Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN KARDIOLOGI DAN REFARAT

KEDOKTERAN VASKULAR April 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : ACUTE CAORONARY SYNDROME (ACS)

DISUSUN OLEH:
Izza Urfan Al Qolbi (XC062192013)

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Aussie Fitriani Ghaznawie, Sp.JP(K )

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Izza Urfan Al Qolbi (XC062192013)

Judul Refarat : Acute Coronary Syndrome

Adalah benar telah menyelesaikan refarat dengan judul “Acute Coronary Syndrome” dan telah
disetujui serta telah dibacakan di hadapan supervisor pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik
pada bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Periode
29 Maret – 11 April 2021.

Makassar, 5 April 2021

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Aussie Fitriani Ghaznawie, Sp.JP(K )

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1.LATAR BELAKANG .................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3

2.1. DEFINISI ..................................................................................... 3

2.2. EPIDEMIOLOGI ........................................................................ 3

2.3. FAKTOR RISIKO....................................................................... 4

2.4. ETIOLOGI................................................................................... 7

2.5. PATOFISIOLOGI....................................................................... 8

2.6. KLASIFIKASI SINDROM KORONER AKUT ...................... 11

2.7. MANIFESTASI KLINIS ............................................................ 12

2.8. DIAGNOSIS................................................................................. 13

2.9. PENATALAKSANAAN ............................................................. 19

2.10. PROGNOSIS ............................................................................ 28

2.11. KOMPLIKASI........................................................................... 28

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 30

3.1. KESIMPULAN .......................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32

iii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa atas berkah
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Acute
Coronary Syndrome ” tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka melengkapi tugas
Kepaniteraan Klinik Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Periode 29 Maret – 11 April 2021.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Aussie Fitriani Ghaznawie, Sp.JP(K) selaku
dokter supervisor pembimbing yang telah membimbing penulis dalam melaksanakan
kepaniteraan klinik Bagian Kardiologi dan KedokteranVaskular dan dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dalam penyusunan referat ini baik isi maupun
format referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dalam
penyusunan referat selanjutnya.

Akhir kata penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan sejawat serta seluruh
pihak yang ingin mengetahui dan mempelajari materi terkait “Acute Coronary Syndrome”.

Makassar, April 2021

Penulis
BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penyakit coronary artery disease (CAD) menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia. Acute
Coronary Syndrome (ACS) merupakan suatu masalah kardiovaskuler yang mengacu pada setiap kelompok
gejala klinis yang kompatibel dengan iskemia miokard akut dan termasuk unstable angina pectoris (UAP),
infark miokard elevasi segmen non-ST (NSTEMI), dan elevasi miokard segmen ST (STEMI). Menurut WHO
80% kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada masyarakat miskin dan menengah. Prevalensi ACS
berdasarkan diagnosis dokter menurut data Riskesdas tahun 2013 adalah sebesar 0,5% atau sekitar 883.447
pasien, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 1,5% atau mencapai 2.650.340
pasien mencapai 2.650.340 pasien. 12, 14
ACS terjadi karena terhentinya aliran darah koroner secara tiba-tiba sehingga aliran darah ke
miokardium terganggu. Hal ini paling banyak disebabkan oleh aterosklerosis. Aterosklerosis ditandai dengan
pembentukan plak aterosklerotik akibat disfungsi endotel yang menyebabkan terjadinya fisura, perdarahan, dan
thrombosis. Keadaan tersebut menyebabkan gangguan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen sehingga
mencetuskan iskemia dan infark miokard. Manifestasi aterosklerosis koroner berisiko tinggi ini merupakan
penyebab penting penggunaan perawatan medis darurat dan rawat inap. Penilaian yang cepat namun
menyeluruh terhadap riwayat dan temuan pasien pada pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, studi radiologis,
dan tes biomarker jantung memungkinkan diagnosis yang akurat dan membantu dalam stratifikasi risiko dini,
yang penting untuk memandu pengobatan. Pasien berisiko tinggi dengan UAP / NSTEMI sering dirawat dengan
strategi invasif dini yang melibatkan kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera dari miokardium yang
berisiko. Hasil klinis dapat dioptimalkan dengan revaskularisasi yang digabungkan dengan terapi medis agresif
yang mencakup obat anti-iskemik, antiplatelet, antikoagulan, dan penurun lipid. 13, 14
Faktor risiko ACS terbagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi riwayat penyakit jantung
koroner (PJK) pada keluarga, usia (lebih dari 45 tahun), jenis kelamin (laki-laki lebih berisiko dari pada
perempuan), dan riwayat penyakit keluarga, sementara faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi
14
hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, merokok, aktivitas fisik kurang, obesitas, dan stres.

5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah terminologi yang digunakan pada keadaan
gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. ACS merupakan
sekumpulan gejala yang diakibatkan oleh gangguan aliran darah pembuluh darah koroner
secara akut.15
Umumnya disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner akibat plak
aterosklerosis (90%) yang lalu mengalami robekan dan hal ini memicu terjadinya gumpalan-
gumpalan darah. Robeknya plak atheroma menyebabkan thrombosis intravaskular yang
menimbulkan ketidak-seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard.15,16

2.2. EPIDEMIOLOGI

Acute Coronary Syndrome (ACS) sampai saat ini merupakan penyebab kematian utama
di seluruh dunia. Berdasarkan data yang dicatat oleh WHO, 78% kematian global akibat
jantung terjadi pada masyarakat miskin dan menengah. Berdasarkan data yang diolah oleh
Riskesdas tahun 2013 didapatkan prevalensi ACS di Indonesia sebesar 1,5 % atau diperkirakan
sekitar 2.650.340 orang. Penyebab ACS secara pasti belum diketahui, meskipun demikian
banyak faktor yang berperan penting terhadap timbulnya ACS. Faktor risiko ACS terbagi
menjadi dua, yaitu yang bersifat tak dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat
keluarga, serta yang bersifat dapat dimodifikasi seperti hipertensi, dislipidemia, merokok,
diabetes melitus, dan obesitas. Insidensi ACS pada penderita hipertensi adalah lebih dari lima
kali daripada yang normotensi. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi hipertensi di
Indonesia mencapai 25,8% dan sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di masyarakat tidak
terdiagnosis. 14
2.3. FAKTOR RISIKO

Terjadinya sindrom koroner akut dihubungkan oleh beberapa faktor risiko meliputi faktor
yang tidak dapat di-modifikasi seperti umur, jenis kelamin, keturunan, dan faktor yang dapat di-
modifikasi seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan obesitas.1
Faktor risiko yang menyebabkan terjadinya SKA ini telah dijelaskan dalam
Frammingham Heart Study dan studi-studi lainnya. Studi-studi ini men-jelaskan bahwa faktor
resiko yang dapat dimodifikasilah yang berpengaruh kuat terjadinya sindrom koroner akut.1

2.3.1. Usia
Semakin bertambahnya usia maka pembuluh darah seseorang akan mengalami perubahan
yang berangsur secara terus menerus yang dapat mempengaruhi fungsi jantung. Seiring
bertambahnya usia ke-rentanan individu terhadap ateros-klerosis koroner semakin meningkat.
Pada usia 40-60 tahun insiden SKA seperti IMA meningkat sebanyak 5 kali liat. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian oleh Capewell et al., bahwa kelompok usia terbanyak pasienyaitu 45-54
tahun (Capewell et al., 2010). Hasil Penelitian lain dari Faridah et al., bahwa kelompok umur
terbanyak yang menderita SKA yaitu 56-65 tahun sebanyak 34 (42,5%).1

2.3.2. Jenis Kelamin


Sesuai dengan pernyataan WHO yang menyatakan bahwa pasien yang ter-diagnosis
sindrom koroner akut mayoritas terjadi pada laki-laki. Peneliti-an lain dari Indrawati et al., juga
me-nyebutkan bahwa penderita SKA ter-banyak pada laki-laki dengan jumlah 44 orang (77%) dari
71 responden.1

2.3.3. Keturunan/Genetik
Penelitian dari Rosmiatin menunjukkan bahwa penderita dengan riwayat penyakit kardiovaskuler
dalam keluarga lebih sedikit dibandingkan dengan penderita SKA tanpa riwayat dalam keluarga
(Rosmiatin, 2012). Selain itu penelitian dari Niluh & et al, menunjukkan bahwa yang
mempunyai riwayat penyakit keluarga lebih banyak ditemui pada pasien dengan diagnosis gagal
jantung dari pada penyakit jantung koroner atau termasuk sindrom koroner akut.1

2.3.4. Merokok
Berdasarkan hasil penelituan Pramadiaz et al., yang menyebutkan jumlah responden yang
merokok lebih banyak dibanding-kan yang tidak merokok yaitu sebanyak 42 orang dari 66
responden. Perilaku merokok dapat me-nyebabkan sindrom koroner akut ter-gantung dari lama
merokok dan banyak-nya yang dihisap oleh seseorang. Menurut World Heart Federation
kandungan yang ada dalam rokok seperti tembakau menyebabkan terjadinya penggumpalan pada
darah yang meng-ganggu proses pengangkutan oksigen yang diperlukan tubuh dan kebutuhan
otot jantung akan meningkat akibat terjadinya pembentukan plaq oleh zat tersebut.1

2.3.5. Hipertensi
Penelitian lain dari Budiman et al., menunjukkan jumlah penderita infark miokard akut
yang termasuk bagian dari SKA lebih banyak terjadi pada pasien dengan penyakit hipertensi
yaitu 41 orang (57,7%) (Budiman et al., 2015). Penelitian yang dilakukan pada 622 pasien
infarkmiokard akut di Tripoli Medikal Center Libia sebanyak 35,7 % pasien dengan penyakit
hipertensi mengalami IMA.1 Pasien yang menderita hipertensi memiliki kejadian 7,5 kali lebih
besar terjadi dari pada yang tidak hipertensi. Setiap kenaikan 10 mmHg tekanan darah sistoledan
5 mmHg tekanan darah diastole makan akan meningkatkan risiko SKA

2.3.6. Diabetes Melitus


penelitian Pramadiaz et al., yang menyebutkan jumlah penderita SKA yang tidak
memiliki riwayat DM lebih banyak dibandingkan yang me-miliki riwayat DM yaitu 19 orang
dari 66 responden. Responden yang terkena SKA lebih banyak pada penderita yang tidak
mempunyai penyakit DM dikarenakan ada faktor lain yang mempengaruhi baik faktor yang
dapat dimodifikasi maupun yang tidak dimodifikasi.1
Menurut penelitian Frammingham, Multiple Risk Factor Intervention Trial dan Minister Heart
Study (PROCAM), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk menderita PJK ditentukan
melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko antara lain faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti keturunan, umur, jenis kelamin dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
seperti dislipidemia, hipertensi, merokok, Stress danobesitas.1

2.3.7. Dislipidemia
Penelitian Ghani et al., yang menunjukkan jumlah penderita profil lipid yang abnormal
lebih banyak menyebabkan terjadinya PJK yaitu 49.683 (85,6%) dari 58.044 responden.
Dislipidemia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sindrom koroner akut
disebabkan karena masyarakt kurang memperhatikan makan-makanan yang seimbang serta lebih
suka makan-makan junk food. Masyarakat terutama ibu-ibu yang hanya tinggal dirumah
mayoritas kurang melakukan aktifitas fisik sehingga makanan yang kurang sehat yang
dikonsumsi tidak terbakar dengan baik yang menyebabkan penumpukan di dinding arteri dan
terjadinya ateros-klerosis.1
Aterosklerosis merupakan penyebab terjadinya sindrom koroner akut.
Dislipidemia menyebabkan ke-rusakan pada endotel pembulu darah. Jika kematian endotel
terjadi akibat dari oksidasi yang menyebabkan adanya respon inflamasi. Dimana respon
angiotensin II menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mencetuskan efek protrombik dengan
melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Hal ini menghasil- kan respon protektif dimana akan
terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak aterosklorotik yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang
terjadi bisa menjadi tidak stabil dan mengalami ruptur sehingga terjadi SKA.1

2.3.8. Obesitas
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu yang menunjukkan bahwa responden yang berada
pada IMT normal lebih banyak menderita PJK daripada yang obesitas yaitu 34 orang dari 56
responden. Obesitas tidak selalu menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya sindrom koroner
akut dikarenakan pada penderita sindrom koroner akut masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi terutama pola hidup yang kurang sehat. Selain itu karena metode penelitian yang
di-gunakan peneliti hanya sewaktu tidak mengkaji riwayat terdahulu dan alat ukur pada rekam
medikhanya meng-gunakan IMT.1
Indeks massa tubuh sebagai alat antropometri yang lebih dikenal di masyarakat dianggap
kurang peka terhadap tingginya deposit lemak tubuh pada orang dewasa yang sering
berhubungan dengan terjadinya SKA. Massa tubuh terdiri dari berat lemak.fat mass dan berat
lemak bebas/fat freemass yang terdiri dari tulang, otot dan cairan. Dengan demikian tingginya
nilai IMT tidak selalu karena lemak, tetapi dapat disebabkan karena otot seperti pada seorang
binaragawan atau atlet. Jumlah otot yang tinggi dapat menghasilkan IMT yang tinggi juga
sehingga IMT dapat menyebabkan misklasifikasi untuk menghitung jumlah lemak tubuh.1
2.4. ETIOLOGI

a) Suplai oksigen ke miokard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor: 17


1) Faktor pembuluh darah : Aterosklerosis, Spasme, Arteritis
2) Faktor sirkulasi : Hipotensi, Stenosis aorta, Insufisiensi
3) Faktor darah : Anemia, Hypoxemia, Polisitemia
b) Curah jantung yang meningkat : Aktifitas berlebihan, Emosi, Hypertiroidisme 17
c) Kebutuhan oksigen miokard meningkat pada: Kerusakan miokard, Hypertropi miokard,
Hypertensi diastolik 17

2.5. PATOFISIOLOGI
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses
aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis
merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat komplek dan multi faktor serta
saling terkait. 6

Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan


proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-
filled macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung
sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses
inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel,
pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan
proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil. 6

Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting
dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari
pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya rupture plak dan trombosis pada SKA. 6

Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak


aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia
anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam
pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak
atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan
pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan sub endotel, mulailah
proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada
saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang
dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif
yang dikenal juga dengan SKA (Gambar 2 ).6

Gambar 2. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan Complication)


Pada Plak Aterosklerosis6

Sedangkan thrombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang
terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu
trombosis arterial (thrombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada thrombus tersebut
ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (thrombus merah) yang ditemukan pada
pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet.
Komponen- komponen yang berperan dalam proses thrombosis adalah dinding pembuluh darah,
aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan
antikoagulan alamiah. 6

Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi
trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang vulnerable
mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau
rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang tidak
stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cups
tipis, dan bahu plak (shoulder region of the plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi
seperti sel limfosit T dan lain-lain (Gambar 3). Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan
persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti
apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur
pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi oleh
kerentanan (vulnerability) plak. 6

Gambar 3. Karakteristikplak yang rentan/tidakstabil (vulnerable)6

Erosi, fisur, atau rupture plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri
koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue factor) kedalam
aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk
thrombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner
total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak
aterosklerosis yang relative kecil akan menyebabkan angina pectoris tidak stabil dan tidak
sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien/labil dan menyebabkan
oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit. 6

Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis
trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak
merusak seluruh lapisan miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai
lebih dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka keseluruhan
lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan STEMI.
Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti
secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard
transmural. 6
Tabel 1. Patogenesis Pada Berbagai Manifestasi Klinik SKA 6

ANGINA Pada angina pectoris tidak stabil terjadi erosi atau fisur pada plak
1
PEKTORIS TIDAK aterosklerosis yang relative kecil dan menimbulkan oklusi trombus
STABIL yang transien. Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi
sementara yang berlangsung antara 10-20 menit

NSTEMI(Non-ST Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih berat dan menimbulkan
2
Elevation oklusi yang lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam.
Myocardia Pada kurang lebih 1⁄4 pasien NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang
l berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat
Infarction) koleteral. Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan koleteral
memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI

STEMI(ST Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan
3
Elevation menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang
Myocardial menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang
Infarction) berlangsung lebih dari 1 (satu) jam dan menyebabkan nekrosis
miokard transmural

2.6. KLASIFIKASI SINDROM KORONER AKUT

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan


pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:7
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indicator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen
ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.7
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan
(Gambar 4). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka
jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen
ST.7
Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris
tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal
atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan
(normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan
gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau
selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang (Gambar 4).7

2.7. MANIFESTASI KLINIS

Presentasi Klinis Diagnosis ACS harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan
gejala iskemik. Tanda dan gejala klinis iskemia meliputi berbagai kombinasi nyeri dada,
ekstremitas atas, ketidaknyamanan man-dibular atau epigastrik, dispnea, diapho-resis, mual,
kelelahan, atau sinkop. Rasa sakit dan ketidaknyamanan yang terkait dengan kejadian ACS dapat
terjadi dengan aktivitas atau saat istirahat dan sering menyebar daripada lokal. Nyeri yang
menjalar ke lengan kiri, bahu kanan, atau kedua lengan lebih mungkin terkait dengan MI, seperti
nyeri yang terkait dengan diafor -sis. Gejala ini tidak spesifik untuk MI dan tidak terjadi pada
semua pasien yang mengalami kejadian ACS. Gejala khas ACS dapat terjadi pada populasi
pasien tertentu seperti wanita, orang tua, penderita diabetes, atau pasca operasi. Dalam situasi ini,
ACS dapat dikaitkan dengan palpitasi, jantung berdebar, atau dengan gejala klinis asimtomatik.9

Istilah sindrom koroner akut (ACS) mengacu pada apa saja kelompok gejala klinis yang
cocok dengan gejala akut iskemia miokard dan mencakup spektrum klinis kondisi mulai dari
angina tidak stabil (UA) hingga non– Infark miokard elevasi segmen ST (NSTEMI) untuk ST-
segmen elevasi miokard infark (STEMI). Angina tidak stabil dan NSTEMI adalah kondisi
yang terkait erat: asal patofisiologis dan gambaran klinisnya serupa, tetapi berbeda dalam
tingkat keparahan. Diagnosis NSTEMI dapat dibuat ketika iskemia cukup parah hingga
menyebabkan kerusakan miokard yang mengakibatkan pelepasan dari biomarker nekrosis
miokard ke dalam sirkulasi (troponin T atau I khusus jantung, atau fraksi otot dan otak dari
kreatin kinase [CK- MB]). Sebaliknya, pasien dianggap telah mengalami UA jika tidak ada
biomarker tersebut dapat dideteksi pada jam aliran darah setelah inisial timbulnya nyeri dada
iskemik. Angina tidak stabil menunjukkan 1 atau lebih dari 3 presentasi utama: (1) angina
istirahat (biasanya berlangsung> 20 menit), (2) onset baru (<2 bulan sebelumnya) angina berat,
dan (3) pola kejadian crescendo (peningkatan intensitas, durasi , frekuensi, atau kombinasi dari
faktor-faktor ini).4

2.8. DIAGNOSIS
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil,
Kemungkinan ACS, dan Definitif ACS.18
 Anamnesis18
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal
ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis ACS.

Diagnosis ACS menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non-koroner (penyakit arteri perifer /
karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau PCI
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes melitus,
riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program).

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada non-
kardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apex ventrikel kiri
atau pertemuan kostokondral
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan ACS,
maka terminologi angina lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan
penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi
fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang
menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat
penyakit serebrovaskular.

 Pemeriksaan Fisis18
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau
edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap ACS. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi
aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding ACS.

 Pemeriksaan EKG18
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah
kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada
semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-diagnostik. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten,
atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi
dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang
elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar
sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam,
bergantung pada
usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia
≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada
perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah
≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan
V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih
tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat
dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-
V6). Pasien ACS dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplit) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu, pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat
segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Sadapan dengan Deviasi Lokasi Iskemia atau


Segmen ST Infark
V1-V4 Anterior

V5-V6, I, aVL Lateral

II, III, aVF Inferior

V7-V9 Posterior

V3R, V4R Ventrikel Kanan

Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan sadapan pada EKG18

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai
spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan
segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan
EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan non-elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05
mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga
elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk
untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang non-diagnostik.

 Pemeriksaan Marka Jantung18


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/non-
koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak non-koroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T
adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih
tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan ACS
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan ACS tidak
dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh
yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark peri-prosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada
umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang
sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin ACS hanya dianjurkan jika waktu
pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di
laboratorium sentral.
Kemungkinan ACS adalah dengan gejala dan tanda :
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal.

Definitif ACS adalah dengan gejala dan tanda :


1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung.

Kemungkinan ACS dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung


normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif ACS dan angina
tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit
dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).

 Pemeriksaan Laboratorium18
Data laboratorium, disamping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes
fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi ACS.

 Pemeriksaan Foto Polos Dada18


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
Chest Pain
Presentation

Acute Coronary Syndrome


Working Diagnosis

ECG Persistent ST-Elevation Absence of Persistent ST-Elevation

Initial Diagnosis STEMI NSTE-ACS

Cardiac Biomarker Rise/Fall Normal

Final Diagnosis STEMI NSTEMI Unstable Angina

Gambar 6. Diagnostic Flow of ACS.19.20

2.9 TATALAKSANA
Tindakan umum dan langkah awal yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan sindroma koronari akut dengan keluhan angina di ruang gawat darurat sebelum
adanya hasil dari pemeriksaan EKG dan biomarka jantung. Tindakan yang dapat diberikan
adalah seperti:7

1. Pasien direkomendasikan berada dalam keadaan tirah baring.


2. Pada semua pasien dengan infark miokard akut elevasi ST direkomendasikan untuk
mengukur saturasi oksigen perifer, oksigen direkomendasikan diberikan pada pasien
degan hipoksemia (SaO2 <90% atau PaO2<60mmHg).
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien.
4. Penghambat reseptor adenosine difosfat (ADP) diberikan.
 Dosis awal Tecagrelor 180mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 kali
90 mg/hari kecuali pada pasien pada pasien IMA-EST yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.
 Dosisawal Clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
g/hari dianjurkan pada pasien IMA-EST yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik.
5. Diberikan Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual pada pasien dengan nyeri dada
yang masih berlanngsung saat tiba di unit gawat darurat . Jika nyeri dada tidak
menghilang dengan 1 kali pemberian ,dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak responsive terhadap
3 kali pemberian NTG sublingual. Dalam keadaan NTG tidak tersedia dapat
digunakan ,isosorbiddinitrat (ISDN) sebagai pengganti.
6. Morfin sulfat 1-5mg intravena dapat diulang setiap 10-30 menit bagi pasien yang
tidak responsive terhadap 3 dosis NTG sublingual.

Tatalaksana Angina PektorisTidak Stabil (APTS) dan infarkmiokard Non-elavasi


2.9.1

Segment T (IMA-NEST).7

2.9.1.1 Anti iskemia

a) Penyekat Beta (Beta Blocker)


Diberikan dalam 24 jam pertama, untuk menurunkan konsumsi oksigen pada
miokardium. Direkomendasikan pada APTS dan IMA-NEST yang terutamanya
disertai hipertensi, takikardia dan disfungsi ventrikel kiri. Namun tidak bisa
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio ventrikuler yang
signifikan, asma bronkiale dan disfungsi akut ventrikel kiri.7

Beta Bloker Dosis


Atenolol 50-200 mg/hari
Bisoprolol 10 mg/hari
Carvedilol 2 x 6,25 mg/hari + titrasi sampai maksimum
2 X 25 mg/hari
Metoprolol 50-200 mg/hari
Propanolol 2 x 20-80 mg/hari
Tabel 2 : Contoh obat penyekat beta7

b) Nitrat
Menyebabkan dilatasi pembuluh darah koroner dan menyebabkan dilatasi vena
yang mengurangkan preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri yang
menyebabkan konsumsi oksigen miokardium berkurang. Pasien sebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu dipertimbangkan pemberian nitrat intravena. Nitrat intravena
diindikasikan pada iskemia persisten, gagal jantung atau hipertensi dalam 48 jam
pertama APTS/ IMA-NEST. 7

Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrat (ISDN) Sublingual 2,5 – 15 mg (onset 5 menit )
Oral 15 – 80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25 – 5mg/jam
Isosorbid 5 mononitrat Oral 2 x 20 mg/hari
Oral (lepaslambat) 120 – 240 mg/hari
Nitrogliserin (trinitrin, TNT, Tablet sublingual 0,3 – 0,6 mg – 1,5 mg
gliseriltrinitrat) Intravena5-2000 mcg/menit
Tabel 3 :Contoh obat nitrat

c) Penyekat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker/CCBs)


Nifedipin dan amlodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada nodus SA dan AV. Verapamil dan diltiazem mempunyai efek
terhadap nodus SA dan AV yang menonjol dan sekaligus mempunyai efek dilatasi
arteri.

Penyekatkanalkalsium Dosis
Verapamil 180 – 240 mg/hari dibagi 2 – 3 dosis
Diltiazem 120 – 360 mg/hari dibagi 3 – 4 dosis
Nifedipin GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipin 5 – 10 mg/hari
Tabel 4 :Contoh obat penyekat kanal kalsium.7

2.9.1.2. Antiplatelet
 Aspirin diberikan kepada semua pasien yang tanpa kontraindikasi setiap hari
untuk jangka panjang.
 Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan
dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi seperti risiko
pendarahan berlebih.
 Penghambat pompa proton diberikan bersama (DAPT) pada pasien dengan
riwayat ulkus peptikum, perdarahan saluran cerna dan yang mempunyai faktor
resiko seperti infeksi H pylori, usia 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan
antikogulan atau steroid.
 Tricagrelor direkomendasikan pada pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang
hingga berat. Buat pasien yang tidak bisa mendapatkan tricagrelor
direkomendasikan clopidrogrel.
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150 – 300 mg, dosis pemeliharaan 75 – 100
mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
Tabel 5: contoh obat antiplatelet 7

2.9.1.3. Antikoagulan
 Antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin
,pemilihannya dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia dan berdasarkan
profil efikasi-keamanan agen tersebut.
 Fondaparinux secara keseluruhan mempunyai profil keamanan berbanding resiko
yang paling baik
 Dapat diberikan enoxaparin untuk pasien dengan resiko perdarahan rendah
apabila fondaparinux tidak tersedia.
 Apabila enoxaparin dan fondaparinux tidak tersedia dapat diberikan Heparin tidak
terfraksi dengan target apTT 50 – 70 detik atau heparin berat molekul rendah.

Antikoagulan Dosis
Fondaparinux 2,5 mg subkutan
Enoxaparin 1 mg/kg, 2x/hari subkutan
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v 60 U/g, dosis maksimal 4000 U
Infusi.v 12 U/kg selama 24 – 48 jam dengan dosis maksimal
1000 U/jam target apTT 11/2-2x control
Tabel 6 :contoh obat antikoagulan.7

2.9.1.4. Penghambat Angiotensin converting enzyme (ACE) dan penghambat


reseptor angiotensin .
Penghambat ACE berfungsi untuk mengurangi remodelling dan menurunkan angka
kematian penderita pasca infark miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung dengan
atau tanpa gejala klinis gagal jantung. Penghambat reseptor angiotensin merupakan alternatif
pada pasien yang intoleran terhadap penghambat ACE.7

Penghambat ACE Dosis


Captopril 2 – 3 x 6,25 – 50 mg
Ramipril 2,5 – 10 mg/haridalam 1 atau 2 dosis
Llisinopril 2,5 – 20 mg/haridalam 1 dosis
Enalapril 5 – 20 mg/haridalam 1 atau 2 dosis
Tabel 7 :contoh obat penghambat ACE.7
2.9.1.5.Statin
Statin diberikan pada semua penderita APTS/IMA-NEST. Terapi intensitas tinggi
hendaknya dimulai sedini mungkin.

Statin Dosis
Rosuvastatin 10 – 20 mg/hari
Atorvastatin 20 – 40 mg/hari
Tabel 8 :Contoh Obat Statin.7

Rekomendasi terapi jangka panjang7 :

1. Aspirin 75-100 mg /hari


- Penghambat P2Y12 selama 12 bulan apabila tidak terdapat kontraindikasi atau selama 3-
6 bulan setelah implantasi DES dapat dipertimbangkan pada pasien risiko tinggi
perdarahan atau selama lebih 1 tahun setelah dinilai risiko iskemik dan perdarahan
pada pasien.
2. Statin intensitas tinggi diberikan sesegera mungkin dalam jangka panjang kecuali apabila
terdapat kontraindikasi . Pada pasien dangan LDL > 70 mg/dL meskipun telah
mendapatkan dosis maksimal statin harus dipertimbangkan untuk menambahkan
pemberian golongan non-statin (ezetimibe).
3. Penyekat beta disarankan untuk pasien dengan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri
(LVEF<40%).
4. Penghambat ACE diberikan dalam 24 jam pada semua pasien dengan LVEF 40% dan
yang menderita gagal jantung, diabetes, hipertensi atau PGK. Selain itu, juga disarankan
untuk mencegah berulangnya kejadian iskemik.
5. ARB dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap penghambat ACE.
6. PPI dapat diberikan pada pasien dengan risiko pendarahan saluran cerna yang tinggi
seperti pasien dengan riwayat ulkus/perdarhan saluran cerna, pasien yang memakai
OAINS atau kortikosteroid atau mempunyai 2 dari kondisi lanjut usia yang berusia lebih
65 tahun, dispepsia, penyakit refluks gastroesofagus , infeksi H. pylori, pemakaian
alcohol kronis.
Gambar 8 : Tatalaksana farmakologi pada pasien dengan Unstable Angina (UA)/Non-ST
Elevated Myocardial Infarction (NSTEMI)

2.9.2. Tatalaksana Infark Miokard Akut Dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST)


Terapi reperfusi diindikasikan buat semua pasien dengan gejala yang diduga sebagai
IMA-EST pilhan pertama buat terapi reperfusi adalah IKP namun apabila tidak ada dapat
digunakan fibrinolitik, setelah itu pasien dikirimkan kepusat dengan fasilitas IKP.

2.9.2.1. IKP (Intervensi Koroner Perkutan) Primer


IKP merupakan tindakan emergensi yang dilakukan dengan balloon, stent atau ala
lainnya, yang dikerjakan pada arteri yang infark (IRA) tanpa terapi fibrinolitik lain sebelumnya.
Apabila pasien tidak mempunyai kontraindikasi terhadap terapi anti platelet ganda (DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, lebih disarankan drug-eluting stents (DES) dari
pada bare metal stents (BMS).

IKP primer harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang berlangsung lebih 12 jam
yang disertai EKG yang menunjukkan iskemia sedang berlangsung, nyeri yang sedang
berlangsung atau rekuren dan perubahan EKG yang dinamis serta nyeri sedang yang berlangsung
atau rekuren dengan gejala dan tanda gagal jantung, syok, atau aritmia maligna.
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa Aspirin 160-320 mg oral dan penghambat reseptor ADP sesegera yang mungkin
sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Pemilihan penghambat reseptor
ADP yang dapat digunakan adalah9 :

1. Tricagrelor dengan dosis loading 180 mg ,diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari.
2. Clopidogrel dengan dosis loading 600 mg diikuti 75 mg per hari.
Antikoagulan intavena yang dapat digunakan adalah:

1. Heparin yang tidak terfraksi (UFH) dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
IIb/IIIa, harus digunakan pada pasien yang tidak dapat bivalirudin atau enoxaparin.
2. Enoxaparin intravena dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib /IIIa dapat lebih
dipilih dibandingkan dengan heparin tidak terefraksi.

2.9.2.2.Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik dapat dilakukan sebagai terapi reperfusi pada fasilitasi pelayanan
kesehatan yang tidak mempunyai kemudahan IKP yang terjangkau dalam waktu yang
disarankan. Harus diberikan aspirin oral dan clopidogrel disarankan buat tambahan untuk
pemberian aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien IMA-EST yang diobati dengan
fibrinolitik sampai revaskularisasi atau selama dirawat di rumah sakit sehingga 5 hari.
Antikoagulan yang dapat digunakan adalah9:

1. Enoxaparin subkutan.
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infuse
selama 3 hari .
3. Pada pasien yang mendapatkan streptokinase, fondaparinux intravena dilanjutkan
dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
Gambar 9 : Langkah-langkah pemberian fibrinolitik pada pasien IMA-EST

Terdapat kontraindikasi pada terapi fibrinolitik yang bersifat absolute adalah stroke
hemorrhagic atau sroke yang penyebabnya belum diketahui, terdapat riwayat stroke dalam 6
bulan terakhir, terdapat kerusakan pada sistem saraf sentral dan neoplasma, terdapat riwayat
trauma operasi atau trauma kepala yang berat dalam 3 minggu terakhir, terdaat riwayat
pendarahan saluran cerna dalam 1 bulan terakhir, terdapat penyakit pendarahan dan diseksi aorta.
Kotraindikasi buat terapi fibrinolitik yang relative pula merupakan pasien mempunyai riwayat
TIA dalam 6 bulan terakhir, menggunakan antikoagulann oral, pasien hamil atau dalam 1 minggu
post partum, terdapat tempat tusukan yang tidak dapat dikompressi, resusitasi traumatik,
mempunyai hipertensi refrakter, penyakit hati yang lanjut, infeksi endokarditis dan terdapat ulkus
peptikum yang aktif.

2.9.2.3. Koterapi antikoagulan


Pasien yang mendapat terapi fibrinolitik sebaiknya mendapatkan terapi anntikoagulan
selama minimum 48 jam sampai maksimum 8 hari. Kepada pasien yang tidak mendapatkan
terapi reperfusi juga disarankan mendapatkan terapi antikoagulan selama maksimum 8 hari.
Dapat juga digunakan strategi low molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux.

2.9.2.4.Oksigen
Pada semua pasien IMA-EST diukur saturasi oksigen perifer. Oksigen diindasikan pada
pasien dengan hipoksemia yaitu SaO2 <90% atau PaO2 <60 mmHg dan pada pasien dengan
edema pulmonal dengan SaO2 >90%.

2.9.2.5.Statin
Direkommendasi memulai pemberian statin intensitas tinggi sesegera mungkin, kecuali
apabila terdapat kontraindikasi atau intoleransi, dan diberikan dalam jangka panjang. Target LDL
adalah dibawah 70 mg/dl atau mengalami reduksi minimal 50% jika kadar awal 70-135 mg/dL,
meskipun telah diberikan dosis statin maksimal yang dapat ditoleransi, tetapi tetap berisiko tinggi
untuk terjadinya kejadian kardiovaskuler, harus dipertimbangkan terapi lanjutkan untuk
menurunkan LDL.

Rekomendasi terapi jangka panjang :

Dilakukan dengan tujuan meningkatkan prognosis pasien IMA-EST.

1. Mengendalikan faktor resiko boleh ubah seperti hipertensi, diabetes, kebiasaan merokok
dengan lebih ketat.
2. Diberikan Aspirin 75-100mg tanpa henti.
3. Diberikan DAPT hingga 12 bulan setelah IMA-EST
4. Penyekat beta oral diberikan buat pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
Gambar 10 : Tatalaksana farmakologi pada pasien dengan ST-elevated myocardial infarction
(STEMI)

2.10. PROGNOSIS

Pasien yang selamat dari serangan infark miokard yang pertama akan mengalami
peningkatan resiko untuk kejadian kardiovaskular pada masa depan. Studi menunjukkan separuh
pasien tidak mendapatkan satu atau lebih tatalaksana yang direkomendasikan saat kejadian ACS.
Secara keseluruhan, kadar mortalitas jangka pendek 30 hari setelah kejadian SKA adalah
sebanyak 2% - 3%, kadar mortalitas adalah lebih rendah pada pasien IMA-NEST disbanding
dengan IMA-EST. Kejadian masuk kembali ke rumah sakit dalam jangka waktu 30 hari
sebanyak 17% hingga 25% pada kesemua jenis SKA. Peningkatan resiko kematian mendadak
meningkat setelah kejadian SKA yang terkait dengan penurunan fraksi ejeksi (kurang dari
35%)10.

2.11. KOMPLIKASI

Terdapat berbagai komplikasi yang bisa terjadi dengan yang paling sering adalah gagal
jantung, diikuti dengan aritmia, syok kardiogenik, edem pulmonal dan yang terakhir adalah
kematian. Contoh pertama komplikasi pada sindrom koroner akut adalah aritmia jantung yang
mengancam nyawa yaitu ventricular takikardi, ventricular fibrilasi dan total AV blok yang dapat
menjadi maifestasi awal terjadinya SKA. Insidens aritmia ventrikel biasanya terjadi 48 jam
pertama setelah onset SKA. Seterusnya adalah komplikasi yang merupakan gagal jantung yang
biasanya disebabkan oleh kerusakan miokard tapi dapat juga terjadi karena aritmia atau
komplikasi mekanik seperti ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral iskemik. Gagal
jantung pada SKA menandakan prognosis yang lebih buruk. Syok kardiogenik pada SKA
menandakan kegagalan pompa jantung berat dan hipoperfusi dengan manifestasi klinis tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg, pulmonary wedge pressure > 20 mmHg atau cardiac index
< 1,8 L/m2. Hal ini diakibatkan oleh nekrosis miokard yang luas. Yang terakhir adalah
komplikasi mekanik yang terdiri dari dinding ventrikel dan juga regurgitasi mitral akut. Pada
rupture dinding ventrikel akut terjadi disosiasi aktivitas listrik jantung yang menyebabkan henti
jantung dalam waktu singkat. Regurgitasi mitral akut biasanya terjadi dalam 2-7 hari SKA. Ada
3 mekanisme terjadinya yaitu dilatasi annulus mitral akibat dilatasi ventrikel kiri, disfungsi
muskulus papilaris akibat infark miokard inferior, rupturdari badan atau ujung muskularis
papilaris11 .
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom koroner akut adalah penyakit yang sering didapatkan pada unit kegawat daruratan.
Terdapat jalur terapi yang khas buat SKA tipe IMA-EST dengan tidakan langsung pada pembuluh darah dan
tatalaksana fibrinolitik dab IKP. Manakala IMA-NEST merupakan tipa SKA yang lebih sering didapatkan,
dan lebih didapatkan pada orang lanjut usia dang pada yang mempunyai kormobiditas yang lebih kompleks,
Penatalaksanaan pada pasien IMA-NEST bervariasi. Namun, terapi awal bersifat manajemen anti-
thrombotik dengan mempertimbangkan kemungkinan tatalaksana IKP tergantung derajat dan waktu.
Perkembangan sensitivitas bomarka kardiak dan alat stratifikasi risiko pada masa kini ememungkinkan
penegakan diagnosis yang cepat beberapa jam setelah kejadian. Perbaikan dalam manajemen invasif dan
terapi farmakologi telah memperbaik hasil klinik jangka pendek mahupun jangka panjang pada pasien
sindrom koroner akut yang terdiri daripada 3 tipe yaitu angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut non-
elevasi segmen ST dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST 21.

34
DAFTAR PUASTAKA

1. Muhibbah1, Abdurahman Wahid2, RismiaAgustina3, OskiiIlliandri4. KARAKTERISTIK


PASIEN SINDROM KORONER AKUT PADA PASIEN RAWAT INAP RUANG TULIP
DI RSUD ULIN BANJARMASIN. Indonesian Journal for Health Sciences Vol.3, No.1,
Maret 2019, Hal. 6-12 ISSN 2549-2721 (Print), ISSN 2549-2748 (Online).

2. ESC GUIDELINES. 2020 ESC Guidelines for themanagement of acute coronary syndromes
in patients presenting without persistent ST-segment elevation. The Task Force for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). European Heart Journal
(2020) 00, 1_79 doi:10.1093/eurheartj/ehaa575

3. BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN


KESEHATAN RI TAHUN 2013

4. Amit Kumar, MD, and Christopher P. Cannon, MD. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis
and Management, Part I. Mayo Clin Proc. • October 2009;84(10):917-938

5. Filippo Crea, MD, Peter Libby, MD. Acute Coronary Syndromes The Way Forward From
Mechanisms to Precision Treatment. Circulation. 2017;136:1155–1166. DOI: 10.1161

6. PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER :


FOKUS SINDROM KORONER AKUT. DIREKTORAT BINA FARMASI KOMUNITAS
DAN KLINIK DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
DEPARTEMEN KESEHATAN 2006.

7. PERKI. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Perhimpunan Dokter Spesialis


Kardiovaskular Indonesia. 2018.

8. Hamilton B, Kwakyi E, Koyfman A, Foran M. Diagnosis and management of acute coronary


syndrome. African J Emerg Med [Internet]. 2013;3(3):124–33.

9. Jennifer N. Smith, PharmD, BCPS, Jenna M. Negrelli, PharmD, BCPS, Megha B. Manek, MD, Emily
M. Hawes, PharmD, BCPS, and Anthony J. Viera, MD. Diagnosis and Management of Acute
Coronary Syndrome: An Evidence-Based Update.

10. Witaj TL, Christensen SR, Brewer DM. Acute Coronary Syndrome: Current Treatment. Am
Fam Physician. 2017 Feb;95(4):232–40.

11. Che-Muzaini CM, Norsa’adah B. Complications of acute coronary syndrome in young


patients. Iran J Public Health. 2017;46(1):139–40.

12. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndromes: diagnosis and management, part I. Mayo
Clin Proceedings. 2009;84(10):917-938.
13. Kotecha T, Rakhit RD. Acute coronary syndromes. Clin Med (Lond). 2016;16(6):43-48.

14. R.W Frits, I. Medisa, E. Timothy. Prevalensi dan Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut di
Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia. 2018: 110-114
15. Kusumastuti AK, Khoriyah. Sindrom Koroner Akut. Semarang, 2018. Hal: 8.
16. Isriani E. Sindrom Koroner Akut di Ruang ICU RS Roemani Muhammadiyah Semarang.
2018. Hal: 10.

17. Moorhead, Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. Oxford,2013.


18. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi 3. Centra Communications; 2015. Hal: 3

19. Hamm CW et al. ESC Guidelines for the Management of Acute Coronary Syndromes in
Patients Presenting without Persistent ST-Segment Elevation. ESC Guigelines: European
Heart Journal. 2020. 5p.
20. Kimura K et al. Guideline on Diagnosis and Treatment of Acute Coronary Syndrome. JCS:
Circulation Journal, 2018. 3, 5pp.
21. Kotecha T, Rakhit RD. Acute coronary syndromes. Clin Med (Northfield Il) [Internet].
2016;16(6):43–8

Anda mungkin juga menyukai