Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DEEP VEIN THROMBOSIS


(DVT)

DISUSUN OLEH :
GISELA NOVALITA
20170420071

BAGIAN ILMU JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB 1 PENDAHULUAN 3
BAB 2 DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) 5
2.1. Definisi 5
2.2. Epidemiologi 5
2.3. Etiologi 5
2.4. Patogenesis 6
2.5. Faktor Resiko 7
2.6. Gejala Klinis 7
2.7. Diagnosis 8
2.8. Terapi 12
2.9. Komplikasi 17
2.10. Prognosis 18
2.11. Preventif 18
BAB 3 KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

Trombosis vena dibentuk karena pembentukan bekuan darah di


dalam vena. Sebagian besar terjadi pada vena yang dalam di dalam
tungkai yang dikenal dengan deep vein thrombosis (DVT) yang sering
merupakan awal terjadinya emboli ke paru (pulmonary embolism atau PE).
Sekitar 5% thrombosis juga bisa terjadi di tempat lain seperti lengan atau
trombosis yang superfisialis. Trombosis vena sering terjadi spontan dan
sering juga berhubungan dengan kondisi penyakit tertentu atau
berhubungan dengan pembedahan baik terjadi di rumah sakit atau di
masyarakat. (Colman 2006; Fritz 2010)

Gejala dari trombosis vena sering tidak spesifik, oleh karena itu
diagnosisnya menjadi sulit dan memerlukan test yang objektif untuk
menegakkannya. Komplikasi utama trombosis ini adalah postthrombotic
syndrome dan kematian akibat PE yang fatal. Pengobatan dengan
antikoagulan seharusnya tepat dan adekuat untuk mengurangi
mortalitasnya. (Colman 2006; Fritz 2010)

Trombosis vena dalam adalah satu penyakit yang tidak jarang


ditemukan dan dapat menimbulkan kematian kalau tidak di kenal dan di
obati secara efektif.

Insiden DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per


100.000 populasi/tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur,
sekitar 1 per 10.000 – 20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun
hingga 1 per 1000 populasi pada usia di atas 70 tahun. (Jayanegara,
2016)

Untuk meminimalkan risiko fatal terjadinya DVT, diagnosis dan


penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan
dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan

3
perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh
karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat
diperlukan.

4
BAB 2
DEEP VEIN THROMBOSIS

2.1. Definisi
Deep-vein Thrombosis (DVT) adalah bentuk thrombus di pembuluh
darah dan membentuk peradangan pada dinding vena. (Kumar, 2005)
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan kondisi dimana terjadi
pembekuan darah di dalam vena dalam kaki atau pelvis. DVT disebabkan
oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan
aliran darah vena stasis yang dikenal dengan trias virchow. (Grace, 2002)

2.2. Epidemiologi
Insiden thrombosis vena yang pertama adalah 1 – 3 per 1000 orang
pertahun. Sekitar dua pertiga muncul dengan DVT pada tungkai dan
sepertiganya dengan PE. Separuh dari penderita PE tidak memiliki tanda-
tanda dan gejala DVT pada awalnya. 1 – 10% penderita trombosis vena
bersifat fatal, terutama terjadi pada orang tua atau penderita dengan
penyakit berat seperti kanker. Insiden trombosis ini meningkat secara
ekponensial berdasarkan umur. Pada anak-anak insidennya 1 per
100.000 pertahun, pada dewasa muda insidennya 1 per 10.000, umur
pertengahan adalah 1 per 1.000, pada orang tua sebanyak 1% dan 10%
pada pasien yang sangat tua. Kekambuhan trombosis ini adalah 3 – 10%
pertahun. (Silverstein MD, 1998)

2.3. Etiologi
Berdasarkan “Virchow’s Triad”, terdapat 3 faktor stimuli
terbentuknya tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah,
perubahan aliran darah, dan perubahan daya beku darah. Selain faktor
stimuli, terdapat faktor protektif yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah
aktif (contoh: antitrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada
pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi

5
aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar,
serta enzim fibrinolisis. (Jayanegara, 2016)

2.4. Patogenesis
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan
beberapa komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang
berperan dalam proses terjadinya thrombosis (Virchow’s Triad):

1. Stasis vena
Aliran darah vena yang cenderung lambat merupakan faktor
pencetus paling umum. bahkan dapat stasis terutama di daerah yang
mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu
mekanisme pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombosis.

2. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses
pembentukan trombosis vena, melalui:
- Trauma langsung yang mengakibatkan keluarnya faktor pembekuan
- Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.

3. Perubahan sistem koagulan darah


Sistem antikoagulan alami bekerja membatasi thrombosis pada
lokasi cedera. Komponen utama meliputi antithrombin III, protein C dan
protein S. Protein C diaktifkan dengan enzim APC, yang berfungsi
sebagai antikoagulan alami dengan menonaktifkan prokoagulan faktor
V A dan VIII A pada protein S. Anti thrombin III langsung menghambat
thrombin. Sitem antikoagulan terganggu oleh mutasi Leiden faktor V
dan oleh kekurangan protein C dan S dan antithrombin.
(Jayanegara, 2016; Taylor,2005

6
2.5. Faktor Resiko

(Jayanegara, 2016)

2.6. Gejala Klinis


Manifestasi Klinis Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada
setiap orang. Keluhan utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan
nyeri. Trombosis dapat menjadi berbahaya apabila meluas atau menyebar
ke proksimal. DVT umumnya timbul karena faktor risiko tertentu, tetapi
dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT). (Fauci, 2008)
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis.
Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah
tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha.
Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri
atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat.
Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring, terutama jika posisi
tungkai ditinggikan.

7
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal
dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh
sumbatan, maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan
tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan
perivaskuler, bengkak timbul di daerah trombosis dan biasanya
disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika berjalan dan akan
berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan
pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri,
ditemukan hanya pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat
dan kadangkadang berwarna ungu. Perubahan warna menjadi
pucat dan dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena
besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut flegmasia alba
dolens.

2.7. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting
dalam pendekatan pasien dengan kecurigaan mengalami DVT. Keluhan
utama DVT biasanya adalah kaki bengkak dan nyeri.
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda klasik seperti edema kaki unilateral,
eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial teraba dan Homans
sign positif tidak selalu ditemukan (Kaushansky, 2010)
Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan Antitrhrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin.
Konsentrasi D-dimer dibawah level tertentu atau bahkan negative
mengindikasikan adanya thrombosis. (Fauci, 2008)
Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA ataupun dengan
latex agglutination assay.

8
Hasil negatif dari pemeriksaan ini sangat berguna untuk ekslusi DVT
sedangkan nilai positif walaupun dapat menandakan adanya thrombosis,
namun tidak spesifik untuk DVT.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosis DVT. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat
menegakkan diagnosis thrombosis vena dalam, yaitu

1. Venografi

Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan


standar untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya
relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk
trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam
di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena
di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca.

2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan
volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada
tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di betis.

3. Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan


pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat dideteksi dengan
USG, terutama USG Doppler. USG Doppler memberikan
sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT
yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi
pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan
spesifisitasnya kurang lebih 70%. Metode ini dilakukan terutama
pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di
deteksi dengan cara objektif lain.

4. Magnetic Resonance Venography


9
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi
magnetic antara daerah dan aliran darah vena lancer dengan yang
tersumbat bekuan darah.Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan. Saat ini
sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi magnetik untuk
deteksi langsung bekuan darah dalam vena. Pemeriksaan ini tidak
menggunakan kontras, hanya memanfaatkan kandungan
methemoglobin bekuan darah.

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT


dan femoral DVT) dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah
distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan
drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT
ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor risiko . Tanda dan
gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit
(phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg)
Skor dari Wells dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability)
menjadi kelompok risiko ringan, sedang atau tinggi.

Skor Wells

Keadaan klinis Skor

Kanker aktif (dalam pengobatan atau dalam 6 bulan 1


sebelumnya atau paliatif)

Paralisis, parese, atau imobilisasi plaster ekstremitas bawah 1


akhir-akhir ini

Akhir-akhir ini bedrest lama lebih dari 3 hari atau operasi besar 1
dalam 4 minggu terakhir

10
Nyeri lokal sepanjang distribusi sistem vena dalam 1

Bengkak seluruh kaki 1

Pembengkakan betis lebih dari 3 cm bila dibandingkan dengan 1


kaki yang asimtomatik (diukur dibawah tuberositas tibia)

Pitting edema (lebih besar pada sisi kaki yang simtomatik) 1

Vena superfisial kolateral (nonvaricose) 1

Diagnosis alternatif sebagai kemungkinan atau kemungkinan -2


lebih dari DVT

Skor faktor risiko : ringan < 0, sedang 1-2, Tinggi >3

Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis


DVT. Nilai prediktif negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%,
pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak spesifik, sehingga tidak dapat
dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT Angiografi merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun
pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan
peran angiografi pada kondisi tertentu. Jika dengan metode pemeriksaan
USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat ditegakkan
maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan. Algoritme
diagnosis DVT dapat dilihat sebagai berikut :

11
Algoritme diagnosis DVT

2.8. Terapi
Tujuan tatalaksana DVT fase akut adalah: (Jayanegara, 2016)
1. Menghentikan bertambahnya thrombus
2. Membatasi bengkak tungkai yang progresif
3. Melisis dan membuang bekuan darah serta mencegah disfungsi vena
atau terjadinya sindrom pasca-trombosis
4. Mencegah terjadinya emboli

Non-Medikamentosa
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk
mengurangi morbiditas pada serangan akut serta mengurangi insiden
post-trombosis syndrome yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku,
edema, parestesi, eritema, dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan
gejala trombosis vena pasien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur
(bedrest), meninggikan posisi kaki, dan dipasang compression stocking
dengan tekanan kira-kira 40 mmHg. (Partsch, 2000; David L, 2015)
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti
pada bedrest, tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah
terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan
12
tungkai yang mengalami DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan
“berjalan” ke paru. Penggunaan compression stocking selama kurang
lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosis DVT ditegakkan dapat
menurunkan risiko post-trombosis syndrome. Compression stockings
sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang
memiliki fungsi vena yang jelek. (JCS Guidelines, 2011; Bates S 2004)

Medikamentosa
Meluasnya proses trombosis dicegah dengan antikoagulan dan
fibrinolitik. Usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping
seminimal mungkin. Prinsip pemberian anti-koagulan adalah safe dan
efektif. Safe artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif
artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus
baru dan emboli. (Bates SM, 2012)

Unfractionated Heparin
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya
dititrasi berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT).
Nilai APTT yang diinginkan adalah 1,5-2,5 kontrol. Mekanisme kerja
utama heparin adalah:

1) Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan,


2) Melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah. Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena
dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB/jam. APTT, masa protrombin
(protrombin time/PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa sebelum
memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih dari 65
tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer
disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan
(bleeding tendency). (Breddin HK, 2001)

13
Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi awal risiko
perdarahan kurang lebih 7%, tergantung dosis, usia, penggunaan
bersama antitrombotik atau trombolitik lain.

Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT


Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Heparin dapat
dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan
warfarin jika International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.

Dosis pemberian heparin


Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) Dibandingkan dengan
unfractionated heparin, LMWH lebih menguntungkan karena waktu paruh

14
biologis lebih panjang, dapat diberikan subkutan satu atau dua kali sehari,
dosisnya pasti dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Pada
pasien DVT, heparin subkutan tidak kurang efektif dibandingkan
unfractionated heparin infus kontinyu. Seperti halnya unfractionated
heparin, LMWH dikombinasi dengan warfarin selama empat sampai lima
hari, dihentikan jika kadar INR mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin disetujui
oleh FDA (U.S. Food and Drug Administration) untuk pengobatan DVT
dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali sehari.
Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan DVT. Pada penelitian klinis,
dalteparin diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau
dosis terbagi dua kali sehari). FDA telah menyetujui penggunaan
tinzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT. Pilihan lain
adalah fondaparinux. Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang
bekerja menghambat faktor Xa dan trombin. Diberikan subkutan,
bioavailabilitasnya 100%, dengan konsentrasi plasma puncak 1,7 jam
setelah pemberian. Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi kondisi
akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg
(BB >100 kg) subkutan, sekali sehari. Efek samping trombositopeni dan
osteoporosis LMWH lebih jarang dibanding pada penggunaan UFH.
Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat
stroke perdarahan, metastasis ke central nervous system (CNS),
kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari
dan perdarahan gastrointestinal. LMWH diekskresikan melalui ginjal, pada
penderita gangguan fungsi ginjal, dosisnya harus disesuaikan atau
digantikan oleh UFH.

Warfarin
Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian
warfarin segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya
memerlukan satu minggu atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan
bersamaan sebagai terapi penghubung hingga warfarin mencapai dosis
terapeutiknya. Untuk pasien yang mempunyai kontraindikasi enoxaparin

15
(contohnya: gagal ginjal), heparin intravena dapat digunakan sebagai
tindakan pertama. Tindakan ini memerlukan perawatan di rumah sakit.
Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai
tujuh hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR diusahakan
antara 1,5 - 2,0, meskipun masih menjadi pertentangan. Pada sebuah
penelitian, INR lebih dari 1,9 didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis 10
mg. Dosis warfarin dipantau dengan waktu protrombin atau INR. Untuk
DVT tanpa komplikasi, terapi warfarin direkomendasikan tiga sampai
enam bulan. Kontraindikasi terapi warfarin, antara lain perdarahan di otak,
trauma, dan operasi yang dilakukan baru-baru ini. Pada pasien dengan
faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein
C atau S, activated protein C resistance, atau dengan lupus
antikoagulan/antibody antikardiolipin, antikoagulan oral dapat diberikan
lebih lama, bahkan seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup
juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali
episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker aktif.

Terapi Trombolitik
Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan
lisisnya thrombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin
melalui aktivasi plasminogen. Obat-obat trombolitik yang
direkomendasikan FDA meliputi streptokinase, recombinant tissue
plasminogen activator (rt-PA), dan urokinase. Terapi trombolitik bertujuan
memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi
vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik dapat diberikan
secara sistemik atau local dengan catheter-directed thrombolysis (CDT).
Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan risiko
rekurensi dan postthrombotic syndrome (PTS). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi.
Risiko perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding
penggunaan heparin. Indikasi trombolisis antara lain trombosis luas

16
dengan risiko tinggi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability,
ada predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis baik (usia 18-75
tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada
kontraindikasi. Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/
trombositopeni, risiko perdarahan spesifik organ (infark miokard akut,
trauma serebrovaskuler, perdarahan gastrointestinal, pembedahan,
trauma), gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastasis otak),
kehamilan, stroke iskemi dalam 2 bulan, hipertensi berat tidak terkontrol
(SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg).

Trombektomi
Terapi open surgical thrombectomy direkomendasikan untuk DVT yang
memiliki kriteria di antaranya adalah DVT iliofemoral akut, tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau trombolitik ataupun mechanical
thrombectomy gagal, lesi tidak dapat diakses oleh kateter, trombus sukar
dipecah dan kontraindikasi antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan,
heparin diberikan selama 5 hari, pemberian warfarin harus dimulai 1 hari
setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya. Untuk hasil
maksimal pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 7 hari setelah onset
DVT. Pasien phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan
dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.

2.9. Komplikasi

1. Pulmonary Embolism (PE)


Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya
akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya
tidak khas, seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat
menarik napas, batuk sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi
oksigen. Kasus berat dapat mengalami penurunan kesadaran, hipotensi
bahkan kematian. Standar baku penegakan diagnosis adalah dengan
angiografi, namun invasif dan membutuhkan tenaga ahli. Dengan

17
demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimer
dan CT angiografi. (Fauci, 2008)

2. Post-thrombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang
terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis,
atau karena sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh
bengkak dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2
tahun setelah kejadian trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada
beberapa pasien dapat terjadi ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah
perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan luka.
Setelah ulkus sembuh pasien harus menggunakan compressible stocking
untuk mencegah berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan
compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan
manfaat tetapi harus diperiksa berkala. (Acang, 2011; David L, 2015)

2.10. Prognosis
Prognosis trombosis arteri dan vena ditentukan oleh lokasi dan
ketepatan penanganan. Umumnya makin cepat penanganan, maka
semakin baik prognosisnya, dapat menimbulkan kecacatan dan kematian
jika tidak ditangani dengan tepat. Trombektomi terutama berhasil sangat
baik bila kejadiannya akut.

2.11. Preventif
Faktor risiko trombosis vena dalam tidak sepenuhnya dapat
dieliminasi, namun dapat diturunkan. Misalnya, menekuk dan meluruskan
lutut 10 kali setiap 30 menit, terutama pasien yang baru menjalani
pembedahan mayor atau melakukan perjalanan jauh. Pada penerbangan
lama, setiap orang harus melakukan peregangan dan berjalan-jalan setiap
2 jam. (Bates, 2012)

18
BAB 3

KESIMPULAN

DVT mempunyai risiko besar yang dapat menimbulkan kematian.


Faktor terjadinya trombosis dapat dikelompokkan menjadi kelainan
pembuluh darah, aliran darah, dan komponen pembekuan darah. Faktor
risiko DVT antara lain usia tua, imobilitas lama, trauma,
hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan. Manifestasi
klinis DVT cenderung tidak spesifik, biasanya pasien mengeluh nyeri,
bengkak, dan perubahan warna kulit. Diagnosis DVT ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, juga pemeriksaan penunjang. Tujuan dari
pengobatan DVT adalah untuk mencegah perluasan dari trombus, PE
akut, berulangnya trombosis, dan terjadinya komplikasi lanjut seperti
hipertensi pulmonal dan PTS.

19
DAFTAR PUSTAKA

Acang, Nuzirwan. 2001. Trombosis Vena Dalam. Padang : Universitas


Andalas

Bates S, Ginsberg G. Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med.


2004; 351:268-77

Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson


MD, et al. 2012. Diagnosis Of DVT: Antithrombotic Therapy And
Prevention Of Thrombosis. 9th ed. American College of chest
physicians. Evidence-based clinical practice guidelines.

Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson


MD, et al Diagnosis of DVT: Antithrombotic therapy and prevention
of thrombosis. 9th ed. American College of chest physicians.
Evidence-based clinical practice guidelines. Chest 2012;
141(2)(Suppl):351–418. doi: 10.1378/chest.11-2299

Breddin HK, Hach-Wunderle V, Nakov R, Kakkar VV; CORTES


Investigators. Clivarin: Assessment of Regression of Thrombosis,
Efficacy, and Safety. Effects of a LMH on thrombus regression and
recurrent thrombo-embolism in patient DVT. N. Engl J Med. 2001;
344:626-31

Brenner B, et al. 1990. Quantiation of Venous Clot Lysis D – Dimer


Immuboassay During Fibrinolytic Theraphy Requires Correction
for Sluble Fibrin Dehidration.

Colman RW. Hemostasis and thrombosis: basis principles and clinical


practice. 5th ed. Philadelphian: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.

David L, Erica P, James D, Mark B. 2015. Diagnosis and management of


iliofemoral deep vein thrombosis: Clinical practice guideline.
Canada : Canadian Medical Association Journal.

Fauci,AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et
al. 2008. Venous thrombosis. In: Harrison’s principles of internal
medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill.

Frits R Rosendaal, Harry R Buller. Venous thrombosis. In: Dan L Longo,


editor. Horrison’s hematology and oncology. New York: Mc-Grow
Hill Company; 2010.p.246-53.

Ginsberg, J. 2007. Deep venous thrombosis. Cecil Medicine. edisi 23.


New York: Mc Graw-Hill

20
Grace PA, Borley NR. 2002. Surgical diseases at a glance. Edisi kedua.
Indonesia: EMS

Hirsh J and Hoak J. 1996. Management of Deep Vein Thrombosis and


Pulmonary Embolism. Available from :
circ.ahajournals.org/content/93/12/2212. Acessed on: 19 Maret
2017

Jayanegara, Andi Putra. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein


Thrombosis. Available from : www.Kalbemed.com/CME.aspx.
Acessed on: 19 Maret 2017

JCS joint working group. 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein
thrombosis. Japan : JCS joint working group.

Kumar&Clark. 2005. Clinical Medicine. Edisi kenam. New York : Elsevier.

Partsch H, Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the


treatment of proximal deep venous thrombosis with low molecular
weight heparin. J Vasc Surg. 2000; 32:861-9

Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, et al. Trends in the incidence of deep
vein thrombosis and pulmonary embolism: a 25-year population
based study. Arch Intern Med 1998;158(6):585-93

Srandness D.E. et al. 1983. Long-term Sequelae Acute Venous


Thrombosis. Available from :
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6876315. Acessed on: 19 Maret
2017

Tambunan, Karmel. 2001. Thrombosis. Semarang : KONAS PHTDI.

Warkentin E. et al. 1995. Heparin Induced Thrompbocytopenia in patient


with LMW Heprin or Unfranctioned Heparin. England : NEJM

Wilbur J, Shian B. 2012. Diagnosis of deep venous thrombosis and


pulmonary embolism. Available from : www.aafp.org/afp. Acessed
on: 19 Maret 2017

White RH. 2003. The Epidemiology Of Venous Thromboembolism.


Available from: circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_1/I-4.
Acessed on: 19 Maret 2017

21

Anda mungkin juga menyukai