Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kulit merupakan alat pembatas dunia luar dan dalam tubuh yang salah satu fungsinya
dahulu hanya di anggap sebagai penutup atau pelindung alat-alat dalam tubuh. Lebih kurang
30 tahun yang lalu ditetapkan oleh pakar imunologi bahwa fungsi kulit yang baru adalah
sebagai bagian dari organ imunologik. Walaupun masih banyak pertentangan pendapat dan
menunggu konfirmasi selanjutnya telah di ketahui beberapa jenis penyakit kulit dalam
patogenesisnya di anggap melibatkan sistem imunologik. Salah satu jenis penyakit kulit yang
patogenesisnya melibatkan sistem imunologik ialah Dermatitis Kontak Alergi (DKA)1
Dermatitis kontak alergi (DKA) dapat terjadi karena kulit terpajan/berkontak dengan
bahan-bahan yang bersifat sensitizer (alergen). Dermatitis kontak alergik lebih kurang
merupakan 20% dari seluruh dermatitis kontak.

Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun

DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan
kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai prevalensi dan insidens
DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum
didapat. 3
Bahan penyebab dermatitis kontak alergik pada umumnya adalah bahan kimia yang
terkandung dalam alat-alat yang dikenakan oleh penderita, yang berhubungan dengan
pekerjaan/hobi, atau oleh bahan yang berada di sekitarnya. Disamping bahan penyebab
tersebut, ada faktor penunjang yang mempermudah timbulnya dermatitis kontak tersebut
yaitu suhu udara, kelembapan, gesekan, dan oklusi.4
Dermatitis kontak alergi yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat
pekerjaan disebut dermatitis kontak alergi akibat kerja (DKAAK), yang menapai 25% dari
seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK). Dermatitis kontak akibat kerja mencapai
90% dari dermatitis akibat kerja (DAK). Prevalensi DKAAK berbeda-beda di tiap negara
tergantung macam serta derajat industrialisasi negara tersebut.5
Menurut data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis
kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50-60%.
Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih
sering daripada DKA akibat kerja.3
Ada dua fase untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi yaitu fase primer
(induktif/afferen) yaitu penetrasi bahan yang mempunyai berat molekul kecil (hapten) ke
1

kulit yang kemudian berikatan dengan barier protein di epidermis. Sedangkan Fase sekunder
(eksitasi/aferen) yaitu pajanan hapten pada individu yang telah tersensitasi, sehingga antigen
disajikan lagi oleh sel Langerhans ke sel T memori di kulit dan limfe regional. Kemudian
akan terjadi reaksi imun yang menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan
perantara sel T karena lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin. Maksimum reaksi terjadi
24-48 jam.2
Pemeriksaan lab berupa dermatopatologi dan patch test. Peradangan berupa edema
intraepidermal intraceluler (spongiosis) dan infiltrasi monosit dan histiosit di dalam dermis
memperlihatkan dermatitis kontak alergi. Sementara vesikel lebih dangkal mengandung
leukosit polimorphonuclear memperlihatkan dermatitis kontak iritan. Pada dermatitis kontak
iritan terdapat likenifikasi, (hiperkeratosis, akantosis, dan elongasi). Gambaran tersebut
merupakan gambaran umum dan sangat sukar untuk membedakan gambaran histopatologik
antara DKA dan DKI.6
Pada dermatitis kontak alergik sensitisasi memperlihatkan setiap bagian pada kulit.
Oleh karena itu penggunaan alergen untuk setiap area kulit normal menimbulkan suatu
peradangan. Tes tempel positif memperlihatkan eritema dan papul, kemungkinan vesikel
terbatas pada tempat yang dites saja. Tes tempel ini seharusnya ditunda sampai dermatitis
mereda di lokasi yang dipilih dari tempat yang dites setidaknya 2 minggu.6
Menghindari bahan penyebab dermatitis kontak merupkan cara penanganan DKA
yang peling penting. Untuk tujuan tersebut harus diketahui bahan penyebab DKA
berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang berupa uji
tempel bahan yang dicurigai.3
Pengobatan dermatitis pada umumnya yaitu antihistamin, jika lesi basah diberi
kompres KMnO4 1/5000. Jika sudah mengering diberi kortikosteroid topical seperti
hidrokortison 1-2%, triamsinolone 0,1%, fluosinolone 0,025%, desoksimetasone 2-2,5% dan
betametason-dipropionat 0,05%. Pada DKA yang disertai dengan infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotik sistemik. 7

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Alergen yang menyebabkan DKA
adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang umunya rendah. DKA terjadi
akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama,
atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah tersensitasi
sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe
IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.3,8
B. Epidemiologi
Sejumlah kecil tapi penelitian besar telah menyelidiki prevalensi dermatitis kontak
alergi dalam populasi umum dan dalam subkelompok yang tidak dipilih dari populasi umum.
Pada tahun 2007, Thyssen dan colleagues melakukan penelitian retrospektif yang meninjau
temuan utama dari studi epidemiologi yang dipublikasikan sebelumnya pada DKA dalam
populasi yang tidak dipilih termasuk semua kelompok usia dan sebagian besar negara
penerbitan (terutama Amerika Utara dan Eropa Barat). Berdasarkan data tersebut diterbitkan
data heterogen yang dikumpulkan antara 1966 dan 2007, prevalensi menengah DKA untuk
setidaknya satu alergen pada populasi umum adalah 21,2%. Selain itu, studi ini menemukan
bahwa alergen kontak yang paling umum pada populasi umum adalah nikel, thimerosal, dan
aroma campuran. Yang penting, prevalensi alergi kontak terhadap alergen tertentu berbeda
setiap negara dan prevalensi untuk alergen tertentu tidak harus statis, karena dipengaruhi oleh
perubahan dan perkembangan lingkungan regional, pola paparan, standar peraturan, dan adat
istiadat masyarakat dan nilai-nilai.
Pada catatan akhir tentang epidemiologi, DKA yang disebabkan oleh bahan-bahan
yang ditemukan dalam produk perawatan pribadi (kosmetik, perlengkapan mandi) adalah
masalah yang baiknya kita ketahui, sekitar 6% dari populasi umum diperkirakan menderita
alergy.9

C. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya
rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis
di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya,
potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi,
suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status
imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).3,10
D. Patomekanisme
Dermatitis kontak alergi merupakan respons imun yang diperantarai oleh
(cell mediated immunity respons) atau reaksi imunologik tipe IV suatu hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi imunologis seperti ini merupakan hasil dari paparan dan
sensitisasi lanjut dari genetik host yang rentan, untuk alergen lingkungan,
yang pada paparan berikutnya memicu reaksi inflamasi yang kompleks.9
Gambar klinisnya adalah eritema, edema, dan papulo-vesikel,
biasanya distribusi berdasarkan kontak dengan allergen yang memicu dan
dengan pruritus sebagai gejala utama. Untuk reaksi seperti itu, individu
harus sudah pernah kontak dengan alergen yang mensensitasi, dan
kemudian telah berulang kontak dengan substansi ini nanti. Hal ini
penting untuk membedakannya dengan dermatitis kontak iritan (DKI), di
mana tidak ada reaksi sensitisasi pada tempat sebelumnya, dan intensitas
dari reaksi inflamasi iritan sebanding dengan dosis konsentrasi dan jumlah
iritasi untuk menimbulkan iritan. Ada dua tahap dalam proses DKA yaitu
fase sensitisasi dan fase elisitasi.9
Fase sensitisasi : Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh
enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen
lengkap. Pada awalnya sel langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai
makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi, setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
4

mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan
mengubah fenotip sel langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu misalnya (IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7.
Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF, yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II. 3
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel langerhans pada epidermis,
juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel langerhans melewati
membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di
dalam kelenjar limfe, sel langerhans memperesentasikan kompleks HLA-DR antigen kepada
sel T penolong spesifik, yaitu mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses.
Ada atau tidak adanya sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik.3
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2 dan
mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel T spesifik,
sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T teraktivasi) akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. 3

Gambar 1. Fase Sensitisaasi1


Fase elisitasi : hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang alergen
(hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans dan
5

diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di
permukaan sel. Selanjutkan kompleks HLA-DR antigen akan dipresentasikan kepada sel-T
yang telah tersensitisasi (sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain.
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL-2 dan
mengekspersi IL-2R, yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit.
Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan IFN- yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi
ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi
dengan sel-T dan leukosit yang lain yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga
memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target
sel-T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit juga menghasilkan sejumlah sitokin antara lain
IL-1, IL-6, TNF dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat menstimulasi
keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast
dan makrofag. 3
Sel mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4).
Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari keratinosit atau
leukosit menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul
larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu
faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah lain dari
pembuluh darah masuk kedalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menimbulkan
respons klinik DKA.3

Gambar 2. Fase elisitasi1


E. Gejala Klinis
Temuan Kutaneus8

Proses gejala umum ACD adalah pruritus, dermatitis ekzematous awalnya paparan
alergen lokal. Pola geometris atau linear atau keterlibatan daerah kulit, mungkin juga
penyebabnya eksogen. Misalnya, gambaran linier atau bergaris-garis pada ekstremitas, sering
merupakan ACD dari racun ivy, racun oak, atau racun sumac. Kadang-kadang, substansi
kepekaan yang sebenarnya di tanaman ini berupa sebuah oleoresin bernama urushiol dapat
menjadi aerosol saat tanaman dibakar, mengarah ke letusan yang lebih parah. daerah yang
terkena misalnya wajah dan lengan. Transfer resin dari sumber selain dari tanaman langsung
(seperti baju, hewan peliharaan, atau tangan) dapat menyebabkan ruam di ditempat lain
(yaitu, keterlibatan genital pada pasien dengan poison ivy). Dengan demikian, data historis
yang relevan dikumpulkan dari pertanyaan-pertanyaan mungkin terbukti dan berguna untuk
distribusi luka.
Penting untuk dicatat bahwa lesi dari ACD bervariasi morfologinya tergantung tahap
penyakit. Sebagai contoh, selama fase akut, lesi ditandai dengan edema, eritema, dan
pembentukan vesikel. vesikel pecah, kemudian basah dan papula sehingga muncul plak.
Alergen kuat sering mengakibatkan pembentukan vesikel, sedangkan alergen lemah sering
menyebabkan papul, dengan sekitar eritema dan edema. Subakut ACD di sisi lain, ditandai
dengan eritema dan papula bersisik; sedangkan kronis ACD ditandai dengan liken, fissura,
dan likenifikasi. Gejala utama untuk alergi adalah pruritus, yang tampaknya terjadi secara
khusus pada alergi dibanding keluhan rasa terbakar.
Selain itu, ada beberapa varian klinis non eczematous ACD yang sering diamati.
Antara lain yaitu:

Purpura ACD terutama dijumpai pada tungkai bawah bawah dan / atau kaki dan telah

dilaporkan dengan berbagai alergen termasuk pewarna tekstil.


Lichenoid ACD dianggap varian langka. Gambaran klinis seperti lichen planus dan sering
dihubungkan dengan pewarna logam di tato. Lichenoid oral ACD dari amalgam gigi

dapat menyerupai khas lichen planus oral.


Berpigmen ACD telah terutama dijelaskan dalam populasi dari etnis Asia.

Lymphomatoid ACD hanya didasarkan pada kriteria histopatologi


Tanda-tanda klinis yang spesifik termasuk plak eritematosa, kadang-kadang sangat
menyusup, di lokasi penerapan alergen kontak. Beberapa contoh termasuk alergi terhadap
logam, alergi terhadap pewarna rambut, dan dimethylfumarate, inhibitor cetakan
ditemukan beberapa perabot yag terbungkus, dapat menyebabkan ACD yang parah.

Pendekatan Topograf8
7

Distribusi Dermatitis yang biasanya tunggal merupakan petunjuk


penting untuk diagnosis DKA. Biasanya, daerah dermatitis terbesar adalah
daerah dengan kontak terbesar dengan alergen. Pada kenyataannya,
lokasi dapat menjadi salah satu petunjuk paling penting sebagai penentu
bahan kimia yang mungkin menjadi penyebab dari pasien DKA. Sebagai
contoh, sebuah dermatitis ekzematous diperi / daerah infraumbilikal
menunjukkan alergi kontak pada logam di jeans dan sabuk gesper,
sedangkan eksim yang terdistribusi di sekitar garis rambut dan di
belakang telinga menunjukkan alergi kontak ke bahan-bahan yang
digunakan pada rambut seperti produk (pewarna rambut, shampoo,
conditioner, styling produk). Dengan alasan yang sama, eksim pada
dorsum kaki menunjukkan alergi kontak ke produk yang digunakan pada
bagian atasnya seperti sepatu kulit, karet, atau pewarna, sedangkan
dermatitis ekzematous pada bagian tubuh yang menahan tekanan badan
seperti kaki menunjukkan alergi kontak pada produk yang digunakan
untuk membuat sol / sol seperti karet dan bahan perekat. Khususnya pada
wajah, kelopak mata, bibir, dan leher, pola dermatitis harus selalu
meningkatkan kecurigaan pada kontak alergi kosmetik yang terkait.
Meskipun demikian, identifikasi yang tepat untuk menentukan
bahan kimia penyebab alergi membutuhkan uji tempel, meskipun
pemeriksa sudah berpengalaman, sebaiknya pengujian dilakukan. Pola
distribusi sebaiknya digunakan sebagai acuan perlu atau tidaknya suatu
alergen menjadi bahan tes.
Tangan dan Kaki.9 Dermatitis pada tangan mempunyai

insiden yang

tinggi, dimana fakta bahwa tangan adalah sarana utama interaksi dengan
lingkungan, dengan peningkatan kemungkinan untuk berbagai paparan
alergen. Dermatitis pada tangan menyumbang sebanyak 80% dari
penyakit kulit akibat kerja, terutama pada "pekerjaan basah" pekerjaan
seperti pekerja kesehatan, penjamah makanan, dan lain-lain.
Dengan demikian, pertimbangan cermat harus diberikan kepada pekerja
yang terpapar dalam evaluasi pasien dengan dermatitis pada tangan.
Sebagai contoh, seorang penata rambut mungkin peka terhadap bahan8

bahan

dalam

produk

monothioglycolate,

atau

perawatan

rambut

kokamidopropil

seperti

betaine

PPD,

gliseril

(surfaktan-deterjen,

umumnya ditemukan di shampoo), sedangkan pekerja konstruksi dapat


menjadi alergi terhadap kromium melalui paparan basah semen. Petunjuk
klinis yang harus menaikkan kecurigaan dari DKA adalah keterlibatan ruas
jari

dan

telapak

mendominasi.Etiologi

tangan

serta

multifaktorial

pruritus
dermatitis

sebagai
pada

gejala
tangan

yang
(iritan

paparan, atopi, pomfoliks atau vesikular kronis eksim tangan, psoriasis,


infeksi dermatofit, antara lain) menambah kompleksitas kedua dalam
mendiagnosis dan mengobati pasien ini. Dermatitis kronik pada tangan
merupakan indikasi untuk uji tempel. Demikian pula, evaluasi dermatitis
pada kaki harus mencakup uji tempel dengan alergen yang paling sering
dikaitkan dengan kondisi ini. Ini termasuk, bahan kimia karet terkait
(seperti sebagai Mercaptobenzothiazole, campuran carba, campuran
tiuram, campuran merkapto, campuran karet hitam, dan campuran dialkil
tiourea) yang berpotensi terdapat sebagai komponen sepatu dan sol; lem
dan perekat yang digunakan dalam pembuatan sepatu seperti 4-tertbutylphenol resin formaldehida; dan kalium dikromat ditemukan di
leathermade kecokelatan sepatu. Bahan pengujian juga harus mencakup
antibiotik topikal, kortikosteroid, atau obat antijamur yang mungkin telah
digunakan oleh pasien untuk mengobati daerah yang terkena.

Gambar 3. Dermatitis kontak alergi pada tangan akibat alergen racun ivy. Tampak
kulit mengalami eritema disertai bulla pada daerah ekstremitas superior8

Wajah9 adalah lokasi umum terjadinya ACD. Di antara pasien dengan dermatitis di wajah,
wanita lebih sering terkena daripada laki-laki, terutama dengan penggunaan kosmetik yang
mengandung alergen seperti wewangian, PPD, pengawet, dan alkohol lanolin. Alergen dapat
diaplikasikan pada wajah langsung tetapi juga bisa ditransfer dari paparan udara atau tanganto-face. Selain alergen ditemukan sebagai bahan dalam kosmetik, produk yang digunakan
untuk mengaplikasikannya seperti spons kosmetik, juga telah dilaporkan dapat menyebabkan
dermatitis di wajah pasien yang senditif dengan karet. keadaan serupa terlihat pada bendabenda berlapis nikel yang digunakan pada rambut, seperti jepitan dan pengeriting yang dapat
menyebabkan kulit kepala dan dermatitis di wajah pada pasien yang sensitif dengan nikel.

Gambar 4. Dermatitis kontak alergi di wajah akibat hipersensifitas terhadap


phosphorus sesquisulphide. Wajah tampak eritem.
Badan.9 Pada badan dapat menemukan wewangian, pengawet, surfaktan,
dan bahan kimia lainnya dari penggunaan produk perawatan pribadi,
namun juga rentan terhadap alergen yang ditemukan di tekstil. Tekstil
terkait

alergen

termasuk

zat

warna

dispersi

(azoanilines)

dan

formaldehida-releasers. Di masa lalu, bahan finishing yang digunakan


mengandung

formaldehida

bebas

dalam

jumlah

besar,

yang

menyebabkan banyak kasus dermatitis kontak alergi pakaian pada 1950an dan 1960-an. Namun, saat ini yang paling sering dipakai dimetilol
dihydroxyethyleneurea.

Hal

yang

penting

adalah

studi

terbaru

menunjukkan bahwa jumlah formaldehida bebas di sebagian besar


10

pakaian kemungkinan di bawah ambang batas untuk elisitasi dermatitis


tapi hanya pada pasien yang sensitif, dan bahwa jumlah urea pada
pakaian mungkin tidak cukup tinggi untuk menyebabkan sensitisasi.

Gambar 5. Dermatitis kontak alergi di daerah badan disebabkan oleh reaksi


hipersensitifitas terhadap nikel pada ikat pinggang. Tampak papul eritema pada regio
abdomen8
Kulit kepala.9 Alergen yang terkena pada kulit kepala yang paling sering
menghasilkan pola dermatitis di dahi dan aspek lateral wajah, kelopak
mata, telinga, leher, dan tangan; sedangkan kulit kepala tetap tidak
terlibat, dimana kulit kepala sangat "tahan" terhadap dermatitis kontak.
Namun demikian, pasien yang sensitif terhadap bahan-bahan tertentu
dalam produk rambut seperti sebagai PPD atau gliseril monothioglycolate
dapat menunjukkan reaksi kulit kepala ditandai dengan edema dan
pengerasan kulit. PPD adalah salah satu sensitizer paling ampuh yang
diketahui dan banyak digunakan sebagai bahan dalam pewarna rambut.
Secara umum, sensitasi PPD dimanifestasikan pada wajah dan kulit kepala
dari pasien dewasa perempuan yang pernah kontak dengan pewarna
rambut. Sensitivitas alergi terhadap GMT dapat memenimbulkan reaksi
pada kulit kepala yang ditandai dengan dengan scaling, edema, dan
krusta.
Kelopak mata.9 adalah salah satu daerah kulit yang paling sensitif, dan sangat rentan
terhadap iritasi dan alergi mungkin karena kulit kelopak mata tipis, dibandingkan dengan
11

kulit yang lain, dan dapat mengumpulkan bahan kimia dalam lipatan kulit. perpindahan
sejumlah kecil alergen yang digunakan pada kulit kepala, wajah, atau tangan dapat
menyebabkan reaksi eksematosa dari kelopak mata, sedangkan lokasi utama kontak tetap
tidak berubah, agen volatil dapat mempengaruhi kelopak mata dan eksklusif, menyebabkan
dermatitis kontak pada kelopak mata. Sumber dermatitis kontak dari kelopak mata termasuk
kosmetik seperti maskara, eyeliner daneye shadow, perekat bulu mata palsu, dan nikel serta
karet di pengeriting bulu mata. Selanjutnya, dermatitis karena pewarna rambut ditandai
dengan udem pada kelopak mata.. Seperti disebutkan sebelumnya dalam bab ini, kelopak
mata juga dikenal sebagai lokasi khas untuk "dermatitis kontak ektopik" yang disebabkan
oleh bahan-bahan yang ditemukan di cat kuku, seperti tosylamide resin formaldehida (TSFR),
bahan kimia ditambahkan ke cat kuku untuk memfasilitasi adhesi pernis dengan resin epoxy
kuku dan, juga ditambahkan ke beberapa poles kuku. Antibiotik topikal (seperti bacitracin
dan neomycin) dan logam tertentu seperti gold57 juga dapat menyebabkan dermatitis kontak
kelopak mata. Bahkan, di tahun 2007 NACDG analisis alergen kontak terkait dengan
dermatitis kelopak mata, emas adalah alergen yang paling umum untuk dermatitis kelopak
mata murni. Khususnya, telah diamati bahwa ketika kontak dengan partikel keras seperti
titanium dioksida (digunakan untuk opacify kosmetik wajah, dan tabir surya sebagai sunblock
sinar ultraviolet), emas ditemukan dalam perhiasan mungkin mengikis, mengakibatkan
pelepasan partikel emas yang kemudian dapat kontak dengan kulit wajah dan kelopak mata,
sehingga menyebabkan dermatitis. Selain emas, wewangian dan pengawet juga ditemukan
menjadi alergen kosmetik utama yang menyebabkan dermatitis pada kelopak mata.

Bibir.9 Menurut sebuah studi NACDG, sekitar sepertiga dari pasien dengan
cheilitis dermatitis pada daerah lain, biasanya ditemukan memiliki alergen
sebagai faktor konstribusi. alergi kontak cheilitis (ACC) telah dilaporkan
hasil dari penggunaan beragam produk termasuk kosmetik seperti lip
balm, lipstik, glosses bibir, pelembab, tabir surya, produk kuku, dan
produk kebersihan mulut (Obat kumur, pasta gigi, dental floss) . ACC
didominasi perempuan ditandai dengan kebanyakan studi melaporkan
berbagai

70,7%

-90%pasien

adalah

perempuan.

Hal

ini

mungkin

dijelaskan oleh asumsi bahwa perempuan memakai lebih banyak kosmetik


dan produk bibir dibandingkan laki-laki. Kebanyakan penelitian telah
melaporkan aroma allergen [Seperti aroma campuran dan Myroxylon
12

pereirae (Balsam Peru)] sebagai penyebab paling umum dari kontak alergi
pada uji tempel pasien cheilitis. Hal yang harus diperhatikan, beberapa
allergen yang jarang dilaporkan, yaitu, benzofenon-3 dan gallates,yang
mungkin relevan dengan dermatitis pada bibir. Benzofenon-3, seorang
bahan utama dari banyak produk tabir surya, juga umum digunakan
sebagai bahan kebanyakan produk bibir dan semakin sering dilaporkan
sebagai penyebab untuk ACC. Gallates adalah antioksidan digunakan
dalam produk lilin atau berminyak seperti lip balm, lipstik, dan glosses
bibir.

Leher .9 juga merupakan lokasi yang sangat reaktif untuk ACD. Kosmetik diaplikasikan
pada wajah, kulit kepala, atau rambut sering mempengaruhi leher. Cat kuku bahan
(tosylamide resin formaldehida dan resin epoxy) adalah penyebab umum ACD di daerah ini.
Selain itu, kebiasaan menyemprotkan parfum pada leher. Dalam individu yang sensitif
terhadap wangi-wangian, aplikasi berulang wewangian ke leher

dapat mengakibatkan

munculnya plak dermatitis di leher, yang membentuk " alat penyemprot sign" Juga, di daerah
ini, alergi logam dapat menyebabkan dermatitis eczematous kronis dari penggunaan kalung
dan perhiasan yang mengandung nikel dan atau kobalt.

Axilla.9 Panas, kelembaban, dan gesekan dari lipatan ketiak dapat berkontribusi pada
pelepasan resin tekstil dan pewarna serta penekanan di daerah ini. Wilayah aksila juga
terkena deodoran dan antiperspirant. Produk ini mengandung alergen kontak wewangian dan
pengawet (formalin releasers, parabens, dll). Efek yang biasa diamati dengan penggunaan
produk ini adalah kemerahan pada ketiak, terutama

keringat yang berlebih dapat

melunturkan alergen. Paparan aerosol dari alergen melalui antiperspirant / deodoran yang
semprot, dapat menyebabkan percikan dari alergen dan hasilnya berupa papul papul satelit
yang menyebar.

F. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti. Daerah yang dikenai sesuai dengan jenis bahan atau zat yang berkontak
dengan kulit. Keluhan yang utama adalah gatal. Daerah yang sering atau dapat di kenai
13

DKA adalah : tangan dan lengan bawah, kaki, muka, leher, pinggang, amme, telinga dan
lain-lain.1
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulit sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan
kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.3

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan histopatologis
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis
dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis.
Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik.10,11
2. Uji Tempel
Pada DKA yang merupakan gold standard adalah uji tempel. Tempat untuk
melakukan uji tempel biasanya dipunggung, digunakan antigen standar pabrik.
Adakalanya pula tes dilakukan dengan bukan antigen standar, dapat berupa bahan
kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan
kerja atau tempat rekreasi.3,11
Bahan yang secara rumit dan dibiarkan menempel pada kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa
adannya. Bila menggunakan bahan yang secarah rumit dapat dipakai air untuk
membilasnya, misalnya, sampo, pasta gigi, harus di encerkan terlebih dahulu, bahan
yang tidak larut dalam air diencerkan atau delarutka dalam vaselin atau minyak.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga
keras penyebab alergi.
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurugai penyaebab alergi,
maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam
dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet atau air dan ditempelkan dikulit
dengan memakai Finn Chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5-10 orang), untuk
menyingkirkan kemungkinan karena iritasi. 3,11
14

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel :
1. Dermatitis harus tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat
terjadi reaksi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu dapat juga
menyebabkan penyakit makin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison <20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab
dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal
dipunggung dihentikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes. Luka bakar
sinar matahari yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan dapat memberikan hasil
negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil kecuali
diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari kemudian dibaca. Pembacaan kedua dilakukan
pada hari ketiga dan ketujuh setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu.
Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir
selesai.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan pada penderita yang mempunyai
riwayat urtikaria dadakan, karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan
reaksi anafilaktik.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah
menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


Reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
Reaksi sangat kuat (ekstrem) : bulla atau ulkus (+++)
Meragukan : hanya makula eritematosa (?)
Iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
Reaksi negatif : (-)
Excited skin
Tidak dites (NT = not tested)
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi,
biasanya 72-96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu
15

membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam setelah
aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor bila hal itu terjadi
sampai satu minggu setelah aplikasi.
Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi,
atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi), efek pinggir
uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat,
sedang dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan
karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan dibagian pinggir. Sebab lain oleh
karena efek tekanan, terjadi bila menggunakan bahan padat. 3,11
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah.
Vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik, atau longgar
akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian kortikosteroid sistemik atau
topikal poten yang lama dipakai pada area uji tempel. 3,11
H. Diagnosis Banding
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan kelainan kulit yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik atau psoriasis.
Diagnosis yang utama ialah DKI. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakar dermatitis tersebut karena dermatitis kontak
alergi.3
1. Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.3

Gambar 6. Dermatitis Kontak Iritan6


16

2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal,
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau
penderita.

Gambar 7. Dermatitis Atopik6

3. Dermatitis Numularis
17

Dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau lonjong berbatas tegas dengan
efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah hingga basah.3

Gambar 8. Dermatitis numularis6


4. Dermatitis Seboroik
Merupakan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat
predileksi di tempat-tempat seboroik.3

Gambar 9. Dermatitis Seboroik6

5. Psoriasis
Merupakan penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai
dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,
berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner.3

18

Gambar 10. Psoriasis6

I. Penatalaksanaan
Penanganan terbaik adalah dengan mengobati gejala dan menghindari alergen
penyebab. Bahan pengering seperti aluminium sulfat topikal, kalsium asetat bermanfaat untuk
vesikel akut dan erupsi yang basah, sedangkan erupsi likenifikasi paling baik ditangani
dengan emolien. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritus topikal atau antihistamin oral,
antihistamin topikal atau anestesi sebaiknya dihindari karena risiko merangsang alergi
sekunder pada kulit yang sudah mengalami dermatitis. Pengobatan gold standard pada kasus
ini adalah kortikosteroid. 10
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka waktu pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritem, edema, vesikel serta eksudat
misalnya prednison 30 mg/hari atau prednisolon dengan dosis >15 mg/ hari ataupun
metilprednison, metilprednisolon dan triamnisolon dengan dosis masing-masing serta steroid
topikal yang poten akan menekan reaksi alergi. Jika lesi basah diberi kompres KMnO 4
1/1500. Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid sistemik) ataupun lesi yang sudah mengering cukup diberikan kortikosteroid
atau makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal misalnya hidrokortison 12%, triamnisolon 0,1%, fluosinolon 0,025%, desoksimetason 2-2,5% dan betamethason
dipropionate 0,05%. Sedangkan untuk pasien-pasien yang tidak merespon terhadap
kortikosteroid ataupun pasien yang tidak bisa menghindari dari semua faktor alergennya
maka terapi sinar PUVA dan UVB dapat membantu mengurangi keluhan pasien. 3,10

J. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan bagaimana caranya
menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang.Prognosis dermatitis kontak alergi
umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan
menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,
dermatitis numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin
dihindari.3

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Hakim, Zainal. (2004). Penanganan Dermatitis Kontak Alergika Majalah Kedokteran
Andalas. 1 (28) . 2 7 Available at http://mka.fk.unand.ac.id. Visited on 28 Juni 2015.
2. Harahap M. Dermatitis Kontak Alergi. In: Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates :Jakarta :
2010. h. 24-26
3. Sularsito, A. S, Djuanda, S. Dermatitis Kontak Alergi In : Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.
Eds (Editors) 6th Ed. Jakarta 2010.
4. Lestari, F dan Nuraga, W. (2008) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Dermatitis Kontak Pada Pekerja Yang Terpajan Dengan Bahan Kimia Di Perusahaan
20

Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat Makara Kesehatan. 2 (12). 63
70
5. Trihapsoro, Iwan. 2008. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan .Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Medan.
6. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6

th

ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2009. h. 26-33.


7. Siregar R.S, Editor. Dermatosis Eritroskuamosa in Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit
2th Ed. EGC : Jakarta : 2004. Hal 107-114.
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology.
10th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc 2006. Chapter 6, Contact Dermatitis and Drug
Eruption; P.91-111
9. Mari paz C., Kathrin. Allergic Contact Dermatitis. In: Goldsmith L.A., Katz S.I., editors.
Fizpatricks Dermatology in General Medicine. 8thEd. New York: McGrawHill; 2012.
10. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolf K., Goldsmith L.A., Katz
S.I., editors. Fizpatricks Dermatology in General Medicine. 7thEd. New York:
McGrawHill; 2008.
11. Solomon, R. Wiliam, Dermatitis Kontak. In: Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Sylvia S, Wilson L. Eds (Editors). 6th Ed. EGC : Jakarta : 2006. Hal 206

21

Anda mungkin juga menyukai