Anda di halaman 1dari 27

PENYAKIT OKLUSI ARTERI PERIFER (PAOD)

EKSTREMITAS INFERIOR PADA LANSIA

REFARAT

dr. Katharine, MKedPD, SpPD, FINASIM


NIP: 198311102019032014

DIVISI HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FK USU/RS USU
MEDAN
2021
1

PENYAKIT OKLUSI ARTERI PERIFER (PAOD)


EKSTREMITAS INFERIOR PADA LANSIA

Katharine

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /RS USU Medan

Abstrak

Prevalensi penyakit oklusi arteri perifer (PAOD) meningkat seiring bertambahnya


usia. Gangguan pembuluh darah aterosklerotik lainnya, terutama penyakit arteri koroner
(CAD), dapat koeksis dengan kejadian PAOD. Klinis PAOD pada lansia dapat
asimtomatik, dapat terkait dengan gejala klaudikasio intermiten, atau dapat berhubungan
dengan kejadian iskemia kritis tungkai (CLI). Lansia dengan PAOD memiliki peningkatan
risiko untuk kejadian all-cause mortality, kematian kardiovaskular, dan kematian akibat
CAD. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi harus diterapi pada pasien dengan PAD seperti
berhenti merokok dan pengendalian hipertensi, dislipidemia, dan diabetes. Manajemen dan
tatalaksana PAOD pada lansia dapat mencakup terapi medis yang mencakup mulai dari
modifikasi gaya hidup yang sehat, perawatan kaki, pemberian terapi farmakologik berupa obat-
obat antiplatelet, anti hipertensi, obat diabetes, obat dislipidemia, latihan (rehabilitasi) hingga
terapi operatif yang diperlukan dalam proses salvasi tungkai.

I. Pendahuluan
Seiring dengan pertambahan usia, maka pembuluh darah juga akan menjadi lebih kaku,
kehilangan elastisitas, dan menebal, yang umumnya dikenal dengan aterosklerosis.1,2,3 Usia
yang lebih lanjut juga meningkatkan penumpukan plak aterosklerotik di dalam sistem vaskular,
yang disebut aterosklerosis, dan dengan demikian akan meningkatkan penyakit vaskular
2

perifer.1,2,3
Sistem sirkulasi darah merupakan salah satu sistem yang penting sebagai alat perfusi
jaringan.3 Gangguan pada sistem tersebut seyogyanya jangan diabaikan karena keluhan ringan
yang timbul kemungkinan akan mengganggu aktivitas sehari-hari, sedangkan manifestasi klinis
yang berat dapat mengganggu kinerja penderita, mempengaruhi produktivitasnya, bahkan
dapat menyebabkan kematian.4 Gangguan sistem sirkulasi cukup banyak terjadi dalam
masyarakat, sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa aterosklerosis yang
merupakan faktor utama gangguan sistem sirkulasi darah mengenai sekitar 10 % populasi dunia
barat yang berumur 65 tahun, frekuensi meningkat menjadi kira-kira 20% pada manula > 75
tahun.4,5 Insidensi aterosklerosis mencapai 1,7 kasus per 10.000 populasi setiap tahun.6
Penelitian di Italia menunjukkan insidensi 4% pada usia 34 - 44 tahun, dan 18% di atas usia 65
tahun.6
Walaupun proses aterosklerosis dengan penebalan dan atau pengerasan dinding
pembuluh darah arteri dapat terjadi pada setiap pembuluh darah ataupun menyeluruh di seluruh
tubuh manusia, namun manifestasi gejala klinik aterosklerosis dapat berbeda-beda tergantung
pada lokasi sirkulasi yang terkena, hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan dalam
dinamika aliran dan stimulan, misalnya gangguan pada arteri koronaria, akan menimbulkan
gejala / keluhan serangan jantung, kelainan pembuluh darah serebrovaskular, maka akan
menimbulkan gejala stroke, jika gangguan terjadi akibat kelainan pada pembuluh darah perifer
ekstremitas terutama pada ekstrimitas bawah, maka akan menyebabkan penyakit oklusi arteri
perifer (Peripheral Arterial Occlusive Disease / PAOD), tidak tertutup kemungkinan PAOD
ini juga disertai aterosklerosis pembuluh darah bagian lain, kebanyakan kematian pada
penderita PAOD akibat kelainan kardiovaskular atau serebrovaskular.4,5,7,8 Dibandingkan
dengan penyakit-penyakit gangguan sirkulasi pada jantung atau otak, sampai saat ini PAOD
sering luput dari perhatian, walaupun angka kejadiannya diduga cukup tinggi.2
Penyakit Oklusi Arteri Perifer (PAOD = PAD = PVD) ekstemitas inferior merupakan
penyakit oklusi arteri kronis pada ekstremitas bawah yang disebabkan oleh aterosklerosis.1,3,4
PAOD dapat menyebabkan klaudikasio intermiten, dimana munculnya rasa nyeri atau lemah
saat berjalan, yang berkurang dengan istirahat. Nyeri otot atau rasa lemah setelah latihan akan
terjadi pada bagian distal dari obstruksi arteri.1,3,4 Oleh karena pada arteri femoralis superfisial
3

dan arteri poplitea yang paling sering terjadi aterosklerosis, maka rasa sakit klaudikasio
intermiten paling sering terlokalisir ke betis.1,3,4 Obstruksi aterosklerotik pada aorta distal dan
bifurkasio ke dua arteri iliaka dapat menyebabkan nyeri pada bokong, pinggul, paha, atau otot-
otot belakang inferior hingga ke kaki.1,3
Penyakit oklusi arteri perifer yang menyebabkan gejala nyeri terutama saat latihan fisik
ini sering diabaikan oleh orang yang mengalaminya karena pada saat tidak beraktivitas, aliran
darah istirahat terkesan normal.1,2 Kebanyakan kasus pada saat istirahat tidak terjadi rasa nyeri
sehingga banyak yang menganggap rasa nyeri yang terjadi hanyalah akibat kelelahan otot.1,2
Penanganan yang kurang serius terhadap penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi seperti
gangren sehingga harus dilakukan amputasi.2
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 yang khusus menyelidiki tentang
PAOD, menunjukkan bahwa hanya 27% kasus yang menunjukkan gejala.9 Dari sekitar 27 juta
orang di Amerika Selatan yang menderita PAOD, kira-kira 10,5 juta (38.9%) menunjukkan
gejala (simptomatik) dan 16,5 juta (61.1%) asimptomatik.9 Keadaan ini memungkinkan
terjadinya kasus yang tidak terdiagnosis.
Walaupun telah ada kemajuan dalam berbagai terapi medis untuk kasus-kasus tersebut
di atas, angka morbiditas dan mortalitasnya tetap tinggi dengan angka mortalitas sekitar 25%
dan pasien yang mengalami amputasi sekitar 20% dari 3000 kasus terutama setelah dilakukan
Baloon Thrombo-embolectomy Catheter.10
Hanya setengah dari orang lansia dengan PAD yang menunjukkan adanya gejala.1
Prevalensi PAD meningkat seiring dengan bertambahnya usia. 1 Dalam satu studi dari 1.160
laki-laki, usia rata-rata 80 tahun, dan 2.464 perempuan, usia rata-rata 81 tahun, PAD terjadi
32% pada laki-laki dan 26% pada perempuan.1,2 PAD sering berdampingan dengan penyakit
aterosklerotik lainnya.1,2,3 Orang dengan PAD juga akan memiliki peningkatan risiko untuk
kejadian semua penyebab mortalitas, kematian kardiovaskular, dan kejadian kardiovaskular.1,3,4

II. Anatomi Arteri Perifer di Ekstremitas Bawah


Aorta abdominalis bercabang dua menjadi arteri iliaka komunis, kedua arteri ini
masing-masing kemudian akan mempercabangkan arteri iliaka interna yang akan
4

memperdarahi daerah panggul dan arteri iliaca eksterna.3,11 Setelah arteri iliaka eksterna
melewati ligamentum inguinal, akan diteruskan menjadi arteri femoralis, salah satu cabang
arteri femoralis adalah arteri profunda femoris.3,11 Setelah melewati canalis addutorius Hunteri,
memasuki dan sepanjang fossa poplitea, arteri femoralis beralih nama menjadi arteri poplitea.
Kemudian arteri ini akan bercabang menjadi arteri tibialis anterior yang akan diteruskan sebagai
arteri dorsalis pedis; arteri tibialis posterior dan arteri peronealis.3,11

Gambar 1. Vaskular Arteri Tungkai Bawah (Rhonda M Jones, 2008)11

III. Definisi
Peripheral Arterial Occlusive Disease (PAOD) atau penyakit oklusi arteri perifer,
kadang-kadang disebut juga sebagai arteriosklerosis obliterans, merupakan suatu penyakit yang
5

dapat terjadi akibat proses aterosklerosis atau proses inflamasi yang menyebabkan penyempitan
lumen (stenosis), atau akibat pembentukan trombus yang menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah yang terkena sehingga menurunkan tekanan perfusi dan aliran darah ke
jaringan yang lebih distal.1,3,4,11,12
Aterosklerosis lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah daripada ekstrimitas
atas.1,2,12 Pembuluh darah nadi berukuran besar dan medium yang sering terkena adalah bagian
terminal aorta dengan cabang-cabang pembuluh yang menuju ekstrimitas bawah terutama arteri
iliaka eksterna, arteri femoralis, arteri poplitea dan arteri tibialis posterior.12,13 Jauh sebelumnya
pada tahun 1992, telah ditemukan segmen arteri yang terdapat pada kanal Hunter yang
menggambarkan transisi arteri femoralis menjadi arteri poplitea menjadi tempat utama
terjadinya aterosklerosis.14
Proses aterosklerosis yang terjadi menyebabkan penebalan tunika intima dan
pembentukan plak sehingga akan mengurangi diameter efektif segmen arteri yang terkena.12
Berdasarkan hukum Poiseuille, hal ini dapat menyebabkan kenaikan resistensi pembuluh darah
sebesar pangkat empat terhadap perubahan diameter. Pada ekstrimitas bawah, manifestasi klinis
akan timbul apabila pengecilan diameter arteri mencapai 60-70% dari diameter semula.12,13
Manifestasi klinis PAOD adalah nyeri akibat iskemia, yaitu berkurangnya perfusi ke
jaringan yang lebih distal dan biasanya terjadi akibat latihan fisik, keadaan ini dinamakan
klaudikasio intermiten.1,2,4 Nyeri yang disebabkan hipoksia jaringan ini akibat tidak adekuatnya
antara keperluan jaringan akan oksigen dan suplai oksigen ke jaringan.1,2,4,5 Metabolit yang
terkumpul dalam keadaan anaerob ini akan menstimulasi nyeri pada otot.4

IV. Etiologi PAOD


Terdapat dua sebab yang dapat menyebabkan gangguan pada arteri perifer, yaitu sebab-
sebab aterosklerotik dan sebab-sebab non aterosklerotik atau pembagian sebagai tipe organik
dan tipe fungsional:3,9
1. Sebab-Sebab Aterosklerotik (tipe obstruktif)
Aterosklerosis adalah penyakit vaskular yang menyebabkan pembentukkan plak yang
kaya lemak di dalam dinding pembuluh darah yang menonjol ke dalam lumen. Saat
aterosklerosis berkembang lebih lanjut, dinding pembuluh darah menebal, menjadi keras, dan
6

kehilangan elastisitas, yang mengurangi aliran darah melalui pembuluh darah dan
meningkatkan risiko pembentukkan trombus.. Aterosklerosis mula-mula ditandai oleh deposisi
lemak pada tunika intima arteri, selanjutnya dapat terjadi kalsifikasi, fibrosis, trombosis dan
perdarahan. Proses-proses tersebut menyebabkan terbentuknya suatu plak aterosklerosis atau
ateroma yang kompleks sampai kepada penyempitan lumen atau oklusi pembuluh darah.
2. Sebab-Sebab Non Aterosklerotik (tipe vasospastik) / tipe fungsional
Sebab-sebab primer non aterosklerotik penyakit arteri adalah nekrosis media kistik,
peradangan arteri, dan kondisi-kondisi vasospastik. Contoh: Raynaud’s disease.

V. Patofisiologi
PAOD merupakan penyakit yang disebabkan oleh penyempitan lumen akibat
terbentuknya plak aterosklerosis pembuluh darah yang terkena. Proses terjadinya aterosklerosis
dibagi menjadi beberapa tahap:3,4,15
1. Kerusakan Endotel
Ada dua faktor penyebab kerusakan pada endotel yaitu faktor kimia dan faktor fisik.
Kerusakan akibat bahan kimia terutama disebabkan oleh penggunan tembakau, hiperkoleste-
rolemia dan hipertrigliseridemia, sering terjadi pada penderita diabetes dengan kelainan
metabolisme lemak dan glukosa. Kerusakan fisik pada pembuluh darah lebih lanjut
kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan ateroma yang terbawa oleh aliran darah dan
menimbulkan kerusakan pada dinding pembuluh darah, biasanya pada tempat percabangan
(bifurkasio) arteri. Hipertensi juga berperan penting dalam menimbulkan penyakit arteri.
2. Deposisi Lemak
Kerusakan endotel yang terjadi menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap
lemak dan sel-sel inflamasi yang akan dideposisi pada lapisan subendotel. Pada tempat ini
kemudian terbentuk suatu ateroma yang berbentuk datar dan berwarna kekuningan (fatty
streak).
3. Infiltrasi Sel-Sel Inflamasi
Leukosit melekat pada bagian endotel yang rusak kemudian bermigrasi ke dalam
lapisan subendotel, mengikis lemak dan menjadi sel busa (foam cell), membebaskan radikal
bebas dan protease yang dapat merusak dinding arteri. Sel-sel tadi juga membebaskan sitokin-
7

sitokin yang akan merangsang leukosit-leukosit lain dan sel otot polos dari tunika media.
Lapisan endotel sekarang menjadi lebih “lengket“ dan akan memudahkan deposisi platelet dan
terjadinya trombosis.
4. Sel Otot Polos
Sel-sel otot polos akan bermigrasi dari tunika media ke dalam ruangan subendotel untuk
kemudian berproliferasi. Sel otot polos ini akan menimbulkan pembentukan jaringan ikat dan
penumpukan kolagen. Pada tempat ini, ateroma yang terbentuk akan sedikit terangkat dan
mempersempit lumen arteri.
5. Pecahnya plak
Plak yang terbentuk mengandung lapisan tipis penutup endotel yang berisi masa lemak,
sel-sel inflamasi dan otot polos. Plak ini akan melunak akibat infiltrasi pembuluh darah baru
yang terjadi dalam plak (angiogenesis). Segala bentuk trauma kimia maupun fisik akan
menyebabkan pecahnya plak dan akan mengakibatkan oklusi trombus akut pada arteri atau
embolisasi pada tempat yang lebih distal.

Gambar 2. Mekanisme pembentukan plak aterosklosis15

PAOD secara progresif akan menyempitkan lumen arteri dan meningkatkan resistensi
8

aliran darah sehingga aliran darah ke jaringan distal terhadap lesi akan berkurang.12 Jika
kebutuhan oksigen pada jaringan tersebut melebihi kemampuan pembuluh darah untuk
mensuplai oksigen, jaringan tersebut akan mengalami iskemia.15,16 Manifestasi klinis akan
timbul apabila lesi tunggal pada pembuluh darah menyebabkan pengurangan diameter lumen
pembuluh darah sebanyak kira-kira 50-75% pada penampang melintang.12,15,16 Beratnya
iskemia di bagian distal dari sebuah lesi obstruktif tidak hanya tergantung pada lokasi dan
luasnya oklusi, tetapi juga pada derajat aliran kolateral di sekitar lesi.16
Lesi stenotik tunggal pada arteri femoralis dapat menurunkan aliran darah istirahat dan
kapasitas perfusi jaringan yang diperdarahinya.4,12 Hal ini akan mengakibatkan penurunan
tekanan di bagian distal lesi karena terjadi peningkatan resistensi pembuluh darah sepanjang
lesi stenosis.12 Apabila penurunan tekanan relatif ringan, misalnya sekitar 10-15 mmHg,
autoregulasi dan kolateralisasi dapat mereduksi resistensi pada jaringan yang terletak distal
sehingga dapat mempertahankan aliran darah istirahat.12 Oleh karena itu, pengukuran aliran
darah pada keadaan istirahat tidak sepenuhnya dapat mendeteksi lesi stenosis karena aliran
darah mungkin saja normal. Pengukuran yang dilakukan pada tempat yang berbeda atau
pengukuran Ankle-Arm Pressure Index (API)/Ankle-Brachial Index (ABI) dapat mendeteksi
adanya lesi stenosis.3,12,15
9

Gambar 3.
Hemodinamika-
Hemodinamika terhadap
Lesi Tunggal pada Arteri
Femoralis12

Keterangan:

 external iliac artery


= a.iliaka eksterna

 deep femorale
artery = a.profunda
femoris

 superficial femoral
artery = a.femoralis

 tibial artery =
a.tibialis

Saat latihan fisik, pasien dengan lesi stenosis tunggal pada arteri femoralis akan
menyebabkan rasa nyeri iskemia pada otot betis.12 Hal ini terjadi karena aliran darah untuk
daerah betis terbatas akibat peningkatan resistensi pada arteri femoralis. ABI saat istirahat akan
menurun dan akan lebih menurun saat latihan fisik. Pelebaran pada jaringan distal akan
meningkatkan aliran sepanjang segmen stenosis sehingga akan menurunkan tekanan sepanjang
lesi.12 Dengan demikian, terjadi penurunan tekanan perfusi ke jaringan distal dan aliran darah
ke daerah betis saat latihan fisik. Hal ini tidak menyebabkan gangguan pada jaringan yang lebih
proksimal dari tempat lesi.12
Bila terjadi lesi stenosis multipel, misalnya pada arteri iliaka eksterna dan arteri femoris,
ABI akan sangat menurun bahkan pada saat istirahat.12 Pada saat latihan fisik akan terjadi juga
penurunan tekanan perfusi ke tungkai bawah dan penurunan aliran darah ke daerah betis.12
Setelah latihan fisik, mikrosirkulasi pada femur akan meningkatkan tekanan perfusi dan aliran
darah ke daerah betis.12
10

Gambar 4. Hemodinamika-Hemodinamika terhadap Lesi Multipel


pada Arteri Femoralis12

VI. Faktor-Faktor Risiko 1,3,4,16


Mencakup faktor risiko terjadinya aterosklerosis, termasuk usia dan gender (terutama
laki-laki usia lebih dari 50 tahun, wanita lebih dari 60 tahun), merokok, diabetes mellitus,
hipertensi, fibrinogen, hiperlipidemia dengan peningkatan LDL kolesterol, defisiensi HDL
kolesterol, peningkatan homosistein, peninggian viskositas darah, pasien dengan penyakit
jantung koroner dan penyakit serebrovaskular, serta faktor genetik.

VII. Gejala Klinik


Gejala yang dialami penderita dengan oklusi arteri pada ekstrimitas bawah bergantung
pada proses sumbatan yang terjadi, lokasi stenosis, jenis arteri apakah suatu end artery,
progresivitas penyakit, proses hemodinamika yang mendasari, keadaan umum pasien, dan
kemampuan sirkulasi kolateral untuk mengkompensasi reduksi aliran darah arteri.3,13,16 Gejala
berhubungan dengan perkembangan iskemia jaringan.
Iskemia pada tungkai bawah dapat menimbulkan dua gejala klinik yang berlainan tetapi
11

dapat terjadi bersaman, yaitu:3,4,16 Klaudikasio Intermiten (Intermittent Claudication = CI ) dan


Iskemia Kritis Tungkai (Critical Limb Ischaemia = CLI )
Klaudikasio Intermiten (Intermittent Claudication = CI )
Klaudikasio intermiten adalah kondisi klinis pada ekstremitas inferior yang berupa rasa
kesemutan, kejang otot, kelemahan otot13 bahkan rasa nyeri yang diinduksi oleh latihan dan
berkurang saat beristirahat. Hal ini diakibatkan oleh obstruksi pada pembuluh darah di bagian
proksimal otot terkait, dimana aliran darah pada saat latihan tidak mampu mencukupi keperluan
metabolik jaringan.3,16
Klaudikasio intermiten yang menimbulkan keluhan pada otot-otot betis karena terjadi
kelainan pada arteri femoralis.3,15 Keluhan timbul setelah berjalan menempuh suatu jarak
tertentu dan cepat menghilang setelah berhenti berjalan. Apabila kegiatan berjalan kembali
dilakukan, maka rasa nyeri akan timbul kembali.3,15
Pada umumnya stenosis yang terjadi pada arteri femoralis di kanalis aduktorius akan
menimbulkan gejala klaudikasio intermiten setelah berjalan beberapa ratus meter.15 Nadi pada
pergelangan kaki masih teraba, tetapi terasa mengecil, dan bising dapat terdengar di dekat
kanalis aduktorius.15 Tekanan sistolik pergelangan kaki sering normal pada saat istirahat, tetapi
menurun sejalan dengan melakukan latihan fisik. Setelah kelainan berlangsung beberapa bulan
atau tahun, pembuluh darah kolateral dari arteri profunda femoris akan berkembang sehingga
dapat mengalirkan sejumlah darah ke arah tungkai.4,15 Sejalan dengan proses ini, maka gejala
yang dirasakan oleh pasien biasanya berangsur membaik bahkan dapat menghilang.4,15
Iskemia Kritis Tungkai (Critical Limb Ischaemia = CLI )
Berbeda dengan klaudikasio intermiten, CLI terjadi karena adanya lesi multipel pada
arteri.3,15 Pasien dengan CLI biasanya menderita kerusakan jaringan, misalnya ulserasi atau
gangren, dengan atau tanpa nyeri waktu istirahat dan hasil pengukuran tekanan darah pada
pergelangan kaki pada umumnya kurang dari 50 mmHg.3, 15,17 Tanpa adanya revaskularisasi,
maka pasien biasanya akan kehilangan tungkainya (amputasi) dalam hitungan minggu atau
bulan. CLI dibagi menjadi dua tingkatan:15,17
 Subcritical Limb Ischaemia (SCLI )
Pada tingkat ini, pasien mengalami nyeri saat istirahat dengan atau tanpa nyeri malam
hari, tetapi tidak mengalami kerusakan jaringan. Pasien-pasien ini berada dalam keadaan antara
12

klaudikasio intermiten dan CLI, dan memiliki gejala antara kedua penyakit tersebut. Pasien
seperti ini perlu mendapatkan terapi rekonstruksi arteri untuk menyelamatkan tungkainya.
 Severe Limb Ischaemia (SLI )
Istilah ini kadang-kadang dipakai untuk menggambarkan semua pasien dengan iskemia
tungkai kronik yang lebih berat daripada klaudikasio intermiten, yaitu CLI dan SCLI.

VIII. Diagnosis
1. Anamnesis
Sesuai dengan patofisiologi dan patogenesis PAOD, maka gejala yang umumnya
terjadi adalah rasa nyeri disertai kekakuan otot dan rasa lelah otot ekstremitas bawah yang
terjadi setelah melakukan aktivitas fisik, misalnya berjalan atau berlari.2 Pada mulanya terjadi
pada satu ekstrimitas dan lama-kelamaan mengenai kedua ekstrimitas dengan serangan pada
ekstrimitas yang satu lebih sering daripada yang lain.2,3,12 Hal ini disebut klaudikasio
intermiten.2,3,12 Gejala ini akan menghilang dengan istirahat. Gejala dapat pula berupa keluhan
luka yang tak mau sembuh, rasa kaki dingin, kulit yang suka terkelupas dan berwarna pucat,
kuku yang suka mengapur dan sulit dipotong, dan rambut kulit yang berkurang tumbuhnya.3,13
Lokasi rasa nyeri tergantung dari letak lesi arterinya. PAOD biasanya terjadi pada distal
dari arteri femoralis yang menyebabkan rasa nyeri pada daerah betis. Jika lesi arteri terjadi pada
aorta iliaka, daerah tungkai atas bahkan seluruh tungkai akan terasa nyeri.3,13
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan PAOD harus dilakukan pemeriksaan esensial,
misalnya pemeriksaan pulsasi arteri (dari pulsasi aorta sampai a.dorsalis pedis), segmental
pressure, ada tidaknya atropi otot, hilangnya rambut ekstrimitas, penebalan kuku jari kaki
(Thickened Toenails).3,13 Gejala 5 P’s (pulseless-ness, paralysis, paraesthesia, pain and pallor)
dapat merupakan petunjuk dalam pemeriksaan fisik PAOD.11
13

Gambar 5. Palpasi arteri femoralis11

Gambar 6. Palpasi arteri poplitea11


14

Gambar 7. Palpasi arteri tibialis posterior11

Gambar 8. Palpasi arteri dorsalis pedis11


15

Tabel 1. Klasifikasi Iskemia Tungkai menurut La Fontaine 3,5,,16

IX. Pemeriksaan Penunjang


Pasien dengan kelainan vaskular biasanya didiagnosis menggunakan teknik diagnotik
vaskular non-invasif. Teknik ini umumnya meliputi: ankle-brachial index (ABI), tes saat olah
raga dengan ABI, perekaman volume denyut/pulse volume recording (PVR), ultrasonografi
dupleks/duplex ultrasound, analisis bentuk gelombang menggunakan Doppler, angiografi
tomografi yang terkomputerisasi/computed tomographic angiography (CTA), dan angiografi
resonansi magnetik/magnetic resonance angiography (MRA).3,4 ABI memberikan data objektif
yang berguna sebaga standar untuk skrining dan diagnosis PAD pada ekstremitas bawah,
seperti halnya pemantauan efikasi intervensi terapi. 3,4
ABI dilakukan dengan mengukur tekanan darah sistolik dari kedua arteri brakhialis dan
kedua arteri dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior setelah pasien beristirahat dalam posisi
terlentang selama 10 menit. 3,4 Pemeriksaan optimal didapatkan dengan menggunakan manset
tekanan darah dengan ukuran yang sesuai dengan ukuran betis bawah pasien (tepat di atas
pergelangan kaki), dan tekanan sisteolik direkam menggunakan alat Doppler genggam dengan
3,4
frekuensi 5 hingga 10 MHz. Nilai ABI terhitung dicatat hingga 2 desimal. Refleksi
gelombang denyut pada individu sehat menyebabkan tekanan pada pergelangan kaki 10 hingga
15 mmHg lebih tinggi daripadai tekanan sistolik arteri brakhialis, dan untuk itu indeks
brakhialis lengan-pergelangan kaki rasio tekanan darah sistolik adalah lebih besar dari 1.00.
Interpretasi perekaman ABI pada tabel 2 meliputi: 3,4
16

Tabel 2. Interpretasi ABI 3,4

X. Pencegahan
Penanganan terhadap faktor-faktor risiko, misalnya penggunaan tembakau harus
dibatasi, kontrol terhadap hipertensi, Diabetes Melitus, dan hiperlipoproteinemia, pemberian
obat anti platelet, latihan reguler, program menurunkan berat badan, terapi terhadap gagal
jantung kongestif atau azotemia dan DM.17 Selain pencegahan terhadap faktor risiko, dapat pula
dilakukan tindakan lain, misalnya usaha tetap mempertahankan kehangatan tubuh terutama
pada ekstrimitas bawah, menjaga kelancaran sirkulasi dengan berjalan kaki teratur dan latihan
gerakan ekstremitas bawah sekalipun secara pasif, mengurangi hal-hal yang dapat menghambat
sirkulasi misalnya menyilang kaki waktu duduk, memakai pakaian yang terlalu ketat.13

XI. Pengobatan (penatalaksanaan)


1) Terapi Non Operatif (obat-obatan)
Terapi non operatif sebagai salah satu bentuk pengobatan terhadap penyakit oklusi
arteri lebih diutamakan pada pengontrolan faktor risikonya, misalnya pemberhentian me-rokok,
diet, perubahan posisi, latihan (exercise), perawatan kaki, selanjutnya dapat diberi terapi
farmakologik dengan obat-obat antiplatelet seperti Aspirin (Anacin, Ascriptin, Bayer aspirin),
Pentoxifylline (Trental), Clopidogrel (Plavix), dan Cilostazol. 1,3,4,9,11
Berhenti Merokok
Merokok saat ini secara signifikan meningkatkan risiko untuk kejadian PAD sebesar
2,6 kali pada pria lanjut usia, pada usia rata-rata 80 tahun, dan 4,6 kali pada wanita lansia, usia
rata-rata 81 tahun.1,2 Merokok meningkatkan risiko kejadian amputasi pada orang dengan
klaudikasio intermiten.1,2
Berhenti merokok dapat mengurangi progresivitas PAD menjadi iskemia kritis tungkai
(Critical Limb Ischemia) dan mengurangi risiko kejadian infark miokard (MI) dan kematian
17

akibat gangguan vaskular.1,2 Program penghentian merokok harus sangat dianjurkan dan
diberikan pada lansia (orang tua) dengan PAD. Berhenti merokok merupakan salah satu
intervensi klinis yang paling efektif dan dengan biaya yang sangat murah dalam pengobatan
PAD (Tabel 3). 1,2
Pendekatan untuk berhenti merokok mencakup penggunaan nikotin patch atau permen
karet nikotin polacrilex.1 Terapi perilaku juga akan diperlukan.1,2 Saran dokter yang berulang
juga akan sangat penting dalam pengobatan kecanduan rokok. 1,2
Terapi Hipertensi
Hipertensi secara signifikan meningkatkan risiko kejadian PAD 2,2 kali pada pria lansia
dan sebesar 2,8 kali pada perempuan lansia. 1,2 Hipertensi hendaknya diterapi dengan adekuat
untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada orang-orang dengan PAD. 1,2
Dalam studi HOPE (Heart Outcomes Prevention Evaluation) pada lansia, dibandingkan
dengan plasebo, penggunaan ramipril 10 mg tiap hari secara signifikan dapat mengurangi
kejadian kardiovaskular sebesar 25% pada orang dengan gejala PAD. 1,2 Dalam studi ini,
ramipril mengurangi insiden absolut untuk kejadian kardiovaskular sebesar 5,9% pada orang
dengan PAD asimtomatik dan sebesar 2,3% pada orang dengan ABI yang normal. 1,2 Ramipril
juga dilaporkan mampu meningkatkan kemampuan berjalan pada orang dengan PAD. 1,2
Di antara orang-orang PAD berusia rata-rata 60 tahun, pada percobaan Appropriate
Blood Pressure Control in Diabetes , diperoleh insiden kejadian kardiovaskular pada orang
yang diterapi dengan obat antihipertensi enalapril atau nisoldipin adalah sebesar 13,6% jika
tekanan darah rata-rata berkurang menjadi 128/75 mmHg, dibandingkan 38,7% jika tekanan
darah rata-rata dikurangi menjadi 137/81 mmHg. 1,2
Tekanan darah pada orang tua dengan PAD harus dikurangi menjadi <140/90 mmHg
dan <130/80 mmHg pada orang tua dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronis (Tabel
1,2
3). Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor harus dimasukkan dalam regimen
antihipertensi.1,2

Pengobatan Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus secara signifikan meningkatkan risiko kejadian PAD 6,1 kali pada
18

pria lanjut usia dan 3,6 kali pada perempuan lanjut usia.1,2 Lansia tanpa CAD dengan diabetes
mellitus dan PAD akan memiliki insiden yang lebih tinggi untuk kejadian baru penyakit
koroner daripada lansia nondiabetes dengan PAD yang disertai riwayat infark miokard
sebelumnya. 1,3
Tatalaksana diabetes mellitus hendaknya mencapai tingkat hemoglobin A1c yang
menurun hingga kurang dari 7% untuk mengurangi kejadian infark miokard (Tabel 3). 1,2
Tekanan darah harus diturunkan menjadi <130/80 mmHg pada orang tua dengan PAD dan
diabetes mellitus. 1,2 Lansia dengan diabetes yang disertai PAD juga harus diterapi dengan
statin. 1,2 Low-density lipoprotein (LDL) kolesterol dalam serum harus dikurangi menjadi <70
mg/dl. 1,2 (Tabel 3).
Pengobatan Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko untuk kejadian PAD pada orang lanjut
usia. 1 Hiperkolesterolemia sendiri secara signifikan akan meningkatkan risiko kejadian PAD
sebesar 1,67 kali. 1 Pengobatan dislipidemia dengan statin telah terbukti mampu mengurangi
angka mortalitas, kejadian kardiovaskular, dan stroke pada orang tua PAD dengan maupun
tanpa CAD. 1,3,4
Pada follow up 5 tahun dari 4.444 laki-laki dan perempuan dengan CAD dan
hiperkolesterolemia pada Scandinavian Simvastatin Survival Study, dibandingkan dengan
plasebo, simvastatin secara signifikan dapat mereduksi insiden klaudikasio intermiten sebesar
38%.1 Tiga studi juga menunjukkan bahwa statin mampu memperbaiki tingkat performa
berjalan pada orang dengan PAD. 1
Dalam Heart Protection Study, 6.748 dari 20.536 orang (33%) menderita
PAD.1 Pada follow up selama 5-tahun, terapi dengan simvastatin 40 mg sehari secara signifikan
memberikan RR sebesar 19% dan penurunan kejadian kardiovaskular absolut sebesar 6,3%,
independen terhadap faktor usia, jenis kelamin, maupun level lipid dalam serum.1 Data tersebut
mendukung administrasi statin pada orang lansia dengan PAD terlepas dari tingkat lipid serum.1
Berdasarkan data dari Heart Protection Study, orang dengan PAD hendaknya diterapi
dengan statin tanpa memandang usia, jenis kelamin, maupun awal level lipid serum.1 Kolesterol
LDL serum harus dikurangi menjadi <70 mg/dl (Tabel 3).1
Terapi Terhadap Peningkatan Homosistein Plasma
19

Peningkatan level plasma homosistein merupakan faktor risiko untuk kejadian


PAD.1 Menurunkan peningkatan level plasma homosistein dapat dicapai dengan pemberian
kombinasi asam folat, vitamin B6, dan vitamin B12. Namun, belum ada data double-blind,
random, plasebo-terkontrol yang menunjukkan bahwa pengurangan plasma homosistein yang
meningkat akan mengurangi tingkat kejadian koroner dan perlambatan perkembangan PAD
pada orang tua dengan PAD.1

Tabel 3. Terapi Medikal pada PAOD1,3


1. Berhenti merokok
2. Terapi hipertensi dengan target tekanan darah <140/90 mmHg dan <130/80 mmHg
pada individu dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronik
3. Terapi diabetes mellitus dengan target hemoglobin A1c <7.0 % dan target serum LDL
<70 mg/dl
4. Terapi dislipidemia dengan target serum LDL <70 mg/dl dengan statin
5. Terapi hipotiroidisme
6. Penggunaan obat-obat antiplatelet, terutama klopidogrel
7. Penggunaan ACE inhibitor
8. Penggunaan penyekat beta pada pasien dengan infark miokard sebelumnya
9. Penggunaan statin untuk mereduksi kejadian kardiovaskular dan meningkatkan jarak
jalan pada individu dengan klaudikasio intermiten
10. Penggunaan cilostazol untuk perbaikan jarak jalan
11. Latihan rehabilitasi

Obat-obat Antiplatelet
Obat antiplatelet yang telah terbukti dapat mengurangi kejadian mortalitas
pembuluh darah, nonfatal MI, dan nonfatal stroke pada orang dengan PAD adalah aspirin,
tiklodipine, dan klopidogrel.1,3 Aspirin menghambat agregasi platelet dengan inhibisi enzim
siklooksigenase dalam reaksi platelet, menghalangi konversi asam arakidonat menjadi
tromboksan A2.1,3 Klopidogrel dan Tiklopidine adalah turunan thienopiridine yang
menghambat agregasi platelet dengan cara menghambat pengikatan adenosin 5'-difosfat ke
reseptor platelet.1,3

Aspirin
Serial angiografi menunjukkan aspirin memiliki kemampuan reduksi insiden
20

kematian vaskular, miokard infark nonfatal dan stroke nonfatal pada pasien dengan PAD.
Terapi jangka panjang dengan aspirin juga telah menunjukkan adanya perbaikan ABI dan
memperlambat progresivitas PAD.1,3
Tabel 4 menunjukkan efikasi berbagai dosis aspirin dalam mereduksi orang-
orang dengan risiko tinggi insiden kematian vaskular, miokad infark nonfatal dan stroke
nonfatal.1 Oleh sebab dosis aspirin lebih dari 150 mg per hari tidak menunjukkan adanya
reduksi kematian vaskular, miokad infark nonfatal dan stroke nonfatal lebih daripada dosis 75-
150 mg per hari dan dapat menyebabkan kecenderungan perdarahan gastrointestinal daripada
dosis yang lebih rendah, maka lebih disukai dosis 80 mg per hari dalam mengobati pasien lansia
dengan penyakit vaskular aterosklerotik.1,2,3
Tiklopidin
Pada Swedish ticlopidin multicentre study, 615 orang dengan klaudikasio
intermiten diacak dengan penggunaan tiklopidin 250 mg 2 kali per hari atau plasebo.1 Pada
follow-up 6 bulan dibandingkan dengan plasebo, tiklopidin dapat menurunkan insiden
kematian, infark miokard, stroke dan intervensi kardiovaskular sebesar 75%.1 Namun, efek
samping hematologi yang berhubungan dengan tiklopidin pada akhirnya membatasi
penggunaan obat ini sebagai terapi pasien lansia dengan PAD.1,2
Klopidogrel
Pada penelitian CAPRIE (Clopidogrel Versus Aspirin in Patients at Risk for
Ischaemic Events), 5.795 orang, dengan umur rata-rata 64 tahun, dengan PAD diacak untuk
klopidogrel 75mg per hari dan 5.797 orang, dengan umur rata-rata 64 tahun, dengan PAD
diacak untuk aspirin 325mg per hari. Pada follow-up 1,9 tahun, insiden tahunan untuk kejadian
kematian vaskular, miokad infark nonfatal, stroke nonfatal adalah 3,7% pada pasien yang
mendapat klopidogrel versus 4,9% pada pasien yang mendapat aspirin. 1
Berdasarkan data tersebut, maka direkomendasikan penggunaan klopidogrel
75mg per hari dalam terapi orang lanjut usia dengan PAD. Namun, klopidogrel memiliki harga
yang lebih mahal daripada aspirin. Pada pedoman The American College of Cardiology
(ACC)/American Heart Association (AHA), direkomendasikan penggunaan klopidogrel 75mg
per hari sebagai terapi alternatif terhadap aspirin 75-325 mg per hari untuk menurunkan
kematian vaskular, miokad infark, maupun stroke pada pasien PAD. 1,2,3
21

Tabel 4. Efikasi Dosis Aspirin dalam Menurunkan Mortalitas Vaskular, MI


nonfatal, dan Stroke nonfatal pada Pasien Risiko Tinggi.1
Dosis Apirin Penurunan kejadian Kardiovakular
500-1500 mg (34 studi) 19%
160-325 mg (19 studi) 26%
75-150 mg (12 studi) 32%
<75 mg (3 studi) 13%

Angiotensin-converting enzyme inhibitors1,3


Data dari studi HOPE menunjukkan ramipril 10mg per hari secara signifikan
dapat mereduksi kejadian kardiovaskular pada orang dengan PAD simptomatis dan pada pasien
dengan PAD asimptomatis. Inhibitor ACE, seperti statin, memiliki banyak efek pleotropik
seperti efek protektif vaskular mencakup aksi inhibisi proliferasi selular, restorasi aktifitas
endotel, inhibisi reaktifitas platelet, dan merupakan sebuah antioksidan potensial. Pedoman
ACC/AHA merekomendasikan terapi pasien PAD dengan inhibitor ACE kecuali memang
terdapat kontraindikasi penggunaan obat ini dalam mereduksi mortalitas dan morbiditas
kardiovaskular.
Beta bloker1,3
Pasien lansia dengan PAD memiliki peningkatan risiko terhadap perkembangan
kejadian kardiovaskular. Sebuah studi observasional yang dilakukan pada 575 laki-laki dan
perempuan, umur rata-rata 80 tahun, dengan PAD simptomatis dan riwayat miokard infark.
Pada follow-up 32 bulan, penggunaan beta bloker menimbulkan reduksi signifikan insiden
kejadian baru koroner sebesar 53%.
Orang-orang lanjut usia dengan PAD dan CAD hendaknya diterapi dengan beta
bloker, kecuali terdapat kontraindikasi dalam penggunaan obat tersebut.
Statin1,2
Orang lanjut usia dengan PAD dan hiperkolesterolemia seharusnya diterapi
dengan statin untuk mereduksi mortalitas dan morbiditas kardiovaskular serta progresivitas
PAD. Tiga studi double-blind, randomized, placebo controlled telah menunjukkan bahwa statin
22

mampu memperbaiki performa berjalan pada pasien lansia dengan PAD.


Pasien lansia dengan klaudikasio intermiten harus diterapi dengan statin untuk
memperbaiki performa berjalan, sekaligus juga untuk mereduksi kejadian kardiovaskular dan
mortalitas.
Obat Untuk Meningkatkan Jarak Berjalan
Berbagai macam obat telah menunjukkan inefektifitas dalam memperbaiki
jarak jalan pada pasien-pasien dengan klaudikasio intermiten. Dua macam obat, pentoksifilin
dan cilostazol, telah diakui untuk terapi simptomatis klaudikasio intermiten.
Cilostazol1,3
Cilostazol menginhibisi fosfodiesterase tipe 3, meningkatkan konsentrasi siklik
adenosin monofosfat intraselular. Cilostazol menekan agregrasi platelet dan juga berfungsi
sebagai vasodilator arteri secara langsung. Cilostazol pada beberapa penelitian telah
menunjukkan kemampuan memperbaiki kapasitas latihan pada pasien dengan klaudikasio
intermiten. Pada dosis 100 mg dua kali per hari telah menunjukkan superioritas dibandingkan
penggunaan placebo dan pentoksifilin. Cilostazol juga menunjukkan peningkatan sedikit pada
ABI.
Namun, cilostazol tidak seharusnya diberikan pada pasien usia lanjut dengan
PAD yang juga memiliki gagal jantung. Kontraindikasi lain dalam penggunaan cilostazol
mencakup kreatinin klirens < 25 ml/menit, kecenderungan perdarahan, ko-administrasi
inhibitor CYP3A4 atau CYP2C19 seperti simetidin, diltiazem, eritromisin, ketokonazol,
lansoprazol, omeprazol, dan inhibitor HIV-1 protease.
Pentoksifilin1,2
Pentoksifilin adalah turunan metilxanthine yang mampu memperbaiki deformabilitas
sel darah merah dan sel darah putih. Banyak studi telah menemukan tidak adanya perbaikan
yang konsisten dengan pentoksifilin pada orang dengan klaudikasio intermiten dibandingkan
dengan placebo.
Rehabilitasi Latihan (Exercise Rehabilitation)
Program rehabilitasi latihan dinyatakan memiliki kemampuan meningkatkan jarak
berjalan kaki pada orang dengan klaudikasio intermiten melalui perbaikan sirkulasi perifer dan
fungsi kardiovaskular. 1,2,5 Program latihan yang optimal untuk perbaikan nyeri klaudikasio
23

pada orang dengan PAD tersebut menggunakan cara jalan intermiten hingga mencapai nyeri
maksimal selama program minimal 6 bulan.1 Latihan kekuatan kurang efektif dibandingkan
berjalan di treadmill, dan tidak menambah respon terhadap program latihan berjalan.1,2,5
Pedoman ACC / AHA merekomendasikan program latihan yang disupervisi untuk pasien
dengan klaudikasio intermiten.1,2
Perawatan Kaki (Foot Care)1,3
Orang dengan PAD harus memakai sepatu dengan benar. Kecerobohan akibat
potong kuku atau cedera dari berjalan tanpa alas kaki harus dihindari. Kaki harus dicuci setiap
hari dan kulit harus dijaga tetap lembab dengan emolien topikal untuk mencegah retakan dan
rekahan, yang mungkin memiliki portal untuk infeksi bakteri. infeksi jamur dari kaki harus
diterapi. Kaus kaki harus dari wol atau kain tebal lainnya, dan sisipan bantalan sepatu mungkin
dapat digunakan untuk mencegah luka akibat tekanan.
2) Terapi Operatif
Terapi operatif tidak perlu dipertimbangkan apabila pasien patuh menjalani terapi non
operatif selama minimal 6 bulan. Terapi operatif yang sering dilakukan adalah:16,17
1. Penanganan Endovaskular
Metode yang digunakan adalah Percutaneus Transluminal (balloon) Angioplasty
(PTA).
2. Symphathectomy
3. Rekonstruksi arteri seperti endarterektomi, Bypass Grafting, Bypass ekstra
anatomis, dan amputasi.

XII. Kesimpulan
Penyakit Arteri Perifer oklusif (PAOD) didefinisikan sebagai penyakit yang merupakan
hasil baik dari proses aterosklerosis ataupun proses inflamasi yang menimbulkan penyempitan
lumen (stenosis), atau dari pembentukan trombus sehingga ada peningkatan resistensi
pembuluh darah yang dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi distal dan aliran darah.
PAOD terutama mengenai ekstremitas bawah yang memiliki tingkat morbiditas yang tinggi
oleh sebab etiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, komplikasi, pencegahan, dan
manajemen yang masih belum ditatalaksana dengan baik. Oleh karena adanya berbagai gejala
24

klinis, misdiagnostik, dan komplikasi yang berhubungan dengan PAOD, maka akan sangat
penting untuk meningkatkan akurasi diagnostik yang diperoleh terutama dari anamnesis, fisik
diagnostik, dan studi laboratorium pendukung. Manajemen awal dan perawatan perioperatif
yang lebih baik harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi komplikasi PAOD yang
dihasilkan baik dari penyakit itu sendiri ataupun dari operasi rekonstruksi arteri. Diharapkan
adanya pemahaman klinis yang lebih baik dan manajemen yang lebih baik terhadap pasien
PAOD akan menghasilkan hasil prognostik yang lebih baik, terutama untuk pasien yang
menunjukkan tanda-tanda dengan faktor risiko terhadap PAOD seperti perokok, diabetes dan
pasien hipertensi, serta kelainan genetik.
Sebagai kesimpulan, tujuan dalam tatalaksana yang benar dari terapi medis adalah
terutama secara signifikan dapat mengurangi kejadian kardiovaskular dan mortalitas terkait
dengan PAD.1 Selain itu, terapi medis dapat memberikan peningkatan signifikan kemampuan
berjalan yang dapat meniadakan kebutuhan angioplasti dengan stenting dan operasi bypass
ekstremitas bawah. Pengobatan PAD adalah efektif pada pria dan perempuan lansia.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Aronow WS. Medical Treatment of Peripheral Arterial Disease in the Elderly.


Journal of Geriatric Cardiology, 4:93-100, 2007.
25

2. Tendera M, Aboyans V, Bartelink ML, et al. ESC Guidelines on the diagnosis and
treatment of peripheral artery diseases. European Heart Journal, 32:2851-2906,
2011.
3. Aboyans V, Ricco JB, Bartelink ML, et al. The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Peripheral Arterial Diseases of the European Society of Cardiology
(ESC) and of the European Society for Vascular Surgery (ESVS). European Heart
Journal, 39:763-816, 2018.
4. Dominguez, JA. Peripheral Arterial Occlusive Disease Treatment and
Management, 2021. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/460178-treatment. [accessed on 3 July
2021].
5. Dieter RS, Chu WW, Pacanowski JP, Mc Bride PE, Tanke TE. The Significance of
Lower Extremity Peripheral Arterial Disease. Clinical Cardiolology, 25:3–10,
2002.
6. Vagni V. Hypertension and Peripheral Arterial Disease, 2003. Available
from:http://www.gfmer.ch/TMCAM/hypertension/hypertension_peripheral_arteri
al_disease.htm. [accessed on 3 July 2021].
7. Orford J.L. Clinical and Research Fellow in Cardiovascular Diseases, 2003.
Available from: www.emedicine.com/ med/ topic182. [accessed on 3 July 2021].
8. Farro P. Peripheral Arterial Disease, 2005. Available from:
www.clevelandclinicmeded.com/ diseasemanagement/ cardio-logy/pad/pad.htm.
[accessed on 3 July 2021].
9. American Heart Association. International Cardiovascular Disease Statistics,
2004. Available from: www.cdc.gov /cvh. [accessed on 3 July 2021].
10. Ouriel K. Current Treatment Options in Cardiovasculer Medicine. Current Science
Inc., 2000.p.255-64.
11. Jones RM. Peripheral Vascular System, 2008. Available from:
http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/sistem-pembuluh-daraf-perifer
nita.pdf. [accessed on 3 July 2021].
26

12. Klabunde R.E. Peripheral Arterial Occlusive Disease, 2004. Available from:
www.cvphysiology.com/peripheral %20 vascular%20 disease/pvd001.htm.
[accessed on 3 July 2021].
13. Lemke P, Joseph D, LaPalio L. Clinical Reviews: Peripheral Arterial Disease,
2002. Available from: www.ascp.com /public/pubs/cc/supp3.shtml. [accessed on 3
July 2021].
14. Kinnealey E, Carleton PF. Penyakit Vaskular. Dalam : Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi IV. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2002.h. 610-3; 618-22.
15. Taylor L. Aetiology of atheroslerosis hypothesis, 1999. Available from:
www.ilc00f.facbacs.uq.edu.au/crvb/ aetiology.html. [accessed on 3 July 2021].
16. Taylor LM, Moneta GL, Porter JM. Natural History and Non Operative Treatment
of Chronic Lower Extremity Ischemia. In: Rutherford RB. Vascular Surgery. 5th
edition. USA: WB Saunders Company, 2000.p.928-43.
17. Kempczinski RF. The Chronically Ischemic Leg: an Overview. In: Rutherford RB.
Vascular Surgery. 5th edition. USA: WB Saunders Company,2000.p. 917-27.

Anda mungkin juga menyukai