Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peripheral arterial disease (PAD) merupakan penyakit vaskular perifer yang dapat
mempengaruhi kualitas dan harapan hidup dengan meningkatkan kejadian kardiovaskular.
PAD juga sering underdiagnosed, undertreated, dan kurang mendapat perhatian komunitas
medis. Pasien dengan PAD sendiri sering mengalami gejala-gejala patognomonis seperti
claudication intermitten, ischemic rest pain, luka/ulkus yang tidak sembuh. PAD sering
terjadi pada pasien yang menderita faktor risiko aterosklerosis meliputi: ras, jenis kelamin,
bertambahnya usia, merokok, diabetes mellitus, hipertensi, dislipidaemia, keadaan
hiperkoagulitas dan hiperviskositas, hiperhomosisteinemia, kondisi inflamasi sistemik dan
insufisiensi ginjal kronis.1,2
Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan fisik yang baik untuk screening dan
diagnosis. Pemeriksaan dengan pencitraan (duplex ultrasound, computed tomography
angiography, atau magnetic resonance angiography) juga bermanfaat dalam memberikan
informasi tambahan struktur anatomis ketika tindakan revaskularisasi diperlukan. Tujuan
tatalaksana PAD adalah untuk memperbaiki gejala klinis, mencegah kehilangan jaringan
(amputasi), meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan angka kejadian kardiovaskular.
Tatalaksana ini dimulai dengan modifikasi faktor risiko. 2,3
Tindakan revaskularisasi diperlukan ketika terapi medikamentosa berdasarkan
algoritma tidak memberikan hasil yang adekuat. Tindakan revaskularisasi dengan
endovaskular ataupun pembedahan bypass direkomendasikan pada PAD dengan penyakit
pada aortoiliaca dan femoropopliteal. Selain itu, tindakan endovaskular dan pembedahan
bypass juga diperlukan untuk mempertahankan fungsi tungkai, memperbaiki aliran darah ke
kaki pada pasien dengan luka yang tidak sembuh atau gangrene.1,3

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari peripheral arterial disease.

1
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini ditulis sebagai tugas wajib prabedah beserta PPDS Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Peripheral Arterial Disease (PAD) atau bisa juga disebut Peripheral
Arterial Occlusive Disease (PAOD) atau Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah
gangguan suplai darah ke ekstremitas atas atau bawah disebabkan terjadinya
penyumbatan pada arteri perifer. Penyumbatan umumnya disebabkan proses
aterosklerosis dan non ateroskelrosis seperti proses inflamasi dinding arteri
(vaskulitis), trauma dan emboli yang menyebabkan lumen menyempit
(stenosis) atau dari pembentukan trombus (biasanya terkait dengan faktor
resiko yang menjadi dasar timbulnya aterosklerosis). Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi pembuluh darah yang dapat
menimbulkan penurunan perfusi ke area distal dan penurunan laju darah.
Tempat tersering terjadinya PAD adalah daerah tungkai bawah dan jarang
ditemukan pada jari tangan. Tanda dan gejala utamanya adalah nyeri pada area
yang mengalami penyempitan pembuluh darah. Bila pembuluh darah yang
terkena tungkai, maka tanda dan gejala awal adalah nyeri saat berjalan
(claudication intermitten) dan sensasi lelah pada otot yang terpengaruh.1,2,3
Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri,
tempat yang turbulensinya meningkat, memudahkan terjadinya kerusakan
tunika intima. Arteri yang umumnya terkena berdasarkan angka kejadiannya
adalah arteri femoralis, arteri poplitea dan arteri tibialis. Prevalensi tertinggi
PAD terjadi pada dekade ke-enam dan ke-tujuh dan sekitar 60% pasien dengan
PAD akan mengalami penyakit jantung iskemik dan 30% memiliki penyakit
serebrovaskular. Sekitar 10-15% pasien dengan claudication intermiten akan
meninggal karena penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, manajemen
dimulai dengan identifikasi dan modifikasi faktor risiko yang umum untuk
PAD, penyakit jantung dan stroke.4,5,6

3
Gambar 1. Gambaran PAD dengan stenosis atau oklusi pada pembuluh arteri
perifer akibat aterosklerosis.6

2.2 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita
PAD. Di Eropa dan Amerika Utara, diperkirakan 27 juta orang dirawat inap
setiap tahunnya dengan PAD. Prevalensi tertinggi didapatkan pada individu
dengan usia lanjut, riwayat keluarga dengan aterosklerosis atau penyakit
kardiovaskular. Risiko PAD meningkat seiring bertambahnya usia mencapai
20% pada usia di atas 70 tahun dan 60% pada usia di atas 80 tahun. Sebuah
penelitian yang dilakukan pada tujuh negara Asia termasuk Indonesia terhadap
pasien Diabetes Melitus tipe 2, didapatkan PAD pada sebesar 17,7% populasi. 7,8

2.3 Faktor Risiko


Perkembangan PAD bersifat multifaktorial. Beberapa penelitian
populasi besar menemukan bahwa lebih dari 95% pasien memiliki setidaknya
satu faktor risiko kardiovaskular.1,9

4
Faktor risiko terjadinya PAD, yaitu :
a. Merokok
Hasil dari tinjauan sistematis 17 studi mencakup 20.278 pasien
menunjukkan bahwa setengah dari semua PAD dapat dikaitkan dengan
merokok. Ini menyimpulkan bahwa perokok berat lebih mungkin untuk
menderita PAD daripada perokok ringan dan bahwa mantan perokok
memiliki risiko yang terus meningkat dibandingkan dengan yang tidak
pernah merokok.1,10,11
b. Diabetes
Pedoman Trans Atlantic InterSociety Consensus (TASC) II mengemukakan
bahwa semua pasien dengan diabetes memiliki risiko relatif untuk terjadi
PAD serupa dengan orang yang merokok. Sebuah studi kohort prospektif
dari 1894 pasien diabetes menemukan bahwa kontrol diabetes yang buruk
dikaitkan dengan peningkatan risiko PAD. Pasien dengan diabetes
cenderung asimtomatik karena adanya manifestasi klinis neuropati.
Peripheral Arterial Disease pada populasi ini lebih mungkin ditemukan di
pembuluh darah yang lebih distal seperti daerah tungkai bawah. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa sekitar setengah pasien dengan ulkus kaki
diabetik cenderung mengalami PAD.1,12,13
c. Lainnya1,4
1.
Usia
2.
Hipertensi
3.
Hiperlipidemia
4.
Penyakit ginjal kronis
5.
Riwayat keluarga dengan aterosklerosis atau penyakit cardiovaskular
6.
Kadar homosistein yang tinggi (hiperhomosisteinemia)

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Critical Limb Ischemia
Critical limb ischemia (CLI) merupakan bentuk yang paling parah
dari PAD, dan diperkirakan sekitar 1% pasien PAD mengalami kondisi ini.
CLI ditandai dengan kondisi kronis (≥2 minggu) nyeri saat istirahat

5
(ischemic rest pain), luka/ulkus yang tidak sembuh, atau gangrene pada satu
atau kedua kaki yang telah dibuktikan secara objektif mengalami oklusi pada
arteri. CLI berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi kehilangan tungkai
bawah (amputasi) jika tidak dilakukan revaskularisasi, sedangkan
claudication jarang memburuk hingga dibutuhkannya tindakan amputasi.12,13
Ischemic rest pain biasanya dideskripsikan seperti sensasi terbakar
atau seperti rasa dingin yang tidak nyaman atau paresthesia dengan intesitas
yang cukup hingga dapat mengganggu tidur. Sensasi tersebut juga dirasakan
semakin bertambah dengan elevasi tungkai.13,14

Gambar 2. Klasifikasi critical limb ischemia.6

2.4.2 Acute Limb Ischemia


Acute limb ischemia (ALI) dapat disebabkan baik oleh emboli atau
trombus. Pada kondisi akut (<2 minggu) ini, gejala dapat terjadi dalam waktu
menit sampai jam setelah oklusi arteri terjadi akibat penurunan perfusi yang
buruk pada tungkai secara tiba-tiba. ALI dibagi menjadi akut (onset <24 jam)
dan sub-akut (onset 24 jam – 2 minggu). Presentasi klinis klasik ALI ini biasa
disebut dengan 6 P, yaitu: pain, pallor, pulselessness, paresthesia, paralysis,
dan poikilotermia. Semua kasus ALI suatu emegensi dan harus segera dirujuk
untuk mendapat tatalaksana definitif dan pada pasien dengan tanda klasik
ALI, revaskularisasi harus dilakukan dalam waktu 6 jam untuk mencegah
kerusakan otot yang permanen. Angka mortalitas 30-hari dan amputasi tetap
tinggi pada ALI (15-20 dan 10-30%).13,14

6
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Ada beberapa etiologi pada PAD non aterosklerotik seperti trauma,
vaskulitis dan emboli, namun etiologi aterosklerosis merupakan penyebab
yang paling banyak pada sebagian besar PAD. Lesi segmental yang
menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah besar
atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan
kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi
lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit
dan fibrin.8-10

Gambar 2. Evolusi perubahan dinding arteri dan pembentukan plak pada


hipotesis response-to-injury: 1. Disfungsi endotel; 2. hipertrofi sel otot polos
vaskular; 3. migrasi dan proliferasi sel-sel otot polos vascular; 4. elaborasi matriks;
5. adhesi molekul-molekul dan migrasi monosit; 6. pengambilan low-density
lipoprotein (LDL) and pembentukan sel-sel busa (foam cells); 7. pembentukan
trombus; 8. angiogenesis dan neovaskularisasi.6

Aterogenesis dimulai dengan lesi di dinding pembuluh darah dan


pembentukan plak aterosklerotik. Faktor risiko seperti merokok,
hiperkolesterolemia, diabetes, dan hipertensi dapat mempercepat pembentukan
aterosklerosis.9,11
Lesi awal (tipe I) terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan dan terdiri
dari akumulasi lipoprotein intima dan beberapa makrofag yang berisi lipid.
Makrofag tersebut bermigrasi sebagai monosit dari sirkulasi ke lapisan intima
subendotel, kemudian lesi ini berkembang menjadi lesi awal atau ‘fatty streak’
(tipe II), yang dominan berisi cholesteryl oleate dan dilokalisir di tunika

7
intima. Lesi tipe II dapat dengan cepat berkembang menjadi lesi preatheromic
(tipe III), yang didefinisikan dengan peningkatan jumlah lipid ekstraseluler dan
keruskan kecil di jaringan lokal. Ateroma (tipe IV) menunjukkan kerusakan
struktural yang luas pada tunika intima. Perkembangan lesi selanjutnya adalah
fibroateroma (tipe V) yaitu atheroma yang ditutup dengan fibrosa tebal.
Fibroateroma terdiri dari inti nekrotik yang biasanya terlokalisasi di dasar lesi
dekat dengan lamina elastik interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel
debris dan fibrotic cap, yeng terdiri dari kolagen dan sel otot polos sekitarnya.
Ruptur plak memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi platelet dan
aktivasi fibrinogen, namun tidak menyebabkan oklusi arteri atau manfestasi
klinis. Lesi tipe VI (complicated lesion) digunakan untuk menggambarkan
berbagai lesi aterosklerotik lebih lanjut yang menunjukkan karakteristik
khusus yang tidak ditemukan di fibroateroma klasik, seperti lesi ulseratif, lesi
hemoragik atau lesi trombotik. Tipe VII adalah lesi kalsifikasi, ditandai dengan
pengerasan arteri dan tipe VIII adalah lesi fibrotik yang sebagian besar terdiri
dari kolagen.9,13

Gambar 3. Skema Patogenesis Pheriperal Arterial Disease 5

Patofisiologi yang terjadi pada PAD meliputi keseimbangan suplai


dan kebutuhan nutrisi otot skeletal. Claudication intermitten terjadi ketika
kebutuhan oksigen selama beraktivitas melebihi suplainya dan merupakan
hasil dari aktivasi reseptor sensorik lokal oleh akumulasi laktat dan metabolit

8
lain. Pasien dengan klaudikasio dapat memiliki single atau multiple lesi oklusif
yang memperdarahi tungai.10
Regulasi suplai darah ke tungkai dipangaruhi lesi yang membatasi
aliran (beratnya stenosis, tidak tercukupinya pembuluh darah kolateral),
vasodilatasi yang lemah, abnormalitas reologi (penurunan deformabilitas
eritrosit, peningkatan daya adesif leukosit, agregasi platelet, mikrotrombosis,
peningkatan fibrinogen).12

Gambar 4. Patofisiologi Peripheral Arteri Disease

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi yang paling umum dari PAD adalah claudication
intermitten pada ekstremitas bawah. Gambaran klasik dari claudication adalah
kram pada kelompok otot yang menyebabkan perubahan gaya berjalan ketika
berjalan dan hilang dengan istirahat. Claudication pada ekstremitas distal
biasanya lebih dulu bergejala daripada ekstremitas proksimal. Betis lebih sering
terkena daripada paha atau regio gluteus.10,14
Rasa nyeri yang disebabkan oleh PAD lebih sering atipikal daripada
khas. Deskripsi seperti lelah, pegal, dan nyeri yang dijelaskan lebih sering
daripada kram, sehingga tenaga kesehatan harus dengan cermat mengklarifikasi
lokasi, kualitas, dan keadaan nyerinya. Tidak jarang pasien melaporkan ≥ 2 dari
jenis dan lokasi nyeri.10,14

9
Pemeriksaan fisik PAD berupa inspeksi, palpasi dan auskultasi.
Tanda-tanda vital termasuk tekanan darah bilateral, denyut jantung, tinggi
badan, dan berat badan harus diukur.6,14
a. Inspeksi
Kulit kaki tampak merah dan bisa pucat saat elevasi sering terlihat pada
PAD berat. Pasien dengan dugaan PAD sedang sampai berat harus
diangkat kakinya dengan tinggi oleh pemeriksa, dan waktu berubah
menjadi pucat harus dicatat. Saat kejadian microatheroembolic, livedo
thromboemboli dapat dilihat di permukaan plantar berminggu-minggu
sampai berbulan-bulan setelah kejadian.5,8,14

Gambar 5. Pucat saat elevasi (A), kemerahan saat inspeksi (B), dan livedo
tromboemboli (C)
(Sumber: Approach to the Patient With Peripheral Arterial Disease. 2013)

b. Palpasi
Palpasi arteri dilakukan secara rutin untuk semua pasien dengan penyakit
vaskular. Pedoman dari American Heart Association/American College
of Cardiology merekomendasikan penilaian pada skala 0 hingga 3,
dengan 0 = tidak ada; 1 = berkurang; 2 = normal; dan 3 = meningkat.
Pada ekstremitas bawah, arteri femoralis, arteri poplitea, arteri tibialis
posterior, dan arteri dorsalis pedis harus dipalpasi. Denyut poplitea
mungkin sulit untuk diperiksa dan harus dilakukan pada saat pasien
duduk dan terlentang. Tidak adanya denyut pergelangan kaki dan bruit
femoral telah terbukti sensitif untuk PAD.5,12
Pemeriksaan ekstremitas atas harus mencakup palpasi secara simultan
dari arteri radial dan ulnaris kontralateral untuk mendeteksi perbedaan
volume atau defisit denyut nadi dan suhu. Ekstremitas yang dingin sering

10
muncul sebagai manifestasi klinis pada ektremitas iskemia berat. Atrofi
betis atau jaringan lemak tumit juga bisa terjadi. 8,10,14
c. Auskultasi
Auskultasi pembuluh darah harus dilakukan pada semua pasien PAD.
Hal ini memungkinkan untuk membedakan antara bruit halus dan
kebisingan sekitar seperti suara usus, dan untuk menentukan apakah bruit
meluas hingga diastol, yang menunjukkan tingkat stenosis yang lebih
tinggi daripada bruit yang ditemukan saat sistol saja. Bruit femoralis
dapat dilacak ke proksimal (arteri iliaka) dan ke aorta (secara umum,
biforkasio aorta berada pada tingkat umbilikus) untuk membantu
menentukan lokasi stenosis.8,14

2.7 Diagnosis
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik dalam mendiagnosis
PAD. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk melihat faktor risiko
penyebab PAD dan monitoring terapi.
a. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia meningkatkan kemungkinan terjadinya PAD
sebesar 10 % atau dua kali lipat untuk setiap peningkatan 40 mg /
dL kolesterol total. Pasien dengan PAD lebih cenderung mengalami
peningkatan kadar trigliserida dan / atau kolesterol, lipoprotein (a) ,
apoliporotein B dan khususnya peningkatan low density lipoprotein
(LDL). Target nilai yang harus dicapai pada pasien PAD yaitu LDL
< 100 mg/dL dan LDL < 70 mg/dL untuk PAD risiko tinggi dengan
faktor risko multiple dan / atau kurang terkontrol. 4,10,15
Lipoprotein (a) adalah faktor risiko independen untuk PAD yang
ditentukan secara genetik. Peningkatannya dapat mencapai empat
kali lipat lebih tinggi dari nilai normal (< 20 mg/dL). Nilai normal
untuk Apoliprotein B 0,7 – 1,0 g/L, kadar tinggi bersifat
aterogenik.15

11
b. Hiperglikemia
Kontrol glikemik yang buruk secara bertahap meningkatkan risiko
aterosklerosis. Target nilai yang harus dicapai pasien diabetes
dengan PAD adalah HbA1c < 7 %.1,4,15
c. Kadar high-sesitivity C-reactive Protein (hsC-RP)
Peningkatan C-reactive protein yang diikuti peningkatan profil lipid
secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya PAD. Physicians
‘Health Study’ menyatakan orang yang memiliki kadar CRP yang
tinggi memiliki peningkatan resiko 2,1 kali lipat menderita PAD
dibanding orang sehat. Penelitian ini juga mencatat bahwa terdapat
kadar CRP yang tinggi pada individu penderita PAD dan kadar CRP
paling tinggi didapat pada pasien yang membutuhkan operasi
vaskular.7,13,15
d. Kadar Homosistein
Peningkatan kadar homosistein dikaitkan dengan aterosklerosis dan
ditemukan sebesar 40 % pada pasien PAD. Hasil uji penelitian yang
dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa homosistein dapat
memberikan efek sitotoksik langsung terhadap endotel, sehingga
terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Kenaikan kadar
homosistein total sebesar 5 mmol/L meningkatkan risiko PAD
sebesar 44 %.7,9,10
e. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen
Kadar hematokrit yang meningkat dilaporkan terdapat pada pasien
PAD, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok. Penigkatan
kadar fibrinogen plasma yang juga merupakan faktor risiko
trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAD pada beberapa
penelitian. Hiperviskositas dan hiperkoagulabilitas juga telah
terbukti sebagai marker atau faktor risiko terkait dengan prognosis
yang buruk.10,13

12
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi
Continuous-wave Doppler paling sering digunakan sebagai bagian
dari pemeriksaan Ancle Brachial Index (ABI). Pemeriksaan dengan
pencitraan lainnya untuk penilaian struktur anatomis, seperti duplex
ultrasound, Computed Tomography Angiography (CTA) atau Magnetic
Resonance Angiography (MRA) berguna dalam hal mendiagnosis lokasi
anatomis dan keparahan stenosis pada ekstremitas bawah terhadap pasien
dengan PAD simptomatis yang memerlukan tindakan revaskularisasi.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dan dapat menggambarkan arteri dengan jelas. 6,8,14

2.7.3 Pemeriksaan Lainnya


Pemeriksaan lain untuk mendukung diagnosis PAD adalah tes ABI.
Tes ini juga dapat mengukur tingkat keparahan PAD, sedangkan duplex
ultrasound lebih menentukan lokasi dan derajat stenosis. Bagi mereka yang
memiliki gejala nyeri selama berjalan tetapi ABI normal, pemeriksaan
treadmil adalah pemeriksaan yang tepat. Tes treadmil tidak hanya
digunakan untuk diagnosis klinis, tetapi juga dapat membantu menilai
respon terhadap pengobatan.2,14
a. Ankle Brachial Index (ABI)
Pemeriksaan ABI direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis pada
pasien yang dicurigai PAD dan bersifat non invasif. Nilai ABI pada orang
sehat 1,0-1,4. Nilai ABI < 0,90 digunakan sebagai batas diagnosis
penyakit arteri perifer. Pemeriksaan ABI saat istirahat sensitif dan
spesifik untuk PAD, dan sebagai penanda yang baik untuk morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular. Pemeriksaan ABI adalah tes skrining yang
diperlukan pada pasien > 65 tahun yang dicurigai PAD, atau pasien > 50
tahun dengan riwayat merokok atau diabetes melitus.6,8,16
b. Toe brachial index (TBI) biasanya merupakan indikator yang lebih andal
pada PAD obstruktif. Pemeriksaan TBI dilakukan dengan menempatkan
manset oklusi kecil pada jempol kaki dengan sensor

13
photoplethysmography di ujung jari kaki. Nilai toe brachial index < 0,7
dinilai diagnostik untuk pheriperal arterial disease.2,8

Gambar 6. Ankle Brachial Index


(Sumber : Penyakit Arteri Perifer .2015)

Tabel 1. Pedoman ABI dan TBI 2,6,16


Derajat
Ankle Brachial Index (ABI):
> 1,40 Tidak terkompresi
1,00 – 1,40 Normal
0,91 – 0,99 Borderline
 0,90 Abnormal, indicated PAD
Toe Brachial Index (TBI):
> 0,70 Normal
< 0,35 atau < 30 mmHg Berat

14
c. Tes Treadmil
Meskipun ABI saat istirahat telah terbukti menjadi alat skrining yang
sangat baik untuk menilai risiko morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular untuk pasien dengan claudication, ABI dengan istirahat
yang normal tidak mengecualikan adanya PAD. Satu penelitian di Eropa
menunjukkan bahwa hampir sepertiga pasien dengan gejala claudication
yang memiliki ABI normal saat istirahat memiliki tes treadmill positif
(ABI < 0,90 post-exercise ).8,14

2.8 Diagnosis Banding


Tabel 2. Diagnosis banding PAD 17

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non Farmakologis
a. Modifikasi Gaya Hidup
Beberapa penelitian merekomendasikan olahraga 3 kali seminggu
dengan berjalan kaki selama 30 menit dalam jangka waktu selama 6 bulan.1,2,8

15
Secara keseluruhan dijumpai peningkatan dalam kemampuan berjalan sekitar
50-200%. Pada pasien dengan claudication, olahraga direkomendasikan karena
dapat memperbaiki status fungsional, kualitas hidup, dan mengurangi gejala
pada tungkai.1,6

b. Berhenti Merokok
Rokok merupakan faktor risiko yang dominan dalam perkembangan dan
perburukan PAD, selain itu rokok juga meningkatkan risiko amputasi, oklusi
graft dan mortalitas.2,3
Trans-Atlantic inter-society consensus (TASC II) merekomendasikan
untuk berhenti merokok sebagai bagian dalam tatalaksana PAD. AHA/ACC
2016 merekomendasikan pasien dengan PAD yang merokok harus disarankan
untuk berhenti.2,6

2.9.2 Farmakologis
a. Hiperlipidemia
Terapi menggunakan statin dapat memperbaiki outcome
cardiovaskular dan tungkai pada pasien dengan PAD, sehingga penggunaan
statin diindikasikan pada semua pasien dengan PAD.6
b. Hipertensi
Target tekanan darah pada pasien PAD adalah <140/90 mmHg
(<130/80 mmHg pada pasien DM atau gagal ginjal). Terapi antihipertensi
harus diberikan kepada pasien dengan hipertensi dan PAD untuk
menurunkan risiko infark miokard, stroke, gagal jantung, dan kematian
akibat kardiovaskular. Penggunaan ACE-I atau ARB dapat digunakan untuk
menurunkan risiko kejadian iskemik kardiovaskular pada pasien PAD. 18,19
c. Antiplatelet
Terapi antiplatelet dengan aspirin (75-325 mg per hari) atau
clopidogrel (75 mg per hari) direkomendasikan pada pasien PAD yang
simptomatik. Pada pasien PAD (ABI ≤0,90) yang tidak memiliki gejala,
antiplatelet masih dapat diberikan untuk menurunkan risiko MI, stroke /
kematian akibat vaskular.18,19

16
d. Antikoagulan
Manfaat penggunaan antikoagulan untuk mempertahankan patensi
setelah bypass, dan tidak direkomendasikan untuk menurunkan risiko
kejadian MI pada pasien dengan PAD.19
e. Cilostazol
Cilostazol merupakan terapi yang efektif untuk memperbaiki gejala
dan meningkatkan jarak dalam berjalan pada pasien dengan claudication. 19

2.9.3 Pembedahan
Revaskularisasi pada claudication direkomendasikan bagi setiap pasien
untuk mengoptimalkan outcome. Pasien yang akan direncanakan untuk menjalani
revaskularisasi harus berdasarkan tingkat keparahan dari gejala yang mereka miliki
karena gejala tungkai iskemik yang bervariasi dan dampak gejala-gejala ini
terhadap status fungsional dan kualitas hidup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
termasuk disabilitas yang signifikan, respon yang adekuat terhadap terapi medis
dan program latihan, dan kondisi komorbid.4,13
Revaskularisasi dapat dilakukan sebagi pilihan tatalaksana bagi pasien
dengan claudication yang tidak memiliki respon adekuat terhadap GDMT
(guideline-directed management and therapy). Prosedur endovaskular merupakan
pilihan revaskularisasi yang efektif terhadap pasien dengan claudication dan secara
hemodinamik mengalami penyakit oklusi aortoiliaca yang signifikan. Prosedur
endovaskular juga dapat menjadi pilihan revaskularisasi terhadap pasien dengan
claudication dan secara hemodinamik mengalami penyakit femoropopliteal yang
signifikan. Tetapi, prosedur endovaskular tidak direkomendasikan untuk dilakukan
pada pasien dengan PAD dengan tujuan hanya untuk mencegah perburukan
menjadi CLI.4,13
Ketika revaskularisasi secara pembedahan dilakukan, bypass terhadap arteri
popliteal dengan menggunakan vena autogenous direkomendasikan daripada
prosthetic graft material.13
Pasien dengan CLI memiliki risiko yang tinggi terhadap amputasi dan
kejadian iskemik kardiovaskular. Hal yang perlu diperhatikan pada pasien dengan
CLI termasuk didalamnyaevaluasi terhadap tindakan revaskularisasi dan terapi
perawatan luka dengan tujuan untuk meminimalkan kehilangan jaringan,

17
penyembuhan luka yang sempurna, dan mempertahankan fungsi tungkai. 2,7
Evaluasi terhadap pilihan revaskularisasi harus dilakukan sebelum tindakan
amputasi dilakukan pada pasien dengan CLI, dengan menggunakan duplex
ultrasound, CTA, MRA, atau catheter based angiogram. Tujuannya adalah untuk
meminimalkan kehilangan jaringan dan mempertahankan fungsi tungkai dengan
revaskularisasi. Prosedur endovaskular direkomendasikan untuk memperbaiki
aliran darah ke kaki pada pasien dengan luka yang tidak sembuh atau gangrene.
Pendekatan yang bertahap terhadap prosedur endovaskular dapat dilakukan
pada pasien dengan ischemic rest pain. Ketika revaskularisasi dengan pembedahan
dilakukan terhadap pasien dengan CLI, bypass terhadap arteri popliteal atau arteri
infrapopliteal (seperti tibialis atau pedal) harus dilakukan dengan menggunakan
vena autogenous yang sesuai. Prosedur pembedahan juga direkomendasikan untuk
memperbaiki aliran darah ke kaki pada pasien dengan luka yang tidak sembuh atau
gangrene. Perawatan luka harus dilakukan setelah tindakan revaskularisasi dengan
tujuan mencapai penyembuhan luka yang menyeluruh. 4,15
Acute limb ischemia (ALI) merupakan salah satu presentasi PAD yang
paling berbahaya dan dapat ditangani. ALI dibagi menjadi 3 kategori. Kategori I
merujuk pada tungkai yang viabel dan tidak mengancam secara langsung. Kategori
II merupakan suatu keadaan yang sudah mengancam. Kategori IIa merupakan batas
antara tungkai dengan kondisi berbahaya dan masih dapat diselamatkan, jika
ditangani secara baik. Kategori IIb merupakan kondisi tungkai yang berbahaya dan
memerlukan tindakan revaskularisasi segera. Kategori III merupakan kerusakan
tungkai yang sudah permanen, dimana sudah terdapat kehilangan jaringan yang
luas dan kerusakan saraf yang permanen. Pasien dengan ALI harus segera
dievaluasi oleh dokter untuk menilai viabilitas tungkai dan mendapat terapi yang
sesuai. Pasien yang dicurigai ALI harus segera dilakukan penilaian awal untuk
menilai viabilitas tungkai, dan pencitraan tidak perlu dilakukan pada pasien ini. Hal
ini karena waktu yang dapat ditoleransi oleh otot skeletal sekitar 4-6 jam.
Pemberian antikoagulan direkomendasikan pada pasien dengan ALI, kecuali
terdapat kontraindikasi. Tindakan revaskularisasi harus dipertimbangkan dengan

18
sumber daya yang ada dan faktor pasien (seperti etiologi dan tingkat keparahan dari
iskemia).4,16

Gambar 7. Diagnosis dan Algoritma Tatalaksana acute limb ischemia.17

2.10 Prognosis
Pasien dengan PAD dipengaruhi terutama oleh kondisi penyakit arteri
koroner dan penyakit serebrovaskular yang sudah ada. Sekitar sepertiga sampai
setengah dari pasien dengan PAD simptomatik memiliki bukti penyakit arteri
koroner (PAK) berdasarkan presentasi klinis dan elektrokardiogram, dan lebih dari
setengahnya memiliki PAK yang signifikan oleh pemeriksaan angiografi koroner.
Pasien dengan PAD memiliki tingkat mortalitas 5 tahun sebesar 15-30% dan
peningkatan risiko kematian dua hingga enam kali lipat dari penyakit jantung

19
koroner. Angka kematian tertinggi terjadi pada pasien dengan PAD derajat berat.
Prognosis lebih buruk pada pasien yang terus merokok atau menderita diabetes
melitus.5,7

20
BAB III
KESIMPULAN

Peripheral arterial disease (PAD) didefinisikan sebagai kerusakan atau


oklusi arteri selain dari yang memperdarahi jantung dan di dalam otak. Ateros
penyebab utama PAD adalah atereklerosis, trombosis, emboli, vaskulitis, displasia
fibromuskular, kompresi dan trauma.
Manifestasi paling umum dari PAD ekstremitas bawah adalah
claudication intermitten. Gambaran klasik dari claudication adalah kram pada
kelompok otot yang menyebabkan perubahan gaya berjalan ketika berjalan dan
hilang dengan istirahat. Secara umum, ankle brachial index (ABI) dapat
menetapkan diagnosis dan keparahan PAD. Tujuan utama dalam mengobati pasien
PAD adalah untuk mengurangi komplikasi dari penyakit kardiovaskular,
meningkatkan fungsi fungsional, dan mempertahankan kesehatan ekstremitas.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Morley R, Sharma A, Horsch A, Hinchliffe R. Peripheral artery disease. BMJ.


2018;360:j5842:1-8.
2. Decroli E. Iskemia pada Jari Tangan Penderita Diabetes Melitus : Suatu
Keadaan Peripheral Arterial Disease. Jurnal Kesehatan Andalas. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 2015.
3. Kullo I, Rooke T. Peripheral Artery Disease. New England Journal of
Medicine. 2016;374(9):861-871.
4. Sabiston D, Townsend C. Sabiston textbook of surgery. 20th ed. Philadelphia:
Saunders/Elsevier; 2017.
5. Kasper D, Harrison T. Harrison's Principles of internal medicine. 19th ed. New
York: McGraw-Hill Education; 2015.
6. Habibie A. Yopie, Pheriperal Arterial Disease; What should we know?
National Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”. Medical Faculty
of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia. 2017.
7. Criqui M, Aboyans V. Epidemiology of Peripheral Artery Disease. Circulation
Research. 2015;116(9):1509-1526.
8. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Penyakit
Arteri Perifer. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
9. Agrawal K, Erberhardt RT. Contemporary Medical Management of Peripheral
Arterial Disease. Cardiol Clin. Elsevier Inc; 2015;33(1):111-137.
10. Muller M, Reed A, Leuenberger U, Sinoway L. Physiology in Medicine:
Peripheral arterial disease. Journal of Applied Physiology. 2013;115(9):1219-
1226.
11. Aryani E. Nugroho HS, Henri K, Mergawati A. Hubungan Antara Dislipidemia
dengan Status Penyakit PAD pada pasien DM Type 2 Terkontrol Sedang.
Penyakit Arteri Perifer. Fakultas Kedokteran Universitas Dipanegara. 2016.
12. Abdulhannan P, Russell D A dan Homer-Vanniasinkam S. Peripheral arterial
disease: a literature review. British Medical Bulletin 2012; 104:21-39.
13. Liapis C dan Kakisis J. 2014. Atherosclerotic risk factors: general considerations.
Rutherford’s vascular surgery. Ed J L Cronenwett dan K W Johnston. Edisi ke-
8. Philadelphia: Elsevier Saunders. Bab 26. Hlm. 400-15.
14. Goodney P P. 2014. Patient clinical evaluation. Rutherford’s vascular surgery.
Ed J L Cronenwett dan K W Johnston. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier
Saunders. Bab 14. Hlm. 202-13.
15. Creager M, Libby P. Peripheral Arterial Disease in: Mann DL, Zipes DP, Libby
P, Bonow RO, editors. Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of
Cardivascular Medicine. 10th ed. Philadelphia : Elsevier Saundes; 2015.
p.1312.
16. Ilminova F, Nugroho K, Ismail A. Hubungan Antara Status DM dengan Status
PAD. Penyakit Arteri Perifer. Fakultas Kedokteran Dipanegara. 2015.
17. Wennberg P. Approach to the Patient With Peripheral Arterial Disease.
Circulation. 2013;128(20):2241-2250
18. Harris L MD, FACS, Dryjski M MD, PhD, FACS. Epidemiology, risk factors,
and natural history of pheriperal artery disease. 2018

22
19. Olin J, White C, Armstrong E, Kadian-Dodov D, Hiatt W. Peripheral Artery
Disease. Journal of the American College of Cardiology. 2016;67(11):1338-
1357.

23

Anda mungkin juga menyukai