OLEH :
KELOMPOK V
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan
rahmat-Nya kami diberi kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah dari Bapak Nurdin, S.Kep.,Ns.,M.Kep yang menjadi tugas mata kuliah
Keperawatan Kritis. Makalah yang berjudul ‘‘Asuhan Keperawatan Kritis” yang
saya susun merupakan kumpulan dari beberapa sumber dan referensi yang
terpercaya. Dalam makalah ini, saya menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat saya
nantikan.
Desember, 2020
Penulis
LAPORAN PENDAHULUAN
A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
2. Etiologi
Berdasarkan “Virchow’s Triad”, terdapat 3 faktor stimuli
terbentuknya tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah,
perubahan aliran darah, dan perubahan daya beku darah. Selain faktor
stimuli, terdapat faktor protektif yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah
aktif (contoh: antitrombin yang berikatan dengan heparan sulfat pada
pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi
aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar,
serta enzim fibrinolisis (Jayanegara, 2016).
3. Faktor Resiko
Menurut Jayanegara (2016) faktor risiko trombosis vena dalam
tidak sepenuhnya dapat dieliminasi, namun dapat diturunkan. Misalnya,
menekuk dan meluruskan lutut 10 kali setiap 30 menit, terutama pasien
yang baru menjalani pembedahan mayor atau melakukan perjalanan
jauh. Pada penerbangan lama, setiap orang harus melakukan
peregangan dan berjalan-jalan setiap 2 jam.
Faktor risiko DVT antara lain usia tua, imobilitas lama, trauma,
hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan
Tabel. Faktor resiko trombosis vena dalam
Trias Virchow
Statis - Imobilitas
- Bed rest
- Tindakan anestesi
- Gagal jantung kongestif
- Riwayat trombosis vena
sebelumnya
Hiperkoagulabilitas - Keganasan
- Antibodi antikardiolipin
- Sindrom nefrotik
- Trombosis esensial
- Terapi estrogen
- Heparin-induced
- Trombositopenia
- Inflamatory bowel disease
- Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
- Disseminated intravascular
coagulation
- Defisiensi protein C and S
- Defisiensi antitrombin III
Kerusakan dinding pembuluh - Trauma
darah - Pembedahan
4. Manifestasi Klinis
Menurut Jayanegara (2016) Manifestasi klinis DVT tidak selalu
jelas dan sama pada setiap orang. Keluhan utama pasien DVT adalah
tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat menjadi berbahaya apabila
meluas atau menyebar ke proksimal. DVT umumnya timbul karena faktor
risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT).
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:
a. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis
vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa
menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat
bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan
intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan
berkurang jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai
ditinggikan.
b. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal
dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh
sumbatan, maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak
nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler,
bengkak timbul di daerah trombosis dan biasanya disertai nyeri.
Pembengkakan bertambah jika berjalan dan akan berkurang jika
istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
c. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan
pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan
hanya pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan
kadangkadang berwarna ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan
dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena besar
bersamaan dengan spasme arteri, disebut flegmasia alba dolens.
5. Klasifikasi
Klasifikasi umum menurut Wijaya (2015) DVT terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Venous thromboembolism (VTE) yang terjadi pada pembuluh balik.
Salah satu jenis trombosis yang dapat terjadi pada pembuluh balik
adalah deep vein thrombosis (DVT), umumnya simtoma ini disertai
oleh embolus yang terlepas dari pembuluh paru dan beredar dalam
sirkulasi darah hingga mencapai pembuluh balik tersebut yang
umumnya berada pada kaki
b. Arterial thrombosis, yang terjadi pada pembuluh nadi.
Trombosis arteri adalah bekuan darah yang berkembang di arteri.
Berbahaya karena dapat menghalangi atau menghentikan aliran
darah ke organ utama, seperti jantung atau otak. Jika gumpalan
darah mempersempit satu atau lebih arteri yang menuju ke jantung,
nyeri otot yang dikenal sebagai angina dapat terjadi.
6. Komplikasi
a. Pulmonary Embolism (PE)
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau
percabangannya akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain.
Tanda dan gejalanya tidak khas, seringkali pasien mengeluh sesak
napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe,
palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami
penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan
membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode
diagnosis klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT angiografi
(Jayanegara, 2016).
b. Post-thrombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena
yang terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami
trombosis, atau karena sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini
ditandai oleh bengkak dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi
dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian trombosis vena dalam,
pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi ulserasi
(venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi
dapat diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh
pasien harus menggunakan compressible stocking untuk mencegah
berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan compressible
stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan manfaat
tetapi harus diperiksa berkala (Jayanegara, 2016).
7. Patofisiologi
Menurut Jayanegara (2016)Trombosis vena biasanya terdiri dari
fibrin, sel darah merah, dan beberapa komponen trombosit dan leukosit.
Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses terjadinya trombosis
(Virchow’s Triad):
a. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama
di daerah yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena
merupakan faktor predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena
dapat mengganggu mekanisme pembersihan aktivitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombosis.
b. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses
pembentukan trombosis vena, melalui:
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan „
b. Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.
c. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan
darah dan sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis terjadi
apabila aktivitas pembekuan darah meningkat atau aktivitas
fibrinolisis menurun. DVT sering terjadi pada kasus aktivitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi
anti-trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi protein S, dan
kelainan plasminogen.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat
penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis.
Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal yang penting karena
dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya.
Adanya riwayat trombosis pada keluarga juga merupakan hal
penting.
Diagnosis DVT tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis
karena tidak spesifik ataupun sensitif. Kombinasi Well’s rule dengan
hasil tes non-invasif diharapkan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan investigasi lebih
lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan DVT rendah,
skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, dan skor 3
atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi. (Jayanegara,
2016).
b. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-
dimer dan penurunan antitrombin (AT). D-dimer adalah produk
degradasi fibrin. Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan
ELISA atau latex agglutination assay. D-dimer D-dimer <0,5 mg/mL
dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan ini sensitif tetapi
tidak spesifik, sehingga hasil negatif sangat berguna untuk eksklusi
DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik untuk DVT , sehingga
tidak dapat dipakai tes tunggal untuk diagnosis DVT. (Jayanegara,
2016).
c. Radiologis
Pemeriksaan radiologis penting untuk mendiagnosis DVT.
Beberapa jenis pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis DVT, yaitu:
a. Venografi
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast
phlebography atau contrast venography. Prinsip
pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam
sistem vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha,
inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat
mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan
bekuan darah serta menilai kondisi vena dalam. Venografi
digunakan pada kecurigaan kasus DVT yang gagal diidentifikasi
menggunakan pemeriksaan non-invasif.
Venografi adalah pemeriksaan paling akurat untuk
mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan spesifisitasnya mendekati
100%, sehingga menjadi gold standard diagnosis DVT. Namun,
jarang digunakan karena invasif, menyakitkan, mahal, paparan
radiasi, dan risiko berbagai komplikasi.
b. Flestimografi Impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume
darah tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif untuk trombosis
vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di daerah betis.
c. Ultrasonografi (USG) Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena
non-invasif. USG memiliki tingkat sensitivitas 97% dan
spesifisitas 96% pada pasien yang dicurigai menderita DVT
simptomatis dan terletak di daerah proksimal.
d. Magnetic Resonance Venography
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi
magnetik antara daerah dan aliran darah vena lancar dengan
yang tersumbat bekuan darah. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan.
Saat ini sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi magnetik
untuk deteksi langsung bekuan darah dalam vena. Pemeriksaan
ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan
kandungan methemoglobin bekuan darah. (Jayanegara, 2016).
9. Penatalaksanaan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
aliran darah/ statis vena (obstruksi vena sebagian/ penuh), ditandai
dengan: oedema jaringan, penurunan nadi perifer, pengisian kapiler,
pucat, eritema
b. Nyeri berhubungan dengan penurunan sirkulasi arteri dan oksigenasi
jaringan dengan produksi/ akumulasi asam laktat pada jaringan atau
inflamasi, ditandai dengan; pasien mengatakan nyeri, hati-hati pada
kaki yang sakit, gelisah dan perilaku distraksi.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penekanan syaraf
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan oedema pada kaki
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan aktifitas
f. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer in adekuat
C. PENYIMPANGAN KDM
KASUS
Pada tanggal 20 Desember 2020 Ny. A berusia 39 tahun agama islam,
suku bugis, datang bersama keluarga ke IGD RS KOTA KENDARI dengan
keluhan nyeri dan bengkak pada paha kanan yang semakin meningkat sejak 3
hari yang lalu.
Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Trauma pada kaki dan penyakit
keganasan tidak ada. Pucat-pucat sebelumnya tidak disadari pasien. Riwayat
penggunaan kontrasepsi hormonal selama 2 tahun. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan kesan nyeri sedang dengan skala 5 dirasakan tertusuk-tusuk,
hilang timbul selama ±10 menit, pasien tampak meringis memegang
daerah yang sakit, tekanan darah 140/90 mmHg, nadi reguler 60 kali permenit,
pernafasan 20 kali permenit dan suhu 37,6 ⁰C. Pada pemeriksan fisik didapatkan
kepala normosefal, konjungtiva mata dalam batas normal.
Pada pemeriksaa laboratorium didapatkan HB 10 g/dl, leukosit
15.900/mm3, hematokrit 30%, trombosit 489.000/mm3, LED 13 mm/jam, gula
darh 109 mg/dl, ureum 35 mg/dl, kreatinin 0,8 mg/dl, kolesterol total 107 mg/dl,
kolesterol HDL 40 mg/dl, kolesterol LDL 73 mg/dl, CEA 0,73 ng/ml, CA 125 10,98
U/ml. Urinalisa kekeruhan jernih, warna kuning muda, PH 5,5 protein positif 2,
leukosit 70-80 /LPB, eritrosit 3-5/LPB, silinder negatif, glukosa negatif, kristal
negatif, bilirubin dan urobilinogen negatif . Prothrombin time 14 detik, waktu
thromboplastin 41,7 detik dan D Dimer 3152,5 %.
IDENTITAS
1. Nama Pasien : Ny. A
2. Umur : 39 Tahun
3. Suku/ Bangsa : Bugis
4. Agama : Islam
5. Pendidikan : SMA
6. Pekerjaan : IRT
7. Alamat : Lorong Kancil, Kel. Rahandouna, Kec. Poasia
8. Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA: klien mengeluh nyeri dan bengkak pada paha kanan
yang semakin meningkat sejak 3 hari yang lalu dengan
skala nyeri 5, nyeri dirasakan tertusuk-tusuk, hilang
timbul selama ± 10 menit, pasien tampak
memegang daerah yang sakit. pasien mengatakan
nyeri saat menggerakkan kakinya.
39
Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: laki-laki meninggal
: perempuan meninggal
: klien
: orang tinggal serumah
: orang terdekat
Generasi I : Kedua kakek dan nenek pasien dari bapak dan ibu pasien
sudah meninggal karena faktor usia
Generasi II : Ayah dan dan ibu klien masih hidup
Generasi III : Dalam hal ini klien menderita DVT (Deep Vein Thrombosis)
8. Sistem Endokrin
a. Pembesaran tyroid : tidak
b. Pembesaran kelenjar getah bening : tidak
c. Hipoglikemia : tidak
d. Hiperglikemia : tidak
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
e. Persepsi klien terhadap penyakitnya:
Pasien sangat memikirkan kesembuhannya
f. Ekspresi klien terhadap penyakitnya : diam
g. Reaksi saat interaksi : kooperatif
h. Gangguan konsep diri : tidak ada
PENGKAJIAN SPIRITUAL
a. Kebiasaan beribadah
- Sebelum sakit : sering
- Selama sakit : sering
b. Bantuan yang diperlukan klien untuk memenuhi kebutuhan beribadah: tidak
ada
TERAPI
Pasien diterapi dengan heparin 5000 unit intra vena kemudian dilanjutkan
dengan drip heparin 10.000 unit dalam 50 cc NaCl 0,9% menggunakan syringe
pump dengan kecepatan 5cc/jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan PT dan
APTT setiap 6 jam selama 7 hari. Pada hari ketiga diberikan terapi antikoagulan
oral 2 mg perhari. Untuk terapi non farmakologis dilakukan pemasangan
compression stocking dan elevasi tungkai kanan.
ANALISIS DATA
TD:140/90 mmHg
N: 60X/menit Peningkatan
tekanan turgor
P: 20x /menit
jaringan
S: 37,6o C
Reaksi inflamasi
Nyeri akut
DS: DVT Hambatan mobilitas fisik
Pasien mengatakan nyeri
pada paha sebelah kanan Gangguan aliran
Pasien mengatakan nyeri darah
saat menggerakkan
kakinya Peningkatan fibrin
dalam sel darah
DO:
Penekanan saraf
Kekuatan otot
5 5 Keterbatasan
aktifitas
3 5
Hambatan mbilitas
fisik
Kamis/10 3 14.00 1. Jelaskan alasan diperlukannya tirah 16.00 S: pasien mengatakan masih
Desember baring butuh bantuan dalam
2020 14.05 2. Tempatkan matras atau Kasur melakukan ROM
terapeutik dengan cara yang tepat
14.10 3. Ajarkan latihan di tempat tidur
dengan cara yang tepat
14.20 4. Berikan stoking antiemboli
14.35 5. Konsultasikan pada ahli terapi fisik O: tampak pasien dibantu
mengenai rencana ambulasi, sesuai keluarga dan perawat
kebutuhan
15.00 6. Bantu pasien untuk berpindah
sesuai kebutuhan
15.05 7. Bantu pasien dengan ambulasi awal
dan jika diperlukan A: masalah belum teratasi
15.10 8. Instruksikan pasien mengenai
pemindahan dan teknik ambulasi
yang aman
15.15 9. Monitor penggunaan alat bantu
berjalan pasien
15.20 10. Bantu pasien untuk membangun P: lanjutkan intervensi
pencapaian yang realistis untuk
ambulasi jarak
15.25 11. Dorong pasien untuk bangkit
sebanyak dan sesering mungkin
yang diinginkan, jika sesuai
Minggu/13 3 15.00 1. Jelaskan alasan diperlukannya tirah 16.00 S: pasien mengatakan sudah
Desember baring tidak membutuhkan bantuan
2020 15.10 2. Tempatkan matras atau Kasur dalam melakukan ROM
terapeutik dengan cara yang tepat
15.20 3. Ajarkan latihan di tempat tidur
dengan cara yang tepat
15.30 4. Berikan stoking antiemboli
15.40 5. Konsultasikan pada ahli terapi fisik O: tampak pasien dapat
mengenai rencana ambulasi, sesuai berjalan sendiri
kebutuhan
16.00 6. Bantu pasien untuk berpindah
sesuai kebutuhan
16.05 7. Bantu pasien dengan ambulasi awal
dan jika diperlukan A: masalah teratasi
16.10 8. Instruksikan pasien mengenai
pemindahan dan teknik ambulasi
yang aman
16.20 9. Monitor penggunaan alat bantu
berjalan pasien
16.25 10. Bantu pasien untuk membangun P: intervensi dihentikan
pencapaian yang realistis untuk
ambulasi jarak
16.20 11. Dorong pasien untuk bangkit
sebanyak dan sesering mungkin
yang diinginkan, jika sesuai
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Rinni dan Wahid, Irza. Defisiensi Protein S pada Trombosis Vena
Dalam. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(4).
Bulechek, Gloria M dkk. 2017. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Keenam.
Yogyakarta: CV. Mocomedia
Jayanegara, Andi Putra. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis.
Continuing Medical Education. 2016; 43(9).
Lestarini, I. A.. Trombosis Vena Dalam. Jurnal Kedokteran. 2017; 2(1).
Moorhead, Sue dkk. 2017. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Kelima.
Yogyakarta: CV. Mocomedia
Nanda Internasional. 2018. EGC Keperawatan NANDA- Klasifikasi 2018-2020
Edisi 11. Jakarta: EGC
Wijaya, W. 2015.Treatment Of Deep Vein Thrombosis. N Engl J Med.