, Moline ML, Kahn DA, Carpenter D, Docherty JP. The
Expert onsensus Guidelines®: Treatment of Depression in Women. A
Postgraduate Medicine Special Report. The McGraw-Hill Companies,
Inc. March 2001.
Anonim. Depression in Older Adults, in : Mental Health: A report of the surgeon
general. [online]. Dapat diakses pada: http://www.Mental Health.com

Anonim. Major depressive disorder. [online]. Dapat diakses


pada: http://www.Major_depressive_disorder.htm
Departemen Kesehatan RI. 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di
Indonesia, Hasil SSP Tahun 2004-2005. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.
Ginanjar, S. A., & Yunita, S. B. (2001). Perkembangan Status Identitas Diri Pada.
Penderita HIV / AIDA. Jurnal Psikologi Sosial. Depok: Universitas.
Indonesia.
Hawari D. 2004. Manajemen Cemas dan Depresi. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (KPAP
DIY). 2012. Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY.
Yogyakarta: KPAP DIY.
Kurniawati. 2006. Coping Stres Pada Orang Dengan HIV/AIDS (Sebuah Studi
Kasus). Skripsi. (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga.
Lazarus, S. & Folkman, R.S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer
Publishing: New York.

33
Maj M, Sartorius N. Depressive Disorder Second Edition. Evidence and
experience in psychiatry. 2002. p. 8-12.
Moeller HJ. Department of Psychiatry, Ludwig-Maxmillians University, Munich,
Germany. 2008. [online]. Update 0n 1997. Vol 9(2). p. 102-14.
N. Henrndon J. Personalized Depression Therapy (PDT). Vallis Solaris press.
2001. p. 4,19-20
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2004. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
di Jawa Timur. Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Peveler R, Carson A, Rodin G. Depression in medical patients, in Mayou R,
Sharpe M, Alan C. ABC of Psychological Medicine. BMJ Publishing
group 2003. p. 10-3. 5.
Rice,P. L. (1992). Stres and Health. Second edition. California : Brooks Cole
Publishing Company.
Sadock, Benjamin James,et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition Lippincott
Williams & Wilkins. 2007. p. 1- 89.
Sarafino, E. P. (2006). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. Fifth
Edition. USA: John Wiley & Sons.
Schrimshaw, E.W., & Siegel. K. 2000. Coping with Negative Emotions : The
Cognitive Strategies of HIV-infected Gay/Besexual Men. Journal of
Health Psychology. 5 : 517-530.
UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS. 2005. Report on the Global
AIDS Epidemic. http://www.unaids.org. Diakses pada 18 Juni 2018.
W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck Institutes.
2000. p. 1-57.
W. Long P. Mayor depressive Disorder, Treatment. [online]. Updated on Feb. 9,
1998. p 1-31. Available from : http://www.mentalhealth.com

34

Anda mungkin juga menyukai