Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DEEP VEIN THROMBOSIS


Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di RS Islam Jemursari Surabaya

Disusun oleh:
Kentriska Sulistyowati
5120022040
Pembimbing:
dr. Mia Puspitasari., Sp. JP

Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
RSI Jemursari Surabaya
2022

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DEEP VEIN THROMBOSIS

Oleh:
Kentriska Sulistyowati
5120022040

Referat “Diagnosis Dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis” ini telah diperiksa,
disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSI Jemursari Surabaya,
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.

Surabaya, 28 Desember 2022


Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Mia Puspitasari, Sp. JP

2
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DEPAN .................................................................................................. 1
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... 2

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 4


1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4

BAB 2 PEMBAHASAN ......................................................................................... 6


2.1 Definisi Deep Vein Thrombosis .................................................................. 6
2.2 Faktor resiko Deep Vein Thrombosis ......................................................... 4
2.3 Manifestasi Klinis Deep Vein Thrombosis ................................................ 5
2.4 Etiologi Deep Vein Thrombosis ............................................................ 6
2.5 Diagnosis Deep Vein Thrombosis ............................................................... 8
2.2.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik ............................................... 8
2.2.2 Pemeriksaan Penunjang pada Deep Vein Thrombosis .............. 10
2.2.3 Algoritma Diagnostik Deep Vein Thrombosis .......................... 12
2.6 Tatalaksana Deep Vein Thrombosis ......................................................... 14
2.3.1 Tatalaksana Farmakologi .......................................................... 14
2.3.2 Tatalaksana non Farmakologi ................................................... 17
2.7 Komplikasi Deep Vein Thrombosis .......................................................... 16

BAB 3 KESIMPULAN ......................................................................................... 19


3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trombosis vena dalam atau yang disebut Deep Vein Thrombosis
(DVT) merupakan bagian dari tromboemboli vena (VTE) dimana hal ini
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang dapat dicegah di
seluruh dunia. Kejadian (DVT) terbentuk karena pembentukan bekuan
gumpalan darah yang terbentuk di dalam vena, sebagian besar terjadi pada
kaki, yang merupakan awal terjadinya emboli ke paru (pulmonary embolism
atau PE). Sekitar 5% thrombosis juga bisa terjadi di tempat lain seperti
lengan atau trombosis yang superfisialis (Salvi et al., 2020).
Deep Vein Thrombosis akan menyebabkan munculnya gejala nyeri,
bengkak, peningkatan, visibilitas vena kulit, eritema dan sianosis yang
disertai demam yang tanpa sebab. Saat ini penyebab utama trombosis vena
dalam masih belum jelas, namun terdapat tiga kelompok faktor pendukung
yang dianggap berperan penting dalam pembentukannya yang dikenal
sebagai Trias Virchow, yaitu abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh
darah dan komponen faktor koagulasi. Kejadian paling banyak DVT
terbanyak adanya thrombosis vena berasal dari ekstremitas bawah, selian itu
dapat berpotensi membentuk emboli pada paru – paru yang dikarenakan
adanya thrombosis vena dalam sehingga menyebabkan trombus kemudian
mengikuti aliran darah dan terperangkap dalam arteri pulmonalis (Othieno
et al., 2018).
Trombosis vena dalam dan emboli paru sering terjadi dan sering tidak
terdeteksi dan tidak terdiagnosis, oleh karena itu, insiden dan prevalensi
sering diremehkan. Diperkirakan insiden tahunan DVT adalah 80 kasus per
100.000 populasi, dengan prevalensi DVT tungkai bawah 1 kasus per 1000
populasi. Pada tahun 2018 di Amerika Serikat lebih dari 200.000 orang
menderita DVT, dan sekitar 50.000 kasus DVT disertai oleh emboli paru
(Sharif et al., 2019).

4
1 – 10% penderita trombosis vena bersifat fatal, terutama terjadi pada
orang tua atau penderita dengan penyakit berat seperti kanker. Insiden
trombosis ini meningkat secara ekponensial berdasarkan umur. Pada anak-
anak insidennya 1 per 100.000 pertahun, pada dewasa muda insidennya 1
per 10.000, umur pertengahan adalah 1 per 1.000, pada orang tua sebanyak
1% dan 10% pada pasien yang sangat tua. Kekambuhan trombosis ini adalah
3 – 10% pertahun (Kafeza et al., 2017).
Mortalitas pada pasien DVT dengan emboli paru dilaporkan sekitar
2-5% kasus hal ini dipengaruhi adanya faktor usia tua, imobilitas yang lama,
trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena
varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena,
keganasan (Wilbur & Shian, 2017).

5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Deep Vein Thrombosis


Deep vein thrombosis merupakan kejadian pembekuan darah
(thrombus) pada vena dalam, dimana paling sering mengenai vena dalam
pada kaki yang mengenai bagian vena pada betis, paha dan vena popliteal
atau vena dalam pada bagian panggul, lengan yang menuju ke jantung.
Trombosis adalah formasi dari beberapa komponen darah yang abnormal
atau berupa bekuan darah yang terjadi tanpa disertai adanya luka atau lesi
vaskular. DVT pada dasarnya merupakan penyakit tromboemboli vena
(VTE) yang juga meliputi meliputi pulmonary embolism (PE) (Borgel et al.,
2019).

2.2 Faktor Resiko Deep Vein Thrombosis


Deep vein thrombosis adalah penyakit multifaktorial yang terkait
dengan keadaan hiperkoagulasi, perubahan aliran darah dan lesi pembuluh
darah endotel, berikut adalah faktor resiko menurut McLendon et al (2021)
yang dapat menyebabkan terjadinya DVT:
1. Imobilitas atau kurang gerak
Kurangnya gerak pada seseorang akan menyebabkan melambatnya
aliran darah pada vena dan meningkatkan terjadinya bekuan darah,
contohnya seperti:
1) Pasca operasi dengan waktu lebih dari 30 menit, karena pada saat
anestesinya sehingga menyebabkan aliran darah vena menurun,
maka pasca operasi biasanya diberikan suntikan heparin untuk
mencegah terjadinya DVT.
2) Pada pasien dengan sakit stroke dengan perawatan lama yang
mengharuskan untuk imobilisasi.
3) Perjalanan jauh dengan menggunakan kereta atau pesawat
meningkatkan risiko terjadinya DVT.
2. TVD yang terjadi sebelumnya dan kerusakan vena antara lain:

6
1) Vena jika mengalami kerusakan akan menyebabkan munculnya
vasculitis, yaitu adanya inflamasi pada dinding vena.
2) Fraktur tungkai bawah
3) Komplikasi dari tindakan invasif pada vena.
3. Faktor pasien
1) Pada genetik terdapat faktor V Leiden trombofilia yang dapat
menyebabkan bekuan abnormal yang menyebabkan risiko
timbulnya DVT.
2) Umur > 40 tahun
3) Obesitas
4) Defisiensi (protein C, protein S, antitrombin)
5) Mutasi gen protrombin
6) Keganasan penyebaran adenokarsinoma (McLendon et al., 2021).

2.3 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda pada DVT menurut Stone et al (2017) menyebutkan
berhubungan dengan terjadinya obstruksi aliran darah balik ke jantung yang
menyebabkan darah terkumpul di lengan atau tungkai sehingga akan
menimbulkan gejala seperti:
1. Nyeri tekan pada tungkai atau betis bila terjadi di tungkai dan di lengan
atau leher jika mengenai ekstrimitas atas.
2. Pembengkakan terlokalisir pada daerah yang terkena disertai pitting
oedema. Untuk DVT distal pembengkakan sampai di bawah lutut dan
DVT proksimal sampai daerah pantat.
3. Perabaan kulit hangat dan kemerahan di sekitar daerah DVT terutama
di bagian belakang dan lutut, terdapat pelebaran vena superfisial dan
pada obstruksi berat kulit tampak sianosis (Stone et al., 2017).

2.4 Etiologi Thrombosis


Penyebab thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang terkait dengan
imobilisasi dan yang berhubungan dengan hiperkoagulasi baik yang
berhubungan dengan faktor genetik atau didapat. Trombosis vena adalah

7
penyakit dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor risiko
sering terjadi bersama – sama pada suatu waktu. Paling banyak faktor risiko
thrombosis bersifat herediter dan sudah berlangsung lama, kemudian
diperberat oleh adanya faktor risiko yang didapat (Gaballa et al., 2020).
Beberapa faktor risiko thrombosis yang didapat sangat tinggi, dan
menyebabkan risiko trombosis vena lebih dari 50%. Kondisi dengan faktor
risiko yang tinggi tersebut ialah seperti operasi ortopedik, neurosurgical,
intervensi di daerah abdomen, trauma mayor dengan fraktur yang multiple,
kateter vena sentral, kanker metastase khususnya adenokarsinoma. Faktor
risiko sedang adalah anthiphospholipid antibody syndrome, puerperium,
bedrest yang lama, sedangkan faktor risiko yang ringan merupakan adanya
kanker non metastase, kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, dalam terapi
hormone tertentu, kegemukan dan perjalanan yang jauh (Monagle et al.,
2018).

2.5 Diagnosis Deep Vein Thrombosis


2.5.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis pasien DVT biasanya terlihat dari nyeri yang bersifat
lokal, keluhan bengkak pada kaki, edema. Namun, tidak menutup
kemungkinan bahwa pada beberapa populasi dapat simomatik atau
asimtomatik, bilateral atau unilateral, berat atau ringan. Edema yang
mengenai tungkai merupakan gejala spesifik yang paling sering dikeluhkan
pada DVT. Selain itu dapat ditanyakan kepada pasien mengenai keluhan
seperti (Firdaus, 2018):
1. Terdapatnya kram pada betis bagian bawah yang menetap selama
beberapa hari dan memberikan ketidaknyamanan seiring berjalannya
waktu
2. Rasa nyeri pada tungkati saat aktivitas maupun istirahat yang disertai
edema
3. Kaki bengkak, dan nyeri tungkai bawah
4. Riwayat thrombosis sebelumnya
5. Riwayat thrombosis dalam keluarga (Firdaus, 2018).

8
Adapun pemeriksaan fisik yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Inspeksi tungkai bawah biasanya terdapat perubahan warna pada
tungkai bawah saat diobservasi, dengan perubahan warna kulit menjadi
merah-keunguan merupakan perubahan warna yang paling sering, oleh
karena adanya obstruksi vena. Pada kasus yang jarang, dijumpai adanya
ileofemoral obstruksi vena dan kaki akan menjadi sianosis, yang disebut
phlegmasia curulea dolens (inflamasi yang berwarna biru dengan nyeri
yang cukup hebat). Di samping itu, edema juga menyebabkan oklusi
dari aliran vena dan menyebabkan kaki terlihat pucat. Nyeri, edema dan
perubahan warna disebut phlegmasia alba dolens (inflamasi berwarna
putih dengan nyeri yang cukup hebat).

a b

Gambar 2.1 (a)phlegmasia curulea dolens dan (b) phlegmasia alba dolens

2. Palpasi adanya bengkak, kemerahan dan nyeri tekan sepanjang vena


superfisialis

9
3. Auskultasi adanya sesak, takipneu dan takikardi yang merupakan gejala
emboli paru (PE) sebagai komplikasi tersering dari DVT, khususnya
DVT di bagian proksimal.
Berdasarkan guideline UW Health Venous Thromboembolism
Diagnosis and Treatment – Adult – Inpatient/Ambulatory Emergency
Departement Clinical Practice Guideline perhitungan sistem skoring Wells
merupakan sebuah alat yang digunakan untuk menentukan langkah
diagnostik selanjutnya, dengan menggunakan kriteria penilaian
"kemungkinan tidak DVT" jika skor klinis 1 atau kurang, dan "kemungkinan
DVT" jika skor klinis lebih dari 1, berikut adalah tabel penilaiannya
(Scarvelis & Wells, 2006).

Gambar 2.2 Skor Wells untuk kecurigaan klinis trombosis vena dalam (Scarvelis
& Wells, 2006).
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang pada Deep Vein Thrombosis
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam
mendukung diagnosis DVT adalah sebagai berikut:
1. Pencitraan Ultrasound Doppler Vena
Ultrasound Doppler merupakan modalitas pencitraan lini
pertama untuk diagnosis DVT proksimal karena aman, mudah diakses,
hemat biaya, dan dapat diandalkan. Pemeriksaan ini dapat secara akurat
menentukan ukuran, kronisitas, dan derajat oklusi trombus dan
karenanya lebih baik menginformasikan keputusan untuk melakukan
manajemen medis atau teknik intervensi. Colour mode dan Doppler

10
mode dibutuhkan untuk membedakan aliran arteri dan vena.
Pemeriksaan dengan cara menelusuri vena secara distal, melakukan
kompresi setiap 1 sentimeter (Stone et al., 2017).

Gambar 2.3 Pencitraan Ultrasound Doppler Pada Vena.


Pencitraan US Doppler vena femoralis kiri menunjukkan oklusi
lengkap oleh trombus heterogen dengan dilatasi vena di lokasi
trombosis. Tidak ada bentuk gelombang yang signifikan (Stone
et al., 2017).

2. D-Dimer
D-Dimer adalah pemeriksaan laboratorium yang tidak kalah
pentingnya untuk pemeriksaan DVT. D-Dimer adalah pemeriksaan
yang sensitif untuk ekslusi dari VTE dengan hasil dikatakan positif
apabila nilai > 3,999 ng/ml, baik itu DVT maupun PE. Namun
spesifisitias pada pemeriksaan ini masih sangat rendah. Sering sekali
hasil yang ada tidak sesuai dengan konfirmasi VTE berdasarkan
imaging, dan false positive D-Dimer juga sering ditemukan pada
beberapa kasus. Pada beberapa penelitian untuk meningkatkan
spesifisitas dari pemeriksaan ini penggunaan dari pemeriksaan D-dimer
yang dihubungkan dengan usia telah banyak di pelajari oleh beberapa
studi, dengan meningkatkan cut off pada peningkatan usia diatas 50
tahun. Selain itu D-Dimer memiliki sensifitas yang rendah dikarenakan
dikarenakan produk degradasi fibrin yang menonjol, yang dihasilkan

11
oleh respons fibrinolitik terhadap pembentukan trombus dalam tubuh.
Peningkatan D-dimer tidak hanya terjadi pada trombosis, karena dapat
meningkat pada berbagai keadaan patologis termasuk keganasan,
kondisi inflamasi, kehamilan, dan penyakit hati. Hal ini juga meningkat
selama periode pasca operasi dan setelah trauma (van Ommen &
Nowak-Göttl, 2017).
3. Contrast venography
Media kontras disuntikkan dan radiografi serial diambil untuk
memvisualisasikan sistem vena dalam kaki. Cacat dalam pengisian
media kontras yang persisten dalam beberapa tampilan dianggap
sebagai diagnostik DVT. Gambar dibawah ini menunjukkan Pencitraan
angiogram dari vena poplitea kiri menunjukkan trombus sebagian
oklusif dengan margin yang tidak teratur dan aliran kontras yang
berkurang (Stone et al., 2017).

Gambar 2.4 Contrast venography (Stone et al., 2017).


2.5.3 Algoritma Diagnostik Deep Vein Thrombosis
Langkah awal dalam penegakan diagnostik pasien dengan gejala
yang sesuai dengan DVT awalnya harus memiliki penentuan probabilitas
pretest probability assessment menggunakan model prediksi menggunakan
Wells score yang ditetapkan. Jika skornya ≤ 1 (DVT unlikely), lakukan
pemeriksaan D-Dimer. Jika hasilnya negatif maka DVT dapat disingkirkan.
Jika hasilnya positif dilakukan venous ultrasound. Jika hasil venous
ultrasound negatif maka DVT juga data disingkirkan. Diagnosis DVT hanya
dibuat apabila hasil venous ultrasound nya positif. Jika skor Wells > 1 (DVT

12
likely) maka pemeriksaan selanjutnya adalah venous ultrasound. Jika hasil
ultrasound nya positif maka diagnosis DVT dapat ditegakkan. Bila hasil
ultrasound negatif maka dilakukan pemeriksaan D-Dimer, apabila D-Dimer
negatif berarti DVT dapat disingkirkan tetapi apabila hasilnya positif
lakukan pemeriksaan ulang ultrasound 6 – 8 hari lagi atau lakukan
venography. Pengujian kadar D-Dimer memiliki keuntungan lebih lanjut
dalam memungkinkan pengelolaan pasien dengan dugaan DVT pada saat
tidak tersedianya pencitraan radiografi. Algoritme ini tidak digunakan pada
kehamilan, sebab pada kondisi ini biasanya D-dimer tinggi. (Mazzolai et al.,
2018).

Gambar 2.5 Diagnostik dan algoritma manajemen DVT (Mazzolai et al., 2018).

13
2.6 Tatalaksana Deep Vein Thrombosis
2.6.1 Tatalaksana Farmakologi

Gambar 2.7 algoritma Tatalaksana DVT (Mazzolai et al., 2018).

Deep vein trombosis terdiri dari tiga fase. Terapi awal adalah sekitar
5-21 hari setelah diagnosis. Pada periode ini, pasien menerima terapi
parenteral dan ditransisi ke antagonis vitamin K (VKA) atau penggunaan
dosis tinggi oral antikoagulan (DOACS). Terapi jangka panjang (setelah 3-
6 bulan) pasien diterapi dengan VKA dan DOACS. Terapi inisial dan jangka
panjang dibutuhkan pada semua pasien DVT. Perawatan awal dan jangka
panjang adalah wajib untuk semua pasien DVT. Keputusan pemberian terapi
lanjutan diberikan diatas 3 sampai 6 bulan berdasarkan manfaat atau risiko
untuk kelanjutan antikoagulan. Pada pasien dengan gagal ginjal yang berat
(creatinin clearance <30 ml/ menit) fungsi ginjal yang tidak stabil, atau
resiko tinggi terhadap perdarahan,
pemberian unfractionated intravena lebih disukai (waktu paruh rendek dan
reversibel untuk pemberian protamin sulfat). Obat ini juga berhubungan
dengan heparin induced trombositopenia. Untuk alasan-alasan ini LMWH
parenteral merupakan pengobatan yang direkomendasikan. LMWH masih
sama efektif dengan UFH dan memiliki kemungkinan tinggi lebih aman.

14
Fondaparinux juga dapat digunakan sebagai agen parenteral (Mazzolai et
al., 2018).

Gambar 2.8 Fase Pengobatan DVT (Mazzolai et al., 2018).

Keterangan:
CI Creat : Creatinin clearance
LMWH : Low Molecular Weight Heparin
PP Inhibitors : Proton Pump Inhibitors
VKA : Vitamin K antagonis
1. Pilihan terapi antikoagulan
1) Fondaparinux merupakan pentasakarida sintetik dan sudah diakui
sebagai tromboprofilaksis DVT. Pada penggunaan Fondaparinux
karena tidak mengganggu fungsi dan agregasi trombosit,
Fondaparinux mempunyai respon yang dapat diprediksi. Dosis
pemberian 2,5 mg sehari sekali diberikan secara sub kutan pasca
bedah, dosis awal harus diberikan minimal 6 jam setelah
pembedahan selesai. Pengobatan dilanjutkan selama 5-9 hari, lansia
> 75 tahun dan/ atau dengan berat badan < 50 kg dan/atau gangguan
ginjal sedang dengan kreatinin klirens 30 mL/menit pemberian
pertama tidak boleh kurang dari 6 jam setelah pembedahan selesai,
injeksi tidak boleh diberikan kecuali apabila hemostasis tercapai,
pengobatan deep vein thrombosis (DVT) dan pulmonary

15
embolism (PE) dosis 5 mg untuk BB < 50 kg, 7,5 mg BB 50 – 100
kg, 10 mg BB >100 kg, pengobatan diberikan secara sub kutan
selama minimal 5 hari, pengobatan bersama antagonis vitamin K
dimulai sesegera mungkin dalam waktu 72 jam (Becattini & Agnelli,
2016).
2) Dabigatran merupakan obat penghambat trombin yang baru.
Dabigatran diserap secara cepat di saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas 5 - 6%. Mempunyai waktu paruh 8 jam setelah dosis
pertama dan waktu paruh dapat memanjang sampai 17 jam setelah
diberikan beberapa dosis dengan peningkatan kadar mencapai
puncak dalam plasma dalam waktu 2 jam. Obat ini mempunyai efek
antikoagulan yang dapat diprediksi, dan tidak tidak memerlukan
evaluasi koagulasi. Dosis 110 mg, 1-4 jam setelah operasi,
dilanjutkan pada hari berikutnya, 220 mg (2 kapsul 110 mg) sekali
sehari selama 10 hari (Mazzolai et al., 2018).
3) Rivaroxaban mempunyai efektivitas yang sama dengan LMWH,
enoxaparin, fondaparinux, dan warfarin dalam mencegah VTE yang
berulang. Obat ini juga mempunyai kelebihan seperti merupakan
obat oral dengan dosis sekali sehari dan tidak memerlukan
pemantauan laboratorium. Dosis pemberian 20 mg sekali sehari
(dosis maksimal), untuk DVT: 15 mg dua kali sehari (dosis
maksimal 30 mg, jika lupa dapat diminum sekaligus dua tablet),
untuk tiga minggu pertama diikuti selanjutnya 20 mg sekali sehari
(dosis maksimal) (Mazzolai et al., 2018).
2. Terapi trombolitik
Trombolitik diindikasikan pada masif DVT yang ditandai oleh
phlegmasia cerulean dolens dan menyelamatkan tungkai yang terkena.
Obat trombolitik yang tersedia seperti tissue plasminogen activator
(tPA), streptokinasi, dan urokinase. Trombolitik endovaskular
merupakan metode yang dilakukan selama ini. Catheterdirected
thrombolysis (CDT) dapat digunakan dalam pengobatan DVT sebagai
terapi tambahan terapi medical (Mazzolai et al., 2018).

16
3. Filter vena cava
Vena cava filter dapat digunakan ketika antikoagulasi benar –
benar dikontraindikasikan pada pasien dengan DVT proksimal yang
baru didiagnosis, salah satu komplikasi utama adalah trombosis filter.
Oleh karena itu, antikoagulan harus dimulai segera setelah
kontraindikasi teratasi, seperti adanya perdarahan yang mengancam
nyawa, dan kegagalan terapi dengan antikoagulan yang adekuat
(Mazzolai et al., 2018).
2.6.2 Tatalaksana non Farmakologi
Adapun pencegahan pada pasien dengan DVT adalah sebagai
berikut:
1. Pada pasien dengan risiko rendah disarankan untuk memakai
compression stockings.
2. Kurangi merokok dan berat badan yang dapat meningkatkan terjadinya
DVT.
3. Selama perjalanan jauh (> 6 jam) dianjurkan banyak minum air,
menghindari alkohol, melakukan olahraga sederhana untuk tungkai,
serta menggunakan kaos kaki compression stockings (Stone et al.,
2017).

2.7 Komplikasi Deep Vein Thrombosis


2.7.1 Pulmonary Embolism (PE)
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau
percabangannya akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain.
Tanda dan gejalanya tidak khas, sering kali pasien mengeluh sesak
napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe,
palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami
penurunan kesadaran,hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan
membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode
diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimerdan CT angiografi

17
2.7.2 Post Thrombotic Syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang
terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis,
atau karena sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh
bengkak dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai
2 tahun setelah kejadian trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada
beberapa pasien dapat terjadi ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah
perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan
luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus menggunakan compressible
stocking untuk mencegah berulangnya post thrombotic syndrome.
Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien
mendapatkan manfaat tetapi harus diperiksa berkala.

18
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Deep vein thrombosis merupakan kejadian pembekuan darah
(thrombus) pada vena dalam, dimana paling sering mengenai vena dalam
pada kaki yang mengenai bagian vena pada betis, paha dan vena popliteal
atau vena dalam pada bagian panggul, lengan yang menuju ke jantung. Alur
diagnosis meliputi pretest probabilitas dengan menggunakan kriteria Wells
score, pemeriksaan D-dimer, dan pemeriksaan ultrasonografi vena sebagai
pemeriksaan yang dapat diandalkan dalam penegakkan diagnosis DVT.
Gejala yang dapat muncul meliputi nyeri tekan pada tungkai atau betis bila
terjadi di tungkai, adanya pembengkakan terlokalisir pada daerah yang
terkena disertai pitting oedema, perabaan kulit hangat dan kemerahan di
sekitar daerah DVT.
Maka dalam mengatasi hal tersebut dapat diberikan tatalaksana
seperti pemberian terapi awal adalah sekitar 5-21 hari setelah diagnosis
dengan terapi parenteral dan ditransisi ke antagonis vitamin K (VKA) atau
penggunaan dosis tinggi oral antikoagulan (DOACS), serta terapi jangka
panjang (setelah 3-6 bulan) pasien diterapi dengan VKA dan DOACS. Hal
lain yang dapat mencegah terjadinya DVT dapat disarankan kepada pasien
dengan mengurangi merokok dan berat badan yang dapat meningkatkan
terjadnya DVT, apabila perjalanan jauh (> 6 jam) dianjurkan banyak minum
air, menghindari alkohol, melakukan olahraga sederhana untuk tungkai,
serta menggunakan kaos kaki compression stockings. Thrombosis vena
dalam juga dapat menimbulkan 2 komplikasi yaitu emboli paru dan Post-
thrombotic syndrome

19
DAFTAR PUSTAKA

Becattini, C., & Agnelli, G. (2016). Treatment of Venous


Thromboembolism with New Anticoagulant Agents. In Journal of
the American College of Cardiology (Vol. 67, Issue 16, pp. 1941–
1955). https://doi.org/10.1016/j.jacc.2016.01.072
Bertina, R. M. (2009). The role of procoagulants and anticoagulants in the
development of venous thromboembolism. Thrombosis Research,
123(SUPPL. 4). https://doi.org/10.1016/S0049-3848(09)70142-2
Borgel, D., Bianchini, E., Lasne, D., Pascreau, T., & Saller, F. (2019).
Inflammation in deep vein thrombosis: a therapeutic target?
Hematology (United Kingdom), 24(1), 742–750.
https://doi.org/10.1080/16078454.2019.1687144
Firdaus, I. (2018). Panduan praktik klinis (ppk) dan clinical pathway (cp)
penyakit jantung dan pembuluh darah. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
Gaballa, S., Hlaing, K. M., Bos, N., Junko, G., & Alcharif, A. (2020).
Choked Vein: Unusual Etiology of Extensive Deep Vein
Thrombosis. Cureus. https://doi.org/10.7759/cureus.8292
Huang, D., Wong, E., Zuo, M. L., Chan, P. H., Yue, W. S., Hu, H. X., Chen,
L., Yin, L. X., Cui, X. W., Wu, M. X., Su, X., Siu, C. W., & Hai, J.
J. (2019). Risk of venous thromboembolism in Chinese pregnant
women: Hong Kong venous thromboembolism study. Blood
Research, 54(3), 175–180. https://doi.org/10.5045/br.2019.54.3.175
Kafeza, M., Shalhoub, J., Salooja, N., Bingham, L., Spagou, K., & Davies,
A. H. (2017). A systematic review of clinical prediction scores for
deep vein thrombosis. In Phlebology (Vol. 32, Issue 8, pp. 516–531).
https://doi.org/10.1177/0268355516678729
Mazzolai, L., Aboyans, V., Ageno, W., Agnelli, G., Alatri, A., Bauersachs,
R., Brekelmans, M. P. A., Büller, H. R., Elias, A., Farge, D.,
Konstantinides, S., Palareti, G., Prandoni, P., Righini, M., Torbicki,
A., Vlachopoulos, C., & Brodmann, M. (2018). Diagnosis and
management of acute deep vein thrombosis: A joint consensus
document from the European Society of Cardiology working groups
of aorta and peripheral vascular diseases and pulmonary circulation
and right ventricular function. In European Heart Journal (Vol. 39,
Issue 47, pp. 4208–4218). https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx003
McLendon, K., Goyal, A., & Attia, M. (2021). Deep Venous Thrombosis
Risk Factors. StatPearls.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470215/
Monagle, P., Cuello, C. A., Augustine, C., Bonduel, M., Brandão, L. R.,
Capman, T., Chan, A. K. C., Hanson, S., Male, C., Meerpohl, J.,
Newall, F., O’Brien, S. H., Raffini, L., Van Ommen, H.,
Wiernikowski, J., Williams, S., Bhatt, M., Riva, J. J., Roldan, Y., …
Vesely, S. K. (2018). American Society of Hematology 2018
Guidelines for management of venous thromboembolism: Treatment
of pediatric venous thromboembolism. In Blood Advances (Vol. 2,
Issue 22, pp. 3292–3316).

20
https://doi.org/10.1182/bloodadvances.2018024786
Othieno, R., Okpo, E., & Forster, R. (2018). Home versus in-patient
treatment for deep vein thrombosis. Cochrane Database of
Systematic Reviews, 2018(1).
https://doi.org/10.1002/14651858.CD003076.pub3
Salvi, A., Nitti, C., Fabbri, A., Groff, P., Ruggiero, E. G., & Agnelli, G.
(2020). Diagnosis and Treatment of Deep Vein Thrombosis in the
Emergency Department: Results of an Italian Nominal Group
Technique Study. Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis, 26.
https://doi.org/10.1177/1076029620959720
Scarvelis, D., & Wells, P. S. (2006). Diagnosis and treatment of deep-vein
thrombosis. Cmaj, 175(9), 1087–1092.
https://doi.org/10.1503/cmaj.060366
Sharif, S., Eventov, M., Kearon, C., Parpia, S., Li, M., Jiang, R., Sneath, P.,
Fuentes, C. O., Marriott, C., & de Wit, K. (2019). Comparison of the
age-adjusted and clinical probability-adjusted D-dimer to exclude
pulmonary embolism in the ED. American Journal of Emergency
Medicine, 37(5), 845–850.
https://doi.org/10.1016/j.ajem.2018.07.053
Stone, J., Hangge, P., Albadawi, H., Wallace, A., Shamoun, F., Knuttien, M.
G., Naidu, S., & Oklu, R. (2017). Deep vein thrombosis:
Pathogenesis, diagnosis, and medical management. In
Cardiovascular Diagnosis and Therapy (Vol. 7, pp. S276–S284).
https://doi.org/10.21037/cdt.2017.09.01
van Ommen, C. H., & Nowak-Göttl, U. (2017). Inherited thrombophilia in
pediatric venous thromboembolic disease: Why and who to test. In
Frontiers in Pediatrics (Vol. 5).
https://doi.org/10.3389/fped.2017.00050
Wilbur, J., & Shian, B. (2017). Deep venous thrombosis and pulmonary
embolism: Current therapy. American Family Physician, 95(5), 295–
302.

21

Anda mungkin juga menyukai