Anda di halaman 1dari 15

Seorang Laki-Laki Mengalami Nyeri pada Tungkai

Natalia Tambunan

102013275/B1

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana


Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
nataliatbn@yahoo.co.id

Pendahuluan

Penyakit arteri perifer atau peripheral artery disease (PAD) merupakan gangguan klinis
berupa stenosis atau oklusi aorta atau arteri-arteri di ekstremitas. Mayoritas yang terkena adalah
ekstremitas inferior. PAP disebabkan lesi segmental karna stenosis di pembuluh darah sedang
dan besar. Tempat utamanya aorta abdominalis dan arteri illiaca (simptomatik), arteri femoralis
dan poplitea sekitar 80-90%, dan pembuluh yang distal terjadi pada lansia dan pasien Diabetes
Melitus, contohnya arteri tibialis dan peronealis sekitar 40-50%. Pada PAP terdapat juga
penyakit-penyakit kardiovaskular yang mengiringi. Data dari Reduction of Atherothrombosis for
Continued Health (REACH) tahun 2010 menunjukan saling tumpang tindih antara penyakit-
penyakit kardiovaskuler seperti penyakit arteri perifer, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit
jantung koroner.

Anamnesis

Pada anamnesis saat pasien datang berobat harus diketahui mengenai riwayat penyakit
yang deskriptif dan kronologis penyakitnya, faktor yang memperberat penyakit serta hasil
pengobatan jika sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya. Harus diketahui umur dan jenis
kelamin pasien dan menanyakan tentang keluhan utama yang menyebabkannya datang berobat.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat pengobatan, dan riwayat pribadi (meliputi
keadaan sosial ekonomi, kebiasaan, dan lain-lain).

Hasil anamnesis dari kasus ini adalah nyeri tungkai semakin memburuk sejak 1 minggu
lalu. Nyeri sudah sejak 3 bulan lalau dan durasi nyeri selama 20-30 menit. Nyeri di kedua
tungkai terutam kaki kanan. Nyeri saat berjalan kaki dalam jarak jauh namun membaik saat
istirahat. Adanya keluhan penyerta di kaki kanan, yaitu kaki berubah warna menjadi pucat,
hipotermi, dan tidak ada denyut nadi.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan PAP mungkin menunjukkan hasil normal. Tapi
umumnya, pada penderita PAP tidak terasa adanya denyut di bawah bagian yang mengalami
oklusi dan ditemukan bruits di atas daerah yang mengalami stenosis. Denyut femoralis yang
tidak normal memiliki spesifisitas yang tinggi dan nilai prediktif positif. Tetapi, sensitifitasnya
rendah untuk mendiagnosa penyakit pembuluh besar. Pada pasien dengan PAP kronis, kelompok
otot skeletal yang terkena bisa mengalami atropi. Perubahan lainnya yang diinduksi iskemia
kronik derajat rendah, meliputi suhu ekstremitas yang rendah pada tungkai, waktu pengisian
vena yang berkepanjangan, atrofi kulit atau kulit licin, rambut menghilang dan kuku kaki yang
menebal.

Hasil pemeriksaan fisik dari kasus ini adalah tekanan darah tinggi 160/70 mmHg, saat
inspeksi warna kaki kanan pucat dan tidak ada lesi di kedua kaki, saat palpasi didapatkan bahwa
adanya hpotermi dan tidak teraba denyut nadi di kaki kanan, saat melakukan pergerakan ada
nyeri di kedua kaki terutam kaki kanan dan nyeri bertambah buruk bila jalan kaki dalam jarak
jauh namun membaik saat istirahat. Dilakukan juga pemeriksaan ABI (Ankle Brachial Index)
untuk dapat menegakkan diagnosis.

Ankle Brachial Index (ABI)


ABI adalah penanda yang kuat untuk penyakit kardiovaskular. ABI yang rendah
merupakan penanda untuk atherosklerosis seperti penyakit jantung koroner dan stroke iskemik.
ABI diperiksa dengan membandingkan tekanan sistole didaerah pergelangan kaki dibandingkan
dengan sistole didaerah lengan atas. Pemeriksaan dengan menggunakan doppler pada arteri
tibialis posterior atau arteri dorsalis pedis dipilih yang paling tinggi dibandingkan dengan sistole
pada arteri brachialis. Jika terdapat perbedaan sistole pada lenagn kiri dan kanan, maka dipilih
yang tertinggi.1
Jika ABI dibawah 0,9 maka penderita dianggap menderita penyakit arteri perifer. Tetapi
pada penderita diabetes, sering pemeriksaan ABI tidak memberikan angka yang akurat karena
arteri penderita mengalami kalsifikasi berat . Jika angka ABI penderita lebih dari 1,1 kita harus
hati hati, kemungkinan angka yang tinggi akibat hal ini.

Gambar 1. Pemeriksaan ABI

Pemeriksaan Penunjang

MRA (Magnetic Resonance Angiography)

MRA merupakan pemeriksan non invasive yang memiliki reiko rendah terhadap kejadian
gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari AHA (American Heart Association)
ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama dengan gambaran pembuluh
darah pada pemeriksaan angiografi. Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan
media kontras yang digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifitas
alat ini untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan angiografi kontras adalah 80-90%. Pasien
dengan kaludikasio intermiten menunjukkan stenosis aorta abdominalis bagian distal dan artei
illiaka komunis karena stenosia arteri femoralis superficialis kanan dan kiri.2

Gambar 2. MRA
Etiologi

Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan aterosklerotik. Penyebab non
aterosklerotik seperti trauma, vasculitis, dan emboli. Namun aterosklerotik lebih banyak
menunjukkan PAP dan menyebabkan dampak epidemiologi yang besar. Aterosklerosis menjadi
penyebab paling banyak dengan kejadiannya mencapai 4% populasi usia di atas 40 tahun,
bahkan 15-20% pada usia lebih dari 70. Kondisi aterosklerosis terjadi sebagaimana pada kasus
penyakit arteri koroner begitu juga dengan faktor resiko majornya seperti merokok, diabetes
mellitus, dislipidemia dan hipertensi. Penderita PAP memiliki resiko dua kali hingga lima kali
lebih besar mengalami kematian akibat kardiovaskular dibanding mereka yang tidak.2

Factor Resiko

Faktor risiko klasik adalah merokok, diabetes, riwayat keluarga, hipertensi, dan
hiperlipidemia. Risiko ini meningkat pada pasien dengan usia ≥70 tahun, pada pasien berusia 50-
69 tahun dengan riwayat diabetes atau merokok, dan pada pasien 40- 49 tahun dengan diabetes
dan satu atau lebih aterosklerosis terkait faktor risiko, klaudikasio intermiten, kelainan pada
palpasi denyut ekstremitas bawah atau aterosklerosis pada arteri non-perifer (misalnya, koroner,
karotis dan arteri ginjal).3

A. Status Merokok

Merokok menjadi faktor risiko yang sangat berpotensi terhadap terbentuknya PAP.
Merokok lebih berpotensi menyebabkan PAP daripada PJK. Perokok memiliki insidensi yang
lebih tinggi pada CLI, amputasi tungkai, dan outcome yang buruk pasca revaskularisasi. Selain
itu, risiko juga melekat pada perokok pasif. Pada beberapa studi epidemiologi menunjukkan
bahwa merokok dan durasi merokok secara konsisten menjadi faktor risiko yang penting untuk
PAP khususnya PAP di arteri ekstremitas bawah (LEAD). Keparahan PAP meningkat pada
pasien dengan peningkatan jumlah rokok yang digunakan. Durasi merokok dapat menjadi
prediktor perkembangan PAP. Seseorang yang merokok < 25 tahun memiliki tiga kali
peningkatan risiko terjadinya PAP dibandingkan orang yang tidak merokok. Selain itu, seseorang
yang merokok ≥ 25 tahun memiliki peningkatan risiko PAP lima kali dibandingkan orang yang
tidak merokok.
Nikotin dan zat-zat yang terkandung dalam rokok merupakan zat yang toksik terhadap endotel
pembuluh darah sehingga lipoprotein akan lebih mudah masuk ke subendotel dan membentuk
aterosklerosis. Merokok meningkatkan kadar LDL, dan menurunkan kadar HDL, meningkatkan
CO darah yang dapat menyebabkan hipoksia endotel, dan menyebabkan vasokonstriksi pada
segmen arteri yang telah mengalami aterosklerosis. Merokok juga menyebabkan peningkatan
reaktifitas dari platelet, yang dapat membentuk trombus, dan meningkatkan konsentrasi
fibrinogen plasma dan hematokrit yang menyebabkan peningkatan viskositas darah.

B. Diabetes Melitus

Klaudikasio intermiten terjadi dua kali lebih banyak pada pasien dengan diabetes
daripada pasien non diabetes. 13 DM dua kali lebih banyak dalam prevalensi PAP, hal ini
berhubungan dengan kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2. Pada pasien dengan diabetes,
setiap kenaikan 1% dalam hemoglobin A1c terjadi peningkatan 30% risiko PAP. Resistensi
insulin merupakan faktor risiko PAP bahkan pada pasien tanpa diabetes, meningkatkan risiko
sekitar 40% sampai 50%. PAP pada pasien dengan diabetes lebih agresif dibandingkan dengan
pasien non diabetes dengan keterlibatan pembuluh darah besar ditambah dengan neuropati
simetris distal. Kebutuhan untuk amputasi mayor lima sampai sepuluh kali lebih tinggi pada
penderita diabetes daripada non-penderita diabetes. Hal ini karena neuropati sensorik dan
penurunan resistensi terhadap infeksi. Berdasarkan pengamatan ini, American Diabetes
Association merekomendasikan skrining PAP dengan ABI setiap 5 tahun pada pasien dengan
diabetes.

C. Dislipidemia

Beberapa studi epidemiologi juga menemukan bahwa tingginya kadar kolesterol total dan
rendahnya HDL secara independen berkaitan dengan 26 meningkatnya risiko PAP.
Hiperlipidemia mengubah dinding endotel arteri mengarah ke pembentukan lesi aterosklerotik.
Kolesterol LDL adalah salah satu penyebab utama dari disfungsi endotel dan cedera otot polos.
Perubahan-perubahan pada endotel oleh karena hiperlipidemia ini merupakan lesi awal
aterosklerosis yang selanjutnya akan menjadi lesi yang lebih kompleks menyebabkan stenosis
arteri atau oklusi. Peningkatan kadar Kolesterol LDL menimbulkan peningkatan risiko terkena
penyakit kardiovaskular. Di Framingham Heart Study, individu dengan kadar kolesterol total 270
mg / dL memiliki dua kali kejadian klaudikasio intermiten. Selain itu, orang dengan klaudikasio
intermiten memiliki tingkat rata-rata kolesterol tinggi.

D. Hipertensi

Hipertensi menyebabkan aterosklerosis yang lebih agresif pada semua sirkulasi darah,
dan merupakan faktor risiko terjadinya serebrovaskuler dan penyakit koroner. Hipertensi juga
merupakan faktor risiko mayor terjadinya PAP. Pada studi Limburg PAOD, hipertensi
berhubungan dengan peningkatan risiko relatif dan pada studi Rotterdam, ABI yang rendah
berhubungan dengan peningkatan tekanan sistol dan diastol. Hipertensi lebih mengarah ke
hiperplasia pada neointimal daripada remodeling dari pembuluh darah.

Epidemiologi

Penyakit arteri perifer (PAP) adalah gangguan suplai darah ke ekstremitas atas atau
bawah karena obstruksi. Penyakit arteri perifer meliputi arteri karotis, arteri renalis, arteri
mesenterika dan semua percabangan setelah melewati aortailiaka, termasuk ekstremitas bawah
dan ekstremitas atas. PAP yang paling banyak adalah penyakit arteri pada ekstremitas bawah.
Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka adalah 30% dari pasien yang
simptomatik, arteri femoralis dan poplitea adalah 80-90%, termasuk arteri tibialis dan peroneal
40-50%. Proses aterosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri, tempat yang
turbulensinya meningkat dan memudahkan terjadinya kerusakan tunika intima. Pembuluh darah
distal lebih sering terkena pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.2

Prevalensi penyakit arteri perifer bervariasi tergantung pada populasi studi, metode
diagnostik yang digunakan dan gejala yang terlihat. Metode diagnostik yang paling sering
digunakan adalah ankle-brachial index (ABI). Prevalensi PAP berdasarkan hasil ABI yang
abnormal sebanyak 4% pada kisaran usia 40 tahun dan mencapai 15-20% pada usia diatas 65
tahun. Kejadian PAP lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan ras berkulit hitam. Studi di US
menyebutkan bahwa jumlah penduduk yang terkena PAP sebanyak 8-10 juta orang.1
Working Diagnosis

PAP (Penyakit Arteri Perifer)

Penyakit arteri perifer adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah
keluar dari jantung dan aortailiaka. Penyakit ini meliputi keempat ekstremitas, arteri karotis,
arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah ke luar dari aortailiaka.
Mayoritas di ekstremitas inferior. PAP adalah stenosis yang di sebabkan oleh lesi segmental di
arteri yang merupakan tempat turbulensi tinggi, perubahan shear stress sehingga terjadi cedera
intima.2

Gejala yang seringkali dirasakan oleh penderita PAD adalah rasanya tidak nyaman pada
pantat, paha, atau betis yang memberat dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Kondisi
meningkatnya rasa lelah, pegal dan nyeri pada tungkai yang dipicu oleh aktivitas disebut sebagai
klaudikasio. Jika PAD sudah berat, nyeri bahkan dapat dirasakan pada saat istirahat. Aliran darah
yang berkurang secara kronik dapat berdampak pada ulserasi, infeksi dan nekrosis kulit
ekstremitas. Mereka yang merokok serta memiliki diabetes mellitus lebih beresiko mengalami
komplikasi tersebut. Lokasi nyeri berkaitan dengan arteri yang mengalami kelainan.3

Gambar 3. PAP
Different Diagnosis

Tromboangitis Obliterans ( Buerger )

Tromboangitis obliterans adalah kelainan pembuluh inflamasi oklusif yang menyerang


arteri-arteri kecil dan sedang serta vena di distal ektremitas atas dan bawah. Pembuluh otak,
visceral dan coroner juga dapat terserang tetapi jarang. Prevalensi sering pada pria <40 tahun.
Klaudikasio terbatas pada betis dan kaki/tungkai bawah dan tangan gangguan mengenai distal.
Arteriografi membantu menegakkan diagnosis. Gambaran khasnya adalah lesi meruncing dan
halus di pembuluh darah distal, kolateral di tempat oklusi. Ateroskelrosis tidak adadi proksimal.
Prognosis buruk meski merokok atau tidak. Terapi bisa dengan bypass arteri dari pembuluh
darah yang besar.2

Insufisiensi Vena Kronik

Insufisiensi Vena Kronik terjadi akibat DVT/inkompetensi katup. Katup yang lunak
menjadi tebal dan kontraktur sehingga tidak dapat mencegah aliran darah retrograde yang
menyebabkan vena kaku dan berdinding tebal. Inkompetensi sekunder terjadi di katup distal
karena tekanan tinggi melebarkan vena dan memisahkan saun katup. Gambaran klinisnya adalah
nyeri tumpul di kaki yang akan memburuk bila berdiri lama dan mereda bila di elevasikan. Di
kaki ditemukan eritema, dermatitis, hiperpigmentasi, ulkus di malleolus medialis dan lateralis.

Thrombosis Vena Superficialis

Thrombosis vena superficialis berkaitan dengan pemasangan kateter IV dan pemberian


infus. Terjadi pada vena varikosa bersamaan dengan DVT. Gambaran klinisnya adalah nyeri di
tempat trombus, ditemukan kordel kemerahan dan hangat dan nyeri tekan di vena superficial

DVT (Trombosis Vena)

Trombosis vena adalah Respon inflamasi dalam dinding pembuluh ditandai infiltrasi
granulosit, hilang endotel, dan edema. Karakter diagnostic terjadi pada >75% pasien bedah
ortopedi di panggul/lutut, 10-40% di abdomen dan toraks. Risiko thrombosis naik setelah
trauma, ex: fraktur spinal, pelvis,femur, tibia. Kondisi ini menyebabkan Miocard Infark akut dan
gagal jantung.
Tanda dan Gejala

Gejala umumnya adalah klaudikasio intermiten. Kaludikasio intermiten adalah rasa nyeri,
kebas/lemah di otot. Muncul saat aktivitas dan hilang saat istirahat. Dirasakan di distal lesi
oklusif, contohnya adalah tidak nyaman di bokong, pinggul, dan paha dengan sumbatan aorta
illiaka. Ada pula klaudiksio betis dengan sumbatan di arteri femoral dan poplitea. Adanya oklusi
arteri berat yang adalah istirahatnya aliran darah tidak memenuhi kebutuhan nutrisi basal
jaringan sehingga terjadi iskemia tungkai. Nyeri saat istirahat atau dingin atau kebas di otot dan
jari-jari kaki. Muncul di malam hari ketika kaki horizontal dan membaik bila kaki tergantung.2

Gangguan aliran darah akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya pulsasi pada
bagian distal dari arteri yang mengalami stenosis. Pada stenosis pada arteri abdominal, femoral
atau subklavia, dapat terdengar bruit. Pada pasien dengan iskemia berat yang terjadi secara
kronis, dapat ditemukan otot-otot yang atropi, pucat, perubahan warna sianotik, rambut-rambut
halus hilang, bahkan gangren dan nekrosis pada kaki maupun jari.3

Insufisiensi Akut

Gejala klinis insufisiensi arteri akut ditandai dengan perubahan suhu yang mencolok pada
distal ekstremitas yang tersumbat. Jika telapak kaki masih dapat bergerak dorsofleksi dan
plantarfleksi menandakan otot-otot masih hidup. Jika telapak kaki tak dapat bergerak
menandakan adanya ancaman nekrosis paling tidak pada beberapa bagian otot. Timbulnya
kekakuan pada otot, mengeras, dibanding sisi yang normal menandakan nekrosis otot luas.
Parastesi dan anestesi pada ekstremitas menandakan iskemia persarafan. Wax (berlilin), kulit
berwarna putih merupakan tanda yang khas spasme pembuluh darah dan masih ada arteriola
yang mengaliri. Bercak-bercak sianosis yang tidak memudar dengan penekanan menandakan
thrombosis pada kapiler subkutikular dan terjadi nekrosis kulit.4
Dari pemeriksaan fisik dicari kelainan jantung yang dapat menyebabkan sumber emboli.
Insufisiensi arteri akut biasanya ditandai dengan perubahan temperatur yang mencolok pada
distal obstruksi. Ketidakmampuan telapak kaki untuk bergerak dorsofleksi dan plantarfleksi
menandakan aliran darah ke daerah betis terganggu dan terjadi ancaman nekrosis dari otot
tersebut.jika betis menjadi mengeras, otot spasme dibandingkan dengan sebelahnya yang normal
menandakan nekrosis lanjut pada otot.parestesia dan anesthesia menandakan iskemia pada saraf.
Kulit seperti berlilin, kulit menjadi putih merupakan tanda dari spasme dan dapat dilihat ada
arteriola yang mengalir ke kulit.

Insufisiensi Kronis

PAP kronis dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan walaupun hanya dalam jarak
yang pendek atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika istirahat atau ketika berbaring di tempat
tidur di malam hari. Pada kasus yang parah, pasien juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat
sembuh dengan sendirinya atau kulit yang menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki.
Ulkus/gangrene disebabkan karena sudah terjadi iskemia berat. PAP menimbulkan banyak
masalah, seperti klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat
inap berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh. PAP memiliki risiko yang lebih
besar terhadap kematian akibat stroke, infark miokard dan serangan jantung.4

Patofisiologi

Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh
darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan
penumpukan kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi
lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin. 2

Aterogenesis dimulai dengan lesi di dinding pembuluh darah dan pembentukan plak
aterosklerotik. Proses ini dikuasai oleh leokocyte-mediated inflammation lokal dan oxidized
lipoprotein species terutama low-density lipoproteins (LDL). Lesi awal (tipe I) terjadi tanpa
adanya kerusakan jaringan dan terdiri dari akumulasi lipoprotein intima dan beberapa makrofag
yang berisi lipid. Makrofag tersebut bermigrasi sebagai monosit dari sirkulasi ke lapisan intima
subendotel. Kemudian lesi ini berkembang menjadi lesi awal atau "fatty-streak" (tipe II), yang
ditandai dengan banyaknya "foam cell". Foam cell memiliki vakuola yang dominan berisi
cholesteryl oleate dan dilokalisir di intima mendasari endotel. Lesi tipe II dapat dengan cepat
berkembang menjadi lesi preatheromic (tipe III), yang didefinisikan dengan peningkatan jumlah
lipid ekstraseluler dan kerusakan kecil jaringan lokal. Ateroma (tipe IV) menunjukkan kerusakan
struktural yang luas pada intima dan dapat muncul atau silent. Perkembangan lesi selanjutnya
adalah lesi berkembang atau fibroateroma (tipe V). Secara makroskopis terlihat sebagai bentuk
kubah, tegas, dan terlihat plak putih mutiara. Fibroateroma terdiri dari inti nekrotik yang
biasanya terlokalisasi di dasar lesi dekat dengan lamina elastik interna, terdiri dari lipid
ekstraseluler dan sel debris dan fibrotic cap, yang terdiri dari kolagen dan sel otot polos di
sekitarnya. Ruptur plak memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi platelet dan
aktivasi fibrinogen, namun tidak menyebabkan oklusi arteri atau manifestasi klinis. Lesi tipe VI
(complicated lesion) digunakan untuk menggambarkan berbagai lesi aterosklerotik yang lebih
lanjut menunjukkan karakteristik khusus yang tidak ditemukan di fibroatheroma klasik, seperti
lesi ulseratif dibentuk oleh erosi cap, lesi hemoragik ditandai dengan pendarahan di inti
nekrotik, atau lesi trombotik membawa deposit trombotik. Tipe VII adalah lesi kalsifikasi,
ditandai pengerasan arteri dan tipe VIII adalah lesi fibrotik, predominan terdiri dari kolagen.3

Patofisiologi yang terjadi pada pasien PAP meliputi keseimbangan suplai dan kebutuhan
nutrisi otot skeletal. Klaudikasio intermiten terjadi ketika kebutuhan oksigen selama latihan atau
aktivitas melebihi suplainya dan merupakan hasil dari aktivasi reseptor sensorik lokal oleh
akumulasi laktat dan metabolit lain. Pasien dengan klaudikasio dapat mempunyai single atau
multiple lesi oklusif pada arteri yang mendarahi tungkai. Pasien dengan clinical limb ischemic
biasanya memiliki multiple lesi oklusif yang mengenai proksimal dan distal arteri tungkai
sehingga pada saat istirahat pun kebutuhan oksigen dan nutrisi tidak terpenuhi.

Penatalaksanaan

Terapi PAP terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi.
Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan
memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan
sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke
kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang menyebabkan atersklerosis harus diberikan seperti
berhenti merokok, merubah gaya hidup, dan mengontrol hipertensi.5

Latihan fisik merupakan pengobatan yang paling efektif. Latihan fisik dapat
meningkatkan jarak tempuh sampai terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik berupa
jalan kaki kira-kira selama 30-45 menit atau sampai terasa hampir mendekati nyeri maksimal.
Program ini dapat dilakukan selama 6-12 bulan. Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran
darah kolateral, perbaikan fungsi vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme
muskuloskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan viskositas darah.4
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien PAP meliputi aspirin, klopidogrel,
pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat terpilih adalah heparin, sebab kerjanya cepat dan
cepat dimetabolisme dengan dosis 100-200 mg/kgBB diikuti 15-30 mg/kgBB/jam, jika perlu 300
mg/kgBB bolus diikuti 60-70 mg/kgBB/jam dengan infus kontinu. Dengan pemantauan APTT
1,5-2,5 kontrol atau waktu pembekuan darah. Penggunaan dosis tinggi bertujuan agar distal
penyumbatan pada daerah iskemia dan kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas.
Table 1. Tabel farmakoterapi untuk pasien dengan klaudikasi

Obat Dosis

Aspirin 81 – 325 mg/hari Rekomendasi untuk PAP

Clopidogrel 75 mg/hari po Efek samping lebih ringan dibandingkan Aspirin

Pentoxifylline 1,2 gr/hari po Efek terhadap kemampuan berjalan lebih kecil.

Cilostazol 100 mg 2 x/hari Hati-hati pada pasien gagal jantung, dosis


dikurangi 50

mg 2x/ hari jika minum obat calsium channel


blockers,

menyebabkan diare dan gangguan lambung.

Jika iskemia baru terjadi 4-6 jam dan masih vital yang ditandai dengan nyeri, paralisis
atau parastesia, merupakan indikasi yntuk tindakan intervensi revaskularisasi. Jika iskemia lebih
dari 8 jam, tidak dilakukan revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini tergantung
dari kolateral arteri distal dan obstruksi. Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara:6
a. Operasi
Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan balon Forgaty dengan anestesi
lokal atau regional. Untuk penyakit aortoiliaka dan femoral popliteal ditentukan oleh
lokasi, lamanya sumbatan, dan kondisi pasien. Jika ditemukan tanda retrombosis dan
emboli berulang harus dilakukan operasi segera. Heparin diberikan sampai 48-72 jam
dengan dosis tinggi yang direkombinasikan, kemudian dosis diturunkan sesuai kondisi
pasien selama 7 hari dan dilanjutkan dengan antikoagulan oral atau heparin dosis rendah
suntik subkutan.
Jika msih vital setelah lebih dari 48 jam sejak gejala timbul, diperlakukan sebagai peyakit
obstruksi kronik berat.
b. Trombolitik
Terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan pada trombus yang
menyumbat dapat mengurangi komplikasi perdarahan dibandingkan dengan cara
pemberian intra vena. Tissue plasminogen activator dosis rendah atau streptokinase dosis
rendah intra arteri 5000-10.000 IU/jam selama 12-48 jam dengan monitor efek terapi baik
secara klinis atau serial arteriografi. Dapat juga diberikan urokinase 240.000 IU/jam
selama 4 jam, diikuti 120.000 IU/jam sampai maksimum 48 jam, atau rekombinan tPA
diinfus 1 mg/jam atau 0,05 mg/kg/jam. Dilanjutkan antikoagulan intravena heparin dan
diikuti warfarin per oral.
c. Angioplasty transluminal perkutan
Terapi angioplasty transluminal perkutan segera mengikuti terapi trombolitik intra
arterial, pemasangan stent dan aterektomi, memberikan hasil yang baik terhadap patensi
arteri yang tersumbat.

Komplikasi

PAP merupakan penyakit sering dijumpai namun karena tidak secara langsung
mengancam jiwa, perhatian terhadap PAP tidak sama dengan PJK. Perjalanan penyakit PAP di
pengaruhi oleh penyakit arteri coroner dan pembuluh darah otak yang menyertai. Lebih dari
setengah menderita CAD. Angka mortalita 5 tahun 15-30% dan 2-6 kali lipat akibat CAD.
Perkembangan aterosklerosis pada PAP pelan dan tersembunyi sebelum munculnya gejala.
Pasien dengan PAP dapat menimbulkan banyak masalah, seperti klaudikasio intermiten, critical
limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap berulang, revaskularisasi, dan amputasi
anggota tubuh.2
Prognosis

75-80% nondiabetic dengan klaudikasio ringan-sedang mengalami gejala stabil. 1-2%


iskemia tungkai kritis, 25-30%iskemia tungkai kritis mengalami amutasi. Prognosis buruk bila
tetap merokkok dan menderita Diabetes Melitus.2

Kesimpulan

Berdasarkan anamnesis, gejala dan hasil ABI yang menunjukkan tingkat keparahan
ringan maka pasien dapat di diagnosis PAD. Nyeri tungkai yang dirasakan disebabkan karena
stenosis aorta dan cabang-cabang arterinya yang biasanya terkena pada bagian distal dan
mayoritas di ektremitas inferior
Daftar Pustaka

1. AHA. Management of patients with peripheral artery disease. American College of


Cardiology Foundation and the American Heart Association: 2012.
2. Loscalzo J. Harrison: kardiologi dan pembuluh darah. Edisi ke-2. Jakarta: 2016. hal.
3. Lilly, Leonard S. Pathophysiology of heart disease. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2007.
4. Antono & Ismail. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-2. Jakarta: FK UI. 2009.
5. Bonow RO, et al. Braunwald’s heart disease: A textbook of cardiovascular medicinie.
Edisi ke-9. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
6. Kabo Peter, Prof. Atheroskelrosis dan Atherotrombosis. In: Bagaimana menggunakan
obat-obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta: FK UI; 2003. Hal. 185-9.

Anda mungkin juga menyukai