PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini ditulis sebagai tugas wajib prabedah beserta PPDS Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Peripheral Arterial Disease (PAD) atau bisa juga disebut Peripheral
Arterial Occlusive Disease (PAOD) atau Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah
gangguan suplai darah ke ekstremitas atas atau bawah disebabkan terjadinya
penyumbatan pada arteri perifer. Penyumbatan umumnya disebabkan proses
aterosklerosis dan non ateroskelrosis seperti proses inflamasi dinding arteri
(vaskulitis), trauma dan emboli yang menyebabkan lumen menyempit
(stenosis) atau dari pembentukan trombus (biasanya terkait dengan faktor
resiko yang menjadi dasar timbulnya aterosklerosis). Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi pembuluh darah yang dapat
menimbulkan penurunan perfusi ke area distal dan penurunan laju darah.
Tempat tersering terjadinya PAD adalah daerah tungkai bawah dan jarang
ditemukan pada jari tangan. Tanda dan gejala utamanya adalah nyeri pada area
yang mengalami penyempitan pembuluh darah. Bila pembuluh darah yang
terkena tungkai, maka tanda dan gejala awal adalah nyeri saat berjalan
(claudication intermitten) dan sensasi lelah pada otot yang terpengaruh.1,2,3
Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri,
tempat yang turbulensinya meningkat, memudahkan terjadinya kerusakan
tunika intima. Arteri yang umumnya terkena berdasarkan angka kejadiannya
adalah arteri femoralis, arteri poplitea dan arteri tibialis. Prevalensi tertinggi
PAD terjadi pada dekade ke-enam dan ke-tujuh dan sekitar 60% pasien dengan
PAD akan mengalami penyakit jantung iskemik dan 30% memiliki penyakit
serebrovaskular. Sekitar 10-15% pasien dengan claudication intermiten akan
meninggal karena penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, manajemen
dimulai dengan identifikasi dan modifikasi faktor risiko yang umum untuk
PAD, penyakit jantung dan stroke.4,5,6
3
Gambar 1. Gambaran PAD dengan stenosis atau oklusi pada pembuluh arteri
perifer akibat aterosklerosis.6
2.2 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita
PAD. Di Eropa dan Amerika Utara, diperkirakan 27 juta orang dirawat inap
setiap tahunnya dengan PAD. Prevalensi tertinggi didapatkan pada individu
dengan usia lanjut, riwayat keluarga dengan aterosklerosis atau penyakit
kardiovaskular. Risiko PAD meningkat seiring bertambahnya usia mencapai
20% pada usia di atas 70 tahun dan 60% pada usia di atas 80 tahun. Sebuah
penelitian yang dilakukan pada tujuh negara Asia termasuk Indonesia terhadap
pasien Diabetes Melitus tipe 2, didapatkan PAD pada sebesar 17,7% populasi. 7,8
4
Faktor risiko terjadinya PAD, yaitu :
a. Merokok
Hasil dari tinjauan sistematis 17 studi mencakup 20.278 pasien
menunjukkan bahwa setengah dari semua PAD dapat dikaitkan dengan
merokok. Ini menyimpulkan bahwa perokok berat lebih mungkin untuk
menderita PAD daripada perokok ringan dan bahwa mantan perokok
memiliki risiko yang terus meningkat dibandingkan dengan yang tidak
pernah merokok.1,10,11
b. Diabetes
Pedoman Trans Atlantic InterSociety Consensus (TASC) II mengemukakan
bahwa semua pasien dengan diabetes memiliki risiko relatif untuk terjadi
PAD serupa dengan orang yang merokok. Sebuah studi kohort prospektif
dari 1894 pasien diabetes menemukan bahwa kontrol diabetes yang buruk
dikaitkan dengan peningkatan risiko PAD. Pasien dengan diabetes
cenderung asimtomatik karena adanya manifestasi klinis neuropati.
Peripheral Arterial Disease pada populasi ini lebih mungkin ditemukan di
pembuluh darah yang lebih distal seperti daerah tungkai bawah. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa sekitar setengah pasien dengan ulkus kaki
diabetik cenderung mengalami PAD.1,12,13
c. Lainnya1,4
1.
Usia
2.
Hipertensi
3.
Hiperlipidemia
4.
Penyakit ginjal kronis
5.
Riwayat keluarga dengan aterosklerosis atau penyakit cardiovaskular
6.
Kadar homosistein yang tinggi (hiperhomosisteinemia)
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Critical Limb Ischemia
Critical limb ischemia (CLI) merupakan bentuk yang paling parah
dari PAD, dan diperkirakan sekitar 1% pasien PAD mengalami kondisi ini.
CLI ditandai dengan kondisi kronis (≥2 minggu) nyeri saat istirahat
5
(ischemic rest pain), luka/ulkus yang tidak sembuh, atau gangrene pada satu
atau kedua kaki yang telah dibuktikan secara objektif mengalami oklusi pada
arteri. CLI berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi kehilangan tungkai
bawah (amputasi) jika tidak dilakukan revaskularisasi, sedangkan
claudication jarang memburuk hingga dibutuhkannya tindakan amputasi.12,13
Ischemic rest pain biasanya dideskripsikan seperti sensasi terbakar
atau seperti rasa dingin yang tidak nyaman atau paresthesia dengan intesitas
yang cukup hingga dapat mengganggu tidur. Sensasi tersebut juga dirasakan
semakin bertambah dengan elevasi tungkai.13,14
6
2.5 Patogenesis dan Patofisiologi
Ada beberapa etiologi pada PAD non aterosklerotik seperti trauma,
vaskulitis dan emboli, namun etiologi aterosklerosis merupakan penyebab
yang paling banyak pada sebagian besar PAD. Lesi segmental yang
menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah besar
atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan
kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi
lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit
dan fibrin.8-10
7
intima. Lesi tipe II dapat dengan cepat berkembang menjadi lesi preatheromic
(tipe III), yang didefinisikan dengan peningkatan jumlah lipid ekstraseluler dan
keruskan kecil di jaringan lokal. Ateroma (tipe IV) menunjukkan kerusakan
struktural yang luas pada tunika intima. Perkembangan lesi selanjutnya adalah
fibroateroma (tipe V) yaitu atheroma yang ditutup dengan fibrosa tebal.
Fibroateroma terdiri dari inti nekrotik yang biasanya terlokalisasi di dasar lesi
dekat dengan lamina elastik interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel
debris dan fibrotic cap, yeng terdiri dari kolagen dan sel otot polos sekitarnya.
Ruptur plak memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi platelet dan
aktivasi fibrinogen, namun tidak menyebabkan oklusi arteri atau manfestasi
klinis. Lesi tipe VI (complicated lesion) digunakan untuk menggambarkan
berbagai lesi aterosklerotik lebih lanjut yang menunjukkan karakteristik
khusus yang tidak ditemukan di fibroateroma klasik, seperti lesi ulseratif, lesi
hemoragik atau lesi trombotik. Tipe VII adalah lesi kalsifikasi, ditandai dengan
pengerasan arteri dan tipe VIII adalah lesi fibrotik yang sebagian besar terdiri
dari kolagen.9,13
8
lain. Pasien dengan klaudikasio dapat memiliki single atau multiple lesi oklusif
yang memperdarahi tungai.10
Regulasi suplai darah ke tungkai dipangaruhi lesi yang membatasi
aliran (beratnya stenosis, tidak tercukupinya pembuluh darah kolateral),
vasodilatasi yang lemah, abnormalitas reologi (penurunan deformabilitas
eritrosit, peningkatan daya adesif leukosit, agregasi platelet, mikrotrombosis,
peningkatan fibrinogen).12
9
Pemeriksaan fisik PAD berupa inspeksi, palpasi dan auskultasi.
Tanda-tanda vital termasuk tekanan darah bilateral, denyut jantung, tinggi
badan, dan berat badan harus diukur.6,14
a. Inspeksi
Kulit kaki tampak merah dan bisa pucat saat elevasi sering terlihat pada
PAD berat. Pasien dengan dugaan PAD sedang sampai berat harus
diangkat kakinya dengan tinggi oleh pemeriksa, dan waktu berubah
menjadi pucat harus dicatat. Saat kejadian microatheroembolic, livedo
thromboemboli dapat dilihat di permukaan plantar berminggu-minggu
sampai berbulan-bulan setelah kejadian.5,8,14
Gambar 5. Pucat saat elevasi (A), kemerahan saat inspeksi (B), dan livedo
tromboemboli (C)
(Sumber: Approach to the Patient With Peripheral Arterial Disease. 2013)
b. Palpasi
Palpasi arteri dilakukan secara rutin untuk semua pasien dengan penyakit
vaskular. Pedoman dari American Heart Association/American College
of Cardiology merekomendasikan penilaian pada skala 0 hingga 3,
dengan 0 = tidak ada; 1 = berkurang; 2 = normal; dan 3 = meningkat.
Pada ekstremitas bawah, arteri femoralis, arteri poplitea, arteri tibialis
posterior, dan arteri dorsalis pedis harus dipalpasi. Denyut poplitea
mungkin sulit untuk diperiksa dan harus dilakukan pada saat pasien
duduk dan terlentang. Tidak adanya denyut pergelangan kaki dan bruit
femoral telah terbukti sensitif untuk PAD.5,12
Pemeriksaan ekstremitas atas harus mencakup palpasi secara simultan
dari arteri radial dan ulnaris kontralateral untuk mendeteksi perbedaan
volume atau defisit denyut nadi dan suhu. Ekstremitas yang dingin sering
10
muncul sebagai manifestasi klinis pada ektremitas iskemia berat. Atrofi
betis atau jaringan lemak tumit juga bisa terjadi. 8,10,14
c. Auskultasi
Auskultasi pembuluh darah harus dilakukan pada semua pasien PAD.
Hal ini memungkinkan untuk membedakan antara bruit halus dan
kebisingan sekitar seperti suara usus, dan untuk menentukan apakah bruit
meluas hingga diastol, yang menunjukkan tingkat stenosis yang lebih
tinggi daripada bruit yang ditemukan saat sistol saja. Bruit femoralis
dapat dilacak ke proksimal (arteri iliaka) dan ke aorta (secara umum,
biforkasio aorta berada pada tingkat umbilikus) untuk membantu
menentukan lokasi stenosis.8,14
2.7 Diagnosis
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik dalam mendiagnosis
PAD. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk melihat faktor risiko
penyebab PAD dan monitoring terapi.
a. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia meningkatkan kemungkinan terjadinya PAD
sebesar 10 % atau dua kali lipat untuk setiap peningkatan 40 mg /
dL kolesterol total. Pasien dengan PAD lebih cenderung mengalami
peningkatan kadar trigliserida dan / atau kolesterol, lipoprotein (a) ,
apoliporotein B dan khususnya peningkatan low density lipoprotein
(LDL). Target nilai yang harus dicapai pada pasien PAD yaitu LDL
< 100 mg/dL dan LDL < 70 mg/dL untuk PAD risiko tinggi dengan
faktor risko multiple dan / atau kurang terkontrol. 4,10,15
Lipoprotein (a) adalah faktor risiko independen untuk PAD yang
ditentukan secara genetik. Peningkatannya dapat mencapai empat
kali lipat lebih tinggi dari nilai normal (< 20 mg/dL). Nilai normal
untuk Apoliprotein B 0,7 – 1,0 g/L, kadar tinggi bersifat
aterogenik.15
11
b. Hiperglikemia
Kontrol glikemik yang buruk secara bertahap meningkatkan risiko
aterosklerosis. Target nilai yang harus dicapai pasien diabetes
dengan PAD adalah HbA1c < 7 %.1,4,15
c. Kadar high-sesitivity C-reactive Protein (hsC-RP)
Peningkatan C-reactive protein yang diikuti peningkatan profil lipid
secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya PAD. Physicians
‘Health Study’ menyatakan orang yang memiliki kadar CRP yang
tinggi memiliki peningkatan resiko 2,1 kali lipat menderita PAD
dibanding orang sehat. Penelitian ini juga mencatat bahwa terdapat
kadar CRP yang tinggi pada individu penderita PAD dan kadar CRP
paling tinggi didapat pada pasien yang membutuhkan operasi
vaskular.7,13,15
d. Kadar Homosistein
Peningkatan kadar homosistein dikaitkan dengan aterosklerosis dan
ditemukan sebesar 40 % pada pasien PAD. Hasil uji penelitian yang
dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa homosistein dapat
memberikan efek sitotoksik langsung terhadap endotel, sehingga
terjadi kerusakan dan gangguan terhadap endotel. Kenaikan kadar
homosistein total sebesar 5 mmol/L meningkatkan risiko PAD
sebesar 44 %.7,9,10
e. Viskositas Plasma dan Kadar Fibrinogen
Kadar hematokrit yang meningkat dilaporkan terdapat pada pasien
PAD, kemungkinan sebagai konsekuensi dari merokok. Penigkatan
kadar fibrinogen plasma yang juga merupakan faktor risiko
trombosis, dikaitkan dengan kejadian PAD pada beberapa
penelitian. Hiperviskositas dan hiperkoagulabilitas juga telah
terbukti sebagai marker atau faktor risiko terkait dengan prognosis
yang buruk.10,13
12
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi
Continuous-wave Doppler paling sering digunakan sebagai bagian
dari pemeriksaan Ancle Brachial Index (ABI). Pemeriksaan dengan
pencitraan lainnya untuk penilaian struktur anatomis, seperti duplex
ultrasound, Computed Tomography Angiography (CTA) atau Magnetic
Resonance Angiography (MRA) berguna dalam hal mendiagnosis lokasi
anatomis dan keparahan stenosis pada ekstremitas bawah terhadap pasien
dengan PAD simptomatis yang memerlukan tindakan revaskularisasi.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dan dapat menggambarkan arteri dengan jelas. 6,8,14
13
photoplethysmography di ujung jari kaki. Nilai toe brachial index < 0,7
dinilai diagnostik untuk pheriperal arterial disease.2,8
14
c. Tes Treadmil
Meskipun ABI saat istirahat telah terbukti menjadi alat skrining yang
sangat baik untuk menilai risiko morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular untuk pasien dengan claudication, ABI dengan istirahat
yang normal tidak mengecualikan adanya PAD. Satu penelitian di Eropa
menunjukkan bahwa hampir sepertiga pasien dengan gejala claudication
yang memiliki ABI normal saat istirahat memiliki tes treadmill positif
(ABI < 0,90 post-exercise ).8,14
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non Farmakologis
a. Modifikasi Gaya Hidup
Beberapa penelitian merekomendasikan olahraga 3 kali seminggu
dengan berjalan kaki selama 30 menit dalam jangka waktu selama 6 bulan.1,2,8
15
Secara keseluruhan dijumpai peningkatan dalam kemampuan berjalan sekitar
50-200%. Pada pasien dengan claudication, olahraga direkomendasikan karena
dapat memperbaiki status fungsional, kualitas hidup, dan mengurangi gejala
pada tungkai.1,6
b. Berhenti Merokok
Rokok merupakan faktor risiko yang dominan dalam perkembangan dan
perburukan PAD, selain itu rokok juga meningkatkan risiko amputasi, oklusi
graft dan mortalitas.2,3
Trans-Atlantic inter-society consensus (TASC II) merekomendasikan
untuk berhenti merokok sebagai bagian dalam tatalaksana PAD. AHA/ACC
2016 merekomendasikan pasien dengan PAD yang merokok harus disarankan
untuk berhenti.2,6
2.9.2 Farmakologis
a. Hiperlipidemia
Terapi menggunakan statin dapat memperbaiki outcome
cardiovaskular dan tungkai pada pasien dengan PAD, sehingga penggunaan
statin diindikasikan pada semua pasien dengan PAD.6
b. Hipertensi
Target tekanan darah pada pasien PAD adalah <140/90 mmHg
(<130/80 mmHg pada pasien DM atau gagal ginjal). Terapi antihipertensi
harus diberikan kepada pasien dengan hipertensi dan PAD untuk
menurunkan risiko infark miokard, stroke, gagal jantung, dan kematian
akibat kardiovaskular. Penggunaan ACE-I atau ARB dapat digunakan untuk
menurunkan risiko kejadian iskemik kardiovaskular pada pasien PAD. 18,19
c. Antiplatelet
Terapi antiplatelet dengan aspirin (75-325 mg per hari) atau
clopidogrel (75 mg per hari) direkomendasikan pada pasien PAD yang
simptomatik. Pada pasien PAD (ABI ≤0,90) yang tidak memiliki gejala,
antiplatelet masih dapat diberikan untuk menurunkan risiko MI, stroke /
kematian akibat vaskular.18,19
16
d. Antikoagulan
Manfaat penggunaan antikoagulan untuk mempertahankan patensi
setelah bypass, dan tidak direkomendasikan untuk menurunkan risiko
kejadian MI pada pasien dengan PAD.19
e. Cilostazol
Cilostazol merupakan terapi yang efektif untuk memperbaiki gejala
dan meningkatkan jarak dalam berjalan pada pasien dengan claudication. 19
2.9.3 Pembedahan
Revaskularisasi pada claudication direkomendasikan bagi setiap pasien
untuk mengoptimalkan outcome. Pasien yang akan direncanakan untuk menjalani
revaskularisasi harus berdasarkan tingkat keparahan dari gejala yang mereka miliki
karena gejala tungkai iskemik yang bervariasi dan dampak gejala-gejala ini
terhadap status fungsional dan kualitas hidup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
termasuk disabilitas yang signifikan, respon yang adekuat terhadap terapi medis
dan program latihan, dan kondisi komorbid.4,13
Revaskularisasi dapat dilakukan sebagi pilihan tatalaksana bagi pasien
dengan claudication yang tidak memiliki respon adekuat terhadap GDMT
(guideline-directed management and therapy). Prosedur endovaskular merupakan
pilihan revaskularisasi yang efektif terhadap pasien dengan claudication dan secara
hemodinamik mengalami penyakit oklusi aortoiliaca yang signifikan. Prosedur
endovaskular juga dapat menjadi pilihan revaskularisasi terhadap pasien dengan
claudication dan secara hemodinamik mengalami penyakit femoropopliteal yang
signifikan. Tetapi, prosedur endovaskular tidak direkomendasikan untuk dilakukan
pada pasien dengan PAD dengan tujuan hanya untuk mencegah perburukan
menjadi CLI.4,13
Ketika revaskularisasi secara pembedahan dilakukan, bypass terhadap arteri
popliteal dengan menggunakan vena autogenous direkomendasikan daripada
prosthetic graft material.13
Pasien dengan CLI memiliki risiko yang tinggi terhadap amputasi dan
kejadian iskemik kardiovaskular. Hal yang perlu diperhatikan pada pasien dengan
CLI termasuk didalamnyaevaluasi terhadap tindakan revaskularisasi dan terapi
perawatan luka dengan tujuan untuk meminimalkan kehilangan jaringan,
17
penyembuhan luka yang sempurna, dan mempertahankan fungsi tungkai. 2,7
Evaluasi terhadap pilihan revaskularisasi harus dilakukan sebelum tindakan
amputasi dilakukan pada pasien dengan CLI, dengan menggunakan duplex
ultrasound, CTA, MRA, atau catheter based angiogram. Tujuannya adalah untuk
meminimalkan kehilangan jaringan dan mempertahankan fungsi tungkai dengan
revaskularisasi. Prosedur endovaskular direkomendasikan untuk memperbaiki
aliran darah ke kaki pada pasien dengan luka yang tidak sembuh atau gangrene.
Pendekatan yang bertahap terhadap prosedur endovaskular dapat dilakukan
pada pasien dengan ischemic rest pain. Ketika revaskularisasi dengan pembedahan
dilakukan terhadap pasien dengan CLI, bypass terhadap arteri popliteal atau arteri
infrapopliteal (seperti tibialis atau pedal) harus dilakukan dengan menggunakan
vena autogenous yang sesuai. Prosedur pembedahan juga direkomendasikan untuk
memperbaiki aliran darah ke kaki pada pasien dengan luka yang tidak sembuh atau
gangrene. Perawatan luka harus dilakukan setelah tindakan revaskularisasi dengan
tujuan mencapai penyembuhan luka yang menyeluruh. 4,15
Acute limb ischemia (ALI) merupakan salah satu presentasi PAD yang
paling berbahaya dan dapat ditangani. ALI dibagi menjadi 3 kategori. Kategori I
merujuk pada tungkai yang viabel dan tidak mengancam secara langsung. Kategori
II merupakan suatu keadaan yang sudah mengancam. Kategori IIa merupakan batas
antara tungkai dengan kondisi berbahaya dan masih dapat diselamatkan, jika
ditangani secara baik. Kategori IIb merupakan kondisi tungkai yang berbahaya dan
memerlukan tindakan revaskularisasi segera. Kategori III merupakan kerusakan
tungkai yang sudah permanen, dimana sudah terdapat kehilangan jaringan yang
luas dan kerusakan saraf yang permanen. Pasien dengan ALI harus segera
dievaluasi oleh dokter untuk menilai viabilitas tungkai dan mendapat terapi yang
sesuai. Pasien yang dicurigai ALI harus segera dilakukan penilaian awal untuk
menilai viabilitas tungkai, dan pencitraan tidak perlu dilakukan pada pasien ini. Hal
ini karena waktu yang dapat ditoleransi oleh otot skeletal sekitar 4-6 jam.
Pemberian antikoagulan direkomendasikan pada pasien dengan ALI, kecuali
terdapat kontraindikasi. Tindakan revaskularisasi harus dipertimbangkan dengan
18
sumber daya yang ada dan faktor pasien (seperti etiologi dan tingkat keparahan dari
iskemia).4,16
2.10 Prognosis
Pasien dengan PAD dipengaruhi terutama oleh kondisi penyakit arteri
koroner dan penyakit serebrovaskular yang sudah ada. Sekitar sepertiga sampai
setengah dari pasien dengan PAD simptomatik memiliki bukti penyakit arteri
koroner (PAK) berdasarkan presentasi klinis dan elektrokardiogram, dan lebih dari
setengahnya memiliki PAK yang signifikan oleh pemeriksaan angiografi koroner.
Pasien dengan PAD memiliki tingkat mortalitas 5 tahun sebesar 15-30% dan
peningkatan risiko kematian dua hingga enam kali lipat dari penyakit jantung
19
koroner. Angka kematian tertinggi terjadi pada pasien dengan PAD derajat berat.
Prognosis lebih buruk pada pasien yang terus merokok atau menderita diabetes
melitus.5,7
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22
19. Olin J, White C, Armstrong E, Kadian-Dodov D, Hiatt W. Peripheral Artery
Disease. Journal of the American College of Cardiology. 2016;67(11):1338-
1357.
23